BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asuhan keperawatan dalam mobilisasi pasien stroke 1. Pengkajian - ASRI ENDAH HANDAYANI BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asuhan keperawatan dalam mobilisasi pasien stroke 1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses
keperawatan. Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan (Nikmatur&Saiful, 2016) Dalam pengkajian meliputi tekhnik pengumpulan data :
a. Anamnese Anamnese adalah komunikasi secara langsung dengan klien
(autoanamnesis) maupun tak langsung (alloanamnesis) dengan keluarganya untuk menggali informasi tentang status kesehatan klien. Anamnese dilakukan dengan meliputi : Identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan keluarga.
1) Pemeriksaan
a) Fisik Pemeriksaan fisik meliputi B6 antara lain, breathing, blood, brain, bladder, bowel dan bone B1 (Breathing) Pada infeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan. B2 (Blood) Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke.
B3 (Brain) Pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian sistem lainnya. Pengkajian fungsi serebral, pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa. B4 (Bladder) Setelah stroke mungkin mengalami inkontinensia urine dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan control motorik dan postural. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut.
B6 (Bone) Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkn kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
2) Penunjang Ditulis tanggal pemeriksaan, hasil, dan satuannya: Pemeriksaan laboratorium, Lumbal pungsi (LP), Ct scan.
B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan pernyataan yang menggambarkan respons manusia (keadaan sehat atau perubahan pola interaksi aktual/potensial) dari individu atau kelompok tempat perawat secara legal mengidentifikasikan dan perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkirkan, atau mencegah perubahan (Nikmatur&Saiful, 2016)
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul untuk penyakit stroke :
1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan oklusi, edema serebral (Nanda, 2015-2017)
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot (Nanda, 2015-2017)
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sistem saraf pusat (Nanda, 2015-2017).
C. Perencanaan
Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana perawat mampu menetapkan cara menyelesaikan maslah dengan efektif dan efisien (Nikmatur&Saiful, 2016) Kegiatan dalam tahap perencanaan antara lain :
Menentukan prioritas masalah keperawatan, menetapkan tujuan kriteria hasil, merumuskan rencana tindakan, menetapkan rasional tindakan keperawatan Rencana tindakan keperawatan yang disusun pada klien dengan stroke adalah sebagai berikut :
1. Diagnosa pertama : Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedema serebral a. Tujuan : kesadaran penuh, tidak gelisah
b. Kriteria hasil : tingkat kesadaran membaik, tanda-tanda vital stabil tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
c. Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
Rasional : autoregulasi mempertahankan aliran darah otak konstan 2) Pertahankan keadaan tirah baring.
Rasional : aktifitas/stimulasi yang kontineu dapat meningkatkan Tekanan Intra Kranial (TIK).
3) Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis (netral).
Rasional : menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi/perfusi serebral. 4) Berikan obat sesuai indikasi : contohnya antikoagulan
(heparin) Rasional : meningkatkan atau memperbaiki aliran darah serebral dan selanjutnya dapat mencegah pembekuan.
2. Diagnosa kedua : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot a. Tujuan : keterbatasan pada pergerakkan fisik tubuh secara mandiri dan terarah b. Kriteria hasil : mempertahankan posisi yang optimal, meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh, mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan aktifitas.
c. Intervensi : 1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
Rasional : mengidentifikasi kelemahan/kekuatan dan dapat memberikan informasi bagi pemulihan.
2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang, miring) Rasioanal : menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemia jaringan.
3) Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas.
Rasional : meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, mencegah kontraktur.
4) Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, dan ambulasi pasien.
Rasional : progam khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti /menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan.
3. Diagnosa ketiga : Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sistem saraf pusat a. Tujuan : dapat berkomunikasi sesuai dengan keadaanya
b. Kriteria hasil : menggunakan bahasa isyarat, mengenali pesan yang diterima dari perawat dan keluarga. c. Intervensi : 1) Kaji tingkat kemampuan klien berkomunikasi
Rasioanal : perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari derajat gangguan serebral.
2) Minta klien untuk mengikuti perintah sederhana.
Rasional : melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik.
3) Tunjukkan objek dan minta pasien menyebutkan nama benda tersebut.
Rasional : melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik.
D. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respons klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan (Nikmatur&Saiful, 2016) Tahap-tahap dalam pelaksanaan :
1. Tahap persiapan
Review rencana tindakan keperawatan, analisis pengetahuan dan
ketrampilan yang diperlukan, antisipasi komplikasi yang akan timbul, mempersiapkan peralatan yang diperlukan (waktu,tenaga alat), mengidentifikasi aspek-aspek hukum dan etik, memperhatikan hak-hak pasien.
2. Tahap pelaksanaan Berfokus pada klien, berorientasi pada tujuan dan kriteria hasil, memperhatikan keamanan fisik dan psikologis klien, kompeten, tahap sesudah pelaksanaan, menilai keberhasilan tindakan, mendokumentasikan tindakan.
E. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Komponen dalam evaluasi SOAP, yaitu : S: Data Subjektif Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O: Data Objektif
Data objektif adalah data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung pada klien, dan yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
A: Analisis Interpretasi dari data subjektif dan data objektif. Analisis merupakan suatau masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi atau juga dapat dituliskan masalah/diagnosis baru yang terjadi akibat perubahan status kesehatan klien yang telah teridentifikasi datanya dalam data subjektif dan objektif. P: Planning
Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.
F. Konsep Stroke 1. Pengertian stroke
Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologis yang disebabkan oleh adanya gangguan suplai darah ke bagian dari otak. Dua jenis stroke yang utama adalah iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik disebabkan oleh adanya penyumbatan akibat gumpalan aliran darah baik itu sumbatan karena trombosis (penggumpalan darah yang menyebabkan sumbatan di pembuluh darah) atau embolik (pecahan gumpalan darah/udara/benda asing yang berada dalam pembuluh darah di otak) ke bagian otak. Perdarahan ke dalam jaringan otak adalah penyebab dari stroke hemoragik. Jumlah total stroke iskemik sekitar 83% dari seluruh kasus stroke. Sisanya sebesar 17% adalah stroke hemoragik.
Sebelum tahun 1995, petugas pelayanan kesehatan hanya bisa menawarkan tindakan dukungan dan rehabilitasi untuk penderita stroke yang selamat. Terapi trombolisis dapat mencegah atau mengurangi gangguan lebih lanjut pada jaringan otak yang disebabkan oleh stroke iskemik akut. Terapi trombolisis harus diberikan sesegera mungkin setelah kejadian stroke; pengobatan selama tiga jam (treatment window) dari setelah kejadian stroke sudah diterapkan. Untuk memberitahukan mengenai keutamaan dari evaluasi dan pengobatan dari stroke, petugas pelayanan kesehatan sekarang merujuk stroke sebagai penyakit serangan otak. Pendidikan kepada masyarakat difokuskan kepada pencegahan, pengenalan tanda-tanda, dan penaggulangan dini (Joyce M. Black, 2009) G.
Etiologi Stroke
Menurut Potter & Perry (2010) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu empat kejadian yaitu :
1. Trombosis Trombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh otak atau leher. Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya.
2. Embolisme serebral Embolisme serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral.
3. Iskemia Iskemia yaitu penurunan suplai darah ke jaringan atau organ tubuh.
4. Pendarahan (hemoragik) Hemoragi yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak.
Perdarahan inin dapat terjadi karena atherosklerosis dan hipertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi otak. Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen, gerakan, berpikir, memori, bicara atau sensasi.
H. Anatomi Fisiologi Otak
Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang saling berhubungan dan bertanggungjawab atas fungsi mental dan intelektual kita. Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron. Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun neuron-neuron di otak mati tidak mengalami regenerasi, kemampuan adaptif atau plasisitas pada otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak dapat mengambil alih fungsi dari bagian-bagian yang rusak. Otak sepertinya belajar kemampuan baru, ini merupakan mekanisme paling penting yang berperan dalam pemulihan stroke (Feigin, 2006).
Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan meddula spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh lainnya (Noback dkk, 2005)
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen bagiannya adalah :
1. Cerebrum Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus (celah) dan girus (Gonang, 2005).
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu :
a. Lobus frontalis Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara, pusat penghidu, dan emosi. Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicar, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves dkk, 2004).
b. Lobus temporalis Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura-oksipitalis (White, 2008).
c. Lobus parietalis Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran (White, 2008). d. Lobus okspitalis Lobus okspitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi penglihatan : menginterprestasi dan memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain (White, 2008).
e. Lobus limbik Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi dan bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas susunan endokrin dan susunan otonom (White, 2008).
2. Cerebellum Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron dibandingkan otak secara keseluruhan.
Memiliki peran koordinasi yang penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima, inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum terdiri dari tiga bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan menyampaikan informasi ke bagian lain dari sistem saraf pusat.
Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot- otot volunter secara optimal. Bagian-bagian dari cerebellum adalah lobus anterior, lobus medialis, dan lobus fluccolonodularis (Purves, 2004).
3. Brainstrem Brainstrem adalah batang otak, berfungsi untuk mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla sipinalis dibawahnya. Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf cranial.
I. Faktor Risiko
Faktor resiko yang bisa dimodifikasi dapat diturunkan atau dihilangkan melalui perubahan gaya hidup. Hipertensi adalah faktor risiko yang bisa dimodifikasi terpenting baik untuk stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Pengontrolan tekanan darah yang adekuat bagi penderita hipertensi dapat menurunkan 38% kejadian stroke. Kondisi diabetes millitus dapat meningkatkan risiko terjadinya stroke. Mekanisme terjadinya kondisi tersebut disebabkan oleh perubahan makrovaskular pada penderita diabetes.
Faktor-faktor risiko lainnya yang bisa dimodifikasi untuk mencegah stroke termasuk di antaranya hiperlipidemia, merokok, konsumsi alkohol berlebih, penggunaan kokain, dan obesitas. Dalam penelitian terbaru, disebutkan walaupun konsumsi alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan terjadinya kejadian stroke pada seseorang, konsumsi alkohol yang ringan atau sedang bisa mencegah terjadinya stroke iskemik. Kejadian stroke jarang terjadi pada wanita usia produktif atau usia untuk mengandung. Namun, kontrasepsi esterogen oral dalam dosis yang tinggi yang berkombinasi dengan hipertensi, merokok, sakit kepala migren, dan peningkatan usia, dapat meningkatkan kejadian stroke pada wanita (Joyce M. Black, 2009)
Pengajaran atau pendidikan pada klien ditujukan untuk pencegahan stroke. Pencegahan primer untuk stroke termasuk hal-hal anatara lain : Pertahankan berat badan ideal, Pertahankan kadar kolesterol yang aman. Kurangi atau berusaha menghentikan kegiatan merokok, Kurangi konsumsi alkohol berlebihan, Hindari obat-obat terlarang.
Pencegahan sekunder termasuk hal-hal sebagai berikut : Kontrol tekanan darah yang adekuat, rawat diabetes millitus, obati penyakit kardiovaskular dan fibrilasi atrium.
J. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala menurut (Mary Digiulio, 2014) sebagai berikut : Ketidakseimbangan mental, disorientasi (bingung), Perubahan emosional/ perubahan kepribadian, Afasia (kesulitan berbicara), kata-kata tidak jelas Perubahan sensori (perubahan visual, perubahan pendengaran), kelemahan pada wajah dan kaki tangan, sakit kepala parah karena naiknya tekanan intrakranial akibat pendarahan.
K. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark tergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat), pada gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung).
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Thrombud mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai pembuluh darah yang bersangkutan dengan edama dan kongesti disekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri(Muttaqin, 2008).
Otak sangat sensitif terhadap kondisi penurunan atau hilangnya suplai darah. Hipoksia dapat menyebabkan iskemik serebral karena tidak seperti jaringan pada bagian tubuh lain, misalnya otot, otak tidak bisa menggunakan metabolisme anaerobik jika terjadi kekurangan oksigen atau glukosa. Otak diperfusi dengan jumlah yang cukup banyak dibanding organ lain yang kurang vital untuk mempertahankan metabolisme serebral. Iskemik jangka pendek dapat mengarah kepada penurunan sistem neurologis sementara. Jika aliran darah tidak diperbaiki, terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada jaringan otak atau infark dalam hitungan menit.
Iskemia dengan cepat bisa mengganggu metabolisme. Kematian sel dan perubahan yang permanen dapat terjadi dalam waktu 3-10 menit. Aliran darah dapat terganggu oleh masalah perfusi lokal, seperti pada stroke atau gangguan perfusi secara umum, misalnya pada hipotensi atau henti jantung.
Penurunan perfusi serebral biasanya disebabkan oleh sumbatan di arteri serebral atau pendarahan intraserebral. Sumbatan yang terjadi mengakibatkan iskemik pada jaringan otak yang mendapatkan suplai dari arteri yang terganggu dan karena adanya pembengkakan di jaringan sekelilingnya. Sel-sel di bagian tengah atau utama pada lokasi stroke akan mati dengan segera setelah kejadian stroke terjadi (Joyce M. Black, 2009)
L. Pathways Penyakit yang mendasari stroke (alkohol, hiperkolesteroid, merokok, stress)
Aterosklerosis (elastisitas pembuluh darah menurun) Kepekatan darah meningkat Pembentukan thrombus
Penurunan darah ke otak Hipoksia cerebi Infark jaringan Kerusakan pusat gerakan motorik di lobus frontalis hemisphare / hemiplagia
Kelemahan pada mervus V, VII, IX, X Perubahan persepsi sensori Gangguan mobilitas fisik Mobilitas menurun Penurunan kemampuan otot mengunyah / menelan
M. Komplikasi Stroke
Komplikasi dari stroke terutama bergantung pada lokasi lesi atau jaringan yang terkena (infark). Jika batang otak yang terkena, tekanan darah menjadi fluktasi, pola napas terganggu. Cedera fisik bisa terjadi berhubungan dengan ketidakmampuan klien untuk menyadari keterbatasannya. Komplikasi dari imobilitas juga bisa terjadi.
Koma bisa terjadi setelah stroke dengan beberapa penyebab. Suplai darah ke batang otak atau sistem aktivasi retikularis yang mengontrol kesadaran, mungkin secara langsung tersumbat. Demikian pulapada struktur bagian dalam dari talamus yang menerima dan menyampaikan informasi ke korteks serebral bisa terlibat dalam kondisi ini. Sumbatan vaskular dari arteri karotis internal atau pada salah satu cabang utamanya bisa juga menurunkan tingkat kesadaran. Terkadang edema serebral yang terjadi setelah stroke bisa mengakibatkan pergeseran posisi garis tengah otak, yang mengakibatkan koma (Joyce M, Black, 2009) N.
Fisioterapi
Dilakukan fisioterapi dengan membantu klien membangun kekuatan dan mempertahankan rentang gerak (range of motion) ROM dan tonus otot dibagian otot yang tidak terkena stroke. Fisioterapi juga membangun ROM dan tonus serta melatih kembali otot yang terkena stroke. Klien juga melatih keseimbangan dan ketrampilan untuk kemampuan merasakan posisi, lokasi, dan orientasi, serta gerakan dari tubuh dan bagian-bagiannya. Hal ini bisa memungkinkan klien, dengan adanya peningkatan yang berlanjut, untuk duduk pada ujung tempat tidur dan pada akhirnya berjalan. Latihan dan ketrampilan mobilisasi di tempat tidur diajarkan di tempat tidur klien, seperti juga mobilisasi dengan kursi roda dan berpindah. Klien yang mungkin terbantu dengan kaki palsu akan diidentifikasi dan diajarkan bagaimana memasang dan melepasnya.
O. Konsep mobilisasi
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur, mempunyai tujuan untuk kebutuhan hidup sehat.
Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif dan untuk aktualisasi (Potter&Perry, 2010)
Untuk menentukan bagaimana menggerakkan klien, kaji kemampuan klien untuk bergerak. Mobilisasi ditujukkan pada kemampuan klien bergerak dengan bebas dan imbobilisasi ditujukkan pada ketidakmampuan bergerak dengan bebas. Beberapa klien dapat bergerak atau tidak bergerak, meskipun pengalaman akan mempengaruhi derajat imobilisasi. Pikirkan mobilisasi sebagai satu kontinuitas, dimana mobilisasi berada pada satu ujung, dan imobilisasi pada ujung lain. Beberapa klien bergerak ke belakang dan ke depan diantara mobilisasi dan imobilisasi; tetapi yang lainnya, imobilisasi bersifat absolut dan terus berlanjut dengan pasti. Istilah tirah baring atau gangguan mobilisasi fisik sering digunakan saat mendiskusikan klien dengan kontinuitas mobilisasi dan imobilisasi (Potter&Perry, 2010).
Pengkajian mobilisasi klien berfokus pada ROM, gaya berjalan, latihan dan toleransi aktivitas, serta kesejajaran tubuh. Saat merasa ragu akan kemampuan klien, lakukan pengkajian mobilisasi, dengan klien berada pada posisi yang paling mendukung dan berada pada tingkat mobilisasi yang paling tinggi sesuai dengan toleransi klien. Umumnya pengkajian pergerakkan dimulai saat klien berbaring, kemudian mengkaji posisi duduk di tempat tidur, berpindah ke kursi, dan yang terakhir saat berjalan. Hal ini sangat membantu keselamatan klien (Potter&Perry,2010)
Range of Motion (ROM) adalah jumlah pergerakkan maksimum
yang dapat dilakukan pada sendi, di salah satu dari tiga bidang, yaitu : sagital, frontal, atau transveral. Bidang sagital adalah bidang yang melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh menjadi sisi kanan dan sisi kiri. Bidang frontal adalah melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh ke depan dan ke belakang. Bidang transveral adalah bidang horisontal yang membagi tubuh ke bagian atas dan bawah. Saat mengkaji ROM, ajukan pertanyaan dan kaji tentang kekakuan, pembengkakan, nyeri, pergerakkan yang terbatas, pergerakkan yang tidak sama. Pengkajian ROM harus dilakukan sebagai nilai dasar untuk menbandingkan dan mengevaluasi apakah kehilangan mobilisasi sendi terjadi. Klien yang mobilisasinya dibatasi harus melakukan ROM untuk mengurangi bahaya imobilisasi. Oleh karena itu, kaji jenis latihan ROM yang dapat dilakukan oleh klien.
Latihan ROM bersifat aktif (klien menggerakkan seluruh sendi pada seluruh ROM tanpa bantuan), dan pasif (klien tidak mampu bergerak dengan mandiri, sehingga perawat menggerakkan masing-masing sendi pada seluruh ROM). Pada klien yang lemah, berikan bantuan saat klien melakukan pergerakkan. Beberapa klien mampu menggerakkan sendi dengan aktif, sementara perawat secara aktif menggerakkan sendi yang lain. Pertama-tama kaji kemampuan klien untuk melakukan latihan ROM aktif dan kebutuhan akan bantuan, pendidikan kesehatan, atau pujian.
Umumnya, latihan ROM harus aktif jika kesehatan dan mobilisasi memungkinkan. Kontraktur berkembang pada sendi yang tidak digerakkan secara teratur melalui ROM penuh. Data pengkajian dari klien dengan keterbatasan pergerakkan sendi sangat bervariasi, bergantung pada area yang dipengaruhi(Potter&Perry, 2010)
Pencegahan dan pengobatan yang tepat pada penderita stroke merupakan hal yang sangat penting. Stroke yang tidak mendapatkan penanganan yang baik akan menimbulkan berbagai tingkat gangguan, seperti penurunan tonus otot, hilangnya sensibilitas pada sebagian anggota tubuh, menurunnya kemampuan untuk menggerakkan anggtota tubuh yang sakit dan ketidakmampuan dalam hal melakukan aktivitas tertentu. Pasien stroke yang mengalami kelemahan pada satu sisi anggota tubuh disebabkan karena penurunan tonus otot, sehingga tidak mampu menggerakkan tubuhnya (imobilisasi). Immobilisasi yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat, akan menimbulkan komplikasi berupa abnormalitas tonus dan kontraktur (Garrison, 2005)
Penderita stroke yang mengalami paralisis dan tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat dapat menimbulkan komplikas, salah satunya adalah kontraktur. Kontraktur dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, gangguan mobilisasi, gangguan aktivitas sehari-hari dan cacat yang tidak dapat disembuhkan (Asmadi, 2008). Penderita stroke harus di mobilisasi sedini mungkin ketika kondisi klinis dan neurologis dan hemodinamik penderita sudah mulai stabil. Mobilisasi dilakukan untuk secara rutin dan terus menerus untuk mencegah terjadinya komplikasi stroke, terutama kontraktur.
Lewis (2007) mengemukakan bahwa sebaiknya latihan pada penderita stroke dilakukan beberapa kali dalam sehari untuk mencegah komplikasi, semakin dini proses rehabilitasi di mulai maka kemungkinan penderita mengalami defisit kemampuan akan semakin kecil. Penelitian menunjukkan bahwa latihan ROM dapat meningkatkan fleksibilitas dan rentang gerak sendi.
P. Jenis ROM Ada dua jenis ROM, yaitu ROM aktif dan ROM pasif.
1. Aktif ROM (Range of Motion) Merupakan pergerakkan yang dilakukan oleh orang itu sendiri atau secara mandiri (Kozier, 2008).
Tujuan dari ROM aktif yaitu : Meminimalisasi efek imobilisasi, meningkatkan sirkulasi darah, memberikan kekuatan yang cukup pada otot. Indikasi : Kontraksi aktif dari otot menurun. Kekuatan otot 75%.
Kontra indikasi : Nyeri berat, sendi kaku atau tidak dapat bergerak.
Prosedur pelaksanaan : Perawat memberikan bimbingan dan intruksi atau motivasi kepada klien untuk menggerakkan persendian-persendian tubuh sesuai dengan rentang geraknya masing-masing.
2. Pasif ROM (Range of Motion) Merupakan pergerakan yang dilakukan oleh seseorang yang dibantu orang lain. Hal ini dilakukan karena seseorang tidak punya kemampuan untuk melakukan pergerakkan secara mandiri (Kozier,2008).
Tujuan : Mempertahankan fungsi sendi dan otot sebaik mungkin, mempertahankan area sendi tetap fleksibel, mempertahankan aliran darah. Indikasi : Orang yang keterbatasan fisik, pasien yang terimobilisasi di tempat tidur maupun kursi roda, kondisi yang tidak memungkinkan melakukan ROM secara mandiri.
Kontra indikasi : Emboli dan keradangan pembuluh darah, kelainan sendi, klien fase imobilisasi karena penyakit (jantung). Prosedur pelaksanaan a. Cuci tangan untuk mencegah tranfer organisme.
b. Jaga privasi klien.
c. Beri penjelasan kepada klien mengenai apa yang akan anda kerjakan dan minta klien untuk dapat bekerja sama.
d. Atur ketinggian tempat tidur klien yang sesuai agar memudahkan perawat dalam bekerja, terhindar dari masalah pada penjajaran tubuh dan pergunakan selalu prinsip-prinsip mekanik tubuh.
e. Posisikan klien dengan posisi supinasi dekat dengan perawat dan buka bagian tubuh yang akan digerakkan. f. Letakkan kedua kaki dan letakkan kedua lengan masing-masing sisi tubuh.
g. Kembalikan pada posisi awal setelah masing-masing gerakan. Latihan gerakan dapat diulang hingga 3 kali, hingga klien merasakan lebih membaik.
Q. Latihan Fisik
Adapun latihan fisik menurut Rudianto Sofwan, 2010 sebagai berikut : Latihan fisik pada penderita stroke, untuk penderita stroke hemoragik (pendarahan) ataupun stroke iskemik (non-pendarahan), sangatlah penting selain terapi farmakologi (obat-obatan) dan terapi dengan modalitas alat, bahkan boleh dibilang merupakan yang terpenting dari yang lain.
Seperti kita ketahui, ketika seseorang terserang stroke, sel- sel di dalam otaknya mengalami kerusakan yang permanen.
Namun otak manusia diciptakan begitu hebatnya, sehingga sel-sel otak yang masih hidup akan mengambil alih tugas sel-sel yang sudah rusak. Sesaat setelah seseorang terkena stroke, ia akan mengalami kelumpuhan pada satu sisi badan. Apabila hal ini tidak ditangani secara baik dan benar, akan menimbulkan cacat fungsional dari alat-alat gerak tubuh sisi badan tersebut, dan lama- kelamaan akan lumpuh secara total dan kaku. Latihan fisik, selain berguna untuk menghilangkan kekakuan, juga berguna untuk untuk mengembalikan fungsi persendian secara optimal, dan pada akhirnya akan memungkinkan penderita untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Latihan fisik yang perlu dilakukan pasien pasca stroke mencakup beberapa latihan, mulai dari pergerakkan otot-otot dari lengan dan tungkai yang mengalami kelumpuhan, sampai dengan latihan aktivitas sehari-hari seperti berjalan, makan, minum, berpakaian, posisi duduk dan tidur yang benar, dan cara memindahkan penderitadari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Dengan latihan yang teratur, maka diharapkan penderita stroke dapat mencapai hasil optimal dalam kurun waktu kurang lebih 3 bulan. Posisi duduk yang benar adalah dengan memposisikan anggota tubuhnya sebagai berikut :
1. Kedua telapak kaki menepak ke lantai.
2. Baik tubuh, paha, dan tungkai semua dalam posisi 90 3. Kepala menengadah ke depan (jangan menunduk).
4. Tulang punggung dan kepala diusahakan berada dalam satu garis lurus.
5. Kedua tangan diletakkan disamping tubuh secara simetris. Posisi tidur yang benar ada tiga macam, yaitu : 1. Posisi tidur ketika miring ke sisi yang lemah.
2. Posisi tidur telentang.
3. Posisi tidur ketika miring ke sisi yang sehat.
Latihan yang perlu dilakukan adalah menggerakkan otot kaki dan tangan. Otot-otot kaki dan tangan yang mengalami kelumpuhan, bila dibiarkan saja, lama-kelamaan akan menjadi kaku dan kemudian terjadi kontraktur dalam keadaan menekuk (fleksi). Latihan pergerakan otot kaki dilakukan terus menerus, sehari sekali dengan pengulangan minimal 10 kali. Latihan ini bervariasi, mulai dari pemijatan, pergerakkan, dan bantuan alat-alat sederhana.
Berikut contoh latihan gerakkan sederhana yang dapat dilakukan dirumah dengan bantuan penolong :
1. Latihan untuk lengan :
a. Genggamlah kedua lengan ke depan dengan ibu jari lengan yang mengalami kelumpuhan terletak diatas.
b. Angkat lengan ke atas, lalu ketempat semula. Dapat dibantu bila belum melakukan sendiri.
c. Gerakkan lengan ke kiri lalu ke kanan. Ulangi langkah diatas perlahan-lahan dengan 10 kali pengulangan.
d. Luruskan lengan, tekuk lengan dengan tumpuan siku perlahan, lalu kembali ke posisi semula. e. Luruskan dengan telapak tangan menghadap kebawah.
Angkat lengan ke atas perlahan dan kembali ke posisi semula. Ulangi sebanyak 10 kali.
f. Luruskan lengan dan pegang telapak lengan seperti bersalaman.
g. Buka lengan ke samping dan kembali ke posisi semula.
h. Peganglah ujung jari dan tahan lengan menggunakan lengan penolong satunya. i. Tekuk pergelangan tangan ke atas dan kembali ke posisi semula. Ulangi sebanyak 10 kali
2. Latihan untuk kaki :
a. Pada posisi duduk, tumpukan kaki yang mengalami kelemahan diatas kaki yang normal.
b. Lalu usahakan untuk mengangkat kaki yang lemah ke atas dengan sedikit bantuan dari kaki yang normal.
c. Tekuk kaki, angkat ujung kaki dengan bertumpu pada lutut (penolong membantu tangan sebagai penompang kaki).
d. Luruskan kaki, angkat kaki ke atas dengan bertumpu pada paha dan lutut, lalu kembali ke posisi lurus.
e. Luruskan kaki, tarik ke arah samping sampai maksimal.
Kembalikan ke posisi semula. Ulangi sebanyak 10 kali.
f. Peganglah ujung jari kaki dengan menggunakan tangan.