Partisipasi Pekerja Perempuan pada Indus

ABSTRAK
Partisipasi Pekerja Perempuan pada Industri Televisi di Indonesia
Fitria Angeliqa1
Cici Eka Iswahyuningtyas, M.Soc,Sc.2
1,2
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640
Telp. 021-7870451, Email: 1ivy_angeliqa@yahoo.com,
2
ciciekaiswahyuningtyas@yahoo.com
Perkembangan suatu Negara seringkali dibarengi dengan meningkatnya peran
serta warga masyarakat, laki-laki maupun perempuan dalam pembangunan.
Industri televisi di Indonesia yang maju pesat dewasa ini, membuka peluang yang
sangat luas bagi perempuan dalam berkiprah di dalamnya. Asumsi dasarnya
adalah dengan semakin banyak perempuan yang berkiprah di dalam industri
televisi, maka konten yang dihasilkan pun akan banyak memuat kepentingan
perempuan.
Namun ternyata, asumsi tersebut tidak sesuai dengan fakta yang ada. Jumlah
pekerja perempuan di industri televisi ternyata jauh lebih kecil dibandingkan
pekerja laki-laki. Oleh karena itu penelitian ini memiliki tujuan untuk
mengidentifikasi pekerja perempuan di industri televisi nasional beserta tingkat

partisipasinya terutama yang berhubungan dengan konten media. Menggunakan
paradigma positivis, dengan pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan
survey dengan kuesioner sebagai teknik pengumpulan datanya. Teknik analisa
data yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian ini juga diperkuat dengan
wawancara mendalam untuk mendapatkan data sekunder yang memperkuat
hasilnya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas pekerja perempuan di industri
televisi nasional ternyata tidak menempati posisi strategis sebagai pengambil
kebijakan dalam pekerjaannya, meskipun tingkat partisipasinya dalam dunia kerja
sangat tinggi. Selain itu, ketidakpahaman mereka tentang konsep gender yang
sebenarnya juga tidak sesuai dengan tingkat partisipasi yang mereka tunjukan.

Kata kunci: partisipasi, pekerja perempuan, industri televisi, gender

I.

Latar Belakang Penelitian
Sebagai bagian dari industri kreatif, televisi memiliki peran yang cukup

signifikan. Hal ini karena konstribusi industri kreatif di Indonesia terhadap PDB

rata-rata tahun 2002-2006 adalah sebesar 6.3 % atau setara dengan 152.5 triliun
1

rupiah. Industri ini juga mampu menyerap tenaga kerja rata-rata tahun 2002-2006
sebesar 5.4 juta dengan tingkat partisipasi sebesar 5.8 %. Televisi sendiri mampu
menyumbang pendapatan sebesar 2.136.827.023 triliun (2.04 %) dan menyerap
142.227 ribu (2.90 %) tenaga kerja. Data tersebut belum termasuk iklan, film,
video dan musik yang pendapatan terbesarnya diperoleh dari pertunjukan di
televisi (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2007).
Ironisnya, tingginya konstribusi televisi dalam mendukung perekonomian
nasional

justru

belum

mampu

memberikan


konstribusi

serupa

dalam

pembangunan manusia berbasis kesetaraan gender. Hasil penelitian menunjukkan,
mainstream media terbukti masih mendukung idiologi patriarki dimana
representasi perempuan diciptakan, dikonsumsi, diubah dan digambarkan secara
negatif (Smith, 1999; Wooden, 2003; Freeman & Valentine, 2004; Ford et al.,
2005; Ramasubramanian & Oliver, 2003; Milburn et al., 2000; Kim & Lowry,
2005; Mckee 2005; Leon & Angst, 2005; Sommer & Triplett, 2005; dan Hoesin,
2007).
Padahal, dengan kemampuan yang dimiliki, televisi seharusnya mampu
mengambil peran penting dalam mewujudkan kesetaraan gender dan kehidupan
yang lebih baik bagi semua umat manusia tanpa memandang jenis kelamin.
Sebagai media massa televisi masih terbukti efektif dalam mempengaruhi aspek
afektif, kognitif dan behavioral khalayak (Gash & Conway, 1997; Milburn et.al.,
2000; Febraga,t 2000; Ramasubramanian & Oliver, 2003; Freeman & Valentine,
2004). Apalagi, dibandingkan media massa lainnya jumlah penonton televisi

adalah yang terbesar, menurut survey Nielsen Media Research (2005) 83 %
penduduk Indonesia menonton televisi. Ini artinya, sebagai industri, televisi tidak
saja bisa dimanfaatkan sebagai alat pembangunan masyarakat tetapi juga
menawarkan banyak peluang ekonomi, karena ditonton lebih dari 200 juta orang.
Keberagaman muatan televisi (musik, film, video, dll) tentunya jika dimanfaatkan
dengan baik akan memberikan nilai tambah ekonomi yang besar, khususnya bagi
perempuan yang selama ini masih terpinggirkan dalam industri ini.
Meskipun, banyak pihak percaya bahwa peran serta perempuan dalam
produksi televisi bukanlah faktor utama pendorong perubahan representasi
2

perempuan. Mengingat perubahan representasi tidak berjalan sesederhana
peningkatan peran serta perempuan dalam produksi televisi (Creedon & Cramer,
2007). Tetapi, sedari awal gerakan feminis, media massa termasuk juga televisi
telah dilihat sebagai alat perjuangan gerakan perempuan atau feminisme. Televisi
diyakini efektif sebagai alat idiologi untuk melawan penstreotipan representasi
perempuan oleh laki-laki yang cenderung negatif. Khususnya, sebagai alat untuk
meningkatkan penghargaan dan representasi perempuan yang diposisikan inferior
(Nelmes, 2007).
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa, ketimpangan gender atau

rendahnya peran serta perempuan dalam produksi televisi diyakini berpengaruh
siknifikan terhadap kecenderungan televisi dalam merepresentasikan perempuan.
Di dalam masyarakat dimana akses politik dan kekuasaan perempuan terbatas
maka peran perempuan akan dimaknai berdasarkan pada sistim ekonomi, politik
dan budaya patriarki yang berlaku. Pada situasi ini televisi umumnya hanya
berperan untuk menguatkan pemaknaan dan identitas gender yang terbentuk dan
tersusun berdasarkan sudut pandang laki-laki dan untuk laki-laki.
Sebagai akibatnya, televisi kemudian hanya dilihat sebagai hasil fantasi
laki-laki. Sebagai hasil fantasi televisi tentunya tidak merefleksikan realitas tetapi
justru merepresentasikan kepentingan golongan tertentu, yaitu laki-laki. Pada
kondisi ini, untuk melawan kecenderungan tersebut perempuan harus mulai
mengekspresikan pemikiran dan fantasi mereka sendiri dengan memproduksi
televisi (Lindsey, 1990). Ini artinya, peningkatan peran serta perempuan dalam
produksi televisi penting dilakukan karena hanya dengan cara inilah pemikiran,
pengalaman, dan realitas perempuan dapat digambarkan secara lebih utuh dan
benar guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan gender.
Selanjutnya, penelitian Deming (1988) yang mencoba mendeteksi masalah
dan pengalaman perempuan sebagai pekerja televisi menyebutkan bahwa terdapat
tujuh modus dunia pertelevisian yang merugikan perempuan, yaitu televisi telah
mengartikulasi garis besar dominasi kultur yang mapan tentang hakekat dan

realitas, mengimplementasikan kultur individual ke dalam nilai-nilai yang
dominan, merayakan kultur individual ke dalam dunia yang baru, meyakinkan
3

banyak orang bahwa kebudayaan dominan sudah dikonfirmasikan lewat idiologi
dan mitologi sehingga cukup sahih untuk ditampilkan di layar kaca, mengekspos
budaya yang sudah diproses dan diproduksi, menyamakan status pihak dominan
identitas individu dan mengirimkan pesan makna dari pihak dominan kepada
masyarakat luas.
Sebagai akibatnya, ketika perempuan dikonstruksikan untuk hidup sesuai
dengan kehendak dan penilaian masyarakat, televisi kemudian ikut menyajikan
realitas sosial masyarakat. Televisi menampilkan tayangan-tayangan tentang
bagaimana seorang perempuan harus berperan, berposisi dan berprilaku. Televisi
melakukan penilaian mulai dari cara berdandan dan berpenampilan hingga nilainilai yang wajib menjadi bagian dari tampilan perempuan (Luviana, 2003).
Masyarakat kemudian menganggap apa yang ditampilkan oleh televisi adalah
sesuatu yang benar sehingga layak ditiru. Televisi bukannya mendorong
terciptanya perubahan masyarakat berkeadilan gender tetapi justru semakin
mengokohkan ideologi patriarki.
Padahal telah lebih dari 20 tahun, gender dalam pembangunan telah menjadi
isu utama dalam setiap bahasan di kongres-kongres perempuan. Dalam

kenyataannya, banyak aspek berkaitan dengan faktor-faktor kultural dan sosial
yang masih menghambat upaya pemberdayaan perempuan (Poerwandari, 1995).
Terbukanya peluang industri kreatif, termasuk dalam produksi program televisi
ternyata tidak dibarengi dengan peran serta perempuan dalam produksi
programnya. Hal ini disebabkan karena minimnya jumlah perempuan pekerja
media dibandingkan dengan laki-laki yang bekerja pada sektor tersebut. Dunia
pertelevisian yang mengharuskan pekerjanya terjaga 24 jam serta penuh dengan
resiko, dianggap bertolak belakang dengan sifat feminitas perempuan.
Berpijak pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka perumusan
masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peran serta perempuan dalam produksi program televisi?
2. Bagaimana perempuan dalam menegosiasi keputusan dalam produksi
program televisi?

4

II.

Kerangka Pemikiran


II.1. Peran Serta Perempuan dan Kesetaraan Gender dalam Pembangunan
Peran serta seringkali berkaitan dengan istilah partisipasi. Dalam ranah
politik, McClosky dalam Budiardjo (1981) mendefinisikan partisipasi sebagai
“kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langusng atau
tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum”[ CITATION Isb95 \l
1033 ]. Sementara, dalam buku yang sama Samuel P. Hutington dan Joan M.
Nelson mengartikan partisipasi poitik sebagai, “kegiatan warga Negara yang
bertindak

sebagai

pribadi-pribadi

dengan maksud untuk

mempengaruhi

pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi dapat bersifat individual atau
kolektif, terorganisir, dan spontan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif”

[ CITATION Isb95 \l 1033 ].
Dari definisi tersebut terlihat bahwa, partisipasi membutuhkan sebuah
arena untuk penyampaian pendapat dalam rangka ambil bagian untuk
mempengaruhi pembuat kebijakan. Kesempatan menyampaikan pendapat juga
erat dengan konsep aspirasi, yang oleh Poerwandari diartikan sebagai, ”integrasi
dari impian-impian, harapan-harapan, keinginan, cita-cita, tujuan-tujuan mengenai
kehidupan, khususnya kehidupan di masa depan. Aspirasi dipengaruhi oleh aspekaspek sosial yang melingkupi individu, dan dalam beberapa hal dapat membawa
pengaruh terhadap aspek-aspek sosial di sekitar individu tersebut. Oleh karena itu,
pembentukan aspirasi tidak dapat dilepaskan dari dua hal, (1) keinginan untuk
mengembangkan diri (minat dororngan, cita-cita individu – suatu dorongan yang
berasal dari dalam diri; dan (2) keinginan untuk memenuhi tanggung jawab sesuai
dengan apa yang diharapkan lingkungan sosial individu, yang merupakan suatu
tuntutan dari lingkungannya (Poerwandari, 1995).
Sedangkan peran atau peranan oleh Gross, Mason dan McEachern dalam
Berry (1981) didefinisikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan
pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu (Suyanto, 1995).
Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial, dan

5


oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peranan-peranan itu ditentukan oleh
norma-norma di dalam masyarakat (Suyanto, 1995).
Dengan demikian peran serta perempuan dapat diartikan sebagai bentuk
partisipasi perempuan dalam sebuah arena yang bersifat public yang berhubungan
dan/atau dapat mempengaruhi pembuat kebijakan. Peran serta ini ditandai dengan
seperangkat keinginan dan harapan yang bersifat internal untuk mengembangkan
diri sendiri, serta keinginan untuk memenuhi tanggung jawab sesuai dengan
lingkungan sosial di mana individu berada.
Peran serta yang tinggi tentu pada akhirnya akan membawa perempuan pada
posisi kesetaraan dengan laki-laki. Selama peran serta tersebut berhasil
menggerakan pembuat kebijakan untuk tidak selalu berpihak pada mainstream
laki-laki. Dalam beberapa literature, kesetaraan gender merupakan isu perdebatan
dan

perebutan

antara

wacana


fungsional

dan

konflik,

mengingat

ia

berkecenderungan untuk melakukan homogenisasi perbedaan dalam norma yang
dominan (Lombardo, 2007).
Dalam tradisi feminis, kesetaraan gender diartikan sebagai masyarakat yang
bebas dari dominasi gender dan bebas penindasan yang dilihat sebagai bentuk
artikulasi pada setidaknya tiga poin utama dalam perbedaan visi kesetaraan gender
(Walby dalam Lombardo, 2007). Kesetaraan gender dapat didefinisikan sebagai
suatu masalah pencapaian kesetaraan sebagai kesamaan (biasanya berhubungan
dengan kesetaraan peluang), atau persetujuan atas perbedaan berdasarkan norma
laki-laki, atau pentransformasian seluruh norma dan standar yang telah terbangun
mengenai bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki (pengarusutamaan
gender menjadi pertimbangan untuk menghasilkan strategi yang sesuai untuk
mencapai hal tersebut (Rees 1998; Walby 2005; Squires 2005; Verloo 2005a
dalam Lombardo, 2007).
Mengacu pada visi kesetaraan sebagai kesamaan, masalah utamanya adalah
perempuan banyak dikesampingkan dalam peta politik, sehingga solusinya adalah
dengan memasukan (inklusi) partisipasi perempuan dalam kancah politik tanpa
menggarisbawahi norma laki-laki sebagai acuan. Dengan demikian, hak dan

6

peluang laki-laki dan perempuan diperlakukan sama dalam kesatuan prinsip,
norma, dan standar (Squires 1999; Verloo 2005 dalam Lombardo, 2007).
Sedangkan pendekatan ‘pembalikan’ memiliki masalah keberadaan norma
laki-laki yang tidak dipertanyakan tapi harus diimitasi oleh perempuan untuk
mencapai sesuatu. Sehingga solusinya adalah dengan melakukan rekonstruksi
politik dengan pengenalan perempuan sebagai bentuk identitas gender yang nonhomogen yang seharusnya diperlakukan berbeda dengan budaya dan identitas
normative laki-laki. Dengan demikian, rekomendasi yang dimunculkan adalah
dengan meletakan gender dalam membangun kriteria untuk pekerjaan, promosi,
dan partisipasi dalam pengambilan keputusan institusi (Squires 1999; Verloo
2005; Ferguson 1993 dalam Lombardo, 2007).
Sementara visi transformasi atau pemindahan lebih bersifat postmodern. Ia
menganggap, dunia dengan gender sendiri lah masalah utamanya, bukan semata
karena perlakuan terhadap perempuan atau keberadaan norma laki-laki.Solusi
yang ditawarkan adalah dengan dekonstruksi wacana politis yang engender dan
mengadopsi perbedaan politis. Langkah transformative yang dapat dilakukan
mengacu pada Squires (2005) adalah dengan memberlakukan pengarusutamaan
gender. Verloo (2005) juga mendukung proses transformasi ini dengan
mengaitkan pada aspek pemberdayaan, yang dapat menjadi dasar terbukanya
ruang-ruang public untuk mengekspresikan debat-debat politik tentang feminis
untuk memaknai kesetaraan gender tersebut.
II.2. Representasi Perempuan dalam Media
Pendekatan budaya dari sekolah Birmingham melihat teks media sebagai
pusat negosiasi peran gender. Melalui media inilah representasi peranan gender
ditampung, diperbaiki, disusun, dan diciptakan kembali. Kenyataan menunjukkan
bahwa nilai dan makna idiologi tersusun dan terbentuk melalui proses sosial.
Maka dari itu, penelitian tentang konsep idiologi ditekankan pada arti penting
proses representasi atau penciptaan kembali hubungan-hubungan yang wujud dan
pelembagaan kekuasaan dalam masyarakat. Artinya adalah, pelembagaan
hubungan kekuasaan, misalnya patriarki dan kapitalisme mengakibatkan
7

terbentuknya image ideal bagi perempuan dan perbedaan peranan seksual (Kirca,
2001).
Representasi perempuan dalam media adalah sebuah praktik sosial dimana
nilai-nilai tentang perempuan direkonstruksi dan kegiatan mengkonsumsi
representasi ini tidak sekedar berarti mendapat kepuasan pribadi. Namun juga,
semakin mengokohkan budaya patriaki yang ada. Banyak bukti yang
menunjukkan bahwa sosok perempuan yang ditampilkan media massa ternyata
tidak lebih sebagai obyek, ini artinya perempuan masih berperan sebagai pihak
yang dipandang (Van, 1996).
Representasi perempuan dalam media massa juga akan dipengaruhi
bagaimana konstruksi sosial yang melingkupinya, termasuk di dalam majalah
wanita. Oleh karena sebagai politik kapitalis, industri media sangat dipengaruhi
berbagai hal, baik yang ada dalam organisasi media maupun ekstra media,
sebagaimana dikemukakan. Ada lima tataran yang mempengaruhi isi media, yaitu
tataran individual pekerja, tataran rutinitas media, tataran organisasai media,
tataran ekstra media, dan faktor ideologi (Yang, 2008).
Berdasarkan pada penjelasan tersebut maka representasi peranan gender bisa
didefinisikan sebagai bagaimana peranan gender direpresentasikan di dalam teks
media dan seberapa baik pekerja media dalam hal ini adalah televisi
merepresentasikan perempuan, seperti, bagaimana karakter perempuan dalam
konteks sejarah pada zamannya, bagaimana karakter perempuan distreotipkan,
seberapa aktif dan pasif perempuan digambarkan, dan apakah perempuan
memerankan peranan positif atau negatif (Bernard, 1995).
III. Metode Penelitian
Penelitian ini secara umumnya dilakukan dengan menggunakan metode
gabungan, yaitu kualitatif dan kuantitatif (mix method). Pengambilan data
dilakukan dilakukan melalui wawancara mendalam dan survey kepada pekerja
televisi perempuan. Survey dilakukan untuk mengetahui profil peran serta
perempuan dan wawancara mendalam dilakukukan untuk mengetahui secara
8

mendalam posisi, potensi dan kemampuan mereka menegosiasi keputusan dalam
produksi program televisi.
Menggunakan unit analisa individu,

objek penelitian ini adalah praktisi

perempuan yang terlibat memiliki peran serta dalam produksi program televisi
nasional (SCTV, RCTI, Metro Tv, TV One, Indosiar, ANTV, TRANS TV, Trans7,
MNCTV dan Gobal TV). Praktisi perempuan yang dipilih adalah mereka yang
menduduki posisi sebagai Produser, Sutradara dan Penulis Skenario atau posisi
yang setara dengan kedudukan tersebut, yaitu Pemimpin Redaksi, Redaksi
Eksekutif, dll.
IV. Analisa Data
Level Jabatan
Responden penelitian ini berasal dari berbagai level jabatan dalam
pekerjaan mereka, seperti yang tergambar berikut ini;
Tabel 1. Level Jabatan

Level Jabatan
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%

61.60%

14.00%

Level Jabatan
7.00%

3.50%

7.00% 7.00%

Sebagaimana yang terlihat bahwa jabatan responden umumnya masih
berada pada tingkatan staf. Hal ini menunjukan bahwa responden bukanlah
9

penentu kebijakan dalam menentukan materi program acara. Kenyataan ini
diperkuat dengan pernyataan informan penelitian yang menduduki posisi top
manajemen dalam wawancara mendalam, bahwa
“Jujur kalau di lingkungan manajemen tertinggi dimana saya satu-satunya
perempuan di sana untuk hal-hal yang strategis suara perempuan itu
seringkali terabaikan, mungkin karena posisinya itu empat dibanding satu,
jadi kalau ada usulan-usulan dari pihak perempuan itu seringkali
termarginalkan.”
Lebih jauh lagi beliau menambahkan bahwa,
“…ketika ada acara yang on screen yang memerlukan penonton banyak
coba lihat sekarang wanita lebih banyak, sekarang acara yang joggedjoged itu perempuan lebih banyak, saya prihatin ini ada apa ya disana
perempuan hanya diminta joged-joged...”
Prosentase partisipasi laki-laki dan perempuan seperti yang dijelaskan
dalam wawancara di atas menunjukkan rendahnya partisipasi perempuan
dalam produksi program televisi khususnya untuk posisi manajerial. Berbicara
tentang kendala yang dihadapi pekerja televisi perempuan dalam menempati
posisi sebagai pengambil kebijakan atau berada di level middle atau bahkan top
manejemen adalah karena laki-laki dianggap cenderung menguasai pekerjaanpekerjaan yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan dan belum adanya
peraturan tertulis baik dari pemerintah atau industri pertelevisian yang
mengatur kuota perempuan dalam industri televisi. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam wawancara berikut ini,
“Itu sih sebenarnya hambatannya itu terletak pada saat ketika laki-laki itu
ingin mendominasi jadi hambatannya kalau tidak dikatakan sekian persen
harus perempuan mungkin semuanya akan dikuasai oleh laki-laki, kalau
tidak disuarakan bahwa sih perempuan harus memiliki jatah…jadi mulai
dari intruksi dulu sehingga mau tidak mau perempuan itu mau
berpartisipasi… dengan kebihjakan tertulis kalau dengan kebijakan tertulis
itu maka yang dibawah itu juga akan mengikuti dengan kebijakan
tertulis…ada posisi-posisi tertentu sebaiknya dilakukan oleh perempuan
atau sekian persen untuk perempuan.”

10

Lebih lanjut lagi informan dalam penelitian ini juga menambahkan bahwa
penerapan sistim kuota sebagaimana yang diterapkan di parlemen untuk
mendorong partisipasi perempuan dalam produksi televisi dalam konteks
sekarang ini penting dilakukan karena demokrasi di Indonesia masih belum
berada pada titik ideal sebagaimana juga yang terjadi dalam industri televisi
seperti yang disampaikan dalam wawancara berikut ini,
“Pertama, penguasaan bidang, sih perempuan itu harus lebih lagi untuk
menguasai profesi itu sebelum terjun kecah itu, trus perempuan itu harus
bisa menunjukkan bahwa dia memang punya kemampuan di bidang itu...”
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sistem kuota saja
tidak cukup untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam produksi
program televisi. Hal ini karena sistim kuota hanya mampu meningkatkan
partisipasi secara kuantitas. Kerasnya kompetisi dalam sektor pekerjaan ini,
ditambah dengan masih adanya budaya patriarki maka untuk bertahan dan
menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan maka perempuan harus
memiliki kemampuan dan mampu menunjukkan kemampuannya sesuai dengan
bidang keahlian yang ditekuni. Bahkan, serngkali untuk berada di titik
pekerjaan yang sama perempuan dituntut memiliki kemampuan yang lebih
tinggi daripada laki-laki.
Karakteristik Responden Berkaitan dengan Gender
Tabel 2 Perbedaan Perlakuan Laki-Laki dan Perempuan di Tempat Kerja

11

Adakah Perbedaan Perlakuan Laki dan Perempuan di Tempat Kerja
18%
ya
tidak

82%

Hasil survey di atas menggambarkan bahwa secara umumnya tidak ada
perbedaan perlakukan antara laki-laki dan perempuan, khususnya berkaitan
dengan kesempatan untuk terjun dalam bidang produksi program televisi.
Perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan terjadi dalam pengambilan
keputusan. Informan dalam penelitian ini mengaku bahwa suara perempuan
seringkali tidak didengarkan dan diabaikan dalam hal implementasi kebijakan dan
pengambilan keputusan. Seperti yang dinyatakan dalam wawancara berikut ini,
“Kalau kesempatan sudah sama jadi tidak masalah menurut saya untuk
kesempatan itu, hanya ketika saat implementasi, suara-suara perempuan
itu yang belum, tidak banyak didengarkan dan diakomodasi secara
penuh...”.
Dalam pengambilan keputusan suara perempuan seringkali masih
terabaikan. Hal ini tidak saja karena secara kuantitatif untuk posisi manjerial
jumlah perempuan masih menjadi minoritas, situasi ini juga karena laki-laki
cenderung ingin mendominasi perempuan dengan tidak mengakui pendapat atau
ide perempuan. Seperti yang dinyatakan dalam wawancara berikut ini,
“..itu akan terasa kalau suara kita tidak diakui, suara kita
ditinggalkan...kalau laki-laki sudah berembug matang gitu, mereka merasa
matang trus saya ngin merubah sesuatu...ya mereka itu menerima tapi
seolah-olah apa yang saya sampaikan, saya gulirkan itu ide mereka...jadi
seringkali itu terjadi egoisme dan tidak mau mengakui bahwa itu dari
perempuan...”.
12

Tingkat Partisipasi Perempuan
Fokus utama dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana peran
serta perempuan terutama para praktisi perempuan yang bergerak pada produksi
program televisi nasional. Adapun konsep peran serta perempuan dalam penelitian
ini diukur melalui tingkat partisipasi perempuan dalam sebuah arena yang bersifat
publik yang berhubungan dan/atau dapat mempengaruhi pembuat kebijakan.

Tabel 3. Tingkat Partisipasi Perempuan

Tingkat Partisipasi Perempuan
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%

94.30%

Tingkat Partisipasi
Perempuan

1.10%
rendah

4.50%
sedang

tinggi

Tingginya partisipasi perempuan dalam produksi program televisi ini
ditunjukkan melalui keinginan dan harapan dalam mengembangkan diri dan
keinginan dalam memenuhi tanggung jawab. Sayangnya, seperti yang dijelaskan
dalam wawancara mendalam tingginya tingkat partisipasi tersebut baru berada
pada level afektif dan kognitif atau pengetahuan dan sikap dalam tataran
behavioral atau perilaku industri televisi kerapkali masih mendiskriminasikan
perempuan, khususnya dalam pengambilan keputusan.
Pada tataran operasional perempuan relatif mendapatkan kesempatan yang
sama dengan laki-laki. Tingkat partisipasi perempuan untuk level pekerjaan ini
juga sudah berimbang dengan laki-laki. Tetapi pada tataran manajerial, tidak saja
13

secara kuantitaf jumlah perempuan jauh lebih sedikit, dalam pengambilan
kebijakan suara perempuan juga kerap termarginalkan dan tidak didengar.
Berdasarkan pada kenyataan di atas berikut adalah hal-hal yang bisa kita lakukan
bersama, baik oleh perempuan, industri televisi maupun pemerintah.
“Pertama, sudah ada aturan tertulis dari pemerintah, kalau diperlukan sekian
persen dari pekerja di media itu perempuan...alasan-alasannya kan banyak
karena perempuan itu masih bisa menjaga konten, itu secara idealistik bagi
kepentingan negeri ini atau apa. Kedua, setelah perempuan masuk dalam
tataran manajerial atau whateverlah, didiklah jangan dibiarkan seperti itu,
kasih semacam induksi-induksi yang berkaitan dengan apa yang diperlukan di
televisi...ada induksi bagaimana perempuan berkiprah di media...ada motivasi
untuk lebih berkarya lagi.”
Ini artinya untuk mendorong partisipasi perempuan dalam produksi program
televisi secara hakiki, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas penting bagi
pemerindah dan industri media untuk menerapkan sistim kuota senyampang
demokrasi masih belum bisa diimplementasikan. Selanjutnya, induksi untuk
meningkatkan

kemampuan

penguasaan

pekerjaan

dan

kepedulian

dan

pengetahuan akan isu-isu perempuan penting untuk dilakukan. Dengan kedua cara
tersebut tidak saja suara perempuan dapat terakomodir tetapi representasi
perempuan juga dapat diperbaiki.
V. Diskusi
Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah pekerja perempuan di industri
televisi yang jauh lebih kecil dibandingkan pekerja laki-laki ternyata tidak cukup
direpresentasikan dalam bentuk program-program acara bermuatan perempuan
meski perempuan ingin menunjukan tingkat partisipasi yang sangat tinggi
menurut hasil penelitian tersebut. Jika pun program perempuan dibuat, sebagian
besar justru menasbihkan perempuan dalam dunia domestik yang monoton. Sebut
saja acara merawat bayi dan balita, masak-memasak, atau tips-tips kecantikan.
Hal ini karena ketiadaan perempuan dalam posisi-posisi strategis sebagai penentu
kebijakan dalam program acara yang seharusnya bebas nilai gender, seperti
program berita dan siaran olah raga.
14

Situasi tersebut terjadi karena tingginya partisipasi perempuan dalam
produksi program televisi sebagaimana yang ditunjukkan dalam hasil survey
hanya menggambarkan aspek afektif dan kognitif perempuan terkait dengan
keinginan dan harapan mereka untuk mengembangkan diri dan kenginan untuk
memenuhi tanggung jawab. Dari hasil wawancara yang dimaksudkan untuk
menggali data survey diketahui bahwa dominasi dan diskriminasi terhadap
perempuan masih kerap terjadi dalam bidang pekerjaan ini. Situasi ini umumnya
terjadi pada level manajerial atau pengambilan kebijakan, dimana perempuan
masih menjadi minoritas. Situasi yang lebih baik justru terjadi pada tataran
operasional, disini tidak saja perempuan relatif mendapatkan kesempatan yang
sama dengan laki-laki tetapi secara kuantitatif jumlah perempuan dan laki-laki
juga sudah berimbang.
Ini artinya perempuan dalam industri televisi tidak teridentifikasi sebagai
bagian penting dalam pengambilan keputusan-keputusan tentang program acara.
Media selama ini banyak dituding sebagai antek malestream (Griffin, 2006).
Bahasa media adalah bahasa laki-laki yang perlu untuk diterjemahkan dalam
bahasa perempuan. Oleh karena ketidakmampuan perempuan mentransformasikan
pembicaraaan yang setara, laki-laki membangun struktur dalam masyarakat,
dimana perempuan bekerja dalam struktur yang dibangun laki-laki tersebut. Jika
media dikuasai oleh laki-laki dan cenderung melegitimasi posisi perempuan
dalam peran-peran domestik melalui program-program acara yang ditayangkan,
walhasil masyarakat pun akan menciptakan kebenaran intersubyektif akan posisi
perempuan tersebut. Bahkan tidak jarang, fakta tersebut diwariskan dan
disosialisasikan terus–menerus sehingga menciptakan ketimpangan gender yang
terstruktur.
Dengan demikian, tidak heran jika program acara yang mengarusutamakan
perempuan bukan sebagai pekerja domestik minim jumlahnya jika dilihat dari
jumlah pekerja perempuan di media dan jenjang jabatan yang diduduki oleh
responden penelitian ini. Kenyataan ini diperparah dengan fakta bahwa mayoritas
responden tidak merasakan adanya praktek diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan di tempat kerja. Responden tidak menyadari bahwa dengan minimnya
15

program acara perempuan atau justru tingginya jumlah program acara yang
menempatkan perempuan sebagai obyek, merupakan indikasi utama praktek
diskriminasi dan posisi gender yang tidak setara.
Padahal menurut Habermas, di dalam model liberal ruang publik, media
massa memainkan peranan penting dalam menginformasikan dan memandu opini
publik, terutama sejak masyarakat secara simultan mulai menghilangkan batasbatas gender/kelas/ras (Papacharissi, 2010). Deliberasi hubungan publik dalam
ruang publik media menjadi tertunda karena media seringkali membingkai isu-isu
yang memang menjadi prioritas, ketimbang mendorong terjadinya deliberasi
rasional masyarakat (Papacharissi, 2010). Dengan demikian, media yang awalnya
diharapkan mendorong deliberasi karena terhapusnya berbagai batasan dalam
masyarakat (laki-laki dan perempuan), justru terkalahkan dengan kepentingan
komersial yang sayangnya masih memuat kepentingan laki-laki sebagai
pembentuk struktur --jika meminjam istilah Kramarae di atas.
Isu-isu yang tidak penting dan tidak mengakomodir kepentingan pemilik
kuasa menjadi terpinggirkan dan diubah dalam bentuk-bentuk program acara yang
semakin ‘mendiamkan’ dan memarjinalisasi kelompok perempuan. Sebut saja
program acara sinetron berseri panjang yang targetnya adalah perempuan, yang
membuat isu perempuan semakin ‘ridicule´ dan di bawah kontrol laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA
Bernard, A. (1995). Experiecing problems the relationship between women’s
studies and feminist theory. Women’s Studies International Forum.
Fergamon.
Departemen Perdagangan Republik Indonesia. (2007). Pengembangan ekonomi
kreatif Indonesia 2025. Rencana pengembangan ekonomi kreatif Indonesia
2009-2015.
Deming, Caren J & Becker, Samuel L. (1988). Media and society; reading in
mass communication.
Fabregat, A. A. (2000). Personality and curiosity about TV and Film violence in
adolescents. Journal of Personality and Individual Differences 29: 379-392.
Pergamon.
Ford, J. B, Voli, P. K, Honeycutt, E. D Jr & Casey, S. L. (1999). Gender role
portrayals in Japanese advertising; a magazine content analisis. Journal of
Advertizing XXVII (Spring): 113-124.
16

Freeman, M. L. & Valentine, D. P. (2004). Through the eyes of Hollywood;
images of social workers in film. Journal of Social Work 49 (2). p. 151-161.
Health & Medical Complete.
Gash, H. & Conway, P. (1997). Images of heroes and heroines: how stable.
Journal of Applied Developmental Psychology 18: 349-372.
Griffin, E. M. (2006). A Firts Look of Communication Theory 6th Edition.
Singapore: McGrawHill.
Kim, K. & Lowry, D. T. (2005). Television commercials as a lagging social
indicator: gender role stereotypes in Korean Television Advertising. Sex
Roles (Spring) 53: 901-910. Science and Business Media.
Kirca, S. (2001). Turkish women’s magazine; the popular meets the political.
Women’s Studies International Forum 24 (314): 457-468. Pergamon.
Lombardo, M. V. (2007). Contested Gender Equality and Policy Variety in
Europe: Introducing a Critical Frame Analysis Approach. In M. Verloo,
Multiple Meanings of Gender Equality, A Critical Frame Analysis of
Gender Policies in Europe (p. 18). Budapest: Central European University
Press.
Leon, K. & Angst, E. (2005). Portrayal of step families in film: using media
images in remarriage education. Journal of Family Relations 54 (1): 3-23.
ProQuest Education Journals.
Lindsey, L. L. (1990). Gender roles a sociological perspective. New Jersey.
Prentice Hall, Englewood Cliffts.
Luviana. (2010). Perempuan dan cerita (kuasa televisi). Jurnal Perempuan Untuk
Pencerahan dan kesetaraan
Mckee, A. (2005). The objectification of women in mainstream pornographic
videos in Australia. The Jornal of Sex Research 42: 277-290. Queensland
University of Technology.
Milburn, M. A, Mather, R. & Conrad, S. D. (2000). The effect of viewing R-rated
movie scenes that objectify women on perceptions of date rape. Journal of
Sex Roles 43: 645-664. ProQuest Education Journals.
Nelmes, J. (2007). Gender and film. In Nelmes, J (ed). Introduction to film studies
4th edition, pp. 221-273. New York. Roudledge.
Nielsen Media Research. (2005). Konsumsi Media Massa di Indonesia.
Papacharissi, Z. A. (2010). Digital Media and Society. USA: Polity.
Poerwandari, E. K. (1995). Aspirasi Perempuan Bekerja dan Aktualisasinya. In T.
O. Ihromi, Kajian Wanita dalam Pembangunan (p. 315). Jakarta: Yayasan
Obor.
Ramasubramanian, S & Oliver, M. B. (2003). Portrayals of sexual violence in
popular Hindi film 1997-1999. Sex Roles 48: 327-336. ProQuest
Education Journals.
Suyanto, I. (1995). Peranana Sosialisasi Politik Terhadap Partisipasi Politik
Perempuan. In T. O. Ihromi, Kajian Wanita Dalam Pembangunan (p. 491).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Smith, P. (1999). Sex, lies and Hollywood’s administrators the (de) construction
of school leadhership in contemporary films. Journal of Educational
Administration 37 (1): 50.
17

Sommer. E, Tara. M, Triplett. L. (2005). The impact of Film Manipulation on
men’s and women’s attitudes toward momen and film editing. Sex Roles.
Van Zoonen, Lisbeth. (1994). Feminist media studies. Sage Publications.
Wooden, S. R. (2003). “You even forget yourself” the cinematic construction of
anorexic women in the 1990s Austen film. Journal of Popular Culture 221235. EBSCO Publishing.
Yang, Yin. (2008). “Representasi Perempuan Dalam Majalah Wanita”. Jurnal
Studi
Gender dan Anak 3(1): 101-109.

18

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15