Studi Preferensi Kepinding Tanah Scotinophara coarctata Fabricius (Hemiptera: Pentatomidae) Terhadap Beberapa Varietas Dan Umur Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA
Kepinding Tanah Scotinophora coarctata, Fabricius (Hemiptera : Pentatomidae)
Biologi
Secara umum terdapat dua spesies kepinding tanah pada ekosistem padi di
Asia, yaitu kepinding tanah Malaya atau Scotinophara (=Podops) coarctata dan
kepinding tanah Jepang Scotinophara (=Podops) lurida . Banyak spesies yang
mirip kedua kepinding tanah tersebut, tetapi keberadaannya jarang mencapai
jumlah yang melimpah.
Selain memiliki nama Rice Black Bug (RBB), kepinding tanah juga
memiliki nama lain yaitu Malaysian Black Bug, Japanese Black Bug dan NodeFeeding Black Bug. Di Malaysia dikenal dengan nama kutu bruang, sedangkan di

Filipina disebut i tim na atangya . Hingga saat ini, telah dilaporkan terdapat 42
jenis RBB (Miyamoto et al. 1983 dalam Tores et al., 2010b). Di Filipina baru 24
spesies yang telah diklasifikasi dan selanjutnya dikelompokkan ke dalam 4 group
yaitu – tarsalis, serrata , lurida , dan coarctata . 19 jenis diantaranya adalah jenis
baru dan bersifat endemik di Filipina (Barrion et al., 2007 dalam Torres et al.,
2010c).
Telur S. coarctata berbentuk lonjong, berwarna merah jambu kehijauhijauan dengan ukuran 1 mm. Telur diletakkan berkelompok pada pangkal
rumpun padi dengan jumlah 40–60 butir per kelompok. Stadium telur 4-7 hari
(Deptan, 2007b). Menurut Kalshoven (1981), jumlah telur per kelompok adalah
30 butir dan akan menetas setelah 7 hari.

Nimfa berwarna coklat kekuningan, tidak bersayap, stadium nimfa 20-30
hari (Deptan, 2007b). Nimfa S. coarctata berada pada pangkal tanaman pada

Universitas Sumatera Utara

siang hari dan aktif pada malam hari. Seperti halnya dewasa, nimfa juga aktif
melakukan penghisapan pada pangkal batang padi (Suharto, 2007).

a

b

c

d

Gambar 1 : (a). S. coarctata dewasa, (b). S. coarctata dewasa melindungi
telurnya, (c) serangga muda instar awal (d). serangga muda.
Imago berbentuk oval dengan ukuran


7-10 mm (Kalshoven, 1981),

berwarna coklat kehitaman dan apabila terganggu berbau khas yang menyengat
(Gambar 1a). Menurut Deptan (2013), S. coarctata dewasa akan bertelur 12-17
hari setelah kawin, selanjutnya serangga betina akan menjaga kelompok telurnya
(Gambar 1b). Nimfa yang baru menetas berukuran sangat kecil (1c). Nimfa aktif
menghisap tanaman dari pangkal batang padi yang terdekat (1d).
Siklus hidup S. coarctata bervariasi dan banyak yang belum diketahui
(Kalshoven, 1981). Umur imago 4-7 bulan hal ini tergantung umur tanaman
inang, makin tua tanaman, serangga makin berkembang dengan baik. Total siklus
hidup di laboratorium di Malaysia yaitu 33 – 41 hari, namun siklus hidup dapat
lebih panjang pada daerah yang kering (Kalshoven, 1981).

Universitas Sumatera Utara

S. coarctata dewasa mampu hidup dan berkembangbiak selama 2 musim.
Dalam satu musim tanam, S. coarctata dapat berkembang biak dalam beberapa
generasi (Kalshoven, 1981; Barion et al., 2007).
Perilaku
Pada siang hari S. coarctata dewasa tidak terlalu aktif dan menghindari

cahaya. Kepinding dewasa akan bergerombol di pangkal batang padi, persis di
batas genangan air (lebih menyukai keadaan basah dan lembab). Pada kondisi
sawah yang kering, pada siang hari kepinding tanah akan bersembunyi di retakan
tanah sawah (Kalshoven, 1981; Deptan 2007b).
Pada malam hari, S. coarctata akan naik ke batang padi dan mengisap
cairan dari dalam jaringan tanaman. Dalam kondisi cuaca baik terutama saat
terang bulan, dewasa terbang ke pertanaman lain dalam jumlah besar. Migrasinya
kepinding tanah ke tempat yang sangat jauh pada malam hari dapat disebabkan
karena tertarik pada lampu (Kalshoven, 1981; Barion et al., 2007).
S. coarctata menyukai tanaman yang dipupuk nitrogen dosis tinggi

(Gallagher et al., 2002 dalam Kartohardjono et al., 2009). Selain tanaman padi,
inang lain S. coarctata yaitu Panicum sp., jagung, Scleria sp., Scirpus dan padi
liar. Menurut Suharto (2007), inang alternatif yang lain adalah Hibiscus esculenta,
Colocasia esculenta, Vigna unguilata.

Saat setelah panen, S. coarctata mampu bertahan pada sisa pertanaman
yang terdapat di sawah ataupun pada berbagai jenis gulma sawah. Bila lingkungan
dan makanan tidak menguntungkan, kepinding tanah akan mengalami fase
dorman. Selanjutnya akan aktif kembali setelah mendapatkan tanaman inang baru.

(Barion et al., 2007).

Universitas Sumatera Utara

Matteson (2000 dalam Kartohardjono et al., 2009), mengemukakan bahwa
pola iklim yang tidak normal menyebabkan terjadinya migrasi hama S. coarctata
sehingga menyebabkan ledakan hama.
Penyebaran
Sebaran S. coartata meliputi negara-negara Asia seperti Banglades,
Myanmar, India, Indonesia, Jepang, Kamboja, Malaysia, Nepal, Pakistan,
Filipina, Srilangka, Thailand dan Vietnam. Menurut Magsino (2009), S. coarctata
pertama kali ditemukan di Indonesia tahun 1903 kemudian menyebar ke Malaysia
tahun 1918, Thailand tahun 1933, Vietnam tahun 1975, India tahun 1977.
Selanjutnya menyebar ke Filipina tahun 1979 dan ke Sinegal tahun 1980.
Kerusakan
Nimfa dan imago menghisap cairan tanaman pada batang sehingga
mengakibatkan tanaman menjadi kerdil dengan daun-daun berubah warna menjadi
coklat kemerahan atau kuning (Suharto, 2007). Buku (ruas) pada batang padi
merupakan tempat hisapan yang disukai S. coarctata karena menyimpan banyak
cairan (Deptan, 2007b).


Gambar 2 : (a). Gejala kerusakan ringan (b). Gejala kerusakan berat, tanaman
mengalami bugburn.
Menurut Pathak dan Khan (1994), serangan yang berat oleh S. coarctata
selama fase pembentukan anakan akan mematikan tunas dan menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

kematian anakan muda. Selanjutnya tanaman padi menunjukkan gejala kerdil,
menguning, klorotik, dengan anakan yang sedikit (Gambar 2a). Serangan
kepinding tanah yang terjadi setelah fase bunting tanaman, akan mengakibatkan
tanaman menghasilkan malai yang kerdil, eksersi malai yang tidak lengkap, dan
gabah hampa. Dalam kondisi populasi kepinding tinggi, tanaman yang dihisap
dapat mati atau mengalami bugburn (Gambar 2b), seperti hopperburn oleh
wereng coklat (Pathak dan Khan, 1994; Deptan, 2007b).
Penerapan PHT untuk Pengendalian S. coarctata
S. coarctata merupakan hama yang sulit dikendalikan secara partial hanya

dengan satu metode saja. Menurut Cuaterno (2011) bahwa mengeradikasi S.
coarctata di lapangan sangat sulit dilakukan, sebab S. coarctata merupakan


serangga yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap berbagai
kondisi lingkungan, memiliki kemampuan hidup dan bertahan dalam jangka
waktu yang panjang pada kondisi tidak tersedia makanan, serta memiliki inang
alternatif yang cukup banyak.

Oleh karena itu, satu-satunya alternatif

pengendalian S. coarctata adalah dengan penerapan Pengendalian Hama Terpadu
(PHT).
Salah satu prinsip dasar PHT adalah pemantauan lahan secara berkala
(Untung, 2000). Menurut Suharto (2007), bahwa pemantauan hama S. coarctata
dilakukan awal masa tanam sampai akhir masa pembungaan dengan interval
pengamatan satu minggu. Metode pemantauan dilakukan dengan cara
pengambilan sampel tanaman secara acak melintang (diagonal). Pada satu petak
pengamatan seluas + 400 m2 atau tergantung dengan luasan petak alami sawah,
dapat diamati sebanyak 20 sampel tanaman (Deptan, 2007b).

Universitas Sumatera Utara


Kepadatan populasi S. coarctata sangat berpengaruh terhadap besarnya
serangan hama tersebut pada tanaman padi. Infestasi awal S. coarctata pada
tanaman yang lebih muda menimbulkan kerusakan tinggi. Semakin awal infestasi
semakin berkurang produksi yang dihasilkan (Suharto, 1985 dalam Kartohardjono
et al., 2009). Penurunan hasil padi pada infestasi stadia anakan (30 hst) pada

kepadatan 25–75 ekor/rumpun produksi akan berkurang antara 51–71%.
Sedangkan infestasi pada stadia tanaman generatif dengan kepadatan 25–75
ekor/rumpun, produksi berkurang antara 37–48%. Pada serangan berat dapat
menurunkan produksi 60-80%. Deptan (2013), menyebutkan terdapatnya populasi
10 ekor imago per rumpun dapat mengakibatkan kehilangan hasil mencapai 35%.
Perkembangan populasi S. coarctata pada tanaman padi sawah diawali
dengan munculnya serangga dewasa pada saat tanaman umur 2–3 minggu setelah
tanam. Populasi tinggi pada musim hujan yang merupakan populasi migrasi yang
berasal dari rerumputan atau gulma yang tumbuh di daerah basah atau lembab
atau dari tanaman padi yang sudah dipanen apabila pola tanamnya tidak
serempak. Populasi meningkat sejalan dengan perkembangan tanaman padi,
sehingga puncak populasi S. coarctata pada tanaman padi akan dicapai pada saat
menjelang panen (Kartohardjono et al., 2009)
Penerapan PHT untuk pengendalian hama S. coarctata pada tanaman padi,

dengan menerapkan cara-cara sebagaimana berikut ini, baik secara tunggal
maupun secara kombinasi yang saling kompatibel.
Pengendalian Kultur Teknis
Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan dengan pengelolaan
tanah atau pembajakan tanah segera setelah panen untuk mematikan telur, nimfa,

Universitas Sumatera Utara

dan serangga dewasa yang tinggal pada pangkal tanaman padi. Pengeringan lahan
dapat menghambat perkembangan S. coarctata .

Upaya lain adalah dengan

melakukan pemupukan pada tanaman yang terserang ringan agar tanaman mampu
mengkompensasi serangan (Deptan, 2007b). Menurut Barrion et al. (2007) upaya
pengendalian S. coarctata dapat dilakukan juga dengan menanam varietas padi
berumur genjah, untuk menghambat peningkatan populasi S. coarctata .
Menurut Magsino (2007), pengendalian yang paling efektif terhadap hama
S. coarctata adalah dengan menanam tanaman yang bukan inangnya, atau paling


minimal melakukan rotasi tanaman. Rotasi tanaman untuk daerah yang tidak
endemik bisa dilakukan dengan rotasi antar varietas. Namun di daerah yang
endemik untuk memutus siklus hidup S. coarctata dilakukan rotasi antar tanaman
misalnya dengan sayuran ataupun merotasi tanaman padi dengan kacangkacangan.
Pengaturan air juga sangat penting hubungannya untuk mengendalikan
populasi S. coarctata . Menurut Magsino (2007), untuk pengendalian S. coarctata
disarankan pengairan dilakukan secara berselang (intermiten).
Sanitasi lahan dan lingkungan dari tumbuhan inang lainnya seperti
rumput-rumputan, dapat menghambat perkembangan S. coarctata . Menurut
Barrion et al. (2007), membersihkan lahan dari berbagai gulma bertujuan agar
sinar matahari dapat mencapai dasar kanopi tanaman padi, sehingga kelembaban
dapat berkurang dan suhu pada dasar kanopi padi meningkat. Kondisi ini tidak
disukai oleh S. coarctata .
Selain metode pengendalian di atas, hal yang penting dalam pengelolaan
hama terpadu pada tanaman adalah dengan pengelolaan agroekosistem yang baik.

Universitas Sumatera Utara

Pengelolaan agroekosistem yang baik, direncanakan sesuai dengan stadia tumbuh
tanaman padi. Menurut Deptan (2007b), pengelolaan agroekosistem untuk

pengendalian hama S. coarctata adalah sebagai berikut :
-

Pratanam dan pengolahan tanah
Pengelolaan ekosistem dilakukan dengan cara pembersihan lahan dan
pengolahan tanah segera setelah panen. Pengolahan tanah segera, bertujuan
untuk mematikan telur, nimfa dan dewasa yang berada pada pangkal batang
padi.

-

Persemaian
Upaya yang dapat dilakukan pada saat persemaian adalah dengan pemantauan
menggunakan lampu perangkap. Diharapkan dengan adanya lampu perangkap,
dapat mengurangi populasi awal S. coarctata sehingga tidak meletakkan telur
pada semai. Sehingga pada akhirnya, diharapkan populasi S. coarctata tidak
berkembang pada pertanaman.

-


Tanaman muda (tanam hingga anakan maksimum)
Pada saat tanaman muda, pengurangan populasi S. coarctata di lapangan dapat
dilakukan dengan menggembalakan itik ke lahan sawah, atau dapat juga
dilakukan dengan memelihara ikan pada lahan sawah.

-

Tanaman tua hingga pematangan bulir
Keberadaan S. coarctata pada tanaman tua, tidak menyebabkan kerusakan
pada tanaman padi. Namun demikian, pemantauan rutin pada daerah endemik
atau daerah-daerah drainase yang kurang baik tetap perlu dilakukan.

Pengendalian Secara Hayati

Universitas Sumatera Utara

Beberapa jenis musuh alami hama S. coarctata yaitu parasitoid telur dari
famili Scelionidae (Deptan, 2007b). Cuarterno (2011), menyarankan untuk
menggunakan parasitoid Telenomus triptus. Parasitoid ini sangat agresif
memarasit telur S. coarctata , dan keberadaannya di lapangan sering berlimpah.
Hanya saja, parasitoid ini sangat rentan terhadap insektisida kimia, sehingga
penggunaan parasitoid Telenomus tidak kompatibel dengan bahan kimia.
Di alam, predator bagi kepinding tanah yaitu kumbang Carabidae
(pemangsa telur, nimfa dan dewasa), serta katak dan kadal yang dapat berperan
sebagai pemangsa nimfa dan dewasa (Deptan, 2007b). Pengendalian juga dapat
memanfaatkan bebek sebagai predator imago S. coarctata dengan cara
melepaskan bebek pada lahan persawahan.
Pemanfaatan entomopatogen yang dianjurkan adalah Beauveria bassiana
dan Metarrhizium anisoplae (Deptan, 2007b). Penggunaan M. anisoplae sebagai
agen hayati di lapangan cukup efektif, mengingat M. anisoplae merupakan salah
satu cendawan entomopathogen yang biasanya sudah terdapat di lapangan secara
alami

(Cuaterno,

2011). Penggunaannya dapat

dilakukan

dengan cara

mengekstraksi S. coarctata yang terpapar Metharrizium kemudian dilarutkan ke
dalam air dan disemprotkan pada pertanaman yang terserang S. coarctata .
Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi, dengan menggunakan insektisida dalam
PHT merupakan alternatif terakhir (Untung, 2000).

Penggunaan insektisida

dilakukan apabila populasi hama telah mencapai ambang ekonomi. Ambang
ekonomi S. coarctata adalah apabila telah mencapai kerusakan 5%, bahkan di
Malaysia disarankan satu ekor serangga/rumpun (Suharto, 2007). Menurut Deptan

Universitas Sumatera Utara

(2007b), ambang ekonomi S. coarctata adalah 30 ekor/rumpun pada tanaman
berumur < 30 hari setelah tanam. Ambang ekonomi S. coartata di Indonesia ini
kemudian dikoreksi oleh Deptan (2013) menjadi 5 ekor nimfa atau imago/rumpun
pada tananaman muda sampai dengan anakan maksimum.
Adanya perbedaan ambang ekonomi antar peneliti ataupun antar lokasi
adalah suatu hal yang wajar, karena ambang ekonomi bersifat dinamis. Menurut
Untung (2000), banyak faktor yang mempengaruhi ambang ekonomi hama, antara
lain harga saprodi, upah tenaga kerja disuatu wilayah dan nilai jual produk.
Penggunaan insektisida jenis larutan dengan aplikasi penyemprotan lebih
efektif daripada penggunaan insektisida jenis granular (Suharto, 2007).
Penyemprotan diarahkan langsung ke bagian pangkal tanaman. Menurut Deptan
(2007b) insektisida yang dapat digunakan untuk pengendalian S. coarctata secara
kimia adalah insektisida yang berbahan aktif BPMC dan MICP.
Mekanisme Ketahanan Tanaman
Ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit merupakan salah satu
karakter unggul dari suatu varietas tanaman. Usaha untuk mendapatkan varietas
tanaman dengan karakter tahan terhadap hama terus dilakukan sebagai solusi
untuk pengendalian hama terpadu yang ramah lingkungan. Pada dasarnya
pengendalian hama menggunakan varietas unggul tahan hama tidak mencemari
lingkungan. Perakitan tanaman yang resisten terhadap hama tertentu dapat
mengurangi secara signifikan penggunaan pestisida dan biaya perawatan
(Carpenter dan Gianessi, 2001 dalam Goenadi dan Isroi, 2003).
Penggunaan varietas tahan untuk pengendalian hama telah menunjukkan
kesuksesan, misalnya Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW) untuk

Universitas Sumatera Utara

pengendalian wereng coklat pada padi, jagung Bt dan kapas Bt, yaitu tanaman
yang telah memiliki gen Cry IA yang mematikan jenis hama tertentu. Namun,
tidak semua hama mempunyai varietas tahannya, dan jika pun ada, jumlah plasma
nutfah yang mengandung gen tahan sangat terbatas (Amirhusin, 2004).
Menurut Liu et al. (2000) dan Witcombe dan Hash (2000), beberapa
keuntungan menggunakan varietas resisten dalam pengendalian hama antara lain:
(1) mengendalikan populasi hama tetap di bawah ambang kerusakan dalam jangka
panjang, (2) tidak berdampak negatif pada lingkungan, (3) tidak membutuhkan
alat dan teknik aplikasi tertentu, dan (4) tidak membutuhkan biaya tambahan lain
(Wiryadiputra, 1996). Namun demikian, penggunaan varietas resisten tidak
selamanya efektif, terutama apabila menggunakan varietas dengan ketahanan
tunggal (ketahanan vertikal) secara terus menerus.
Kerusakan tanaman oleh hama dapat mencapai lebih dari 50%, tetapi
belum pernah ada dalam sejarah bahwa suatu spesies tanaman musnah dari alam,
disebabkan oleh hama. Hal ini menggambarkan bahwa secara alamiah tanaman
mempunyai sistem perlindungan terhadap hama sehingga menjadi tahan. Suatu
varietas disebut tahan apabila :
(1) Memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau pulih
kembali dari serangan hama pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan
pada varietas lain yang tidak tahan,
(2) Memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang
disebabkan oleh serangan hama,
(3) Memiliki sekumpulan sifat yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi
kemungkinan hama untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai inang, atau

Universitas Sumatera Utara

(4) Mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan
dengan varietas lain pada tingkat populasi hama yang sama (Sosromarsono,
1990).
Evaluasi ketahanan atau toleransi terhadap hama dilakukan untuk
mempermudah pemanfaatannya. Karakterisasi dan evaluasi dilakukan berdasarkan
standar internasional dengan sistem yang sudah baku seperti yang dilakukan Bank
Gen padi IRRI (International Rice Gene Bank Collection Information Institute =
IRGCIS).

Evaluasi ketahanan telah dilakukan terhadap hama wereng coklat,

wereng punggung putih, penggerek batang dan ganjur (Endrizal, 2004).
Berdasarkan efek yang dapat dilihat, mengelompokkan sistem ketahanan
tanaman terhadap serangga herbivora menjadi tiga, yaitu antixenosis, antibiosis,
dan toleran. Antixenosis merupakan proses penolakan tanaman terhadap serangga
ketika proses pemilihan inang karena terhalang oleh adanya struktur morfologi
tanaman seperti trikoma pada batang, daun, dan kulit yang tebal dan keras yang
bertindak sebagai barier mekanis bagi serangga hama (Smith, 2005 dan
Suharsono, 2006).
Menurut Painter (1951), ada 4 strategi dasar yang digunakan tanaman
sebagai mekanisme pertahanan dirinya untuk mengurangi kerusakan akibat
serangan serangga herbivor yaitu :
1. Escape atau menghindar serangan serangga berdasarkan waktu atau tempat,
misalnya tumbuh pada tempat yang tidak mudah diakses oleh herbivor atau
menghasilkan bahan kimia penolak herbivor.
2. Tanaman toleran terhadap herbivor dengan cara mengalihkan herbivor untuk
makan bagian yang tidak penting bagi tanaman atau mengembangkan

Universitas Sumatera Utara

kemampuan untuk melakukan penyembuhan dari kerusakan akibat serangan
herbivor.
3. Tanaman menarik datangnya musuh alami bagi herbivor yang dapat
melindungi tanaman tersebut dari serangan herbivor.
4. Tanaman melindungi dirinya sendiri secara konfrontasi menggunakan
mekanisme pertahan kimia atau mekanik seperti menghasilkan toksin yang
dapat membunuh herbivor atau dapat mengurangi kemampuan herbivor untuk
mencerna tanaman itu yang sering disebut dengan antibiosis.
Resistensi merupakan salah satu karakter genetik pada tanaman yang dapat
diwariskan. Karakter ini berperan penting dalam menekan gangguan yang dapat
disebabkan oleh jasad pengganggu. Resistensi suatu tanaman dapat dikategorikan
tinggi, intermediat, ataupun rendah. Istilah lain yang masih berkaitan dengan
ketahanan tanaman adalah imunitas. Istilah imunitas ditujukan pada tanaman yang
resisten secara sempurna terhadap serangan suatu patogen. Imunitas bersifat
absolut dan patogen sama sekali tidak dapat menimbulkan gangguan pada
tanaman, bagaimanapun kondisi lingkungannya. Akan tetapi, di alam peristiwa
tersebut merupakan hal yang sangat langka. Toleran, juga merupakan istilah yang
seringkali digunakan dalam bahasan ketahanan tanaman. Tanaman yang toleran
walaupun dapat diserang oleh jasad pengganggu, namun tidak menunjukkan
kehilangan hasil yang signifikan (Endrizal, 2004). Menurut Painter (1951),
terdapat tiga mekanisme yang ditunjukkan tanaman dalam menghambat serangan
hama, yaitu:
1. Antibiosis, yaitu mekanisme yang mempengaruhi atau menghancurkan siklus
hidup hama.

Universitas Sumatera Utara

2. Nonpreference (sekarang disebut antixenosis), menghindarkan tanaman dari
serangan hama dalam pencarian makan, peletakan telur, atau tempat tinggal
serangga. Namun, bila hama tak menemukan alternatif tanaman lain,
kerusakan parah pada tanaman tetap dapat terjadi.
3. Toleran, menunjukkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama, misalnya
dengan tetap memberikan hasil tanaman yang baik. Tidak seperti halnya pada
antibiosis dan antixenosis yang berpengaruh terhadap populasi hama, toleran
tidak berpengaruh terhadap populasi hama.
Faktor yang mempengaruhi peka dan tahannya suatu tanaman terhadap
suatu hama dan penyakit dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu :
a. Faktor genetis
Ketahanan genetik tanaman terhadap hama dapat diwariskan sebagai sifat
monogenik sederhana dengan gen-gen penentunya mungkin dominan sebagian
atau sempurna ataupun resesif. Kultivar padi unggul seperti PB 26, PB 28, PB 30,
PB 34, dan Asahan merupakan contoh-contoh kultivar padi yang tahan terhadap
wereng coklat dengan gen ketahanan dominan Bph1. Gen ketahanan tersebut
diperoleh dari tetua Mudgo yang diwariskan secara sederhana. Sedangkan varietas
lain seperti Cisadane, tahan terhadap wereng coklat oleh adanya gen resesif bph2
yang diperoleh dari tetua CR94-13 (Endrizal, 2004).
Berdasarkan susunan dan sifat gen, menurut Metcalf dan Luckmann
(1994) ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi : (1) Monogenik, sifat tahan
diatur oleh satu gen mayor atau dominan, (2) Oligenonik, sifat tahan diatur oleh
beberapa gen yang saling menguatkan satu sama lain, (3) Polygenik, sifat tahan
diatur oleh banyak gen yang memberikan reaksi yang berbeda-beda sehingga
mengakibatkan timbulnya ketahanan yang lebih luas.

Universitas Sumatera Utara

Faktor genetis meliputi :
a.1.

Morfologi tanaman
Serangan hama dipengaruhi oleh faktor morfologis tanaman,
misalnya trikom, rambut pada daun dan batang, lapisan berlignin pada
organ tanaman, tipe dan ukuran kaliks, berbuah kecil-kecil dan bertandan,
warna dan bentuk daun, jaringan periderm (pada ubi jalar), lapisan lilin
pada permukaan daun, daun yang mengkilat (Sudhir et al., 2005).
Morfologi dan anatomi sebagai dasar ketahanan secara umum varietas
yang tinggi dengan luas daun dan batang yang besar lebih peka. Beberapa
faktor morfologi tanaman yang peka antara lain : tinggi tanaman, diameter
batang besar dan lebar dan daun bendera sehingga dengan mudah serangga
meletakan telur. Varietas yang memiliki lapisan jaringan berupa sel silicia
juga diindikasikan sebagai bentuk respon ketahanan tanaman. Menurut
Smith (2005), ketahanan tanaman terhadap serangga menurut morfologi
tanaman salah satu diantaranya yaitu trikom (bulu daun) dan ketebalan
jaringan pembuluh dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini :

Gambar 3 : Morfologi ketebalan batang pada tanaman padi yang rentan (kiri)
dan tanaman yang tahan (kanan), dimana pada varietas tahan
terdapat penebalan kandungan lignin (lig). (Sumber : Smith, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Bentuk trikom (bulu-bulu daun), menurut Smith (2005), pada
tanaman juga dapat menyebabkan reaksi pertahanan tanaman terhadap
adanya infestasi serangga. Beberapa tipe-tipe bulu daun yang dapat
menghambat serangan hama, menurut Smith (2005), diantaranya adalah
sebagai seperti Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4 : Beberapa tipe struktur trikhoma yang khas pada tanaman : (a) tipe
trikoma yang dapat mengganggu peletakan telur serangga, (b) tipe
tipe trikoma yang dapat mengganggu durasi serangga menghisap
jaringan tanaman. (Sumber : Smith, 2005).

a.2.

Biokimia
Beberapa kandungan senyawa kimia tanaman telah diidentifikasi
berpengaruh terhadap serangan hama, misalnya glikoalkaloid, phenol,
cucurbitacin, sinigrin, glukosinolat dan isochlorogenic acid (Smith, 2005).

b. Faktor luar
Faktor luar (Faktor ketahanan tanaman yang berfluktuasi berdasarkan
lingkungan, ruang dan waktu), dibedakan menjadi :
b.1.

Kepekaan adalah ketidakmampuan tanaman kualitas kebakaan (bawaan)

yang membawa sifat tahan.
b.2.

Pseudoresistance mungkin bisa terjadi pada tanaman yang secara normal

karena beberapa sebab yaitu :
a. Tanaman selamat dari hama karena ditanam lebih awal .

Universitas Sumatera Utara

b. Ketahanan yang dimasukan oleh karena dorongan lingkungan yang
bersifat sementara seperti suhu panjang hari kimia tanah kandungan
tanah atau metabolisme internal tanaman.
Pengukuran Resistensi pada Tanaman
Menurut Smith (2005), berbagai cara dapat dilakukan untuk mengukur
tingkat ketahanan pada tanaman. Namun secara umum, pengukuran tersebut dapat
dikategorikan dalam 2 aspek, yaitu pengukuran tanaman dan pengukuran
perkembangan serangga. Pengukuran tanaman misalnya dilakukan secara visual
dengan menghitung skala kerusakan jaringan pada tanaman, mengukur tingkat
fotosintesis dengan alat tertentu pada hama yang merusak daun, mengukur indeks
kehilangan hasil yaitu dengan membandingkan hasil tanaman yang diinfestasi
serangga dengan tanaman yang tidak diinfestasi.
Pengukuran perkembangan tanaman dapat dilakukan dengan mempelajari
perilaku arthorpoda dengan tanggap penciuman menggunakan olfactommeter atau
menggunakan uji pilihan, serta mengukur perkembangan populasi serangga hama
dan perilakunya juga dapat memberikan info penting untuk melihat resistensi pada
tanaman.
Beberapa parameter pada tanaman padi yang dapat menjadi ukuran dalam
resistensi adalah kelangsungan hidup bibit, jumlah daun, jumlah anakan, panjang
akar, tinggi tanaman, berat akar, berat tanaman dan bobot biji (Tseng et al. 1987
dalam Smith, 2005). Membedakan antara resistensi dengan mekanisme

antixenosis dan resistensi dengan mekanisme antibiosis pada suatu tanaman tidak
dapat selalu dengan mudah dibedakan satu sama lain (Smith, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Untuk melakukan pengukuran toleransi suatu tanaman terhadap kerusakan
akibat serangan serangga hama secara kuantitatif dapat dihitung dengan
menghitung proporsi berat kering tanaman yang hilang dengan membandingkan
produksi berat kering tanaman yang diinfestasi oleh serangga terhadap berat
kering tanaman yang tidak diinfestasikan serangga dengan persamaan yang
disusun oleh Reese et al. (1994 dalam Smith, 2005) dengan formula sebagai
berikut :
Proporsi Berat Kering yang hilang =

Keterangan :
Wi
Wc

Wc − Wi
x 100
Wc

= berat kering tanaman yang diinfestasi
= berat kering tanaman yang tidak diifenstasi

Universitas Sumatera Utara