Artikel Kehadiran TNI Masih Penting di M (1)

Artikel
Kehadiran TNI Masih Penting di Maluku dan Maluku Utara
Konflik Horizontal Yang Tak Kunjung Usai
Konflik horizontal yang terjadi di Maluku dan Maluku Utara merupakan konflik
berkepanjangan yang masih sangat rentan untuk kembali tereskalasi. Konflik ini sering
digambarkan sebagai contoh kasus permusuhan antara agama Kristen dan Islam.
Sebanyak 50% lebih penduduk asli di Maluku beragama Kristen akibat adanya kegiatan
transaksi perdagangan di abad ke-16 melibatkan banyak pedagang-pedagang Eropa
yang singgah dan menetap di daratan ini sambil menyebarkan agama Kristiani.
Sisanya, merupakan penduduk pendatang yang sebagian besar menempati daerah
pesisir di Maluku dan Maluku Utara. Meskipun demikian, sampai pada tahun 1970-an,
kedua agama ini hidup berdampingan dengan mengedepankan kearifan lokal “Pela
Gandong” untuk mengikat persaudaraan antar agama. 1 Namun dengan adanya
kebijakan transmigrasi pada masa Orde Baru, kaum Muslim semakin bertambah di
Maluku dan pelan-pelan mulai mengisi jabatan-jabatan politik daerah yang biasanya
ditempati oleh penduduk nasrani. Hal ini merupakan gesekan awal terjadinya konflik
komunal di Maluku, karena sebagian kaum nasrani tidak dapat menerima eksistensi
politik kaum muslim yang dianggap sebagai pendatang di tanah Maluku tersebut.
Eskalasi konflik awalnya terjadi karena adanya tindakan kriminal kecil antara
pemuda Kristen dan pemuda Muslim yang berkonflik di terminal. Layaknya rumput
kering yang tersulut api, dalam kondisi rawan tersebut, provokasi dan propaganda

cepat menyebar. Pertengkaran kecil tersebut akhirnya tereskalasi menjadi kekerasan
massal, pembantaian, dan semakin menguatnya isu separatis dengan meluasnya
perjuangan oknum-oknum Republik Maluku Selatan (RMS). Tentu saja Pemerintah
pusat tidak membiarkan hal seperti ini terus berkembang. Segera setelah terjadi
kekerasan massal, pembantaian dan pernyataan kemerdekaan RMS oleh Front
Kedaulatan Maluku (FKM), Batalyon Gabungan dengan status Bawah Kendali Operasi
(BKO) diturunkan dengan komando melakukan “operasi pembersihan” terhadap kaum
ekstrimis Jihad Muslim di Maluku dan oknum FKM di Maluku. 2 Daratan beribu pulau
1

2

Pela Gandong adalah istilah dalam adat Ambon yang berarti kesepakatan suku-suku di Ambon,
Maluku untuk bisa saling bersaudara walaupun berbeda agama dan etnis.
Kajian dari Centre for Humanitarian Dialogue- Mediation for peace, ‘Pengelolaan Konflik di Indonesia –
Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua, dan Poso’, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Current

1

tersebut berubah status menjadi daerah rawan konflik dan sejak itu, ribuan tentara

dikerahkan untuk menjaga supaya konflik tidak meluas.
Ketidakpercayaan Masyarakat Terhadap Aparat Keamanan di Maluku
Konflik yang semakin besar diantara dua agama tersebut sejak tahun 2000
menyebabkan antara lain adanya kebakaran rumah penduduk, pembantaian, provokasi
yang tidak terkontrol dan kerusuhan dimana-mana. Penyebaran isu dan propaganda
menjadi trigger konflik, seakan penduduk tidak mau mendengar arahan Pemerintah
Daerah untuk tidak terprovokasi berita yang tidak jelas sumbernya. Dalam keadaan
seperti ini, seyogyanya masyarakat dapat mengandalkan aparat keamanan yang
bertugas melindungi masyarakat. Namun masyarakat di Ambon justru menyatakan
bahwa aparat Polisi sering tidak segera merespons pengaduan-pengaduan kerusuhan
dan tindak kriminal dari masyarakat setempat seakan itu merupakan hal yang biasa. 3
Adanya anggapan akan lambatnya respon dari aparat keamanan terkait adanya
kekerasan dan pembakaran yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab membuat kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan – dalam hal ini
Polisi, memudar. Ironisnya, lokasi beberapa kerusuhan dan kekerasan yang terjadi
dekat dengan Kantor Polisi setempat, sehingga muncul anggapan bahwa aparat
keamanan di daerah ini sengaja melakukan pembiaran kekerasan dan kerusuhan
dengan tidak melakukan tindakan preventif dan solutif serta tidak efektifnya pihak
intelijen Polisi yang seharusnya bisa memberikan informasi kerusuhan yang mungkin
terjadi di Maluku dan Maluku utara. Masyarakat menilai kurangnya pemahaman Polisi

akan akar konflik dan anatomi konflik yang terjadi Maluku, dan langkah Polisi yang
kurang strategis dalam meminimalisir pergerakan dan propaganda massa serta adanya
pandangan keberpihakan Polisi terhadap salah satu kubu yang berkonflik memperparah
keadaan di Maluku. Meskipun demikian, sebagian masyarakat masih tetap bergantung
pada pertolongan aparat keamanan dan mengapresiasi langkah Polisi yang berusaha
mengantisipasi kekerasan yang dapat mengeskalasi konflik baru di daerah ini.
Peran TNI Dalam Konflik di Maluku dan Maluku Utara
3

Asia dan the Centre for Humanitarian Dialogue, Juni 2011, Hal. 21.
Mohammad Hasan Ansori, dkk – The Habibie Center, ‘Segregasi, Kekerasan, dan Kebijakan
Rekonstruksi Pasca Konflik di Ambon – Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan., Februari
2014, Hal. 108.

2

Penanganan konflik horizontal umumnya memerlukan kepercayaan kedua kubu
yang berkonflik akan adanya campur tangan dari pihak ketiga. Pada konflik di Maluku
dan Maluku Utara, keraguan masyarakat terhadap netralitas Polisi membuat peran
Polisi kurang diterima dalam penyelesaian konflik ini, sehingga akhirnya TNI lah yang

diterjunkan. Walaupun demikian, kedatangan TNI di wilayah konflik Maluku dan Maluku
Utara tidak langsung disambut dengan baik oleh masyarakat di sana. Sebagian
masyarakat menganggap tugas penyelesaian konflik adalah tugas Polisi jadi TNI tidak
perlu ikut campur dengan mengadakan program Kamtibnas di Ambon, sementara
sebagian orang lainnya tidak keberatan terhadap datangnya TNI dalam satuan batalyon
dengan status BKO. BKO TNI yang ditugaskan di Maluku berada dalam garis komando
dari Kodam yang terbagi per sektor, dimana masing-masing sektor menyiagakan
pasukannya sampai sejauh 500 meter, sehingga jika terjadi kerusuhan di manapun, TNI
yang siaga di tiap-tiap sektor dapat langsung menangani. Hal ini mengobati
kekecewaan masyarakat akan ketiadaan personel aparat keamanan yang selama ini
dinilai lambat menangani kerusuhan.
TNI yang terbagi per sektor ini membangun sinergi dengan pejabat daerah
tingkat rendah setempat. Jika ada pergerakan massa ke daerah utara Maluku misalnya,
RT setempat segera mencari informasi, darimana asal pergerakan tersebut, dan
menginformasikan kepada satuan komando di sektor asal pergerakan, sehingga
kerusuhan dapat dihindari.4 Penunjukan BKO dari TNI untuk pengamanan dan kerja
sama dengan tokoh daerah dianggap efisien sehingga konflik sedikit demi sedikit dapat
dihindari terutama pada masa-masa Pilkada dan Pemilu.
Meskipun demikian, kecurigaan masyarakat yang mengalami trauma pasca
konflik tetap tidak bisa dihindarkan. Pemikiran bahwa ada pihak-pihak yang

diuntungkan jika konflik masih terus terjadi dialamatkan pada aparat keamanan baik
Polisi maupun TNI. Asumsi ini diperkuat dengan masih didatangkannya BKO TNI ke
daerah Maluku dan Maluku Utara padahal kondisi dinilai sudah stabil. Kehadiran TNI
saat ini di Maluku justru menimbulkan kesan bahwa daerah Maluku dan Maluku Utara
belum aman, atau justru dikondisikan untuk tidak aman supaya BKO tetap diperlukan.
Padahal penugasan BKO TNI di Maluku menurut Pangdam Pattimura, adalah karena
lokasi konflik berada di pulau terluar Indonesia, isu separatis di Maluku juga harus terus
4

Sumber dari tniad.mi.id, Kodam XVI/Pattimura, dalam Artikel ‘Prajurit dituntut Kesiapsiagaan Dalam
Pelaksanaan Tugas’, 14 Juni 2012.

3

di monitor supaya Pemerintah tidak kecolongan pihak FKM, adanya permintaan
Pemerintah Daerah dan Bupati setempat akan kehadiran BKO TNI karena dapat
menjaga situasi pasca konflik tetap stabil sampai ekonomi masyarakat membaik, dan
dilihat dari kepentingan humanisme prajurit TNI, kehadiran TNI masih diperlukan
sebagai latihan secara langsung implementasi pembinaan perdamaian pasca konflik
untuk mencapai perdamaian kembali.

Menteri Pertahanan dalam suratnya kepada Panglima TNI bulan Agustus 2014
lalu menyampaikan persetujuan untuk menugaskan kembali satuan tugas BKO
pengamanan daerah rawan Maluku dengan kekuatan 1 Satuan Setingkat Batalyon
sebanyak 500 orang selama 9 bulan dalam rangka memperkuat peacebuilding dan
penguatan kapasitas masyarakat dalam membangun perdamaian di Maluku. Untuk
kepentingan ini, akhirnya diberangkatkanlah Pasukan Batalyon Armed yang selanjutnya
seperti pasukan BKO sebelumnya, berkoordinasi secara langsung dengan Pemda
Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Kondisi masyarakat di Maluku dan Maluku Utara
memang dikatakan sudah kondusif dan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan era
pasca reformasi. Meskipun demikian, kondisi psikologis masyarakat pasca konflik
masih memerlukan pendampingan supaya gesekan-gesekan dari faktor struktural
masyarakat tidak menjadi trigger untuk konflik selanjutnya. Karena itu, keberadaan BKO
TNI di daerah ini masih diperlukan untuk terus menjaga kondisi sosial dan politik serta
ekonomi masyarakat kembali stabil.
_________________________________

Benedicta Trixie A., S.IP
Analis Kebijakan pada Sub Bidang Pertahanan

4