Kekhawatiran Pada Kebebasan Pers Saat in

Kekhawatiran Pada Kebebasan Pers Saat ini
17 12 2014 https://ruryalif.wordpress.com/2014/12/17/kekewatiran-pada-kebebasan-pers-saat-ini/

The freedom of
the press – Sistem pers memang tidak terlepas hubungannya dengan sistem sosial dan sistem
politik dari suatu masyarakat atau bangsa, karena hubungan pers itu adalah dengan
pemerintah dan masyarakat, di mana hubungannya atau interaksinya itu tidak bisa
dihilangkan. Jadi sistem pers itu tidak akan terlepas dari pengaruh pemikiran atau filsafat
yang mendasari sistem masyarakat dan sistem pemerintahan, dimana pers itu berada dan
beroperasi.
(F. Rachmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers, Jakarta: Gramedia, hlm. 14.)

Sebait kutipan diatas dari F. Rachmadi diatas untuk mengambarkan fungsi media pers yang
merupakan pilar ke 4 dari sistem demokrasi kita. Tetapi sayangnya di era reformasi peran
yang tinggi tersebut tidak lagi sejalan dengan prakteknya sebagai sarana penyeimbang, dan
juga kontrol publik. Apakah benar proses sosial dan politik sedang berlangsung ke arah yang
lebih liberal, dari yang sebelumnya bercorak otoritarian?
Di masa Orde Baru dahulu, pers diatur dengan Undang-undang No. 11 Tahun 1966, Undangundang No. 4 Tahun 1967 dan Undang-undang No. 21 Tahun 1982 yang merupakan produk
represif pada saat itu, sedangkan di era Reformasi setelah lengsernya Soeharto kehidupan
pers diberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang penuh dengan
euforia.

Di era Reformasi sistem pers menuju ke sistem pers bebas (liberal) yaitu dengan adanya
euforia kebebasan yang kebablasan karena tidak ada lagi ketentuan regulasi yang represif.
Walaupun sekarang ini sudah muncul UU 32 tahun 2002 tentang Media Penyiaran elektronik.
Dalam undang-undang ini tidak mengatur hubungan yang jelas antara pemilik dan pengelola
berbeda dengan UU Pers. Sehingga dalam kasus yang berhubungan dengan media Pers masih
banyak dipergunakan KUHP, seperti dalam kasus Olga. Berikutnya, UU 11 tahun 2008 yang

mengatur ITE dan sangsinya sudah ada seperti pada jaman SBY yang situsnya di Hack orang.
Akhirnya yang melakukan hal tersebut diberikan sangsi pidana dan yang terakhir yang
menimpa JKW, tetapi kemudian dimaafkan. UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi publik dan terakhir UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Pertanyaannya kemudian apakah persnya ini sudah sejalan dengan keinginan masyarakat
pada umumnya. Hal ini bisa kita lihat dari cita -cita Commission on The Freedom of The
Press di Amerika sebagai salah satu tolak ukur kebebasan pers. Komisi ini mengawatirkan
kondisi di Amerika pada saat itu meliputi hak akses terhadap pers, mercenary; atau media
hanya dikuasai oleh segelintir orang yang mempunyai uang. Akibatnya banyak pers yang
dihujat oleh masyarakat. Bagaimana dengan di Indonesia apakah masih relefan hal diatas.
Mari kita lihat perkembangannya sejak bergulirnya kebebasan pers di era reformasi.
1. Berdasarkan data yang dihimpun Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pada era

Reformasi terjadi kenaikan jumlah penerbitan yang sangat signifikan setelah keran
kemerdekaan pers dibuka tahun 1999. Pada tahun 1997, jumlah media cetak di
Indonesia memiliki 289 penerbitan, kemudian pada tahun 1999 jumlah penerbitan
melonjak drastis menjadi 1687.
2. Gejala kemerdekaan pers di Indonesia, tercermin pula melalui hasil survey organisasi
Reporter Without Border, di Paris tahun 2002, bahwa kemerdekaan pers di Indonesia
terbaik di Asia Tenggara.
Tetapi disamping makin beragamnya media yang hadir, muncul kekewatiran.
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), PWI dan MPPI dengan anggota Panitia Ad Hoc I
BP MPR masih menunjukkan keragu-raguan dan kecemasan terhadap kebebasan pers.
Mereka mengkhawatirkan kebebasan pers akan menjadi sebebas kebebasan pers itu
perlu diatur. Reaksi ini merupakan rejuvenasi konsep pengekangan pers oleh
pemerintah pra-transisi. Kekhawatiran tersebut senada dengan kecurigaan pemerintah
bahwa kebebasan pers yang tanpa kontrol telah melahirkan satu model kebebasan pers
yang saat ini sudah berlebihan dan menjadi sumber kekuasan baru. Hal ini antara lain
di tandai dengan penyerangan terhadap harian Jawa Post di Surabaya oleh Banser
(Barisan Serba Guna) Anshor yang merupakan pendukung Presiden Abdurrahman
Wahid.
2. Menurut catatan AJI. Periode 2004 menyebutkan, terdapat 32 kasu s gugatan terhadap
media dan jurnalis, yang meliputi: pertama, kasus Redaktur Harian Rakyat Merdeka,

Supratman yang mempublikasikan isi berita berupa penghinaan terhadap Presiden.
Akhirnya terbukti dihukum dengan KUHP, dengan masa hukuman 6 bulan.
3. Kemudian majalah Tempo dua tahun terakhir (2003 -2004) harus bolak -balik ke
pengadilan guna melayani kasus yang dibawa ke meja hijau oleh pengusaha Tomy
Winata, akibat pemberitaan di majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 yang berjudul
”Ada Tomy di Tenah abang”.
4. Pada tahun 2013, wartawan masih rentan dijadikan sasaran penganiayaan dan
perampasan atribut atau alat liputan. Seperti penganiayaan jurnalis foto Riau Pos,
Didik Herwanto. Dilansir dari jaringannews.com Didik ditendang dan dibanting oleh
terdakwa Letkol Robert Simanjuntak saat memotret puing pesawat Hawk 200 yang
jatuh di Jalan Amal Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Kampar, Oktober tahun lalu.
Selain Didik, Aurel Do’o seorang kontributor TVRI Kabupaten Ngada, Nusa
Tenggara Timur (NTT), juga mengalami peristiwa yan g membahayakan dirinya
setelah memberitakan Bupati setempat berselingkuh dengan pembantunya. Aurel

diancam akan dibunuh oleh kelompok pendukung Bupati Ngada, Marianus Sae.
Kemudian Edi Winarko seorang jurnalis media online di Jember juga mengalami
penganiayaan oleh warga yang merasa tersinggung terhadap pertanyaan korban terkait
isu ‘haji palsu’nya. Ahmad Kholil yang merasa tersinggung merasa gelap mata dan
menganiaya Edi dengan parang.

5. Bahkan sejak 1996 sampai saat ini sudah terjadi 10 kasus pembunuhan, du a di
antaranya terjadi di masa Orde Baru. Kasus pertama adalah pembunuhan terhadap
Fuad Muhammad Syarifudin alias Udin jurnalis Harian Bernas Yogyakarta, dia
dianiaya pada 13 Agustus 1996 dan meninggal. Sampai saat ini belum terungkap. Hal
yang sama terjadi dalam kasus pembunuhan wartawan Sun TV Maluku, Ridwan
Salamun. Naimullah, jurnalis Sinar Pagi, Agus dari Asia Pers, Muhammad Jamaluddi
dari TVRI, Ersa Siregar dari RCTI, Herliyanto Tabloid Delta Pos Sidoarjo, dan Alfred
Mirulewan dari Tabloid Pelangi. Dari sederet kasus itu hanya satu kasus terungkap,
yaitu pem-bunuhan wartawan Radar Bali Anak Agung Prabangsa. Sedangkan tujuh
kasus lainnya hingga kini masih gelap.
6. Kasus terbaru di tahun 2014 adalah Penetapan Pemimpin Redaksi Jakarta Post
sebagai tersangka karena laporan Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh
Jakarta Edy Mulyadi. Edy menyebut, permintaan maaf dari Meidyatama tak cukup.
Menurut dia, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post menista agama dan kasus tersebut
harus dibawa ke ranah hukum pidana.
Akibatnya kondisi pers kita di penghujung tahun 2014 terus mengawatirkan berdasarkan
survei global yang dilakukan oleh lembaga pemantau media Reporters Without Borders
(RSF-RWB), dari 180 negara, ternyata Indonesia berada di peringkat 132 di Indeks
Kebebasan Pers Dunia. Kebebasan pers Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Timor
Leste di peringkat 77. Adapun Malaysia berada di posisi 147, Myanmar peringkat 145 dan

terburuk Singapura di peringkat 150. Adapun Cina diperingkat 175.
Berawal dari sinilah muncul berbagai ancaman terhadap pers, seperti isu SARA, tekanan
massa, bahkan legal resentment (ancaman gugatan), business interest (kepentingan bisnis),
suap dan sebagainya. Satu hal yang kini menonjol sebagai ancaman adalah kekecewaan
terhadap pers bebas, yang jika dicermati bisa menjadi satu opini publik luas di masyarakat,
yang disebut pers kebablasan. Fenomena kebebasan pers ini harus dilihat dalam
keseluruhannya, dalam arti kebebasan pers dilihat dalam kaitannya dengan nilai-nilai kultur,
sosial, politik dan ekonomi semua persoalan dalam negara yang kita alami sekarang adalah
suatu harapan yang berlebihan.
Selain itu bentuk-bentuk kriminalisasi menjadi ancaman terhadap kebebasan pers, padahal
seharusnya kalaupun terdapat pemberitaan yang keliru, dapat mengikuti mekanisme yang
diatur dalam UU Pers, seperti hak jawab dan hak koreksi; bukan dengan cara memenjarakan
wartawan, itu yang menjadi suatu kekeliruan Kasus kriminalisasi terhadap pers dapat dilihat
pada Kasus Tempo, Rakyat Merdeka, Radar Yogya, kemudian kasus Suara Indonesia Baru
(SIB) Medan, yang menurunkan serial investigasi tentang judi illegal yang dibekingi oleh
pejabat Sumatera Utara. Kemudian sekelompok anak muda yang dipolitisir masuk dan
mengobrak-abrik SIB. Kasus-kasus kriminalisasi terhadap pers merupakan masalah yang
sangat dirisaukan oleh kalangan jurnalis dan media.
Di sisi lain, kebebasan pers yang juga mengundang hal yang mengkhawatirkan. Dalam
beberapa tahun terakhir pers di Indonesia cenderung tak lagi menjadi corong agenda-agenda

publik. Hal ini setelah sejumlah grup media dikuasai para politisi sebagai pemiliknya. Pers,

terutama yang dimiliki orang partisan, pemberitaannya cenderung partisan pula. Hal ini
memuncak saat era pemilu presiden seperti sekarang ini. Beberapa media mengusun g agenda
yang mencerminkan agenda politik si empunya. Grup Metro TV mengusung agenda Surya
Paloh untuk capres Jokowi-JK. Grup TV One mengusung agenda Aburizal Bakrie untuk
Prabowo-Hatta. Demikian pula media di grup MNC mengusung agenda Hary Tanoe untuk
Prabowo-Hatta. Tak beda pula dengan untuk pers cetak main online yang masuk dalam grup
di atas. Jauh sebelum pemilu 2014 yang lalu, majalah Tempo lewat edisi 18 Mei 2008 pun
memuat artikel yang berjudul “Hidup Adalah Beriklan”. Para politikus tersebut benar-benar
memanfaatkan media sebagai sarana untuk mempromosikan diri mereka.
Publik tak lagi memiliki hak penuh untuk mendapatkan informasi yang benar. Ini karena
informasi yang disampaikan “dimasak” sedemikian rupa sehingga publik merasakan racikan
informasi dengan “rasa” pemiliknya. Kepentingan -kepentingan privat disampaikan melalui
media yang sebenarnya milik publik. Sebab meski secara modal media massa adalah milik
privat, dalam pemberitaan pada hakekatnya media adalah milik publik. Sehingga apapun
yang diberitakan, seharusnya mencermikan kepentingan publik. Tapi siapa yang bisa
mencegah pemilik-pemilik modal itu tidak menyalahkan gunakan medianya untuk
kepentingan dirinya? Ancaman kebebasan pers berpindah dari penguasa ke pemilik modal.
Sebagai dikutip diatas media sebagai pilar ke empat harus mampu menjadi agen of change,

mengimplementasikan kesejahteraan rakyat dan pencerdasan kehidupan bangsa. Dengan
prinsip-prinsip indepeden, cover both sides, bebas dari campur tangan modal dan politik.

Thomas Jeffersen, pernah mengatakan : “ Lebih baik memiliki pers tanpa pemerintah,
daripada memiliki pemerintah tanpa pers.” (Presiden Amerika ke 3)
Kini ketika kontrol politik melonggar dan kebebasan pers cukup besar, tantangan utama
media pers adalah kontrol dari pemilik modal. Watak pers sebagai industri dewasa ini sangat
rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran etika jurnalistik. Lebih -lebih mengingat persaingan
antar lembaga pers/media yang begitu ketat sehingga masing-masing lembaga media/pers
berusaha menarik audiens dengan berbagai cara. Independensi lembaga pers dan idealisme
jurnalis kini benar-benar diuji. Pertanyaannya, apakah kode etik jurnalistik mampu
menangkal kecenderungan dampak buruk dari industrialisi pers tersebut?
Mengenai soal kelembagaan ini ada satu masalah yang masih krusial di negeri ini yaitu soal
kepemilikan perusahaan media khususnya media televisi. Ada kecenderungan kepemilikan
media televisi di Indonesia mengarah pada bentuk oligopolis di mana lembaga-lembaga
media yang ada hanya dimiliki oleh beberapa pihak. Hal ini merupakan satu tantangan
tersendiri bagi dunia jurnalistik untuk mewujdukan pluralitas media yang menjamin
penyebaran infromasi secara lebih demokratis.
Selain itu banyak pemberitaan yang menurut masyarakat diluar kaidah jurnalistik dan etika
jurnalistik. Misalnya munculnya istilah junk food news, yaitu berita yang dianggap

overxposed tinggi dalam intensitas peliputan, tapi tak selalu penting atau punya relevensi bagi
konsumennya, di Indonesia contohnya adalah Infotainmen tentang selebritis.
Karena berorientasi pada profit maka, pemberitaan yang dibuat oleh media massa juga
cenderung memberitakan isu-isu yang popular dikalangan masyarakat. Contoh masih ingat
pemberitaan Kasus Ryan. Sejak terkuatnya Kasus Ryan, hampir seluruh media massa

nasional mengulas kasus tersebut. Bahkan Kasus Ryan juga masuk dalam infotainment yang
biasanya mengulas tentang kehidupan seleberiti.
Oleh sebab itu jurnalis selain memahami etika jurnalistik, juga harus memahami prinsip pers
yang berlaku umum di dunia, salah satunya adalah 9 elemen jurnalis Bill Kovach dan Tom
Rosensteil yaitu:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka (etika)

Tugas kuliah:Media Law, Ethics, and Policy

Sumber:
1.
http://www.rri.co.id/post/berita/77602/nasional/kasus_pembunuhan_wartawan_tidak_tuntas_
penyebab_indeks_kebebasan_pers_indonesia_terpuruk.html
2. http://www.tempo.co/read/news/2014/12/11/078627972/Dewan -Pers-Kasus-The-JakartaPost-Sudah -Selesai
3. Winarto, senior news producer RCTI, lulusan Pascasarjana Sosiologi Universitas Indonesia
4. http://legatuspropraetor.wordpress.com/2011/11/12/demokrasi-dan-kebebasan-pers/
5. http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/sembilan -elemen -jurnalisme-pluselemen.html
6. http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/12/10/masalah -jurnalisme-diindonesia-615170.html
7. http://www.rmol.co/read/2012/05/06/62897/45-Kasus-Tindak-Kekerasan -MenghantuiMisi-Wartawan8. LBH PERS

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52