Penyalahgunaan Wewenang oleh Lurah Dalam Membuat Surat Keterangan Tanah Yang Berfungsi Sebagai Alas Hak Atas Tanah Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 593 5707 SJ, TAHUN 1984)

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah adalah suatu benda yang memiliki nilai ekonomis tinggi, karena tanah
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang sangat penting.
Tanah sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa merupakan sumber daya alam
yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhannya, baik yang langsung
untuk kehidupannya seperti untuk bercocok tanam atau tempat tinggal, maupun untuk
melaksanakan usaha, seperti untuk tempat perdagangan, industri, pertanian
perkebunan, pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana lainnya.1
Kebutuhan akan tanah semakin lama semakin meningkat karena tingginya
tingkat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, sementara jumlah tanah yang
tersedia semakin menyempit karena luas tanah bersifat tetap dan terbatas.
Kedudukan tanah memiliki nilai yang cukup penting bagi manusia, karena
merupakan satu-satunya kekayaan yang dalam keadaan apapun akan tetap dalam
keadaan semula. Suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal keluarga
dan masyarakat, memberikan penghidupan dan merupakan tempat para warga yang
meninggal dunia dikuburkan.
Menurut kepercayaan kelompok masyarakat adat, tanah merupakan pula

tempat tinggal para dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam.2 Tanah

1

Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2005, hlm. 1
Busher Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Cetakan Ketujuh,
Jakarta, 2000, hlm. 103
2

1

Universitas Sumatera Utara

2

dianggap begitu penting sehingga timbullah naluri sebagai manusia untuk
mempertahankan tanahnya, karena tanah itu diyakini sebagai wilayah kekuasaannya.
Tingginya tingkat kebutuhan akan tanah akan menimbulkan semakin tinggi
pula permintaan akan tanah. Permintaan yang tinggi tanpa diimbangi oleh
ketersediaan barang yang cukup di lapangan hanya akan melahirkan krisis dan

pergesekan, jika hal ini tidak dibenahi maka sengketa tanah akan lebih parah lagi
pada masa mendatang sebab laju pertumbuhan penduduk cenderung tidak terkendali.
Di Indonesia masalah sumber daya alam diatur dalam konstitusi sebagaimana
terlihat dalam Pasal 33 ayat

(3) UUD 1945. Pasal ini secara prinsip memberi

landasan hukum bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.3 Lebih lanjut, tanah diatur dalam Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA No. 5 Tahun 1960) Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan, “bahwa”,
bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam didalamnya pada tingkat yang
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Berdasarkan hal tersebut, maka negara selaku badan penguasa atas bumi, air,
ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya berwenang untuk
mengatur dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Maksud Pasal 2 Ayat (1) UUPA adalah negara mempunyai kekuasaan mengatur
tanah-tanah bebas yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum akan langsung
dikuasai oleh negara.4


3

Bachtiar Effendie, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 2.

4

Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia, dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan,
Alumni, Bandung, 1993, hlm. 2

Universitas Sumatera Utara

3

UUPA selanjutnya menyatakan bahwa negara menentukan macam-macam
hak atas tanah yang diberikan kepada orang maupun kepada badan hukum, oleh
karena itu setiap pemegang hak atas tanah tidak akan lepas dari hak penguasaan
negara karena kepentingan nasional berada di atas kepentingan individu atau
kelompok, walaupun bukan berarti bahwa kepentingan individu atau kelompok dapat
dikorbankan begitu saja dengan alasan untuk kepentingan umum.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah

bagi seluruh rakyat Indonesia maka Pemerinatah akan melakukan pendaftaran tanah
di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang menyebutkan bahwa untuk menjamin
kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.5
Adapun Peraturan Pemerintah, disingkat PP, untuk pelaksanaan pendaftaran
tanah sebagaimana yang diatur dalam UUPA adalah PP Nomor 10 Tahaun 1961 yang
mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1961, yang kemudian disempurnakan dengan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 1997, yang berlaku pada tanggal 8
Oktober 1997.
Sebelum UUPA berlaku, Pendaftaran tanah yang dikenal saat ini adalah hanya
pendaftaran untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Barat, seperti hak Eigendom, Opstal dan sebagainya yang
pendaftarannya dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster).
5

A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Madju,
Bandung 1993, hal. 133.

Universitas Sumatera Utara


4

Pendaftaran tanah untuk golongan Bumi Putera tidak ada suatu ketentuan
hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform yang mengatur, walaupun ada kita
temukan beberapa pendaftaran secara sporadis, akan tetapai masih sederhana dan
belum sempurna, seperti Grant Sultan, Grant Deli Mastchappij, dan lain-lain yang
sudah berkembang dan menirukan sistem pendaftaran kadaster.
Pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana
diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 belum dapat terlaksana sebagaimana
mestinya. Hal ini disebabkan beberapa kendala seperti luasnya letak geografis
Indonesia, sehingga memakan waktu yang lama untuk dilaksanakannya pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Indonesia. Faktor lainnya yang menjadi kendala pendaftaran
tanah yang cukup tinggi adalah tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih
rendah dan sulitnya pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agraria nasional yang
berlaku di Negara Republik Indonesia. Undang-Undang (UU) pengaturan ini
mengatur jenis-jenis hak atas tanah dalam aspek perdata dan aspek administrasi yang
berisi politik pertanahan nasional, yang semuanya bertujuan untuk menciptakan
unifikasi hukum pertanahan di Indonesia. UUPA merupakan hukum agraria nasional

yang di-saneer dari hukum adat.6
Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia
sehingga diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai landasan konstitusi

6

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
Djambatan, Jakarta 1989, hlm. 3

Universitas Sumatera Utara

5

Negara Republik Indonesia, dalam hal ini negara mempunyai wewenang untuk
mengatur tentang hak-hak atas tanah dan melayani rakyat di bidang pertanahan.
Kewenangan di bidang pertanahan tersebut dijalankan oleh Badan Pertanahan
Nasional yang mempunyai kantor pusat di Jakarta, kantor wilayah di setiap propinsi
dan kantor-kantor pertanahan di setiap kota atau kabupaten.
Sungguh sangat disayang ternyata tidak adanya data yang akurat baik di
pengadilan maupun di Badan Pertanahan Nasional (BPN) membuat sengketa tanah

menjadi semakin parah, ditambah lagi dengan tidak adanya otoritas tunggal yang
berwibawa dalam penanganan sengketa, membuat para calo tanah semakin leluasa
mengail di air keruh. Carut – marut seperti ini membuat sengketa bisa tak berujung.
Munculnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, membuat masalah semakin rumit. Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1), huruf (k)
yang mengatur bahwa pelayanan bidang pertanahan merupakan urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah, propinsi/kabupaten/kota yang dilimpahkan
kepada pemerintah daerah ternyata menimbulkan masalah baru, yaitu mengenai
bentuk lembaga, pembagian tugas, tata cara kerja serta pelayanan bidang pertanahan
agar UUPA dapat dilaksanakan secara utuh dan sejalan dengan UU No. 32 Tahun
2004. Kondisi ini justru dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk memanfaatkan
kekosongan hukum sehingga terjadilah peningkatan jumlah sengketa tanah.
Ketidakjelasan terhadap aturan pada Undang-Undang ini mengakibatkan kepastian

Universitas Sumatera Utara

6

hukum menjadi tidak jelas, karena pemerintah daerah boleh membuat tafsiran
sendiri.7

Bukan hanya sekedar penafsiran, tapi Kepala Desa/Lurah maupun Camat
dapat membuat surat untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah yang mereka kuasai
apalagi di Indonesia masih banyak tanah yang belum terdaftar di kantor pertanahan
maka masih banyak kita dapati di tengah-tengah masyarakat, surat-surat yang dibuat
oleh para notaris ataupun surat-surat yang dibuat oleh para camat dengan berbagai
ragam, tujuannya adalah untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang
mereka kuasai, walaupun tanpa melalui prosedur peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Tanah-tanah yang belum dikonversi, maupun tanah-tanah yang dikuasai
Negara kemudian diduduki oleh rakyat baik dengan sengaja ataupun diatur oleh
kepala-kepala desa dan disahkan oleh para camat, seolah-olah tanah tersebut telah
merupakan hak seseorang ataupun termasuk kategori hak-hak adat.Di daerah
Sumatera Utara dikenal pula “Akta Camat” (surat yang dibuat oleh Camat baik
sebagai bukti hak ataupun peralihan hak yang dibuat oleh atau di hadapan Camat).8
Namun sampai sekarang masih dipermasalahkan hak-hak dari para camat
tersebut dalam membuat akta peralihan ataupun validitasnya oleh karena tidak ada
suatu peraturan pun yang mendukungnya, dan Camat bukanlah pejabat umum yang
berwenang membuat akta otentik, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Kepala

7


Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, KPG
(kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 20012, hlm. 8
8
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, cv. Mandar Maju, hal. 3

Universitas Sumatera Utara

7

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
Sementara Kepala desa/Lurah dalam prakteknya jarang atau bahkan tidak
sempurna mencatat ataupun memelihara daftar induk atau mencatat semua peralihan
tersebut, dan yang ada hanya pengetahuan umum bahwa tanah tersebut memang milik
seseorang dan berbatasan dengan tanah-tanah orang lain menurut patok-patok yang
telah mereka sepakati.
Akibat peraturan-peraturan yang telah diterbitkan dalam pengelolaan
keagrarian banyak yang tidak dikuasai oleh para Camat, hal ini terbukti ada banyak
kesalahan didalam pembuatan akta tanah yang mereka lakukan. Kenyataan ini tentu
merugikan masyarakat. Sudah selayaknyalah aparat desa/lurah beserta Camat

memperluas pengetahuannya dibidang keagrariaan atau pertanahan terutama di
bidang pendaftaran tanah agar tujuan pendaftaran tanah yang mereka dukung dapat
tercapai dan terlaksana hingga terbitnya sertipikat yang banyak didambakan oleh
masyarakat pemegang hak atas tanah yang tanahnya masih belum terdaftar di kantor
pertanahan seperti apa yang diatur oleh Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menerangkan bahwa “buku
tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik
suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya”.9 Sertipikat tanah yang
diberikan itu akan memberikan arti dan peranan penting bagi pemegang hak yang
bersangkutan yang berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah.
9

FX. Djumiadji, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Mandar Maju, Jakarta, 1995, hal.13.

Universitas Sumatera Utara

8

Namun dengan adanya sertipikat bukanlah jaminan bahwa tanah tersebut tidak
ada sengketa, tetapi dengan adanya sertipikat tersebut dapat dijadikan sebagai

pegangan dan kepastian hak atas subjek tanah tersebut bahwa tanahnya telah diukur,
telah ditentukan batas-batasnya oleh yang berwenang untuk itu dan telah memberikan
hak prerogatif terdaftar atas nama pemilik.
Apabila seseorang bermaksud untuk mengalihkan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dimilikinya, biasanya dapat dilakukan dengan cara jual-beli, hibah,
tukar-menukar, pemisahan, pembagian harta warisan dan sebagainya.
Untuk memperoleh kekuatan hukum dalam mengalihkan hak atas tanah, maka
sebaiknya semua perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan Notaris dan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), agar akta yang dibuat menjadi otentik.
Apabila peralihan hak atas tanah tidak dilakukan dihadapan pejabat yang
berwenang, akan tetapi hanya dibuat dengan cara ditulis di atas kertas segel atau
kertas yang bermaterai, maka hal itu merupakan perbuatan hukum peralihan hak atas
tanah dalam bentuk akta di bawah tangan, yaitu hanya berupa catatan dari suatu
perbuatan hukum, sebagai contoh dapat dilihat terhadap tanah-tanah yang tidak
mempunyai sertipikat (misalnya: SK Camat, SK Bupati, SK Gubernur, Tanah Grant).
Akta Notaris dengan judul Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi lazimnya
digunakan terhadap tanah yang tidak bersertipikat. Hal ini disebabkan karena tanah
tersebut belum dimiliki dengan hak tertentu oleh seseorang dan status kepemilikan
tanah tersebut merupakan tanah yang langsung dikuasai oleh Negara.

Universitas Sumatera Utara

9

Terhadap tanah yang tidak bersertipikat atau tanah yang dikuasai oleh Negara,
maka seseorang hanya boleh menguasaianya untuk diusahakan sehingga mendapat
manfaat dari tanah tersebut, jika dilakukan jual-beli terhadap tanah tersebut berarti
terjadi peralihan hak dari penjual kepada pihak pembeli yang diikuti dengan
pembayaran sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian atas peralihan hak atas
tanah tersebut. Perlu ditegaskan dalam hal ini bahwa peralihan hak yang dimaksud
dalam jual-beli ini adalah peralihan hak dalam arti hak menguasai dan mengusahakan
tanah tersebut.
Namun bila di atas tanah tersebut terdapat bangunan, dan atau tanaman yang
turut diperjual-belikan, maka hal ini dapat juga dilakukan pembuatan aktanya dengan
cara melepaskan hak atas bangunan dan atau tanaman dan membayar sejumlah uang
sebagai bentuk ganti kerugian terhadap bangunan dan atau tanaman tersebut.
Pasal 1868 Undang-Undang Hukum Perdata disingkat KUHPerdata sebagai
dasar hukum Akta Notaris menyatakan bahwa, ”Akta otentik adalah suatu akta yang
di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya.”10
Kronologis adanya penyalahgunaan wewenang oleh aparat desa terlihat
melalui wawancara dengan Bapak Faili Siran, seorang warga yang bertempat tinggal
di Kelurahan Besar, Kecamatan Medan Labuhan terungkap bahwa pada tanggal 18
Juni 2009, memperoleh undangan dari Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan,
dengan nomor 593/01/KB/2009, melalui undangan tersebut Lurah Kelurahan Besar
10

Effendi Perangin-angin, Kumpulan kuliah pembuatan Akta, Jakarta, 1991, hal.4.

Universitas Sumatera Utara

10

memanggil Bapak Faili Siran, untuk menghadap atau hadir di kelurahan Besar, dan
menyatakan bahwa Bapak Faili Siran telah mengerjakan lahan milik Hermanto Teja
tanpa izin, dan bapak Faili Siran diminta membawa surat- surat bukti hak atas
tanahnya.
Dalam hal ini yang menjadi kasus atau masalah awal adalah tanah milik
Bapak Faili Siran yang dibeli dari Bambang Syahrial melalui jual-beli di bawah
tangan dengan luas lahan 2063m2 yang dibeli pada tahun 1997 yang terletak di
kelurahan Besar, Kecamatan Medan Labuhan, ketika jual-beli itu akan disyahkan
muncullah masalah karena kepala lingkungan beserta lurah tidak mau membantu
untuk pembuatan surat keterangan peralihan hak atas tanah tersebut, karena telah
terjadi jual-beli lahan milik Bambang Syahrial kepada Bapak Faili Siran dan bahkan
Kepala Lingkungan pada waktu itu memaksa kedua belah pihak untuk mengakui
bahwa lahan yang menjadi objek jual-beli mereka adalah lahan milik Hermanto Teja,
tentu kedua belah pihak tidak bersedia tapi pihak kelurahan menggunakan cara agar
kedua belah pihak bersedia mengikuti kemauannnya yaitu dengan cara mengirimkan
surat undangan kepada orang yang ditargetkan. Undangan pada dasarnya adalah
spekulasi cara yang digunakan agar terkesan halus, karena undangan adalah
panggilan halus pada si target tapi isi dan tujuannya bisa sangat keras karena
merupakan suatu perintah atau paksaan agar target orang yang dituju tersebut dengan
suka rela atau paksa mau menerima dan memenuhi keinginannya.
Dalam kebingungan itu kedua belah pihak berusaha mencari tahu, mengapa
pihak Kelurahan dan Kepala Lngkungan sepertinya sudah sepakat untuk tidak mau

Universitas Sumatera Utara

11

membantu membuatkan surat peristiwa terjadinya jual-beli lahan tersebut, akhirnya
diketahui bahwa lahan yang telah dialihkan dari Bambang Syahrial kepada Bapak
Faili Siran, ternyata telah disertipikatkan atas nama PT. Kedayutama. Pada saat itu
juga pihak Bambang Syahrial mengkonfirmasi untuk memperoleh kejelasan pada
pihak PT. Kedayutama, mengapa lahannya telah disertipikatkan tanpa seijinnya dan
tanpa ada pemberitahuan dari pihak PT. Kedayutama serta tanpa adanya ganti-rugi
atas lahannya yang disertipikatkan secara sepihak atas nama PT. Kedayutama.
Akhirnya PT. Kedayutama hanya mau membayar lahan milik dari Bambang
Syahrial yang telah dibangunnya saja, sedangkan sisa lahan yang belum dibangun
oleh PT. Kedayutama, dia tidak mau membayarnya padahal lahan tersebut telah
masuk dalam sertipikat atas nama PT. Kedayutama ketika Bambang Syahrial
menuntut haknya yang diambil oleh pihak PT. Kedayutama tapi PT. Kedayutama
malah melarikan diri untuk menghindari segala tuntutan akibat perbuatannya.
PT. Kedayutama adalah developer atau pengembang yang membangun
perumahan pondok tangkahan indah yang selama ini lebih dikenal sebagai perumahan
BTN TNI AL Martubung yang diperuntukkan bagi para pensiunan TNI AL,
warakawuri, maupun pensiunan PNS TNI AL yang membutuhkan rumah tinggal
pribadi, melalui ASABRI, jadi pihak TNI AL tidak berhak atas lahan aset milik PT.
Kedayutama.
PT. Kedayutama sendiri berkedudukan di Jakarta, tapi ketika dikonfirmasi
sampai Ke Jakarta ternyata alamat PT. Kedayutama sudah tidak ada lagi dan hak atas
tanah milik PT. Kedayutama menurut sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 220

Universitas Sumatera Utara

12

Desa Besar, jalan pasar 8 Tangkahan telah berakhir pada tanggal 9 (Sembilan),
September), 2011 (dua ribu sebelas).
Kekosongan ini dimanfaatkan pihak lain yang ingin mengambil keuntungan
dengan menggunakan nama orang lain, diantaranya yaitu pihak kelurahan, dengan
menggunakan nama Hermanto Teja menyatakan bahwa lahan yang telah dibeli Bapak
Faili Siran dari Bambang Syahrial adalah lahan milik Hermanto Teja.
Menurut pihak kelurahan dan kelompoknya Bapak Faili Siran hanyalah
penggarap lahan milik Hermanto Teja tanpa ijin, jadi Bapak Faili Siran harus
mengembalikan lahan yang telah dibelinya dari Bambang Syahrial kepada Hermanto
Teja karena mau dijual pada orang lain yang mau membelinya, kalau tidak Bapak
Faili Siran harus membayar uang yang diminta oleh Hermanto Teja sebagai ganti-rugi
lahan yang diakuinya.
Pada tanggal 18 Juni 2009, dengan nomor 593/01/KB/2009, hal undangan
Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan, memanggil Bapak Faili Siran, untuk
menghadap atau hadir di kelurahan, dan menyatakan bahwa Bapak Faili Siran, sesuai
pengaduan Hermanto Teja bahwa Bapak Faili Siran telah mengerjakan lahan
miliknya tanpa izin dan Bapak Faili Siran diminta membawa surat kelengkapan
miliknya.11
Menurut Bapak Faili Siran, surat undangan sebenarnya adalah surat panggilan
hal ini tentu cukup mengejutkan baginya dan keluarganya. Menurut Bapak Idris,

11

Surat Undangan Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan tertanggal 18 Juni 2009,
dengan nomor : 593/01/KB/2009

Universitas Sumatera Utara

13

warga Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan salah seorang pemuka
masyarakat di perumahan BTN TNI AL Kelurahan Besar Kecamatan Medan
Labuhan pengambilan lahan atau penyerobotan lahan dari pemilik tanah yang suratsurat kepemilihan tanahnya kurang lengkap atau lemah(belum bersertipikat) sering
terjadi. Pemilik tanah seperti itu sering disebut penggarap liar atau mengusahai tanah
orang lain tanpa izin.
Bapak Faili Siran menjelaskan bahwa tanah yang dikuasainya adalah tanah
yang dibelinya melalui Bambang Syahrial pada tahun 1997, seluas 2063 m2.
Bukti kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki oleh Bambang Syahrial adalah
surat pernyataan melepaskan hak atas tanah nomor 593.83/322/SPMHAT/ ML-1994,
tanggal 18 Juli 1994, setelah adanya kesepakatan antara Bapak Faili Siran dengan
pihak Bambang Syahrial maka pembayaran sesuai dengan kesepakatan langsung
dilakukan. Setelah dilakukan pembayaran, untuk memperkuat pelepasan hak yang
mereka sepakati maka Bapak Faili Siran meminta kepada Bambang Syahrial untuk
membantu pengurusan surat-surat yang berhubungan dengan pelepasan hak atas tanah
tersebut.
Faktanya pihak kelurahan dan aparatnya tidak mau membantu tapi malah
memaksa kedua belah pihak untuk mengakui bahwa lahan yang baru saja dibeli
Bapak Faili Siran dari Bambang Sahrial adalah lahan milik Hermanto Teja, tentu
kedua belah pihak tidak bersedia.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas maka pembuatan surat pelepasan hak
atas tanah, pada waktu itu tidak jadi dilaksanakan, surat bukti pelepasan hak atas

Universitas Sumatera Utara

14

tanah dilakukan dengan bukti kwitansi pembayaran, solusi dari permasalahan itu agar
surat tetap ada walaupun sekedarnya maka diangkatlah orang yang dianggap
berpengaruh atau dianggap dihormati dan dipercayai masyarakat yaitu pemuka
masyarakat setempat sebagai saksi untuk pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah
pendukungnya bahwa telah terjadi pelepasan hak atas tanah dari Bambang Syahrial
kepada Bapak Faili Siran.
Menurut Bapak Faili Siran yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah bertahan,
walaupun begitu Bapak Faili Siran tetap berusaha untuk memohon agar Kepala
Lingkungan dimana lokasi tanah itu berada mau menjadi saksi dan memberi
rekomendasi untuk membuat surat alas hak atas tanahnya atau surat keterangan tanah
yang dimilikinya, tapi faktanya yang diberikan Kepala Lingkungan tersebut malahan
memaksa kedua belah pihak untuk mengakui bahwa tanah yang diperjual-belikan itu
adalah tanah milik Hermanto Teja, tentu kedua belah pihak tidak mau mengakuinya,
dan akhirnya jual beli pun dilakukan dengan menggunakan jual-beli di bawah tangan
dengan bukti pengalihan hak melalui kwitansi pembayaran dan bukti sekedarnya
yang bisa dilakukan.
Tahun 2007, pihak kelurahan melalui kepala lingkungan tetap memaksa
bahwa pihak Bapak Faili Siran harus mengakui bahwa tanah yang dibelinya dari
Bambang Syahrial adalah tanah milik Hermanto Teja, pada tahun 2009, tepatnya pada
tanggal 18 Juni 2009, melalui surat undangan nomor 593/01/KB/2009, Kelurahan
Besar Kecamatan Medan Labuhan, memanggil Bapak Faili Siran untuk hadir di
kelurahan agar Bapak Faili Siran mengakui mengelola tanah dan mengerjakan tanpa

Universitas Sumatera Utara

15

izin dari si pemilik yang sebenarnya, dan beliau diwajibkan untuk membawa suratsurat kepemilikan atas tanah yang dikuasainya.
Kenyataan itu tentu membuat keluarga Bapak Faili Siran kaget, dan karena
Bapak Faili Siran tidak bersedia memenuhi keinginan Lurah melalui surat undangan
tersebut maka Lurah beserta Kepala Lingkungannya langsung mengeksekusi tanah
yang dikuasai Bapak Faili Siran di lapangan dengan mendatangkan kepala-kepala
lingkungan yang disebutkan dalam surat undangan beserta orang – orang yang tak
dikenal dan memaksa Bapak Faili Siran untuk melepaskan hak atas tanahnya karena
akan segera di jual melalui nama Hermanto Teja tanpa memperdulikan Bapak Faili
Siran dan keluarganya mereka beramai-ramai mengukur tanah secara paksa, sehingga
akhirnya Bapak Faili Siran mengambil keputusan untuk melaporkan perbuatan
sewenang-wenang aparat desa beserta Hermanto Teja itu ke polisi dengan nomor
laporan No.Pol : STPL/1345/VI/2009/KP3-LAB. Setelah laporan diterima polisi,
muncullah orang yang selama ini mengakui bernama Hermanto Teja.
Hermanto Teja memberikan surat kepada Bapak Faili Siran beserta
keluarganya, tertanggal 16 (enam belas) Juli 2009 (dua ribu sembilan) bahwa dia
mengakui tanah yang dikuasai Bapak Faili Siran dan keluarganya adalah tanah
miliknya.
Atas pengakuan Hermanto Teja tersebut maka Bapak Faili Siran beserta
keluarganya membawa Hermanto Teja ke lokasi sekitar area lokasi tanah yang diakui
oleh Hermanto Teja dan meminta Hermanto Teja untuk menunjukkan mana tanah
milik Hermanto Teja yang diakuinya di hamparan tanah sawah yang dipijaknya

Universitas Sumatera Utara

16

maupun lahan yang ada dihadapannya berdasarkan surat yang dimilikinya dan luas
tanah yang dimilikinya, tapi menurut Hermanto Teja dia tidak tahu dimana letak
tanahnya karena waktu membeli tanah itu, yang tahu dimana posisi tanahnya adalah
kepala lingkungan yang menjadi saksi hidup, kata Hermanto Teja. Jadi dia sendiri
tidak tahu dimana sebenarnya tanah miliknya, maka ia menyerahkan sebagai
penunjuk tanahnya yang sebenarnya adalah lurah dan kepala lingkungan.12
Bagaimana mungkin seorang pemilik tanah yang mengakui memiliki tanah
tersebut sudah puluhan tahun dimilikinya tapi dia tidak tahu dimana posisi tanahnya
sementara orang lain yang memiliki tanah seberapa pun luasanya sejengkal saja
tanahnya diambil oleh orang lain maka dia akan tahu dimana tanah yang diambil
orang bagaimana bentuknya tapi nyatanya dalam kasus ini si Hermanto Teja yang
mengakui memiliki tanah tidak tahu dimana tanahnya dan posisi tanahnya.
Pemecahan masalah untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi, Bapak
Faili Siran pernah menyampaikan permohonan bantuan hukum kepada Lantamal I
Belawan, pada tahun 2009, dan pihak Lantamal I menunjuk Diskum Lantamal I untuk
memediasi permasalahan tersebut, dimana Bapak Faili Siran dipertemukan dengan
Bapak Hermanto Teja guna mencari solusi terbaik.
Dalam pertemuan itu pihak TNI AL menegaskan melalui surat Komandan
Armada RI Kawasan Barat Pangkalan Utama TNI AL I Nomor Surat 13/440,

12

Wawancara dengan Bapak Faili Siran di Perumahan BTN TNI AL Martubung pada Hari
Jumat, tanggal 17 Januari 2014.

Universitas Sumatera Utara

17

VIII/2006, perihal tanah di Perumahan Martubung, yang pada intinya bahwa TNI AL
tidak memiliki tanah di Perumahan BTN TNI AL Martubung
Dalam pertemuan antara pihak Hermanto Teja dengan keluarga bapak Faili
Siran, Hermanto Teja terbukti tidak memiliki tanah yang dituntutnya seperti yang
dikatakan oleh Surat Undangan Lurah, Nomor : 593/01/KB/2009, hal undangan tapi
walaupun begitu pihak Hermanto Teja beserta aparat desa yang diakui oleh Hermanto
Teja sebagai penunjuk lahan miliknya dan menurutnya sekaligus sebagai saksi hidup
tanah miliknya tetap memaksa menjual tanah yang bukan miliknya.
Berdasarkan uraian di atas pada dasarnya permasalahan awal dalam kasus ini
adalah lahan seluas 2063m2 milik Bapak Faili Siran yang dibeli dari Bambang
Syahrial melalui jual- beli di bawah tangan yang ternyata lahan tersebut telah
disertifikatkan pihak developer atau pengembang PT. Kedayu Tama yang
berkedudukan di Jakarta walaupun masa berlaku haknya telah habis tapi masalahnya
masih belum berakhir karena muncullah Hermanto Teja yang mengakui bahwa
seluruh sisa lahan yang dimiliki oleh PT. Kedayutama adalah tanah miliknya dan
semuanya akan dia jual kepada siapa pun yang mau membeli padanya maupun kuasa
hukumnya yaitu Dr. M. Raja Parlindungan Siregar, termasuk lahan milik Bambang
Syarial yang telah dibeli oleh Bapak Faili Siran jadi pihak Hermanto Teja Cs. Tetap
memaksa Bapak Faili Siran untuk membayar uang ganti-rugi lahan miliknya yang
telah dibelinya melalui Bambang Syahrial, kalau tidak Hermanto Teja Cs. Akan
menjualnya pada orang lain.

Universitas Sumatera Utara

18

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.

Bagaimana peranan lurah dalam keikutsertaannya untuk melaksanakan
pendaftaran tanah?

2.

Bagaimana tanggungjawab lurah atau camat jika ternyata surat yang
dikeluarkannya tidak dapat diterima sebagai syarat pendaftaran tanah karena
tanahnya telah terdaftar atas nama orang lain?

3.

Upaya hukum apakah

yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk

mempertahankan hak atas tanah miliknya jika ternyata haknya terbukti
diselewengkan oleh oknum lurah atau camat?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa tujuan dari penelitian ini yaitu:
1.

Untuk mengetahui peranan lurah dalam keikutsertaannya untuk melaksanakan
pendaftaran tanah.

2.

Untuk mengetahui tanggungjawab lurah atau camat jika ternyata surat yang
dikeluarkannya tidak dapat diterima sebagai syarat pendaftaran tanah karena
tanahnya telah terdaftar atas nama orang lain.

Universitas Sumatera Utara

19

3.

Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk
mempertahankan hak atas tanah miliknya jika ternyata haknya terbukti
diselewengkan oleh oknum lurah atau camat.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam
memproses ilmu pengetahuan.13 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari
pemecahan atas isu hukum yang timbul,

14

oleh karena itu penelitian hukum

merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum, dengan
melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan
preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.
Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, diharapkan
dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis
dan praktis di bidang hukum yaitu :
1.

Secara Teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah
kepustakaan di bidang keperdataan khususnya tentang masalah pendaftaran
tanah, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan serta akibatakibatnya, terhadap masyarakat, aparaturnya dan hukum tanah itu sendiri.

2.

Bagi segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan
masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat.
13

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008)

hal. 10.
14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007), hal. 41

Universitas Sumatera Utara

20

Penyimpangan-penyimpangan di dalam pendaftaran tanah itu ternyata ada,
terutama yang dimulai dari tingkat bawah atau dasar yaitu tingkat kelurahan yang
dilakukan oleh staf kelurahan itu sendiri.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada, penelusuran kepustakaan khususnya di
lingkungan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
belum ada penelitian yang membicarakan masalah penyalahgunaan wewenang oleh
Lurah dalam membuat surat keterangan tanah/alas hak atas tanah, oleh karena itu
penelitian ini baik dari segi objek permasalahan dan substansi adalah asli serta dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah. Adapun judul penelitian yang
ada kaitannya masalah alas hak atas tanah yang pernah ditulis adalah:
1.

Dayat Limbong (002105028), Alas Hak Atas Tanah yang Dikuasai Rakyat pada
Areal Perkebunan PTPN II di Kabupaten Deli Serdang.

2.

Helena (067011002), Eksistensi dan Kekuatan Alat Bukti Alas Hak Berupa Akta
Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi yang Dibuat Dihadapan Notaris atau Camat
Studi di Kabupaten Deli Serdang.

3.

Noni Syahputri (077011082), Tinjauan Yuridis Terhadap Alas Hak di Bawah
Tangan Sebagai Dasar Penerbitan Sertifikat dan Implikasinya terhadap Kepastian
Hukum.

4.

Donald Padmali (107011060), Perlindungan Hukum terhadap Bank atas Konflik
Alas Hak dari Hak Tanggungan.

5.

Dahlia Rosari (117011502), Penerbitan Sertifikat Hak Milik yang Berasal dari

Universitas Sumatera Utara

21

Alas Hak Surat Pernyataan yang Kemudian Dinyatakan Palsu (Studi kasus No.
01/Pdt/6/2007/PN.RGT).

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada

berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Teori
diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji
kebenarannya. Apabila berpedoman pada teori, maka seorang ilmuwan akan dapat
menjelaskan, aneka macam gejala sosial yang dihadapinya walaupun hal itu tidak
selalu berarti adanya pemecahan terhadap masalah yang dihadapi.15
“Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, teori adalah konstruksi di alam cita atau
ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif
fenomena yang dijumpai di alam pengalaman (ialah yang tersimak bersaranakan
indera manusia), sehingga tak pelak lagi bahwa berbicara tentang teori seseorang
akan dihadapkan kepada dua macam realitas, yang pertama adalah realitas in
abstracto yang ada di alam idea imajinatif, dan kedua adalah padanannya yang
berupa realitas in concreto yang berada dalam pengalaman inderawi.16
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan kebenarannya.17
15

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Pres, Jakarta, 1984, Hal.6.
Soetandyo Wignjosoebroto, Teori, Apakah itu? Makalah Kuliah Program Doktor – UNDIP,
Semarang, 2003, Hal. 1.
17
JJJ.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Penyunting, M.Hisyam, (Jakarta : UI Press,
1996), hal. 203.
16

Universitas Sumatera Utara

22

Menurut W.L. Neuman, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan
Anton F. Susanto yang menyebutkan bahwa :
“teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang
berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk
berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.18
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk
dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori yang
dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis dari para
penulis ilmu hukum di bidang hukum.
Kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, tesis si penulis mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem),
yang mungkin disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini.19
Oleh karena itulah teori hukum yang digunakan sebagai pisau analisis dalam
membedah persoalah-persoalan dalam penelitian ini diantaranya adalah teori
kewenangan. Adapaun teori kewenangan yang digunakan dalam membedah
persoalan-persoalan

dalam

penelitian

ini

menggunakan

teori

Kewenangan

(outhority) dari H.D. Stoud
“Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu
authority of theory, istilah yang digunakan dalam Bahasa Belanda, yaitu
theorie van het gezaq, sedangkan dalam Bahasa Jerman, yaitu theorie der

18

19

HR. Otje dan Anton F. Susanto. Teori Hukum. (Bandung : Refika Aditama, 2005)
M. Solly Lubis, Flsafat Ilmu-Ilmudan Penelitian, Bandung, CV. Mandar Maju, 1994, hal. 90..

Universitas Sumatera Utara

23

autoritat. Teori kewenangan berasal dari dua suku kata, yaitu teori dan
kewenangan”.20
Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan
kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam
hubungannya dengan hukum public maupuun dalam hubungannya dengan hukum
privat.21
Pengertian kewenangan menurut H.D. Stoud adalah:
Bevoegheid wet kab worden omscrevenals het gehel van bestuurerchttlijke
Bevoegdheden door publiekrchtelijke rechtssubjecten in het bestuurechtelijke
rechtsverkeer. (Wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturanaturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang
pemerintah oleh subjek hukum public dalam hukum publik).22
Ada dua unsure yang terkandung dalam pengertian konsep kewenangan yang
disajikan oleh H.D. Stoud, yaitu:
1. Adanya aturan-aturan hukum, maksudnya adalah sebelum kewenangan itu
dilimpahkan kepada institusi yang melaksanakannya, maka terlebih dahulu
harus diatur dalam Peraturan Perundang-undangan, apakah dalam bentuk
undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun aturan yang lebih rendah
lainnya.
2. Sifat hubungan hukum adalah sifat atau tindakan yang berkaitan dengan
hukum, baik bersifat publik maupun bersifat privat.23

20

Halim HS, Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, Hal. 183.
21
Id. Hal. 193.
22
Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Sonny Pungus, Teori Kewenangan, (online),
http://Sonny–tobelo.bolgspot.com/2011/01/teori kewenangan.html, diakses 25 April 2014.
23
Id. At. Hal. 184.

Universitas Sumatera Utara

24

Indroharto mengemukakan, tiga macam kewenangan yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu meliputi:
1. Atribusi
2. Delegasi, dan
3. Mandat.
1.1 Atribusi ialah kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada
suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sekali,
seperti MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama
dengan pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan
untuk tingkat daerah adalah DPRD dan pemerintah daerah yang
melahirkan peraturan daerah. Presiden berdasarkan suatu ketentuan
undang-undang dapat mengeluarkan peraturan pemerintah dimana
diciptakan wewenang pemerintah kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha
Negara (TUN) tertentu.
1.2 Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dimiliki oleh pemerintahan
kepada organ yang lain. Dalam delegasi ada suatu penyerahan
kewenangan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya
menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh
pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima
wewenang.
1.3 Mandat tidak terjadi penyerahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN
yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar

Universitas Sumatera Utara

25

mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima
mandat.
Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara,
yaitu:
a. Atribusi dan.
b. Delegasi dan kadang-kadang juga mandat.24
Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan

(besluit) yang

langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materil. Atribusi juga
dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang
pemerintahan. Kewenangan yang didapat melalui atribusi itu diperoleh
langsung dari peraturan perundang-undangan terutama UUD 1945. Delegasi
diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat keputusan oleh
pejabat Tata Usaha Negara kepada pihak lain, dengan penyerahan ini ada
perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi kepada yang
menerima delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain:
1. Delegasi harus ditetapkan, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan
sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan
untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

24

Id. At. Hal. 195.

Universitas Sumatera Utara

26

3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hirarki kepegawaian tidak
diperkanankan adanya delegasi;
4. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya penerima delegasi
(delegans), berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan
tersebut;
5. Peraturan kebijakkan, artinya penerima delegasi (delegans) memberikan
instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Mandat diartikan sebagai pelimpahan wewenang kepada bawahan untuk
membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara yang memberi
mandat.25
Dengan memahami kewenangan yang meliputi atribusi, delegasi dan
mandat, maka diketemukan juga batas kewenangan yang meliputi isi/
materi,

wilayah

menimbulkan

dan
cacat

waktu.

Cacat

kewenangan

dalam

aspek-aspek

(onbevoegdheid),

(onbevoegdheid ratione materi), cacat tempat

tersebut

cacat

isi

(onbevoegdheid ratione

loci), dan cacat waktu (onbevoegdheid ratione temporis).26
Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia
dibebankan kepada pemerintah yang oleh pasal 19 ayat (1), Undang-Undang Pokok
Agraria, ditentukan bertujuan tunggal, yaitu untuk menjamin kepastian hukum.27

25

Id., at Hal. 195-196.
Bambang Eko Supriadi, Hukum Agraria Kehutanan, aspek Hukum Pertanahan dalam
Pengelolaan Hutan Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2013, Hal. 77.
27
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, CV.
Mandar Maju, Bndung, 2008, Hal. 167.
26

Universitas Sumatera Utara

27

Adanya hak-hak atas tanah yang harus didaftarkan sesuai dengan apa yang
diperintahkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, Nomor 5 tahun 1960, Pasal 19,
bahwa untuk menjamin kepastian hukum, maka hak-hak atas tanah harus didaftarkan,
menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait didalamnya
Pasal 6 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menegaskan
bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain
yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan
Pemerintah ini dan peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Pejabat lain
yang membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran
tanah.adalah pejabat dari Kantor Lelang, Pejabat pembuat Akta ikrar wakaf, dan
Panitia Ajudikasi.
Ketentuan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal 7
peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu:
1. PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat

(2), diangkat dan

diberhentikan oleh Menteri.
2. Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT
Sementara.
3. Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998, PPAT dibedakan
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

28

1. Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT).
PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat aktaakta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu tentang hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang menjadi PPAT di sini adalah seseorang
yang merangkap menjadi Notaris atau mantan pejabat dari Badan Pertanahan
Nasional setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan
Nasional.
2. PPAT Sementara.
PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT. PPAT Sementara ini adalah Kepala Kecamatan.
3. PPAT Khusus
PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena
jabatannya untuk

melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT

tertentu khusus dalam rangka pelaksanakan program atau tugas pemerintah
tertentu. PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan
hukum yang dissebut secara khusus dalam penunjukkannya.
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional,
sedangkan PPAT Sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Propinsi yang mendapat limpahan kewenangan dari
Kepala Badan Pertanahan Nasional. Ketentuan tentang penunjukkan PPAT
Sementara dapat dijelaskan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

29

1. Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah Kabupaten/Kota yang
formasi PPAT-nya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara.
2. Surat Keputusan Penunjukkan Camat sebagai PPAT Sementara ditandatangani
oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.
3. Untuk keperluan penunjukkan sebagai PPAT Sementara, Camat yang
bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi melalui Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melaporkan salinan atau
foto copy keputusan pengangkatan tersebut.
4. Penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional setelah diadakan penelitian mengenai keperluannya
berdasarkan letak desa yang sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang
sudah terdaftar di wilayah tersebut.
Berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 maka setiap perjanjian yang bermaksud
memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan
dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah
Hukum pada hakekatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam
manifestasinya dapat berwujud konkrit. “Sesuatu ketentuan hukum baru dapat dinilai
baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan,
kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.28

28

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1993, hal. 79

Universitas Sumatera Utara

30

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah “mewujudkan keadilan
(rechtsgerechtiqheid),

kemanfaatan

(rechtsutiliteit)

dan

kepastian

hukum

(rechtszekerheid)”.29 “Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, guru besar
dalam bidang filosofis moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University
pada tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan

(justice)”30 Smith

mengatakan bahwa : “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian”
(the end of justice is to secure from injury)
Menurut Satjipto Raharjo :
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.
Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan
keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut
hak. Tetapi tidak disetiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai
hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak
itu pada seseorang.31
Kekuasaan yang tidak terbatas dan tak terukur akan menimbulkan kekuasaan
yang sewenang-wenang dan akibatnya akan merugikan orang lain dan bahkan bukan
tidak mungkin akan dapat menghancurkan orang lain tersebut.
Max Weber, mengatakan, bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang
atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan

29

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta :
Gunung Agung, Tbk, 2002, hal. 85
30
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato Pada
Pengukuhan Sebagai Guru Besar Universitas Sumatera Utara – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5
sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, ”Adam Smith on Law”, Valvarasio University Law
Review, Vol. 15, 1981 hal. 244.
31
Tjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 53.

Universitas Sumatera Utara

31

sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan
dari orang-orang atau golongan tertentu.
Gary A Yuki (1989), mengatakan bahwa, kekuasaan adalah potensi agen
untuk mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain (target person), sementara David
dan Newstroom (1989), membedakan kekuasaan kewenangan. Kekuasaan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan wewenang merupakan
pendelegasian dari manajemen yang lebih tinggi jadi dapat disimpulkan, kekuasaan
atau power berarti suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang atau merubah orang
atau situasi.
Semua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk
mengkaji dan memahami lebih jauh tentang penyimpangan yang terjadi pada
pendaftaran tanah yang dimulai dari tingkat dasar yaitu tingkat kelurahan yang berupa
penyalahgunaan wewenang dalam membuat surat keterangan tanah/alas hak atas
tanah yang dilakukan oleh kelurahan, kemudian memahami objek yang diteliti.
sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti
yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis ini adalah
teori keadilan,

32

merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang tujuan

pendaftaran tanah, jika dilakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang
oleh aparatnya maka dapat dipastikan akan terjadi ketidakadilan dan kesewenang32

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung : Al-Maarif, 1994, hal. 16

Universitas Sumatera Utara

32

wenangan terhadap masyarakat pemegang hak atas tanah yang haknya merasa
dirampas, dibodohi dan dizolimi.
Teori pengayoman sebagai teori pendukung lainnya. Hukum melindungi
manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang
meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan
mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi. Melindungi secara
pasif adalah memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan, menjaga
ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang diayomi
dapat hidup damai dan tentram.33
2.

Kerangka Konsepsi
Konsep berasal dari Bahasa Latin Conceptus yang memiliki arti sebagai

kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan.
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diartikan sebagai kata
yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang
disebut defenisis operasional
Konsep merupakan bagian terpenting daripada teori. Konsep dapat dilihat dari
2 (dua) segi, yaitu segi subyektif dan dari obyektif. Konsep dipandang dari segi
subyektif adalah merupakan suatu kegiatan intelektual untuk menangkap sesuatu,
sedangkan konsep dari segi obyektif, merupakan sesuatu yang ditangkap oleh

33

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Pembangunan,
1993, hal. 245.

Universitas Sumatera Utara

33

kegiatan intelektual tersebut. Hasil dari responsibilitas akal manusia itulah yang
dinamakan konsep.
Adapun uraian konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.

Alas Hak adalah dasar penerbitan sertipikat kepemilikan atas tanah yang dapat
dijadikan sebagai alat pembuktian data yuridis atas kepemilikan atau penguasaan
suatu bidang tanah baik data yuridis atas kepemilikan secara tertulis, ataupun
berdasarkan keterangan saksi.

2.

Kekuasaan adalah kemampuan untuk bertindak atau meme