STUDI DESKRIPTIF TENTANG PROSES PENERIMAAN DIRI PADA ORANG DENGAN HIVAIDS
STUDI DESKRIPTIF TENTANG PROSES PENERIMAAN DIRI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Oleh : YB. Anggono Susilo NIM : 999114069 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Karya ini aku persembahkan untuk
Keluargaku, teman-teman Odha &
semua pihak yang tengah berjuang,
mencurahkan pikiran,
meluangkan waktu dan kerja kerasnya
untuk penanggulangan HIV/AIDS.
ABSTRAK
YB. Anggono Susilo
Studi Deskriptif Tentang Proses Penerimaan Diri Pada Orang Dengan HIV/AIDS
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata DharmaYogyakarta
2007
Mengadapi kenyataan mengidap penyakit yang membahayakan seperti
HIV/AIDS bukanlah hal yang mudah. Bagi sebagian besar Orang dengan HIV/AIDS
(Odha), mengidap penyakit ini berarti menghadapi bayangan kematian yang lebih
cepat dari orang lain.Kubler-Ross melalui teori Tahapan kematian-nya mengemukakan bahwa
seorang individu akan melewati 5 fase spesifik menjelang kematian. Kelima fase
tersebut adalah penyangkalan, kemarahan, tawar menawar, depresi dan penerimaan.
Selain itu, konsep Rogers mengenai aktualisasi diri juga digunakan untuk melihat
cara kedua responden menghadapi kenyataan bahwa mereka sudah terinfeksi HIV.
Penelitian ini berusaha untuk memahami proses penerimaan diri pada 2 Odha dan
bagaimana reaksi mereka ketika pertama kali mengetahui statusnya.Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
wawancara mendalam (depth intervie). Data yang diperoleh melalui wawancara,
diperiksa kembali kejelasan dan relevansi dengan permasalahan penelitian. Koding
digunakan untuk membantu memetakan tema-tema yang muncul dalam proses
penerimaan diri pada Odha.Hasil penelitian menggambarkan bahwa kedua responden mengalami
kelima fase menjelang kematian menurut teori Ross, meski satu responden memiliki
rasa marah yang lebih besar yang disebabkan perlakuan diskriminasi yang pernah ia
alami. Informasi yang kurang proporsional tentang HIV/AIDS merupakan salah satu
pemicu stress pada responden.
ABSTRACT
YB. Anggono Susilo Self Acceptance Process on People Living With HIV/AIDS (a Descriptive Study)
Psychology Faculty Sanata Dharma University, Yogyakarta
2007
It is not easy for someone to face the reality that they are infected by a deadly
disease such as HIV/AIDS. For most people living with HIV/AIDS (PLWHA), being
infected by this disease means that they are facing the death faster than other people.
Kubler-Ross with the stages of death theory, said that someone will pass 5 spesifik
phase before they died. They are: Denial, Anger, Bargaining, Depression ang
Acceptance. Rogers theory on self actualization also used to see how these two
PLWHA facing the truth that they are already infected by HIV. This research is trying
to describe the self acceptance process on two PLWHA and how was their first time
reaction when they knew that they are HIV positive.Data gathering method that is used in this research is depth interview. Data
analysis method that is used to analyze is qualitative data analysis,which is to analyze
data that based on relevant quality of data and the main problem of this research.
Coding is used to help organizing the theme which found in the self acceptance
process.The study of this finding is that the two PLWHA were passing the five
phase of death. One PLWHA has more bigger anger, it was caused by the
discrimination that he received. Unproportional information about HIV/AIDS was
one of the stress causal.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah swt atas berkat dan karunia-Nya, sehinggakarya ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini hanyalah secuil dari begitu
banyak masalah Odha yang masih sering terjadi ketika mengakses pusat layanan
kesehatan. Dalam proses penyelesaiannya, tentu saja ada beberapa kendala yang
dihadapi, namun berkat kerja keras dan dukungan dari banyak pihak semuanya dapat
diatasi dengan baik. Atas semua kebaikan tersebut dilembar ini juga penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Ibu Lusia Pratidarmanastiti, M.Si, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
memberi masukan dan dukungan kepada saya hingga karya ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. Bp. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma.3. Ibu Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si. Kaprodi Psikologi Universitas Sanata Dharma.
4. Mbak Nanik, Mas Gandung, Pak Giyono, Mas Muji, Mas Doni, dan semua staf/
karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu kelancaran administrasi dan studi saya selama ini.5. Semua dosen di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
6. Mbak Christin dan Mas Ardhian untuk support yang tidak pernah ada habisnya.
7. Bapak dan Ibu untuk doa-doanya. Terimakasih untuk semuanya.
8. Mas Tom, Mbak Rina, Salila, Mbak Rita, Mbak Retno juga Mas Bayu.
9. Dyd, terimakasih untuk segala pengertian, dan kesediaan untuk berbagi dalam
10. Mbak Yani dan Mas Yayang, 2 orang sahabat yang telah memberi inspirasi untuk
menyelesaikan penulisan karya ini. Semoga kalian mendapat tempat yang layak disisi-Nya.11. Kawan-kawan di Sanggar Anak Alam, Nitiprayan.
12. Mas Onny dan Mbak Christin, Haryo, Nandha dan Cacha, untuk tempat yang
disediakan di waktu penat.13. Lik No sekeluarga, yang setia menggarap sawah.
14. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu saya yang tidak dapat saya
sebutkan satu-persatu.Saya sangat menyadari bahwa seketat apapun kontrol yang dilakukan
pada setiap proses pasti masih saja ada hal-hal yang luput dari perhatian, begitu juga
dengan karya ini yang pasti masih jauh dari sempurna. Untuk itu saya sangat
mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran demi perbaikan di masa mendatang.
Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Salam, YB. Anggono Susilo
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………….. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………….. v
ABSTRAK ……………………………………………………………... vi
ABSTRACT …………………………………………………………… vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASIKARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .................. viii
KATA PENGANTAR …………………………………………………. ix
DAFTAR ISI …………………………………………………………… xi
DAFTAR TABEL ……………………………………………………... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..........................………………………………... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………...1 A. Latar Belakang Masalah ..........................………………………. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………....
7 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………..
7 D. Manfaat Penelitian ……………………………………………...
8 BAB II. DASAR TEORI ………………………………………….
9 A. Orang dengan HIV/AIDS (Odha) .................................................. 9 1. Definisi Orang dengan HIV/AIDS (Odha) .............……...
9
2. HIV/AIDS ............…………………………………..…… 9
3. Tahap dan Gejala HIV/AIDS ..............…………………... 10 4. Penularan dan Pencegahan ...............…………………....
11
5. Tes HIV.......... ………………………………………….... 13
6. Stigma dan Diskriminasi ...........................................……. 16
B. Proses Penerimaan Diri .................................................................. 17
2. Proses Penerimaan Diri Menurut Carl R. Rogers .............. 19
1. Latar Belakang Subyek ...................................................... 29
d. Tahap keempat : Depresi ................................................ 51
c. Tahap ketiga : Tawar-menawar ...................................... 50
b. Tahap kedua : Marah ...................................................... 47
1. Proses penerimaan diri subyek dalam teori tahapan
kematian Kübler Ross ........................................................ 45 a. Tahap pertama : Penyangkalan dan pengasingan diri .... 4540 C. Pembahasan ............. ...... ................................................................ 45
2.1 Reaksi Subyek M ......................................................... 35 2.2 Reaksi Subyek V .........................................................
2. Reaksi dan proses penerimaan diri subyek ketika mengetahui status HIV ....................................................... 34
1.2 Subyek V ...................................................................... 33
1.1 Subyek M ..................................................................... 30
B. Deskripsi Penemuan ....................................................................... 29
C. Proses Penerimaan Diri pada Orang dengan HIV/AIDS ............... 22 BAB III. METODE PENELITIAN ................…………………………...
29 A. Persiapan Penelitian ....................................................................... 29
BAB IV. HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
H. Metode Analisis Data ..................................................................... 27
G. Prosedur Penelitian ......................................................................... 26
F. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 25
24 E. Batasan Kajian Penelitian ................................... ……………….. 25
24 D. Subyek Penelitian .....................................……………………….
B. Variabel Penelitian .............................……………………….... 24
C. Definisi Operasional ......................................................................
24 A. Jenis Penelitian ……………………………….........................…. 24
e. Tahap kelima : Menerima ............................................... 56
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ....……………………………… 64
A. Kesimpulan ...................................................................................... 64 B. Saran ................................................................................................. 65DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 67
LAMPIRAN ............................................................................................. 70
DAFTAR TABEL Tabel 1. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur ........
3 Tabel 2. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS/HIV Menurut Faktor Risiko ....
3 Tabel 3. Guideline Interview ....................................................................
27 Tabel 4. Profil masing-masing Subyek ....................................................
30 Tabel 5. Reaksi subyek pertama kali mengetahui status HIV....................
34 Tabel 6. Reaksi tahap pertama: penyangkalan dan pengasingan diri.........
45 Tabel 7. Reaksi tahap kedua : Marah ......................................................... 47
Tabel 8. Reaksi tahap ketiga: Tawar-menawar ........................................... 50
Tabel 9. Reaksi tahap keempat: Depresi ..................................................... 51
Tabel 10. Reaksi tahap kelima: Menerima ................................................. 56
Tabel 11. Aktualisasi diri kedua subyek ..................................................... 61
L A M P I R A N
1. Guideline Wawancara
2. Transkrip Wawancara Subyek M
3. Transkrip Wawancara Subyek V
stigma yang berujung pada diskriminasi terhadap mereka yang mengidap virus tersebut. Awalnya, pada bulan Juni 1981, laporan pertama mengenai kasus yang menyerupai sindroma Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) dipublikasikan di Amerika Serikat. Laporan tersebut memuat kasus tentang gejala penyakit yang tidak biasa yaitu pneumocystis pneumonia dan sarcoma Kaposi serta penurunan daya tahan tubuh yang tidak jelas sebabnya yang ditemukan di kalangan lelaki homoseksual. Berbagai pihak merespon laporan tersebut, terutama media massa. Bagian yang mendapat porsi besar dalam berita adalah bagian yang menyebutkan para penderita adalah homoseksual. Berita tersebut direspon oleh seorang pendeta evangelis melalui acara televisi di Amerika dengan mengatakan bahwa penyakit ini adalah penyakit kaum pendosa. Sejak itu kaitan AIDS dengan homoseks menjadi topik diseluruh dunia. Pemuka-pemuka agama lainnya pun percaya bahwa AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan terhadap kaum homoseksual (Mohammad, 2003). Saat penyakit ini ditemukan juga diantara perempuan pekerja seks di New York, semakin kuat alasan untuk mengaitkan AIDS dengan rusaknya moralitas.
Ketika penyebab virus dan cara penularan ditemukan pada tahun
2
menular dengan banyak cara. Beban stigmatisasi ini antara lain berperan
dalam penanggulangan dan pencegahan terhadap HIV menjadi lebih lambat
dibandingkan kecepatan penyebarannya. Di Indonesia, pejabat-pejabat
pemerintah pernah menyanggah AIDS bisa masuk ke negara ini karena bangsa
ini adalah bangsa yang beragama dan ber-Pancasila. Banyak diantara kita
yakin bahwa HIV/AIDS adalah penyakit orang asing atau turis, dan orang
“baik-baik” tidak akan tertular. Sikap penyanggahan dan menyalahkan orang
lain masih terus berlangsung hingga saat ini. Banyak diantara kita yang tidak
menyadari bahwa penyebaran HIV secara perlahan akan menggerogoti sumber
daya manusia yang masih berada dalam usia produktif, karena HIV/AIDS
menyerang dengan sangat perlahan. (Mohammad, 2003) Kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia ditemukan tahun 1987,ketika seorang warga negara Belanda meninggal di Bali karena AIDS. Tahun
berikutnya warga negara Indonesia yang pertama meninggal karena AIDS di
propinsi yang sama. Kasus-kasus baru terus bermunculan dan semakin hari
semakin meningkat. Secara kumulatif pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS
di Indonesia dari bulan April 1987 hingga 31 Juni 2007, terdiri dari: 5.813
kasus HIV dan 9.689 kasus AIDS, Jumlah kasus HIV dan AIDS: 15.502
dengan kematian: 2.118 orang. Dari total jumlah tersebut, kasus AIDS paling
banyak terjadi pada kelompok usia produktif 20-49 tahun.3 Tabel 1 Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur Golongan Umur AIDS AIDS/IDU
< 1
38
1 - 488
5 - 14
32
3 15 - 19 258 101 20 - 29 5219 3269 30 – 39 2688 1083 40 - 49 787 164 50 - 59 210
25 > 60
49
6 Tak Diketahui/ Unknown
320 107 Sumber: Ditjen PPM & PL Depkes RI, 31 Juni 2007, www.lp3y.org Ket: AIDS/IDU: Jumlah kasus AIDS yang berasal dari IDU (intravenous drugs user)
Sementara, berdasarkan faktor risiko penularan, kasus paling banyak terjadi melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik (intravenous drug user /IDU atau dikenal pula dengan istilah pengguna narkoba suntik yang disingkat: penasun).
Tabel 2 Jumlah Kumulatif Kasus AIDS/HIV Menurut Faktor Risiko Faktor Risiko AIDS Heteroseksual 4079 Homo-Biseksual 397
IDU 4757 Transfusi Darah
10 Transmisi Perinatal 155 Tak Diketahui/ Unknown
291 Tak Disebut/ Not Reported
Sumber: Ditjen PPM & PL Depkes RI, 31 Juni 2007, www.lp3y.org
4 Tabel diatas sangat menarik karena kita dapat melihat dengan jelas
bahwa kasus HIV/ AIDS yang paling banyak justru tidak terjadi di kalangan
homoseksual. Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS di Indonesia masih
amat jarang dan sebagian besar berasal dari kelompok homoseksual. Sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam terutama akibat
penularan melalui narkotika suntik. Data yang ada memperlihatkan bahwa
epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berada dalam tahap lanjut. Penularan
terjadi melalui berbagai cara, baik melalui hubungan homoseksual,
heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen
darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Infeksi
HIV/AIDS juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok
risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar
odha berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran
dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika
semakin meningkat.Di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan laporan dari
Direktorat Jenderal PPM & PL Departemen Kesehatan, hingga 31 Juni 2007
tercatat jumlah kumulatif 102 kasus AIDS, 61 kasus diantaranya berasal dari
penasun (pengguna narkoba suntik). Dari jumlah tersebut, tercatat 15 orang
meninggal dunia.Statistik jumlah kasus diatas hanyalah gambaran kasar mengenai
5
istilah fenomena gunung es, yaitu kasus yang diketahui hanyalah sebagian
kecil dari jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi. Lonjakan jumlah kasus
kumulatif HIV/AIDS secara tiba-tiba pada suatu daerah disebabkan oleh masa
inkubasi HIV yang relatif lama. Kenyataannya, sebenarnya lebih banyak yang
terinfeksi daripada jumlah yang tercantum dalam statistik. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) bahkan pernah memperkirakan bahwa dari satu kasus HIV
positif di suatu wilayah yang tingkat prevalensi HIV-nya tinggi, terdapat
seratus kasus HIV lain yang tidak terdeteksi (Harahap, 2000).Mitos, salah pengertian, stigma, diskriminasi serta berbagai
perlakuan yang kurang mengenakkan bagi mereka yang terinfeksi HIV/AIDS
ternyata belum berubah dari sejak pertama kali virus ini ditemukan hingga saat
ini. Stigma dan diskriminasi ini membuat banyak Orang dengan HIV/AIDS
(Odha) tidak mendapat hak-haknya sebagai manusia, misalnya dikeluarkan
dari pekerjaan, dikucilkan dari pergaulan, mendapat perlakuan yang berbeda
saat berobat dan sebagainya. Sebagai contoh, pada awal tahun 2007, 43 Odha
dilarang melakukan kegiatan pertemuan di hotel Fujita, Manokwari Provinsi
Irian Jaya Barat. Alasan pihak manajemen hotel adalah pertemuan para Odha
itu akan membawa citra negatif pada hotel yang baru berdiri tiga bulan itu.Kasus lain menimpa pasangan N dan S di Sulawesi Selatan. S adalah
lelaki sehat yang secara sadar memilih N, perempuan yang HIV positif
sebagai pasangan hidupnya. Berbagai perlakuan diskriminatif kemudian
6 Odha. Tak ada penjelasan lain dari pimpinannya, yang hanya mengatakan
bahwa S terkena kasus sehingga tidak diperbolehkan lagi bekerja. Cercaan
dari orang tua dan kerabatnya juga harus dihadapi, tradisi mengunjungi orang
tua seusai akad nikah berakhir tragis karena pengantin baru ini justru diusir
karena mereka dianggap membawa aib (Julianto, 2002; 319).Ketertarikan penulis untuk membuat penelitian mengenai proses
penerimaan diri pada Odha diawali dari cerita mengenai perlakuan
diskriminatif yang dialami oleh V, seorang Odha yang tinggal di Yogyakarta.
Ketika itu ia sedang sakit dan dirawat disebuah rumah sakit swasta. Tanpa
sepengetahuannya, karena waktu itu ia dalam keadaan setengah sadar,
darahnya diambil untuk dites. Petugas rumah sakit pun tidak meminta ijin
kepada rekan V yang menjaga. Beberapa hari kemudian, ketika dokter
melakukan visite, dihadapan keluarga V yang saat itu berada diruangan, dokter
tersebut mengatakan bahwa V positif HIV. Setelah itu perlakuan yang
diterima V dari pihak rumah sakit sangat berbeda. Ia dipindahkan beberapa
kali di ruang isolasi. Suatu kali jarum infus ditangan V letaknya bergeser
sehingga mengakibatkan darah keluar dan jatuh berceceran di lantai, tidak ada
perawat yang membantu membenahi jarum atau pun sekedar membersihkan
ceceran darah yang ada. Beberapa perawat tampak ragu-ragu dan takut bila
berada didekatnya. Bahkan V pernah disarankan untuk dirujuk ke sebuah
rumah sakit lain tanpa alasan yang jelas namun ia menolaknya (wawancara
pribadi, 2005).7 Bagi Odha, perlakuan diskriminatif dan stigma negatif dari masyarakat menjadi bayangan yang lebih menakutkan dan menyakitkan dibandingkan virus HIV itu sendiri. Seseorang yang mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV, biasanya mengalami stres dan depresi karena selain harus menghadapi bayangan stigma dan diskriminasi juga ada anggapan bahwa terinfeksi HIV sama dengan sebuah vonis kematian. Ketakutan- ketakutan itulah yang membuat relasi dengan orang lain menjadi agak terhambat. Berangkat dari fenomena tersebut, saya ingin meneliti lebih jauh mengenai proses penerimaan diri Odha.
Masalah pokok penelitian ini saya rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana reaksi Odha ketika pertama kali mengetahui statusnya?
2. Bagaimana proses penerimaan diri Odha?
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan reaksi Odha pada saat mengetahui statusnya.
8
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dalam proses dalam pendampingan Odha oleh lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap Odha.
2. Manfaat Teoretis: Bagi ilmu psikologi, penelitian ini dapat memberikan masukan bagi khasanah psikologi mengenai proses penerimaan diri khususnya pada orang dengan HIV/AIDS (Odha), terutama dalam pendampingan terhadap Odha sebagai tindak lanjut dari pre konseling dan post konseling yang sudah dijalani saat melakukan test HIV.
1. Definisi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Orang yang terinfeksi HIV dalam disebutkan dalam bahasa Inggris PLWA (People Living with AIDS) sedangkan yang baru pada tahap terinfeksi dan orang disekitarnya disebut PLWHA (People Living with HIV/AIDS ). Di Indonesia, masing-masing kategori ini diberi nama Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan Ohidha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS), yaitu Odha sendiri, keluarga serta lingkungannya. Tetapi belakangan ini disepakati untuk hanya memakai istilah Odha. Istilah Odha diperkenalkan oleh Prof. Anton M. Moeliono, dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud setelah diskusi dengan staf Yayasan Pelita Ilmu. Istilah ini dinilai lebih netral dan dinamis daripada menyebut penderita, pengidap, korban dan lain-lain (Harahap, 2000).
2. HIV/AIDS AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit yang diidap seseorang yang sudah terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency virus). Acquired Immune Deficiency Syndrome bila diindonesiakan berarti sindrom cacat kekebalan
10
berarti, AIDS bukan penyakit keturunan tetapi cacat karena sistem
kekebalan tubuh dirusak setelah seseorang terinfeksi HIV (Harahap,
2000).Setelah seseorang terinfeksi HIV, kekebalan tubuh akan berangsur-
angsur berkurang dan akhirnya akan menghilang. Pada fase I, orang yang
terinfeksi HIV sama kondisinya dengan orang yang sehat. Pada fase ini
belum ada gejala yang tampak sebagai gejala AIDS. Fase ini berlangsung
5-7 tahun tergantung dengan kondisi sistem kekebalan tubuh seseorang.
Setelah fase tanpa gejala, pada fase II muncul gejala-gejala awal penyakit
yang berkaitan dengan HIV (HIV related illnes). Tahap ini belum dapat
disebut dengan gejala AIDS. Gejala dalam fase II antara lain :a. Hilang selera makan
b. Berkeringat berlebihan di malam hari
c. Diare terus menerus
d. Flu tidak sembuh-sembuh
e. Tubuh lemah
f. Pembengkakan kelenjar getah bening
Fase ini berlangsung 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Meski demikian
sebenarnya tidak ada gejala yang pasti dalam fase ini. Fase III atau Fase
AIDS baru dapat terdeteksi ketika kekebalan tubuh sudah sangat
11
oportunistik antara lain: TBC, pneumonia, sarcoma Kaposi, herpes, dan
sebagainya. Harus diperhatikan bahwa seseorang yang mengidap penyakit
itu belum tentu dapat dipastikan AIDS karena penyakit tersebut juga dapat
menyerang orang yang tidak terinfeksi HIV. Fase III ini biasanya
berlangsung 3-6 bulan (PKBI, 1995).Karena AIDS bukan penyakit, AIDS tidak menular. Yang menular
adalah HIV, yaitu virus yang menyebabkan tubuh mencapai masa AIDS.
Virus ini terdapat dalam darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada
cairan tubuh lain konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak dapat
menjadi media penularan. Tidak ada gejala khusus jika seseorang
terinfeksi HIV. Gejala klinis baru tampak pada tahap AIDS. Meski tanpa
gejala-gejala klinis, seseorang yang sudah positif HIV dapat menularkan
virus ini pada orang lain melalui cara-cara dan kondisi yang sangat
spesifik.Ada empat cara penularan HIV. Pertama, melalui hubungan
seksual dengan seorang pengidap HIV tanpa menggunakan kondom.
Kedua, HIV dapat menular melalui transfusi darah yang yang sudah
tercemar virus tersebut. Cara ketiga, dari seorang ibu yang mengidap HIV
dapat pula menularkan pada anak yang dikandungnya. Penularan ini
terjadi pada saat darah atau cairan vagina ibu membuat kontak dengan
12
proses melahirkan. Dan cara keempat, orang dapat terinfeksi melalui
penggunaan jarum suntik, tindik dan tato yang sudah dipakai oleh orang
yang terinfeksi HIV tanpa disterilkan terlebih dahulu (Harahap, 2000).HIV sangat mudah mati diluar tubuh manusia dan sangat sensitif terhadap suhu. HIV tidak menular melalui: a. Bersentuhan, bersenggolan, berpelukan, berciuman, bersalaman dengan Odha b. Menggunakan peralatan makan bersama Odha
c. Terkena ludah, keringat atau air mata Odha
d. Berenang atau menggunakan fasilitas umum lain seperti telepon umum, angkutan umum bersama Odha.
e. Gigitan nyamuk atau serangga
Risiko penularan HIV dapat dikurangi dengan beberapa cara:
a. Bagi yang belum aktif melakukan kegiatan seksual: tidak melakukan hubungan seks sama sekali.b. Bagi yang sudah aktif melakukan kegiatan seksual: 1) Hubungan seks mitra tunggal
c. Menggunakan kondom
d. Mengobati infeksi menular seksual (bila ada)
e. Mensterilkan alat-alat yang dapat menularkan HIV (jarum suntik,
13 f. Hanya melakukan transfusi darah yang bebas HIV.
g. Ibu hamil yang positif HIV memerlukan pendampingan khusus.
Tenggang waktu pertama setelah HIV masuk ke dalam tubuh disebut masa jendela atau window period. Pada rentang waktu ini tes HIV akan menunjukkan hasil yang negatif. Meski seseorang yang terinfeksi HIV baru berada masa jendela, tetap saja dia bisa menularkan pada orang lain (Harahap, 2000).
Jika seseorang terinfeksi oleh suatu virus, maka tubuhnya akan memproduksi antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Antibodi ini diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh. Antibodi jauh lebih mudah dideteksi daripada virusnya. Sebagian besar tes antibodi HIV mendeteksi antibodi terhadap HIV dalam sampel darah. Jika tidak ada antibodi yang terdeteksi, hasilnya adalah seronegatif atau HIV negatif. Sebaliknya, jika ada antibodi terhadap HIV, berarti hasilnya seropositif atau HIV positif. Walau pun demikian, suatu tes bisa saja memberi hasil negatif bila orang yang dites baru saja terinfeksi. Hal ini dapat terjadi karena tubuh kita membutuhkan waktu beberapa minggu untuk mulai menghasilkan antibodi sejak terjadinya infeksi. Antibodi biasanya dapat dideteksi sekitar 3-8 minggu setelah terinfeksi, dan masa ini disebut periode jendela (window
14
negatif karena antibodinya belum terbentuk sehingga belum dapat
dideteksi , tapi ia sudah bis menularkan HIV pada orang lain lewat cara-
cara yang sudah disebutkan terdahulu. Tes darah yang dilakukan biasanya
menggunakan tes ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) yang
memiliki sensitivitas tinggi - namun spesifikasinya rendah. Bila pada saat
tes ELISA hasilnya positif, maka harus dikonfirmasi dengan tes Western
Blot, yaitu jenis tes yang mempunyai spesifikasi tinggi namun
sensitivitasnya rendah. Karena sifat kedua tes ini berbeda, maka biasanya
harus dipadukan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Selain kedua jenis
tes tadi, ada juga jenis tes lain yang mampu mendeteksi antigen (bagian
dari virus), yaitu NAT (nucleic acid amplification technologies) dan PCR
(polymerase chain reaction).Selain untuk mengetahui status HIV seseorang, tes HIV merupakan
cara untuk menyeleksi darah donor supaya diketahui apakah darah yang
disumbangkan benar-benar layak dan bebas HIV. Disamping itu, tes HIV
digunakan untuk surveillance test, yang bertujuan untuk mengetahui
seberapa jauh epidemi HIV/AIDS tersebar dalam kelompok masyarakat.Status HIV seseorang terbagi menjadi tiga: posistif, negatif dan
tidak diketahui. Orang-orang yang belum menjalani tes HIV statusnya
tergolong tidak diketahui dan bukan negatif, karena status negatif atau
positif hanya dapat diketahui melalui tes HIV. Hasil tes hanya
mencerminkan status seseorang pada saat tes. Bila seseorang tidak
15
menjaga diri agar tidak terinfeksi, meski hasil tes sebelumnya negatif, bisa
jadi disaat lain masuk kategori positif.Tidak semua orang harus menjalani tes HIV. Tes tersebut
disarankan bagi mereka yang mempunyai perilaku berisiko tinggi tertular
HIV. Yang dimaksud dengan perilaku berisiko adalah melakukan
hubungan seksual tanpa kondom dengan berganti-ganti pasangan,
menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, atau memakai jarum
suntik bersama. Selain itu, tes dianjurkan oleh dokter yang menemukan
gejala minor atau mayor AIDS pada pasiennya. Tes HIV harus bersifat :
1. Sukarela : artinya bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV harus
berdasarkan atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan atau tekanan
orang lain. Ini juga berarti bahwa seseorang setuju untuk dites setelah
mengetahui hal-hal apa saja yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan
dan kerugian dari testing, serta apa saja impilkasi dari hasil tes baik positif
atau pun hasil negatif.
2. Rahasia : artinya, apa pun hasil tes ini nantinya (baik positif maupun
negatif) hasilnya hanya boleh di beritahu langsung kepada orang yang
bersangkutan. Tidak boleh diwakilkan kepada siapa pun, baik orang tua,
pasangan, atasan atau siapapun.Sebelum seseorang melakukan tes HIV, diberikan konseling pretes.
Saat konseling akan ditanyakan apakah seseorang yang akan melakukan
tes pernah melakukan perilaku berisiko. Bila tidak maka diambil
16 yang memiliki gejala mayor atau minor jelas disebabkan penyakit lain. Kejujuran seseorang terhadap diri sendiri dan konselor memegang peranan sangat penting dalam proses ini. Berdasarkan pertukaran informasi saat konseling pretes, orang dapat dengan bebas menentukan apakah proses akan dilanjutkan atau tidak. Tes HIV baru dapat dilakukan jika sudah ada pernyataan tertulis (informed consent) dari orang yang akan dites. Pernyataan tertulis itu dibuat setelah dijelaskan prosedur dan dampak atau konsekuensi hasil tes itu kelak (Harahap, 2000).
Tes HIV harus dilakukan dengan menjaga asas konfidensialitas dan harus menjamin hak asasi orang yang dites. Dengan kata lain data harus anonim dan hasil tes hanya boleh diketahui oleh dokter atau konselor yang bersangkutan. Hak menolak tes maupun hak atas kerahasiaan identitas adalah hak asasi yang tidak boleh diganggu gugat. Odha berhak untuk memilih orang lain yang akan diberi tahu mengenai statusnya.
Pernyataan Bruyn (1988) dalam Dokumentasi tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Orang dengan HIV/AIDS di Indonesia (Yayasan Spiritia, 2001), Stigma adalah ekspresi dari norma sosial dan budaya, yang membentuk hubungan antar manusia menurut norma-norma tersebut.
Orang-orang yang distigma biasanya dianggap memalukan untuk alasan- alasan tertentu dan sebagai akibatnya mereka dipermalukan, dihindari, ditolak, didiskreditkan, ditahan atau dihukum.
17 Diskriminasi didefinisikan oleh UNAIDS pada tahun 1988 sebagai tindakan yang disebabkan pembedaan yang menghakimi terhadap orang- orang berdasarkan status HIV mereka, baik yang pasti maupun yang diperkirakan atau keadaan kesehatan mereka. Definisi operasional yang lebih luas menurut Anti-Discrimination Board di New South Wales, Australia, tahun 1992, berkisar dari kekasaran sikap, yang hampir tak kelihatan sampai kekerasan fisik. Bisa bermanifestasi dalam bentuk- bentuk yang nampak bisa diterima dan dibenarkan, atau dalam perilaku yang patologi ekstrim, kadang-kadang bisa sangat eksplisit, tetapi lebih sering halus, canggih dan sulit didefinisikan.
Menerima kenyataan mengidap penyakit mematikan membutuhkan proses tersendiri. Elizabeth Kübler Ross (1969) mengemukakan lima tahap yang biasanya dialami oleh pasien ketika menghadapi kenyataan bahwa dirinya mengidap penyakit yang mematikan. Tahap tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tahap pertama adalah penyangkalan dan pengasingan diri, terjadi pada awal pasien diberitahu tentang penyakitnya sejak awal maupun pada mereka yang tidak secara eksplisit diberitahu
18 kemudian. Fungsi penyangkalan sebagai sebuah penahan setelah berita mengejutkan yang tidak diharapkan.
Penyangkalan membiarkan pasien menguasai diri dan, seiring dengan waktu, menggerakkan yang lain, menjadikan pertahanan tidak terlalu radikal. Biasanya penyangkalan merupakan pertahanan sementara yang akan digantikan oleh penerimaan yang bersifat parsial.
b. Tahap kedua adalah marah. Bila penyangkalan pada tahap
pertama tidak tertahankan lagi, itu akan digantikan dengan rasa marah, gusar, cemburu dan benci. Pertanyaan yang masuk akal adalah: “Mengapa aku?” Berlawanan dengan tahap penyangkalan, tahap marah ini sangat sulit diatasi dari sisi pandang keluarga dan paramedis karena kemarahan itu terjadi di segala penjuru dan diproyeksikan kepada lingkungan pada saat- saat tak terduga.
c. Tahap ketiga, tawar-menawar, tidak terlalu dikenal namun
sebenarnya sangat menolong pasien, meskipun hanya terjadi beberapa saat. Ketika kita tidak mampu menghadapi kenyataan menyedihkan pada awal periode dan menjadi marah terhadap orang-orang sekitar dan Tuhan pada fase kedua, boleh jadi kita akan berhasil membuat perjanjian yang mungkin menunda terjadinya hal yang tidak diharapkan: “Bila Tuhan memutuskan19 permintaan yang kuajukan dengan rasa marah, Ia mungkin akan lebih berkenan bila aku mengajukan permintaan itu dengan lebih baik.” Hampir semua tawar-menawar itu dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara tersirat.
d. Tahap keempat adalah depresi. Ketika pasien tidak mampu lagi menghindari penyakitnya, ketika ia harus menjalani berbagai pembedahan atau perawatan, ia semakin lemah dan kurus- pasien tersebut tidak akan dapat tersenyum lagi. Sikap mati rasa atau tabah, serta kemarahannya segera akan digantikan rasa kehilangan. Depresi tersebut muncul seiring dengan perawatan yang semakin luas dan kebutuhan finansial yang bertambah, selain juga perasaan sedih yang diakibatkan perpisahan pasien dengan dunia.
e. Tahap kelima menerima. Jika pasien mempunyai cukup waktu (misalnya tidak menghadapi kematian yang mendadak) dan dibantu untuk melewati tahap-tahap yang dijelaskan terdahulu, ia akan mencapai tahap dimana ia tidak merasa depresi maupun marah terhadap “nasibnya”. (Ross, 1969).
Diri (self) menurut Carl R. Rogers merupakan gestalt konseptual
20
sifat-sifat dari diri subyek dan diri obyek dan persepsi-persepsi keduanya
dengan orang-orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta
nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini. Dalam diri juga
terdapat diri ideal (ideal self) yaitu apa yang diinginkan seseorang tentang
dirinya. Apabila pengalaman-pengalaman yang dilambangkan yang
membentuk diri benar-benar mencerminkan pengalaman-pengalaman
organisme, maka orang bersangkutan disebut berpenyesuaian baik,
matang, berfungsi sepenuhnya. Orang semacam itu menerima seluruh
pengalaman organismik tanpa merasakan ancaman atau kecemasan.
Inkongruensi antara diri dan organisme menyebabkan individu merasa
terancam dan cemas. Dalam teori Rogers secara implisit terdapat dua
manifestasi lain dari kongruensi-inkongruensi. Pertama adalah kongruensi
atau inkongruensi antara kenyataan subyektif (medan fenomenal) dan
kenyataan luar (dunia sebagaimana adanya). Kedua adalah tingkat
kesesuaian antara diri dan diri ideal. Apabila perbedaan antara diri dan diri
ideal adalah besar, maka orang merasa tidak puas dan tidak dapat
menyesuaikan diri. Dalam salah satu dalilnya, Rogers menunjukkan
bagaimana pentingnya orang tetap selalu meneliti nilai-nilai yang
dimilikinya untuk menjaga penyesuaian diri yang sehat.