Hubungan Riwayat Diabetes Mellitus Dengan Penyakit Ginjal Kronik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus
2.1.1. Definisi
Istilah diabetes merujuk pada kelainan metabolisme yang diakibatkan dari
berbagai jenis etiologi, biasa nya ditandai dengan kejadian kronik hiperglikemia
serta kelainan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Kelainan
terserbut bisa disebabkan oleh kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya. Efek yang ditimbulkanya bisa berupa kerusakan, disfungsi, dan
kegagalan dari berbagai organ tubuh. Diabetes melitus bisa timbul dengan
karakteristik gejala berupa polydipsia (banyak minum), polyuria (banyak
kencing), dan polyphagia (banyak makan), dapat juga diikuti dengan gejala
pengelihatan kabur, dan penurunan berat badan. Pada kondisi yang parah, dapat
timbul ketoasidosis, atau hyperosmolar nonketotic yang akan berkembang
menjadi stupor, coma, bahkan kematian. Biasanya gejala tidak terlalu parah, atau
bahkan tidak ada, dan berakibat pada ketidaktahuan pasien akan penyakit yang
dideritanya. Kondisi ini menyebabkan perubahan fungsional tubuh hingga
akhirnya tahap akhir kerusakan organ sebelum diagnosis dapat ditegakan. Tahap
lanjut meliputi kerusakan progresif dari organ-organ seperti retinopathy dengan
kemungkinan kebutaan, nephropathy yang berlanjut pada gagal ginjal, dan

neuropathy dengan resiko munculnya ulcer kaki hingga tahap amputasi. Dapat
pula muncul gangguan anotomik nervus sistem dan fungsi seksual. Orang dengan
diabetes berisiko terkena penyakit jantung, pembuluh darah tepi serta pembuluh
darah cerebral ( WHO, 1970 ).

2.1.2. Epidemiologi
Pada awal tahun 1900 prevalensi Diabetes Mellitus tidak terlalu signifikan
dibanding penyakit-penyakit lain hingga tahun 1960. Dimana kemudian terjadi
peningkatan serius jumlah penderita hingga mencapai 153 juta pada tahun 1980,
kemudian meningkat menjadi 347 juta orang pada tahun 2008. Diperkirakan hal

5
Universitas Sumatera Utara

ini akan berlanjut mencapai 552 juta penderita pada tahun 2030, yang artinya
sekitar 1 dari 10 orang dewasa adalah penderita Diabetes Mellitus (Mufanda eat
al, 2015).
Beragam penelitian tentang trend diabetes menjelaskan bahwa ada
peningkatan signifikan prevalensi pada kedua daerah perkotaan dan pedesaan
termasuk pria dan wanita dengan resiko yang sama. Hal tersebut diakibatkan

perubahan demografi (peningkatan kelompok usia tua), urbanisasi, dan perubahan
gaya hidup yang beresiko tinggi seperti merokok, obesitas, jarang bergerak
(physical inactivity) (Mufanda eat al, 2015).
Menurut data organisasi Persatuan Rumah Sakit di Indonesia (PERSI) ,
sekitar 14 juta orang menderita DM pada tahun 2006. Dan hanya sekitar 80%
yang sadar akan penyakitnya, dan hanya sekitar 30% yang melakukan pengobatan
secara teratur. Menurut beberapa penelitian epidemiologi, prevalensi DM berkisar
antara 1,5% sampai 2,3%, kecuali Manado yang cenderung lebih tinggi, yaitu
6,1% (Mendrofa, 2012).

2.1.3. Klasifikasi dan Etiologi
Klasifikasi etiologis DM berdasarkan American Diabetes Association
(ADA dalam Purnamasari, 2009) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1. Klasifikasi Etiologi Diabetes Mellitus
I.

Diabetes Melitus Tipe 1
(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut)
a. Melalui proses imunologik

b. Idiopatik

II.

Diabetes Melitus Tipe 2
(bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin
disertai

defisiensi

predominan

insulin

gangguan

relatif

sekresi


sampai

insulin

yang

bersama

resistensi insulin)

6
Universitas Sumatera Utara

III.

Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi pada:
-

Kromosom 20, Hepatocyte Nuclear Transcription

Factor (HNF) 4α (dahulu MODY 1)

-

Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3)

-

Kromosom 7, Glukokinase (dahulu MODY 2)

-

Kromosom 13, Insulin Promoter Factor (IPF) 1
(dahulu MODY 4)

-

Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

-


Kromosom 2, Neuro DI (dahulu MODY 6)

-

DNA mitokondria

-

lainnya

b. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe
A, leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall,
diabetes lipoatrofik, lainnya
c. Penyakit

Eksokrin

Pankreas:


pankreatitis,

trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik,
hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus,
lainnya
d. Endokrinopati:

akromegali,

sindrom

Cushing,

feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma,
aldosteronoma, lainnya
e. Karena obat/ zat kimia: vacor, pentamidin, asam
nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid,
agonis β adrenergic, tiazid, fenitoin, interferon alfa,
protease inhibitor, clozapine, beta bloker, lainnya
f. Infeksi: rubella kongenital, CMV, lainnya

g. Imunologi (jarang): sindrom Stiff-man, antibodi
anti reseptor insulin, lainnya
h. Sindrom genetik lain: sindrom Down, sindrom

7
Universitas Sumatera Utara

Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s,
ataksia Friedreich’s, Chorea Huntington, sindrom
Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria,
sindrom Prader Willi, lainnya
IV.

Diabetes Gestasional

2.1.4. Faktor Risiko
Menurut Suyono (2007), DM di Indonesia akan terus meningkat
disebabkan beberapa faktor antara lain :
a. Faktor keturunan (genetik)
b. Faktor kegemukan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2 )

- Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat
- Makan berlebihan - Hidup santai, kurang gerak badan
c. Faktor demografi
- Jumlah penduduk meningkat – Urbanisasi
- Penduduk berumur di atas 40 tahun meningkat
d. Kurang gizi (Mendrofa, 2011).
2.1.5. Patogenesis
Pada DM tipe 1 atau lebih dikenal dengan nama Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi
autoimun). Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan
insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Autoimun
merupakan salah satu penyebab tersering dari DM, dan sebagian kecil disebabkan
oleh non autoimun. Proses autoimun biasanya dipicu oleh suatu infeksi atau
stimulus lingkungan. Akibat dari proses autoimun tersebut hampir tidak terdapat
insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma plasma meningkat dan sel-sel β
pancreas gagal merespons peningkatan glukosa dalam darah. Sering sekali
dijumpai kondisi ketoasidosis pada pasien penderita DM tipe 1. Oleh karena itu
pemberian insulin penting untuk memperbaiki dalam penatalaksanaan DM tipe 1.
Bila telah terjadi kerusakan lebih dari 80% pada sel β pankreas maka gejala DM
akan muncul, yang biasanya terjadi lebih cepat pada anak-anak dibandingkan

orang dewasa (Kardika et al, 2013).

8
Universitas Sumatera Utara

Pada saat terjadinya diabetes melitus tergantung insulin, sebagian besar sel
β pankreas sudah rusak hampir pasti karena autoimun. Ada beberapa serangkaian
kondisi yang setidaknya dimiliki penderita yang berperan dalam munculnya
penyakit ini, yaitu : 1) Harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. 2)
Keadaan lingkungan biasanya memicu proses ini pada individu yang memiliki
kerentanan genetik. Infeksi virus juga diyakini sebagai suatu pemicu, meskipun
ada agen noninfeksius yang dapat berperan didalamnya. 3) Peradangan pankreas
yang disebut insulitis. Biasanya ditemukan sel monosit/makrofag dan limfosit T
teraktivasi yang menginfiltrasi sel-sel pulau langerhans. 4) Perubahan atau
transformasi sel β sehingga dikenali sebagai sel asing oleh sel imun. 5)
Selanjutnya adalah perkembangan respon imun. Karena sel β pankreas dikenali
tubuh oleh sel asing, sehingga terjadi respon imun yang akan menghancurkan sel
β pankreas melalui pembentukan antibodi anti sitotoksik dan bekerja sama dengan
sel imun seluler. Terkadang DM tipe satu dapat berkembang melalui pengaruh
lingkungan saja, contohnya pada peminum vacor (racun tikus) atau DM tipe satu

juga dapat berkembang tanpa melalui pengaruh lingkungan misalnya pada genetik
murni. Namun urutan patogenetiknya biasanya adalah predisposisi genetik –
pengaruh lingkungan – insulitis – perubahan sel beta menjadi sel asing – aktivasi
sistem imun – pengerusakan sel beta – diabetes melitus (Foster, 2000).
DM tipe 2 memiliki ciri-ciri berupa defek pada sekresi dan resistensi dari
insulin, yang kemungkinan keduanya turut berperan dalam munculnya manifestasi
klinis, karena individu dengan obesitas dan resistensi insulin yang nyata dapat
mempunyai toleransi glukosa yang normal. Mungkin individu ini tidak
mempunyai lesi sel β. Hal ini menunjukkan bahwa defek utama terletak pada sel
penghasil insulin. Massa sel β intak pada DM tipe 2, yang berlawanan dengan DM
tipe 1, namun jumlah sel α mengalami peningkatan sehingga rasio glukagon
dibanding insulin meningkat. Hal ini juga yang mendukung

keadaan

hiperglikemik pada DM tipe 2 (Foster, 2000).
Meskipun resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai penurunan jumlah
reseptor insulin, sebagian besar resistensi insulin adalah tipe pasca reseptor. Sudah
lama diketahui bahwa terdapat endapan amiloid ( peptida asam amino 37 yang

9
Universitas Sumatera Utara

disekresi bersama dengan insulin) di pankreas pada DM tipe 2 yang merupakan
suatu pertanda bahwa terjadi peningkatan produksi insulin akibat resistensi.
Penelitian pada hewan menunjukkan ada pengaruh amilin (bentuk jamak: amiloid)
terhadap resistensi insulin, namun kesimpulan amilin dapat menyebabkan
resistensi insulin masih belum dapat disimpulkan (Foster, 2000).
Tanpa

memandang

mekanisme

resistensi

insulin,

konsekuensi

fisiologisnya masih belum jelas. Tidak ada kelainan utama baik pada ambilan
glukosa oleh sel atau metabolisme oksidatif menjadi CO2, air dan laktat. Blok
metabolik utama terjadi pada sintesis glikogen (metabolisme nonoksidatif).
Metabolisme nonoksidatif glukosa yang terganggu, seperti pada hiperinsulinemia
dan resistensi insulin, dapat terlihat pada individu nonobes, relatif normoglikemik
dengan DM tipe 2 (Foster, 2000).
DM tipe 2 mempunyai onset usia diatas 40-an tahun, atau lebih tua, dan
biasanya tidak menunjukkan gejala ketoasidosis. Kebanyakan penderita memiliki
berat badan berlebih (overwheight). Atas dasar inilah maka penderita dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu : (1) kelompok obes dan (2) kelompok non-obes.
Kemungkinan menderita DM tipe 2 menjadi meningkat berkali-kali lipat jika
berat badan bertambah sebanyak 20% dari berat badan ideal dan usia meningkat
10 tahun atau diatas 40 tahun (Mendrofa, 2012).
Gejala muncul secara perlahan dan biasanya ringan (bahkan terkadang
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk muncul) serta progresivitas gejala
berjalan lambat. Ketoasidosis biasanya tidak muncul, kecuali pada kasus tertentu
yang disertai stress atau infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi,
namun tidak bekerja efektif (Arisman dalam Mendrofa, 2012).

2.1.6. Fisiologi dan Patofisiologi
2.1.6.1. Struktur kimia insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul sebesar 5808 yang
di produksi dari organ pankreas pada manusia. Insulin tersusun oleh 51 asam
amino yang terdiri dari rantai A dan rantai B serta dihubungkan dengan jembatan
disulfida. Proses pembentukan insulin dimulai dari sintesis proinsulin dari

10
Universitas Sumatera Utara

retikulum endoplasma kasar, kemudian diangkut kedalam aparatus golgi dan
dikemas dalam granula-granula tempat dimana proinsulin akan dihidrolisis
menjadi insulin dan suatu peptida-C dengan menghilangkan empat asam amino
penghubung (Nolte, 2007).
Insulin dan peptida-C disekresikan dalam jumlah yang ekuimolar sebagai
respon terhadap semua agan perangsang insulin bersama sebagian proinsulin yang
tidak terhidrolisis. Proinsulin diduga memiliki efek hipoglikemik, tetapi belum
diketahui apakah protein-C memiliki efek fisiologis. Granula di dalam sel B
meyimpan insulin dalam bentuk kristal yang mengandung dua atom seng dan
enam molekul insulin. Secara keseluruhan manusia menyimpan sebanyak 8 mg
insulin, atau sekitar 200 unit biologis (Nolte, 2007).
2.1.6.2. Sekresi insulin
Insulin disekresikan dari sel B pankreas dengan laju basal yang rendah dan
laju basal yang rendah dan dengan laju yang jauh lebih tinggi bila terstimulasi
dengan berbagai rangsangan, khususnya glukosa. Stimulan lain yang juga dikenal
seperti gula (misalnya, manosa), asam amino tertentu (misalnya, leusin, arginin),
dan aktivitas nervus vagus. Dalam gambar di bawah diperlhatkan bahwa
hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar ATP intrasel yang akan menutup
kanal kalium sehingga terjadilah suatu depolarisasi. Depolarisasi tersebut akan
membuka kanal kalsium. Efluks kalsium intrasel akan mencetuskan eksositasi dari
insulin (Nolte, 2007).

Gambar 2.1. Mekanisme pelepasan insulin oleh sel Beta langerhans (Martha et al, 2006)

11
Universitas Sumatera Utara

2.1.6.3.Insulin dalam sirkulasi
Kadar insulin basal pada manusia adalah 5-15 µU/mL (30-90 pmol/L),
dengan kadar puncak sekitar 60-90 µU/mL (360-540 pmol/L) pada waktu makan
(Nolte, 2007).
2.1.6.4. Reseptor insulin
Setelah beredar di sirkulasi, insulin kemudian berdifusi dalam jaringan dan
berikatan pada reseptor khusus pada membran jaringan, seperti pada hati, otot,
dan jaringan adiposa. Reseptor tersebut mengandung dua heterodimer yang terikat
secara kovalen, dan masing-masing mengandung subunit α yang merupakan
daerah pengenal dan seluruhnya terdapat di luar membran, serta subunit β yang
menembus ketebalan membran sel. Subunit β mengandung protein kinase yang
akan aktif setelah serangkaian proses mulai dari pengikatan insulin pada subunit
α, hingga terjadilah suatu konformasi yang mendekatkan lengkung katalitik
subunit β sitoplasmik yang berhadapan. Hal tersebut kemudian memfasilitasi
fosforlisasi timbal balik residu tirosin pada subunit β dan aktifitas tirosin kinase
kemudian diarahkan pada protein sitoplasma (Martha, 2007).

Gambar 2.2. Reseptor Insulin (Martha et al, 2006)

12
Universitas Sumatera Utara

Protein plasma yang difosforilasi oleh reseptor tirosin kinase aktif adalah
docking protein, yaitu substrat reseptor insulin-1 sampai -6. Setelah fosforilasi
tirosin terjadi di sejumlah tempat kritis , molekul IRS berikatan dan mengaktifkan
kinase lain yang terpenting adalah fosfatidilinositol-3 kinase yang menimbulkan
fosforilasi lebih lanjut atau berikatan pada suatu protein adaptor seperti protein
pengikat reseptor faktor pertumbuhan-2, yang mentranslasikan sinyal insulin
menjadi suatu faktor pelepas nukleotida guanin hingga akhirnya mengaktifkan
protein ras pengikat GTP, dan sistem protein kinase yang teraktifkan-mitogen
(MAPK). Tirosin kinase tertentu yang terfosforilasi IRS memiliki spesifisitas
pengikatan dengan molekul hilir berdasarkan motif atau sekuens 4-5 asam amino
di sekitar-nya yang mengenali domain src homolog 2 yang spesifik pada protein
lain. Jaringan fosforilasi ini dalam sel merupakan perantara kedua insulin dan
menimbulkan berbagai efek, termasuk tranlokasi transporter glukosa (terutama
GLUT-4) ke membran sel sehingga menyebabkan peningkatan ambilan glukosa,
peningkatan aktifitas glikogen sintase dan peningkatan pembentukan glikogen,
berbagai efek terhadap sintesis protein, lipolisis, dan lipogenesis, dan aktivasi
faktor transkripsi yang memacu sintesis DNA dan pembelahan serta pertumbuhan
sel. Jalur IRS-2 berkaitan dengan mitogenesis dan proliferasi sel (Nolte, 2007).
Beberapa

agen

hormonal

tertentu

seperti

glukokortikoid

dapat

menurunkan afinitas insulin terhadap reseptornya. Namun, kelebihan hormon
pertumbuhan meningkatkan sedikit afinitas insulin terhadap reseptornya.
Penyimpangan pada fosforilasi serin dan treonin dalam subunit β reseptor insulin
atau molekul IRS dapat menimbulkan resistensi insulin dan penekanan (down
regulation) reseptor fungsionalnya (Nolte, 2007).
2.1.6.5. Efek insulin terhadap targetnya
Insulin berperan penting pada proses biologis tubuh terutama fungsinya
dalam meningkatkan simpanan lemak dan glukosa dan mempengaruhi
pertumbuhan sel serta fungsi metabolik berbagai jaringan (Sherwood, 2009).
Insulin menimbulkan beberapa efek dalam penanganan glukosa,
diantaranya ialah : 1) Insulin mempermudah transpor glukosa dari luar ke dalam
sel; 2) Insulin merangsang pembentukan glikogen dari glukosa (glikogenesis) di

13
Universitas Sumatera Utara

otot rangka dan hati; 3) Insulin menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa
(glikogenolisis), maka insulin cenderung bertindak dalam mempertahankan
cadangan karbohidrat; 4) Insulin menurunkan pengeluaran glukosa dari hati
dengan menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa.
Karena itu insulin mengurangi kadar glukosa dari darah dengan mendorong
penyerapan glukosa oleh sel (Sherwood, 2009).
Zat-zat lain yang mempengaruhi pengeluaran insulin dari pankreas adalah
asam amino, asam lemak bebas, badan keton, glukagon, sekretin, dan obat
sulfonilurea tolbutamid dan gliburid yang diresepkan pada penderita DM tipe 2,
obat ini bekerja dengan menghambat kanal k+ yang peka terhadap atp (Bender,
2009).
Secara sederhana efek insulin pada lemak bersifat anabolik, yaitu
menyerap lemak dari darah dan merangsang pembentukan trigliserida, serta
menghambat penguraian lemak (lipolisis). Hal ini juga sama pada protein, insulin
juga bersifat anabolik seperti merangsang penyerapan asam amino dari darah ke
dalam sel, merangsang pembentukan protein dari asam amino, dan menghambat
penguraian protein (Sherwood, 2009).
Dilihat dari lingkup kerjanya, GLUT-4 merupakan satu-satunya jenis
pengangkut jenis pengangkut glukosa yang berespons terhadap insulin. GLUT-4
akan dikeluarkan dari membran jika terdapat insulin, berbeda dengan jenis GLUT
lainya. Sel-sel yang bergantung dengan insulin akan mempertahankan insulin
dalam vesikel-vesikel intrasel dan akan disisipkan ke membran jika dibutuhkan.
Sehingga peningkatan sekresi insulin akan meyebabkan penyerapan glukosa 10
sampai 30 kali lipat oleh sel-sel dependen insulin (Sherwood, 2009).
Beberapa jaringan tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa,
yaitu otak yang membutuhkan glukosa setiap saat sebagai sumber energi dan
bersifat permeabel bebas terhadap glukosa dengan molekul GLUT-1 dan GLUT3. Selain otak, otot yang sedang dalam kondisi aktif beraktivitas juga tidak
membutuhkan insulin dalam penyerapan glukosa, dikarenakan kontraksi otot
secara langsung menyebabkan penyisipan GLUT-4 pada membran (Sherwood,
2009).

14
Universitas Sumatera Utara

Hati atau hepar juga tidak membutuhkan GLUT-4 dalam penyerapan
glukosa, namun hepar merupakan suatu organ yang penting dalam pengaturan
homeostasis glukosa tubuh. Insulin dalam hal ini dapat meningkatkan
metabolisme glukosa. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan
oleh peningkatan produksi glukosa endogen yang berasal dari proses
glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Dalam hal ini, insulin
berperan menginhibisi proses pembentukan glukosa endogen yang berlebihan.
Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya
terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat
produksi glukosa dari hepar (Manaf, 2006).
2.1.6.6. Patofisiologi Diabetes Melitus
Pada diabetes mellitus, defisiensi atau resistensi hormon insulin
menyebabkan kadar gula darah menjadi tinggi akibat menurunnya ambilan
glukosa oleh jaringan otot dan adiposa serta peningkatan pengeluaran glukosa
oleh hati. Dikarenakan sifat glukosa yang dapat menarik cairan, maka penderita
cenderung untuk lebih banyak buang air kecil (poliuri). Hal ini kemudian
mengakibatkan dehidrasi akibat air dibuang dalam jumlah banyak, sehingga
menyebabkan rasa haus dan selalu ingin minum (polidipsia). Dikarenakan sel
jaringan tidak pernah atau kurang mendapatkan suplai glukosa dari luar, maka
volume dan masa sel-sel tubuh menjadi menyusut serta mengirimkan sinyal terus
ke otak untuk merangsang pusat lapar, dan menyebabkan penderita cenderung
untuk makan terus-menerus (polifagi) ( Arsono, 2005).
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu : 1) rusaknya sel-sel β
pankreas karena pengaruh tertentu dari luar (virus, zat kimia tertentu, dll) ataupun
dari dalam (autoimmune); 2) Desensitasi reseptor glukosa pada kelenjar pankreas;
3) Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan
perifer (Arsono, 2005).
Pasien NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus) atau lebih
dikenal dengan DM tipe 2 mempunyai 2 defek fisiologik, sekresi insulin abnormal
dan resistensi insulin pada sel target jaringan. Abnormalitas utama tidak diketahui
(mungkin keduanya). Secara deskriptif 3 fase utama dapat dikenali pada urutan

15
Universitas Sumatera Utara

klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat
resistensi insulin meskipun kadar insulin meningkat. Pada fase kedua resistensi
insulin cenderung memburuk, ditandai dengan intoleransi glukosa dalam bentuk
hiperglikemia setelah makan meskipun konsentrasi insulin meningkat setelah
makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.
Berdasarkan penemuan Foster (2000) resistensi insulin adalah hal yang pertama
muncul yang kemudian diikuti respon tubuh untuk mensekresikan lebih banyak
insulin

sebagai

respon

terhadap

resistensi

sehingga

muncul

kondisi

hiperinsulinemia. Namun hiperinsulinemia (dan kemungkinan amilin) itu sendiri
dapat menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis yang dijelaskan melibatkan
sintesis lemak terstimulasi insulin dalam hati dengan transpor lemak (melalui
lipoprotein kepadatan sangat rendah / VLDL) menyebabkan penyimpanan lemak
sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu pengambilan
glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan pelepasan insulin yang terlambat dapat
disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau langerhans atau secara
langsung melalui efek genetik yang mendasari. Sebagian besar pasien NIDDM
adalah obes, dan diyakini obesitas itu sendiri menyebabkan resistensi insulin.
Namun penderita NIDDM yang tidak obese dapat mengalami hipersekresi insulin
dan pengurangan kepekaan insulin sehingga dibuktikan bahwa obesitas itu sendiri
bukan merupakan satu-satunya penyebab resistensi insulin (Foster, 2000).
Pada kehamilan terjadi resistensi insulin fisiologis akibat peningkatan
hormon-hormon kehamilan (human placental lactogen/HPL, progesterone,
kortisol, prolaktin) yang mencapai puncaknya pada trimester ketiga kehamilan.
Tidak jauh berbeda dengan patofisiologi DM tipe 2 , pada DMG juga terjadi
gangguan sekresi insulin oleh sel β pankreas yaitu berupa : 1) autoimun, 2)
kelainan genetik, dan 3) resistensi insulin kronik. Xiang mengungkapkan dalam
studinya bahwa para wanita yang memiliki DMG mengalami gangguan
kompensasi produksi oleh sel β pankreas sebesar 67% dibanding wanita dengan
kehamilan normal. Sebagian kecil dari wanita ini memiliki antibody islet cell

16
Universitas Sumatera Utara

(1,6%-3,8%), dan sekitar 5% dari populasi DMG diketahui memiliki defek sel β
seperti mutasi pada glukokinase (Adam, 2009).
Resistensi insulin selama kehamilan merupakan mekanisme adatif tubuh
untuk menjaga asupan nutrisi ke janin (fisiologis). Sementara resistensi insulin
kronik terjadi pada wanita yang memiliki obesitas. Wanita dengan DMG
kebanyakan memiliki kedua jenis resistensi (fisiologis dan kronik) sehingga
manifestasi klinisnya lebih berat dibandingkan kehamilan normal. Kondisi ini
akan segera membaik segera setelah partus dan akan kembali normal setelah masa
nifas, dimana konsentrasi HPL sudah menurun (Adam, 2009).

2.1.7. Diagnosis Diabetes Melitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, antara lain
(PERKENI dalam Purnamasari, 2009).
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan.
Selain dengan keluhan, diagnosa DM harus ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan kadar glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
sesuai kondisi dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler (PERKENI dalam Purnamasari, 2009).
Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokaan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/dl).

17
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Kriteria diagnosis DM (Purnamasari, 2009)
1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori dalam waktu sedikitnya 8
jam.
3. Glukosa plasma puasa 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban standar yang
setara dengan 75 gram glukosa anhidrus (mengandung 1 molekul air
hidrat) yang dilarutkan kedalam air.

Tabel 2.3. diagnosis menurut ADA,
Diagnosis DM menurut ADA (2012) dapat ditegakkan melalui salah
satu cara berikut,
1. HbA1c ≥6,5%. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang
menggunakan metode bersertifikat serta sudah distandarisasi.
2. Glukosa plasma puasa (Fasting Plasma Glucose = FPG) ≥ 126 mg/dl
(7,0 mmol/l). Puasa didefinisikan sebagai tidak adanya asupan kalori selama
minimal 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam ≥ 200 mg/dl (11.1mmol/l) selama tes toleransi
glukosa oral (TTGO). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan oleh WHO
yaitu menggunakan glukosa dengan beban 75 g dilarutkan dalam air.

4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia,
plasma acak glukosa ≥200 mg/dl (11,1 mmol/l) (ADA, 2014).

18
Universitas Sumatera Utara

2.1.8. Komplikasi Diabetes Melitus
2.1.8.1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut yang sering dialami penderita DM adalah kontrol gula
darah, yaitu berupa hiperglikemia/ketoasidosis dan hipoglikemia. Apabila kadar
insulin sangat menurun pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat
penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam
lemak bebas disertai pembentukan badan keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan
aseton) yang dapat menurunkan pH darah sehingga terjadilah asidosis. Asidosis
merupakan kondisi yang berbahaya, dan bila tidak segera ditolong dapat
menyebabkan koma dan kematian. Selain itu glikosuria dan ketonuria yang jelas
dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir kehilangan dehidrasi
dan kehilangan elektrolit. Hal ini dapat menyebabkan hipotensi dan syok (jarang
terjadi), yang juga dapat mneyebabkan penderita koma dan meninggal
(Schteingart, 2002).
Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nekrotik (HHNK) merupakan
komplikasi akut lain yang sering terjadi pada penderita DM tipe 2 usia lanjut.
Bukan karena defisiensi absolut, tetapi relatif dan muncul tanpa ketosis.
Hiperglikemia ditandai dengan kadar glukosa yang lebih dari 600 mg/dl. Kondisi
ini menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien
dapat segera meninggal jika tidak ditolong, dan angka mortalitas sebesar 50%.
Biasa dilakukan penanganan berupa terapi cairan pengganti beserta elektrolit dan
insulin regular (Schteingart, 2002).
Komplikasi lain yang dapat timbul adalah hipoglikemia. Merupakan
komplikasi dari terapi insulin. Biasa terjadi pada penderita DM tipe 1 yang pada
suatu kondisi menerima insulin dalam jumlah besar, atau pada pasien yang lupa
untuk menyantap makanannya setelah menginjeksikan insulin yang dibutuhkan
untuk mempertahankan glukosa normal yang berakibat pada hipoglikemik.
Gejala-gejala yang timbul disebabkan pelepasan epinefrin (berkeringat, tremor,
sakit kepala, dan takikardi), juga akibat kekurangan glukosa di otak timbul
tingkah laku aneh, sensorium yang menurun, dan koma. Kondisi ini juga sangat

19
Universitas Sumatera Utara

berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan otak permanen bahkan kematian
(Schteingart, 2002).
2.1.8.2. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik diabetes melitus terutama disebabkan gangguan
integritas pembuluh darah, yaitu penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler dan
biasanya berkaitan dengan perubahan metabolik seperti hiperglikemia. Tiga
kelainan patogenesis yang berhubungan dengan komplikasi kronik diabetes
melitus adalah : glikosilasi non enzimatik, perubahan glukosa pada jalur poliol,
dan aktivasi protein kinase C. Kerusakan vaskuler merupakan gejala yang khas
bagi DM, dikenal dengan nama angiopati diabetika. Makroangiopati (kerusakan
makrovaskuler) biasanya muncul sebagai gejala klinik berupa penyakit jantung
iskemik dan pembuluh darah perifer. Adapun mikroangiopati (kerusakan
mikrovaskuler) memberikan manifestasi berupa retinopati, nefropati, dan
neuropati (Arsono, 2005).

2.2.

Penyakit Ginjal Kronik

2.2.1. Definisi dan Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Berdasarkan panduan dari KDOQI (Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative) tahun 2002, penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan
ginjal atau penurunan Glomerulal Filtration Rate (GFR) kurang dari 60
mL/min/1.73 m² selama lebih dari 3 bulan. Gagal ginjal merupakan kelainan
patologis pada ginjal, yang ditandai dengan abnormalitas pada darah dan urin
pada hasil lab. Hal serupa juga dikemukakan oleh lee pada 2015 lalu, yaitu
dengan tambahan albuminuria lebih dari 30 mg/24 jam.
Penyakit ginjal diklasifikasikan menjadi akut atau kronik tergantung dari
cepat atau lambatnya onset terjadinya penyakit berikut onset munculnya azotemia.
Penelitian mengenai onset akut atau kronik penyakit ginjal penting untuk
dilakukan, agar memudahkan memahami adaptasi fisiologi tubuh, mekanisme
penyakit, dan bagaimana penatalaksanaannya. Tetapi pada kenyataannya cukup
sulit menentukan durasi penyakit pada penderita karena progresivitas penyakit
sering tidak terdiagnosa, dan gejala baru muncul jika kerusakan sudah mencapai

20
Universitas Sumatera Utara

75%. Riwayat pasien seperti hypertensi, diabetes, tampilan ginjal yang mengecil
pada foto polos mungkin dapat membantu mengindikasikan penyakit. Penyakit
ginjal dapat mengarah pada kerusakan yang irreversibel (william, 2008).
Tabel 2.4. Derajat keparahan penyakit ginjal berdasarkan GFR (KDOQI,
2002)
stadium kelainan

1

Kerusakan ginjal
kronis dengan GFR
normal atau
meningkat
Kehilangan GFR
ringan
Kehilangan GFR
sedang
Kehilangan GFR
berat

2
3
4

5

Gagal ginjal

GFR
(ML/min/1.73
m²)
>90

60-89
30-59
15-29

90

kronis dengan GFR
normal

atau

meningkat
Kehilangan

2

GFR 60-89

ringan
Kehilangan

3

GFR 30-59

sedang
4

Kehilangan GFR berat

15-29

5

Gagal ginjal