Relevansi Sistem Presidensial Dan Multi

SISTEM PRESIDENSIIL DENGAN MULTI PARTAI

2.4. PEMILU, PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN MULTIPARTAI

2.4.1. Pemilu

Bagi sejumlah negara yang menerapkan atau mengklaim diri sebagai negara demokrasi (berkedaulatan rakyat), pemilu memang dianggap sebagai lambang sekaligus tolak ukur utama dan pertama dari demokrasi itu.1 Artinya pelaksanaan dan hasil pemilu merupakan refleksi dan suasana keterbukaan dan aplikasi dari nilai dasar demokrasi, disamping perlu adanya kebebasan berpendapat dan berserikat yang dianggap cerminan pendapat warga negara. Alasannya, pemilu memang dianggap akan melahirkan suatu representasi aspirasi rakyat yang tentu saja berhubungan erat dengan legitimasi bagi pemerintah.2

Betapa pentingnya Pemilu sebagai ukuran bagi kualitas demokrasi, maka konstitusi memasukan pengaturan mengenai Pemilu didalamnya. Ketentuan tentang Pemilu diatur dalam Pasal 22E UUD 1945:

Ayat 1

Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Ayat 2

Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ayat 3

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

Ayat 4

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

Ayat 5

Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Ayat 6

Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.3

Dari ketentuan tersebut ada beberapa poin yang dapat digarisbawahi bahwa; Pemilu di Indonesia menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR (parpol), DPD (perseorangan), Presiden dan Wakil Presiden (parpol), dan anggota DPRD; Pemilu diselenggarakan oleh satu lembaga independen yang dinamakan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Para pakar umumnya mengukur sumber legitimasi pemilu adalah kedaulatan rakyat. Sebagaimana dikatakan Harold J. Laski “kedaulatan (sovereignty) adalah kekuasaan yang sah (menurut hukum) yang tertinggi, kekuasaan tersebut meliputi segenap orang maupun golongan yang ada didalam masyarakat yang dikuasainya.” Sedangkan C.F. Strong dalam bukunya Modern Politcal Constitution mengemukakan, “kedaulatan adalah kekuasaan untuk membentuk hukum serta kekuasaan untuk memaksakan pelaksanaannya.”

Oleh karenanya, salah satu ciri negara demokrasi adalah melaksanakan pemilu dalam waktu-waktu tertentu. Pemilu pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.

A.S.S. Tambunan mengatakan bahwa “pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan dari pada hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.” Sedangkan M. Rusli Karim mengatakan bahwa “pemilu merupakan salah satu sarana utama untuk menegakan tatanan demokrasi (kedaulatan rakyat), yang berfungsi sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi, bukan sebagai tujuan demokrasi.”

Sementara itu, Kusnardi dan Harmaily Ibrahim juga memberikan pandangannya bahwa “pemilu adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil, karena dalam pelaksanaan hak asasi adalah suatu keharusan pemerintah untuk melaksanakan pemilu. sesuai asas bahwa rakyatlah yang berdaulat maka semua itu dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Oleh karena itu, pemilu adalah suatu syarat yang mutlak bagi negara demokrasi untuk melaksanakan kedaulatan rakyat”.4

Dalam masyarakat demokratis, pemilu merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh konstitusi. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa Pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Dalam sudut pandang ilmu Hukum Tata Negara, Pemilu merupakan objek pembahasan yang menarik. Salah satu kajian ilmu Hukum Tata Negara adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kekuasaan. Pendiri negara yang juga perancang konstitusi (UUD 1945) telah menetapkan ajaran tentang kedaulatan rakyat yang ditransformasikan kepada badan perwakilan rakyat yang dinamakan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Implementasi dari ajaran kedaulatan rakyat yang diamanatkan dalam konstitusi tidak dapat dilepaskan dari Pemilu, karena Pemilu merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemilu merupakan perwujudan dan erat kaitannya dengan hak asasi manusia, khususnya hak sipil politik (Sipol),5 salah satu dokumen dasar (bill of human rights) dalam bidang hak-hak asasi manusia, bersanding dengan hak Ekosob.6 Dengan diaturnya pemilihan umum, mulai dari asas, tujuan, peserta dan pelaksana pemilihan umum di dalam UUD 1945, maka secara konstitusional pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia menjadi semakin tegas dalam rangka menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dan jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi yang mengatur pembagian kekuasaan yang lebih tegas dengan membangun sistem checks and balances.

Oleh karenanya, pemilu merupakan sarana perwujudan aspirasi rakyat dalam proses politik. Dalam pemilu, rakyat bisa ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara dikemudian hari. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Disisi yang lain, Pemilu merupakan sarana untuk melahirkan regenerasi pemerintahan. Sekaligus, dalam konteks good governance and clean government, pemilu merupakan sarana untuk melakukan evaluasi atas kerja-kerja pemerintahan selama periode berjalan. Dalam pemilu, perwujudan kehendak rakyat tersebut dituangkan dalam hak dan kewajiban yang tersedia. Hak bagi konstituen untuk menyalurkan aspirasi mereka, memilih pemimpin yang menurut mereka adalah panutan, tanpa intervensi dan paksaan dari siapapun, termasuk negara. Serta kewajiban bagi pihak-pihak yang merasa dipercayakan untuk mengemban amanah rakyat, sebagai anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden terpilih. Pemilu adalah pintu gerbang menuju masyarakat demokratis.

Pemilihan umum merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya Iayak sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilam Rakyat Daerah (DPRD). maupun sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Guburnur, Bupati, Walikota, serta jabatan publik lainnya. Dalam pemilu, hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang dijamin pemenuhannya oleh negara/pemerintah sebagaimana tertuang dalam konstitusi dan aturan perundang-undangan. Hak untuk memberikan suara atau memilih (right to vote) memberikan hak kepada pemiliknya untuk menggunakan hak pilihnya, sehingga negara berkewajiban untuk memfasilitasi setiap warga negara yang mempunyai hak pilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya tanpa adanya diskriminasi;

Dalam hal ini, berbagai peraturan perundang-undangan terkait pemilu telah memberikan jaminan bagi setiap warga negara untuk menggunakan hak sipil-politiknya, antara lain dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR/DPD/DPRD (Kab/Kota) serta UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Selain berbagai peraturan nasional, jaminan pertisipasi warga negara dalam menggunakan hak pilihnya secara universal dan sederajat tanpa adanya diskriminasi, juga diatur di dalam berbagai peraturan hukum internasional. Hal ini antara lain disebutkan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Intemasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dan Konvensi Intemasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999. Dalam Pasal 25 UU No 12/2005 secara tegas memuat ketentuan tentang “hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam politik, termasuk hak untuk memilih, dipilih dan hak untuk tidak memilih”.

Prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat ditandai bahwa setiap warga negara berhak untuk ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Oleh karena itu dalam kajian Hukum Tata Negara (HTN), pemilu merupakan proses pengambilan keputusan oleh rakyat dalam keputusan ketatanegaraan sebagai sarana pengemban kedaulatan rakyat dalam rangka pembentukan lembaga-lembaga perwakilan, disamping pemilu memiliki fungsi rekrutmen pemimpin dan legitimasi pelaksanaan kekuasaan. 7

Sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.” Makna dari “Kedaulatan berada ditangan rakyat” dalam hal ini bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban secara demokrasi memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Secara umum, pemilu merupakan sarana untuk melahirkan regenerasi pemerintahan. Sekaligus, dalam konteks good governance and clean government, Pemilu juga merupakan ruang untuk melakukan evaluasi atas kerja-kerja pemerintahan dalam periode berjalan. Dalam Pemilu, perwujudan kehendak rakyat tersebut dituangkan dalam hak dan kewajiban yang tersedia. Hak bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi mereka, memilih wakil dan pemimpin yang menurut mereka adalah panutan, tanpa intervensi dan paksaan dari siapapun, termasuk negara. Serta kewajiban bagi pihak-pihak yang merasa dipercayakan untuk mengemban amanah rakyat, sebagai anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD), Gubernur, Bupati, Walikota maupun Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Pemilu adalah pintu gerbang menuju masyarakat demokratis.

Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Rakyat bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Ini merupakan jaminan terhadap prinsip hak asasi manusia, khususnya hak sipil-politik (Sipol) yang telah mendapat perlindungan konstitusional.

Menurut Mirim Budiardjo,8 Dikebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum bukan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbyng, dan sebagainya.

Dalam ilmu politik, dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:

  1. Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik).

  2. Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang).9

Disamping itu, ada beberapa varian seperti Block Vote (BV), Alternative Vote (AV), Sistem Dua Putaran atau Two-Round System (TRS), Sistem Paralel, Limited Vote (LV), Single Non-Transferable Vote (SNTV). Tiga yang pertama lebih dekat kesistem distrik, sedangkan yang lain lebih dekat ke sistem proporsional atau semi proporsional.

Terkait tujuan pemilu, menurut Parulian Donald,10 ada dua manfaat yang sekaligus sebagai tujuan atau sasaran langsung yang hendak dicapai dengan pelaksanaan lembaga politik pemilu, yaitu pembentukan atau pemupukan kekuasaan yang absah (otoritas) dan mencapai tingkat keterwakilan politik (political representaveness).

Dari sudut pandang tujuan kedua manfaat merupakan tujuan langsung yang berada dalam skala waktu relatif pendek. Hal ini mengisyaratkan bahwa manfaatnya dirasakan segera setelah proses pemilu berlangsung. Adapun tujuan tidak langsung dihasilkan dari keseluruhan aktivitas dari semua pihak yang terlibat dalam proses pemilu, baik kontestan maupun para pelaksana dan pengawas dalam kurun waktu relatif lama, yaitu pembudayaan politik dan pelembagaan politik. Dalam arti lebih sederhana, tujuan langsung berkaitan dengan hasil pemilu, sedangkan tujuan tidak langsung berkenaan dengan proses pencapaian hasil tersebut.

Arbi sanit11 menyimpulkan bahwa pemilu pada dasarnya memiliki empat fungsi utama yakni;

  1. Pembentukan legitimasi penguasa dan pemerintah

  2. Pembentukan perwakilan politik rakyat

  3. Sirkulasi elit penguasa, dan

  4. Pendidikan politik

Sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan pancasila dalam Negara Republik Indonesia, maka Pemilu bertujuan antara lain:

  1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib

  2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat

  3. Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga Negara.

2.4.2. Partai Politik

Partai politik adalah organisasi politik yang mencari dan menjaga kekuasaan politik dalam pemerintah yang membantu posisi partai dan philosophinya menjadi suatu kebijakan.12

Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa

Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Dalam negara demokrasi, Parpol memiliki kedudukan (status) dan peranan (rule) yang sentral dan penting. Partai politik biasa disebut pilar demokrasi, karena memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara dan (the state) dan warga negaranya (the citizen). Bahkan, menurut Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”, partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, parpol merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat perlembagaannya (the degree of institutionalizations) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Derajat perlembagaan partai politik sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara.

Untuk membangun demokrasi yang kuat, dibutuhkan partai politik yang juga kuat dan efektif. Sistem partai yang efektif mensyaratkan beberapa hal, yaitu; 1) kemampuan partai untuk mengajukan program yang mereka mempunyai komitmen terhadapnya; 2) Parpol mempunyai tingkat kohesi yang cukup untuk melaksanakan programnya. Hal ini sesuai dengan apa yang disyarakatkan oleh American Political Science Association,13 bahwa parpol yang efektif mensyaratkan beberapa hal; 1) Parpol yang mampu membawa program-program yang mereka mempunyai komitmen terhadapnya; 2) Parpol mempunyai kohesi internal yang cukup untuk mewujudkan program tersebut.

Dalam sistem partai yang kuat, mampu membuat partai tersebut akuntabel terhadap publik sehingga alasan dasar akuntabiltas sistem dua partai adalah hadirnya partai oposisi yang bertindak memberikan kritik pada partai yang berkuasa, mengembangkan, mendefinisikan, serta menghadirkan kebijakan alternatif yang perlu bagi tercapainya keputusan publik.14

Sementara Kay Lawson menyimpulkan bahwa untuk bekerja, parpol memiliki setidaknya empat motivasi, yaitu:

... empat jenis motivasi parpol untuk bekerja; kepentingan pribadi, kesetiaan pada seorang pemimpin, kesetiaan pada organisasi dan komitmen pada kebijakan. Mereka mengacu pada tiga aktifitas untuk mencapai tujuan mereka ini yaitu menjalin hubungan baik, performa yang rutin dan efisien, serta responsif terhadap perubahan dari luar. Pertanyaan utama dari situasi internal adalah menemukan kemana satu hal berakhir; apakah batasan partai menyatu atau tidak tampak efektif? Dan dalam menghadapi empat situasi eksternal yang merupakan kombinasi dari dua kondisi: tingkat kekuasaan partai plus tingkat sistem stabilitas yang disebut sebagai keamanan, tantangan, kesempatan dan stalemate.”15

Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga diidealkan sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and balances. Namun, jika lembaga-lembaga negara tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah parpol yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.

Karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem berdasarkan prinsip check and balances dalam arti luas. Sebaliknya, keefektifan kerja fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip check and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini berkaitan dengan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir berbas dalam kehidupan kolektif. Tradisi berpikir bebas atau kebebasan berpikir (freedom of expression) itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh kembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat atau berorganisasi (freedom of association) dan kemerdekaan berkumpul (freedom of assembly) dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.16

Tentu saja, parpol hanyalah salah satu dari bentuk perlembagaan sebagai wujud ekspresi, ide, pikiran, pandangan dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Karena itu, keberadaan parpol berkaitan erat dengan prinsip-prinsip kemerdekaan berpendapat (feredom of expression), berorganisasi (freedom of association), dan berkumpul (freedom of assembly). Ketiga prinsip kemerdekaan atau kebebasan diakui dan dijamin oleh UUD 1945 hasil perubahan. Pasal 28E ayat (3) menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Usaha untuk memperkukuh kemerdekaan mengeluarkan pendapat,berserikat, dan berkumpul tersebut bagian dalam upaya membangun perikehidupan kebangsaan kita yang kuat dalam Negara Kesatuan Repubik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis dan berdasarkan hukum. Untuk ini, parpol merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam upaya mengembangkan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan (freedom), kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran.

Dalam konteks bernegara, parpol bertindak sebagai penghubung dan perantara dalam proses-proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Menurut Robert Michels dalam bukunya Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy “...organisasi merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif...” Proses perlembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat ditentukan oleh perlembagaan organisasi parpol sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Oleh sebab itu, menurut Yves Meny and Andrew Knapp,17 “A democratic system without political parties or whith asingle party is impossible or at any rate hard to imagine.” Sistem politik dan ketatanegaraan dengan hanya satu partai politik, sulit sekali dibayangkan untuk dapat disebut sebagai demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali.

Tanpa parpol, organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bebas dan merdeka, suara rakyat tidak akan dapat disalurkan untuk mempengaruhi proses-proses penentuan kebijakan umum yang berkaitan dengan kepentingan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam kerangka pemikiran yang demikian, peranan parpol, organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat dapat dikatakan serupa. Hanya bedanya, parpol berurusan langsung dengan kebijakan negara, sedangkan organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat hanya berhenti pada perjuangan wacana publik atau tindakan-tindakan konkrit diluar konteks organisasi negara. Organisasi non politik tidak dapat dan tidak memegang kewenangan hukum untuk menentukan keputusan-keputusan kenegaraan. Namun, parpol dapat melakukannya melalui perantara orang-orang yang berhasil mereka perjuangkan untuk menduduki jabatan-jabatan kenegaraan yang dipilih (elected officials).

Sementara terkait fungsi partai politik, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya empat fungsi partai politik. Salah satunya menurut Miriam Budiardo,18 keempat fungsi parpol tersebut adalah;

  1. Sebagai sarana komunikasi politik (political communication)

  2. Sebagai sosialisasi politik (political socialization)

  3. Sebagai sarana rekrutmen politik (political recruitmen), dan

  4. Sebagai sarana pengatur konflik (conflict management).

Sementara dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp,19 fungsi parpol itu mencakup fungsi:

  1. mobilisasi dan integrasi

  2. sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku pemilih (voting patterns)

  3. sarana rekruitmen politik

  4. Sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.

Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu sama lain. Sebagai sarana komunikasi politik (political communication), parpol sangat berperan penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interest articulations) atau political interest yang terdapat atau terkadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan ini diserap sebaik-baiknya oleh parpol menjadi ide, visi dan kebijakan parpol yang bersangkutan. Setelah itu, ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga diharapkan dapat mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.

Terkait dengan komunikasi politik itu, parpol berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan parpol dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan umpan balik (feedback) berupa dukungan dari masyarakat luas. Sementara terkait dengan sosialisasi politik, partai sangat berperan penting dalam rangka pendidikan politik. Parpol yang menjadi struktur antara yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.

Misalnya, dalam rangka kebutuhan memasyarakatkan kesadaran negara berkonsitusi, partai dapat memainkan peran yang penting. Tentu, pentingnya peran parpol dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa hanya parpol saja yang memiliki tanggungjawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan, dan bahkan para pemimpin politik yang duduk dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan pemerintahan eksekutif memiliki tanggungjawab yang sama untuk itu. Yang hendak ditekankan disini adalah bahwa peranan parpol dalam rangka pendidikan politik dan sosialisasi politik itu sangat besar.

Fungsi ketiga parpol adalah terkait sarana rekruitmen politik political recruitmen). Pembentukan partai memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung,seperti oleh DPR, atau melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya. tentu tidak semua jabatan dapat diisi oleh peranan parpol sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional dibidang kepegawaian, dan lain-lain yang tidak bersifat politik, tidak boleh melibatkan parpol. Parpol hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu pengangkatan pejabatnya juga membutuhkan prosedur politik (political appointment).

Fungsi keempat adalah terkait sarana pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Seperti telah disebut diatas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika parpolnya banyak, berbagai kepentingan yang beranekaragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi parpol-parpol yang menawarkan ideologi, program, dan alternatif kebijakan yang berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management) partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (agregations of interest) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi parpol. Parpol mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.20

Olehnya itu, dalam Pasal 11 UU No 2 Tahun 2008 yang menyempurnakan UU No 31 tahun 2002 dan UU No 2 Tahun 1999 tentang Parpol disebutkan dengan jelas bahwa fungsi parpol adalah:

    1. Partai Politik berfungsi sebagai sarana:

      1. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

      2. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

      3. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

      4. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

      5. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

2. Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.

Sementara terkait dengan tujuan Parpol, Pasal 10 UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol membagi tujuan berdirinya Parpol secara umum dan secara khusus:

    1. Tujuan umum Partai Politik adalah:

      1. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

      2. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

      3. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

      4. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

    1. Tujuan khusus Partai Politik adalah:

  1. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;

  2. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan

  3. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional.

Namun, disamping pandangan yang postif mengenai peranan partai politik itu, banyak juga pandangan kritis dan skeptis terhadap partai politik. Yang paling serius diantaranya menyatakan bahwa partai politik sebenarnya tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elit politik yang berkuasa dan sekedar sarana bagi mereka untuk memuaskan “birahi kekuasaannya” sendiri. Parpol hanya berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui melalui pemilihan umum, untuk memaksanakan berlakunya kebijakan-kebjiakan publik tertentu untuk kepentingan segolongan orang “at the expense of the general will” (Rosseau, 1762). Bahkan menurut Robert Michels, Parpol seperti organisasi pada umumnya, selalu melahirkan dominasi yang bersifat oligarkis.21

2.4.3. Sistem Kepartaian Multipartai

Konsekuensi umum yang telah menjadi karakteristik penerapan sistem multipartai di beberapa negara adalah tingkat pelembagaan sistem kepartaian rendah. Pengalaman beberapa negara yang sedang mengalami transisi politik yang menerapkan sistem multipartai cenderung menciptakan sistem partai yang sudah retak (fragile) dan dengan tingkat pelembagaan yang rendah. Akibatnya, gejala perpecahan internal partai sangat kuat.22

Fenomena perpecahan parpol yang diikuti bertambahnya jumlah partai akan menyebabkan munculnya gejala ketidakmampuan partai memelihara disipilin anggotanya. Gejala ini mendorong terjadinya perpindahan politisi dari satu partai ke partai lainnya. Perpindahan ini sering diikuti dengan pembentukan partai baru sebagai manifestasi protes dan kekecewaan terhadap partai lama. Sifat mudah pecah dan rendahnya tingkat pelembagaan sistem kepartaian merupakan karakteristik sistem multipartai.23

Karakteristik kedua adalah terfragmentasinya kekuatan politik dalam parlemen. Rendahnya tingkat pelembagaan partai akan berimplikasi terhadap sistem multipartai yang cenderung terfragmentasi. Fenomena persaingan antar parpol di dalam dan diluar parlemen akan menghiasi dinamika politik multipartai. Partai di dalam dan diluar parlemen terbagi kedalam faksi dan fraksi yang bersaing satu sama lain untuk memperebutkan kekuasaan, baik di badan eksekutif (kabinet), maupun badan legislatif (parlemen). Karakter dasar sistem multipartai ini akan menimbulkan akibat-akibat strategis terhadap sistem pemerintahan presidensial.

Karakteristik ketiga penerapan sistem multipartai adalah kemunculan koalisi. Implikasi sistem multipartai yang sedemikian terfragmentasinya adalah parpol pemenang pemilu akan sulit mencapai angka mayoritas tanpa adanya koalisi dalam pemerintahan. Presiden yang terpilih dalam pemilihan langsung dalam sistem presidensial ditengah kondisi multipartai pada umumnya adalah presiden minoritas (minority president).24 Presiden hanya mendapatkan dukungan minoritas di parlemen. Presiden yang minoritas dalam konteks multipartai mutlak harus melakukan koalisi untuk menciptakan stabilitas pemerintahannya.

Pada prakteknya, sistem kepartaian yang berhubungan langsung dengan sistem konstitusi tentunya tidak cukup hanya dilihat dari banyaknya partai saja, namun perlu dipetakan mengenai rentang ideologi formal yang dimiliki oleh parpol. Sejauh mana nilai-nilai ideologi tersebut terinternalisasi dalam aktivitas dan gerak parpol. Inilah yang nantinya akan menentukan corak koalisi-terutama dalam tipologi sistem multipartai.25 Hal ini diperjelas oleh Givanni Sartori yang membagi tipologi sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi. Tipologi Sartori ini mengembangkan tipologi Duverger yang hanya melihat sistem kepartaian berdasarkan aspek tipologi numerik. Khusus pada tipologi multipartai, Sartori membaginya menjadi pluralisme moderat dan pluralisme ekstrim.

Berdasarkan kriteria perhitungan pada tabel dibawah ini., Sartori membagi sistem kepartaian dalam 4 tipe; partai, dwi partai, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrim, kurang dari 5 partai.26 Pada tipologi Sartori, sistem multipartai tidak lagi dilihat sebagai kategori tunggal. Sistem ini dijabarkan lebih jauh dalam keragaman moderat dan ekstrim, yang masing-masing kemudian dibagi dalam sistem kepartaian yang terpolarisasi dan tidak terpolarisasi.

Tabel 1: Sistem Kepartaian Menurut Givanni Sartori (2)27

Jumlah Partai

Tingkat Jarak Ideologi

Rendah

Tinggi

3-5

Pluralitas Moderat

Pluralisme terbatas terpolarisasi

Kurang dari 5

Pluralitas Ekstrim

Pluralisme Terpolarisasi

Menurut Sartori, sistem kepartaian pluarlisme ekstrim biasanya muncul di negara-negara berkembang, yang masyarakatnya secara sosio-kultural terbilang majemuk.28 Sistem ini melahirkan partai-partai dalam jumlah besar dan masing-masin memiliki ideologi yang bertentangan sehingga konsensus sulit dicapai. Padahal, stabilitas suatu pemerintahan yang dibangun diatas platform kepartaian yang plural, sangat tergantung pada kemampuan membangun koalisi.

Di sisi lain, Blondel dan Rokkan29 melihat jumlah suara yang diperoleh dalam serangkaian pemilu. Suatu sistem dikategorikan sebagai sistem dua partai bila dua partai tersebut mengumpulkan suara sebanyak 90% atau lebih dalam pemilu. Manakala dua partai terbesar memperoleh suara 75% hingga 80% dari total suara, maka partai tersebut masuk dalam kategori sistem tiga partai. Sistem multipartai betul-betul ada apabila dua partai terbesar hanya memperoleh suara 66% atau kurang.

Bila karakteristik yang mendasari berbagai tipologi tersebut disesuaikan dengan kondisi Indonesia, maka Indonesia memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai penganut sistem multipartai-khususnya multipartai ekstrim bila mengacu pada tipologi Sartori. Indonesia memenuhi kriteria masyarakat yang majemuk secara sosio kultural, sehingga partai yang berkembang juga banyak dengan rentang ideologi yang sangat bervariasi.

Peta ideologi partai politik peserta pemilu 2004 ternyata tidak banyak berubah dibanding pemilu 1999. dengan menggunakan dua garis belahan-garis vertikal (elitis-populis) dan garis horizontal (religius-sekuler)-Kevin Raymond Evan membuat tabel tentang belahan ideologis partai-partai peserta pemilu 1999.30 Jarak ideologi formal parpol peserta pemilu 2004 dalam pembelahan horizontal ini cukup relevan untuk memetakan rentang ideologi formal parpol dari religius ke sekuler. Sedangkan garis vertikal menggambarkan ikatan elit parpol dengan masyarakat (konstituen). Pada garis populis ikatan lebih bersifat emosional dan simbolis, sedangkan pada garis elitis, ikatan lebih pada proses politik dalam perumusan kebijakan partai.

Dalam pandangan Saiful Mujani, di negara demokrasi baru seperti Indonesia, kalau masyarakatnya sangat majemuk, maka sangat majemuk pulalah partainya. Berarti parpol sebenarnya adalah representasi dari kemajemukan masyarakatnya. Ini akan menimbulkan masalah, sebab menyangkut efektivitas dan efisiensi demokrasi. Inipun yang membuat demokrasi menjadi sulit matang.31 Terutama pasca kejatuhan rezim Orba, sistem kepartaian Indonesia jelas dapat digolongkan pada tipologi pluralitas ekstrim. Jumlah partainya sangat banyak dan memiliki rentang ideologi formal yang tajam serta cenderung bergerak secara sentrifugal hingga berpeluang melahirkan partai-partai baru.32

Tahun 1999, Pemilu diikuti 48 parpol dengan persentasi suara partai pemenang (PDIP) tidak sampai 34%. Persentase itu pula disusul oleh persentase kemenangan tiga partai lain dengan nominal yang relatif berdekatan. Perolehan suara diatas 10% pun hanya dicapai oleh 4 parpol. 21 parpl mendapat kursi di parlemen. Begitu juga dari pemilu tahun 1999-2004 yang diikuti oleh 24 parpol, 6 parpol lolos electoral treshold 2% dan 18 parpol baru dan partai yang berganti nama. Dari 24 parpol, 18 parpol mendapat kursi di parlemen dengan perolehan kursi yang sangat tidak besar (ada yang hanya mendapat 1 kursi). Sedangkan tahun 2009, Pemilu diikuti oleh 44 partai dengan 9 partai yang berhasil masuk parlemen.33

Sejak kemerdekaan hingga kini, Indonesia telah mempraktikan sistem kepartaian berdasarkan pada sistem multipartai, meski dalam derajat dan kualitas yang berbeda. Kini derajat penerapan multipartai di Indonesia adalah sangat ekstrim (hyper multiparties) karena banyaknya jumlah parpol yang ada.34

Pelembagaan multipartai di Indonesia merupakan implikasi dan kombinasi dari tiga hal, yaitu; pluaralitas masyarakat yang terbentuk secara horizontal maupun vertikal, faktor sejarah, dan desain sistem pemilu proporsional. Adapun karekteristiknya antara lain diwarnai oleh: konvergensi dan konflik internal partai; oligarki elit dan personalisasi figur; konfigurasi kekuatan politik yang terfragmentasi dengan jumlah kekuatan politik yang terpolarisasi; serta adanya koalisi partai dengan ikatan yang cair dan rapuh.35

2.5. TEORI SISTEM PEMERINTAHAN

Dua sistem yang paling dikenal di dunia adalah sistem pemerintahan presidensil dan parlementer. Selain kedua sistem tersebut, sebetulnya ada pula sistem lain, seperti sistem campuran yang dipraktikan di Perancis, dan sistem kolektif yang dipraktikan di Swiss. Berkaitan dengan sistem pemerintahan, pada umumnya dibedakan kedalam dua sistem utama; yaitu sistem presidensil dan parlementer, sebagaimana yang dikaji dalam tesis ini, diluar kedua sistem tersebut merupakan sistem “campuran” atau kuasi parlementer atau kuasi presidensil, ada juga yang menyebut sistem referendum.36

Dimana dalam sistem referendum badan eksekutif merupakan bagian dari badan legislatif, yang disebuat badan pekerja legislatif. Dalam sistem ini, badan legislatif membentuk sub badan didalamnya sebagai pelaksana tugas pemerintah. Kontrol terhadap badan legislasi dilakukan secara langsung melalui referendum.

Sedang menurut Jimly Asshiddiqie37 terdapat empat model sistem pemerintahan; yaitu moidel Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Swiss. Amerika Serikat mewakili sistem presidensil, Inggris sistem parlementer, Perancis mewakili sistem campuran, sedang Swiss mewakili sistem yang lain, yaitu sistem kolegial, dimana presidennya merupakan satu dewan eksekutif yang terdiri dari 7 anggota. Satu orang anggota berfungsi sebagai presiden untuk waktu satu tahun, bergantian dengan anggota dewan eksekutif yang lain. C.F. Strong38 membedakannya dalam dua jenis; eksekutif nominal dan eksekutif riil.

Pembeda utama antara sistem parlementer dan sistem presidensil adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Dalam sistem parlementer, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh parlemen. Perdana Menteri bersama kabinet pemeirntahan sesungguhnya adalah organ parlemen yang melaksanakan tugas pemerintahan. Oleh karena itu seorang perdana menteri dan para menteri dapat merangkap, bahkan lazimnya, adalah anggota parlemen. Dalam konstruksi demikian, wewenang pembentukan dan pembubaran pemerintahan sepenuhnya ada ditangan parlemen. Sistem parlementer tidak dapat dilepaskan dari pandangan supremasi parlemen, sehingga dapat dipastikan bahwa negara yang menganut supremasi parlemen akan menganut sistem parlementer. Sistem ini mengandung konsekuensi tidak adanya pemisahan antara cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif.39 Dibawah ini akan dikaji perbedaan kedua sistem pemerintahan tersebut.

      1. Sistem Pemerintahan Presidensil

Sistem Presidensial meletakan presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif tetapi juga pusat kekuasaan negara. Artinya, Presiden tidak hanya kepala pemerintahan (chief of executive) tetapi juga kepala negara (chief of state). Itulah sebabnya rentang kekuasaan presiden tidak hanya menyentuh wilayah eksekutif, tetapi juga sedikit banyak merambah pada proses legislasi serta kewenangan di bidang yudikatif.40

Dalam sistem presidensial, presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.Presiden merupakan simbol sekaligus pemangku kekuasaan. Presiden biasanya dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Presiden memiliki kewenangan penuh terhadap pemerintahan, termasuk dalam hal menunjuk menteri-menterinya di kabinet. Karenanya, presiden bertanggungjawab langsung terhadap rakyat, bukan kepada parlemen/legislatif/DPR. Mekanisme yang berlaku antara presiden dan legislatif adalah check and balances. Kedudukan antara keduanya sangat kuat karena sama-sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat melalui pemilu yang terpisah. Dalam konteks ini, presiden tidak dapat membubarkan parlemen, demikian pula parlemen tidak dapat menjatuhkan presiden secara langsung.

Dalam pandangan Nurliah Nurdin,41 Pemerintahan presidensilal adalah bentuk pemeirntahan konstitusional yang menempatkan presiden sebagai kepala eksekutif yang menggunakan otoritas yang didapat dari pemilihan langsung dan memerintah dengan mandiri dari parlemen.

Mohd. Mahfud M.D.,42 memberikan pandangannya tentang ciri dan prinsip yang terkandung dalam sistem pemerintahan presidensil yaitu:

  1. Kepala negara menjadi kepala pemerintahan;

  2. Pemerintah tidak bertanggungjawab kepada parlemen (DPR);

  3. Menteri-menteri diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden;

  4. Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.

Jimly Asshiddiqie mengembangkan sembilan ciri sistem pemerintahan presidensil sebagai berikut:

  1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif;

  2. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak dapat dibagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;

  3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara sekaligus kepala pemerintahan;

  4. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu presiden atau sebagai bawahan yang bertanggungjawab kepadanya;

  5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya;

  6. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen;

  7. Jika dalam sistem parlemen berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu pemerintahan eksekutif bertanggungjawab kepada konstitusi;

  8. Eksekutif bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat yang berdaulat;

  9. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat pada parlemen.43

Sistem presidensil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan (head of government) sekaligus sebagai kepala negara (head of state).44

Secara lebih detail, Douglas V. Verney dalam Arend Lijhart45 mengemukakan ciri-ciri sistem pemerintahan presidensil yaitu:

  1. Majelis tetap sebagai majelis

  2. Eksekutif tidak dibagi

  3. Kepala pemerintahan juga kepala negara

  4. Presiden mengangkat kepala departemen

  5. Presiden adalah eksekutif tunggal

  6. Majelis tidak boleh menduduki jabatan eksekutif

  7. Eksekutif bertanggungjawab kepada pemilih

  8. Presiden tidak dapat membubarkan majelis

  9. Majelis berkedudukan lebih tinggi daripada cabang

  10. Tidak ada fokus kekuasaan dalam dalam sistem politik

Dengan karakteristik yang demikian, maka sistem presidensial memiliki beberapa kelebihan seperti yang disampaikan oleh Arend Lijphart. Menurut Arend Lijphart, stabilitas pemerintahan akan terjaga dalam sistem pemerintahan dalam hal kepemimpinan dan masa jabatan. Presiden yang dipilih secara langsung pun dipandang lebih demokratis daripada pemilihan tidak langsung. Selain itu, pembagian kekuasaan yang jelas (mekanisme check and balances) dapat menghilangkan otoritarianisme dalam pemerintahan. Presidenpun dapat menyesuaikan program-programnya sesuai dengan masa periodenya.46

Scott Mainwaring juga mengemukakan beberapa kelebihan sistem presidensial, antara lain; pemilih memiliki pilihan yang lebih luas-pemilih bebas memilih partai di parlemen yang belum tentu sama dengan partai pengusung eksekutif; adanya akuntabilitas dan identifikasi dalam Pemilu-pemilih memilih calonnya sendiri, maka presiden langsung bertanggungjawab pada pemilih (rakyat); parlemen adalah lembaga independen-parlemen berperan sebagai lembaga pengontrol kekuasaan presiden.47

Namun demikian, sistem presidensial bukannya memiliki kelemahan. Juan Linz misalnya mengidentifikasi lima persoalan sistem presidensial. Pertama, pada sistem presidensial, presiden dan parlemen sama-sama memiliki basis legitimasi yang kuat (dual legitimacy). Kekuatan yang berimbang ini memiliki tendensi konflik yang bersifat laten karena masing-masing memiliki kekuasaan. Konflik akan timbul dalam hal kebijakan yang berkaitan dengan pengakomodasian kepentingan. Kedua. Kondisi yang fixed term memunculkan sebuha kekakuan, bahwasanya bila ternyata presiden tidak sesuai harapan, presiden tidak dapat diganti hingga pemilu periode berikutnya.

Ketiga, sistem presidensial memunculkan fenomena zero-sum-game. Tidak ada mekanisme power sharing yang terbentuk antara eksekutif dan parlemen, sehingga masing-masing akan memenangkan dirinya (the winner takes all). Jika demikian, mekanisme koalisi akan terbentuk dalam wacana memperoleh kekuasaan. Keempat, Linz mengatakan bahwa sistem presidensial kurang menguntungkan bagi demokrasi dibandingkan sistem parlementer. Perasaan sebagai representasi rakyat akan membuat eksekutif kurang toleran terhadap oposisi dan bisa jadi memegang kuasa melebihi proposisi yang dimandatkan. Kelima, demi kemenangan, partai akan cenderung mengusung calon yang populis, meski calon tersebut tidak terikat langsung dengan partai (bukan orang partai). Menurut Linz ini akan memunculkan potensi destabilitas karena calon dan partai belum tentu memiliki kesamaan pandangan ideologi dan kepentingan.48

Kritik terhadap mekanisme presidensial juga datang dari Scott Mainwaring yang menemukan bahwa dari penelitiannya terhadap 33 negara demokrasi yang bertahan lama, hanya 6 negara yang menerapkan sistem presidensial. Berdasarkan studinya yang dilakukan pada pemerintahan negara di Eropa dan Amerika Latin, Mainwaring juga menemukan bahwa 23 dari 28 negara yang menerapkan sistem parlementer adalah negara berpenghasilan menengah keatas. Sisanya (5 negara) berpenghasilan menegah kebawah, yaitu 3 negara menerapkan sistem presidensial dan 2 negara menerapkan sistem parlementer-negara yang menerapkan sistem presidensial biasanya adalah negara yang berpenghasilan rendah.49 Ini membuktikan bahwa sistem presidensial yang diterapkan di beberapa negara tidak kondusif bagi negara lain.

2.5.2. Sistem Pemerintahan Parlementer

Apabila dalam suatu pemerintahan negara, diadakan pembedaan yang tegas antara jabatan kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan (head of government), maka pemerintahan yang bersangkutan mengandung ciri parlementer (parliamentary government) atau bahkan merupakan negara dengan sistem pemerintahan parlementer.50

Dalam praktik kedudukan kepala negara biasanya dipegang oleh raja, ratu, presden, atau sebutan lain sesuai dengan bahasa resmi yang dipakai dinegara yang bersangkutan. Sedangkan jabatan kepala pemerintahan biasanya disebut Perdana Menteri (Prime Minister) atau di Jerman disebut Kanselir (Councellor). Di negara-negara yang berbentuk kerajaan (monarki), dengan stelsel parlementer, dianut adanya dua asas, yaitu; 1) raja tidak dapat diganggu gugat (the king can do no wrong), dan 2) apabila sebagian besar wakil rakyat diparlemen tidak menyetujui kebijakan pemerintah, secara sendiri-sendiri atau seluruhnya, menteri harus meletakan jabatan. Asas inilah yang disebut sebagai sistem pemerintahan parlementer (parlementaire regerengsvorm).51

Dalam hubungannya dengan parlemen, perdana menteri dalam sistem parlementer bertanggungjawab pada parlemen. Ia dan kabinetnya dapat diberhentikan setiap saat oleh parlemen bila dukungan parlemen tidak lagi mencukupi (biasanya sama atau kurang dari 50% jumlah anggota parlemen). Bila hal tersebut terjadi, parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya kepada sehingga perdana menteri atau menteri tertentu harus berhenti dari jabatannya. Bila perdana menteri yang mendapat mosi tidak percaya, kabinet secara keseluruhan harus berhenti sehingga dibentuk kabinet baru. Namun dalam konflik dengan parlemen, perdana menteri dapat membubarkan parlemen yang menyebabkan perlunya pemilu dilakukan untuk memilih anggota-anggota parlemen yang baru yang akan memilih kabinet baru.52

Douglas V. Verney,53 mengemukakan ciri pemerintahan parlementer yaitu:

  1. Majelis menjadi parlemen

  2. Eksekutif dibagi menjadi dua bagian

  3. Kepala negara mengangkat kepala pemerintahan

  4. Kepala pemerintahan mengangkat menteri

  5. Kabinet (pemerintah) adalah badan kolektif

  6. Menteri biasanya merupakan anggota parlemen

  7. Pemerintah bertanggungjawab secara politik kepada majelis

  8. Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat pada kepala negara untuk membubarkan majelis

  9. Parlemen sebagai suatu kesatuan memiliki supremasi dan tidak saling menguasai.

  10. Pemerintah satu kesatuan, bertanggungjawab secara tidak langsung kepada pemilih

  11. Parlemen adalah fokus kekuasaan dalam sistem politik

Bagir Manan,54 menyebutkan ciri sistem pemerintahan parlementer yaitu:

  1. Presiden dalam sistem pemerintahan parlementer pada umumnya dipilih dan diangkat oleh atau menyertakan badan perwakilan rakyat, tetapi tidak bertanggungjawab dengan berbagai modifikasi.

  2. Presiden tidak bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintahan, tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan ada pada kabinet atau deean menteri yang bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat. Presiden tidak dapat diganggu gugat, seperti halnya raja.

  3. Presiden semata-mata sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai kepala negara, presiden hanya sebagai simbol dan lebih banyak melakukan tugas-tugas seremonial dan beberapa tugas dalam lingkungan hak konstitusional yang bersifat prerogatif.

  4. Setiap tindakan pemerintahan atau politik yang dilakukan presiden diluar hak konstitusional yang bersifat prerogatif dipertanggungjawabkan kepada kabinet.

Maka untuk memudahkan pemahaman terhadap perbedaan sistem pemerintahan presidensil dan parlementer, maka ada beberapa aspek yang membedakannya, diantaranya; hubungan kelembagaan, pola rekrutmen, serta pola pengawasan dan pertanggungjawaban, berdasarkan tabel berikut:

Tabel 2: Perbandingan Sistem Pemerintahan Presidensil dan Parlementer.55