Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

27

BAB II
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK OLEH PEGAWAI NEGERI
SIPIL MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA
A. Pengertian Anak, Anak Angkat dan Pengangkatan Anak
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja, dengan kata lain anak adalah
seorang laki-laki dan perempuan yang belum atau belum mengalami masa pubertas.
Anak juga merupakan keturunan kedua dimana kata “anak’’ merujuk dari lawan dari
orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah
dewasa.
Pengertian anak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
Modern bahwa ”Anak adalah keturunan kedua”.40 Pengertian ini memberikan
gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan
pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara
kedua orang tuanya. Hassan juga mengartikan anak sebagai muda-mudi/remaja yang
masih dianggap anak-anak, yang masih memerlukan bimbingan dari orang
tua/keluarga serta masih harus belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua
maupun menimba pengalaman-pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat.41
Haditono mengutip pendapat Sumadi Suryabrata, menyatakan bahwa :


40

Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 13.
Hassan, Kumpulan Soal Tanya Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Diponegoro,
Bandung, 1983, hal. 518.
41

27

Universitas Sumatera Utara

28

Anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan,
kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu,
anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi
kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk
perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. 42
Pengertian di atas menjelaskan bahwa anak merupakan generasi muda penerus

cita-cita bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian baik dalam bidang ilmu
pengetahuan, agama, hukum, dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak
semakin aktual dalam lingkungan sosial.
Kedudukan anak dalam lingkungan hukum sebagai subjek hukum, ditentukan
dari bentuk sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada
di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Maksud tidak
mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang
dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subjek hukum yang
lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum secara
substansial meliputi peristiwa hukum pidana maupun hubungan kotrak yang berada
dalam lingkup hukum perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.43
Apabila ditelaah ketentuan Pasal

1 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

42


Sumadi Suryabrata, Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Andi, Yogyakarta, 2000,

hal. 3.
43

Maulana Hasan Wadong, Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum
Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

29

masih dalam kandungan.44 Ketentuan dalam Undang-undang di atas menerangkan
bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan
anak berusia 18 tahun.
Pengertian anak dalam konteks hukum perdata erat kaitannya dengan
pengertian mengenai kedewasaan. Hukum Indonesia mengenai anak masih
digolongkan sebagai anak terdapat perbedaan penentuan. Menurut ketentuan hukum
terdapat perbedaan tolak ukur dimaksud antara lain:45

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Pasal 330 Ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa batas antara
belum dewasa (Minderjerigheid) dengan telah dewasa (Meerderjarigheid)
yaitu 21 tahun kecuali Anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan
Pendewasaan (venia aetetis Pasal 419)46
b. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 47 ayat 1 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat (1)
menentukan bahwa “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernah kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah kekuasaan wali”. Dari ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1
44

Undang-undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang RI
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , Media Centre, Surabaya, 2006, hal. 119.
45
Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 17.
46
Ibid., hal 17.


Universitas Sumatera Utara

30

Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di muka dapat disimpulkan bahwa
dalam Undang-undang tersebut menentukan batas belum dewasa atau sudah
dewasa adalah 16 dan 19 tahun.
c. Hukum kebiasaan (hukum adat)
Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat
dianggap dewasa dan wewenang bertindak. Hasil penelitian Mr. R. Soepomo
tentang hukum perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan
seseorang diukur dari segi: (1) Dapat bekerja sendiri (mandiri), (2) Cakap
untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.47
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat ukuran
kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata.48
Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku bagi seseorang yang berusia di bawah 21
tahun.

Masa kanak-kanak dibagi menjadi 3 tahap, yaitu masa bayi umur 0 menjelang
dua tahun, masa kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun dan masa kanak-kanak terakhir
antara umur 5-12 tahun.49 Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa

47

Ibid, hal. 18.
Ibid, hal. 19.
49
Gatot Supramono, Hukum Acara Peradilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 1.
48

Universitas Sumatera Utara

31

fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan
jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak.
Penggolongan tersebut dibagi ke dalam tiga fase yaitu:
1) Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7

tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan
kemampuan mental, perkembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan
emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (tro zalter)
pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak;
2) Fase kedua adalah dimulainya pada usia 7 sampai dengan 14 tahun disebut
sebagai masa kanak-kanak;50
3) Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai dengan 21 tahun yang
dinamakan masa remaja, dalam arti yang sebenarnya yaitu fase fubertas dan
adolescant, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak
menjadi dewasa.51
Fase-fase yang disebutkan di atas masing-masing menjelaskan, fase pertama
antara 0-7 tahun disebut sebagai masa anak kecil, perkembangan kemampuan mental
dan lain sebagainya, lebih dari 7 tahun maka anak tersebut digolongkan dalam fase
kedua yaitu masa kanak-kanak dengan ketentuan batas usianya adalah 14 tahun.
Sementara untuk fase terakhir adalah 14 sampai dengan 21 tahun dikategorikan
remaja dan ketentuan pada usia 21 inilah akhir fase disebut anak.
Pada pengertian anak di atas, meskipun dikutip dari beberapa sumber akan
tetapi yang menjadi acuan utama di sini adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang spesifik menjelaskan tentang perlindungan
anak. Jadi dengan demikian dari semua pengertian anak di atas hanya sebagai


50
51

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Adiatama, Jakrta, 2006, hal. 7.
Ibid., hal

Universitas Sumatera Utara

32

komparasi dari undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang ada, baik dari Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang hukum perdata ataupun hukum
adat.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa anak merupakan “buah hati sibiran
tulang”, sebagaimana diungkapkan masyarakat melayu dalam mengekspresikan
begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi kelangsungan hidup mereka. Anak
seyogyanya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa
mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan
bagaimanapun juga di tangan anak-anaklah kemajuan


suatu bangsa tersebut akan

ditentukan.52 Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatiannya
dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam
rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak meliputi
berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam
maupun aspek hukum.
Dalam kehidupan bermasyarakat juga dikenal adanya anak angkat atau anak
orang lain yang diangkat menjadi layaknya anak sendiri atau anak kandung. Dengan
kata lain anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua
dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengangkat anak saat
ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi setiap orang. Baik bagi mereka

52

Rumilawati Windari, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang di Indonesia dan
Beijing Rule, http://rusmilawati.wordpress.com/2010, Diakses 25 Mei 2012

Universitas Sumatera Utara


33

yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah dikaruniai keturunan. Karena hal
ini diperbolehkan oleh undang-undang dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan
hukum.
Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang
lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.53
Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang
dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan
atas harta kekayaan rumah tangganya.54 Sedangkan menurut Surojo Wignodipuro
yang mengartikan sebagai berikut :
Anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam
keluarganya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orangtua yang mengangkat anak
dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama, seperti
yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.55
Muderis Zaini mengemukakan pula bahwa :
Anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang diketahui bahwa ia
sebagai anak orang lain kedalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai

anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam
segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya
sendiri.56

53

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1976,

hal.31.
54

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, Alumni, 1991, hal.20.
Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta, Kinta, 1972, hal 14.
56
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Bina Akasara, 1999,
55

hal.85.

Universitas Sumatera Utara

34

Kemudian menurut M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata, anak angkat adalah
pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari
orangtua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian
rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri.57
Sementara itu dalam Mahmud Syaltut yang dikutip Aziz Dahlan,
mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian anak angkat, yaitu :.
Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh
perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya,
Cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri.
Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status
sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan
(nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hakhak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya
itu.58
Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas
maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan
hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk dimasukkan
kedalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada
pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung.
Adanya anak angkat dalam sebuah keluarga adalah akibat adanya tindakan
pengangkatan anak. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang
mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua yang
sah/walinya yang sah/orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan

57

M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum
Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Semarang, 1990, hal.34.
58
A. Aziz Dahlan, Op.Cit., hal. 29-30

Universitas Sumatera Utara

35

dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan kekuasaan keluarga orang tua
angkat berdasarkan putusan/penetapan Pengadilan Negeri.59 Sifat perbuatan
pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang tidak dapat dianggap hanya
sebagai hasil kesepakatan antara para pihak semata, pengangkatan anak harus
dianggap sebagai suatu lembaga yang menciptakan suatu hubungan hukum yang sah
bagi anak angkat dengan lingkungan keluarga orang tua angkat berdasarkan
penetapan pengadilan.
Hendaknya dipahami bahwa perbuatan pengangkatan anak bukanlah suatu
perbuatan hukum yang dapat terjadi pada suatu saat seperti halnya dengan
penyerahan barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan
kekeluargaan yang menunjukan adanya kesungguhan, cinta kasih dan kesadaran yang
penuh akan segala akibat dari pengangkatan anak.
Apabila ditelaah ketentuan dalam KUHPerdata tidak mengatur tentang
lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat Warga Negara Indonesia
keturunan Tionghoa, yang ada hanya pengakuan anak luar kawin yang disahkan.
Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, dapat dibedakan dari dua
sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi.
1. Secara etimologi yaitu, pengangkatan anak berasal dari kata “adoptie” bahasa
Belanda atau “adopt” bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda
menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai
anak kandungnya sendiri.

59

Erna Sofwan Sjukrie, Lembaga Pengangkatan Anak, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1992,

hal. 17

Universitas Sumatera Utara

36

2. Secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti
anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan
anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa pengangkatan
anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan
anak yang diatur dalam pengaturan perundangundangan.60
Menurut Iman Sudiyat, pengertian dari pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu
ikatan sosial yang sama dengan ikatan kebangsaan biologis.61 Dengan kata lain,
melalui pengangkatan anak, anak angkat masuk kehidupan rumah tangganya orang
tua yang mengambil anak itu sebagai sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi
ia berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan
bapak angkat.
Menurut Soerjono Soekanto, pengangkatan anak adalah sebagai suatu
perbuatan

mengangkat

anak

untuk

dijadikan

anak

sendiri,

atau

secara

umum berarti mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan
timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. 62
Adopsi harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan sematamata untuk pemeliharaan anak saja. Dalam hal ini anak tidak mempunyai kedudukan
sama dengan anak kandung dalam hal warisan.63 Rumusan yang diberikan oleh JA.
Nota yang dikutip Purnadi Purbotjaroko mengenai adopsi adalah sebagai suatu
lembaga hukum yang menyebabkan seorang beralih ke hubungan kekeluargaan lain,
60

Muderis Zaini, Op.Cit., hal. 4.
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 102.
62
Soerjono, Soekanto. Intisari Hukum Keluarga, Citra Aditya Bakti. Bandung. 1989. hal. 52
63
Irma Setyowati Soemitro. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bumi Aksara. Jakarta, 1990,

61

hal 47

Universitas Sumatera Utara

37

sehingga timbul hubungan-hubungan hukum yang sah dengan orang tuanya, di Jawa
Tengah pengangkatan anak menurut M.M Djojodiguno dan Raden Tirtawinata,
adalah pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak
dari orang tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi itu dilakukan sedemikian rupa,
sehingga anak itu baik secara lahir maupun batin merupakan anak sendiri.
Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian adopsi secara umum adalah suatu tindakan mengalihkan seseorang anak
dari kekuasaan orang tua kandungnya ke dalam kekuasaan orang tua angkatnya,
untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri, sehingga dengan
sendirinya anak angkat mempunyai hak dan kedudukan yang sama seperti anak
kandung.
Hukum Islam, sejak zaman Jahiliyah orang Arab telah mengenal dan
melakukan pengangkatan anak. Pada waktu itu Nabi Muhammad S.A.W. mengangkat
anak seorang laki-laki bernama Zaid bin Haritsah. Tindakan Nabi Muhammad
S.A.W. ini mendapat teguran dari Allah melalui wahyu Illahi sebagaimana tertera
dalam Al-Qur’an Surat Al-Azhab ayat 4, 5 dan 40, yang diturunkan untuk
memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad S.A.W. dalam mengangkat anak yang
disesuaikannya dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan bangsa
Arab waktu itu.64

64

M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Tiga Sistem Hukum, Akademika,
Pressindo, Jakarta, 1985, hal 23

Universitas Sumatera Utara

38

Berkaitan dengan pengangkatan anak ini, Al-Qur’an Surat Al- Azhab ayat (4),
(5) dan (40) menegaskan yang artinya :
Ayat (4) yang artinya “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua
buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di
mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan
jalan yang benar“.
Ayat (5) “Panggillah mereka (anak-anak angkatmu itu) dengan memakai nama
bapak-bapak meraka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang“.
Ayat (40) “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
diantara kamu, tetapi dia adalah Rasullulah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu“.65
Berdasarkan rumusan ayat tersebut di atas dapatlah diketahui, bahwa menurut
agama Islam, anak angkat bukanlah anak kandung. Hubungan darah tidak pernah
terputus antara ayah kandung dengan anak kandung. Oleh karena itu seharusnyalah si
anak dipanggil menurut bapak kandungnya, sehingga oleh karena itu menurut hukum
Islam tidak ada halangan sama sekali untuk menikah antara anak kandung dengan
anak angkat.
Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1) Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua biologis dan keluarga;

65

Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1971, hal. 666-

667.

Universitas Sumatera Utara

39

2) Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga
orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari anak angkatnya;
3) Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara
langsung, kecuali sekedar sebagai tanda pengenal/alamat;
4) Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya.66
Ketentuan tersebut di atas menjelaskan bahwa prinsip pengangkatan anak
menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang
anak

tidak

sampai

terlantar

atau

menderita

dalam

pertumbuhan

dan

perkembangannya. Selain itu, juga tidak menutup kemungkinan memberikan
berbagai bentuk bantuan atau jaminan penghidupan oleh orang tua angkat terhadap
anak angkatnya, antara lain berupa :
1) Pemberian hibah kepada anak angkat untuk bekal hidupnya dikemudian hari;
2) Pemberian wasiat kepada anak angkat dengan ketentuan tidak lebih dari 1/3
(sepertiga ) harta kekayaan orang tua angkat yang kelak akan diwariskan
kepada ahli warisnya yang berhak.67
Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 209 Kompilasi
Hukum Islam telah mengatur bahwa orang tua angkat yang tidak menerima
diberi wasiat wajibah

wasiat

dari harta warisan anak angkatnya, demikian sebaliknya

terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah dari harta
warisan orang tua angkatnya. Jumlah wasiat wajibah itu maksimal 1/3 (sepertiga) dari
harta warisan. Pengangkatan anak menurut hukum Islam, tidak memberi status
kepada anak angkat sebagai “anak kandung” orang tua angkat. Meskipun barangkali

66
67

M. Budiarto, Op.Cit., hal. 24
Ibid, hlm 25

Universitas Sumatera Utara

40

dilihat dari kenyataan kehidupan sehari-hari, hubungan ikatan batin antara orang tua
angkat dengan anak angkat, sudah tidak ubahnya seperti hubungan anak kandung
dengan orang tua kandung, hal itu tidak mengubah kenasaban hubungan darah antara
mereka.
Prinsip-prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam bertujuan mencegah
agar seorang anak tidak sampai terlantar dalam hidupnya dan bersifat pengarahan
yang dapat disertai dengan pemberian bantuan penghidupan untuk kesejahteraan
anak.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa pengangkatan anak merupakan salah
satu perbuatan hukum yang termasuk perbuatan hukum di bidang hukum perdata dan
merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, bagaimanapun juga lembaga
pengangkatan anak ini akan

mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri,

yang terus beranjak ke arah kemajuan.
B. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Berbagai Sistem Hukum.
Pengangkatan anak di Indonesia dilihat dari sejarahnya di urut dari Staatsblad
1917 Nomor 129, hukum adat, perundang-undangan dan berdasarkan hukum Islam.
1. Menurut Staatsblad 1917 Nomor 129
Hukum keluarga adat golongan Tionghoa menganut garis keturunan lakilaki (patrilinel), karena itu nama keluarga (she atau fam, seperti Tan, Oei,
Lim,dan lain-lain) diturunkan melalui keturunan laki-laki. Apabila tidak ada
keturunan laki-laki untuk meneruskan nama keluarga, maka mereka akan
mengangkat anak laki-laki dari keluarga lain. Oleh karena itu, asas

Universitas Sumatera Utara

41

pengangkatan anak hanya bisa dilakukan seorang laki-laki Tionghoa wajib
mengusahakan agar cabang keluarganya tidak punah dan ada keturunan yang
melanjutkan merawat abu leluhur.68
Lembaga pengangkatan anak diatur khusus karena merupakan adat
golongan Tionghoa yang berhubungan erat dengan pandangan dan
kepercayaan mereka. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek) memandang suatu perkawinan sebagai bentuk hidup
bersama bukan untuk mengadakan keturunan, sehingga tidak mengenal
lembaga pengangkatan anak (adopsi).69
Dalam perkembangannya, penduduk golongan Tionghoa mengalami
perubahan pendangan terhadap hubungan kekeluargaan yang semula
patrilineal menjadi bilateral atau parental. Perubahan pandangan itu
dipengaruhi berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pendidikan,
dan agama Kristen yang banyak dianut oleh mereka. Lembaga pengangkatan
anak masih dibutuhkan tetapi dengan tujuan yang berbeda dari tujuan semula.
Kehadiran anak angkat kadang dibutuhkan bagi mereka yang tidak
mempunyai anak untuk mengisi kekosongan dalam keluarga atau memelihara
mereka di hari tua. Oleh karenanya pengangkatan anak tidak perlu dibatasi
hanya anak laki-laki.70

68

J. Satrio, Op.Cit , hlm. 190-193.
Ali Affandi, hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm. 149.
70
J. Satrio, Op.Cit. hlm. 194.
69

Universitas Sumatera Utara

42

2. Menurut Hukum Adat
Hukum kekeluargaan adat memandang bahwa keturunan adalah
ketunggalan leluhur, artinya dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan
darah dengan tunggal leluhur. Akibat hukum yang berhubungan dengan
ketunggalan leluhur bervariasi di masing-masing daerah. Ada satu pandangan
pokok yang sama bahwa keturunan merupakan unsur yang hakiki serta mutlak
bagi suatu suku, atau kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah dan
menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Apabila suatu suku atau
kerabat yang khawatir akan menghadapi kepunahan pada umumnya
melakukan pengangkatan anak.71
Pengangkatan anak dalam hukum adat bukan merupakan lembaga yang
asing. Lembaga itu dikenal luas hampir diseluruh Indonesia yang dilakukan
dengan cara dan motif yang bervariasi. Misalnya di Jawa, anak angkat
biasanya diambil dari anak keponakannya sendiri, laki-laki atau perempuan.
Sedangkan motivasi pengangkatan anak tersebut berdasarkan alasan-alasan
antara lain : karena tidak mempunyai anak, untuk mempererat tali
persaudaraan dengan orang tua anak yang diangkat, karena belas kasihan
disebabkan orang tuanya tidak mampu/anak yatim, atau anak yatim piatu,
adanya kepercayaaan bahwa dengan mengangkat anak akan mendapatkan
anak keturunannya sendiri (panutan, sebagai pemancing),dan karena hanya
mempunyai anak laki-laki maka mengangkat anak perempuan atau sebaliknya,
71

Bushar Muhammad, Pokok – pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

43

dan yang terakhir karena untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat
membantu pekerjaan orang tua sehari-hari.
Demikian pula akibat hukum pengangkatan anak dalam hukum adat
sangat bervariasi. Misalnya di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan
pertalian keluarga antara anak angkat dan orangtua kandungnya. Anak angkat
masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat sebagai anggota
keluarga, tetapi tidak berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan
keturunan bapak angkatnya. Sedangkan di Bali, pengangkatan anak adalah
perbuatan hukum yang melepaskan anak dari pertalian keluarga orang tua
kandungnya dan memasukkan anak itu kedalam keluarga bapak angkat,
sehingga anak tersebut berkedudukan menjadi anak kandung untuk
meneruskan keturunan bapak angkatnya.72
Kedudukan anak angkat dalam hukum adat dipengaruhi oleh sistem
kekeluargaan atau keturunan. Sistem kekeluargaan di Indonesia dibedakan
menjadi tiga (3) corak, yaitu :


Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
keturunan bapak, kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya
daripada kedudukan perempuan.

72

Amir Martosedono, Tanya Jawab pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara Prize,
Semarang, 1990, hlm. 13-14.

Universitas Sumatera Utara

44



Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
keturunan ibu, kedudukan perempuan lebih menonjol pengaruhnya
daripada kedudukan laki-laki.



Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis orang tua atau menurut garis dua sisi, yaitu bapak dan ibu,
kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan.73

3. Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia
Undang-undang yang mengatur pengangkatan anak di Indonesia yang
dibuat secara lengkap dan tuntas masih belum ada. Dalam sejarah perundangundangan yang berkaitan, pengaturan pengangkatan anak sempat masuk
dalam rancangan undang-undang, yaitu dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang perkawinan dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang
Peradilan Anak.74
Ketentuan pasal dalam RUU Perkawinan ini termasuk salah satu pasal
yang mendapat reaksi keras dari umat Islam karena bertentangan dengan
hukum Islam. Hasil Musyawarah Ulama Jawa Timur pada tanggal 11 Agustus
1973 mengusulkan Pasal 62 tersebut untuk mengubah ayat ( 8 ), ayat (9), dan
menghapus ayat (11) dan ayat (12).75

73

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditia Bakti, Bandung, 1993, hlm. 23.
Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana Prenada
Media, Jakarta, 2008, hlm. 30.
75
Amak, Proses Undang-Undang Perkawinan, Al-Maarif, Bandung, 1976, hlm. 47.
74

Universitas Sumatera Utara

45

Rancangan Undang-Undang tersebut selanjutnya disahkan menjadi
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai legal
product dengan menghapus semua ketentuan Pasal 62 yang mengatur
pengangkatan anak, sehingga dalam Undang-Undang RI Nomor 1974 tentang
Perkawinan tidak ada ketentuan yang mengatur pengangkatan anak.
4. Berdasarkan Hukum Islam
Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan
bagi setiap orang. Baik bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan ataupun
yang telah dikaruniai keturunan. Karena hali ini diperbolehkan oleh Undangundang dan telah diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum. Pengangkatan
anak telah dilakukan dari zaman dahulu, bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Walaupun pada masa sekarang ini pelaksanaan pengangkatan anak telah jauh
berkembang. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pelaksanaan pengangkatan anak
yang sudah berkembang dari tujuan semula diadakannya pengangkatan anak.
Namun bila diperhatikan dari segi apapun juga, pada dasarnya pengangkatan
anak mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh keturunan.
Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi, adopsi berasal
dari kata Adoptie dalam bahasa Belanda atau adoption dalam bahasa Inggris.
Adoption artinya pengangkatan, pemungutan.76
Dalam bahasa arab disebut “tabanny” yang menurut Prof. Mahmud
Yunus diartikan dengan mengambil anak angkat. Sedangkan dalam kamus
76

Musthofa Sy, Op.Cit. hlm. 32

Universitas Sumatera Utara

46

Munjid diartikan “ ittikhadzahu”, yaitu menjadikannya sebagai anak. Dalam
Ensiklopedi Umum sebagaimana dikutip oleh Muderis Zaini dalam bukunya
menyebutkan bahwa : “ Adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan
hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundangundangan”.
Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapat pewaris atau untuk
mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak, sedangkan dalam
hukum Islam, sudah sejak zaman Jahiliyah orang Arab telah mengenal dan
melakukan pengangkatan anak. Pada waktu itu Nabi Muhammad SAW
mengangkat anak seorang laki-laki bernama Zaid bin Harisah. Tindakan Nabi
Muhammad ini mendapat teguran dari Allah SWT melalui wahyu Ilahi
sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Azhab ayat 4, 5 dan 40, yang
diturunkan untuk memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad S.A.W. dalam
mengangkat anak yang disesuaikannya dengan adat dan kebiasaan yang
berlaku dalam kehidupan bangsa Arab waktu itu.
Berkaitan dengan pengangkatan anak ini, Al-Qur’an Surat Al-Azhab ayat
4, 5 dan 40 menegaskan yang artinya :“ Allah sekali-kali tidak menjadikan
bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan
istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu
hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah SWT mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar “ ( Ayat 4 ). “ Panggillah

Universitas Sumatera Utara

47

mereka (anak-anak angkatmu itu) dengan memakai nama bapak-bapak
meraka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi ( yang ada dosanya ) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ (Ayat
5).“ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara
kamu, tetapi dia adalah Rasululah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu “ ( Ayat 40 ). Dari rumusan ayat tersebut di
atas dapatlah diketahui, bahwa menurut agama Islam, anak angkat bukanlah
anak kandung. Hubungan darah tidak pernah terputus antara ayah kandung
dengan anak kandung. Oleh karena itu seharusnyalah si anak dipanggil
menurut bapak kandungnya, sehingga oleh karena itu menurut hukum Islam
tidak ada halangan sama sekali untuk menikah antara anak kandung dengan
anak angkat. Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat
dibenarkan apabila memenuhi ketentuan–ketentuan sebagai berikut :77


Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua biologis dan keluarga;



Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian

77

Hilman Lubis, Panitera Pengadilan Agama Medan Kelas IA, Wawancara tanggal 25
Nopember 2012

Universitas Sumatera Utara

48

juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari anak
angkatnya;


Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung, kecuali sekedar sebagai tanda pengenal / alamat;



Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya;

Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan
anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar
seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
Berdasarkan prinsip dasar termaksud maka, hukum Islam tidak melarang
memberikan berbagai bentuk bantuan atau jaminan penghidupan oleh orang tua
angkat terhadap anak angkatnya, antara lain berupa :


Pemberian hibah kepada anak angkat untuk bekal hidupnya dikemudian
hari;



Pemberian wasiat kepada anak angkat dengan ketentuan tidak lebih dari
1/3 (sepertiga) harta kekayaan orang tua angkat yang kelak akan
diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak.

Ketentuan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur bahwa orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah dari harta warisan anak
angkatnya, demikian sebaliknya terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat

Universitas Sumatera Utara

49

diberi wasiat wajibah dari harta warisan orang tua angkatnya. Jumlah wasiat wajibah
itu maksimal 1/3 ( sepertiga ) dari harta warisan.
Pengangkatan anak menurut hukum Islam, tidak memberi status kepada anak
angkat sebagai “anak kandung” orang tua angkat. Meskipun barangkali dilihat dari
kenyataan kehidupan sehari–hari, hubungan ikatan batin antara orang tua angkat
dengan anak angkat, sudah tidak ubahnya seperti hubungan anak kandung dengan
orang tua kandung, hal itu tidak mengubah kenasaban hubungan darah antara mereka.
Dari hal–hal yang diutarakan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip
pengangkatan anak menurut hukum Islam bertujuan mencegah agar seorang anak
tidak sampai terlantar dalam hidupnya dan bersifat pengarahan yang dapat disertai
dengan pemberian bantuan penghidupan untuk kesejahteraan anak.
C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak.
Pelaksanaan pengangkatan anak dalam praktiknya lebih mengutamakan
pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak di samping juga kepentingan pemilik
anak agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Kemudian pelayanan
diberikan bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan
anak. Sepanjang proses tersebut, anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan
persetujuan antara orang-orang dewasa bukan sebagai objek perdagangan.
Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke
arah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah
karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan pengangkatan anak. Pada

Universitas Sumatera Utara

50

dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan
anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat
dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang
bermanfaat bagi anak yang bersangkutan.
Pengangkatan anak dilakukan melalui Dinas Sosial dan diatur dalam
Ketentuan Umum angka 6 Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980
tentang Organisasi Sosial yang menyatakan bahwa “Organisasi sosial/lembaga
pelayanan sosial adalah lembaga kesejahteraan sosial yang berbadan hukum yang
menangani pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Dinas Sosial melalui Surat
Keputusan Menteri Sosial sebagai penyelenggara pengangkatan anak”.78
Kriteria yayasan/organisasi sosial yang dapat ditunjuk oleh Menteri Sosial
sebagai lembaga yang memfasilitasi pengangkatan anak adalah:
1. Memiliki panti sosial asuhan anak yang khusus melayani anak balita dengan
sarana dan prasarana yang memadai.
2. Memiliki SDM yang melaksanakan tugas secara purna waktu dengan
disiplin/keterampilan pekerja sosial. Sarjana hukum, psikolog, dan pengasuh.
3. Mandiri dalam operasional
4. Telah memiliki hubungan kerja dengan rumah sakit setempat.79
Dalam melakukan pengangkatan anak perlu diperhatikan hal-hal yang
berkaitan dengan prosedur pengajuan pengangkatan anak yang diatur dalam

Pasal

39 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

78
79

Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980 tentang Organisasi Sosial
Departemen Sosial Republik Indonesia. Op.Cit., hal 4

Universitas Sumatera Utara

51

Perlindungan Anak. Syarat yang wajib dipenuhi demi kepentingan anak menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah sebagai berikut :
Pasal 39
(1)Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
(3)Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat.
(4)Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
(5)Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Berdasarkan ketentuan hukum mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pengangkatan anak, maka orang tua angkat mempunyai kewajiban seperti yang telah
diatur dalam Pasal 40 yang menyebutkan :
(1)Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai
asal usul dan orang tua kandungnya
(2)Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan.
Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandung ini bertujuan agar anak yang
telah diangkat tidak merasa kehilangan jati diri yang sebenarnya dan mengetahui asal
usulnya yang sebenar-benarnya. Selain itu, agar tujuan dari Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ini tercapai, maka diperlukan peran serta
dari masyarakat dan pemerintah dalam undang-undang ini terdapat dalam Pasal 41
yang menentukan bahwa :

Universitas Sumatera Utara

52

(1)Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengangkatan anak.
(2)Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian, syarat dan prosedur lain yang harus ditempuh untuk melakukan
pengangkatan anak keduanya adalah WNI. Untuk syarat calon orang tua angkat
(pemohon), diperbolehkan pengangkatan anak langsung dilakukan antara orang tua
kandung dengan orang tua atau biasanya disebut dengan private adaption. Selain itu,
pengangkatan anak oleh orang yang belum menikah juga diperolehkan atau disebut
dengan single parents adaption, asalkan para orang tua angkat ini mempunyai
pekerjaan dan penghasilan yang tetap.
Syarat calon anak angkat (bila dalam asuhan suatu yayasan sosial), yayasan
sosial harus mempunyai surat ijin tertulis dari Menteri Sosial bahwa yayasan yang
bersangkutan telah diijinkan bergerak di bidang pengasuhan anak dan calon anak
angkat harus punya ijin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang berwenang
bahwa anak tersebut diijinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat, dan apabila ijin
sudah lengkap, kemudian mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang
akan diangkat.
Selain itu, Arif, Gosita. mengatakan bahwa dalam hal pengangkatan anak
harus ada pihak-pihak yang bersangkutan. Pihak-pihak yang bersangkutan dalam
terjadinya dan berlangsungnya pengangkatan anak adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

53

a.
b.
c.
d.

Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya diangkat.
Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.
Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak.
Pihak perantara, yang secara individual atau kelompok (badan, organisasi)
menguntungkan atau merugikan pihak-pihak yang bersangkutan.
e. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat
pengangkatan anak.
f. Anak yang diangkat, yang tidak menghindarkan diri dari perlakuan yang
menguntungkan atau merugikan dirinya, menjadi korban tindakan aktif dan
pasif seseorang.80
Sementara itu, menurut Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak
Departemen Sosial Republik Indonesia dalam pengangkatan anak pihak-pihak yang
terlibat dalam hal terjadinya pengangkatan anak adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat.
Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak.
Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak.
Pihak perantara, yang dapat secara individual atau kelompok (badan,
organisasi).
e. Pembuatan Undang-Undang yang merumuskan ketentuan pengangkatan anak
dalam peraturan perundang-undangan.
f. Anggota keluarga masyarakat lain, yang mendukung atau menghambat
pengangkatan anak.
g. Anak yang diangkat, yang tidak dapat menghindarkan diri dari perlakuan yang
menguntungkan atau merugikan dirinya.81
Pihak Dinas Sosial dalam proses pengangkatan anak ikut andil dalam proses
adopsi sebagai fasilitator, dengan perannya menjembatani antara calon orang tua
adopsi dengan rumah sakit atau yayasan sosial yang dapat melaksanakan adopsi anak.
Dinas Sosial akan berperan memberikan pengarahan kepada calon orang tua adopsi
apa saja yang diperlukan apabila akan melaksanakan adopsi anak, diantaranya adalah
80

Arif Gosita. Masalah Perlindungan Anak. Edisi Pertama. Akademi Presindo. Jakarta. 1989,

hal. 44
81

Departemen Sosial Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak
Departemen Sosial Republik Indonesia. Jakarta. 2005. hal 5

Universitas Sumatera Utara

54

dengan memberitahukan prosedur-prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh calon orang tua adopsi.
Selain itu, dalam pelaksanaan adopsi anak Dinas Sosial juga memberikan
pengawasan dan pembinaan kepada yayasan sosial atau panti asuhan yang biasanya
melakukan adopsi anak agar pelaksanaan adopsi dapat berjalan sesuai dengan
prosedur-prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan. Tujuan utama dari Adopsi
anak adalah untuk memenuhi segala kebutuhan jasmani, rohani dan sosial agar anak
tersebut dapat berkembang dan tumbuh secara baik sehingga apa yang anak tersebut
peroleh dapat dipergunakan di masa depan mereka.
Agar proses pelaksanaan adopsi dapat berjalan dengan lancar, maka calon
orang tua adopsi harus memenuhi segala persyaratan dalam adopsi atau pengangkatan
anak. Apabila dalam proses ada syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi, maka
pelaksanaan adopsi tidak dapat dilanjutkan. Berdasarkan Ketentuan Intern Dinas
Sosial, syarat-syarat adopsi adalah sebagai berikut :
a. Persyaratan Bagi Calon Orang Tua Angkat
1) Umur calon orang tua angkat

minimal 30 (tiga puluh) tahun dan

maksimal 50 (lima puluh) tahun berdasarkan identitas diri yang sah.
Dalam syarat ini umur calon orang tua adopsi dapat dilihat melalui Kartu
Tanda penduduk (KTP), akte kelahiran atau syarat-syarat keterangan
identitas lainnya.
2) Calon orang tua adopsi telah menikah sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
Syarat ini terpenuhi dengan melihat surat atau buku nikah dari calon

Universitas Sumatera Utara

55

orang tua adopsi. Apabila dalam buku nikah tersebut tercantum bahwa
calon orang tua adopsi telah menikah lebih dari 5 (lima) tahun maka,
proses adopsi dapat segera di lanjutkan.
3) Selama menjalani pernikahan calon orang tua adopsi belum mempunyai
anak atau hanya mempunyai seorang anak. Dalam syarat ini selain dapat
dilihat dari surat Kartu Keluarga (KK), pihak yayasan bersama Dinas
Sosial juga melakukan peninjauan langsung rumah calon orang tua
adopsi. Dinas Sosial beserta yayasan akan mengunjungi langsung rumah
calon orang tua adopsi dan akan mengadakan wawancara kepada calon
orang tua adopsi, keluarga ataupun tetangga di sekitar rumah tersebut. Di
dalam pelaksanaan wawancara tersebut biasanya ditanyakan apakah calon
orang tua adopsi tersebut sudah mempunyai anak atau belum.
4) Calon orang tua adopsi dalam keadaan mampu secara ekonomi. Keadaan
mampu secara ekonomi adalah berpendapatan atau penghasilan calon
orang tua adopsi selama sebulan dikurangi pengeluaran bulanan dan
pengeluaran-pengeluaran lainnya masih bisa digunakan untuk membiayai,
merawat dan membesarkan anak yang akan diadopsi. Keadaan ini juga
didukung oleh surat keterangan mampu dari Kelurahan tempat yang
bersangkutan. Syarat ini diadakan bertujuan untuk menjamin kehidupan
dan kesejahteraan anak adopsi dalam keluarga barunya, jangan sampai
anak adopsi tersebut menjadi anak yang terlantar dalam keluarga barunya.

Universitas Sumatera Utara

56

Apabila pengangkatan anak dilakukan oleh pegawai negeri sipil, maka
persyaratan juga dilampiri daftar gaji setiap bulannya dan dalam syarat ini
tidak ditentukan besar gaji atau pendapatan calon orang tua adopsi yang
terpenting adalah pendapatan minimal di atas UMR. Dalam hal ini Dinas
Sosial juga ikut memantau dan menilai apakah calon keluarga tersebut
layak atau tidak dengan cara melihat kondisi rumah untuk memperkirakan
kemampuan ekonomi calon orang tua adopsi.
Adapun yang menjadi patokan Berikut ini patokan atau standar
perhitungan yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan ekonomi
calon orang tua adopsi :
Makan 2 x 15.000 x 30 = Rp. 900.000,Transport
Kesehatan

= Rp. 300.000,= Rp. 300.000,-

Rekreasi

= Rp. 200.000,-

Sosial, dll

= Rp. 300.000,-

Perhitungan di atas keseluruhan pengeluaran perbulan kira-kira Rp.
2.000.000,-. Jadi, bisa diperkirakan bahwa calon orang tua adopsi yang
ingin mengadopsi anak sebaiknya mempunyai penghasilan di atas 2 (dua)
juta tiap bulannya agar kehidupan dan kesejahteraan anak benar-benar
dapat terjamin.
5) Menyertakan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Universitas Sumatera Utara

57

Syarat ini dapat terpenuhi dengan meminta bantuan dan kerjasama dengan
pihak kepolisian dalam pembuatan SKCK. Apabila ada calon orang tua
adopsi yang pernah melakukan kejahatan atau pelanggaran, sebetulnya
proses adopsi tetap dapat dilaksanakan asalkan calon orang tua adopsi
tersebut mempunyai SKCK dari kepolisian. Apabila mereka mempunyai
SKCK dari kepolisian menganggap mereka sudah menjadi baik dan layak
mendapatkan SKCK. Namun apabila mereka tidak mendapatkan SKCK,
maka proses pelaksanaan adopsi tidak dapat dilanjutkan lagi.
6) Calon orang tua adopsi dalam keadaan sehat jasmani berdasarkan
keterangan dari dokter pemerintah.
Dalam syarat ini dokter pemerintah ikut berperan dalam proses
pelaksanaan adopsi anak, dokter tersebut akan memeriksa keadaan calon
orang tua adopsi, apakah calon orang tua adopsi mempunyai cacat fisik
penyakit tertentu atau tidak. Dokter tersebut akan mengeluarkan surat
keterangan yang menyatakan calon orang tua tersebut sehat jasmani atau
tidak.
7) Calon orang tua adopsi dalam keadaan sehat rohani atau mental
berdasarkan keterangan psikolog.
Selain surat keterangan dari dokter pemerintah mengenai kesehatan
jasmani calon orang tua adopsi, psikolog juga ikut menentukan dalam
kelanjutan proses adopsi anak. Psikolog akan memeriksa keadaan mental
calon orang tua adopsi, apakah calon orang tua adopsi tersebut

Universitas Sumatera Utara

58

mempunyai kelainan mental atau gangguan mental atau tidak. Setelah
pemeriksaan ini psikolog akan mengeluarkan surat keterangan yang
menyatakan kesehatan mental calon orang tua adopsi. Hal ini perlu
dilakukan, karena kondisi mental calon orang tua adopsi akan
berpengaruh dalam cara mendidik mereka dan merawat anak yang mereka
adopsi tersebut.
8) Calon orang tua adopsi wajib membuat pernyataan tertulis yang
menyatakan kesanggupan untuk :
i) Memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak yang diadopsi
secara wajar
Calon orang tua yang sudah memutuskan untuk mengadopsi anak
harus bersedia dan bertanggung jawab untuk memenuhi segala
kebutuhan anak adopsinya, agar kehidupan dan kesejahteraan anak
yang sudah diadopsi tersebut mengalami peningkatan dari kehidupan
sebelumnya.
ii) Tidak menelantarkan anak
Dalam pernyataan ini calon orang tua adopsi harus mengusahakan
supaya kehidupan anak yang sudah di adopsi tersebut tidak terlantar,
karena apa gunanya adopsi dilakukan kalau anak tersebut hidupnya
tetap

terlantar

dan

tidak

mengalami

peningkatan

dalam

kesejahteraannya.
iii) Tidak memperlakukan anak secara semena-mena

Universitas Sumatera Utara

59

Pernyataan ini dibuat agar orang tua adopsi tidak memperlakukan anak
adopsi dengan semena-mena. Mereka memutuskan mengadopsi anak
berarti mereka harus bisa berlaku seadil-adilnya, apalagi mereka
mempunyai anak kandung. Mereka harus dapat berlaku adil dan tidak
semena-mena dalam mendidik, merawat dan membesarkan. Jangan
karena anak adopsi tidak lahir dari rahim sendiri lalu mereka dapat
berlaku semena-mena dan membedakan antara anak kandung dan anak
adopsi.
iv)Memperlakukan anak adopsi sama dengan anak kandung
Dalam mendidik, merawat dan membesarkan anak adopsi dan anak
kandung sebaiknya tidak ada perbedaan. Hak-hak yang didapat

Dokumen yang terkait

Kekuatan Mengikat Surat Penetapan Pengangkatan Anak (Analisis Penetapan Pengadilan Tanjung Balai NO:221/PDT.P/2009/PN-TB)

2 35 105

TINJAUAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA KELAS IB LAHAT NOMOR 03/Pdt.P/2008/PA.Lt TENTANG PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK

0 3 15

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA.

0 0 15

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA (STUDI KASUS Pelaksanaan Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten).

0 0 14

TINJAUAN TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DALAM UPAYA PELAKSANAAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (STUDI PENETAPAN NOMOR : 111/ PDT.P/ 2007/ PN.SKA).

0 1 14

Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

0 1 14

Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

0 0 2

Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

0 0 26

Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

0 0 5

PENETAPAN HAKIM DALAM PENGANGKATAN ANAK BAGI YANG BERAGAMA ISLAM (Studi Putusan di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga) - Test Repository

0 0 207