T1__BAB VI Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor Pangadangu Mahamu dalam Upaya Adat Kematian di Desa Ramukabupaten Sumba Timur T1 BAB VI

BAB VI
PERAN AKTOR DALAM MEREPRODUKSI HABITUS
PENYEDERHANAAN ADAT KEMATIAN

6.1 Trajectory Aktor
Trajectory secara sederhana dimaknai sebagai sejarah kehidupan aktor
dengan segala perlengkapan habitus dan modal yang dimiliki dalam memasuki
pertarungan di dalam field (ranah), baik ranah ekonomi, sosial, budaya, maupun
politik. Pada pembahasan sebelumnya sudah banyak menggambarkan habitus dan
modal yaitu habitus aktor adalah pengetahuan tentang sejarah, makna adat
kematian dan kemampuan aktor dalam mereproduksi habitus adat kematian.
Kemudian modal akktor adalah forum maupun latar belakang kehidupan aktor.
Dalam konteks ini, analisis difokuskan pada trajectory aktor yang berperan dalam
proses penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk diantaranya :
Dr. Lapoe Mokoe, tokoh ini lahir di Payeti pada tahun 1938 dan
bertempat tinggal di Kelurahan Kawangu, Kecamatan Pandawai, Kabupaten
Sumba Timur. Tokoh ini bukan tokoh asing lagi karena sudah dikenal oleh
masyarakat karena dia pernah menjadi bupati Sumba Timur. Sat ini dia
merupakan ketua Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu dan juga merupakan
salah satu tokoh yang berpengaruh. Walaupun dia sudah tua tetapi dia masih
sangat eksis di kalangan masyarakat Sumba Timur yaitu dia sosok pekerja keras

dan sosok yang memiliki rasa kepedulian terhadap kehidupan masyarakat. Sosok
yang santai, pintar, mudah bergaul sehingga wajar saja dia terkenal dan disegani
oleh masyarakat Sumba Timur. Berdasarkan pengakuannya bahwa dia
berpartisipasi dalam tahapan penyederhanaan adat ini karena prihatin terhadap
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Menurut bapak Marius bahwa pak Lapoe
ditunjukkan sebagai ketua karena merupakan tokoh senior dan juga merupakan
strategi forum dalam mengupayakan penyederhanaan adat sehingga apa yang dia
sampaikan dapat di dengar oleh masyarakat. selain itu pengakuannya juga
menceritakan bahwa dia cukup merasakan pengaruh adat kematian di

56

lingkungannya karena ia merupakan salah satu orang yang ekonominya mampu
sehingga sering kali masyarakat datang meminjam uang, hewan bahkan barangbarang berharga lainnya dengan alasan sesudah penguburan baru dikembalikan.
Pemahaman inilah yang kemudian mendorong ia untuk berpartisipasi karena
termotivasi dari pengalamannya.
Dalam usianya yang cukup tua ini dia turut aktif dalam mencari dana di
pemerintah daerah bahkan ke luar daerah. Ia aktif dalam mencari bantuan-bantuan
baik dari bupati maupun DPR untuk digunakan dalam melakukan sosialisasi dan
deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa yang ada di sumba timur. Dia

bercerita bahwa pada saat deklarasi di desa bupati atau DPR pasti di undang untuk
hadir dan mereka memberi bantuan dalam bentuk dana, menurutnya Bupati dan
DPRD sebenarnya mendukung penyederhanaan adat tetapi yang menjadi masalah
adalah posisi mereka, karena jika mengeluarkan PERDA nanti image mereka di
masyarakat menurun atau dianggap pemaksaan oleh masyarakat, karena menjaga
itu pemerintah memulai proses dari bawah dari masyarakat jika semua masyarakat
setuju baru dikeluarkan PERDA..
Marius Kuramoki, S.Sos lahir di Sumba Timur pada tanggal 06 Mei
Tahun 1955, di usianya yang sudah cukup tua ini ia juga sama halnya dengan
bapak Lapoe meskipun merupakan pensiunan tapi dia masih eksis dikalangan
masyarakat. Sosok yang ramah dan santai ini merupakan wakil ketua forum
Peduli Adat Pangadangu Mahamu yang tinggal di keluruhan Hambala, Kecamatan
Kota Waingapu. Bapak Marius ini merupakan pensiunan camat dan untuk saat ini
dia bekerja di pemerintahan daerah dan dia merupakan salah satu Dewan Pembina
Partai NASDEM di Sumba Timur. Selain itu juga merupakan salah satu tokoh
adat yang cukup berpengaruh saat ini. Sosok yang sangat proaktif ini adalah tokoh
yang tidak takut pada siapapun, dia adalah sosok apa adanya yang serba siap
menanggung resiko, karena dia merupakan aktor pertama yang sudah menerapkan
penyederhanaan adat kematian di Sumba Timur yaitu pada tanggal 30 November
tahun 2011 walaupun belum ada aturan yang mengatur tetapi dia berinisiatif

sendiri melakukan deklarasi penyederhanaan adat kematian. Hal ini pada awalnya
menimbulkan pro kontra di masyarakat. Menurutnya, walaupun banyak tokoh

57

yang tidak setuju tetapi dia tetap melakukan penyederhanaan adat kematian,
katanya dengan sendirinya masyarakat menyesuaikan dan mengikutinya tetapi
dari pengalamannya ini juga dapat mempengaruhi masyarakat.
Bapak Merius ini juga menceritakan pengalamannya selama menjadi
camat di Kecamatan Hahar, Kabupaten Sumba Timur. Dia mengatakan bahwa
adat itu sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, bahwa masyarakat ini
berlomba-lomba untuk lakukan pesta adat, pada hal sudah miskin tetap saja pesta
adat dengan cara hutang. Dari pengalamannya ia melihat sebenarnya banyak
potensi yang dimiliki masyarakat untuk bisa hidup layak antara lain dengan
berinvestasi dengan cara memilihara ternak untuk dijual dan juga pemanfaatan
potensi yang ada untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Selain itu juga dia
menceritakan pengalaman pribadinya mengenai persoalan adat kematian yang
terjadi di keluarganya itu memberatkan, ia prihatin dan peduli terhadap kehidupan
masyarakat. Ia juga menceritakan awal munculnya penyederhanaan adat kematian
yaitu berawal dari ia deklarasi pada tanggal 30 November 2011 setelah itu WVI

yang merupakan lembaga pemerihati pendidikan anak di Sumba Timur mulai
bekerja sama dengan dia untuk mulai lakukan sosialisasi di desa-desa yang
merupakan wilayah binaan WVI. Setelah itu dia berinsiatif untuk mencari tokohtokoh yang berpengaruh di Sumba Timur untuk ikut bergabung sehingga pada
tahun 2013 terbentuklah forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu sebagai salah
satu lembaga yang prihatin terhadap kehidupan masyarakat.
Paulus Kabubu Tarap, S.Kom bertempat tinggal di palindi, lahir di
Waingapu pada tanggal 20 November 1952. Dia merupakan salah satu tokoh adat
yang cukup berpengaruh di Sumba Timur dan juga merupakan wakil ketua forum
Peduli Adat Pangadangu Mahamu. Saat ini dia sebagai seorang pemerihati
korupsi di kabupaten Sumba Timur dan juga berkerja di bidang koperasi sebagai
ketua di wilayah Kecamatan Pandawai, Sumba Timur. Bapak paulus juga
bercerita bahwa dulunya setelah pensiun dari kepala bagian daerah pernah
menjadi seorang pelayan Tuhan di kanatang selama kurang lebih 10 Tahun.
Bapak Paulus tidak banyak menceritakan latar belakang dan pengalaman
pribadinya, tapi menceritakan pengalaman dalam melakukan adat kematian dan

58

pengaruhnya terhadap masyarakat. Ia menceritakan tentang adat kematian yaitu
membandingan adat kematian yang dahulu dengan sekarang, menurutnya bahwa

pelaksanaan adat ini kurang relevan dan kurang sesuai lagi dengan kehidupan
masyarakat karena terjadi pergeseran nilai dan makna budaya.
Umbu Reku, S.Sos sosok ini bukan penduduk asli Sumba Timur
melainkan berasal dari Sumba Tengah lahir pada tahun 1967, saat ini bekerja
sebagai staff di Lembaga Wahana Visi Indonesia (WVI) bagian sosial budaya di
Sumba Timur. Sosok yang ramah dan sopan ini merupakan salah satu pejuang
masyarakat, yakni turut aktif memfasilitasi anak-anak yang kurang mampu untuk
menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dia sebagai salah satu aktor pemerihati
anak yang ada di Sumba Timur. Walaupun dia bukan merupakan orang asli
Sumba Timur tetap ia cukup dikenal oleh masyarakat terutama di desa-desa yang
merupakan wilayah binaan WVI. Sosok ini cukup memiliki pengalaman dan
jaringan di masyarakat sehingga membuat ia turut aktif dalam penyederhanaan
adat kematian. Kepercayaan yang sudah tertanam di masyarakat juga menjadi
modal bagi bapak Umbu Reku sehingga apa yang disampaikan bisa di dengar oleh
masyarakat. Selain itu juga ia merupakan salah satu aktor yang menggagas
pertama penyederhanaan adat kematian di Sumba Timur. Dia berinsatif
menghubungi tokoh-tokoh penting yang ada di Sumba Timur untuk melakukan
diskusi dan seminar tentang budaya adat kematian. Kemudian ia juga berinsiatif
membentuk satu forum dan memfasilitasi forum untuk melakukan sosialisasi
penyederhanaan adat kematian.

Stepanus M Awang, lahir di Ramuk pada 29 September 1961, merupakan
sosok yang disegani, tegas, jujur dan serba terbuka terhadap siapa saja dan mau
bicara apa adanya. Saat ini merupakan sekretaris desa Ramuk dan turut aktif
dalam membantu forum dalam melakukan sosialisasi penyederhan adat kematian
di masyarakat. Sosok ini sangat antusias tentang penyederhanaan adat sebagai
wujud dari keinginan maupun keprihatinannya ini adalah turut mengajak
masyarakat agar melaksanakan penyederhanaan adat. Modal yang dimilikinya
yaitu sebagai aparat desa dapat mempengaruhi dan meyakinkan masyarakat untuk
mau melakukan penyederhanaan adat. Sosok ini tidak banyak menceritakan latar

59

belakang pengalamannya tetapi aktor ini lebih menceritakan pengalamannya
dalam melakukan adat kematian yaitu masalah persoalan adat kematian yang
memberatkan dan juga menceritakan persoalan adat kematian di desa Ramuk.
Dulunya sebelum menjadi sekretaris desa ia juga bekerja di Landang Tuhan
sebagai Majelis di GKS Ramuk selama kurang lebih 10 tahun. Sekarang sebagai
sekretaris desa sudah hampir 8 tahun. Memang sosok ini tidak banyak
menceritakan pengalaman tapi posisinya di desa sangat di segani dan di hargai
oleh masyarakat sehingga apa yang di sampaikan di dengar oleh masyarakat.

Yusak Ndjuru Hapa, sosok berkumis dan berbadan kecil ini merupakan
salah satu tokoh adat atau Wunang (juru bicara) yang ada di Desa Ramuk. Sosok
ini merupakan sosok yang tidak asing lagi di desa Ramuk, mengapa tidak dalam
setiap urusan adat sosok inilah yang selalu memandu jalannya upacara adat baik
itu adat kematian maupun perkawinan sama saja. Dia merupakan salah satu tokoh
adat senior dan paling tua di Desa Ramuk, bisa dikatakan jika dia tidak ada
upacara adat tidak jalan. Sosok ini juga dikenal sosok yang keras dan tegas dalam
urusan adat. Sosok ini juga sangat aktif dalam membantu forum dalam melakukan
sosialisasi penyederhanaan adat kematian di desa Ramuk. Meskipun dia adalah
salah satu tokoh adat tapi mau terlibat langsung dalam proses penyederhanaan
adat kematian. Sosok ini tidak banyak menceritakan latar belakangnya tapi
posisinya sebagai tokoh adat (wunang) sehingga sangat di segani dan dihargai
oleh masyarakat. Pengalaman dan pengetahuannya tentang adat kematian mampu
mendorong ia untuk turut berpartisipasi dalam proses penyederhanaan adat
kematian. Pengalaman dalam memimpin dan memandu jalannya adat kematian
mendorong ia untuk merespon lewat tindakan yaitu ia mampu menilai dan
mengevaluasi persoalan adat kematian.
Yonathan P Ratudima, sosok yang lahir di Ramuk ini merupakan salah
satu tokoh masyarakat dan juga merupakan tokoh adat. Pak Yonathan ini salah
satu sosok yang disegani oleh masyarakat Desa Ramuk. Dulunya ia merupakan

Sekretaris Desa dan sekarang menjadi tokoh masyarakat/adat yang cukup
berpengaruh di Desa Ramuk. Pengalamannya dalam melaksanakan adat kematian
mendorong ia untuk ikut terlibat dalam proses penyederhanaan adat kematian ini.

60

Berdasarkan wawancara ia mengatakan bahwa adat kematian cukup memberi
dampak yang sering merugikan dan memberatkan ekonomi masyarakat.
Menurutnya padahal masyarakat ini memiliki modal untuk berinventasi dengan
memilihara ternak untuk dijual menurutnya sekarang ini ternak cenderung
berkurang karena lebih banyak digunakan untuk

adat. Bapak Yonathan ini

memang tidak banyak menceritakan latar belakang pengalamannya tapi dilihat
dari posisinya di desa Ramuk dia dapat dikatakan salah satu tokoh berpengaruh.
Dalam urusan adat misalnya dia orang pertama yang berbicara di balai-balai adat
dan didengar oleh masyarakat. Pengalaman mendorong bapak Yonathan untuk
merespon secara sadar akan penyederhanaan adat kematian. Menurutnya bahwa ia
juga merupakan salah satu korban yang merasakan beban pengeluaran saat adat

kematian, berdasarkan ceritanya dulu ketika ibu dan bapaknya meninggal juga
berani berhutang untuk menguburkan orang tuanya. Yang menarik pada bapak
Yonathan ini adalah dulunya merupakan salah satu aktor yang menolak
penyederhanaan adat tetapi setelah itu ia berpikir ulang berbalik menerima
penyederhanaan adat. Pengalaman pak Yonathan dalam melakukan adat inilah
yang menggoda dan mendorong ia untuk mau menyederhanakan adat kematian.
Berdasarkan trajectory di atas menunjukkan bahwa aktor-aktor saling
berjejaring satu sama lain. Bapak Lapoe, Marius, Paulus dan Umbu Reku adalah
aktor dalam Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu yang membentuk simpulan
penyederhanaan adat kematian. Terkusus bapak Marius dan Paulus adalah aktor
yang membentuk jaringan dan mewakili Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu
untuk melakukan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa
Ramuk. Bapak Umbu Reku adalah aktivis LSM yang memiliki jaringan dengan
desa Ramuk. Dia turut berpartisipasi mendampingi dan mendorong forum untuk
melakukan sosialisasi penyederhanaan adat kematian Sedangkan bapak Stepanus,
Yusak dan Yonathan adalah aktor-aktor di desa yaitu sebagai tokoh pemerintah
desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Ketiga aktor ini memiliki koneksi jaringan
dengan aktor-aktor dalam forum Peduli Adat juga memiliki peran untuk
berkomunikasi dengan masyarakat yaitu sebagai perantara antara aktor Forum
Peduli Adat dengan masyarakat desa Ramuk. Kemudian ketiga aktor ini juga


61

memiliki peran dalam mengajak, membujuk dan mendorong masyarakat untuk
sederhanakan adat kematian yaitu dengan menggunakan habitus dan modal yang
dimiliki untuk mempengaruhi masyarakat.
Peran aktor yang hendak dijelaskan dalam hasil penelitian ini adalah
terkait dengan konsep tindakan/praktik yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu.
Konsep praktik menurut Bourdieu merupakan integrasi antara habitus yang
berdialektik dengan modal dalam ranah (arena perjuangan), yang dirumuskan
dengan: (Habitus x Modal) + Ranah= Praktik. Dalam kaitan antara konsep
tersebut dengan penelitian ini, maka akan dijelaskan masing-masing unsur dari
konsep tersebut berdasarkan kenyataan yang diperoleh dari lapangan, yang
kemudian akan menjelaskan peran aktor dalam upaya penyederhanaan adat
kematian di Desa Ramuk.

6.2

Peran Aktor Dalam Melihat Dampak Dan Pergeseran Adat
Kematian

Bersumber pada pembahasan sebelumnya bahwa penyederhanaan adat

kematian merupakan hasil reproduksi habitus dimana aktor-aktor ini dipengaruhi
oleh pengetahuan dan pengalaman sehingga mampu berpikir, menilai,
mempersepsi, mengevaluasi pengalaman praksis upacara adat kematian.
Pengalaman dan pengetahuan inilah yang mendorong dan membimbing aktor
untuk

merubah

dunia

sosial

yaitu

dengan

menciptakan

forum

untuk

penyederhanaan adat kematian. Dalam konsep Pierre Bourdieu forum adalah
instrumen sistem yang menstruktur dan struktur yang mensistemkan. Pembahasan
dampak adat kematian merupakan faktor yang melatarbelakangi munculnya
penyederhanaan adat kematian. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di
temukan hal mendasar yang mendorong aktor mereproduksi habitus yaitu bahwa
aktor-aktor mampu menilai, mempersepsi, mengevaluasi dunia sosialnya dengan
melihat dampak yang di sebabkan oleh adat kematian. Dalam artian bahwa aktoraktor memliki pengetahuan untuk merubah habitus (adat kematian) yang
kemudian membentuk forum.

62

Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan ditemukan
bahwa adat kematian di Sumba Timur selain memiliki nilai filosofis budaya
namun tanpa disadari memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Sebagai berikut :
6.2.1

Segi ekonomi

Berdasarkan hasil analisis dilakukan pada bab sebelumnya (Bab V) bahwa
upacara adat kematian yang dilakukan di Sumba Timur memiliki pengaruh
terhadap masyarakat yaitu biaya tinggi dikeluarkan pada saat upacara adat
kematian menyebabkan beban ekonomi. Selain itu gengsi sosial pada masyarakat
menyebabkan hutang yang dapat menpengaruhi ekonomi masyarakat. Tuntutan
adat kematian juga menyebabkan orang Sumba Timur berlomba-lomba untuk
melakukan upacara adat kematian, hal ini sebabkan karena adat kematian sudah
tereduksi pada kepentingan individual karena terjadi pergeseran. Oleh karena
modal budaya adat kematian berubah makna menjadi modal ekonomi dan
simbolik. Hal perkuat oleh pernyataan bapak Paulus, sebagai berikut:
“Kalau dari sisi ekonomi mayat itu disimpan lama karena belum
ada biaya penguburan, kalau masa dulu sebelumnya 3 hari 7 hari saja
tapi setelah habis penjajahan Belanda masa 30-an pengaruh ekonomi
sangat besar sekali kalau dia tidak punya apa-apa di simpan dulu ini
mayat kapan dia sudah punya biaya baru direncanakan penguburan
jadi ada pengaruhnya bagi masyarakat yang kurang mampu adanya
gengsi sosial mempengaruhi masyarakat yang kurang mampu untuk
melaksanakan upacara adat kematian. Contoh kalau babi satu ekor
saja yang ada di dalam rumah pasti di bawa sudah kabamata (harga
diri). Inikan hubangan sosial tadi yang saya katakan jadi itu
pengaruhnya besar meskipun kalau dia harus berusaha sedimikan
rupa untuk bisa beli babi dan yang terjadi adalah utang permanen jadi
kalau tidur kepikiran terus sudah karena pinjaman-pinjaman tadi dia
harus ganti. Jadi dari sisi batin tidak ada sejahtera tertekan terus,
terganggukan ini dari sesi ekonomi juga berpengaruh sekali jadi bagi
yang mempunyai ekonomi menengah ke atas dia tidak terlalu
berpengaruh kalaupun dari sisi materinya tapi keluarga menengah ke
bawah sangat berpengaruh sekali apalagi anak yang sedang
bersekolah karena persoalan kabamata (harga diri) dia malas tau
sudah pada hal anak ada berteriak minta uang sekolah. Inilah
kelemahan kita orang Sumba sehingga dengan itu kita perlu
melakukan gagasan perbaikan supaya demikian perlahan-lahan tidak
seperti itu lagi. Kalau dari sisi ekonomi memang disini perlu
perdebatan karena kita sudah terjebak dari posisi sosial, prestice
sosial kepada hal-hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan dan

63

tidak boleh terjadi dan itu berdampak pada persoalan ekonomi karena
itu sekarang kita lakukan penyederhanaan adat sehingga dengan
demikian ekonomi kita terbangun ada penghematan biaya disana dan
ada penghematan waktu dan tenaga22
Kebiasaan dalam menyimpan mayat yang relatif lama (berhari-hari,
bahkan bertahun-tahun) dan mengeluarkan biasa yang begitu besar (mewah)
sudah menjadi kebiasaan masyarakat Sumba Timur. Kebiasaan yang dilakukan
orang Sumba ini tidak lagi melihat persoalan ekonomi, tetapi karena sistem
kekeluargaan itu terkadang mensyaratkan ekonomi untuk mempertahankan harga
diri (inventasi simbolik). Walupun sebenarnya itu merupakan konstruksi makna
karena terjadi pergeseran. Menarik bahwa prinsip dasar kehidupan orang Sumba
sebenarnya adalah kebersamaan yang dijunjung dengan nilai-nilai budaya dan
gotong royong tetapi kini berubah menjadi prinsip individual (prestice). Hal ini
juga perkuat kembali oleh bapak Marius, Yusak, Yonathan dan Stepanus yang
memiliki pernyataan yang sama:
“Kita lihat masyarakat ini semakin miskin, bisa dikatakan sebab
apa yang dimiliki itu seolah-olah untuk kebaikannya yang meninggal
sudah jadi itu dari sisi ekonomi sama saja tidak menguntungkan. Pada
hal kita sekarang ini Kristen di Sumba hampir sudah 80 persen.
Sebenarnya kita orang Sumba lebih ke gengsi sosial tidak mau kalah
dengan orang lain sehingga kita ini berlomba-lomba melakukan
upacara adat hanya karena kita ingin mempertontonkan
kedudukan/pengakuan di depan orang lain. Itulah kelamahan kita
orang Sumba walaupun sudah miskin tetapi kita tetap berusaha
melakukan pesta adat kematian yang bersifat mewah yang
menghabiskan biaya yang banyak meskipun kita ini hutang kiri
kanan. Karena hutang yang banyak tadi dalam kematian orang tidak
lagi memikirkan ekonomi dan pendidikan tetapi karena tuntutan
hutang menjadi beban bagi dia”23
Senada dengan pernyataan tersebut diatas ditambahkan juga oleh bapak
Umbu Reku bahwa adat kematian ini memiliki dampak. Hal inilah yang menjadi
habitus aktor karena mampu mereproduksi pengalaman yaitu dampak adat
kematian:

22
23

Wawancara Bapak Paulus Pada Tanggal 21 Januari 2016
Wawancara Bapak Marius Pada Tanggal 22 Januari 2016

64

“Ya ini sangat memiliki dampak walaupun kita tidak sadar bahwa
ada banyak pendapat juga bahwa budaya itu tidak memiskinkan
masyarakat ada juga yang mengatakan kadang-kadang budaya
memiskinkan. Saya lebih melihat masa depan anak-anak ya, saya 15
tahun sudah bekerja di lembaga sebagai pemirihati anak jadi saya
tahu kondisi masyarakat. Kadang-kadang masalah budaya juga
menghambat kepentingan masyarakat itu. Contoh kasus yang paling
kecil upaya kita memberikan bantuan di masyarakat ada program
ternak. Peternakan sapi/babi untuk kita berikan pada kelompokkelompok tapi karena lebih tingginya ini kekuatan budaya kadang
masyarakat program pemerintah/lembaga lain hanya di gunakan
untuk kepentingan sesaat saja. Misalnya di berikan 60 ekor perdesa
mereka lebih lebih menggunakan dalam hal budaya jadi nanti bilang
hewannya mati hewannya hilang pada hal ini program untuk kebaikan
mereka. Budaya penting bagi kita karena merupakan daya tarik
pariwisata, tetapi bagaimana kita meramulnya kembali, bagaimana
kita memperbaiki kedepan sehingga tidak terlalu memboroskan jadi
kita berpikir untuk masa depan anak kita yang masih banyak
membutuhkan perhatian terutama anak-anak kita sehingga secara
tidak langsungkan kita bisa berinventasi. Misalnya kita pelihara babi
kita jual babinya kan bisa tabung untuk mereka atau pelihara kuda
atau kerbau”24
Berdasarkan pernyataan tokoh diatas maka disimpulkan bahwa adat
kematian memiliki pengaruh negatif pada segi ekonomi dan pendidikan. Seperti
pada pembahasan sebelumnya bahwa adat kematian terjadi pergeseran hal ini
karena adat kematian sudah direduksi oleh sebagian orang sebagai modal ekonomi
dan simbolik. Persoalan ini berdampak pada masyarakat menengah kebawah,
walaupun secara ekonomi tidak mampu tetap melakukan upacara adat kematian
yang mengeluarkan biaya yang besar. Melalui inventasi simbolik bahwa meraka
juga akan berusaha memperoleh pengakuan/kedudukan (prestice) sehingga
berhutang. Namun di satu sisi mereka tidak lagi melihat persoalan ekonomi.
6.2.2 Kabamata: akumulasi modal budaya dan simbolik yang
berujung pada kemiskinan.
Pergeseran makna dan nilai adat kematian karena reproduksi makna yaitu
ketika modal budaya direduksi dalam kepentingan modal ekonomi dan simbolik.
Sekarang ini adat kematian sering dijadikan sebagai alat oleh oknum-oknum

24

Wawancara Bapak Umbu Reku pada tanggal 27 januari 2016

65

tertentu untuk kepentingan prestice sosial. Selain itu adat kematian menjadi bisnis
ekonomi untuk mencari keuntungan (modal ekonomi). Dalam kaitannya dengan
Bourdieu tentang arena dan modal, bahwa didalam arena aktor-aktor berlombalomba melakukan upacara adat kematian dengan modal yang dimiliki. Modal
yang digunakan aktor untuk mencapai modal ekonomi adalah modal budaya (adat
kematian) dan modal social (jaringan melalui hubungan kekerabatan). Modal
sosial yang dimiliki oleh setiap aktor adalah dengan memanfaatkan modal budaya
yaitu adat kematian, adanya pihak anakawini dan pihak yera dalam adat kematian
dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Artinya dalam arena adat
kematian setiap modal berkoloborasi satu sama lain.
Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa gengsi sosial
muncul karena adanya sistem dominasi. Berangkat dari pemahaman ini bahwa
dalam urusan adat kematian baik miskin maupun kaya orang berlomba-lomba
untuk melakukan adat kematian. Sebagai contoh orang yang mampu pasti
semakin tinggi kedudukannya di masyarakat karena besar biaya yang
dikeluarkkan saat upacara adat kematian dan semakin terpandang dilihat orang
lain. Sedangkan orang yang kurang mampu akan berusaha sedemikian rupa untuk
melakukan upacara kematian walaupun secara ekonomi tidak mampu tetapi
berusaha dengan cara hutang. Untuk itu persoalan masyarakat ini seolah-olah
mereka bimbang karena disatu sisi mereka berusaha keluar dari dominasi dengan
menggunakan strategi inventasi simbolik (pengakuan/prestice). Namun disisi lain
juga persoalan ekonomi karena besarnya biaya yang dikeluarkan saat adat
kematian. Hal inilah menjadi sebuah dilema bagi masyarakat karena disatu sisi
ingin keluar dari dominasi tetapi disisi lain berdampak pada beban ekonomi. Hal
ini terjadi karena “kabamata ” atau harga diri yang ingin di pertahankan. Seperti
yang diungkapkan oleh Bapak Paulus, Marius, Yusak dan Stepanus yang
memiliki pemahaman yang sama, sebagai berikut:
“Kalau dari sisi ekonomi kita sudah terjebak dari posisi sosial,
prestice sosial kepada hal-hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan
atau terjadi karena ini berdampak pada persoalan ekonomi. Dari
aspek politik juga karena disebabkan prestice social, orang Sumba ini
lebih kepada gengsi sosial orang bilang kabamata sudah padahal tidak
punya apa-apa juga. Tapi karena gengsi sosial mau tidak mau wah
66

orang bilang apa sama saya ini misalnya kalau bapa saya meninggal
nenek saya meninggal. Pola pikir ini lah yang harus dirubah. Karena
berdampak pada ekonomi juga karena gengsi tadi. Misalnya kaitan
dengan budaya adat kematian itu tadi mempertontonkan pamor
sosialnya mempertontonkan gengsi sosialnya sehingga orang bisa
menilai bahwa dia adalah keyparson orang mampu dalam lingkup
itu.”25
Reduksi makna adat kematian menjadi salah satu faktor gengsi sosial yaitu
pola pikir masyarakat tentang adanya dominasi dan juga sifat tidak mau kalah
dengan kedudukan orang lain sehingga menyebabkan persaingan ekonomi. Aktoraktor akan memperebutkan modal dalam arena seperti modal ekonomi, modal
simbolik, modal sosial. Modal simbolik di pertaruhkan oleh aktor dengan tujuan
pengakumulasian modal ekonomi, sosial dan juga simbolik. Orang yang
ekonominya mampu akan memanfaatkan orang yang ekonominya lemah melalui
upacara adat. Misalnya semakin mewah upacara adat kematian yang dilakukan
maka semakin tinggi kedudukan/penghargaan dia di lingkuangan masyarakat,
tetapi membawa dampak pada masyarakat yang ekonomi menengah kebawah
karena mereka juga ingin memperoleh pengakuan dan kedudukan maka mereka
berusaha melakukan upacara adat kematian yang sifatnya mewah dengan cara
hutang. Berdasarkan persoalan tersebut inilah yang menjadi sebuah dilema di satu
sisi masyarakat ingin keluar dari dominasi kelas namun disatu sisi juga mereka
ingin menginventasikan modal simbolik (pengakuan). Teori praktek Bourdieu
hadir untuk membedah kaum dominasi ekonomi maupun dominasi simbolik dan
hendak memahami struktur sosial masyarakat, sekaligus perubahan dan
perkembangan yang terjadi.
6.2.3

Dualisme agama

Pada umumnya sekarang ini sebagian besar masyarakat Sumba Timur
sudah beragama Kristen, tetapi menarik bahwa dalam urusan kematian masih
mendua dalam melakukan upacara adat kematian yaitu melakukan upacara adat
kematian secara budaya Marapu dan Kristen. Orang Sumba walaupun sudah
Kristen tetapi dalam menguburkan orang mati masih menggunakan tata cara

25

Wawancara Bapak Paulus Pada Tanggal 21 Januari 2016

67

budaya marapu. Hal inilah yang bertentangan dalam agama Kristen. Berdasarkan
hasil penelitian ditemukan bahwa pelaksanaan upacara adat kematian terjadi
dualisme. Misalnya dalam hal penyimpanan mayat itu bahwa masih ada seorang
pendeta yang menyimpan mayat yang relatif lama dua tahun, sepuluh tahun
bahkan berpuluh tahun dan selain itu juga masih menggunakan ritual Marapu.
seperti yang disampaikan oleh bapak Paulus dan Marius:
“Kalau dari segi agama kita orang Sumba GKS ini sudah terjebak
karena nama gereja. Gereja Kristen Sumba pendeta-pendeta begini
masih gereja secara teologia saya dulu 25 tahun masih bekerja
sebagai pelayan di kanatang kurang lebih 5 tahun itu maramba sudah
Kristen, liturgi pemakaman secara kristen jalan tetapi setelah selesai
di kembalikan kepada budaya dan itu tidak boleh karena itu
bertentangan kalau kristen, ya kristen jangan lagi masuk ke budaya
marapu. Selain itu ada juga pendeta, padahal sudah pendeta tetapi
masih melakukan ritual marapu inikan bertentangan”26
Menurut Bourdieu dalam Ritzer (2010) menguraikan habitus sebagai akal
sehat (common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur
kelas seperti kelompok usia, jenis kelamin dan kelas sosial. Sejalan dengan
dualisme agama bahwa masyarakat sekarang ini terjadi pertarungan di dalam
arena adat kematian dalam artian bahwa habitus bisa jadi merupakan fenomena
kolektif, dia memungkinkan orang memahami dunia sosial melalui pengetahuan
dan pengalaman, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia sosial
dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor.
Menarik bahwa habitus sebagai common sense (akal sehat) menjadi arena
pertarungan aktor yaitu field agama Kristen dan field budaya Marapu. Logikanya
bahwa dalam pandangan agama Kristen bahwa menyimpan mayat yang lama
dengan menggunakan ritual marapu ini menjadi hal yang tidak masuk akal karena
bertentangan. Namun dalam kepercayaan marapu bahwa upacara upacara adat
kematian dilaksanakan apabila sudah memiliki biaya penguburan. Sehingga
kebiasaan menyimpan mayat itu sudah menjadi kebiasaan. Melalui pemahaman
inilah aktor melakukan praktek karena berpikir secara rasional yang oleh

26

Wawancara Bapak paulus 21 januari 2016

68

Bourdieu mengatakan bahwa aktor bertindak karena berpikir secara akal sehat
(common sense).

6.3 Peran Aktor Dalam Membentuk Forum
Bagian ini menjelaskan bahwa forum merupakan hasil reproduksi habitus
dan juga modal. Bourdieu mengartikan bahwa forum merupakan Struktur-Struktur
yang dibentuk dan struktur-struktur yang membentuk. Secara sederhana dapat
dilihat bahwa forum terbentuk karena aktor-aktor memiliki habitus tentang adat
kematian sehingga kemudian aktor-aktor ini mereproduksi habitus menjadi
tindakan dengan membentuk forum.
6.3.1

Sekilas Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu

Dalam konsep Bourdieu forum merupakan instrumen sistem yang
menstruktur dan struktur yang mensistemkan. Artinya bahwa sebagai wujud
sistem habitus praktek adat kematian dipandang oleh beberapa pihak dalam
melihat dampak adat kematian yang berujung pada kemiskinan masyarakat,
sehingga forum peduli adat di bentuk sebagai salah satu alternatif solusi untuk
mengatasi persoalan adat kematian.
Berdasarkan hasil wawancara disimpulkan bahwa latar belakang
munculnya penyederhanaan adat kematian yaitu berangkat dari refleksi dan
pengalaman aktor dalam melihat dampak pelaksanaan adat kematian di Sumba
Timur. Aktor-aktor tersebut memiliki kepedulian dan keprihatinan terhadap
kehidupan sosial masyarakat sehingga berinsiatif membentuk satu forum sebagai
badan pemberdayaan masyarakat. Berangkat dari realitas kemiskinan dan
pengalaman aktor dalam melaksanakan upacara adat kematian juga mendorong
mereka untuk berinsiatif membentuk forum. Hal ini juga terjadi karena aktor-aktor
memiliki habitus dan modal.
Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu merupakan sutu organisasi yang
bergerak di bidang budaya yaitu penyederhanaan adat di Sumba Timur.
Perkumpulan dalam forum ini terdiri dari tokoh adat, tokoh agama, tokoh
masyarakat

maupun

tokoh

pemerintah.

Forum

ini

bertujuan

untuk

memberdayakan masyarakat secara aktif dalam mewujudkan ide dan gagasan
penyederhanaan adat kematian dalam upaya mensejahterakan masyarakat baik di

69

bidang pendidikan, ekonomi maupun sosial budaya. Peran dan fungsi forum
adalah memfasilitasi masyarakat baik secara perorangan/keluarga maupun kabihu
melalui kegiatan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat. Sedangkan
fungsinya adalah membantu, mendampingi, memberdayakan serta menggerakkan
masyarakat untuk melaksanakan tahapan proses penyederhanaan adat kematian
tanpa menghilangkan makna dan nilai budaya.
Berdasarkan latar belakang terbentuknya, forum ini terbentuk pada tanggal
12 agustus tahun 2013 di Waingapu. Pada saat itu masih bersifat organisasi tanpa
bentuk yaitu bersifat sementara dan belum berbadan hukum namun karena
perjuangan tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan lembaga
Wahana Visi Indonesia (WVI) sehingga pada tanggal 11 November tahun 2014
forum ini resmi menjadi satu organisasi forum adat Sumba Timur atau LSM yang
berfokus pada bidang sosial budaya yaitu penyederhanaan adat kematian. Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa forum ini terbentuk berangkat dari rasa
kepedulian dan pengakuan-pengakuan dari beberapa aktor yang prihatin terhadap
Sumba Timur. Forum ini juga bertolak dari persoalan kemiskinan terkait dengan
realitas pelaksanaan adat kematian untuk itu tokoh-tokoh berinsiatif membentuk
forum sebagai salah satu solusi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan bapak Marius
menyampaikan tentang latar belakang terbentuknya forum:
“Cerita awalnya ini saya deklarasi pada tanggal 30 November
2011 itu deklarasi pertama itu di kampung saya. Setelah itu WVI
mulai pakai saya sudah untuk laksankan sosialisasi-sosialisasi
penyederhanaan adat di desa wilayah binaannya. Saya sendiri dulu
pak Paulus belum, pak Lapue belum terus pak Elias juga belum jadi
saya mulai cari-cari teman kalau pemikiran saya sendiri ya tidak
mungkin jadi cobalah dekati tokoh-tokoh yang bisa membantu untuk
menjelaskan ini maksud penyederhanaan adat. Seperti pak Paulus,
Umbu Rada, Umbu Tunggu karena dia wunang jadi saya sudah yang
ajak mereka. Saya yang pertama keliling dari hahar dan pak Lapue.
Setelah itu kita mulai banyak sudah akhirnya kalau sudah turun itu
kita mulai pakai Tim sudah begitu. Jadi awalnya yang mempunyai
inisiatif itu adalah saya dan dengan bergabungnya pak Lapue kan
pikiran saya lebih terbuka apalagi dia ini mantan Bupati jadi apa yang
dia omong pasti orang dengar begitu. Mulai bergabung sudah om
Paulus saya ajak dia karna selalu kawan dan sejalan pikiran, dia juga
salah satu yang merasakan akibatnya ini budaya adat, karena kalau
pak Paulus tidak ada misalnya mauliru, lambanapu ini kalau dia tidak
70

ada dalam adat kematian itu adat kematian itu tidak jalan seperti itu to
dan itu sering dan salah satu tokoh yang berpengaruh sekali. Jadi mau
tidak mau dia harus berkorban sudah jadi dia harus bantu sudah to
dan dia juga rasa itu jadi dia mulai bergabung sudah”27
Terbentuknya Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu melalui inisiatifinisiatif aktor yang prihatin terhadap pelaksanaan adat kematian sehingga mereka
membentuk forum. Aktor-aktor dalam forum ini dapat membentuk forum karena
masing-masing memiliki modal (modal budaya, sosial, simbolik). Modal budaya
yang dimiliki oleh aktor-aktor ini adalah pengetahuan tentang adat kematian.
Modal sosial yang dimiliki adalah bahwa rata-rata aktor sudah memiliki jaringan
dan hubungan baik karena sudah saling mengenal satu sama lain. Modal simbolik
yang dimiliki aktor ini juga memudahkan mereka membentuk satu forum yaitu
sebagai mantan bupati, mantan camat, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh
agama. Unsur kepercayaan antar aktor juga di pengaruhi oleh modal simbolik
yang dimiliki setiap aktor. Lembaga WVI juga memiliki peran yang cukup
penting dalam membentuk Forum yaitu berinsiatif membuat seminar budaya yang
diikuti oleh beberapa pihak yang peduli terhadap budaya. WVI ini mampu
mengumpulkan aktor-aktor yang memiliki pengaruh di Sumba Timur. Unsur
yang dibangun ini juga menjadi pendorong dalam membentuk forum. Hal ini di
perkuat oleh pernyataan bapak Paulus dan Umbu Reku yang menceritakan latar
belakang terbentuknya forum :
“Kita beberapa orang waktu itu seminar WVI, seminar budaya
tahun 2007 jadi kami diundang waktu itu banyaklah kami yang
diundang tokoh-tokoh sumba timur baik dari gender, tokoh agama,
tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan lain sebagainya.
Ketika waktu kami seminar ada dari jakarta dari WVI pusat dia di
bagian devisi budaya, diskusi-diskusi pokoknya perdebatan cukup
alot kita bentuklah tim salah satu timnya adalah saya, pak lapoe, pak
marius korumuki, pendeta elias, pendeta andreas hani kami coba
merumuskan itu dari diskusi-diskusi tadi seminar kita seminarseminar-seminar-kita merumuskan lagi kita seminarkan lagi kita
tuangkan sudah dalam satu konsep kita seminarkan ini konsep, kita
seminarkan ini gagasan keluar daerah. Waktu pertemuan kita
seminarkan di kedutaan australia dan responya luar biasa waktu itu
setelah respon bagus begitu waktu itu kita buat sudah satu instrument
27

Wawancara Bapak Marius Pada Tanggal 22 Januari 2016

71

baru lah keluar akte notaris dan kita buat anggaran rumah
tangganya”28
Peran WVI dalam mengumpulkan tokoh-tokoh yang berpengaruh di
Sumba Timur mampu membentuk forum adat hal ini diperkuat kembali oleh
pernyataan Bapak Lapoe Mokoe sebagai ketua Forum Peduli Adat Pangadangu
Mahamu:
“Pemicu pertama itu memang datang dari WVI. Jadi WVI ini
program mereka di Sumba Timur adalah pendidikan anak. Sehingga
mereka melihat dalam hal pendidikan anak ini pengaruh yang paling
besar itu adalah adat. Itu mereka lihat di desa jadi itu pak Amsal
almarhum ini lalu dia menghubungi kami satu persatu ngomong lalu
kemudian muncullah wacana ini. Keinginan kami secara bersamasama mencoba untuk mengajak masyarakat untuk berpikir ulang lagi
tentang pelaksanan adat itu. Jadi mulai musyawarah-musyawarah dan
itu di sponsori oleh WVI dan kami memang merasa dan langsung
menerima ide itu karena kami juga secara pribadi masing-masing
sudah melihat keadaan yang pincang di masyarakat ini. Jadi pertama
karena masing-masing dari anggota forum ini sudah merasakan
masalah ini, WVI sudah melihat itu bukan hanya di Sumba Timur tapi
diseluruh NTT. Jadi mereka, berinisiatif untuk menghubungi
beberapa tokoh adat lalu memberikan ide lalu bagaimana kalau buat
suatu gerakan begitu. Penyerderhanaan adat itu artinya, kita tidak
merubah adat, adat tetap harus bisa berjalan karena itu mempererat
hubungan kekeluargaan tetapi tidak boleh adat itu menyebabkan
orang tambah miskin”29
Pengalaman masing-masing aktor dalam melaksanakan adat maupun
dalam milihat dampak adat kematian di Sumba Timur mendorong mereka untuk
berinsiatif membentuk forum sebagai salah satu tindakan. Sejalan dengan
pandangan Bourdieu tentang habitus, habitus mendasari terjadinya kehendak
merespons, merasa, berpikir, bertindak, dan bersosialisasi dengan individu lain,
lingkungan di luar diri maupun pelbagi perlengkapan yang menyertai diri.
Menurut bourdieu habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan
representasi. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar
oleh aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan
dalam kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal
28
29

Wawancara Bapak Paulus Pada Tanggal 21 Januari 2016
Wawancara Bapak Lapoe Pada Tanggal 5 Pebruari 2016

72

(reasonable). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk

apa aktor bertindak, inilah yang disebut dengan logika tindakan Bourdieu
(Bourdieu, 1990: 92). Senada dengan penelitian ini bahwa forum juga merupakan
produk sejarah, produk dari struktur sosial (adat kematian) yang terbatinkan yaitu
melalui pengalaman itu memberi ruang bagi reproduksi habitus baru. Reproduksi
habitus tersebut adalah membentuk forum untuk penyederhanaan adat kematian.
Pernyataan Bapak Marius, Bapak Paulus dan Bapak Lapoe diatas terlihat bahwa
mereka memiliki habitus. Pengetahuan tentang sejarah adat kematian dan
pengalaman dalam melihat dampak adat kematian juga menjadi titik tolak mereka
untuk melakukan tindakan praktek.
Peran Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu adalah memfasilitasi
masyarakat baik secara perorangan atau keluarga maupun kabihu melalui kegiatan
sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat untuk berpartisipasi aktif dalam
tahapan penyederhanaan adat kematian. Visi forum ini yaitu terciptanya
masyarakat (kabihu) yang melaksanakan adat kematian secara sederhana tanpa
menghilangkan makna budaya. Sedangkan misinya antara lain; 1) melaksanakan
penyuluhan

secara

holistic

tentang

tujuan,

maksud

dan

pentingnya

penyederhanaan adat 2) membuat kesepakatan antara seluruh komponen
masyarakat. 3) melaksanakan deklarasi penyederhanaan adat kematian.
6.3.2

Struktur Organisasi Foum Peduli Adat Pangadangu Mahamu

Struktur organisasi forum peduli adat pangadangu mahamu terdiri dari
ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan anggota seperi berikut ini:
Tabel 6.1.
Struktur Organisasi Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9.

NAMA PENGURUS
Dr.Lapoe Mokoe
Marius Kuramoki, S.sos
Paulus Kabubu Tarap, S.kom
Umbu Rada, B.A
Umbu Tunggu Nggilimara
Martha Ndjalapati
Pdt. Yulius Djara, SM.TH
Umbu Hina Ranjawali
Pdt. Johanis Ngongo Umbu Lado,
M.TH

73

JABATAN
Ketua
Wakil Ketua I
Wakil Ketua II
Bendahara
Sekretaris
Wakil Sekretaris
Anggota
Aanggota
Anggota

Tabel diatas menunjukan struktur organisasi Forum Peduli Adat
Pangadangu Mahamu di Sumba Timur. Peran dan fungsi forum ini adalah
melakukan sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa-desa
yang ada di Sumba Timur. Tokoh-tokoh dalam forum ini memiliki peran dan
fungsi yang berbeda-beda dalam forum tetapi dalam melaksanakan sosialisasi dan
deklarasi tokoh tersebut diatas memiliki peran yang sama yaitu melakukan
sosialisasi dan deklarasi penyederhanaan adat kematian di desa

6.4 Peran Aktor Dalam Mereproduksi Habitus: Menciptakan
Penyederhanaan Adat Kematian
Bersumber pada pembahasan sebelumnya (bab V) bahwa habitus yang
dimiliki aktor (forum) tentang adat kematian dan juga modal budaya pengetahuan
tentang sejarah dan makna adat kematian. Maka aktor-aktor (forum) mampu
mereproduksi adat kematian menjadi sederhana. Selain itu juga berangkat dari
dampak pelaksanaan adat kematian bahwa terjadi pergeseran nilai dan makna hal
inlah yang menjadi modal aktor untuk merubah sistem dan struktur adat kematian.
Berikut ini merupakan unsur-unsur tahapan adat kematian yang di reproduksi oleh
Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu30, bahwa unsur tersebut dibentuk
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dalam melihat semua aspek dalam
pelaksanaan adat kematian di masyarakat. Unsur tersebut tidak terlepas dari peran
aktor dalam merancang sebuah konsep penyederhanaan adat kematian hal ini
disebabkan karena aktor memiliki habitus dan modal. Tindakan yang dilakukan
oleh aktor-aktor ini pada dasarnya bertolak dari nilai-nilai sejarah leluhur orang
Sumba. Menarik bahwa di satu sisi penyederhanaan adat bertujuan untuk
mengatasi persoalan ekonomi yang berdampak pada kemiskinan, namun disatu
sisi bahwa aktor bertujuan mengembalikan nilai-nilai budaya leluhur pertama
yang hampir hilang.

30

Unsur-unsur (bentuk, susunan dan tata cara pelaksanaan upacara adat kematian yang sudah
disederhanakan) ini diperoleh dari Berkas-berkas Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu dan
juga diperoleh saat penulis mengikuti rapat pertemuan Forum di Sumba Timur.

74

6.4.1 Lama Penyimpanan Mayat
Lama penyimpanan mayat dari waktu yang tidak terbatas menjadi terbatas
yaitu 3 hari sampai 8 hari dengan 3 alasan pokok yang mendasari pertimbangan
ini antara lain: a) Pembatasan ini mampu menghemat biaya yang akan di
keluarkan b) Masyarakat dapat menghemat waktu bekerja atau tidak membuangbuang waktu kerja c) dari aspek kesehatan menyimpan mayat dalam waktu lama
akan menimbulkan berbagai penyakit yang merugikan masyarakat.
Penentuan waktu maksimal 8 hari memiliki makna filosofis dengan
sejarah kejadian penciptaan orang Sumba dalam awal hidup yang dipercayai
bahwa awal penciptaan leluhur orang Sumba yang terdiri dari 8 putra bangsawan
dan 7 putri ratu yang tinggal di 8 tingkatan langit dan 8 lapis awan yang dalam
bahasa Sumba Walu Ndani Awangu-Pitu Ndawa Tana (Oe. H. Kapita :1976)31.
Penentuan ini bermaksud agar masyarakat tidak melupakan sejarah penciptaan
leluhur orang sumba. Hal ini juga mempunyai tujuan bahwa dengan menentukan
waktu penguburan bertolak dari nilai-nilai budaya agar terus di pertahankan.
Sehingga penyederhanaan adat kematian ini disisi lain bertujuan mengatasi
persoalan sosial ekonomi tetapi juga memiliki nilai filosofis yaitu mengangkat
kembali nilai-nilai leluhur budaya.
6.4.2 Cara Mengundang
Aspek mengundang merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan
dari ritual adat kematian. Ada satu kebiasaan orang Sumba kalau tidak diundang
maka dia tak akan datang melayat dan sampai pada saat penguburan. Dalam
mengundang ada 2 tahap :
a) Tahap pertama adalah undangan sebagai pemberitahuan tentang kematian
yang diistilahkan “Peka Meti” (pemberitahuan kematian) dan ini
dilaksanakan secepat mungkin. Undangan ini bermaksud untuk diketahui
oleh para keluarga dan handai taulan supaya segera datang melayat dan
sudah pasti membawa Yubuhu (kain atau sarung). Pada tahapan ini belum
ada beban adat.
31

Penjelasan ini dapat dilihat dalam sejarah penciptaan leluhur orang Sumba di buku Oe Hina
Kapita, 1976. Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatny.

75

b) Tahap kedua adalah undangan untuk penguburan. Undangan ini ada 2
macam yakni undangan biasa pada seluruh keluarga dan handai taulan
yang bukan Yera dan Anakawini untuk menghadiri penguburan dan belum
ada beban adat. Undangan khusus kepada Yera dan Anakawini untuk
datang disaat penguburan. Undangan khusus inilah yang mengundang
muatan beban adat. Karena ketika pergi mengundang memakai wunang
dengan membawa alas bicara (lata ngaru) berupa mamuli untuk Yera dan
kain atau sarung untuk Anakawini. Yang diundang akan menjamu wunang
dengan menikam seekor babi dan berjanji akan hadir dalam penguburan
nanti.
Melalui pertimbangan yang bersifat mengefisienkan waktu, dana dan
tenaga maka dapat disimpulkan oleh forum bahwa kedua tahap mengundang yang
biasanya dilaksanakan secara terpisah akan dilakukan sekali jalan untuk
menghemat waktu, biaya dan tenaga. Undangan untuk Yera dan Anakawini ini
tidak harus memakai wunang. Jika memakai wunang perlu juga membahasakan
undangan secara baik kepada pihak yang diundang. Bahasa undangan yang tidak
mengandung beban adat ini disederhanakan dengan bahasa: la puluna i karitu
atau la ngaruna i karitu jika diartikan dalam bahasa indonesia yaitu didalam

firman tuhan atau melalui mulut tuhan sehingga dapat diartikan bahwa
mengundang dengan cara sederhana atau kristen. Dengan bahasa ini yang
diundang akan memahami bahwa dalam penguburan tidak lagi memiliki beban
dan dampak.
6.4.3 Pakameting
Pakametingu merupakan salah satu tahapan ritual adat kematian untuk
menjamu dengan makan dan minum kepada kerabat-kerabat yang punya
hubungan baik karena faktor genealogis (hubungan darah). Pada tahap inilah
sangat nampak adanya pemborosan yang dapat menimbulkan beban ekonomi
karena menguras harta kekayaan yang dimiliki bahkan sampai berani berhutang
bahkan menggadai apa yang dimiliki. Semua yang diboroskan ini sebenarnya
sangat berguna untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat terutama
masa depan pendidikan maupun untuk kebutuhan ekonomi masyarakat. Kebiasan

76

hidup boros apalagi kalau hanya alasan prestise bisa membenarkan adanya ucapan
yang mengatakan dalam bahasa Sumba: “kaba mata” “humba li la mohu” yang
berarti orang Sumba jalan hidupnya menuju lenyap atau menuju ke kehidupan
yang semakin sulit. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pakametingu untuk
menjamu para kerabat Yera dan Anakawini diganti dengan cara menjamu makan
secara umum. “la puluna i karitu” tidak lagi menjamu mereka seperti biasa
dilakukan yang menimbulkan pemborosan. Sebagai tanda ucapan terima kasih
atas pembawaan para Yera dan Anakawini diatur sebaik-baiknya dengan cara yang
tidak menimbulkan rasa tidak dihargai.
Bagi yang membantu pihak berduka yang biasa disebut dalam bahasa
Sumba :“angga karaha-ndula kejia ” supaya bergabung dengan keluarga berduka.
Dalam artian bahwa segala bantuan berupa apa saja diserahkan kepada keluarga
duka untuk meringankan beban dan dipergunakan untuk kebutuhan keluarga duka.
Pada proses ini perlu dicatat atau diingat oleh keluarga duka dan jangan dianggap
sebagai kewajaran yang tidak perlu diingat atau dibalas.
6.4.4 Pembawaan Yera Anakawini dan Cara Membalasnya.
Pembawaaan yera dan ana kawini yang biasanya membahawa barang
berharga atau hewan kepada pihak duka dan juga cara membalas pembawaan,
maka ditawarkan oleh Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu antara lain: a)
Pembawaan yera dan ana kawini dimaknai sebagai sumbangan dan penghargaan
yang meringankan beban keluarga yang berduka dalam artian tidak menuntut
balasan b) Tidak ada kemeti khusus untuk mereka (yera-ana kawini), namun
sebagai orang yang berbudaya harus tahu berterimakasih atas penghargaan oleh
yera maupun ana kawini. Undangan disampaikan dengan cara “la puluna i

karitu” sehingga kehadirannya tidak harus dibalas, kalaupun membawa terserah
menurut perasaan karena apapun yang dia bawa harus diartikan sebagai
sumbangan dan penghargaan kepada yang berduka.
6.4.5 Yubuhu sebagai kain kafan mayat
Pada zaman nenek moyang orang sumba dulu membungkus mayat dengan
kain berlapis-lapis sampai puluhan jumlah kain sarung dengan ada beberapa
alasan antara lain: a) Dulu mayat belum ditaruh dalam peti yang tertutup rapat

77

sehingga mengeluarkan rasa bau yang mengganggu para pelayat b) Sebagai tanda
penghargaan dan penghormatan yang terakhir kepada yang meninggal. Sehingga
berdasarkan pertimbangan tersebut jumlah kain yang dibawa dibatasi menjadi 1-3
lembar kain Sumba atau sarung yang di bawa pada pertama kali melayat dan pada
saat penguburan.

78