Pengaruh Desinfeksi Gigitiruan dengan Energi Microwave dan Larutan Kumur Klorheksidin terhadap Jumlah Candida albicans pada Pemakai Gigitiruan Penuh Resin Akrilik Polimerisasi Panas

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Rongga Mulut
Rongga mulut mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai mastikasi, fonetik,

dan juga estetik. Hal tersebut mengakibatkan rongga mulut merupakan tempat paling
rawan dari tubuh karena merupakan pintu masuk berbagai agen berbahaya, seperti
produk mikroorganisme, agen karsinogen, selain rentan terhadap trauma fisik,
kimiawi, dan mekanis. Makanan dan minuman akan diproses di dalam mulut dengan
bantuan gigi- geligi, lidah, saliva, dan otot. Pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut
merupakan salah satu upaya meningkatkan kesehatan. Mulut bukan sekedar pintu
masuk makanan dan minuman, tetapi fungsi mulut lebih dari itu dan tidak banyak
orang menyadari besarnya peranan mulut bagi kesehatan dan kesejahteraan
seseorang. Masyarakat akan sadar pentingnya kesehatan gigi dan mulut ketika terjadi
masalah atau ketika terkena penyakit. Oleh karena itu kesehatan gigi dan mulut
sangat berperan dalam menunjang kesehatan seseorang (Zarco dkk. 2011; Afrina
2007).
Kesehatan rongga mulut merupakan bagian integral dari kesehatan tubuh dan

tidak dapat dipisahkan dengan kesehatan tubuh secara umum karena saling terkait
antara satu sama lain. Menurut WHO, kesehatan rongga mulut adalah keadaan bebas
dari nyeri wajah dan mulut, kanker oral dan tenggorokan, infeksi dan luka oral,
penyakit periodontal, karies gigi, kehilangan gigi dan penyakit-penyakit serta

gangguan oral lain yang membatasi kapasitas individu untuk menggigit, mengunyah,
tersenyum, berbicara dan kesejahteraan psikososial. Rongga mulut merupakan pintu
gerbang pertama di dalam sistem pencernaan sebagai jalan masuknya berbagai
macam mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut masuk bersama
makanan atau minuman, namun tidak semua mikroorganisme tersebut bersifat
patogen, di dalam rongga mulut mikroorganisme yang masuk akan dinetralisir oleh
zat anti mikroba yang dihasilkan oleh kelenjar ludah dan mikroflora normal (Gade
2012; Chetan dkk. 2011).

2.1.1

Mikroflora Normal Rongga Mulut
Dalam rongga mulut manusia terdapat banyak mikroflora normal. Mikroflora

normal adalah sekumpulan mikroorganisme yang hidup pada kulit dan selaput

lendir/mukosa manusia yang sehat maupun sakit. Mikroflora normal tersebut dalam
keadaan normal tidak menimbulkan penyakit, namun bila terjadi gangguan sistem
imun maupun perubahan keseimbangan mikroflora normal rongga mulut, maka
mikroflora normal tersebut dapat menjadi patogen karena adanya faktor predisposisi
yaitu kebersihan rongga mulut. Pertumbuhan mikroflora normal pada bagian tubuh
tertentu dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, nutrisi dan adanya zat penghambat.
Keberadaan mikroflora normal pada bagian tubuh tertentu mempunyai peranan
penting dalam pertahanan tubuh karena menghasilkan suatu zat yang menghambat
pertumbuhan mikroorganisme lain. Adanya mikroflora normal pada bagian tubuh
tidak selalu menguntungkan, dalam kondisi tertentu mikroflora normal dapat

menimbulkan penyakit, misalnya bila terjadi perubahan substrat atau berpindah dari
habitat yang semestinya (Afrina dkk. 2011; Bhat dkk. 2013).
Mikroflora normal di rongga mulut terdiri dari (Afrina 2007):
-

Gram positif yaitu Streptococci, Actinomyces, Lactobacillus,Eubacterium,
Propionibacterium, Rothia, Bifidobacterium

-


Gram negatif yaitu Neisseria, Veillonella, Actinobacillus, Porphyromonas,
Prevotella, Fusobacteria, Haemophillus, Treponema, Eikenella

-

Yeast yaitu Candida albicans, Candida tropicalis, Candida glabrata, Candida
krusei, Candida guilliermonax, Candida parapsilosis

Kunci kesehatan rongga mulut adalah keseimbangan ekologi dan
keanekaragaman mikroflora komensal dan interaksinya terhadap sel inang. Rongga
mulut secara terus menerus akan dibasahi oleh saliva, dan hal tersebut memberikan
pengaruh yang signifikan pada ekologi di rongga mulut. pH normal saliva antara
6.75–7.25, yang mendukung pertumbuhan mikroflora dan komposisi ion saliva yang
menetralisir pH saliva dan kemampuan untuk melakukan remineralisasi enamel.
Unsur organik saliva adalah protein dan glikoprotein seperti amilase, musin,
imunoglobulin (terutama sIgA), lisosim, laktoferin dan sialoperoksidase. Unsur
organik tersebut dapat mempengaruhi mikroflora normal rongga mulut dengan cara
(Zarco dkk. 2011; Maller dkk. 2010):
a) Menyerap ke permukaan jaringan di rongga mulut, terutama pada gigi, untuk

membentuk sebuah lapisan (yang diperoleh dari pelikel) yang dapat menjadi tempat
melekatnya mikroorganisme. Perlekatan tersebut melibatkan interaksi antarmolekul
antara adhesi mikroorganisme dan reseptor pada pelikel. Mikroorganisme di rongga

mulut tidak terdistribusi secara acak tetapi biasanya berdasarkan tropisme jaringan,
yaitu mikroorganisme tersebut selektif melekat dan hidup pada permukaan tertentu.
b) Berperan sebagai sumber utama nutrisi (karbohidrat dan protein) yang
mendorong pertumbuhan mikroflora tanpa menginduksi pH.
c) Melekat

ke

permukaan

mikroorganisme

untuk

menutupi


antigen

mikroorganisme,
sehingga membuat mikroorganisme terlihat seperti sel inang.
d) Menggabungkan seluruh mikroorganisme, kemudian memfasilitasi desinfeksi

mikroorganisme tersebut dari rongga mulut dengan cara penelanan, aliran saliva juga
akan membersihkan sel-sel lemah yang melekat.
e) Menghambat perlekatan dan pertumbuhan beberapa

mikroorganisme

eksogen,
dengan peranan sebagai komponen pertahanan sel inang.
Seiring dengan waktu, aktivitas metabolisme mikroorganimse komensal
dapat

dimodifikasi

oleh


perubahan

lingkungan

sehingga

memberikan

kondisi, hal tersebut dapat dikarenakan (Zarco dkk. 2011; Maller dkk. 2010):
-

Perubahan pH normal saliva

-

Modifikasi atau paparan reseptor baru pada permukaan perlekatan

-


Menghasilkan nutrisi baru, misalnya, sebagai produk akhir metabolisme

(laktat, suksinat) atau sebagai produk pemecah (peptida, hemin) yang dapat
digunakan sebagai nutrisi utama oleh mikroorganisme lain sebagai bagian dari rantai
makanan.
-

Aktivitas antimikroba

-

Perubahan temperatur rongga mulut

-

Pertahanan sel inang yang menurun karena adanya infeksi
Perubahan lingkungan pada rongga mulut misalnya adanya penyakit jaringan

periodontal, karies gigi, hilangnya gigi, pemakaian gigitiruan dengan kebersihan yang
tidak adekuat, xerostomia, dapat menyebabkan perubahan pertahanan mikroflora

normal.

2.1.2

Kehilangan Gigi
Gigi merupakan tempat menempelnya mikroflora. Sifat menempel ini sangat

penting bagi kolonisasi mikroflora di rongga mulut. Glikoprotein saliva mampu
menyatukan mikroorganisme tertentu dan mengikatnya pada permukaan gigi.
Mikroorganisme akan menghasilkan polisakarida ekstraselular yang disebut dekstrans
yang bekerja seperti perekat, mengikat sel-sel mikroorganisme menjadi satu dan juga
melekatkan mereka pada permukaan gigi, sehingga jika gigi sudah hilang, akan
mengakibatkan perubahan lingkungan pada rongga mulut yang akan menyebabkan
perubahan aktivitas dari mikroflora normal dapat menjadi patogen (Maller dkk.
2010). Kehilangan gigi merupakan suatu gambaran buruknya kondisi kesehatan rongga
mulut yang memperantarai penumpukan mikroorganisme pada gigi dan juga sebagai
penanda adanya mikroorganisme endogen. Perubahan aktivitas mikroflora normal yang

terjadi dikarenakan perubahan kelembapan rongga mulut, pH, temperatur (Rao 2012).
Menurut Qiao dkk. (2005), individu yang kehilangan gigi memiliki jumlah mikroflora

mulut yang lebih banyak sehingga lebih selektif dalam mereduksi nitrat menjadi
nitrit. Nitrit akan bereaksi secara langsung dengan amina dan akan diubah menjadi

carsinogenic nitrosamines. Nitrosamin dapat menimbulkan penyakit gastrointestinal.

Selain itu, mikroorganisme di rongga mulut juga memproduksi zat karsinogenik
seperti asetaldehid dan oksigen reaktif. Potensi dari efek toksik asetaldehid biasanya
terletak pada adanya penumpukan gugus karbonil pada tubuh. Efek ini akan berakibat
pada penyakit hati, teratogenisitas (kerusakan embrio), diabetes, hipertensi, dan
penyakit neurogeneratif, sehingga peranan gigitiruan sebagai perawatan untuk
mengganti gigi yang hilang sangat penting dilakukan (Rao 2012; Marsh 2000).

2.2

Gigitiruan Penuh
Gigitiruan penuh adalah gigitiruan yang menggantikan seluruh gigi asli dan

jaringan sekitarnya yang hilang pada rahang atas dan rahang bawah.
Gigitiruan penuh memiliki beberapa fungsi yaitu (Qiao dkk. 2005):
a) Pengunyahan.


Gigitiruan penuh harus memiliki keseimbangan oklusi yang tepat untuk
memperoleh stabilitas gigitiruan yang optimal pada saat menerima beban
pengunyahan.
b) Estetis
Anasir gigitiruan pada gigitiruan penuh dapat memperbaiki vertikal
dimensi, memberi dukungan kepada bibir dan pipi serta mengembalikan kontur wajah
yang hilang.
c) Bicara

Gigitiruan penuh dapat mengembalikan pengucapan huruf-huruf yang
dihasilkan memalui bantuan gigi, bibir, dan lidah yaitu :
- Bilabial (b, p, m)  didukung oleh kedua bibir atas dan bawah
- Labiodental (f,v)  didukung oleh gigi insisivus atas dan bibir bawah
- Linguoalveolar (t, d, s, z, v, j, l)  didukung oleh lidah dengan bagian
anterior palatum
- Linguodental (th, ch, sh)  didukung oleh lidah di antara gigi anterior atas
dan bawah.
Indikasi pemakaian gigitiruan penuh adalah :
- Individu yang seluruh giginya telah hilang atau dicabut

- Individu yang masih memiliki beberapa gigi yang harus dicabut karena
kerusakan gigi yang masih ada tidak mungkin diperbaiki
- Bila dibuatkan gigitiruan sebagian lepasan, gigi yang masih ada akan
terganggu keberhasilannya
- Keadaan umum dan kondisi mulut pasien sehat
2.2.1 Basis Gigitiruan
Berbagai bahan telah digunakan dalam pembuatan basis gigitiruan. Kayu,
tulang, ivori, keramik, logam, logam aloi dan berbagai polimer telah diaplikasikan
untuk basis gigitiruan. Perkembangan yang pesat dalam bahan basis gigitiruan
menyebabkan terjadinya peralihan dari penggunaan bahan alami menjadi penggunaan
resis sintesis dalam pembuatan basis gigitiruan (McCabe 2007).

Berdasarkan The Glossary of Prosthodontic Terms (GPT) edisi 8, basis
gigitiruan adalah bagian dari suatu gigitiruan yang bersandar pada jaringan
pendukung dan tempat anasir gigitiruan dilekatkan dan bahan basis gigitiruan adalah
suatu bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan basis gigitiruan. Daya tahan,
penampilan dan sifat-sifat dari suatu basis gigitiruan sangat dipengaruhi oleh bahan
basis tersebut. Berbagai bahan telah digunakan untuk membuat gigitiruan, namun
belum ada bahan yang dapat memenuhi semua persyaratan bahan basis gigitiruan.
Berdasarkan International Organization for Standardization (ISO), syaratsyarat bahan basis gigitiruan yang ideal adalah:
a. Biokompatibel : tidak toksik dan non-iritan
b. Karakteristik permukaan : halus, keras dan kilat
c. Warna : translusen dan warna merata
d. Stabilitas warna : baik
e. Bebas dari porositas : tidak boleh menunjukkan rongga kosong
f. Kekuatan lentur : tidak kurang dari 60-65 MPa
g. Modulus elastisitas : paling sedikit 2000 MPa untuk polimer yang
dipolimerisasi dengan panas dan paling sedikit 1500 MPa untuk polimer
swapolimerisasi
h. Tidak ada monomer sisa
i. Tidak menyerap cairan
j. Tidak dapat larut
Sampai saat ini belum ada satu pun bahan yang mampu memenuhi semua
kriteria tersebut di atas (Langevin dkk. 2011).

Klasifikasi basis gigitiruan berdasarkan bahan yang digunakan secara umum
terdiri atas bahan logam, resin, dan kombinasi logam-resin. Sebagai basis gigitiruan,
resin akrilik menunjukkan beberapa keuntungan (Nallaswamy 2009):
a. Warnanya harmonis dengan jaringan sekitarnya, sehingga memenuhi faktor
estetik
b. Dapat dilapis dan dicekatkan kembali
c. Relatif lebih ringan
d. Teknik pembuatan dan pemolesannya mudah
e. Biaya murah
Di samping keuntungan tersebut, resin juga memiliki beberapa kerugian:
a. Penghantar suhu yang buruk
b. Dimensinya tidak stabil baik pada waktu pembuatan, pemakaian dan
reparasi
c. Mudah terjadi abrasi pada saat desinfeksi atau pemakaian
d. Walaupun dalam derajat kecil, resin menyerap cairan mulut sehingga
mempengaruhi stabilitas warna
e. Kalkulus dan deposit makanan mudah melekat pada basis resin
Berdasarkan ISO 1567, bahan basis gigitiruan resin akrilik dikategorikan
dalam tipe dan kelas berikut (Roessler 2003):
a. Tipe 1. Resin akrilik polimerisasi panas
(i) Kelas 1. Bubuk dan cairan
(ii) Kelas 2. Plastic cake
b. Tipe 2. Resin akrilik swapolimerisasi

(i) Kelas 1. Bubuk dan cairan
(ii) Kelas 2. Bubuk dan cairan resin tuang
c. Tipe 3. Potongan atau bubuk termoplastik
d. Tipe 4. Resin akrilik yang diaktifkan dengan sinar
e. Tipe 5. Resin akrilik yang dikuring dengan microwave
2.2.2

Resin Akrilik Polimerisasi Panas
Resin akrilik telah digunakan sebagai basis gigitiruan selama lebih dari 60

tahun dan saat ini merupakan bahan yang paling umum digunakan untuk pembuatan
basis gigitiruan. Resin akrilik merupakan bahan pilihan karena memiliki estetis yang
baik, sifat fisis dan mekanis yang cukup baik, murah, dan mudah dibuat dengan
peralatan yang tidak mahal. Walaupun demikian, seperti bahan basis gigitiruan
lainnya, resin akrilik tidak terlepas dari keterbatasan dan tidak memenuhi seluruh
persyaratan bahan basis gigitiruan yang ideal (Nallaswamy 2009).
Unsur pokok dari resin akrilik polimerisasi panas adalah (Roessler 2003):
a. Bubuk
Polimer : butiran atau granul poli metil metakrilat
Inisiator : benzoyl peroxide

Pigmen/pewarna : garam cadmium atau besi, atau pewarna organik
b. Cairan
Monomer : metil metakrilat
Cross-linking agent : ethyleneglycol dimethylacrylate
Inhibitor : hydroquinone

Komponen utama dari bubuk adalah butiran-butiran poli metil metakrilat
dengan diameter hingga 100 µm dan massa jenis 1,19 g/cm3, sedangkan komponen
utama dari cairan adalah monomer metil metakrilat yang bening, tidak berwarna,
tidak kental dan berbau menyengat yang disebabkan tekanan penguapan yang relatif
tinggi pada suhu ruangan (Nallaswamy 2009).
Resin akrilik polimerisasi panas umumnya diproses dalam sebuah kuvet
dengan menggunakan teknik compression-molding. Bubuk dan cairan dicampur
dengan perbandingan volume 3:1 atau perbandingan berat 2,5:1. Bahan yang telah
dicampur melewati empat tahap :
a. Tahap pertama : tahap basah, seperti pasir (wet sand stage)
b. Tahap kedua : tahap lengket berserat (tacky fibrous) selama polimer larut
dalam monomer (sticky stage)
c. Tahap ketiga : tahap lembut, seperti adonan, sesuai untuk diisi ke dalam
mold (dough stage/gel stage)
d. Tahap keempat : tahap kaku, seperti karet (rubbery stage)
Setelah pembuangan malam, adonan diisikan dalam mold gips. Kuvet
ditempatkan di bawah tekanan, dalam water bath dengan waktu dan suhu terkontrol
untuk memulai polimerisasi resin akrilik polimerisasi panas. Umumnya resin akrilik
polimerisasi panas dipolimerisasi dengan menempatkan kuvet dalam water bath
dengan suhu konstan pada 70oC selama 90 menit dan dilanjutkan dengan perebusan
akhir pada suhu 1000C selama 30 menit sesuai rekomendasi Japan Industrial Standar
(JIS) (Noort 2007).

Setelah prosedur polimerisasi, kuvet dibiarkan dingin secara perlahan hingga
mencapai suhu kamar untuk memungkinkan pelepasan internal stress yang cukup
sehingga meminimalkan perubahan bentuk basis. Selanjutnya dilakukan pemisahan
kuvet dan harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah fraktur atau distorsi
gigitiruan. Basis gigitiruan akrilik yang telah dikeluarkan dari kuvet, siap untuk
diproses akhir dan dipoles (Langevin dkk. 2011).
Keuntungan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas adalah (Noort
2007):
1. Penyerapan air rendah
2. Permukaan halus
3. Kekerasan permukaan tinggi
4. Sudut kontak permukaan dengan air cukup besar sehingga perlekatan
mikroorganisme tidak akan mudah terjadi
5. Stabilitas warna baik
6. Mudah dalam pembuatan, penyesuaian, proses akhir dan pemolesan, serta
perbaikan
Kerugian penggunaan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas adalah
(Noort 2007):
1. Mudah fraktur, karena resin akrilik polimerisasi panas memiliki kekuatan
tensile, lentur, fatique dan impak yang rendah serta sifat notch sensitivity yang tinggi
2. Memiliki porositas
3.

Mengandung monomer sisa dan melepasnya dalam air, sehingga berkontak

dengan mukosa mulut dan menimbulkan gejala hipersensitivitas pada pasien yang
alergi terhadap metil metakrilat
4. Dapat terjadi crazing yang melemahkan basis gigitiruan

2.2.3 Sifat Resin Akrilik Polimerisasi Panas
Sifat bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas terbagi atas sifat
mekanis, sifat kemis dan biologis, serta sifat fisis (Roessler 2003).
Sifat kemis adalah sifat suatu bahan yang dapat mengubah sifat dasar bahan
tersebut, seperti penyerapan air dan stabilitas warna. Sifat biologis adalah sifat suatu
bahan dalam interaksinya dengan makhluk hidup, seperti pembentukan koloni
mikroorganisme dan biokompatibilitas (Roessler 2003).
a. Penyerapan Air
Resin akrilik menyerap air secara perlahan, biasanya melalui difusi, dimana
pergerakan air saat berdifusi adalah isotropik dan homogen, dan mencapai titik
keseimbangan sekitar 2 % setelah periode beberapa hari atau minggu tergantung pada
ketebalan gigitiruan (Prasad 2008). Penyerapan air selalu terjadi pada resin akrilik
dengan tingkat yang lebih besar pada bahan yang lebih kasar. Penyerapan air
menyebabkan perubahan dimensi, meskipun tidak signifikan. Menurut Polat (2003)
yang mengutip pendapat Cheng Yi-Yung, penambahan berbagai serat pada resin
akrilik menunjukkan perubahan dimensi yang lebih kecil selama perendaman dalam
air. Menurut American Dental Association , penambahan berat polimer pada bahan
basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas tidak boleh lebih dari 0,8 mg/cm2

setelah direndam dalam air selama 7 hari pada temperatur 37±10C, dan nilai
penyerapan air yang tidak menyebabkan perubahan dimensi harus kurang atau sama
dengan 32 µg/mm3 (Barbosa dkk. 2001). Resin akrilik polimerisasi panas menyerap
air dengan sangat signifikan pada 24 sampai 50 jam pertama saat direndam dalam air,
tetapi sesudahnya penyerapan air tidak terjadi dalam jumlah yang signifikan karena
koefisien difusi air yang rendah (Polat 2003).
b. Pembentukan Koloni Mikroorganisme
Kemampuan mikroorganisme tertentu untuk berkembang pada permukaan
gigitiruan resin akrilik berkaitan dengan penyerapan air, energi bebas permukaan,
kekerasan permukaan, dan kekasaran permukaan. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa resin akrilik polimerisasi panas memiliki penyerapan air yang rendah,
permukaan yang halus, kekerasan permukaan yang tinggi dan sudut kontak
permukaan dengan air yang cukup besar sehingga apabila diproses dengan baik dan
sering dibersihkan maka perlekatan mikroorganisme tidak akan mudah terjadi.
Desinfeksi dan perendaman gigitiruan dalam pembersih kemis secara teratur
umumnya sudah cukup untuk mengurangi masalah perlekatan mikroorganisme
(Sartori dkk. 2006). Resin akrilik menyerap air secara perlahan dan nilai
keseimbangan penyerapan sekitar 2% akan tercapai setelah beberapa hari tergantung
ketebalan dari gigitiruan. Kehilangan maupun penambahan air pada lapisan
permukaan bisa terjadi cukup cepat. Absorpsi air juga berhubungan dengan
kemampuan dari beberapa mikroorganisme yang dapat berkolonisasi pada permukaan
gigitiruan berbahan akrilik. Kebersihan gigitiruan yang buruk dapat meningkatkan
jumlah pertumbuhan mikroorganisme seperti Candida albicans dalam rongga mulut.

Pemakaian gigitiruan akan menyebabkan penumpukan sisa makanan pada permukaan
basis gigitiruan, permukaan proksimal gigi penyangga dan permukaan mukosa yang
ditutupi oleh basis gigitiruan, meskipun beradaptasi dengan erat terhadap jaringan,
larutan gula dan karbohidrat akan tetap berkontak dengan gigi dan mukosa yang
bersentuhan dengan gigitiruan (Golbidi dkk. 2009).
c. Stabilitas Warna
Kotrakulji (2008) yang mengutip pendapat Yu-lin Lai, stabilitas warna dan
ketahanan terhadap stain pada nilon, silikon serta dua jenis resin akrilik dan
ditemukan resin akrilik menunjukkan nilai diskolorisasi yang paling rendah setelah
direndam dalam larutan kopi. Beberapa penulis juga menyatakan bahwa resin akrilik
polimerisasi panas memiliki stabilitas warna yang baik (Mitchell dkk. 2006).
d. Biokompatibilitas
Secara umum, resin akrilik polimerisasi panas sangat biokompatibel.
Walaupun demikian, beberapa pasien mungkin menunjukkan reaksi alergi yang
disebabkan monomer sisa metil metakrilat atau benzoic acid pada basis gigitiruan.
Pasien yang tidak alergi juga dapat mengalami iritasi apabila terdapat jumlah
monomer yang tinggi pada basis gigitiruan yang tidak dikuring dengan baik. Batas
maksimal konsentrasi monomer sisa untuk resin akrilik polimerisasi panas menurut
standar ISO adalah 2,2 % (Roessler 2003).

2.3

Candida albicans

Candida albicans adalah spesies Candida yang paling umum ditemukan di

dalam rongga mulut. Candida merupakan mikroflora normal pada rongga mulut

dengan persentasi rata-rata 40%, tetapi tidak semua manusia adalah Candida carrier.
Candida albicans merupakan mikroorganisme oportunistik pada tubuh manusia

karena pada keadaan tertentu Candida albicans mampu menyebabkan infeksi dan
kerusakan jaringan. Mikroorganisme oportunistik adalah mikroorganisme yang pada
keadaan normal tidak menyebabkan penyakit atau infeksi, tetapi dapat menyebabkan
penyakit atau infeksi jika sistem kekebalan tubuh buruk. Candida albicans
membutuhkan “kesempatan" untuk menyebabkan terjadinya peenyakit atau infeksi
tersebut. Infeksi Candida albicans memberikan gambaran berupa lesi berwarna
merah, bengkak dan menimbulkan rasa sakit pada permukaan mukosa rongga mulut,
lesi ini dikenal dengan denture stomatitis. Candida albicans dapat tumbuh pada suhu
37ºC dalam kondisi aerob dan anaerob. Gambaran makroskopis koloni Candida
albicans berwarna krem, agak mengkilat, dan halus. Pada kondisi anaerob Candida
albicans mempunyai waktu generasi yang lebih panjang yaitu 248 menit

dibandingkan dengan kondisi pertumbuhan aerob yang hanya 98 menit. Candida
albicans tumbuh baik pada media padat tetapi kecepatan pertumbuhan lebih tinggi

pada media cair pada suhu 37ºC. Pertumbuhan juga lebih cepat pada kondisi asam
dibandingkan dengan pH normal atau alkali. Pada media Potato Dextrose Agar
(PDA) Candida albicans berbentuk bulat atau oval yang biasa disebut dengan bentuk
mikroskopis berupa khamir dengan ukuran 3,5 - 6 x6-10 µm (Gambar 1) (Banting
dkk. 2001; Bhat V dkk. 2013; Kotrakulji 2008).

Gambar 2.1. Candida albicans pada Media Potato Dextrose Agar
Sumber : Maller US, Karthik KS, Maller SV. Candidiasis in
denture wearers – A literature review. JIADS 2010; 1(1)

2.3.1 Lapisan Biofilm pada Candida albicans
Kemampuan suatu mikroorganisme untuk mempengaruhi lingkungannya
tergantung pada kemampuan untuk membentuk suatu komunitas. Candida albicans
membentuk komunitasnya dengan membentuk ikatan koloni yang disebut biofilm,
sebagai pelindung sehingga mikroba yang membentuk biofilm biasanya mempunyai
resistensi terhadap antimikroba biasa atau menghindar dari sistem kekebalan sel
inang. Secara struktur, biofilm terbentuk dari dua lapisan yaitu lapisan basal yang
tipis berupa lapisan khamir dan lapisan luar yaitu lapisan hifa yang lebih tebal tetapi
lebih renggang (Cenci dkk. 2008; Banting dkk. 2001)
Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk

tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan
berkembang menjadi balstospora dan menghasilkan yeast yang akan membentuk
pseudohifa. Keberadaan pseudohifa pada Candida albicans yang ditemukan

merupakan indikator infeksi Candida. Hifa atau pseudohifa sering ditemukan sering
ditemukan pada pasien denture stomatitis daripada pasien yang menggunakan
gigitiruan tanpa denture stomatitis (Afrina 2007).
Berkembangnya biofilm biasanya seiring dengan bertambahnya infeksi klinis
pada sel inang sehingga biofilm ini dapat menjadi salah satu faktor virulensi dan
resistensi. Pembentukan biofilm dapat dipacu dengan keberadaan serum dan saliva
dalam lingkungannya. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan biofilm
Candida albicans diantaranya adalah ketersediaan udara. Pada kondisi anaerob,
Candida albicans dapat membentuk hifa tetapi tidak mampu membentuk biofilm

(Cenci dkk. 2008; Banting dkk. 2001).

2.3.2

Mekanisme Infeksi Candida albicans pada Permukaan Sel
Tahap pertama dalam proses infeksi Candida albicans ke tubuh manusia (sel

inang) adalah perlekatan (adhesi). Kemampuan melekat pada sel inang merupakan
tahap penting dalam kolonisasi dan penyerangan (invasi) ke sel inang. Bagian
pertama dari Candida albicans yang berinteraksi dengan sel inang adalah dinding sel.
Mekanisme perlekatan sendiri sangat dipengaruhi oleh keadaan sel tempat dinding sel
Candida albicans melekat (misalnya sel epitelium). Perlekatan dan kontak fisik

antara Candida albicans dan sel inang selanjutnya mengaktivasi mitogen activated
protein kinase (Map-kinase) yang dibutuhkan untuk perkembangan hifa dan lapisan

biofilm Candida albicans.
Tahap setelah perlekatan adalah invasi yang ditandai dengan terjadinya
perubahan khamir ke bentuk hifa (filamen). Perubahan bentuk khamir ke hifa sangat

dipengaruhi oleh lingkungan mikro sel inang yang terdeteksi oleh Candida albicans
selama proses invasi. Hifa Candida albicans mempunyai kepekaan untuk menempel
sehingga membantu dalam proses infiltrasi pada permukaan epitel selama invasi
jaringan. Kemampuan untuk merubah morfologi merupakan faktor penting dalam
menentukan infeksi dan penyebaran Candida albicans pada jaringan inang (Pintauli
2008). Candida albicans dapat melepaskan endoktoksin yang merusak mukosa mulut
dan menyebabkan terjadinya denture stomatitis. Denture stomatitis adalah inflamasi
pada mukosa mulut dengan bentuk utamanya atropik dengan lesi hiperplastik.
Faktor etiologi terjadinya denture stomatitis adalah multifaktorial, antara lain
Candida albicans sebagai agen etiologi primer, diikuti dengan plak, trauma,

pemakaian gigitiruan secara terus-menerus, oral hygene yang buruk, diet yang tidak
memadai, penggunaan antibiotik, dan kondisi sistemik. Faktor etiologi denture
stomatitis terbagi atas dua faktor yaitu faktor utama dan faktor predisposisi

(Campanha 2013).
Faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya denture stomatitis adalah:
1. Faktor gigitiruan
Denture stomatitis tidak akan terjadi tanpa adanya gigitiruan. Pemakaian

gigitiruan secara terus-menerus serta kebersihan gigitiruan yang tidak adekuat
menghasilkan akumulasi plak pada permukaan gigitiruan, sehingga terjadi infeksi
pada mukosa yang berkontak langsung dengan gigitiruan, hal inilah yang merupakan
tempat pertumbuhan yang ideal untuk jamur dan mikroorganisme lainnya. Denture
stomatitis lebih sering terjadi pada rahang atas daripada rahang bawah, karena pada

rahang bawah terdapat banyak kelenjar saliva mayor seperti kelenjar parotis,

submandibular, dan sublingualis, sehingga memberikan self cleansing effect serta
aktivitas antimikroorganisme yang lebih baik daripada rahang atas (Salermo dkk.
2011).
2. Faktor infeksi
Faktor infeksi yang disebabkan gigitiruan dapat menghasilkan sejumlah
perubahan ekologi yang memfasilitasi akumulasi daripada mikroorganisme dan
jamur. Spesies Candida , terutama Candida albicans telah diidentifikasi pada banyak
pasien denture stomatitis. Pasien denture stomatitis menunjukkan konsentrasi
Candida albicans yang tinggi di dalam mulut daripada individu sehat. Candida
albicans merupakan agen penyebab yang paling utama bagi terbentuknya denture
stomatitis dan terjadi sedikitnya 50% pada pemakai gigitiruan. Beberapa penelitian

terdahulu telah menemukan bahwa Candida albicans paling sering diisolasi dari
permukaan gigitiruan yang berkontak ke mukosa daripada mukosa yang terlibat itu
sendiri. Keberadaan Candida albicans akan mengubah lingkungan di rongga mulut
bersamaan dengan faktor etiologi dan predisposisi yang ada.
Faktor predisposisi denture stomatitis adalah (Campanha dkk. 2013):
1. Faktor sistemik yaitu umur, gangguan fungsi endokrin, malnutrisi,
neoplasia, gangguan imun, spektrum antibiotik yang luas.
2. Faktor lokal yaitu antimikroba dan topikal maupun kortikosteroid inhalasi,
diet tinggi karbohidrat, konsumsi tembakau dan alkohol, hiposalivasi, oral hygene
yang buruk, pemakaian gigitiruan pada malam hari.
Predisposisi gigitiruan pada infeksi dengan Candida albicans sebanyak 65%
pada orang tua yang memakai gigitiruan penuh pada rahang atas. Pemakaian

gigitiruan menghasilkan lingkungan mikro yang kondusif bagi pertumbuhan Candida
dengan oksigen yang rendah, pH yang rendah dan lingkungan anaerob. Hal tersebut
meningkatkan perlekatan spesies Candida albicans pada akrilik, mengurangi aliran
saliva di bawah permukaan gigitiruan, gigitiruan yang tidak stabil dan oral hyegene
yang buruk.
Candida albicans dapat melakukan penetrasi pada resin akrilik dan tumbuh

pada permukaan gigitiruan sehingga dapat menginfeksi jaringan lunak. Candida
albicans dapat melepaskan endoktoksin yang merusak mukosa mulut dan
menyebabkan terjadinya denture stomatitis. Permukaan gigitiruan mempunyai
porositas memungkinkan terjadinya perlekatan mikroorganisme dengan cara
menembus gigitiruan dan perlekatan kimia terjadi pada permukaan yang tidak rata.
Pada permukaan yang tidak dipolis yang kontak dengan mukosa merupakan tempat
proliferasi bagi Candida albicans yang akan menyebabkan terbentuknya plak. Plak
pada gigitiruan mengandung lebih dari 1011 mikroorganisme per gram berat basah.
Penelitian dengan menggunakan sinar dan mikroskop elektron menunjukkan bahwa
plak gigitiruan memiliki struktur yang sama dengan plak gigi. Flora mikrobial dasar
pada plak gigitiruan mirip dengan plak gigi, tetapi pada plak gigitiruan memiliki
jumlah Candida albicans lebih banyak. Plak gigi mulai terbentuk sebagai tumpukan
dan kolonisasi mikroorganisme pada permukaan enamel dalam 3-4 jam sesudah gigi
dibersihkan dan mencapai ketebalan maksimal pada hari ke tiga puluh. Pada awal
pembentukan plak, jenis mikroorganisme gram positif, terutama Streptococcus paling
banyak dijumpai. Setelah itu, berbagai jenis mikroorganisme lainnya masuk ke plak
gigi. Kebersihan rongga mulut dan gigitiruan merupakan faktor lokal pertama dalam

perkembangan denture stomatitis, dibandingkan dengan faktor-faktor lain seperti
jumlah saliva, umur pasien, dan umur gigitiruan. Oleh karena itu desinfeksi gigitiruan
merupakan faktor penting yang harus dilakukan (Uludamar dkk. 2010).
Denture stomatitis memiliki gambaran klinis berupa eritema difus dan

pembengkakan mukosa pada permukaan mukosa yang berkontak dengan gigitiruan.
Tanda dan gejala pada denture stomatitis disertai dengan perdarahan mukosa,
pembengkakan, rasa terbakar, halitosis, perasaan tidak nyaman, dan mulut kering.
Denture stomatitis berhubungan dengan angular selitis, atrofik glositis, kandidiasis

pseudomembran akut, dan kandidiasis hiperplastik kronis.
Denture stomatitis dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan klasifikasi

Newton, yaitu (Campanha dkk. 2013; Rao 2013):
1. Tipe 1 yaitu tahap inisial berupa ptechiae (bintik merah) terlokalisir atau
tersebar pada mukosa palatum (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Denture stomatitis tipe 1
Sumber : Rao PK. Ora candidiasis – A
review. Biological and Biomedical
Reports 2012; 2(2)

2. Tipe 2 yaitu terjadi eritema difus dan edema terbatas pada daerah mukosa

palatum yang ditutupi gigitiruan (tipe yang paling sering terjadi) (Gambar 2.3)

Gambar 2.3. Denture stomatitis tipe 2
Sumber : Rao PK. Ora candidiasis
– A review. Biological and
Biomedical Reports, 2012; 2(2)

3. Tipe 3 yaitu hiperplasia papila dengan eritema difus (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Denture stomatitis tipe 3
Sumber : Rao PK. Ora candidiasis
– A review. Biological and
Biomedical Reports 2012; 2(2)

Perawatan denture stomatitis disesuaikan dengan faktor etiologinya. Tujuan
utama perawatan denture stomatitis adalah (Campanha dkk. 2013):
- Untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor pencetus terkait
- Untuk mencegah penyebaran secara sistemik
- Untuk mengeliminasi ketidaknyamanan

- Untuk menurunkan level infeksi Candida
Karena faktor etiologi denture stomatitis multifaktorial, sehingga perawatan denture
stomatitis juga semakin kompleks. Beberapa rencana perawatan dapat digunakan,

diantaranya yaitu (Cenci dkk. 2008):
-

Memperbaiki gigitiruan yang menyebabkan trauma.
Gigitiruan yang tidak sesuai adalah faktor predisposisi terjadinya denture

stomatitis, sehingga memperbaiki adaptasi gigitiruan tersebut merupakan salah satu

penanganan denture stomatitis. Melepaskan gigitiruan pada malam hari juga
merupakan salah satu perawatan yang penting.
-

Terapi antifungal.
Terapi antifungal berperan menghambat jalur (enzim, substrat) yang penting

dalam proses sintesis membran sel atau mengubah permeabilitas membran sel pada
sel Candida , dan juga dapat mengubah metabolisme RNA dan DNA atau akumulasi
peroksida intraselular yang memberikan efek toksik pada sel Candida . Pengaruh
antifungal agen tergantung pada konsentrasi, dan penerimaan mukosa terhadap
antifungal agen. Topikal antifungal agen mempunyai respons mukosa kurang baik
karena penghapusan topikal antifungal agen akan larut terlalu cepat oleh aksi
pembilasan dari saliva, dan harus diaplikasikan berulang sehingga pasien terkadang
kurang menaati prosedur tersebut, sedangkan sistemik antifungal juga memiliki
kekurangan seperti harga yang lebih mahal daripada topikal antifungal agen, terdapat
beberapa efek samping dan interaksi obat, serta medikasi sistemik akan menyebabkan
lebih banyak spesies yang resisten. Dari beberapa hasil penelitian terdahulu, didapati

bahwa setelah pemberian terapi antifungal tidak lagi diberikan maka denture
stomatitis akan kambuh kembali.

- Oral hygiene yang baik
Prosedur

pemeliharaan

oral

hygiene

dapat

dilakukan

dengan

cara

membersihkan rongga mulut dengan kain kasa steril yang sudah dibasahi dengan air,
berkumur dengan larutan antiseptik, menyikat mukosa rongga mulut dengan sikat
yang lembut.
- Desinfeksi gigitiruan
Prosedur desinfeksi gigitiruan yang tepat dapat merawat dan mencegah
denture stomatitis terjadi dan kambuh kembali. Metode desinfeksi gigitiruan dapat

dilakukan secara mekanis, kemis, serta kombinasi keduanya.
-

Pembedahan
Pada kasus yang berat seperti tipe 3, dilakukan perawatan dengan pembedahan.

2.3.3

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Candida albicans
Candida albicans membentuk komunitasnya dengan membentuk ikatan

koloni yang disebut biofilm, sebagai pelindung sehingga mikroba yang membentuk
biofilm biasanya mempunyai resistensi terhadap antimikroba biasa atau menghindar
dari sistem kekebalan sel inang. Secara struktur, biofilm terbentuk dari dua lapisan
yaitu lapisan basal yang tipis berupa lapisan khamir dan lapisan luar yaitu lapisan hifa
yang lebih tebal tetapi lebih renggang. Berkembangnya biofilm biasanya seiring
dengan bertambahnya

infeksi

klinis pada sel inang sehingga biofilm ini dapat

menjadi salah satu faktor virulensi dan resistensi. Faktor-faktor yang mempengaruhi

distribusi Candida albicans di rongga mulut adalah (Tjampakasari 2011; Campanha
2013):
1.

Saliva
Gigitiruan yang dipasang di dalam rongga mulut akan berkontak dengan

saliva dan membentuk lapisan organik tipis yang disebut pelikel yang mengandung
protein yang dapat mengikat Candida albicans dan melekat pada permukaan
gigitiruan sehingga menyebabkan saliva pada pemakai gigitiruan tidak dapat mengalir
dengan baik.
2. pH
Jumlah Candida albicans pada pH normal (7,2-7,5) adalah kurang dari 100
koloni atau 300-500 mikroorganisme per milimeter saliva. Pemakaian gigitiruan
dapat menyebabkan pH antara permukaan gigitiruan yang berkontak dengan mukosa
bersifat lebih asam (pH 5,0-5,5) sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan Candida
albicans dalam rongga mulut.

3. Adhesi
Faktor yang dapat menyebabkan meningkatnya Candida albicans dalam
rongga mulut karena penutupan mukosa oleh basis gigitiruan dapat mengurangi efek
desinfeksi saliva, sehingga sisa makanan menumpuk dan meningkatkan prevalensi
mikroorganisme.
4. Kebersihan rongga mulut dan gigitiruan
Kebersihan rongga mulut juga harus dipelihara selain kebersihan gigitiruan.
Pada pemakai gigitiruan, kebersihan gigitiruan harus adekuat, karena Candida
albicans paling banyak ditemukan pada plak yang terdapat di gigitiruan resin akrilik.

Gigitiruan yang dipasang di rongga mulut, akan segera berkontak dengan saliva.
Gigitiruan kemudian akan mengabsorpsi sejumlah molekul saliva dan membentuk
lapisan organik tipis yang disebut pelikel. Selanjutnya pelikel ini akan segera
melapisi permukaan gigitiruan, dan salah satu bagian utama dari pelikel adalah
glikoprotein yang berperan sebagai tempat perlekatan dan kolonisasi mikroorganisme
dalam mulut dan melekat pada permukaan gigitiruan. Mikroorganisme ini akan
berkolonisasi dengan mikroorganisme lain dan berkembang biak membentuk biofilm
pada permukaan gigitiruan yang disebut plak, sehingga sangat dianjurkan desinfeksi
gigitiruan dan rongga mulut yang dapat menyingkirkan plak secara menyeluruh.

2.3.4

Penghitungan Candida albicans
Candida albicans dapat tumbuh pada media yang terdiri dari garam, karbon

(misalnya glukosa), nitrogen (misalnya garam amonia) dan phospat serta memerlukan
persyaratan adanya biotin. Candida albicans ini akan tumbuh pada temperatur 20o40oC dan pada pH antara 2-8. Pemeriksaan Candida albicans dapat dibagi menjadi
pemeriksaan langsung, yang dilakukan dengan pewarnaan gram yang akan terlihat sel
ragi, blastospora, atau hifa semu dan pemeriksaan biakan, yang dilakukan dengan
menggunakan Potato dextrose agar (PDA) dan diinkubasi pada suhu 37oC dalam
inkubator selama 24-48 jam. Koloni yang terlihat berupa yeast like colony. Koloni
Candida diidentifikasi jika ada koloni halus seperti pasta yang berwarna krem serta

mempunyai bau ragi.
Teknik pengambilan koloni Candida dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu (Silva dkk. 2012):

a. Swab (ulas), dilakukan menggunakan cotton bud steril pada sampel yang
memiliki permukaan luas dan umumnya sulit dipindahkan. Caranya dengan
mengapuskan cotton bud secara memutar sehingga seluruh permukaan kapas dari
cotton bud kontak dengan permukaan sampel. Swab akan lebih baik jika cotton
bud dicelupkan terlebih dahulu ke dalam larutan atraktan. Swab dilakukan jika

kultur dibutuhkan.
b. Rinse (bilas) ditujukan untuk melarutkan sel-sel mikroba yang menempel pada
permukaan substrat yang luas.
c. Smear , didapatkan dengan hapusan pada lesi menggunakan spatula atau tongue
blade dan hasilnya langsung diaplikasikan pada glass slide.

d. Biopsi, dilakukan jika hasil pengamatan secara histopatologi mengarah ke
leukoplakia.
Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan cara viable count atau
disebut juga sebagai standart plate count didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel
mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni setelah
diinkubasikan dalam media biakan dan lingkungan yang sesuai. Setelah masa
inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan merupakan perkiraan atau dugaan
dari jumlah mikroorganisme dalam suspensi tersebut.
Perhitungan jumlah mikroorganisme hidup (viable count) adalah jumlah
minimum mikroorganisme. Hal ini disebabkan koloni yang tumbuh pada lempengan
agar merupakan gambaran mikroorganisme yang dapat tumbuh dan berbiak dalam
media dan suhu inkubasi tertentu. Media biakan dan lingkungan pertumbuhan dapat
diatur sehingga hanya mikroorganisme tertentu saja yang tumbuh. Metode seleksi ini

lazim digunakan untuk mengisolasi mikroba patogen dalam air, makanan, dan
spesimen penyakit.
Koloni yang tumbuh tidak selalu berasal dari satu sel mikroorganisme, karena
beberapa mikroorganisme tertentu cenderung untuk berkelompok atau berantai. Bila
ditumbuhkan pada media dan lingkungan yang sesuai kelompok mikroorganisme ini
hanya akan menghasilkan satu koloni. Berdasarkan hal tersebut seringkali digunakan
istilah colony forming units (CFU/ml) untuk penghitungan jumlah mikroorganisme
hidup.
Sebaiknya hanya lempengan agar yang mengandung 30-300 koloni saja yang
digunakan dalam perhitungan. Lempengan agar dengan jumlah koloni yang tinggi (>
300 koloni) sulit untuk dihitung sehingga kemungkinan kesalahan perhitungan sangat
besar. Pengenceran sampel membantu untuk memperoleh perhitungan jumlah yang
benar, namun pengenceran yang terlalu tinggi akan menghasilkan lempengan agar
dengan jumlah koloni yang rendah (< 30 koloni). Lempengan demikian tidak absah
secara statistik untuk digunakan dalam penghitungan. Dalam penghitungan
mikroorganisme seringkali diperlukan pengenceran, tetapi hal tersebut biasa
dilakukan untuk kelompok kontrol, dan tidak dilakukan untuk kelompok perlakuan.
Pada teknik agar tuang (standart plate count) dilakukan pengenceran dengan
menggunakan sejumlah botol pengencer yang diisi air akuades steril. Agar cair
didinginkan sampai suhu sekitar 440C dan kemudian dituang ke cawan petri. Setelah
agar membeku cawan dieramkan selama 24-48 jam (370C). Lempengan yang dapat
digunakan dalam penghitungan mikroorganisme ialah lempengan yang mengandung

30-300 koloni. Jumlah mikroorganisme per milimeter ialah jumlah koloni dikalikan
faktor pengencer (Washington 2007).
Perbandingan jumlah koloni Candida albicans sebelum dan sesudah
perlakuan yang diberikan kepada sampel dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya (Attwa dkk. 2012; Srinavasan dkk. 2010):
a) Menggunakan penghitungan selisih jumlah koloni

CFU (Setelah) – CFU (Sebelum)
X
100%
CFU (Sebelum)
b) Menggunakan skor untuk hasil penghitungan jumlah koloni

2.4

Skor 0

: Tidak dijumpai adanya koloni Candida

Skor I

: 100,000 CFU

Metode Desinfeksi Gigitiruan
Pentingnya mempertahankan kebersihan dan kesehatan rongga mulut yang

baik masih kurang diketahui oleh pemakai gigitiruan. Sisa-sisa makanan,
mikroorganisme, plak dan kalkulus dapat melekat pada gigitiruan bila tidak
dibersihkan dengan baik. Plak pada gigitiruan merupakan penyebab utama terjadinya
inflamasi pada jaringan lunak mulut. Plak pada permukaan gigitiruan yang
menghadap ke jaringan lunak merupakan faktor pendukung dalam patogenesis

denture stomatitis.

mikroorganisme,

Sebagian besar penyebab inflamasi jaringan lunak adalah

sehingga

desinfeksi

gigitiruan

merupakan

suatu

prosedur

pencegahan yang penting untuk mengurangi inflamasi tersebut.
Terdapat 3 metode desinfeksi gigitiruan, yaitu (Campos dkk. 2009):
1. Desinfeksi gigitiruan secara mekanis dapat dilakukan dalam 2 cara,
yaitu dengan menggunakan sikat gigi dan menggunakan alat ultrasonic cleanser .
2. Desinfeksi gigitiruan secara kemis dapat dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu menggunakan natrium hipoklorit, asam seperti vinegar , effervescent,
klorheksidin dan energi microwave.
3. Kombinasi kedua-duanya dimana cara desinfeksi secara mekanis dan
kemis digunakan bersamaan. Misalnya, kombinasi sikat gigi dengan effervescent,
kombinasi sikat gigi dengan asam, kombinasi sikat gigi dengan energi microwave dan
sebagainya.

2.4.1

Energi Microwave Sebagai Alternatif Desinfeksi Gigitiruan
Microwave oven atau yang dikenal sebagai microwave adalah suatu alat yang

menggunakan iradiasi gelombang mikro (frekuensi 2450 Mhz) untuk memanaskan
suatu benda (dalam hal ini adalah makanan). Alat ini menggunakan gelombang
elektromagnetik dengan batas frekuensi antara 1.000 MHz hingga 300.000 MHz dan
batas panjang gelombang diantara infra merah dan gelombang radio (1 – 30cm).
Microwave merupakan suatu gelombang elektromagnetik seperti gelombang cahaya,

energi gelombang ini tidak dapat dilihat mata karena panjang gelombangnya
(walaupun sangat kecil dibanding gelombang radio) jauh lebih besar dari panjang

gelombang cahaya (di luar spektrum sinar tampak). Keduanya sama-sama terdapat
dalam spektrum gelombang elektromagnetik. Panjang gelombang cahaya berkisar
antara 400-700 nm (1 nm = 10-9 m); sedangkan kisaran microwave sekitar 1-30 cm (1
cm = 10-2 m). Microwave bergerak dalam garis lurus dengan kecepatan cahaya
(186,282 miles/sec) (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Medan Magnet dan Medan Elektrik Sebuah Gelombang
Elektromagnetik
Sumber : Chandra U. Microwave heating. Croatia, 2011; Intech

Energi ini juga digunakan dalam komunikasi, radar dan microwave oven.
Energi microwave diserap oleh air dan makanan, tetapi logam memantulkan energi
microwave, karena bahan logam akan melakukan reiradiasi energi microwave. Metal

merupakan konduktor panas yang baik, tetapi pecahan energi microwave akan
diabsorpsi dan dengan cepat dipantulkan kembali karena molekul bahan logam yang
tersusun sangat rapat sehingga tidak bisa ditembus oleh energi microwave. Di dalam
setiap microwave terdapat beberapa komponen utama, salah satunya adalah
magnetron (Gambar 2.6).

Gambar 2.6. Bagian-bagian dari Magnetron
Sumber : Chandra U. Microwave
heating. Croatia 2011;
Intech

Microwave diemisikan oleh magnetron untuk menggerakkan molekul

sehingga meningkatkan panas dari zat tersebut. Magnetron adalah sejenis tabung
hampa penghasil microwave. Fungsi magnetron adalah memancarkan microwave ke
dalam ruang pemanas microwave (Gambar 2.6). Sebagai gelombang elektromagnetik,
microwave yang menjalar membawa energi yang cukup untuk memanaskan cairan

pada makanan. Microwave yang dipancarkan magnetron ke dalam ruang microwave
akan terperangkap di dalamnya karena terlindung oleh dinding ruang microwave yang
terbuat dari logam, selanjutnya apabila microwave mengenai cairan, maka microwave
ini akan diserap oleh cairan tersebut. Sebagai gelombang elektomagnetik, microwave
membawa medan listrik dan medan magnet. Molekul-molekul air memiliki dua buah
muatan di kedua ujungnya, yaitu positif dan negatif. Gaya listrik yang diakibatkan
medan listrik microwave akan memutar molekul - molekul air hingga molekul molekul air tersebut dapat bergerak. Bergeraknya molekul-molekul air ini disebabkan
karena air adalah fluida. Pergerakan ini kemudian menyebabkan molekul-molekul air

saling bertubrukan. Tubrukan-tubrukan inilah yang akan meningkatkan suhu molekul
air, yang kemudian meningkatkan suhu makanan secara keseluruhan. Ruangan di
dalam microwave walaupun mengandung uap air akibat penguapan cairan tidak
menjadi panas, karena uap air memiliki kerapatan yang jauh lebih rendah di banding
air, sehingga tidak terjadi tubrukan antara molekul air (Vollmer dkk. 2004; Chandra
2011).

Gambar 2.7. Komponen Utama Microwave
Sumber : Chandra U. Microwave heating. Croatia, 2011
; Intech

Zat lain yang juga akan menyerap panas microwave adalah gula, garam dan
lemak. Microwave pada frekuensi ini tidak diserap oleh bahan-bahan gelas, keramik,
dan sebagian jenis plastik. Bahan logam bahkan memantulkan microwave karena
kerapatan molekul logam lebih rapat dibanding panjang microwave, tetapi
alumunium foil yang tipis masih dapat ditembus oleh gelombang mikro, hal ini dapat
dimanfaatkan untuk memasak makanan yang banyak mengandung air atau lemak
yang lebih mudah panas agar tidak cepat gosong. Iradiasi (pancaran gelombang) ini
berinteraksi dengan molekul bahan yang di paparkan dengan microwave. Semua
gelombang energi juga mempunyai perubahan polaritas (kutub) positif dan negatif

dalam setiap gelombangnya. Pada microwave, perubahan polaritas ini terjadi jutaan
kali dalam setiap detiknya, dan microwave membutuhkan daya listrik kurang lebih
1000 watt, yang menyebabkan microwave keluar dari tabung magnetron, dan
memanaskan bahan yang dipaparkan di microwave, sedangkan bahan itu sendiri juga
memiliki unsur terkecil disebut molekul dengan polaritas positif dan negatif.
Microwave menyebabkan polaritas molekul bahan untuk berotasi dengan hitungan

jutaan per detik. Pemanasan alami yang tepat akan tergantung pada apakah bahan itu
terdiri dari molekul yang berbeda, pasangan molekul polar atau perluasan pola
molekul.
Energi microwave dikategorikan sebagai desinfeksi kimia. Hal tersebut karena
adanya percepatan laju reaksi yang dihasilkan oleh microwave. Percepatan laju reaksi
dipelajari pada cabang ilmu kimia fisik yaitu pada kinetika kimia. Microwave akan
mentransfer energi dalam 10-9 detik pada setiap siklus gelombang elektromagnetik.
Relaksasi kinetik molekul adalah 10-5 detik. Maknanya bahwa energi yang ditransfer
lebih cepat daripada relaksasi kinetik molekul. Hal tersebut menyebabkan pemanasan
yang dihasilkan dari tabrakan antarmolekul yang membuat energi rotasi dikonversi
menjadi energi termal, menghasilkan sumber panas yang lebih efektif daripada
pemanasan konvensional. Hanya bahan yang dapat mengabsorpsi iradiasi microwave
yang sesuai dengan proses tersebut. Bahan tersebut dikategorikan berdasarkan tiga
mekanisme pemanasan, yaitu (Chandra 2011; Taylor 2005):
a. Polarisasi dipolar
Polarisasi dipolar merupakan sebuah proses dimana panas dihasilkan dalam
molekul polar. Pada paparan gerakan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi

yang sesuai, molekul polar akan mengikuti gelombang tersebut dan menyesuaikan
diri pada gelombang tersebut, namun karena daya intermolekul, molekul polar akan
mengalami kelemahan dan tidak dapat sepenuhnya mengikuti gelombang
elektromagnetik. Hal tersebut akan mengakibatkan pergerakan molekul secara acak
dan pergerakan acak ini yang akan menghasilkan panas. Polarisasi dipolar dapat
menghasilkan panas melalui salah satu mekanisme di bawah ini:
-

Interaksi antara pelarut molekul polar seperti air, metanol, dan etanol

-

Interaksi antara cairan molekul polar seperti ammonia dan asam formik

Hal terpenting untuk polarisasi dipolar adalah batas frekuensi dari pergerakan
gelombang elektromagnetik harus sesuai sehingga didapatkan interaksi yang adekuat
antar partikel. Jika batas frekuensi sangat tinggi, daya antar molekul akan
menghentikan pergerakan molekul polar, sebelum molekul polar mencoba mengikuti
gelombang elektromagnetik, menyebabkan interaksi antara partikel molekul yang
inadekuat. Selain itu, jika batas frekuensi rendah, molekul polar mendapatkan waktu
yang cukup untuk menyesuaikan diri agar menyatu dengan gerakan gelombang
elektromagnetik tersebut, sehingga tidak ada interaksi acak yang terjadi antar partikel
molekul polar. Iradiasi microwave mempunyai frekuensi yang sesuai (0,3-30 GHz)
untuk partikel polar bergerak dan memungkinkan interaksi antar partikel. Sebagai
tambahan, energi dalam foton microwave (0,037 kcal/mol) sangat rendah
dibandingkan e

Dokumen yang terkait

Pengaruh Perendaman Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas dalam Ekstrak Bonggol Nanas Queen dan Rebusan Daun Sirih terhadap Pertumbuhan Candida albicans

17 124 105

Perbedaan Kekuatan Impak Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas dengan Termoplastik Nilon

4 44 64

Perubahan Kekerasan Resin Akrilik Heat-Cured Setelah Perendaman Dalam Larutan Cuka Apel

8 91 63

Perubahan Kekerasan Resin Akrilik Setelah Perendaman Dalam Larutan Desinfektan Sodium Hypochlorite 0,5%

10 78 62

Modifikasi Jembatan Sementara Resin Akrilik Untuk Pemakaian Jangka Panjang

0 63 55

Pengaruh Desinfeksi Gigitiruan dengan Energi Microwave dan Larutan Kumur Klorheksidin terhadap Jumlah Candida albicans pada Pemakai Gigitiruan Penuh Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 1 24

Pengaruh Desinfeksi Gigitiruan dengan Energi Microwave dan Larutan Kumur Klorheksidin terhadap Jumlah Candida albicans pada Pemakai Gigitiruan Penuh Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 1 4

Pengaruh Desinfeksi Gigitiruan dengan Energi Microwave dan Larutan Kumur Klorheksidin terhadap Jumlah Candida albicans pada Pemakai Gigitiruan Penuh Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 11

Pengaruh Desinfeksi Gigitiruan dengan Energi Microwave dan Larutan Kumur Klorheksidin terhadap Jumlah Candida albicans pada Pemakai Gigitiruan Penuh Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 5

Pengaruh Desinfeksi Gigitiruan dengan Energi Microwave dan Larutan Kumur Klorheksidin terhadap Jumlah Candida albicans pada Pemakai Gigitiruan Penuh Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 6