Faktor-faktor yang Mempengaruhi Angka Kejadian Diare pada Anak SD di Kecamatan Medan Deli Medan Tahun 2012

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare
Diare adalah naiknya frekuensi pergerakan usus, naiknya kandungan
cairan feses, rasa terdesak untuk BAB dengan atau tanpa inkontinensia fekal yang
menyebabkan naiknya berat feses lebih dari 2000mg perhari (Sutadi, 2003) atau
BAB lebih dari 3x sehari dengan atau tanpa disertai lendir atau darah (Zein et al,
2004).
Diare merupakan penyakit yang dapat ditularkan secara kontak personal,
melalui makana, dan minuman (Siswanto, 2010). Hal-hal yang dapat
menyebabkan diare adalah segala sesuatu yang menyebabkan (1) Menurunnya
absorbsi dalam usus, (2) Meningkatnya sekresi elektrolit kedalam lumen
intestinal, (3) Adanya absorbsi yang buruk secara osmosis larutan aktif di lumen
usus, (4) Meningkatnya motilitas intestinal, (5) Penyakit Inflamasi yang
menghasilkan darah,pus dan mucus (Sutadi, 2003).
2.1.1

Etiologi Diare
Sebab-sebab timbulnya diare :


a. Infeksi usus disebabkan bakteri, amoeba, cacing. Dikatakan bahwa ini
masih merupakan penyebab paling sering di negara berkembang
(Denno, 2011). Dikatakan dari sumber yang sama yang didukung
Gillespie & Kathleen (2009) dan Subagyo et al (2011) beberapa yang
sering

tercatat

menyebabkan

diare

adalah

Escherichia

coli,

Stafilococcus aureus, Shigella, Salmonella, Clostridium perfringens,
Vibrio cholera, Campylobakter, Giardia lamblia, Cyclospora,

Entamoeba histolitica, dan Rotavirus.
b. Infeksi luar usus seperti infeksi kantong kemih dan campak
c. Keracunan makanan
d. Ketidakmampuan usus mencerna makanan
e. Kekurangan ataupun kelebihan zat gizi.

Universitas Sumatera Utara

f. Alergi terhadap makanan tertentu dan efek samping yang ditimbulkan
oleh obat-obatan

2.1.2 Patogenesis Diare
2.1.2.1 Diare Sekretorik
Diare ini disebabkan oleh abnormalitas cairan dan trasport elektrolit
(Dirjen PPPK, 2011) yang penyebabnya dapat berhubungan dengan
sesuatu yang dimakan (Sutadi, 2003). Kerusakan ini bermula dengan
peningkatan cAMP (Cyclic Adenine Mono Phosphat) yang pada gilirannya
akan hanya menghambat penyerapan NaCl (Natrium Cloride) dan
menstimulasi sekresi Cl. Peningkatan cGMP (Cyclic Guanine Mono
Phosphat) dan kalsium di dalam sel juga meningkatkan sekresi. Kelainan

vili usus juga mempengaruhi sekresi ini. Semua hal tersebut dapat
disebabkan oleh toksin dari bakteri yang mengnfeksi usus (Subagyo et al,
2011).

2.1.2.2 Diare Osmotik
Hal ini terjadi jika penyerapan air terganggu akibat adanya tekanan
osmotik yang menarik air di lumen usus (Dirjen PPPK, 2011). Ini
disebabkan oleh peningkatan larutan yang sulit diabsorbsi secara sebagian
atau keseluruhan. Peningkatan ini begitu tinggi sampai melebihi kapasitas
absorbsi air usus besar.
Malabsorbsi adalah salah satu penyebab umum dari diare osmotik
(Sutadi, 2003). Hal ini dapat terjadi akibat berkurangnya enzim
pencernaan, berkurangnya luas daerah penyerapan, dan kurangnya
transport (Hasler & Owyang, 2005).
Infeksi Tropheryma Whipplei dapat menyebabkan malabsorbsi,
disertai demam menggigil, hipotensi, nyeri sendi, dan dapat melibatkan
saraf.

Universitas Sumatera Utara


Menurut IRSN (Indonesia Rotavirus Surveillance Network) dan
Litbangkes (Penelitian Pembangunan Kesehatan) dalam Dirjen PPPK,
pasien diare anak pada 6 rumah sakit umumnya (70%) disebabkan oleh
rotavirus dan adenovirus. Rotavirus mengakibatkan berkurangnya
produksi enzim laktase dan menyebabkan maladigesti laktosa.
Berbagai parasit dapat menyebabkan kelainan penyerapan lemak.
Reseksi usus dapat mengurangi area penyerapan dan menimbulkan
maladigestif (Hasler & Owyang, 2005).

2.1.2.3 Diare Inflamasi
Diare ini dapat menyebabkan diare dengan mekanisme yang mirip
maladigestif dan sekresi, sebab proses inflamasi akan merusak mukosa,
menaikkan produksi lendir dan menyebabkan eksudasi cairan ke dalam
lumen usus (Dirjen PPPK, 2011). Diare tipe ini ditandai dengan demam,
nyeri perut, feses berdarah, ditemukannya leukosit dan tanda inflamasi dari
biopsi usus. Infeksi mikroorganisme dapat menyebabkan diare jenis ini
(Irawan, 2002).

2.1.2.4 Diare akibat perubahan motilitas usus
Ini merupakan diare yang disebabkan akibat gangguan pergerakan

saluran cerna yang umumnya tergolong pada IBS, Irritable Bowel
Syndrome, (Dirjen PPPK, 2011). Perubahan motilitas ini dapat disebabkan
oleh gangguan persyarafan baik dari syaraf itu sendiri, kontrol atau faktor
lain yang mengganggunya sampai infeksi dan inflamasi

2.1.2.5 Diare factitia
Diare ini adalah diare yang terjadi pada orang yang diduga memiliki
riwayat kelainan psikiatrik. Hal ini dapat disebabkan penggunaan obat
laksatif yang tidak sesuai, ataupun infeksi usus (Sutadi, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2.6 Diare terkait penggunaan antibiotik
Diare ini terjadi dengan penggunaan antibiotik yang tidak sesuai
selama 3-5 hari yang akan menyebabkan flora normal usus berkurang dan
peningkatan flora patogen dalam hal ini umumnya Clostridium difficile.
Angka kejadiannya sekitar 20-25% (Dirjen PPPK, 2011)

2.1.3 Klasifikasi Diare
Diare terbagi menjadi diare Akut dan Kronik. Diare akut berdurasi

dua minggu atau kurang, sedangkan diare kronis lamanya lebih dari dua
minggu (Zein et al, 2004).
2.1.3.1 Diare Akut
Diare akut dapat disebabkan oleh infeksi ataupun non infeksi
(Irwanto, 2002). Diare akut sering menjadi kejadian luar biasa. Namun diare
akut sendiri umumnya bersifat self-limited sehingga yang perlu dilakukan
adalah mencegah terjadinya komplikasi seperti terganggunya keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh (Pickering, 2004).
Pemeriksaan elektrolit feses diperlukan guna mendiferensiasikan
antara diare osmotik atau diare sekretorik. Selain itu harus ditanyakan apakah
terdapat penggunaan obat laksatif ataupun riwayat diare setelah makanmakanan tertentu. Dapat juga dilakukan pemeriksaan lain sesuai indikasi
(Irwanto, 2002).
Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga higiene pribadi. Ini
termasuk mencuci tangan setelah keluar kamar mandi dan sebelum makan
dengan sabun. Menjauhkan manusia dari kotoran begitupun dengan kandang
hewan ternak. Diare dapat merupakan manifestasi dari penyakit serius yang
mendasarinya (Sutadi, 2003).

Universitas Sumatera Utara


2.1.3.2 Diare Kronik
Sebagian besar penyebab diare kronik adalah IBS. Penyebab lain
dapat berupa penyakit sistemik atau penyakit pada saluran pencernaan
(Sutadi, 2003).
Untuk menegakkan diagnosa diare kronik pertama singkirkan
kemungkinan diare akut, intolerensi laktosa, riwayat intervensi bedah
abdominal, infeksi parasit, penggunaan obat-obatan serta penyakit sistemik
lain yang dapat bermanifestasi kepada diare (Hasler & Owyang, 2005).
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan untuk mencari penyebab
adalah pemeriksaan feses secara makroskopik dengan melihat tampilan, bau
dan karakteristik feses ataupun mikroskopik dengan pemeriksaan parasit
(keberadan telur sampai bentuk matur parasit itu sendiri), kultur bakteri,
hitung leukosit, occult blood test, dan berbagai tes lain yang harus dilakukan
sesuai

indikasi.

Untuk

penyakit-penyakit


tertentu

harus

dilakukan

pemeriksaan radiologi, biopsi, dan skrining malabsorbsi (Sutadi, 2003).

2.1.4 Tatalaksana dan Komplikasi Diare
Dalam diare prinsip penatalaksanaan yang perlu dilakukan adalah
rehidrasi, mengembalikan cairan tubuh yang hilang dan melanjutkan
pemberian makanan. Rehidrasi dapat dilakukan dengan larutan gula dan
garam yang dicampur sendiri atau larutan rehidrasi komersial di pasaran
(Karen & Micheal, 2007). Terapi diare yang disebabkan infeksi dapat
dilakukan dengan memberikan antimikroba empirik untuk selajutnya diganti
dengan antimikroba spesifik sesuai hasil kultur (Irawan, 2002).
Terdapat juga pengobatan simptomatik seperti zat hidrofilik untuk
mencegah kehilangan air, absorben untuk menyerap bahan infeksius, opiat
atau anti-kolinergik untuk menurunkan peristaltik usus, probiotik usus dan

bahan-bahan yang mengahambat sekresi berlebih (Karen & Micheal, 2007).
Pada anak pengobatan hanya dilakukan jika diyakinkan bahwa
penyebabnya adalah Vibrio cholera, Shigella dysenetriae, Giardia, dan

Universitas Sumatera Utara

Salmonella typh (Zein et al, 2004). Jika penyebab diare adalah infeksi selain
diatas maka pilihan utama yang diakukan adalah mencegah terjadinya
kekurangan cairan yang dapat mengancam jiwa tanpa menggunakan
antibiotik (Abba et al, 2009).
Seperti telah dikatakan diatas, hal yang dikhawatirkan dari diare
adalah keadaan kekurangan cairan parah yang mungkin terjadi pada pasien.
Pada orang dewasa kejadian diare akan menyebabkan dehidrasi dan jika tidak
ditangani maka akan dapat menyebabkan Tubular Nekrosis Akut yang jika
masih terus dibiarkan akan menyebabkan kegagalan multi organ (Tarr, 2009).
Hal ini berbeda pada anak, karena pada anak persentase cairan tubuh
mencapai 70% maka jika terjadi kehilangan cairan yang besar tanpa diganti
maka akan berakibat lebih fatal langsung kepada syok hipovolemi (Pickering,
2004). Selain itu dapat terjadi gangguan keseimbangan elektrolit (Karen &
Micheal, 2007).

Berikut adalah evaluasi klinis dari dehidrasi (Hendrick et al, 2000)

 Dehidrasi ringan (3-5%) : Pulsasi meningkat, produksi turun, mau mimun

 Dehidrai sedang (7-10%): Takikardi, oligouri sampai anuri, irritable, mata
cekung, air mata berkurang, CRT >3’’, pucat, dingin, mau minum

 Dehidrasi berat (10-15%): Pulsasi cepat dan lemah, hipotensi, anuria, mata
sangat cekung, molted, air mata turun, kesadaran turun, tidak mau minum
Untuk mengetahui jumlah cairan yang kurang daat digunakan derajat
dehidrasi dikali berat badan.
Komplikasi lain tergantung dari penyebabnya, misalnya pada
C.jejuni akan meningkatkan resiko terjadi Guillain Barre syndrome yang
menyebabkan kelemahan otot dan kelainan sensasi akibat kerusakan mielin
yang menyelimuti syaraf (Japardi, 2002).

2.2

Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Diare
Seperti telah disebutkan diatas, diare adalah momok menakutkan bagi


masyarakat kesehatan berkaitan dengan tingginya angka kejadian dan implikasi

Universitas Sumatera Utara

yang mungkin terjadi pada penderita. Maka selain usaha mengobati, para praktisi
kesehatan mulai melirik dan menekankan pentingnya pencegahan. Usaha
pencegahan dianggap membutuhkan dana yang lebih sedikit dan berdampak lebih
luas.
Selain itu hal ini sesuai dengan Paradigma Sehat yang menganggap
masalah kesehatan merupakan masalah multidimensi dan lebih memfokuskan
kepada usaha pencegahan tingkat primer yakni upaya pencegahan/perlindungan
spesifik dan peningkatan kesehatan (Siswanto, 2010).
Diare dapat ditularkan melalui kontaminasi makanan, air atau kontak
langsung dengan segala sesuatu yang mengandung mikroba dan dapat
menularkannya (Denno, 2011).
Berikut ini adalah beberapa hal yang mempengaruhi kejadian diare yang
akan diteliti dalam penelitian ini:
2.2.1

Sumber air
Medan merupakan kota nomor tiga terbesar di Indonesia dengan

jumlah penduduk di atas dua juta jiwa ditambah ± 566 ribu jiwa penduduk
yang tidak tetap (BPS, 2011), dengan tingkat konsumsi air minum rata-rata
2,1-2,8 liter per orang per hari (Santoso, 2010) , maka dibutuhkan sebanyak
5,5-7,2 juta liter per hari. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk
maka kebutuhan akan air khususnya air minum juga semakin meningkat.
Berikut ini adalah berbagai sumber air yang dapat dimanfaatkan manusia
(Santoso, 2010) :
a.

Air tanah
Pada awalnya ini adalah air hujan yang meresap dan terlokalisasi di

dalam tanah yang dalam prosesnya air tersebut telah difiltrasi dan
dimurnikan alam dimana air tersebut bergerak dalam tanah, terdapat
diantara butir-butir tanah atau dalam retakan bebatuan (Yurman, 2009).
Sumber air ini dikatakan terlindung bila terlindung dari limbah
domestik, memiliki tempat perlindungan yang layak. Ciri-cirinya yaitu
memiliki kadar bahan suspensi rendah dan terlarut yang tinggi

Universitas Sumatera Utara

b. Air permukaan
Ini adalah air yang dapat dijumpai diatas permukaan tanah dan
banyak tersedia di alam. Kondisinya sangat beragam karena dipengaruhi
oleh banyak hal yang berupa elemen meteorologi, dan elemen daerah
pengairan. Pada umumnya kekeruhan air permukaan cukup tinggi,
mengandung lempung dan bahan terlarut lainnya yang menyebabkan
kualitas air yang relatif lebih rendah. Air permukaan

tersebut

dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, setelah melalui proses
tertentu (Siswanto, 2010).
c.

Air angkasa
Air yang berasal dari atmosfir dengan jumlah yang sangat terbatas,

dipengaruhi oleh musim, jumlah, intensitas, distribusi hujan dan
pencemaran. Pada umumnya kualitasnya relatif

baik, namun kurang

mengandung mineral dan sifatnya mirip air suling (Santoso, 2010).

Selain diambil langsung dari sumber diatas air juga tersedia dalam
bentuk air kemasan yang diproduksi oleh suatu perusahaan dalam kemasan
botol/gelas dengan volume tertentu. Air ledeng adalah air yang diproduksi
melalui proses penjernihan sebelum dialirkan kepada konsumen melalui
suatu instalasi berupa saluran air sampai dirumah responden. Sumber air ini
diusahakan oleh PAM (Perusahaan Air Minum), PDAM (Perusahaan Daerah
Air Minum), atau BPAM, Badan Pengelola Air Minum, (Yurman, 2009).
Pencemaran pada air perpipaan ini dapat terjadi dengan kontaminasi silang
atau kebocoran pada pipa (Semenza, 1998).
Di Sumatera Utara sekitar 30% penduduknya menggunakan sumur
terlindung dan 25%-nya menggunakan air ledeng (Depkes, 2007). Kualitas
dari berbagai sumber air tersebut berbeda-beda sesuai dengan alam, kondisi
aktivitas manusia yang berbeda di sekitarnya. (Suripin, 2002 dalam Yurman,
2009). Kualitas ini dinilai dalam parameter fisik, kimia, radiologis serta
kesehatan (Permenkes 492, 2010) dan merupakan determinan kesehatan
lingkungan yang kuat (UNICEF, 2012)

Universitas Sumatera Utara

Dikatakan dalam artikel UNICEF (2002) memperbaiki air minum
dapat menurunkan resiko diare hingga 39% ditambahkan dalam UNICEF
(2009) pembuangan sampah dan saluran pembuangan dan sumber air
berpengaruh terhadap kejadian diare, dimana diharapkan memiliki jarak ±
10 meter dari sumber air (Siswanto, 2010). Di Indonesia, baru sekitar 67,3%
penduduk desa yang menikmati air bersih, dan hanya separuhnya yang
memenuhi syarat bakteriologis dan jamban sehat (Ginanjar, 2008).
Di negara berkembang banyak rumah tangga yang menyimpan air
dirumahnya dengan kurang sehat, memasukkan tangan ataupun alat yang
terkontaminasi (Trevett, 2004 dalam Pickering et al, 2010) yang
menjadikannya tempat berkembang biak, menularkan patogen ke anggota
keluarga yang lain jika tak mengolah dengan layak (Siswanto, 2010).

2.2.2

Jamban
Jamban adalah tempat buang air, kakus, tandas, kamar keci (Setiawan,

2010). Masyarakat diharapkan menggunakan jamban yang layak, yaitu
terisolasi dari kontak dengan manusia tidak menggunakan secara bersama
dan menjaga kelayakan jamban tersebut namun hal ini sering diabaikan
(Denno, 2011).
Diare adalah penyakit yang ditransmisikan melalui jalur fekal-oral
(Curtis, 2000 dalam Ejemot et al, 2008). Transmisi ini bisa terjadi dari
makanan atau air yang terkontaminasi, kontak langsung dari satu orang yang
terkontaminasi ke orang lain, ataupun kontak langsung terhadap bahan
kontaminan.( Black, 1989 dalam Ejemot et al, 2008).
Oleh karena itulah, air dan jamban memegang peranan penting dalam
penyebaran penyakit (Pickering et al, 2010).
Sekitar 1,1 milyar penduduk dunia masih buang air di tempat terbuka/
tidak layak (UNICEF, 2002). Dan masih banyak penduduk Indonesia yang
menggunakan jamban yang tidak layak bahkan 47% penduduk Indonesia
masih buang air besar di tempat selain jamban (PPSSI, 2006, dalam
Sonnemann, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Dari penelitian UNICEF (2009) didapat data bahwa 90% sumber air
yang terletak kurang dari 10 meter dari hewan akan tercemar sementara
hampir 80% yang terletak kurang dari 30 meter dari sumber pencemaran
akan terkontaminasi. Dan ini berdampak besar dengan resiko penyakit diare.
Pencemaran ini dapat terjadi secara langsung melalui perembesan air
kotor ke tanah lalu terus meresap dan mencemari sumber air warga atau
melalui vektor yang memindahkan agen pencemar dan penyebab penyakit
ke pangan manusia.
Menurut UNICEF bekerjasama dengan WHO (2012) diperkirakan
pada tahun 2010 terdapat 2,5 milyar orang tanpa fasilitas sanitasi yang
memadai, hanya 67% penduduk dunia yang akan mengenyam fasilitas
sanitasi yang layak pada tahun 2015 dimana masih jauh dari target 75%
yang ditetapkan UN dalam MDGs (Millenium Development Goals) yakni
75% (Denno, 2011). Disampaikan juga bahwa jika ini tercapai maka
program ini akan mampu menyelamatkan 3000 anak setiap harinya yang
mati akibat diare.
Menurut Yeager (1999) dalam Ejemot et al (2008) banyak rumah di
negara miskin yang kekurangan fasilitas pembuangan kotoran yang sesuai
dan walaupun ada fasilitas ini mungkin tidak cocok untuk anak.
Dalam data yang dikeluarkan UNICEF (2009) tercantum bahwa
kejadian diare anak sekolah terjadi paling tinggi pada kelompok dengan
jamban yang dipakai secara bersama, diikuti tempat terbuka, tidak layak dan
akhirnya pada jamban yang layak.

2.2.3

Higien diri
Hidup bersih dan sehat dapat diartikan sebagai hidup di lingkungan

yang memiliki standar kebersihan dan kesehatan serta menjalankan pola/
perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku yang sehat dapat memberikan efek
terhadap kualitas kesehatan. Kesehatan seseorang akan menjadi baik jika
orang tersebut menerapkan perilaku sehat untuk mencegah datangnya

Universitas Sumatera Utara

berbagai penyakit, berlaku pula hal sebaliknya Dalam penerapan hidup
bersih dan sehat dapat dimulai dengan mewujudkan perilaku hidup sehat
(Depkes, 2002).
Faktor perilaku dan lingkungan memegang peranan penting dalam
terjadinya diare (Siswanto, 2010). Dengan memperbaiki higene diri bersama
air dan sanitasi kita dapat menurunkan angka diare sampai dengan 88%
(Denno, 2011). Kita harus membiasakan cara hidup sehat sehari-hari, yaitu,
mencuci tangan, memotong kuku, dan memakai alas kaki terutama bagi
anak-anak (Siswanto, 2010).
Tangan adalah kunci untuk penularan partikel penyebab penyakit dari
satu orang ke orang lain (Curtis & Cuirncross, 2003).
Keseriusan pemerintah terlihat dalam program PHBS dimana mencuci
tangan bersama dengan penggunaan air besih dan jamban merupakan tiga
dari tujuh indikator rumah tangga sehat (Siswanto, 2010).
Dalam suatu RCT (Randomized Clinical Trial) menunjukkan mencuci
tangan dapat menurunkan diare sampai 31% (Ejemot et al, 2008). Dalam
artikel yang sama dan didukung oleh Siswanto (2010) dinyatakan bahwa hal
yang paling penting adalah mencuci tangan disaat-saat penting seperti
setelah berurusan dengan kotoran dan hendak berurusan dengan makanan
Mencuci tangan dengan sabun secara umum dapat diterima untuk
mengurangi jumlah infeksi. Menurut Niffenegger (1997) dalam Sandora et
al, (2005), kebiasaan cuci tangan dapat menurunkan angka kesakitan pada
anak di pusat perawatan anak dan ketidakhadiran di sekolah. Begitupun
dengan pemakaian hand-sanitizer berbasis alkohol. White et al (2003) dan
Lee et al (2005) juga mengemukakan hal yang serupa tentang kebiasaan
mencuci tangan ini. Tetapi dalam kenyataannya seperti dilansir dari Studi
Pelayanan Dasar Manusia (2006) yang dikemukakan dalam Sonnemann
(2009) hanya 6-14% yang mencuci tangan sebelum makan, setelah
menangani kotoran, dan sebelum menyiapkan makan.
Mencuci tangan dengan hand-sanitizer dapat membunuh rota virus
yang merupakan penyebab infeksi paling sering di pusat perawatan anak

Universitas Sumatera Utara

(Sandora et al, 2005) Pemakaian hand-sanitizer juga mampu menghemat
waktu dalam mencuci tangan, hal ini merupakan hal yang penting dalam
praktek keseharian dimana anak-anak buru-buru mencuci tangan dan tidak
mau membuang waktu. Hal ini adalah beberapa keunggulan dari handsanitizer berbasis alkohol yang tidak dimiliki oleh sabun biasa. Selain itu
hand-sanitizer juga terjual bebas dipasaran dan memiliki harga yang relatif
terjangkau (Ejemot et al, 2008).
Dan dalam penelitian RCT oleh Nanan et al (2001) di Pakistan,
mencuci tangan menurunkan angka kejadian diare di rumah tangga,
walaupun lingkungannya terhitung kurang mendukung.
Selain membersihkan tangan kebersihan kuku harus diperhatikan,
kuku yang panjang dan tidak bersih dapat mengandung telur cacing yang
seterusnya menimbulkan gejala diare pada anak (Sutano et al, 2008).
Pada kuku yang panjang dan tak terjaga kebersihannya dapat
terkandung berbagai mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare.
Semua penyakit yang disebabkan parasit cacing seluruhnya disebabkan oleh
kurangnya pelaksanaan pengadaan air, sanitasi, dan higien yang tidak aman
dan sudah dinyatakan secara global (Sutanto et al, 2008).
Dikatakan dalam karya tulis ilmiah Dewi (2011) bahwa pemotongan
dan pembersihan kuku secara teratur dapat menurunkan angka kejadian
diare pada anak usia sekolah (5-14 tahun).
Menurut Sutano et al (2008) dalam buku ajar parasitologi UI,
berberapa jenis larva parasit terutama cacing dapat menembus kulit, oleh
sebab itulah perlindungan terhadap kulit yang bersentuhan langsung dengan
tanah, dalam hal ini kaki, mutlak diperlukan. Dan berjalan tanpa alas kaki
dapat meningkatkan resiko diare (Denno, 2011).

2.2.4

Kebiasaan jajan
Selain melalui kontak langsung agen penyebab diare dapat ditularkan

melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.

Universitas Sumatera Utara

Kebiasaan jajan anak usia sekolah dasar sangat berpengaruh pada
penyakit diare. Anak usia sekolah dasar belum memikirkan tentang isi dan
kebersihan pembuatan dan lebih cendrung memilih makanan dari warna
yang menarik, bentuk yang lucu dan harga yang murah. Mereka lebih sering
jajan berupa es wana warni, permen berbagai rasa, makanan yang belum
dibungkus atau makanan yang sudah dibungkus dan bermerek.
Tidak banyak anak yang memperoleh kesempatan mempunyai uang
saku yang banyak, karena itulah mereka cenderung memilih jenis jajanan
yang murah, biasanya makin rendah harga suatu barang atau jajanan makin
rendah pula kualitasnya. Hal ini akibat digunakannya bahan-bahan makanan
yang kurang baik dan cara pengolahan yang tidak higienis, dan biasanya
akan tercemar oleh kuman. Itulah sebabnya anak-anak yang suka jajan
cendrung lebih berisiko untuk terkena penyakit diare.
Jajanan anak dapat berupa makanan dan minuman yang sudah
dibungkus ataupun yang diambilkan. Makanan tersebut dapat kurang
terjamin mutunya dan dapat mengandung bahan-bahan berbahaya (Depkes
RI, 1999) Jenis yang terakhir jka tidak dilindungi dari pencemaran dan
diolah dengan baik maka akan berpeluang besar sebagai sumber penyebaran
diare. Makanan harus ditutup untuk melindungi dan menjaga kebersihannya
(Siswanto, 2010).
Alat makan juga dapat menularkan, dan penggunaan secara bersama
akan meningkatkan resikonya (Siswanto, 2010). Mikroba yang sering
mengkontaminasi adalah yang dari saluran cerna seperti E.coli, Salmonella,
Shigella, Rotavirus, Enterovirus, Cacing usus (dalam bentuk telur) dan
Jamur (umumnya Candida albican) (Denno, 2011).
Makanan yang kurang higienis dianggap sebagai salah satu
penyumbang terbesar terhadap terjadinya diare (WHO, 1996, dalam
Takanashi et al, 2009). Level dari kontaminasinya tergantung dari suhu
penyimpanan, lama penyimpanan, dan musim saat itu.

Universitas Sumatera Utara

2.2.5

Status gizi
Terjadinya gejala penyakit tergantung dari tiga komponen yakni

imunitas host, agen penyakit dan lingkungan (Siswanto, 2010). Keadaan gizi
kurang akan menghambat reaksi imunologis dalam melawan penyakit dan
berhubungan dengan tingginya angka kesakitan dan beratnya penyakit
infeksi.
Kekurangan gizi adalah resiko yang sangat besar terhadap tinggginya
angka kesakitan dan kematian anak (Denno, 2011). Dalam artikel tersebut
dikatakan juga bahwa masalah gizi ini memberikan kontribusi 35% dari
seluruh kematan anak.
Keadaan malnutrisi dan dehidrasi memiliki resiko lebih besar untuk
lebih lanjut menjadi intoleransi laktosa (Karen & Micheal, 2007).
Selain itu dampak negatif malnutrisi juga berasal dari kekurangan
nutrisi makro yang diperlukan untuk pembentukan dan daya tahan tubuh
secara humoral maupun selular serta kekurangan komponen mikro seperti
zat besi (Denno, 2011). Selain itu, keadaan hati, enzim, pankreas, dan
mukosa usus pada anak-anak yang malanutrisi juga berpengaruh bagi
timbulnya diare pada anak, padahal sebenarnya semakin muda anak maka
daya tahan tubuhnya semakin kurang memadai dan pembentukan organ
masih belum sempurna (Sherwood, 2001).
Pada anak malanutrisi serangan diare terjadi lebih sering dan lebih
lama. Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan berat diare
yang dideritanya (Kemenkes, 2010).
Hubungan diare dan gizi tidak hanya berjalan satu arah karena
kejadian diare juga dapat membuat status gizi yang buruk pada pasien.
Umur 6-12 tahun termasuk dalam fase middle childhood, dimana pada masa
terjadi pertumbuhan kurang lebih 6 cm pertahun. Penyakit yang menyerang
anak pada masa ini dikatakan mampu mengganggu pertumbuhan,
menurunkan kognitif, persepsi, ataupun kemampuan spesifik lainnya (Karen
& Micheal, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Pada pertengahan masa sekolah dasar ini anak sudah sampai belajar
hal-hal kompleks dan dapat mengerti penjelasan singkat tentang penyakit
dan pengobatan yang perlu.(Karen & Micheal, 2007)
Dikatakan juga hal serupa oleh Subagyo et al (2011) dan Denno
(2011) bahwa diare dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada
anak. Diare menyebabkan kurangnya peyerapan zat gizi, zat gizi yang sudah
terserap pun digunakan untuk memperbaiki jaringan dan melawan infeksi,
dan diare sering menyebabkan anak kehilangan nafsu makan (Karen &
Micheal, 2007) yang dalam gilirannya semua akan berinteraksi hingga
menyebabkan gangguan tumbuh kembang.
Kekurangan ini lebih lanjut akan menurunkan status imunitas anak
baik humoral maupun selular. Maka akan semakin mudah dan buruklah
kejadian infeksi anak (Irawan, 2002). Hal ini terbukti dengan terdatanya
diare sebagai infeksi oportunistik tersering setelah TB di Indonesia (Dirjen
PPPK, 2008).
Dikatakan Karen & Micheal(2007) di negara berkembang lingkaran
antara diare kronis, malabsorbsi, anoreksia, malanutrisi adalah penyebab
utama kematian anak terutama yang berada di usia dibawah lima tahun.
Menurut Susilowati et al, 2010, dari penelitian yang dilakukannya dan
didalamnya didukung oleh beberapa penelitian lain seperti penelitian
Rowland et al (1988), Woge (Nusa Tenggara Timur), Simondon et al
(Senegal), Dan Brown (2003) dalam Alvarado et al menyatakan bahwa
terdapat asosiasi signifikan antara kejadian diare dan status gizi anak yang
dinilai dari berat dan tinggi terhadapa umur.
2.2.6

Karakteristik Ibu dan Status Sosioekonomi
Budaya, pendidikan dan kebiasaan memegang peranan penting dalam

ketahanan individu terhadap infeksi diare. Status sosioekonomi yang rendah
meningkatkan resiko terjadinya diare yang kembali berakar dari kurangnya
sanitasi, higiene, dan lingkungan yang tidak memadai sampai kurangnya
akses pelayanan pengobatan dan rehabilitasi penyakit (Denno, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Pekerjaan dan pendidikan ibu termasuk dalam lingkup bahasan ini. Bahkan
dikatakan bahwa faktor ekonomi menduduki posisi utama di daerah dengan
sanitasi dan air yang memadai (Genser et al, 2008). Dinyatakan juga bahwa
status ekonomi rendah memegang peranan penting karena menyangkut
berbagai hal diatas secara langsung ataupun tidak dan perubahan mendasar
dari hal ini akan menurunkan angka kejadian diare secara mendasar.
Status pekerjaan ibu dan kejadian diare pada anak memiliki korelasi
yang bermakna (Carsuso et al, 2010). Masih banyak masyarakat yang salah
mengartikan tentang diare dan penanganannya.Ibu yang

memiliki

pengetahuan dan waktu untuk memperhatikan anaknya dianggap mampu
menurunkan kejadian diare. Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, kejadian
diare berbanding terbalik dengan peningkatan derajat pendidikan ibu.
Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka kejadian diare pada anak akan
semakin rendah.
Tingkat

pendapatan

dapat

berhubungan

dengan

diare

lewat

pemanfaatan fasilitas layanan kesehatan yang kurang (Aremu et al, 2011).
Masyarakat menganggap banyak hal yang lebih penting dari sekedar
membangun jamban, instalasi air, tempat pembuangan sampah sampai
membeli obat (Nundy et al, 2011) atau membeli makanan yang layak. Pada
keluarga yang kekurangan maka pembagian uang ini akan menjadi lebih
sulit dan ketat untuk dapat memenuhi apa yang dianggap merupakan
kebutuhan utama keluarga.

Universitas Sumatera Utara