S PPB 0906309 Chapter 1

1

BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab pembuka dimana dijelaskan mengenai latar belakang
peneliti melakukan penelitian. Bab ini menyajikan fenomena yang terkait dengan
urgensi dilakukannya penelitian disertai fakta-fakta serta teori yang mendukung
dan terkait dengan topik penelitian. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai
identifikasi permasalahan serta tujuan dan manfaat dari penelitian ini.
A.

Latar Belakang Penelitian
Bimbingan konseling sebagai bagian integral dari proses pendidikan yang

tidak dapat dipisahkan dan memiliki andil yang cukup besar dalam pengembangan
kualitas manusia Indonesia yang telah diamanatkan dalam tujuan pendidikan
nasional (UU No 20 tahun 2003) yaitu : (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa; 2) berakhlak mulia; (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan;
(4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani; (5) memiliki kepribadian yang mantap
dan mandiri; serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi bagi semua tingkat satuan

pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu
ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Layanan bimbingan konseling
dilaksanakan di sekolah untuk membantu peserta didik termasuk remaja untuk
mengatasi masalah – masalah yang dialami termasuk masalah penerimaan diri.
Sebagian peserta didik sekolah merupakan remaja, remaja dengan
keunikannya masing - masing. Masa remaja, menurut batasan usia remaja yang
umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu
usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu: 12-15 tahun adalah masa
remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun
adalah masa remaja akhir (Desmita, 2008, hlm. 190). Tetapi Knoers dan Haditono
(Desmita, 2008, hlm. 190) membedakan masa remaja atas empat bagian, yaitu: 1)
masa pra-remaja atau pra-pubertas (10-12 tahun); 2) masa remaja awal atau
pubertas (12-15 tahun); 3) masa remaja pertengahan (15-18 tahun); dan 4) masa
Abdul Hadi Hasanuddin, 2016
Analisis Profil Penerimaan Diri Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2

remaja akhir (18-21 tahun). Pada masa remaja awal atau pubertas (12-15 tahun)

umumnya anak sedang duduk dibangku sekolah menengah.
Remaja mengembangkan konsep diri sesuai dengan cara pandang diri
terhadap diri dan bagaimana lingkungan memandang dan menempatkan dirinya.
Kemampuan remaja untuk beradaptasi dengan tuntutan lingkungan dimaknai oleh
remaja sebagai upaya remaja untuk bergaul.
Hurlock (1974, hlm. 436) menjelaskan bahwa semakin baik seseorang dapat
menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuaian diri dan sosialnya.
Penerimaan diri adalah suatu tingkatan kesadaran individu tentang karakteristik
pribadi dan adanya kemauan untuk hidup dengan keadaan tersebut. Individu
dengan penerimaan diri merasa bahwa karakteristik tertentu yang dimiliki adalah
bagian diri yang tidak terpisahkan. Segala apa yang ada pada dirinya dirasakan
sebagai sesuatu yang menyenangkan, sehingga memiliki keinginan untuk terus
dapat menikmati kehidupan.
Dalam menjalani proses kehidupannya, individu selalu berusaha mencari
dan menemukan apa yang disebut dengan kebahagiaan. Berkaitan dengan hal
tersebut Shaver dan Friedman (dalam Hurlock, 1980, hlm. 19) menyebutkan
bahwa: ”beberapa esensi kebahagiaan atau keadaan sejahtera, kenikmatan atau
kepuasan, di antaranya adalah sikap menerima (acceptance), kasih sayang
(affection), dan prestasi (achievement)”. Selanjutnya Al-Mighwar (2006, hlm. 49)
menyebutkan bahwa “penerimaan adalah faktor yang penting dalam kebahagiaan,

baik penerimaan diri sendiri maupun penerimaan sosial”. Berdasarkan hal tersebut
dapat diketahui bahwa dalam mencapai kebahagiaan, individu harus memiliki
penerimaan diri (self acceptance).
Menurut Husniyati (dalam Heriyadi, 2013, hlm. 2) mengemukaan bahwa
’’Individu yang mempunyai penerimaan diri rendah akan mudah putus asa, selalu
menyalahkan dirinya, malu, rendah diri akan keadaannya, merasa tidak berarti,
merasa iri terhadap keadaan orang lain, akan sulit membangun hubungan positif
dengan orang lain, dan tidak bahagia”. Peserta didik yang tidak memiliki
penerimaan diri yang baik akan sangat rentan menjadi tertekan dan mengalami
kesulitan dalam memusatkan konsentrasi pikiran, melamahkan motivasi dan daya
Abdul Hadi Hasanuddin, 2016
Analisis Profil Penerimaan Diri Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3

juang anak. Pada akhirnya anak tidak mampu mengaktualisasikan kemampuannya
dalam mengembangkan dirinya dengan baik.
Salah satu tugas perkembangan peserta didik sekolah menengah pertama
adalah menerima keadaan diri secara positif, individu yang memiliki penerimaan

diri berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana ia terlihat dalam
pandangan orang lain. Ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran
sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu
dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya. Memandang
kelemahan dan kekuatan dalam dirinya memiliki penerimaan diri memandang
kelemahan dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak
memiliki penerimaan diri. Individu tersebut kurang menyukai jika harus menyianyiakan energinya untuk menjadi hal yang tidak mungkin, atau berusaha
menyembunyikan kelemahan dari dirinya sendiri maupun orang lain. Ia pun tidak
berdiam diri dengan tidak memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya.
Sebaliknya, ia akan menggunakan bakat yang dimilikinya dengan lebih leluasa.
Individu yang bersikap baik pula dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya
akan bersikap baik pula dalam menilai kelemahan dan kekuatan orang lain.
Dalam kehidupannya remaja dituntut untuk menyesuaikan diri dengan
norma-norma yang berlaku dilingkungannya, remaja dituntuk untuk memenuhi
harapan yang di tunjukan oleh teman sebayanya dan di terima oleh lingkngannya.
Dalam keadaan tertentu remaja bisa diterima oleh lingkungannya dengan cara
menerima keadaan dirinya dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, tetapi
dalam keadaan lain remaja bisa melakukan apa saja untuk dapat diterima oleh
lingkungannya. Remaja tersebut dapat melakukan atau menampilkan yang tidak
sesuai dengan keadaan dirinya, dalam kasus ini remaja menampilkan dirinya

sebagai orang yang berasal dari status ekonomi tinggi, padahal kenyataannya
remaja tersebut berasal dari status ekonomi rendah. Dalam kenyataannya remaja
tersebut tidak memiliki apa-apa, tetapi karena penerimaan diri yang rendah untuk
dapat di terima oleh lingkungannya dia melakukan berbagai cara agar dapat setara
dengan teman-teman yang berada pada status ekonomi tinggi, tentunya dengan
cara yang tidak baik.
Abdul Hadi Hasanuddin, 2016
Analisis Profil Penerimaan Diri Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

4

Menurut Rathi dan Rastogi (2007) masa remaja adalah tahap yang sangat
kritis dan penting dalam perkembangan manusia. Sebagian besar perubahan
fisiologis, psikologis, dan sosial berlangsung selama periode kehidupan ini. Masa
remaja dapat dipandang sebagai tahap yang lebih kompleks dan bergejolak
daripada masa kanak-kanak .
Menurut Erikson (Rathi dan Rastogi, 2007, hlm. 31) Remaja telah lama
dianggap sebagai sekelompok individu yang mencari beberapa bentuk identitas
dan makna dalam kehidupan mereka. Mereka berjuang untuk menemukan makna

diri. Memiliki makna atau tujuan hidup dapat memecahkan krisis identitas bahwa
seseorang biasanya menghadapi selama periode ini. Menurutnya Dimensi dari
optimalnya perkembangan mereka terfokus pada: otonomi , penguasaan
lingkungan , pertumbuhan pribadi , hubungan positif dengan orang lain , jelasnya
tujuan hidup, dan penerimaan diri . Semua faktor ini dapat dianggap sebagai
komponen utama yang membentuk diri mereka. Remaja yang menunjukkan
kekuatan di setiap dimensi ini akan berada dalam keadaan yang baik secara
psikologis , sedangkan remaja yang kesulitan pada dimensi dimensi ini akan
berada dalam keadaan psikologis yang rendah.
Isu tentang penerimaan diri pada remaja masih menjadi topik yang menarik,
karena sekarang ini segala hal tentang remaja makin

rumit dan bahkan

pemahaman tentang diri mereka sendiri makin banyak berubah Mc Conville
(dalam Negovan dkk. 2011, hlm. 41). Menurut O Grady, pada konteks zaman post
modern seperti sekarang ini, kita bisa melihat bahwa remaja semakin rumit,
mereka lebih banyak menggabungkan berbagai struktur dan kemajuan di dunia ke
dalam diri mereka. Penerimaan diri sendiri, menurut Wylie merupakan kepuasan
individu terhadap dirinya sendiri dan menjadikan dirinya, secara positif,

berkorelasi dengan variable-variabel seperti: sikap kerja, persepsi , rendahnya
depresi, rendahnya gejala psikosomatik , rendahnya rasa menyalahkan diri , dan
kecemasan yang lebih rendah. (dalam Negovan dkk.2011, hlm. 41).
Proses penerimaan diri dapat menimbulkan masalah dan dilema bagi remaja.
Dalam satu sisi remaja dituntut untuk menerima keadaannya dengan segala
kekurangan dan kelebihannya, di sisi lain mereka dipengaruhi oleh pendapatAbdul Hadi Hasanuddin, 2016
Analisis Profil Penerimaan Diri Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

5

pendapat orang lain baik positif maupun negatif mengenai dirinya, ataupun
pandangan mengenai dirinya sendiri yang tidak sesuai dengan seperti apa dia
seharusnya (ideal-self). Sehingga beberapa pendapat tersebut dapat melemahkan
penerimaan diri peserta didik. Peserta didik yang memiliki penerimaan diri yang
buruk atau bahkan dia tidak menerima dirinya sendiri dapat berakibat fatal bagi
perkembangannya. Penerimaan diri yang buruk tersebut diakibatan oleh pemikiran
yang irasional atau pemikiran yang negatif terhadap dirinya. Perasaan dan pikiran
negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan
logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi

yang rasional.
Tingkat penerimaan diri pada individu khususnya remaja memiliki
kecenderungan yang berbeda jika dilihat dari hasil yang didapat antara pria dan
wanita. Perbedaan ini menjadi isu yang menarik untuk diteliti selama bertahuntahun oleh para ahli. Seperti diungkapkan oleh Kelly (Bernard, 2013). Dari hasil
analisis atas penelitian yang dilakukan Ryff dan koleganya (Bernard, 2013, hlm.
234) ditemukan bahwa tidak ditemukannya perbedaan antara penerimaan diri pada
pria dan wanita secara signifikan. Kelly (Bernard, 2013, hlm. 235) berpendapat
bahwa masih terdapat kekurangan pada penelitian yang dilakukan Ryff dan
koleganya. Kelly berkeyakinan bahwa baik terdapat perbedaan yang signifikan
terkait penerimaan diri pada pria maupun wanita (Bernard,2013, hlm. 243).
Menurutnya, diperlukan penelitian lebih lanjut yang dapat memperlihatkan
perbedaan tingkat penerimaan diri antara pria dan wanita.
Keyakinan Kelly diperkuat oleh berbagai penelitian terdahulu yang
menunjukan adanya perbedaan yang signifikan dari penerimaan diri pada pria dan
wanita. Pada penelitian yang dilakukan oleh Negovan dkk. (2011) pada 300 orang
peserta didik yang terdiri dari 146 pria dan 154 wanita, dengan rentang usia 12
hingga 18 tahun di Rumania, ditemukan bahwa peserta didik wanita secara
statistik, memiliki penerimaan diri lebih tinggi dari peserta didik pria secara
signifikan. Negovan sendiri berkesimpulan bahwa penerimaan diri berhubungan
erat dengan jenis kelamin. Ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Ceyhan

dan Ceyhan (Negovan, 2011) yang menyatakan bahwa wanita pada usia remaja
Abdul Hadi Hasanuddin, 2016
Analisis Profil Penerimaan Diri Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

6

memiliki penerimaan diri yang lebih tinggi dari pria. Secara keseluruhan,
menurutnya, remaja mengalami perkembangan penerimaan diri selaras dengan
pesatnya perkembangan dan pemahamannya terhadap pengalaman sosial.
Pada penelitian lainnya, Rathi dan Rastogi (2007, hlm. 33) melakukan
penelitian dengan subjek 104 peserta didik dari berbagai sekolah negeri,
ditemukan bahwa pada seluruh dimensi perkembangan optimal remaja (otonomi,
penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi , hubungan positif dengan orang
lain, kejelasan tujuan hidup, dan penerimaan diri), wanita mencapai skor yang
lebih tinggi daripada pria secara signifikan.
Dalam penelitian lainnya tentang perbedaan hubungan antara intelegensi
emosional dengan penerimaan diri khususnya dilihat dari jenis kelamin, Toyota
(2011) menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil
penelitian antara pria dan wanita. Partisipan yang menjadi subjek penelitiannya

merupakan 244 peserta didik yang diantaranya adalah 96 pria, dan 148 wanita.
Dalam penelitiannya, Toyota menggunakan instrumen ESCQ yang dikembangkan
oleh Takšic (1998) dimana inteligensi emosional dibagi ke dalam tiga sub
keterampilan yakni: kemampuan untuk memahami emosi, kemampuan untuk
mengekspresikan emosi, dan kemampuan untuk mengelola emosi. Ketiga sub
keterampilan ini kemudian dikorelasikan dengan skor penerimaan diri partisipan.
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa hanya kemampuan untuk mengelola
emosi saja yang secara signifikan memengaruhi penerimaan diri partisipan pria.
Sedangkan pada wanita, seluruh sub keterampilan pada intelegensi emosional
secara signifikan memengaruhi penerimaan diri mereka.
Selanjutnya dilaksanakan pula observasi pendahuluan di SMP Pasundan 3
Bandung. Sebagaimana informasi yang didapatkan dari guru BK pada SMP
Pasundan 3 Bandung dan hasil observasi langsung selama melaksanakan
praktikum lapangan, ditemukan peserta didik bermasalah.
Dengan latar belakang masalah tersebut peneliti mencoba melakukan
penelitian mengenai Analisis Profil Penerimaan Diri Peserta Didik dan
Implikasinya bagi Layanan Dasar Bimbingan dan Konseling.
Abdul Hadi Hasanuddin, 2016
Analisis Profil Penerimaan Diri Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu


7

B.

Identifikasi dan Perumusan Masalah
Dari uraian-uraian pada poin sebelumnya, ditemukan masalah yang menarik

diteliti yaitu mengenai penerimaan diri yang dimiliki oleh peserta didik.
Penerimaan diri peserta didik memiliki kecenderungan yang berbeda jika ditinjau
dari jenis kelamin. Hal ini diperkuat oleh berbagai penelitian terdahulu yang telah
dilakukan oleh para Ahli. Untuk itu, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah profil penerimaan diri pada peserta didik kelas VIII SMP 3
Pasundan Bandung.
2. Bagaimanakah profil penerimaan diri pada peserta didik kelas VIII SMP 3
Pasundan Bandung berdasarkan jenis kelamin.
C.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka

tujuan umum penelitian adalah untuk mendapatkan data empirik terbaru mengenai
profil penerimaan diri peserta didik remaja di SMP 3 Pasundan Bandung kelas
VIII sebagai dasar penelitian mengenai penerimaan diri peserta didik selanjutnya.
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini, yaitu:
1. Memperoleh profil penerimaan diri pada peserta didik kelas VIII SMP 3
Pasundan Bandung Tahun Ajaran 2015/2016.
2. Memperoleh profil penerimaan diri pada peserta didik kelas VIII SMP 3
Pasundan Bandung Tahun Ajaran 2015/2016 berdasarkan jenis kelamin.
D.

Metode Penelitian
Dalam peneletian ini, pendekatan penelitian yang digunakan yakni dengan

pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan penelitian
yang menekankan pada penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data,
penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya ( Arikunto, 2006,
hlm.12). Alasan pemilihan pendekatan ini ialah agar mendapatkan gambaran hasil
dalam bentuk angka untuk menganalisis tingkat penerimaan diri peserta didik.
Desain penelitian yang digunakan adalah dengan metode deskriptif yaitu suatu
bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
fenomena-fenomena yang ada. Penelitian deskriptif tidak memberikan perlakuan,
Abdul Hadi Hasanuddin, 2016
Analisis Profil Penerimaan Diri Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

8

manipulasi atau pengubahan variabel-variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu
kondisi apa adanya. Whitney (Nazir, 2005, hl. 54) metode deskriptif adalah
pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari
masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara berlaku dalam masyarakat
serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikapsikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang berlangsung dan pengaruhpengaruh dari suatu fenomena. Dalam metode deskriptif dapat diteliti masalah
normatif bersama-sama dengan masalah status dan sekaligus membuat
perbandingan-perbandingan antar fenomena.
Dalam penelitian deskriptif peneliti bukan saja memberikan gambaran
terhadap fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan hubungan, menguji
hipotesis-hipotesis, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi
dari suatu masalah yang ingin dipecahkan (Nazir, 2005, hlm. 55).
E.

Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat secara teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah wawasan
keilmuan dan memperkaya teori-teori bimbingan dan konseling, terutama dalam
pemanfaatan data hasil penelitian terbaru mengenai penerimaan diri terhadap
penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi :
1. Konselor sekolah/Guru pembimbing, agar dengan penelitian ini dapat menjadi
acuan praktis pendekatan layanan bimbingan untuk meningkatkan penerimaan
diri siswa.
2. Peneliti selanjutnya,

agar menjadi rujukan untuk penelitian yang akan

dilaksanakan mengenai penerimaan diri peserta didik.

Abdul Hadi Hasanuddin, 2016
Analisis Profil Penerimaan Diri Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

9

F.

Struktur Organisasi Skripsi
BAB I berisi uraian tentang pendahuluan dan merupakan bagian awal dari

skripsi. Pendahuluan berisi latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan
masalah, tujuan penelitian, dan manfaat atau signifikansi penelitian.
BAB II berisi kajian pustaka, Kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian.
Kajian pustaka mempunyai peran yang sangat penting. Melalui kajian pustaka
ditunjukkan “the state of the art”dari teori yang sedang dikaji dan kedudukan
masalah penelitian dalam bidang ilmu yang diteliti. Kajian pustaka berfungsi
sebagai landasan teoretik dalam menyusun pertanyaan penelitian, tujuan serta
hipotesis. Kerangka pemikiran merupakan tahapan yang harus ditempuh untuk
merumuskan hipotesis dengan mengkaji hubungan teoritis antar variabel
penelitian. Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang
dirumuskan dalam penelitian atau submasalah yang diteliti.
BAB III berisi penjabaran yang rinci mengenai metode penelitian, termasuk
lokasi dan subjek populasi/sampel penelitian, desain penelitian dan justifikasi dari
pemilihan desain penelitian, definisi operasional variabel, instrument penelitian,
proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data, dan analisis data.
BAB IV adalah hasil penelitian dan pembahasan. Bagian pembahasan atau
analisis temuan mendiskusikan temuan tersebut dikaitkan dengan dasar teoretik
yang telah dibahas dalam bab kajian pustaka dan temuan sebelumnya.
BAB V kesimpulan dan saran. Menyajikan penafsiran dan pemaknaan
peneliti terhadap hasil analisis temuan penelitian.

Abdul Hadi Hasanuddin, 2016
Analisis Profil Penerimaan Diri Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu