Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah jalan yang dipilih Allah untuk melestarikan keturunan.
Diciptakannya Adam dan Hawa yang kemudian ditempatkan di bumi merupakan
cikal bakal penciptaan manusia oleh Allah SWT. Manusia menurut ajaran agama
Islam adalah sebagai pemimpin khalifah Tuhan di muka bumi. Dalam istilah agama
fungsi manusia yang demikian disebut “Khalifah”. Misi manusia sebagai khalifah
pada pokoknya adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dalam
hubungannya dengan alam semesta. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah,
sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surat Al Isra ayat 70 yang artinya, “Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan”.
Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen
masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana
seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan
masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak.
Keinginan suatu keluarga khususnya suami istri untuk mendapatkan anak
adalah keinginan yang sejalan dengan fitrah kemanusiaan sebagai bapak atau ibu,


1

Universitas Sumatera Utara

2

tidak ada penghalang dari sisi syar'i bagi keduanya untuk berikhtiar dalam batas-batas
kaidah syariat yang suci, namun terkadang ikhtiar mereka berdua belum juga
membuahkan hasil. Upaya keras pasangan yang ingin memiliki keturunan yang
dibayangi aroma kegagalan, padahal harapan hati akan buah hati sudah sedemikian
besar, pada akhirnya muncul pemikiran untuk menempuh jalan mengadopsi atau
mengangkat anak yang tidak lahir dari rahim sendiri sebagai anak dan hidup dalam
keluarga tersebut.
Pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi
Muhammad SAW. Tradisi pengangkatan anak sebenarnya jauh sebelum Islam datang
telah dikenal oleh manusia, seperti pada bangsa Yunani, Romawi, India, Bangsa Arab
sebelum Islam (jahiliah). Imam al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa
sebelum kenabian, Rasulullah SAW pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi
anaknya, bahkan beliau tidak lagi memanggilnya berdasarkan nama ayahnya

(Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah menjadi nama Zaid bin Muhammad.
Rasulullah juga mengumumkan pengangkatan Zaid sebagai anak angkatnya di depan
kaum Quraisy dan menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi.1
Kutaibah bin Sa’id menceritakan dalam sebuah riwayat yang menyatakan
bahwa “Kami tidak memanggil (Zaid Bin Haritsah) melainkan kami panggil
Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat Al-Qur’an “Panggillah mereka dengan

1

Abdul Aziz Dahlan (et. al.), Eksiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
1996, hal. 27.

Universitas Sumatera Utara

3

nama ayah kandung mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah.2 Hal ini juga
dikuatkan dengan dengan firman Allah Surah Al-Ahzab (33) ayat 4-5 yang berbunyi
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu

sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan
(yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada
dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”3
Jumhur ulama menyatakan bahwa hubungan antara ayah/ibu angkat dan anak
angkatnya tidak lebih dari hubungan kasih sayang. Hubungan ayah dan ibu angkat
dan akan angkat tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan,
nasab, dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Dengan demikian, pe-nasab-an
Zaid bin Haritsah menjadi Zaid bin Muhammad tersebut dibantah oleh ketentuan
dalam hadits dan Al Qur’an.4
Mengenai pengangkatan anak dalam perkembangan hukum di Indonesia
proses pengangkatan anak pada awalnya diatur berdasarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung tanggal 7 April 1979 No.2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak dikatakan
antara lain bahwa :


2

Muslim, Shahih Muslim, Juz 15, Hadits No. 6215, Dar Al Manar, Kairo, 2003, hal. 163,
Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI, Jakarta, 2000.
4
Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2005, hal 84.

3

Universitas Sumatera Utara

4

“Pengesahan Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia hanya dapat
dilakukan dengan suatu penetapan di Pengadilan Negeri, dan tidak dibenarkan
apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta yang dilegalisir
oleh Pengadilan Negeri”. Dengan demikian, setiap kasus pengangkatan anak
harus melalui Penetapan Pengadilan Negeri.5
Namun, dengan keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Pengadilan Agama menyebutkan ada penambahan dalam kewenangan Pengadilan
Agama tentang penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.6 Menurut
Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk dapat dijadikan dasar dan sebab
mewarisi, karena prinsip pokok dalam kewarisan Islam adalah hubungan darah atau
nasab/keturunan.7 Dengan kata lain bahwa peristiwa pegangkatan anak menurut
hukum kewarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak
angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang
yang setelah mengangkat anak tersebut.
Dengan mengangkat anak dalam suatu keluarga diharapkan supaya ada yang
memelihara di hari tua, untuk mengurusi harta kekayaan sekaligus menjadi generasi
penerusnya. Perbuatan pengangkatan anak bukanlah merupakan perbuatan yang
terjadi pada suatu saat, seperti halnya dengan penyerahan barang, melainkan
merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukkan
adanya cinta kasih, kesadaran yang penuh dan segala akibat yang ditimbulkan dari
5
Muderis Zaini,.. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Sinar Grafika, Jakarta,
1995, hal. 112.
6
Musthofa Sy., Pengangkatan Anak: Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana, Jakarta,
2008, hal 62.

7
Ibid, hal 78

Universitas Sumatera Utara

5

pengangkatan anak tersebut. Arif Gosita mengatakan bahwa masalah pengangkatan
anak menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional demi pengayoman di
bidang hukum dan kesejahteraan sosial yang bersangkutan, patut disambut dan
dihargai.8
Adapun motif atau alasan pengangkatan anak di Indonesia antara lain adalah :
1. Ingin mempunyai keturunan
2. Ingin mempunyai teman untuk dirinya sendiri atau untuk anaknya karena
kesepian;
3. Ingin mewujudkan rasa sosial, belas kasihannya terhadap orang lain, bangsa
lain yang dalam kesulitan hidup sesuai dengan kemampuannya;
4. Adanya peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pelaksanaan
pengangkatan anak;
5. Adanya orang-orang tertentu yang menganjurkan pengangkatan anak untuk

kepentingan pihak tertentu.9
Mengangkat anak merupakan suatu perbuatan hukum, oleh kerena itu
perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Salah satu akibat hukum dari peristiwa
pengangkatan anak adalah mengenai status anak angkat tersebut sebagai ahli waris
orang tua angkatnya. Status demikian inilah yang sering menimbulkan permasalahan
di dalam keluarga. Persoalan yang sering muncul dalam peristiwa gugat menggugat
itu biasanya mengenai sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut, serta
kedudukan anak angkat itu sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya.
Hal ini, tentunya akan menimbulkan masalah dikemudian hari apabila dalam
hal warisan tersebut tidak dipahami oleh anak angkat, dikarenakan menurut hukum

8
9

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hal. 42.
Shanti Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 29

Universitas Sumatera Utara

6


Islam, anak angkat tidak berhak mendapatkan pembagian harta warisan dari orang tua
angkatnya, maka sebagai solusinya menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan
jalan pemberian “Wasiat Wajibah” sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta warisan
orang tua angkatnya.
Sebagaimana telah diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (2)
yang berbunyi :
“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat maka diberi wasiat
wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.10
Pengertian pasal ini mengandung makna bahwa anak angkat harus dan tetap
mendapatkan wasiat wajibah dari orang tua angkatnya sebagai pengganti warisan
dalam menjaga keseimbangan hak dalam keluarga. Jadi, dalam hal ini anak angkat
tetap mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris dari orang tua angkatnya akan
tetapi bukan dalam bentuk warisan melainkan dalam bentuk Wasiat Wajibah
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 di atas
sebagai wujud keadilan antara sesama anggota keluarga.11
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, telah mengamanatkan
bahwa pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas


10

Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta (1991/1992), hal. 104
A. Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 254.
11

Universitas Sumatera Utara

7

memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil dan merata
dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
Pegawai negeri mempunyai peranan yang sangat penting karena pegawai
negeri merupakan unsur aparatur negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan dalam rangka mencapai tujuan negara. Kelancaran pelaksanaan
pemerintah dan pembangunan nasional terutama sekali tergantung pada kesempuraan
aparatur negara yang pada pokoknya tergantung juga dari kesempurnaan pegawai
negeri (sebagai bagian dari aparatur negara).12
Dalam menjalankan kehidupan sebagai warga masyarakat pegawai negeri sipil

juga membutuhkan kehidupan dalam berkeluarga yang lengkap, di mana di dalamnya
terdapat anggota keluarga dari sebuah perkawinan dengan adanya anak sebagai
curahan buah cinta kasih. Namun demikian, terdapat pula pegawai negeri sipil yang
telah melangsungnya perkawinan tetapi belum memiliki anak. Padahal anak sebagai
hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya
dalam suatu keluarga menurut hukum Islam. Sebagai amanah Allah, maka orang
tuanya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi
keperluannya sampai dewasa.
Kondisi ini juga mendorong pasangan suami isteri pegawai negeri
sipil tersebut melakukan juga upaya pengangkatan anak. Dalam merealisiasikan

12

SF. Marbun, dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 98

Universitas Sumatera Utara

8


pengangkatan anak tersebut pihak pegawai negeri sipil yang bersangkutan juga
berhadapan dengan statusnya sebagai pegawai negeri yang dalam membiayai
kehidupan keluarga dari gaji yang dibayarkan oleh pemerintah.
Hal ini sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 7 UU No. 43 Tahun 1999

tentang Pokok-pokok Kepegawaian bahwa :
1) Setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai
dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya.
2) Gaji yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu produktivitas
dan menjamin kesejahteraannya.
3) Gaji pegawai negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Gaji yang adil dan layak adalah bahwa gaji pegawai negeri harus mampu
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga pegawai negeri yang bersangkutan
dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas
yang dipercayakan kepadanya. Pengaturan gaji pegawai negeri yang adil
dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan kesejahteraan, baik antar pegawai negeri
maupun antara pegawai negeri dengan swasta. Sedangkan gaji yang layak
dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok dan dapat mendorong
produktivitas dan kreativitas pegawai negeri.
Dengan

kata

lain,

dalam

hal

pemeliharaan

anak

dalam

keluarga

pegawai negeri sipil menerima tunjangan dalam daftar gaji yang diperuntukkan bagi
anak. Tunjangan anak diberikan kepada pegawai negeri sipil yang telah mempunyai
anak atau anak angkat yang berumur kurang dari 21 tahun, belum pernah kawin, tidak

Universitas Sumatera Utara

9

mempunyai penghasilan sendiri dan nyata-nyata menjadi tanggungan pegawai negeri
sipil

yang bersangkutan yaitu sebesar 2% dari gaji pokok untuk tiap-tiap anak

sebanyak-banyaknya 2 orang anak sudah termasuk anak angkat. 13
Tunjangan anak yang dimaksud adalah tunjangan

yang diberikan kepada

pegawai negeri yang mempunyai anak (anak kandung, anak tiri dan anak angkat)
dengan ketentuan, antara lain :
1. Belum melampaui batas usia 21 tahun,
2. Tidak atau belum pernah menikah,
3. Tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan
4. Nyata menjadi tanggungan pegawai negeri yang bersangkutan.14
Guna memperoleh tunjangan anak dari seorang pegawai negeri sipil harus
dibuktikan dengan adanya kelangkapan berupa :
1. Surat Keterangan Kelahiran Anak dari pejabat yang berwenang pada Kantor
Catatan Sipil/lurah/camat setempat,
2. Surat Keputusan Pengadilan yang memutuskan/mensahkan perceraian dimana
anak menjadi tanggungan penuh janda/duda untuk tunjangan anak tiri bagi
janda/duda yang bercerai,
3. Surat Keterangan dari lurah/camat bahwa anak-anak tersebut adalah perlu
tanggungan si janda/duda untuk tunjangan anak tiri bagi janda/duda yang
suami/isterinya meninggal dunia,
13
14

Annonomous, Tunjangan Keluarga / KP4, http://www.inkepeg.net/ Diakses Maret 2012
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

10

4. Surat Keputusan Pengadilan Negeri tentang pengangkatan anak (hukum
adopsi) untuk tunjangan anak bagi anak angkat (apabila pegawai mengangkat
anak lebih dari 1 anak angkat, maka pembayaran tunjangan anak untuk anak
angkat maksimal 1 anak)
Hal ini tentunya bagi pegawai negeri sipil diperlukan adanya suatu upaya lain
yang dilakukan agar anak yang diangkat oleh seorang pegawai negeri sipil tersebut
dapat memperoleh tunjangan dalam daftar gaji sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kondisi inilah yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut mengenai keberadaan anak
angkat dalam keluarga pegawai negeri sipil dan kaitannya dengan keberadaannya di
dalam daftar gaji pegawai negeri sipil yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut akan ditelaah lebih lanjut tentang
pengaruh penetapan pengadilan agama terhadap hak anak angkat atas tunjangan gaji
dari orang tua angkat yang pegawai negeri sipil. Penelaahan ini nantinya akan
dilakukan melalui suatu penelitian

dengan judul “Pengaruh Surat Penetapan

Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam
Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21/Pdt.P/2010 Pengadilan
Agama Medan)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan

latar

belakang

di

atas,

dapat

dikemukakan

beberapa

permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan pengangkatan anak bagi Pegawai Negeri Sipil
muslim di Pengadilan Agama ?

Universitas Sumatera Utara

11

2. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama tentang pengangkatan anak bagi
pegawai negeri sipil muslim dilihat dari pandangan hukum Islam ?
3. Apakah akibat hukum dari surat penetapan Pengadilan Agama atas anak
angkat bagi Pegawai Negeri Sipil muslim ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengajuan pengangkatan anak bagi pegawai
negeri sipil muslim di Pengadilan Agama.
2. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Agama atas pengangkatan anak
3. Untuk mengetahui akibat hukum dari surat penetapan Pengadilan Agama
atas anak angkat bagi Pegawai Negeri Sipil muslim
D. Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1.

Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perkawinan pada khususnya,
terutama mengenai pengaruh penetapan pengadilan

terhadap hak anak atas

tunjangan gaji dari orang tua angkat yang pegawai negeri sipil.
2.

Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,
khususnya kepada pasangan pegawai negeri sipil yang akan melaksanakan
pengangkatan anak, agar lebih mengetahui tentang persyaratan yang harus

Universitas Sumatera Utara

12

dipenuhi, hak dan kewajibannya dalam pengangkatan anak serta pengaruh
penetapan pengadilan terhadap hak anak atas tunjangan gaji dari orang tua angkat
yang pegawai negeri sipil.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis
lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan,

tidak ada

kesamaan dengan penelitian ini. Namun ada beberapa judul penelitian sebelumnya
yang membahas ,masalah tentang pegawai negeri sipil, seperti penelitian yang
dilakukan oleh :
1. Rachmad Surya Lubis (002105004), Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, dengan judul “ Kedudukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Ditinjau dari Kitab UU Hukum Acara Pidana (suatu penelitian di Balai
Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Wilayah 3 Kisaran).
2. Bambang Sutedjo (027005029), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera
Utara, dengan judul “ Reformasi Kepegawaian Dalam Otonomi Daerah Studi
Pembinaaan Pegawai Negeri Sipil Kota Medan.
3. Syukri Rahmat (017011060), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera
Utara, dengan judul “ Hak Janda dari Pegawai Negeri Sipil Setelah Terjadinya
Perceraian.

Universitas Sumatera Utara

13

Dengan demikian penelitian tentang “Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan
Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Medan)”, belum pernah dilakukan. Oleh karena
itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat
dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian
yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,15 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.16 Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis.17
Apabila dikaitkan dengan judul penelitian ini yang berkaitan dengan
kewenangan Pengadilan Agama, maka pada dasarnya Pengadilan Agama memiliki
dua kewenangan, Pertama: kekuasaan relatif (relative competentie) yang diistilahkan
oleh Ridhwan Syahrani sebagai kewenangan atau kekuasaan Pengadilan Agama yang

15

M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.
Ibid., hal. 203
17
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80
16

Universitas Sumatera Utara

14

satu jenis berdasarkan daerah dan wilayah hukum,18 dan Kedua: kekuasaan mutlak
(absolute competentie).19 Dalam cakupan kekuasaan mutlak ini, tentunya dalam
Pengadilan Agama berkenaan dengan jenis perkara dan jenjang Pengadilan.
Pengadilan Agama memiliki kekuasaan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
”perkara perdata tertentu ”dikalangan”golongan tertentu yakni orang-orang Islam”.
Kekuasaan dalam lingkungan Pengadilan Agama mengalami perluasan terutama
sejak berlakunya UU No 1 tahun 1974, kemudian mengalami penyeragaman setelah
berlakunya UU No 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006, perkara perdata itu
adalah bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Kemudian dengan yang sekarang telah dirubah Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama kewenangan Pengadilan Agama juga
mengalami perluasan. Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Seperti
diungkapkan Eugen Ehrlich yang dikutip Soerjono Soekanto bahwa “…hukum yang
baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.”20 Ehrlich
juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai polapola kebudayaan (culture pattern).21

18

Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Umum, Pustaka
Kartini, Jakarta, 1990, hal. 30
19
Cik Hasan Bisri,Peradilan Agama di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal
205-206.
20
Eugen Ehrlich dalam Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam
Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 19.
21
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali, 1991, hal. 37.

Universitas Sumatera Utara

15

Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologi hukum, maka tidak mengherankan
jika dewasa ini, peradilan agama mengalami perluasan kewenangan mengingat
“…harus ada kesinambungan yang simetris antara perkembangan masyarakat dengan
pengaturan hukum, agar tidak ada gap antara persoalan dengan cara dan tempat
penyelesaiannya.”22 Dalam arti, perkembangan masyarakat yang meniscayakan
munculnya permasalahan dapat diselesaikan melalui jalur hukum, tidak dengan cara
main hakim sendiri.23
Eman Suparman mengutip pendapat Friedman mengatakan bahwa, perluasan
kewenangan Peradilan Agama juga sesuai dengan teori three elements law system
Friedman, terutama tentang legal substance. Friedman menyatakan; legal substance
adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sebuah
sistem.24 Substansi juga berarti produk yang dihasilkan, mencakup keputusan yang
dikeluarkan, aturan baru yang disusun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup
(living law), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law
in books.25
Berdasarkan kajian teori tersebut di atas, maka perluasan beberapa
kewenangan peradilan agama merupakan sebuah keniscayaan, mengingat semua yang
menjadi wewenang peradilan agama, baik menyangkut tentang perkawinan, waris,
wakaf, zakat, sampai pada masalah ekonomi syari’ah, kesemuanya merupakan
sesuatu yang telah melekat pada masyarakat muslim. Artinya, hukum Islam yang
22

David N. Schiff, “Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial”, dalam Adam Podgorecki dan
Christopher J. Whelan “Sociological Approaches to Law”, terj. Rnc. Widyaningsih dan Kartasapoetra,
Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 287.
23
Eman Suparman. Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Memeriksa Dan
Memutus Sengketa Bisnis Menurut Prinsip Syariah, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung,
2010, hal 13.
24
Ibid., hal 14
25
Ibid., hal 14

Universitas Sumatera Utara

16

menjadi bagian dari kewenangan peradilan agama selama ini telah menjadi hukum
yang hidup (living law) dan diamalkan oleh masyarakat muslim di Indonesia.
Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUHPerdata
sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum
kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas
dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang
mengatakan bahwa :
Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk
undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang
kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap
sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical
system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak
didasarkan pada penilaian baik-buruk.26
Menurut Jhon Austin sebagimana dikutip Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,
apa yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah,
sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsurunsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law, tetapi hanyalah merupakan
positive morality. Unsur perintah ini berarti bahwa pertama satu pihak menghendaki
agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak yang diperintah akan
mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga perintah
itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, keempat, hal ketiga hanya
dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.27

26

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 2002, hal. 55.
27
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,
2001, hal. 59.

Universitas Sumatera Utara

17

Hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang
dilakukannya termasuk dalam hal pengangkatan anak oleh pegawai negeri sipil dan
akibat hukumnya. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab
manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang
anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum termasuk anak yang kehidupannya dalam
suatu keluarga merupakan anak angkat.
Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan
kepada pasangan suami isteri sebagai pelengkap dalam kebahagiaan rumah
tangganya. Di dalam diri seorang anak terkandung harapan dari orang tua untuk dapat
berperan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sebagai penerus cita-cita agar
dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan baik, secara fisik, mental maupun
sosialnya.
Harapan pasangan suami isteri sebagai orang tua akan terwujud apabila
pasangan suami isteri tersebut dikaruniai keturunan (anak). Memiliki keturunan
(anak) merupakan tujuan utama bagi pasangan suami isteri untuk dapat melengkapi
kebahagiaan hidup perkawinannya. Oleh karena itu, pasangan suami isteri yang telah
lama menikah namun belum juga dikaruniai keturunan (anak), maka solusinya adalah
dengan mengangkat anak.
Di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak disebutkan Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

Universitas Sumatera Utara

18

bertanggung jawab atas perawatan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.
Selanjutnya di dalam Pasal 39 Undang-Undang Perlindungan Anak
dinyatakan bahwa Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pengangkatan anak ini tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya dan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut
oleh calon anak angkat.
Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Pasal 1 angka 1 disebutkan Anak angkat
adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua,
wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,
dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 nya disebutkan Pengangkatan anak adalah
suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkat.

Universitas Sumatera Utara

19

Pengangkatan anak juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan mengambil
anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri,
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum
yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.28 Perumusan ini adalah perumusan
umum untuk pengangkatan anak yang mempunyai beberapa bentuk perwujudan yang
berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat tertentu pihak-pihak yang
bersangkutan. Selanjutnya apabila masalah pengangkatan anak ini diamati menurut
proporsi yang sebenarnya secara mendetail, maka akan ditemukan hal-hal yang
menjadi perhatian pengangkatan anak dan menyangkut hukum pengangkatan anak.
Di dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun
2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan bahwa Pengangkatan anak
terdiri atas :
1. Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan
2. Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara
Asing.
Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia meliputi :
1. Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan
2. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

28

Rianto Sitorus, Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara
Indonesia Oleh Warga Negara Asing (SK Menteri Sosial RI NO.13 / HUK / Tahun 1993 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak - Study Di Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, FH,
USU Medan, 2008.

Universitas Sumatera Utara

20

Dalam proses pengangkatan anak, anak tidak mempunyai kedudukan yang sah
sebagai pihak yang membuat persetujuan. Anak merupakan objek persetujuan yang
dipersoalkan dan dipilih sesuai dengan selera pengangkat. Tawar menawar seperti
dalam dunia perdagangan dapat selalu terjadi. Pengadaan uang serta penyerahannya
sebagai imbalan kepada yang punya anak dan mereka yang telah berjasa dalam
melancarkan pengangkatan merupakan petunjuk adanya sifat bisnis pengangkatan
anak.29 Sehubungan dengan ini, maka harus dicegah pengangkatan anak yang
menjadi suatu bisnis jasa komersial. Karena hal ini sudah bertentangan dengan azas
dan tujuan pengangkatan anak.
Hal ini tentunya juga tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Oleh karena
itu, tidak boleh menutup mata akan adanya kasus pengangkatan anak yang dalam
batas-batas tertentu merupakan suatu keberhasilan peningkatan kesejahteraan anak.
Kelihatan jelas perbaikan segi fisik, meteriilnya. Hal yang sulit diketahui, dijajaki
adalah peningkatan segi mental, spiritual kesejahteraannya. Kecukupan kemakmuran
materiil tidak dapat dipakai sebagai ukuran kepastian adanya kebahagiaan,
kemakmuran spritual yang lestari. Permasalahan mental, spritual akan timbul apabila
anak sudah mulai berpikir kritis. Hal ini apabila tidak ditangani secara bijaksana akan
menimbulkan pertentangan-pertentangan antar orang tua dan anak angkat,
yang dapat berakibat perpecahan hubungan orang tua dan anak yang lebih
muda. Salah satu faktor pendukung perpecahan ini adalah hubungan orang tua dan
anak yang tidak asli serta tidak alamiah (keputusan pengadilan antara lain). 30

29

30

Rianto Sitorus, Op.Cit, hal 12.
Shanty Delliana, Op.Cit, hal. 34

Universitas Sumatera Utara

21

2.

Konsepsi
Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang

akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu
dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau
definisi operasional sebagai berikut :
1.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.31 Di dalam suatu perkawinan yang sah
sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan menganut prinsip
bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah anak kandung yang
sah yang diakui oleh Negara dan terdaftar sebagai anak yang lahir dari
perkawinan yang sah dengan bukti akta kelahiran yang dikeluarkan oleh lembaga
catatan sipil.32

2.

Anak angkat adalah Anak kandung orang lain yang diambil (dijadikan) anak oleh
seseorang. Pengangkatan anak orang lain oleh seseorang yang menjadikan anak
adopsi (anak angkat) itu berstatus sebagai anak kandung bagi pengangkat, baik
dalam lingkungan Hukum Adat maupun dalam lingkungan Hukum Perdata
berdasarkan undang-undang.33

31

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 5.
33
Ibid., hal. 5.
32

Universitas Sumatera Utara

22

3.

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk
memberi status/ kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti
anak kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak atau di
jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang
anak laki-laki atau seorang anak perempuan.34

4.

Surat Penetapan Pengadilan adalah adalah surat penetapan yang dikeluarkan
pengadilan untuk mengasahkan adanya peristiwa pengangkatan anak.

5.

Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan
diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan
digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

6.

Pengadilan Agama adalah bagian dari peradilan umum yang berwenang
mengadili permasalahan hukum yang menyangkut hubungan hukum bagi warga
Negara Indonesia yang beragama Islam.

G. Metode Penelitian
1.

Sifat dan Jenis Penelitian
Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan

penelitian deskriptif analitis yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis
tentang Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi
Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji di Pengadilan Agama Medan.
Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,

34

B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Melalui Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya
Di Kemudian Hari, Rajawali, Jakarta, 1983, hal . 45. Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Universitas Sumatera Utara

23

sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.35 Menggambarkan
masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah tersebut, sehingga dapat
ditarik kesimpulan.
Namun demikian, pnelitian ini juga didasarkan pada pendekatan yuridis
normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu pada normanorma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada
suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenarankebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).
Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau
dilakukan hanya pada peraturan perundang-undanagn yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek
normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup di
tengah-tengah masyarakat.
2.

Sumber data
Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang

diperoleh dari :
1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :
a. Peraturan perundang-undangan
35

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 43.

Universitas Sumatera Utara

24

b. Teori hukum perkawinan dan keluarga
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan
hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan,
tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya
yang relevan dengan peneltian ini.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan
hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan
hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa
Indonesia.
Selain itu, sebagai data pendukung diperoleh dari register perkara Pengadilan
Agama Medan tentang pengangkatan anak dan pengaruhnya bagi pegawai negeri
sipil muslim dalam daftar gaji.
3.

Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai

berikut :
a.

Penelitian kepustakaan (library research)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari
kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah,
peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang
diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan

pengaruh surat penetapan

Universitas Sumatera Utara

25

pengadilan atas warga negara Indonesia beragama Islam bagi pegawai negeri
sipil dalam daftar gaji di Pengadilan Agama Medan.
b.

Penelitian Lapangan (field research)
Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang
berkaitan dengan materi penelitian yaitu tentang pengaruh surat penetapan
pengadilan atas warga negara indonesia beragama Islam bagi pegawai negeris
sipil dalam daftar gaji di Pengadilan Agama Medan.
Penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data
sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian untuk mendukung analisis
permasalahan yang telah dirumuskan. Data sekunder tersebut diperoleh dari
register perkara Pengadilan Agama Medan. Metode yang digunakan yaitu
wawancara dengan narasumber baik responden maupun informan. Responden
yaitu menyatakan responden merupakan

pemberi

informasi

yang

diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan. 36 Informan adalah sumber
informasi untuk pengumpulan data. Informan juga dapat didefinisikan
sebagai orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan
masalah objek penelitian. 37
4.

Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka

alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
36

Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 71,
37
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 4

Universitas Sumatera Utara

26

a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang
perjanjian perkawinan. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang
penting yang berhubungan dengan pengaruh surat penetapan pengadilan atas
warga negara indonesia beragama islam bagi pegawai negeri sipil dalam
daftar gaji di Pengadilan Agama Medan
b. Wawancara38 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide)39.
Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan
dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth
interview).
5.

Analisis Data
Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder

secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun
secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan
sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh
kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan
pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan
jawaban yang jelas dan benar.

38

Herman Warsito, Op.Cit, hal 71.
Ibid, hal. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara,
menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan.
Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.
39

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Kekuatan Mengikat Surat Penetapan Pengangkatan Anak (Analisis Penetapan Pengadilan Tanjung Balai NO:221/PDT.P/2009/PN-TB)

2 35 105

TINJAUAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA KELAS IB LAHAT NOMOR 03/Pdt.P/2008/PA.Lt TENTANG PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK

0 3 15

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA.

0 0 15

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA (STUDI KASUS Pelaksanaan Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten).

0 0 14

TINJAUAN TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DALAM UPAYA PELAKSANAAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (STUDI PENETAPAN NOMOR : 111/ PDT.P/ 2007/ PN.SKA).

0 1 14

Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

0 1 14

Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

0 0 2

Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

0 0 50

Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21 Pdt.P 2010 Di Pengadilan Agama Medan)

0 0 5

PENETAPAN HAKIM DALAM PENGANGKATAN ANAK BAGI YANG BERAGAMA ISLAM (Studi Putusan di Pengadilan Negeri Salatiga dan Pengadilan Agama Salatiga) - Test Repository

0 0 207