Hubungan Riwayat Diabetes Mellitus Dengan Penyakit Ginjal Kronik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan 2015
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Berry Eriyanto Simamora Tempat/ tanggal lahir : Pontianak/26-september-1994
Agama : Islam
Alamat : Jalan Universitas, No. 46, pintu 1 USU.
Riwayat Pendidikan :
1. TK Kencana Siak 1999-2000
2. SDN 06 Duri 2000-2006
3. SMPN 04 Duri 2006-2009
4. SMAN 02 Duri 2009-2012
5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2012-sekarang
Riwayat Pelatihan :
1. Peserta Seminar dan Workshop Pengenalan Dini Breast Cancer oleh SCORA PME FK USU 2014
Riwayat Organisasi
1. Staf Magang PHBI PEMA FK USU periode 2012-2013
2. Anggota Tim Kreatif PHBI PEMA FK USU periode 2013-2014
3. Anggota Kesehatan Reproduksi SCORA PEMA FK USU periode 2013-2014
(2)
Data Induk Hubungan Diabetes Mellitus dengan kejadian Penyakit Ginjal Kronik
Nomor Umur Jenis Kelamin Diabetes Mellitus Penyakit Ginjal Kronik pasien 1 42.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 2 54.0 perempuan diabetes Gagal ginjal pasien 3 57.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 4 42.0 perempuan tidak diabetes Gagal ginjal pasien 5 65.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 6 25.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 7 45.0 perempuan diabetes Gagal ginjal pasien 8 49.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 9 45.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 10 44.0 perempuan diabetes Gagal ginjal pasien 11 46.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 12 25.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 13 44.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 14 22.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 15 59.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 16 51.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 17 24.0 perempuan tidak diabetes Gagal ginjal pasien 18 56.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 19 46.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 20 45.0 perempuan tidak diabetes Gagal ginjal pasien 21 52.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 22 53.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 23 41.0 perempuan tidak diabetes Gagal ginjal pasien 24 43.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 25 58.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 26 51.0 perempuan tidak diabetes Gagal ginjal pasien 27 52.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 28 46.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 29 49.0 perempuan tidak diabetes Gagal ginjal pasien 30 53.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 31 51.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 32 51.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 33 59.0 perempuan diabetes Gagal ginjal pasien 34 46.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 35 54.0 perempuan diabetes Gagal ginjal pasien 36 42.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 37 34.0 perempuan tidak diabetes Gagal ginjal pasien 38 61.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal
(3)
pasien 39 43.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 40 62.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 41 61.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 42 34.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 43 24.0 perempuan tidak diabetes Gagal ginjal pasien 44 62.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 45 44.0 perempuan tidak diabetes Gagal ginjal pasien 46 31.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 47 48.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 48 60.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 49 62.0 laki-laki diabetes Gagal ginjal pasien 50 71.0 laki-laki tidak diabetes Gagal ginjal pasien 51 51.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 52 62.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 53 66.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 54 52.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 55 36.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 56 49.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 57 65.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 58 56.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 59 72.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 60 62.0 laki-laki diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 61 54.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 62 62.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 63 78.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 64 78.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 65 70.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 66 57.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 67 55.0 laki-laki diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 68 65.0 laki-laki diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 69 79.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 70 49.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 71 78.0 laki-laki diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 72 43.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 73 23.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 74 57.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 75 43.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 76 43.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 77 65.0 laki-laki diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 78 43.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 79 64.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 80 62.0 perempuan diabetes Tidak Gagal Ginjal
(4)
pasien 81 56.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 82 39.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 83 50.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 84 77.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 85 47.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 86 51.0 perempuan diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 87 74.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 88 58.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 89 59.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 90 67.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 91 68.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 92 51.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 93 51.0 laki-laki diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 94 58.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 95 40.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 96 58.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 97 74.0 perempuan tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 98 48.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 99 45.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal pasien 100 57.0 laki-laki tidak diabetes Tidak Gagal Ginjal
(5)
HASIL UJI KTI
Case Processing Summary Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
PGK * DiabetesMelitus 100 100.0% 0 .0% 100 100.0%
PGK * DiabetesMelitus Crosstabulation Count
DiabetesMelitus
Total Diabetes Tidak Diabetes
PGK Gagal Ginjal 17 33 50
Tidak Gagal Ginjal 8 42 50
Total 25 75 100
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig.
(2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 4.320a 1 .038
Continuity Correctionb 3.413 1 .065
Likelihood Ratio 4.396 1 .036
Fisher's Exact Test .063 .032
Linear-by-Linear
Association 4.277 1 .039
N of Valid Casesb 100
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,50. b. Computed only for a 2x2 table
(6)
Frequencies
Statistics JenisKelamin
N Valid 100
Missing 0
JenisKelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Laki-Laki 69 69.0 69.0 69.0
Perempuan 31 31.0 31.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
DiabetesMelitus Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Diabetes 25 25.0 25.0 25.0
Tidak Diabetes 75 75.0 75.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
PGK Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Gagal Ginjal 50 50.0 50.0 50.0
Tidak Gagal
(7)
PGK Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Gagal Ginjal 50 50.0 50.0 50.0
Tidak Gagal
Ginjal 50 50.0 50.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Statistics Umur
N Valid 100
Missing 0
Umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 22 1 1.0 1.0 1.0
23 1 1.0 1.0 2.0
24 2 2.0 2.0 4.0
25 2 2.0 2.0 6.0
31 1 1.0 1.0 7.0
34 2 2.0 2.0 9.0
36 1 1.0 1.0 10.0
39 1 1.0 1.0 11.0
(8)
41 1 1.0 1.0 13.0
42 3 3.0 3.0 16.0
43 6 6.0 6.0 22.0
44 3 3.0 3.0 25.0
45 4 4.0 4.0 29.0
46 4 4.0 4.0 33.0
47 1 1.0 1.0 34.0
48 2 2.0 2.0 36.0
49 4 4.0 4.0 40.0
50 1 1.0 1.0 41.0
51 8 8.0 8.0 49.0
52 3 3.0 3.0 52.0
53 2 2.0 2.0 54.0
54 3 3.0 3.0 57.0
55 1 1.0 1.0 58.0
56 3 3.0 3.0 61.0
57 4 4.0 4.0 65.0
58 4 4.0 4.0 69.0
59 3 3.0 3.0 72.0
60 1 1.0 1.0 73.0
61 2 2.0 2.0 75.0
62 7 7.0 7.0 82.0
64 1 1.0 1.0 83.0
65 4 4.0 4.0 87.0
66 1 1.0 1.0 88.0
67 1 1.0 1.0 89.0
68 1 1.0 1.0 90.0
70 1 1.0 1.0 91.0
71 1 1.0 1.0 92.0
(9)
74 2 2.0 2.0 95.0
77 1 1.0 1.0 96.0
78 3 3.0 3.0 99.0
79 1 1.0 1.0 100.0
(10)
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. 2012. Standards of Medical Care in
Diabetes-2012. Available
from:http://care.diabetesjournals.org/content/37/Supplement_1/S14.full#T 1. [Accessed 16 Mei 2015].
Arsono, S. 2005. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Kejadian Gagal Ginjal
Terminal. Available from:
http://eprints.undip.ac.id/14535/1/2005MEP3865. [Accessed 16 Mei 2015].
Bender, D.A., Mayes, P.A. 2009. Glukoneogenesis dan Kontrol Glukosa Darah. In: Robert K. Murray, Daryl K. Granner, and Victor W. Rodwell. Biokimia Harper Ed 27. Jakarta: EGC. 180-181.
Bergstein, J.M. 2012. Nefropati Toksik-Gagal Ginjal. In: Waldo E Nelson, Robert Kliegmen, Ann M, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak vol 3 ed 15. Jakarta: EGC. 1852-1853.
Bi, y., et al. 2014. Association Between The Dietary Factors And Metabolic Syndrom With Chronic Kidney Disease In Chinase Adults. Available from : Int J Clin Exp Med. 2014; 7(11): 4448–4454. [accessed 01 Desember 2015].
Brady, H.R., Brenner, B.M. 2000. Gagal Ginjal Akut. In: Kurt J. Isselbacher, Eugine Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph B, Marthin, Anthony S, Fauci, and Dennis L. Kasper. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol III Ed 13. Jakarta: EGC. 1425-1434.
Carranza, K., et al. 2015. Cellular and Molecular Aspects of Diabetic Nephropathy and The Role of VEGF-A. Available from : doi: 10.1016 / j.nefro.2015.05.013
.
[accessed 22 Desmber 2015].David, E.S. 2002. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. In: Sylvia A. Price and Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol II Ed 6. Jakarta: EGC. 1267-1270.
(11)
Foster, D.W. 2000. Diabetes Mellitus. In: Kurt J. Isselbacher, Eugine Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph B, Marthin, Anthony S, Fauci, and Dennis L. Kasper. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol V Ed 13. Jakarta: EGC. 1425-1434. 2197-2201.
Hendromartono. 2009. Nefropati Diabetik. In : Aru W. Sudoyo, Bambang Setiohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadribata. K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Vol III Ed 5. Jakarta: InternaPublishing. 1942-1944.
Herdiani, S. 2012. Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Dirawat Inap di RS Martha Friska Medan Tahun 2011. Available From:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/34544. [Accessed 16
Mei 2015].
Kardika, I.B.W., Herawati, S., Wayan, P.S.Y. 2013. Preanalitik dan Interpretasi Glukosa Darah Untuk Diagnosis Diabetes Melitus. Available from: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82599&val=970. [Accessed 17 Mei 2015].
Kidney Disease Outcames Quality Initiative. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and
Stratification. Available from:
http://www2.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/p4_class_g 1.htm. [Accessed 2 Juni 2015].
Kidney Disease Improving Global Outcomes. 2012. KDIGO Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.
Available from:
http://www.kdigo.org/clinical_practice_guidelines/pdf/CKD/KDIGO_201 2_CKD_GL.pdf. [Accessed 2 Juni 2015].
Lee, B.T., et al. 2015. Association of C-reactive protein, tumor necrosis factor-alpha, and interleukin-6 with chronic kidney disease. Available from: doi: 10.1186/s12882-015-0068-7.[Accessed 2 Juni 2015].
(12)
Levey, A.S., Coresh, J.,Balk, E., et al. 2013. National Kidney Foundation Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Available from:
http://annals.org/article.aspx?articleid=716575#r1-13. [Accessed 17 Mei 2015].
Manaf, A. 2009. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. In: Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Volume III Ed 4. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Vol III Ed 5. Jakarta: InternaPublishing. 1868-1869. Mendy, V.L., et al. The Association between Individual and Combined
Components of Metabolic Syndrome and Chronic Kidney Disease among African Americans: The Jackson Heart Study. Available from : PLoS One. 2014; 9(7): e101610. [accessed 01 Desember 2015].
Mendrofa, I. 2011. Karakteristik Penderita DM dan Pengetahuan Penderita DM Tentang Kontrol Kadar Gula Darah di RSUD Gunungsitoli Periode Juni –
September 2011. Available
from:http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/32431. [Accessed 16 Mei 2015].
Mufanda, M., Ghebrat, Y., Usman, A., Mehbratu, G., Grebleslassie, A. 2015. Underestimation of prevalence of raised blood sugar from history
compared to biochemical estimation: support for the WHO rule of halves in a population based survey in Eritrea of 2009. Available from :
doi: 10.1186/s40064-015-1516-3
.
[accessed 01 Desember 2015].National Kidney Fondation. 2015. Global Fact About Kidney Diasease. Available from : https://www.kidney.org/kidneydisease/global-facts-about-kidney-disease. [Accessed 23-Desember-2015].
Nolte, M.S., Karam, J.H. 2007. Hormon Pankreas dan Obat Antidiabetes. In: Betram G. Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinik Ed 10. Jakarta: EGC. 705-707.
(13)
Prandasari, R., Supadmi, W. 2015. Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik di Unit Hemodialisis RSUD Wates Kulon Progo. Available from : 334._bu_woro.pdf.[Accessed 01 Desember 2015].
Purnamasari, D. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Vol III Ed 5. Jakarta: InternaPublishing. 1880-1882. Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI (Infodatin). 2013. Situasi dan
analisis diabetes. Available from:
www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infod atin-diabetes.pdf. [Accessed 17 Mei 2015].
Reenosha, B. 2014. Hubungan Antara Perkalian Produk Kalsium dan Fosfat Serum dengan Penyakit Arteri Perifer Pada Pasien Hemodialisis
Reguler. Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/41603. [Accessed 2 Juni 2015].
Rodriguez, D.L., Castelao, A.M., Gorriz, J.L., De-Alvaro, F., Gonzales, J.F.N. 2012. Pathophysiological role and therapeutic implications of
inflammation in diabetic nephropathy. Available from : doi: 10.4239/wjd.v3.i1.7. [Accessed 01 Desember 2015].
Sahid, Q.A.U. 2012. Hubungan Lama Diabetes Mellitus Dengan Terjadinya Gagal Ginjal Terminal di Rumah Sakit DR. Moewardi Surakarta.
Available from :
http://eprints.ums.ac.id/23904/11/NASKAH_PUBLIKASI.pdf. [Accessed 01 Desember 2015].
Sherwood. 2009. Kelenjar Endokrin Perifer. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Ed 6. Jakarta: EGC. 781-782.
Song, H., et al. 2014. Association of Metabolic Syndrome with Decreased Glomerular Filtration Rate among 75,468 Chinese Adults: A Cross-Sectional Study. Available from : PLoS One. 2014; 9(11): e113450. [accessed 01
Desember 2015).
Wahba, I.M., Mak. R.H. 2007. Obesity and Obesity-Initiated Metabolic Syndrome: Mechanistic Links to Chronic Kidney Disease. Available From:
(14)
http://cjasn.asnjournals.org/content/2/3/550.full. [Accessed 17 Mei 2015].
Wilson, L.M. 2002. Gagal Ginjal Kronik. In: Sylvia A. Price and Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Klinis Proses-Proses Penyakit Vol II Ed 6. Jakarta: EGC. 912-918.
William J.C, Armend, Jr., Flavio G. Vincenti. 2008. Chronic Renal Failure and Dialysis. In: Emil A. Tanagho and Jack W. McAninch. Smith’s General Urology Ed 17.USA : The McGraw-Hill Companies. 535-536.
World Health Organization. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/index.html. [Accessed 17 Mei 2015].
World Health Organization. 1999. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus
and its Complications. Available from:
https://www.staff.ncl.ac.uk/philip.home/who_dmc.htm#Type2. [Accessed 17 Mei 2015].
Yu, M., Ryu, D.R., Kim, S.J., Choi, K.B., Kang, D.H. 2009. Clinical implication of metabolic syndrome on chronic kidney disease depends on gender and menopausal status: results from the Korean National Health and Nutrition Examination Survey. Available from : PMID:19762608. [Accessed 01 Desember 2015].
(15)
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Mengingat banyaknya faktor resiko dari gagal ginjal kronik yang saling berkaitan, maka dalam kerangka konsep hanya akan diterangkan mengenai variabel-variabel yang ingin di teliti.
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Riwayat
Diabetes Melitus
Penyakit DM tipe 2 yang diderita oleh responden pada saat penelitian berlangsung, berdasarkan rekam medis telah dikonfirmasi melalui
pemeriksaan laboratorium dan diagnosis ditegakkan oleh dokter
Data rekam medis
Ada/ tidak ada riwayat Diabetes Melitus baik tipe 1 atau tipe 2
Nominal
(16)
Penyakit Ginjal Kronik
Penurunan Laju filtrasi glomerulus < 60
ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan disertai albuminuria 30 mg/24 jam
Data rekam medis
Penyakit ginjal kronik atau tidak gagal ginjal
Nominal
3.3. Hipotesis
Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara riwayat Diabetes Melitus dengan kejadian Penyakit Ginjal Kronik.
(17)
BAB 4
METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik dengan desain case control, yaitu untuk mencari hubungan antara penyakit ginjal kronik dengan riwayat diabetes melitus, serta mencari besar peningkatan risiko terjadinya PGK pada pasien yang memiliki riwayat diabetes melitus.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada bulan Juni tahun 2015. Rumah sakit ini dipilih karena merupakan rumah sakit tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam Divisi Urology Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan baik wanita maupun pria yang sesuai dengan kriteria inklusi yang telah di tetapkan.
Berdasarkan survei awal yang penulis lakukan, pada tahun 2015 tercatat rata-rata kunjungan pasien gagal ginjal di Poliklinik Penyakit Dalam Divisi Endokrinologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan adalah sebanyak 1612 kunjungan, di mana pasien rawat inap sekitar 547 pasien dan rawat jalan sekitar 1065.
4.3.1. Sampel
Yang menjadi sampel penelitian ini adalah sebagian dari pasien rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan.
(18)
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah: Kriteria inklusi
a. Kriteria Inklusi kasus
1. Penderita PGK (kreatinin darah >5 mg/dl, GFR < 60mL/min/1.73 m²) 2. Merupakan rekam medis pasien penyakit ginjal kronik dari Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. b. Kriteria inklusi kontrol
Pasien bukan penderita penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa riwayat DM
Kriteria Eksklusi
a. Kriteria eksklusi kasus dan kontrol Data tidak lengkap
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling, yaitu penarikan sampel berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2002).
Besar sampel minimum yang diperlukan dihitung dengan rumus:
N={Zα√ + Zβ√ }² (P1-P2)²
Keterangan:
N = besar sampel minimum
Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α = 5% (Z-score = 1,96) z1- β = kekuatan uji pada β = 20% (Z-score = 1,64)
p = harga proporsi di populasi (p1+p2)/2 = 0,275
p1 = proporsi gagal ginjal pada diabetes melitus sebesar 0,4
p2 = proporsi gagal ginjal pada masyarakat normal sebesar 0,15 (Arsono, 2005)
Pada penelitian ini, ditetapkan nilai α sebesar 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) sehingga untuk uji hipotesis dua arah didapat nilai Z1-α/2 adalah sebesar
(19)
1,96. Harga proporsi di populasi ditetapkan sebesar 0, 275, Proporsi 1 ditetapkan sebesar 0,4 dan nilai proporsi 2 sebesar 0,15. Berdasarkan rumus di atas maka :
N={Zα√ + Zβ√ }² (P1-P2)²
N= {1.96√ 0,275 1,64√ ]}² (0,4 – 0,15)²
N= (7)² N= 49
Untuk memudahkan penelitian nilai 49 dibulatkan menjadi 50. 50 untuk kasus dan 50 lagi untuk control (case control). Jadi sample yang dibutuhkan adalah 100.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang di kumpulkan pada penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari catatan rekam medik pasien penderita PGK di Rumah Sakit Adam Malik meliputi ada tidak nya riwayat diabetes. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Consecutive sampling. Consecutive sampling yaitu pemilihan sample dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah responden dapat terpenuhi. Penentu kriteria sampel sangat membantu penelitian untuk mengurangi bias hasil penelitian, khususnya jika terdapat variabel-variabel (control atau perancu) yang ternyata mempunyai pengaruh variabel yang kita teliti. Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi dua yaitu inklusi dan eksklusi.
4.5. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul dari hasil rekam medis ditabulasi untuk diolah lebih lanjut dengan menggunakan program Statistic Package for Social Sciences (SPSS).
(20)
Tabel 4.1. Penyajian Hasil Pengumpulan Data
Gagal ginjal kronik Tidak Penyakit ginjal kronik
Ada riwayat diabetes a b
Tidak ada riwayat diabetes c d
Odds Ratio (OR) dihitung dengan menggunakan formula berikut: RP = (A x D) : (B x C)
Interpretasi hasil:
1. Bila nilai odds ratio = 1, berarti riwayat diabetes melitus bukan merupakan faktor resiko penyakit ginjal kronik
2. Bila nilai odds ratio > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1 berarti riwayat diabetes melitus menyebabkan kasus penyakit ginjal kronik
3. Bila nilai odds ratio < 1 dan rentang nilai interval kepercayaan tidak mencakup angka 1, maka berarti riwayat diabetes melitus justru merupakan faktor protektif dari penyakit ginjal kronik
Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square dengan tingkat kemaknaan (α) sebesar 5% untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara riwayat diabetes melitus dengan terjadinya penyakit ginjal kronik, serta melihat apakah hubungan tersebut bermakna secara statistik atau tidak.
(21)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. HASIL PENELITIAN
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berdiri di atas tanah seluas 110.000 m2 dan beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17 Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. RSUP Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A yang sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan juga ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Rumah Sakit yang memiliki visi untuk menjadi pusat rujukan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan penelitian ini merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah Sumatera Utara, Aceh, Riau, dan Sumatera Barat sehingga dapat ditemui pasien-pasien dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda. Pengambilan data penelitian dilaksanakan di ruang instalasi rekam medis dan instalasi patologi anatomi RSUP Haji Adam Malik Medan yang dilaksanakan pada tanggal 1 September 2015 hingga 15 Oktober 2015.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel Penelitian
Data dalam penelitian ini diambil dari rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012 hingga tahun 2014 dengan menggunakan teknik consecutive. Peneliti telah menelaah 148 rekam medis dengan diagnosis penyakit ginjal kronis dan bukan penyakit ginjal kronis. Di akhir pengumpulan data peneliti akhirnya mendapatkan total 100 sampel yang memenuhi kriteria inklusi.
Pada penelitian ini, karakteristik responden yang ada dapat dibedakan berdasarkan umur dan jenis kelamin. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel di sebelah.
(22)
Tabel 5.1. Distribusi frekuensi berdasarkan kategori usia pada pasien penyakit ginjal kronik dan bukan pasien penyakit ginjal kronik
Kelompok usia Frekuensi Persentase
10-19 - 0%
20-29 6 6%
30-39 5 5%
40-49 29 29%
50-59 32 32%
60-69 18 18%
70-79 10 10%
80-90 - 0%
Total 100 100%
Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa mayoritas pasien adalah kategori usia 50-59 tahun yaitu sebanyak 32 orang dengan persentase 32%. Sementara itu tidak ada pasien pada katagori usia 10-19 tahun dan 80-90 tahun (masing-masing 0%). Rata-rata usia dari pasien adalah 52,51.
Tabel 5.2. distribusi frekuensi berdasarkan kategori jenis kelamin pasien penyakit ginjal kronik dan bukan pasien penyakit ginjal kronik
Jenis kelamin Frekuensi Persentase
Laki-laki 69 69%
Perempuan 31 31%
Total 100 100%
Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa mayoritas pasien adalah laki-laki, yaitu sebanyak 69 orang dengan persentase 69%, selanjutnya perempuan sebanyak 31 orang dengan persentase 31%.
5.1.3. Hasil analisis data a). Hasil penelitian
Pada penelitian ini, rekam medis pasien dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pasien Penyakit Ginjal Kronik dan kelompok bukan pasien Penyakit Ginjal Kronik. Serta penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara riwayat Diabetes Mellitus dengan Penyakit Ginjal Kronik. Data hasil penelitian dapat dilihat dibawah ini.
(23)
Tabel 5.3. Hubungan antara riwayat Diabetes Mellitus dengan Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit Ginjal Kronik
Bukan Penyakit
Ginjal Kronik
Total Persentase
DM 17 8 25 25%
Bukan DM 33 42 75 75%
Total 50 50 100 100%
p = 0,038 (<0,05)
Berdasarkan tabel 5.3 diatas dapat dilihat bahwa pasien dibagi atas dua kategori yaitu pasien Penyakit Ginjal Kronik dan bukan pasien Penyakit Ginjal Kronik, yang masing-masing pasien berjumlah sekitar 50 orang dengan persentase 50%. Dapat diketahui juga bahwa dari 100 pasien terdapat sekitar 25 orang pasien yang menderita Diabetes Mellitus dengan persentase 25% sedangkan 75 pasien sisanya bukan penderita Diabetes Mellitus dengan persentase 75%.
Dari tabel 5.3 diatas dapat dilihat bahwa dari 50 pasien Penyakit Ginjal kronik 17 diantaranya menderita Diabetes Mellitus, sedangkan 33 orang pasien sisanya tidak menderita Diabetes Mellitus. Sementara 50 pasien yang bukan penderita Penyakit Ginjal Kronik dapat diketahui bahwa hanya terdapat 8 orang yang menderita Diabetes Mellitus, dan terdapat sebanyak 42 orang pasien yang tidak menderita Diabetes Mellitus.
Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode Chi Square dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α = 5 %,) diperoleh nilai p (p value) adalah 0,038 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan yang cukup signifikan antara riwayat Diabetes Mellitus dan Penyakit Ginjal Kronik.
Selanjutnya dilakukan perhitungan Odds Ratio untuk mengetahui bagaimana seberapa besar pengaruh Diabetes Mellitus terhadap Penyakit Ginjal Kronik, berikut hasil perhitungan.
OR = (A x D) : (B x C) OR = (17x42) : (8x33) OR = (714) : (264)
(24)
Dari hasil perhitungan diatas didapat hasil Odds Ratio adalah 2,704 (95% CI) . Odds ratio lebih dari 1 menggambarkan ada hubungan antara kasus dan kontrol. Dan dari nilai 2,704 tersebut menyatakan bahwa kejadian Penyakit Ginjal Kronik akan meningkat 2,7 kali lipat pada penderita Diabetes Mellitus dibandingkan orang lain yang sehat.
5.2. pembahasan
Peneliti menggunakan rekam medik sebagai sampel penelitian yang semuanya berasal dari RSUP H. Adam Malik yang telah memenuhi kriteria inklusi. Total sampel berjumlah sekitar 100 rekam medik yang terbagi menjadi 2 kategori yaitu pasien Penyakit Ginjal Kronik dan bukan pasien Penyakit Ginjal Kronik yang masing-masing berjumlah sekitar 50.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan adanya variasi karakteristik responden berdasarkan umur. Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa mayoritas pasien adalah kategori usia 50-59 tahun yaitu sebanyak 32 orang dengan persentase 32% dan kategori usia 30-39 tahun dengan jumlah pasien hanya 5 orang (5%). Sementara itu tidak ada pasien pada katagori usia 10-19 tahun dan 80-90 tahun (masing-masing 0%). Rata-rata usia pasien adalah 52,51. Penelitian ini Hampir serupa dengan penelitian Bi et al pada tahun 2014 yang menyatakan rata-rata usia pasien adalah 55,84, yaitu pada usia 45-65 tahun. Hal ini dikaitkan dengan apa yang disampaikan Bi et al bahwa usia menjadi faktor independen lain yang menyebabkan penurunan GFR (Penyakit Ginjal Kronik). Dikarenakan banyak patogenesis PGK yang berhubungan dengan usia. Peningkatan 1 tahun usia pasien berhubungan dengan peningkatan resiko 1,15 kali untuk terkena Penyakit Ginjal Kronik. Hal tersebut sejalan dengan laporan sahid tahun 2012 bahwa semakin lama pasien menderita Diabetes mellitus maka akan semakin besar resiko terkena Penyakit Ginjal Kronik, p= 0,045 (<0,05).
Dari tabel 5.2 diketahui bahwa mayoritas pasien adalah laki-laki, yaitu sebanyak 69 orang dengan persentase 69%, selanjutnya perempuan sebanyak 31 orang dengan persentase 31%. Dari data tersebut jelas terdapat perbedaan mencolok antara kedua jenis gender, dimana laki-laki lebih banyak terkena
(25)
Penyakit Ginjal Kronik dibandingkan perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Song et al tahun 2014 yang menyatakan persentase pasien laki-laki adalah 56.3% (42.488 pasien). Pranandari tahun 2015 menyampaikan bahwa alasan laki-laki lebih banyak terkena Penyakit Ginjal Kronik karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup serta lebih patuh terhadap penggunaan obat-obatan dibandingkan laki-laki. Namun hal ini tidak sejalan dengan apa yang disampaikan Yu et al pada penelitiannya pada tahun 2009. Menurut Yu et al prevalensi laki-laki dan perempuan sama-sama mengalami peningkatan tajam dalam kasus Penyakit Ginjal Kronik setelah umur 50 tahun. Terutama pada wanita manopause. 25.9% dari responden penelitiannya adalah wanita berumur diatas 60 tahun. Menurut Yu et al hal ini berkaitan dengan peningkatan tajam tekanan darah, kolestrol, dan tingginya trigliserida yang diakibatkan oleh menurunnya jumlah esterogen pada wanita setelah usia 50 tahun (manopasue).
Selanjutnya pembahasan mengenai hasil analisis data. Pada tabel 5.3 diketahui dari 100 sampel penelitian terbagi atas dua yaitu pasien Penyakit Ginjal Kronik dan bukan pasien Penyakit ginjal kronik yang masing-masing terdiri atas 50 orang dengan persentase 50%. Kemudian pada tabel 5.4 dijelaskan bahwa dari 100 sampel terdapat sekitar 25 orang pasien penderita Diabetes Mellitus (25%) dan sisanya sekitar 75 orang (75%) tidak menderita Diabetes Mellitus. Dari hasil uji Chi-square didaptkan nilai p = 0,038 (<0,05). Yang artinya ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel. Temuan ini sejalan dengan berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, seperti penelitian Arsono pada 2005 p = 0,042 (<0,05) dan penelitian Mendy et al pada tahun 2014 di US, p = 0,001 (<0,05). Di negara lain seperti China juga dilakukan penelitian serupa yaitu hubungan Sindroma Metabolik dengan Penyakit Ginjal Kronik yang dilakukan oleh Bi et al tahun 2014, hasilnya adalah ada hubungan yang signifikan antara peningkatan gula darah puasa (DM) dengan kejadian Penyakit Ginjal Kronik p = 0,000 (<0,05). Meskipun terdapat rentang nilai p yang cukup bervariasi namun hubungan antar variabel tetap berdasarkan nilai p < 0,05. Selain itu dalam penelitian ini juga dilakukan pencarian Odds Ratio antar kasus dan kontrol yang
(26)
disajika dalam tabel 5.5 dimana hasil Odds Ratio diperoleh sebesar 2,704 (95% CI). Artinya kejadian Penyakit Ginjal Kronik akan meningkat 2,7 kali lipat pada penderita Diabetes Mellitus dibandingkan orang lain yang sehat. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Song et al tahun 2014 di China dimana didapat hasil Odds Ratio = 2,70 (95% CI) dan Arsono tahun 2005 dengan nilai Odds Ratio = 3,52 (95% CI).
Brenner menyebutkan bahwa di masa lalu Glomerulonefritis yang memiliki andil besar dalam timbulnya Penyakit Ginjal Kronik, namun berdasarkan bukti-bukti penelitian terkini diketahui bahwa Diabetes mellitus dan Hipertensi merupakan penyebab utama timbulnya Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini juga sejalan dengan beberapa penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Song et al pada tahun 2014, yang menyatakan bahwa Diabetes Mellitus telah menjadi trend populer dalam peningkatan kasus Penyakit Ginjal Kronik di banyak negara-negara maju dan berkembang.
Penelitian Carranza tahun 2015 memperlihatkan bahwa glukosa secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi atau pelepasan dari VEGF-A di pedocytes oleh angiotensin 2 dan TGF-Beta. VEGF-A merupakan angiogenik yang kuat dan berkaitan dengan kejadian angiogenesis baik normal maupun yang tidak. VEGF-A mendorong proliferasi, diferensiasi, dan migrasi dari sel endotel, mempengaruhi vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Hal tersebuat sangat berkaitan dengan patogenesis perkembangan ginjal menjadi keadaan PGK (walaupun diawal proses hal ini penting untuk mempertahankan keadaan GFR mendekati normal). Pada percobaan dengan tikus normoglikemik yang mengekspresikan lebih banyak VEGF-A oleh sel pedocytes diperlihatkan bahwa terjadi pembesaran glomerulus (glomerulomegaly), hiperfiltrasi, penebalan basal membran dan lesi sel pedocytes yang serupa dengan awal kejadian Nefropati Diabetik. Carranza juga menyatakan kadar gula darah yang terkontrol mengurangi progresi dari Diabetik Nefropati dan proteinuria serta perkembangan lesi ginjal lebih lanjut, berdasarkan follow up pasien DM tipe 1 selama 30 tahun dengan kontrol glukosa yang baik. Hasilnya adalah berkurangnya penebalan sel-sel endotel dibandingkan dengan pasien DM yang tak terkontrol gula darahnya.
(27)
Selain itu menurut Carranza hiperglikemia meningkatkan pengeluaran renin dan angiotensin di sel mesengial. Mesengial sel dan pedocytes mensintesis angiotensin 2 reseptor bloker. Peningkatan angiotensin 2 menstimulasi pengeluaran TGF-Beta, VEGF-A, growth factor connective tissue (CTGF), interleukin-6 dan monocyte chemotactic protein-1 inducing expansion of MEC dan apoptosis dari sel pedocytes.
Pada penelitian lebih lanjut Carranza tentang glukosa yang meningkatkan pengeluaran TGF-Beta pada sel mesengial dan pedocytes, diperlihatkan bahwa aktivasi TGF-Beta menginduksi penebalan basal membran glomerular dan glomerulosklerosis melalui CTGF dan VEGF, peningkatan VEGF-A sendiri kemudian menghambat pengeluaran dari TGF-Beta yang merupakan mekanisme negative feedback. Meskipun demikian pada keadaan diabetes peningkatan VEGF-A berkaitan dengan peningkatan TGF-Beta dan CTGF, proliferasi dan akumulasi extracelluler matrix proteins di glomerular. TGF-Beta sendiri berhubungan dengan proliferasi sel mesengial, serta nodular dan diffuse glomerulosklerosis bersamaan dengan fibrosis. Tikus yang tidak memiliki reseptor TGF-Beta tipe 2 dan pemberian anti TGF-Beta mesengial menghambat akumulasi dan perburukan fungsi renal.
Banyak penelitian lain yang sejalan dengan Carranza tentang kaitan langsung antara glukosa darah dan Nefropati Diabetika seperti penelitian Rodriguez di tahun 2012. Walaupun demikian Rodriguez memperlihatkan mekanisme patogenesis yang berbeda (walaupun semuanya merupakan pengaruh langsung dari hiperglikemia darah). Rodriguez menjelaskan patogenesis ND berkaitan dengan peningkatan perubahan glukosa menjadi sorbitol dalam darah (polyol pathway) menggunakan aldosa reductase yang secara langsung menyebabkan kerusakan jaringan melalui beragam mekanisme seperti PKC dan protein glikosilasi. Sorbitol sendiri merupakan alkohol hidrofilik kuat yang jika terkumpul dalam sel berlebihan menimbulkan kerusakan. Dengan ini dapat dinyatakan bahwa Diabetes Mellitus merupakan faktor resiko yang penting terhadap kejadian Penyakit Ginjal Kronik.
(28)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Terdapat sekitar 1612 kunjungan pasien Penyakit Ginjal Kronik pada RSUP H. Adam Malik pada tahun 2015, yang terdiri dari 547 pasien rawat inap dan 1047 pasien rawat jalan.
2. Terdapat 16 dari 50 pasien Penyakit Ginjal Kronik yang menderita Diabetes Mellitus.
3. Terdapat perbedaan antara kelompok pasien Penyakit Ginjal Kronik yang menderita DM dan kelompok pasien bukan Penyakit Ginjal Kronik yang menderita yang juga DM dengan nilai Chi-square = 0,038 (<0,05).
4. Terdapat hubungan yang signifikan antara Diabetes Mellitus dan Penyakit Ginjal Kronik, Odds Ratio = 2,704 (95%CI : 1,04 – 7,03). Artinya DM merupakan salah satu faktor resiko utama PGK.
6.2. Saran
6.2.1. Bagi masyarakat
1. Diaharapkan bagi masyarakat yang menderita Diabetes Mellitus untuk rutin mengkonsumsi obat-obatan penurun glukosa darah, dikarenakan masayarakat penderita DM berpotensi 2,7 kali lipat menderita PGK dibanding orang yang sehat.
2. Diaharapkan masyarakat lebih peduli dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan DM dan PGK.
6.2.2. Bagi penyedia layanan kesehatan
1. Bagi sarana pelayanan kesehatan agar lebih waspada terhadap penderita Diabetes Mellitus agar memberikan edukasi sebaik mungkin dalam rangka pencegahan Penyakit Ginjal Kronik.
(29)
2. Untuk pihak yang terkait dalam pencatatan rekam medis, diharapkan dapat mencatat hal-hal penting pasien agar tujuan penelitian yang menggunakan rekam medis sebagai sumber data dapat tercapai.
6.2.3. Bagi peneliti
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang secara khusus mencari hubungan antara Diabetes Mellitus dengan terjadinya Penyakit Ginjal Kronik. Penelitian berikutnya diharapkan dapat dilakukan dengan mengatasi kelemahan-kelemahan pada penelitian ini, yang menggunakan deasain penelitian case control. Diantaranya dengan menggunakan desain kohort (studi prospektif), mengendalikan faktor-faktor risiko lainnya serta menggunakan jumlah sampel yang lebih besar. Studi prospektif dapat dilakukan dengan mencatat dan melakukan follow up pada setiap masyarakat yang menderita Diabetes Mellitus di klinik atau di rumah sakit - rumah sakit tertentu. Penambahan kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan dalam rangka mengurangi pengaruh faktor risiko lain yang mungkin dimiliki responden. Karena Diabetes Melitus merupakan penyakit dengan prevalensi yang sangat tinggi di seluruh dunia, maka dibutuhkan jumlah sampel yang lebih besar sehingga hasil penelitian yang diperoleh dapat lebih representatif.
(30)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi
Istilah diabetes merujuk pada kelainan metabolisme yang diakibatkan dari berbagai jenis etiologi, biasa nya ditandai dengan kejadian kronik hiperglikemia serta kelainan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Kelainan terserbut bisa disebabkan oleh kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Efek yang ditimbulkanya bisa berupa kerusakan, disfungsi, dan kegagalan dari berbagai organ tubuh. Diabetes melitus bisa timbul dengan karakteristik gejala berupa polydipsia (banyak minum), polyuria (banyak kencing), dan polyphagia (banyak makan), dapat juga diikuti dengan gejala pengelihatan kabur, dan penurunan berat badan. Pada kondisi yang parah, dapat timbul ketoasidosis, atau hyperosmolar nonketotic yang akan berkembang menjadi stupor, coma, bahkan kematian. Biasanya gejala tidak terlalu parah, atau bahkan tidak ada, dan berakibat pada ketidaktahuan pasien akan penyakit yang dideritanya. Kondisi ini menyebabkan perubahan fungsional tubuh hingga akhirnya tahap akhir kerusakan organ sebelum diagnosis dapat ditegakan. Tahap lanjut meliputi kerusakan progresif dari organ-organ seperti retinopathy dengan kemungkinan kebutaan, nephropathy yang berlanjut pada gagal ginjal, dan neuropathy dengan resiko munculnya ulcer kaki hingga tahap amputasi. Dapat pula muncul gangguan anotomik nervus sistem dan fungsi seksual. Orang dengan diabetes berisiko terkena penyakit jantung, pembuluh darah tepi serta pembuluh darah cerebral ( WHO, 1970 ).
2.1.2. Epidemiologi
Pada awal tahun 1900 prevalensi Diabetes Mellitus tidak terlalu signifikan dibanding penyakit-penyakit lain hingga tahun 1960. Dimana kemudian terjadi peningkatan serius jumlah penderita hingga mencapai 153 juta pada tahun 1980, kemudian meningkat menjadi 347 juta orang pada tahun 2008. Diperkirakan hal
(31)
ini akan berlanjut mencapai 552 juta penderita pada tahun 2030, yang artinya sekitar 1 dari 10 orang dewasa adalah penderita Diabetes Mellitus (Mufanda eat al, 2015).
Beragam penelitian tentang trend diabetes menjelaskan bahwa ada peningkatan signifikan prevalensi pada kedua daerah perkotaan dan pedesaan termasuk pria dan wanita dengan resiko yang sama. Hal tersebut diakibatkan perubahan demografi (peningkatan kelompok usia tua), urbanisasi, dan perubahan gaya hidup yang beresiko tinggi seperti merokok, obesitas, jarang bergerak (physical inactivity) (Mufanda eat al, 2015).
Menurut data organisasi Persatuan Rumah Sakit di Indonesia (PERSI) , sekitar 14 juta orang menderita DM pada tahun 2006. Dan hanya sekitar 80% yang sadar akan penyakitnya, dan hanya sekitar 30% yang melakukan pengobatan secara teratur. Menurut beberapa penelitian epidemiologi, prevalensi DM berkisar antara 1,5% sampai 2,3%, kecuali Manado yang cenderung lebih tinggi, yaitu 6,1% (Mendrofa, 2012).
2.1.3. Klasifikasi dan Etiologi
Klasifikasi etiologis DM berdasarkan American Diabetes Association (ADA dalam Purnamasari, 2009) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1. Klasifikasi Etiologi Diabetes Mellitus I. Diabetes Melitus Tipe 1
(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)
a. Melalui proses imunologik b. Idiopatik
II. Diabetes Melitus Tipe 2
(bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
(32)
III. Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi pada: - Kromosom 20, Hepatocyte Nuclear Transcription
Factor (HNF) 4α (dahulu MODY 1)
- Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3) - Kromosom 7, Glukokinase (dahulu MODY 2) - Kromosom 13, Insulin Promoter Factor (IPF) 1
(dahulu MODY 4)
- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5) - Kromosom 2, Neuro DI (dahulu MODY 6) - DNA mitokondria
- lainnya
b. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya
c. Penyakit Eksokrin Pankreas: pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya
d. Endokrinopati: akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
e. Karena obat/ zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid,
agonis β adrenergic, tiazid, fenitoin, interferon alfa,
protease inhibitor, clozapine, beta bloker, lainnya f. Infeksi: rubella kongenital, CMV, lainnya
g. Imunologi (jarang): sindrom Stiff-man, antibodi anti reseptor insulin, lainnya
(33)
Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, Chorea Huntington, sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya
IV. Diabetes Gestasional
2.1.4. Faktor Risiko
Menurut Suyono (2007), DM di Indonesia akan terus meningkat disebabkan beberapa faktor antara lain :
a. Faktor keturunan (genetik)
b. Faktor kegemukan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2 )
- Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat - Makan berlebihan - Hidup santai, kurang gerak badan c. Faktor demografi
- Jumlah penduduk meningkat – Urbanisasi - Penduduk berumur di atas 40 tahun meningkat d. Kurang gizi (Mendrofa, 2011).
2.1.5. Patogenesis
Pada DM tipe 1 atau lebih dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi
autoimun). Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan
insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Autoimun merupakan salah satu penyebab tersering dari DM, dan sebagian kecil disebabkan oleh non autoimun. Proses autoimun biasanya dipicu oleh suatu infeksi atau stimulus lingkungan. Akibat dari proses autoimun tersebut hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma plasma meningkat dan sel-sel β pancreas gagal merespons peningkatan glukosa dalam darah. Sering sekali dijumpai kondisi ketoasidosis pada pasien penderita DM tipe 1. Oleh karena itu pemberian insulin penting untuk memperbaiki dalam penatalaksanaan DM tipe 1. Bila telah terjadi kerusakan lebih dari 80% pada sel β pankreas maka gejala DM akan muncul, yang biasanya terjadi lebih cepat pada anak-anak dibandingkan orang dewasa (Kardika et al, 2013).
(34)
Pada saat terjadinya diabetes melitus tergantung insulin, sebagian besar sel
β pankreas sudah rusak hampir pasti karena autoimun. Ada beberapa serangkaian
kondisi yang setidaknya dimiliki penderita yang berperan dalam munculnya penyakit ini, yaitu : 1) Harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. 2) Keadaan lingkungan biasanya memicu proses ini pada individu yang memiliki kerentanan genetik. Infeksi virus juga diyakini sebagai suatu pemicu, meskipun ada agen noninfeksius yang dapat berperan didalamnya. 3) Peradangan pankreas yang disebut insulitis. Biasanya ditemukan sel monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi yang menginfiltrasi sel-sel pulau langerhans. 4) Perubahan atau
transformasi sel β sehingga dikenali sebagai sel asing oleh sel imun. 5)
Selanjutnya adalah perkembangan respon imun. Karena sel β pankreas dikenali
tubuh oleh sel asing, sehingga terjadi respon imun yang akan menghancurkan sel
β pankreas melalui pembentukan antibodi anti sitotoksik dan bekerja sama dengan
sel imun seluler. Terkadang DM tipe satu dapat berkembang melalui pengaruh lingkungan saja, contohnya pada peminum vacor (racun tikus) atau DM tipe satu juga dapat berkembang tanpa melalui pengaruh lingkungan misalnya pada genetik murni. Namun urutan patogenetiknya biasanya adalah predisposisi genetik – pengaruh lingkungan – insulitis – perubahan sel beta menjadi sel asing – aktivasi sistem imun – pengerusakan sel beta – diabetes melitus (Foster, 2000).
DM tipe 2 memiliki ciri-ciri berupa defek pada sekresi dan resistensi dari insulin, yang kemungkinan keduanya turut berperan dalam munculnya manifestasi klinis, karena individu dengan obesitas dan resistensi insulin yang nyata dapat mempunyai toleransi glukosa yang normal. Mungkin individu ini tidak mempunyai lesi sel β. Hal ini menunjukkan bahwa defek utama terletak pada sel penghasil insulin. Massa sel β intak pada DM tipe 2, yang berlawanan dengan DM tipe 1, namun jumlah sel α mengalami peningkatan sehingga rasio glukagon dibanding insulin meningkat. Hal ini juga yang mendukung keadaan hiperglikemik pada DM tipe 2 (Foster, 2000).
Meskipun resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai penurunan jumlah reseptor insulin, sebagian besar resistensi insulin adalah tipe pasca reseptor. Sudah lama diketahui bahwa terdapat endapan amiloid ( peptida asam amino 37 yang
(35)
disekresi bersama dengan insulin) di pankreas pada DM tipe 2 yang merupakan suatu pertanda bahwa terjadi peningkatan produksi insulin akibat resistensi. Penelitian pada hewan menunjukkan ada pengaruh amilin (bentuk jamak: amiloid) terhadap resistensi insulin, namun kesimpulan amilin dapat menyebabkan resistensi insulin masih belum dapat disimpulkan (Foster, 2000).
Tanpa memandang mekanisme resistensi insulin, konsekuensi fisiologisnya masih belum jelas. Tidak ada kelainan utama baik pada ambilan glukosa oleh sel atau metabolisme oksidatif menjadi CO2, air dan laktat. Blok metabolik utama terjadi pada sintesis glikogen (metabolisme nonoksidatif). Metabolisme nonoksidatif glukosa yang terganggu, seperti pada hiperinsulinemia dan resistensi insulin, dapat terlihat pada individu nonobes, relatif normoglikemik dengan DM tipe 2 (Foster, 2000).
DM tipe 2 mempunyai onset usia diatas 40-an tahun, atau lebih tua, dan biasanya tidak menunjukkan gejala ketoasidosis. Kebanyakan penderita memiliki berat badan berlebih (overwheight). Atas dasar inilah maka penderita dibagi menjadi 2 kelompok yaitu : (1) kelompok obes dan (2) kelompok non-obes. Kemungkinan menderita DM tipe 2 menjadi meningkat berkali-kali lipat jika berat badan bertambah sebanyak 20% dari berat badan ideal dan usia meningkat 10 tahun atau diatas 40 tahun (Mendrofa, 2012).
Gejala muncul secara perlahan dan biasanya ringan (bahkan terkadang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk muncul) serta progresivitas gejala berjalan lambat. Ketoasidosis biasanya tidak muncul, kecuali pada kasus tertentu yang disertai stress atau infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, namun tidak bekerja efektif (Arisman dalam Mendrofa, 2012).
2.1.6. Fisiologi dan Patofisiologi 2.1.6.1. Struktur kimia insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul sebesar 5808 yang di produksi dari organ pankreas pada manusia. Insulin tersusun oleh 51 asam amino yang terdiri dari rantai A dan rantai B serta dihubungkan dengan jembatan disulfida. Proses pembentukan insulin dimulai dari sintesis proinsulin dari
(36)
retikulum endoplasma kasar, kemudian diangkut kedalam aparatus golgi dan dikemas dalam granula-granula tempat dimana proinsulin akan dihidrolisis menjadi insulin dan suatu peptida-C dengan menghilangkan empat asam amino penghubung (Nolte, 2007).
Insulin dan peptida-C disekresikan dalam jumlah yang ekuimolar sebagai respon terhadap semua agan perangsang insulin bersama sebagian proinsulin yang tidak terhidrolisis. Proinsulin diduga memiliki efek hipoglikemik, tetapi belum diketahui apakah protein-C memiliki efek fisiologis. Granula di dalam sel B meyimpan insulin dalam bentuk kristal yang mengandung dua atom seng dan enam molekul insulin. Secara keseluruhan manusia menyimpan sebanyak 8 mg insulin, atau sekitar 200 unit biologis (Nolte, 2007).
2.1.6.2. Sekresi insulin
Insulin disekresikan dari sel B pankreas dengan laju basal yang rendah dan laju basal yang rendah dan dengan laju yang jauh lebih tinggi bila terstimulasi dengan berbagai rangsangan, khususnya glukosa. Stimulan lain yang juga dikenal seperti gula (misalnya, manosa), asam amino tertentu (misalnya, leusin, arginin), dan aktivitas nervus vagus. Dalam gambar di bawah diperlhatkan bahwa hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar ATP intrasel yang akan menutup kanal kalium sehingga terjadilah suatu depolarisasi. Depolarisasi tersebut akan membuka kanal kalsium. Efluks kalsium intrasel akan mencetuskan eksositasi dari insulin (Nolte, 2007).
(37)
2.1.6.3.Insulin dalam sirkulasi
Kadar insulin basal pada manusia adalah 5-15 µU/mL (30-90 pmol/L), dengan kadar puncak sekitar 60-90 µU/mL (360-540 pmol/L) pada waktu makan (Nolte, 2007).
2.1.6.4. Reseptor insulin
Setelah beredar di sirkulasi, insulin kemudian berdifusi dalam jaringan dan berikatan pada reseptor khusus pada membran jaringan, seperti pada hati, otot, dan jaringan adiposa. Reseptor tersebut mengandung dua heterodimer yang terikat secara kovalen, dan masing-masing mengandung subunit α yang merupakan daerah pengenal dan seluruhnya terdapat di luar membran, serta subunit β yang menembus ketebalan membran sel. Subunit β mengandung protein kinase yang akan aktif setelah serangkaian proses mulai dari pengikatan insulin pada subunit α, hingga terjadilah suatu konformasi yang mendekatkan lengkung katalitik
subunit β sitoplasmik yang berhadapan. Hal tersebut kemudian memfasilitasi
fosforlisasi timbal balik residu tirosin pada subunit β dan aktifitas tirosin kinase kemudian diarahkan pada protein sitoplasma (Martha, 2007).
(38)
Protein plasma yang difosforilasi oleh reseptor tirosin kinase aktif adalah docking protein, yaitu substrat reseptor insulin-1 sampai -6. Setelah fosforilasi tirosin terjadi di sejumlah tempat kritis , molekul IRS berikatan dan mengaktifkan kinase lain yang terpenting adalah fosfatidilinositol-3 kinase yang menimbulkan fosforilasi lebih lanjut atau berikatan pada suatu protein adaptor seperti protein pengikat reseptor faktor pertumbuhan-2, yang mentranslasikan sinyal insulin menjadi suatu faktor pelepas nukleotida guanin hingga akhirnya mengaktifkan protein ras pengikat GTP, dan sistem protein kinase yang teraktifkan-mitogen (MAPK). Tirosin kinase tertentu yang terfosforilasi IRS memiliki spesifisitas pengikatan dengan molekul hilir berdasarkan motif atau sekuens 4-5 asam amino di sekitar-nya yang mengenali domain src homolog 2 yang spesifik pada protein lain. Jaringan fosforilasi ini dalam sel merupakan perantara kedua insulin dan menimbulkan berbagai efek, termasuk tranlokasi transporter glukosa (terutama GLUT-4) ke membran sel sehingga menyebabkan peningkatan ambilan glukosa, peningkatan aktifitas glikogen sintase dan peningkatan pembentukan glikogen, berbagai efek terhadap sintesis protein, lipolisis, dan lipogenesis, dan aktivasi faktor transkripsi yang memacu sintesis DNA dan pembelahan serta pertumbuhan sel. Jalur IRS-2 berkaitan dengan mitogenesis dan proliferasi sel (Nolte, 2007).
Beberapa agen hormonal tertentu seperti glukokortikoid dapat menurunkan afinitas insulin terhadap reseptornya. Namun, kelebihan hormon pertumbuhan meningkatkan sedikit afinitas insulin terhadap reseptornya. Penyimpangan pada fosforilasi serin dan treonin dalam subunit β reseptor insulin atau molekul IRS dapat menimbulkan resistensi insulin dan penekanan (down regulation) reseptor fungsionalnya (Nolte, 2007).
2.1.6.5. Efek insulin terhadap targetnya
Insulin berperan penting pada proses biologis tubuh terutama fungsinya dalam meningkatkan simpanan lemak dan glukosa dan mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolik berbagai jaringan (Sherwood, 2009).
Insulin menimbulkan beberapa efek dalam penanganan glukosa, diantaranya ialah : 1) Insulin mempermudah transpor glukosa dari luar ke dalam sel; 2) Insulin merangsang pembentukan glikogen dari glukosa (glikogenesis) di
(39)
otot rangka dan hati; 3) Insulin menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis), maka insulin cenderung bertindak dalam mempertahankan cadangan karbohidrat; 4) Insulin menurunkan pengeluaran glukosa dari hati dengan menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa. Karena itu insulin mengurangi kadar glukosa dari darah dengan mendorong penyerapan glukosa oleh sel (Sherwood, 2009).
Zat-zat lain yang mempengaruhi pengeluaran insulin dari pankreas adalah asam amino, asam lemak bebas, badan keton, glukagon, sekretin, dan obat sulfonilurea tolbutamid dan gliburid yang diresepkan pada penderita DM tipe 2, obat ini bekerja dengan menghambat kanal k+ yang peka terhadap atp (Bender, 2009).
Secara sederhana efek insulin pada lemak bersifat anabolik, yaitu menyerap lemak dari darah dan merangsang pembentukan trigliserida, serta menghambat penguraian lemak (lipolisis). Hal ini juga sama pada protein, insulin juga bersifat anabolik seperti merangsang penyerapan asam amino dari darah ke dalam sel, merangsang pembentukan protein dari asam amino, dan menghambat penguraian protein (Sherwood, 2009).
Dilihat dari lingkup kerjanya, GLUT-4 merupakan satu-satunya jenis pengangkut jenis pengangkut glukosa yang berespons terhadap insulin. GLUT-4 akan dikeluarkan dari membran jika terdapat insulin, berbeda dengan jenis GLUT lainya. Sel-sel yang bergantung dengan insulin akan mempertahankan insulin dalam vesikel-vesikel intrasel dan akan disisipkan ke membran jika dibutuhkan. Sehingga peningkatan sekresi insulin akan meyebabkan penyerapan glukosa 10 sampai 30 kali lipat oleh sel-sel dependen insulin (Sherwood, 2009).
Beberapa jaringan tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa, yaitu otak yang membutuhkan glukosa setiap saat sebagai sumber energi dan bersifat permeabel bebas terhadap glukosa dengan molekul 1 dan GLUT-3. Selain otak, otot yang sedang dalam kondisi aktif beraktivitas juga tidak membutuhkan insulin dalam penyerapan glukosa, dikarenakan kontraksi otot secara langsung menyebabkan penyisipan GLUT-4 pada membran (Sherwood, 2009).
(40)
Hati atau hepar juga tidak membutuhkan GLUT-4 dalam penyerapan glukosa, namun hepar merupakan suatu organ yang penting dalam pengaturan homeostasis glukosa tubuh. Insulin dalam hal ini dapat meningkatkan metabolisme glukosa. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Dalam hal ini, insulin berperan menginhibisi proses pembentukan glukosa endogen yang berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar (Manaf, 2006).
2.1.6.6. Patofisiologi Diabetes Melitus
Pada diabetes mellitus, defisiensi atau resistensi hormon insulin menyebabkan kadar gula darah menjadi tinggi akibat menurunnya ambilan glukosa oleh jaringan otot dan adiposa serta peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati. Dikarenakan sifat glukosa yang dapat menarik cairan, maka penderita cenderung untuk lebih banyak buang air kecil (poliuri). Hal ini kemudian mengakibatkan dehidrasi akibat air dibuang dalam jumlah banyak, sehingga menyebabkan rasa haus dan selalu ingin minum (polidipsia). Dikarenakan sel jaringan tidak pernah atau kurang mendapatkan suplai glukosa dari luar, maka volume dan masa sel-sel tubuh menjadi menyusut serta mengirimkan sinyal terus ke otak untuk merangsang pusat lapar, dan menyebabkan penderita cenderung untuk makan terus-menerus (polifagi) ( Arsono, 2005).
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu : 1) rusaknya sel-sel β pankreas karena pengaruh tertentu dari luar (virus, zat kimia tertentu, dll) ataupun dari dalam (autoimmune); 2) Desensitasi reseptor glukosa pada kelenjar pankreas; 3) Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan perifer (Arsono, 2005).
Pasien NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus) atau lebih dikenal dengan DM tipe 2 mempunyai 2 defek fisiologik, sekresi insulin abnormal dan resistensi insulin pada sel target jaringan. Abnormalitas utama tidak diketahui (mungkin keduanya). Secara deskriptif 3 fase utama dapat dikenali pada urutan
(41)
klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi insulin meskipun kadar insulin meningkat. Pada fase kedua resistensi insulin cenderung memburuk, ditandai dengan intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan meskipun konsentrasi insulin meningkat setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata. Berdasarkan penemuan Foster (2000) resistensi insulin adalah hal yang pertama muncul yang kemudian diikuti respon tubuh untuk mensekresikan lebih banyak insulin sebagai respon terhadap resistensi sehingga muncul kondisi hiperinsulinemia. Namun hiperinsulinemia (dan kemungkinan amilin) itu sendiri dapat menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis yang dijelaskan melibatkan sintesis lemak terstimulasi insulin dalam hati dengan transpor lemak (melalui lipoprotein kepadatan sangat rendah / VLDL) menyebabkan penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu pengambilan glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan pelepasan insulin yang terlambat dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau langerhans atau secara langsung melalui efek genetik yang mendasari. Sebagian besar pasien NIDDM adalah obes, dan diyakini obesitas itu sendiri menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita NIDDM yang tidak obese dapat mengalami hipersekresi insulin dan pengurangan kepekaan insulin sehingga dibuktikan bahwa obesitas itu sendiri bukan merupakan satu-satunya penyebab resistensi insulin (Foster, 2000).
Pada kehamilan terjadi resistensi insulin fisiologis akibat peningkatan hormon-hormon kehamilan (human placental lactogen/HPL, progesterone, kortisol, prolaktin) yang mencapai puncaknya pada trimester ketiga kehamilan. Tidak jauh berbeda dengan patofisiologi DM tipe 2 , pada DMG juga terjadi gangguan sekresi insulin oleh sel β pankreas yaitu berupa : 1) autoimun, 2) kelainan genetik, dan 3) resistensi insulin kronik. Xiang mengungkapkan dalam studinya bahwa para wanita yang memiliki DMG mengalami gangguan
kompensasi produksi oleh sel β pankreas sebesar 67% dibanding wanita dengan
(42)
(1,6%-3,8%), dan sekitar 5% dari populasi DMG diketahui memiliki defek sel β seperti mutasi pada glukokinase (Adam, 2009).
Resistensi insulin selama kehamilan merupakan mekanisme adatif tubuh untuk menjaga asupan nutrisi ke janin (fisiologis). Sementara resistensi insulin kronik terjadi pada wanita yang memiliki obesitas. Wanita dengan DMG kebanyakan memiliki kedua jenis resistensi (fisiologis dan kronik) sehingga manifestasi klinisnya lebih berat dibandingkan kehamilan normal. Kondisi ini akan segera membaik segera setelah partus dan akan kembali normal setelah masa nifas, dimana konsentrasi HPL sudah menurun (Adam, 2009).
2.1.7. Diagnosis Diabetes Melitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, antara lain (PERKENI dalam Purnamasari, 2009).
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan.
Selain dengan keluhan, diagnosa DM harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler sesuai kondisi dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler (PERKENI dalam Purnamasari, 2009).
Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokaan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl).
(43)
Tabel 2.2. Kriteria diagnosis DM (Purnamasari, 2009)
1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori dalam waktu sedikitnya 8 jam.
3. Glukosa plasma puasa 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban standar yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus (mengandung 1 molekul air hidrat) yang dilarutkan kedalam air.
Tabel 2.3. diagnosis menurut ADA,
Diagnosis DM menurut ADA (2012) dapat ditegakkan melalui salah satu cara berikut,
1. HbA1c ≥6,5%. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan metode bersertifikat serta sudah distandarisasi.
2. Glukosa plasma puasa (Fasting Plasma Glucose = FPG) ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa didefinisikan sebagai tidak adanya asupan kalori selama minimal 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam ≥ 200 mg/dl (11.1mmol/l) selama tes toleransi
glukosa oral (TTGO). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan oleh WHO yaitu menggunakan glukosa dengan beban 75 g dilarutkan dalam air.
4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, plasma acak glukosa ≥200 mg/dl (11,1 mmol/l) (ADA, 2014).
(44)
2.1.8. Komplikasi Diabetes Melitus 2.1.8.1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut yang sering dialami penderita DM adalah kontrol gula darah, yaitu berupa hiperglikemia/ketoasidosis dan hipoglikemia. Apabila kadar insulin sangat menurun pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan badan keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton) yang dapat menurunkan pH darah sehingga terjadilah asidosis. Asidosis merupakan kondisi yang berbahaya, dan bila tidak segera ditolong dapat menyebabkan koma dan kematian. Selain itu glikosuria dan ketonuria yang jelas dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir kehilangan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Hal ini dapat menyebabkan hipotensi dan syok (jarang terjadi), yang juga dapat mneyebabkan penderita koma dan meninggal (Schteingart, 2002).
Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nekrotik (HHNK) merupakan komplikasi akut lain yang sering terjadi pada penderita DM tipe 2 usia lanjut. Bukan karena defisiensi absolut, tetapi relatif dan muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia ditandai dengan kadar glukosa yang lebih dari 600 mg/dl. Kondisi ini menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat segera meninggal jika tidak ditolong, dan angka mortalitas sebesar 50%. Biasa dilakukan penanganan berupa terapi cairan pengganti beserta elektrolit dan insulin regular (Schteingart, 2002).
Komplikasi lain yang dapat timbul adalah hipoglikemia. Merupakan komplikasi dari terapi insulin. Biasa terjadi pada penderita DM tipe 1 yang pada suatu kondisi menerima insulin dalam jumlah besar, atau pada pasien yang lupa untuk menyantap makanannya setelah menginjeksikan insulin yang dibutuhkan untuk mempertahankan glukosa normal yang berakibat pada hipoglikemik. Gejala-gejala yang timbul disebabkan pelepasan epinefrin (berkeringat, tremor, sakit kepala, dan takikardi), juga akibat kekurangan glukosa di otak timbul tingkah laku aneh, sensorium yang menurun, dan koma. Kondisi ini juga sangat
(45)
berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan otak permanen bahkan kematian (Schteingart, 2002).
2.1.8.2. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik diabetes melitus terutama disebabkan gangguan integritas pembuluh darah, yaitu penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler dan biasanya berkaitan dengan perubahan metabolik seperti hiperglikemia. Tiga kelainan patogenesis yang berhubungan dengan komplikasi kronik diabetes melitus adalah : glikosilasi non enzimatik, perubahan glukosa pada jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Kerusakan vaskuler merupakan gejala yang khas bagi DM, dikenal dengan nama angiopati diabetika. Makroangiopati (kerusakan makrovaskuler) biasanya muncul sebagai gejala klinik berupa penyakit jantung iskemik dan pembuluh darah perifer. Adapun mikroangiopati (kerusakan mikrovaskuler) memberikan manifestasi berupa retinopati, nefropati, dan neuropati (Arsono, 2005).
2.2. Penyakit Ginjal Kronik
2.2.1. Definisi dan Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Berdasarkan panduan dari KDOQI (Kidney Disease Outcomes Quality Initiative) tahun 2002, penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau penurunan Glomerulal Filtration Rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m² selama lebih dari 3 bulan. Gagal ginjal merupakan kelainan patologis pada ginjal, yang ditandai dengan abnormalitas pada darah dan urin pada hasil lab. Hal serupa juga dikemukakan oleh lee pada 2015 lalu, yaitu dengan tambahan albuminuria lebih dari 30 mg/24 jam.
Penyakit ginjal diklasifikasikan menjadi akut atau kronik tergantung dari cepat atau lambatnya onset terjadinya penyakit berikut onset munculnya azotemia. Penelitian mengenai onset akut atau kronik penyakit ginjal penting untuk dilakukan, agar memudahkan memahami adaptasi fisiologi tubuh, mekanisme penyakit, dan bagaimana penatalaksanaannya. Tetapi pada kenyataannya cukup sulit menentukan durasi penyakit pada penderita karena progresivitas penyakit sering tidak terdiagnosa, dan gejala baru muncul jika kerusakan sudah mencapai
(46)
75%. Riwayat pasien seperti hypertensi, diabetes, tampilan ginjal yang mengecil pada foto polos mungkin dapat membantu mengindikasikan penyakit. Penyakit ginjal dapat mengarah pada kerusakan yang irreversibel (william, 2008).
Tabel 2.4. Derajat keparahan penyakit ginjal berdasarkan GFR (KDOQI, 2002)
Klasifikasi penyakit telah dibuat berdasarkan derajat penurunan laju filtrasi glomerulus, yang akan disajikan pada tabel di atas.
2.2.2. Epidemiologi Gagal Ginjal
Di Amerika jumlah penderita penyakit gagal ginjal yang telah diobati dengan dialisis dan transplantasi meningkat dari 340.000 orang pada 1999, menjadi 651.000 orang pada tahun 2010 (Andrew et al, 2013).
Berdasarkan penelitian lain disebutkan bahwa angka insidensi gagal ginjal sekitar 330 kasus per 1 juta penduduk. 128.000 diantaranya diberi penatalaksanaan transplantasi ginjal, sisanya masih dengan dialisis. Kasus kejadian ini berkaitan dengan diabetes melitus (William, 2008).
Di indonesia sendiri menurut Habibie (2004) penderita gagal ginjal mencapai 4500 orang. Sedangkan menurut Iritanti (2004) dalam 1.000.000. penduduk, 20 orang mengalami gagal ginjal pertahunnya (Erwin dalam Dewi, 2010).
stadium kelainan GFR
(ML/min/1.73 m²)
1 Kerusakan ginjal
kronis dengan GFR normal atau meningkat
>90
2 Kehilangan GFR
ringan
60-89
3 Kehilangan GFR
sedang
30-59
4 Kehilangan GFR
berat
15-29
(47)
2.2.3. Etiologi Gagal Ginjal Kronik
Berbagai jenis kelainan dapat memiliki hubungan dengan kejadian gagal ginjal. Bisa secara langsung menyebabkan kelainan atau primary renal process (glumerulonefritis, pyelonefritis, congenital hypoplasia), atau secara tidak langsung (secondary, misalnya berkaitan dengan sistemik sperti diabetes melitus, lupus erythematosus) dapat bertanggung jawab. Ketika muncul suatu injury atau kerusakan, sisa nefron yang masih normal bekerja lebih keras untuk mengatasi beban ginjal. Progresi dari penyakit akan terus berkembang hingga ke stadium selanjutnya. Ditambah lagi dengan jika penderita mengalami dehidrasi, infeksi suatu agen, hypertensi maupun diabetes, maka dapat dipastikan gagal ginjal akan semakin parah (William, 2008).
Meskipun memiliki banyak penyebab, gagal ginjal mirip satu dengan yang lain, dan jika didefinisikan secara sederhana adalah defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan kombinasi gangguan yang tidak dapat ditelakkan lagi (Wilson, 2002).
Berikut disajikan tabel berupa etiologi PGK,
Tabel 2.5. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik (Wilson, 2002). Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit Infeksi Tubulointersitial
Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
Penyakit Peradangan Glomerulonefritis
Penyakit Vaskular Hipertensif
Nefrosklerosis benigna Nefrosklerosis maligna Stenosis arteri renalis Gangguan Jaringan Ikat Lupus eritematous sistematik
(48)
Gangguan Kongenital dan Herediter
Penyakit ginjal polikistik Asidosis tubulus ginjal
Penyakit Metabolik Diabetes melitus Gout
Hiperparatiroidisme Amiloidosis
Nefrotopati Toksik Penyalahgunaan analgesik nefropati timah
Nefropati Obstruktif Traktus urinarius bagian atas : batu, neoplasma, fibrosis,
retroparitoneal.
Traktus urinarius bagian bawah : hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital leher vesika
urinaria dan uretra.
2.2.4. Patogenesis Gagal Ginjal Kronik
Mekanisme tepat yang mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal secara progresif masih belum jelas, tetapi faktor-faktor yang memainkan peran penting sudah diketahui, yang mencakup cidera immunologi yang berlangsung terus menerus sehingga menimbulkan radang glomerulus yang akhirnya menimbulkan jaringan parut (Bergstein, 2012).
Secara umum, perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi 3 stadium. Stadium pertama adalah penurunan cadangan ginjal, dengan kadar kreatinin serum dan urea masih normal, di sini penderita belum mengeluhkan apa-apa (asimptomatik). Tetapi jika diberikan beban kerja berat pada ginjal atau dengan penelitian GFR secara teliti, maka gangguan / kelainan mungkin dapat ditemukan (Wilson, 2002).
Stadium 2 di tandai dengan BUN dan kreatinin serum mulai meningkat di atas nilai normal. Jaringan ginjal yang mengalami kerusakan telah melebihi 75%
(49)
(nilai GFR 25% dari nilai normal). Azotemia biasanya masih ringan ( dengan pengecualian terhadap kondisi infeksi, dehidrasi, dan gagal jantung ). Insufisiensi ginjal pada stadium ini menyebabkan poliuria dan nokturia yang diakibatkan oleh gangguan pemekatan, namun penderita mungkin belum memperhatikan gejala ini. Nokturia didefinisikan sebagai pengeluaran urin pada malam hari sebanyak 700 ml, atau pasien terbangun sebanyak beberapa kali untuk buang air kecil pada malam hari. Poliuria adalah peningkatan urine yang terjadi secara terus menerus dan lebih dari 1500 ml per hari. Insufisiensi ginjal biasanya lebih besar pada penderita kelainan tubulus, sehingga pada gagal ginjal pada stadium ini tidak lebih dari 3 liter perhari (Wilson, 2002).
Stadium ketiga adalah stadium terakhir gagal ginjal (ESRD) dengan kerusakan nefron ginjal lebih dari 90%, atau kira-kira 200.000 nefron yang masih tersisa. GFR bernilai 10% dari normal dan bersihan kreatinin sekitar 5-10 ml per menit aau kurang. Nilai BUN dan kreatinin serum meningkat dengan sangat mencolok sebagai respon terhadap GFR yang sangat rendah. Gejala mungkin cukup parah karena ginjal tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh (asidosis metabolik, anuria, edema, hipertensi, retinopati, dsipnea, anemia hemolisis, mual muntah, dan lain-lain). Urin menjadi isoosmotis dengan plasma sehingga berat jenis tetap pada 1,010. Pasien menjadi oliguria (urin output kurang dari 500 ml per hari ) bahkan bisa menjadi anuria, dikarenakan kegagalan glomerulus memproduksi urin, meskipun penyakit mula-mula menyerang tubulus (Wilson, 2002).
Meskipun stadium penyakit dapat dibagi menjadi 3, namun tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium tersebut. Bentuk hiperbolik grafik azotemia yang dihasilkan dengan membandingkannya dengan nilai GFR memperlihatkan bahwa penyakit ini berkembang secara perlahan-lahan, dan makin lama makin cepat (Wilson, 2002).
2.2.5. Patofisiologi Umum Gagal Ginjal Kronik.
Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal secara progresif secara umum dapat diuraikan dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun sudah
(50)
terjadi kerusakan nefron pada gagal ginjal, namun beban jumlah zat yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan homeostasis adalah tidak berubah, sehingga sisa nefron yang ada bekerja dengan keras dan mengalami hipertrofi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Terjadi hiperfiltrasi atau peningkatan daya dorong filtrasi sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan vasokontriksi arteriola eferen akibat angiotensin II. Mekanisme kompensasi ini cukup efektif untuk mempertahankan keseimbangan homestasis cairan dan elektrolit hingga derajat tertentu sekaligus memelihara fungsi ginjal (Bergstein, 2012).
Gambar 2 dibawah memperlihatkan 6 dari 8 buah nefron yang hancur dan 2 sisanya mengalami hipertrofi (Wilson, 2002).
Gambar 2.3. 2 dari 8 nefron yang rusak mengalami hipertrofi (Wilson, 2002).
Mekanisme yang berpotensi merusak glomerulus ginjal adalah peningkatan langsung dari tekanan hidrostatik, hasilnya adalah keluarnya protein melewati dinding kapiler dan pada akhirnya kelainan ini menyebabkan perubahan pada sel mesengium dan epitel dengan perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis luas telah terjadi nefron sisanya akan menderita peningkatan
(1)
5. Saudara-saudari tercinta yang telah banyak memberikan dorongan, semangat, kasih sayang, dan bantuan baik secara moril dan materiil demi kelancaran penulisan karya tulis ilmiah ini.
6. Teman-teman semua atas segala bantuan dan dukungan yang sangat berarti bagi penulis
7. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya.
Medan, 18-Januari-2016
(2)
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN…....………...i
DAFTAR ISI..………...ii
BAB 1 PENDAHULUAN...1
1.1.Latar Belakang...1
1.2.Rumusan Masalah...3
1.3.Tujuan Penelitian...3
1.4.Manfaat Penelitian...4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...5
2.1. Diabetes Melitus...6
2.2.1. Definisi...6
2.2.2. Epidemiologi...6
2.2.3. Klasifikasi dan Etiologi...6
2.2.4. Faktor Risiko...8
2.2.5. Patogenesis...8
2.2.6.Fisiologi dan Patofisiologi...11
2.2.6.1. Struktur Kimia Insulin...11
2.2.6.2. Sekresi Insulin...11
2.2.6.3. Insulin dan Sirkulasi...12
2.2.6.4. Reseptor Insulin...12
2.2.6.5. Efek Insulin Terhadap Targetnya...14
2.2.6.6. Patofisiologi Diabetes Melitus...16
2.2.7. Diagnosis...18
2.2.8. Komplikasi...20
2.2. PenyakitGinjal Kronik...21
(3)
2.2.3. Etiologi...23
2.2.4. Patogenesis...25
2.2.5. Patofisiologi...26
2.2.6. Diagnosis...28
2.2.6.1. Pemeriksaan Fisik dan Inspeksi...28
2.2.6.2. Anamnesa...29
2.2.6.3. Pemeriksaan Lab dan Lanjutan...29
2.3. Nefropati Diabetik...33
2.3.1. Definisi...33
2.3.2. Patofisiologi Nefropati Diabetes...35
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 36
3.1. Kerangka Konsep...36
3.2. Definisi Operasional...36
3.3. Hipotesis...37
BAB 4 METODE PENELITIAN...38
4.1. Jenis Penelitian...38
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian...38
4.3. Populasi dan Sampel...38
4.3.1. Populasi...38
4.3.2. Sampel...38
4.4. Metode Pengumpulan Data...40
4.5. Metode Analisis Data...41
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN...45
5.1. Hasil Penelitian...45
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian...45
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Hasil Penelitian...45
5.1.3. Hasil Penelitian...46
(4)
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN...52
6.1. Kesimpulan...52
6.2. Saran...52
DAFTAR PUSTAKA...54
(5)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Klasifikasi etiologi Diabetes Mellitus...6
Tabel 2.2. Kriteria diagnosis Diabetes Meliitus...18
Tabel 2.3. Diagnosis Diabetes Mellitus menurut ADA...18
Tabel 2.4. Derajat keparahan penyakit ginjal kronik berdasarkan GFR...21
Tabel 2.5. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik...22
Tabel 2.6. Derajat keparahan gagal ginjal berdasarkan GFR...28
Tabel 2.7. keterangan mengenai kadar proteinuria dan albuminuria...29
Tabel 2.8. RIFLE kriteria untuk penyakit ginjal akut...31
Tabel 2.9. Kriteria untuk penyakit ginjal kronik...32
Tabel 2.10. Tahapan nefropati diabetik...34
Tabel 3.1. Definisi Operasional penelitian...39
Tabel 4.1. Penyajian hasil pengumupulan data...44
Tabel 5.1. Distribusi frekuensi berdasarkan kategori usia...46
Tabel 5.2. Distribusi frekuensi berdasarkan kategori jenis kelamin...46
(6)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Mekanisme pelepasan Insulin oleh sel Beta Langerhans...11
Gambar 2.2. Reseptor Insulin...12
Gambar 2.3. Nefron yang mengalami hipertofi...25