BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hukum Administrasi Negara 1. Pengertian Hukum Administrasi Negara - IMPLEMENTASI PERDA KABUPATEN BREBES NO. 2 TAHUN 2011 DALAM PENANGANAN MASALAH KESEMRAWUTAN DI KAWASAN PERKOTAAN KECAMATAN BUMIAYU - repository per

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hukum Administrasi Negara 1. Pengertian Hukum Administrasi Negara Sudikno Mertokusumo dalam buku Mengenal Hukum Suatu

  menyatakan bahwa, hukum itu sendiri bukanlah sekedar

  Pengantar

  kumpulan atau penjumlahan peraturan-peraturan yang masing- masing berdiri sendiri. Hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur- unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur- unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum (Sudikno Mertokusumo, 2003: 122).

  Jika dikatakan di muka bahwa hukum itu merupakan sistem, maka di dalam hukum itu sendiri terdapat sistem (subsistem). Di dalam sistem hukum terdapat bagian-bagian yang masing- masing terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai hubungan khusus atau tatanan. Untuk dapat mengadakan pembagian harus ada kriteriumnya. Pembagian hukum yang lazim diadakan ialah: hukum materiil- hukum formil, hukum publik- hukum perdata (Sudikno Mertokusumo, 2003: 123).

  Sistem terdapat dalam pelbagai tingkat. Dengan demikian terdapat pelbagai sistem. Keseluruhan tata hukum nasional dapat disebut sistem hukum nasional. Kemudian masih dikenal sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum administrasi (Sudikno Mertokusumo, 2003: 123).

  Di dalam buku karya Ridwan HR berjudul Hukum Adminitrasi

  

Negara , dikutip tentang pengertian hukum administrasi negara (HAN)

  dari beberapa tokoh, di antaranya adalah dari: a.

  Sjachtran Basah dalam buku Perlindungan Hukum terhadap Sikap

  Tindak Administrasi Negara mengemukakan bahwa, hukum

  administrasi negara adalah seperangkat peraturan yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, dan melindungi administrasi negara itu sendiri (Ridwan HR, 2003: 26).

  b.

  A.M. Donner menyatakan bahwa, hukum administrasi negara adalah hukum dan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit atau administrasi negara, peraturan- peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif untuk mengatur tindakan pemerintahan dalam hubungannya dengan warga negara, dan sebagian peraturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi negara (Ridwan HR, 2003: 26-27).

2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara

  Di dalam buku Hukum Administrasi Negara karya Ridwan HR, dikatakan bahwa: “Tidak mudah menentukan ruang lingkup dari hukum administrasi negara karena disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor- faktor tersebut mengakibatkan HAN tidak dapat dikodifikasi, faktor- faktor tersebut yaitu: a.

  HAN berkaitan dengan tindakan pemerintahan yang tidak semuanya dapat ditentukan secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan, seiring dengan perkembangan kemasyarakatan yang memerlukan pelayanan pemerintahan dan masing- masing masyarakat di suatu daerah atau negara berbeda tuntutan dan kebutuhan.

  Pembuatan peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, dan instrumen yuridis bidang administrasi lainnya tidak hanya terletak pada satu tangan atau lembaga.

  c.

  HAN berkembang sejalan dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan dan kemasyarakatan, yang menyebabkan pertumbuhan bidang hukum administrasi negara tertentu berjalan secara sektoral” (Ridwan HR, 2006:38).

  Akan tetapi, hukum administrasi yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit secara garis besar mengatur hal- hal antara lain:

  a) perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik; b) kewenangan pemerintah (dalam melakukan perbuatan di bidang publik tersebut); di dalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa, dan bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya; penggunaan kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrumen hukum sehingga diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan instrumen hukum; c) akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan pemerintahan itu;

  d) penegakkan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidang pemerintahan (Ridwan HR, 2006: 44).

  Selain itu, masih dalam buku yang sama disebutkan pula bahwa hukum administrasi dibagi menjadi 2 (dua). Hukum administrasi berbagai peraturan perundang- undangan, dan hukum administrasi tidak tertulis, yang lazim disebut dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak/baik (algemene beginseles van behoorlijk bestuur). Keberadaan dan sasaran hukum administrasi negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang tugas dan kewenangan pemerintah dalam berbagai dimensinya sehingga tercipta penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan yang baik dalam suatu negara hukum (Ridwan HR, 2006: 44-45).

3. Peraturan Perundang-undangan a. Pengertian Peraturan Perundang-undangan

  Peraturan perundang-undangan merupakan sumber hukum yang termasuk dalam sumber hukum formil. Di dalam buku

  Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab karya A. Ridwan

  Halim, disebutkan bahwa:

  Sumber-sumber hukum formil, ialah sumber-sumber hukum yang memiliki bentuk-bentuk (forma) tersendiri yang secara yuridis telah diketahui/berlaku umum. Adapun yang menjadi sumber-sumber hukum yang formil itu ialah: a.

  Undang-undang.

  b.

  Kebiasaan/adat istiadat/tradisi.

  c.

  Traktar.

  d.

  Yurisprudensi. Doktrin (A. Ridwan Halim, 1985: 46-47).

b. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

  Tata urutan peraturan perundang-undangan ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang- undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a.

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

  Undang; d. Peraturan Pemerintah; e.

  Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g.

  Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” Sehubungan dengan hierarki tersebut, di dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 juga disebutkan bahwa, “Kekuatan hukum Peraturan Perundang- undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

c. Asas-asas dalam Peraturan Perundang-undangan

  Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab, ada asas-asas hukum yang berhubungan dengan penerapan a)

  Lex specialis derogat lex generali, artinya (ketentuan) undang- undang yang khusus mengesampingkan berlakunya undang- undang yang umum.

  b) Lex posteriori derogat lex priori, artinya (ketentuan) undang- undang yang ada kemudian mengesampingkan berlakunya undang-undang yang sudah ada sebelumnya.

  c) Lex superior derogat lex inferior, artinya (ketentuan) undang- undang yang lebih tinggi didahulukan derajatnya dari yang lebih rendah.

  d) Lex dura secte mente scripta, artinya undang-undang itu keras, tetapi sudah ditentukan demikian.

  e) Lex niminen cogit ad impossibilia, artinya undang-undang tidak memaksa seorang pun untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin atau tidak masuk akal untuk dilakukan (A. Ridwan Halim: 1985: 53).

  Amiroeddin Syarif dalam bukunya Perundang-undangan,

  Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya membagi asas peraturan

  perundang-undangan menjadi lima, yaitu : a.

  Asas tingkatan hirarkhis; b. undang-undang tidak dapat diganggu-gugat; c. undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-

  general ); d.

  undang-undang tidak berlaku surut; e. undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (Lex posteriore derograt lex priori) (Amiroeddin

  Syarif, 1987: 74).

4. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)

  Asas-asas pemerintahan yang baik selain telah dinormakan ke dalam beberapa peraturan perundang- undangan juga tersebar di dalam praktek-praktek pemerintahan maupun di dalam putusan pengadilan sebagai yurisprudensi. Asas-asas umum pemerintahan yang baik itu mulai dinormakan pertama kali secara jelas di dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Tri Cahya Indra Permana, 2010: 68 dan 72).

  Di dalam Undang- undang No. 28 Tahun 1999 Pasal 1 angka 6 dijelaskan bahwa: “Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.”

  Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 berbunyi bahwa:

1. Asas Kepastian Hukum; 2.

  Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas.

  Selain itu, berkaitan pengertian dari asas-asas tersebut di atas telah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 3 angka 1 sampai angka 7 Undang-undang No. 28 Tahun 1999, yaitu: a.

  Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang- undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. b.

  Asas tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

  c.

  Asas kepentingan umum adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.

  d.

  Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap rahasia negara.

  e.

  Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

  f.

  Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  g.

  Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  Di samping itu, dalam Pasal 58 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan pula asas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa, dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas: a. kepastian hukum; b. tertib penyelenggara negara; c. kepentingan umum; d. keterbukaan; e. proporsionalitas; f. profesionalitas; akuntabilitas; h. efisiensi; i. efektivitas; dan j. keadilan.

  Pengertian dari Pasal 58 huruf a hingga g UU No. 23 Tahun 2014 tersebut sama dengan yang tertuang dalam Penjelasan ayat 3 huruf a hingga g UU No. 28 Tahun 1999. Selain itu, untuk Pasal 58 huruf h hingga i, dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 58 huruf h hingga i UU No. 23 Tahun 2014, yaitu:

  h) asas efisiensi adalah asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai hasil kerja yang terbaik. i) asas efektivitas adalah asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna. j) asas keadilan adalah bahwa setiap tindakan dalam penyelenggaraan negara harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

B. Tinjauan Umum Implementasi 1. Pengertian Implementasi

  Pengertian implementasi dapat diketahui dari berbagai sumber, salah satunya dari kamus Bahasa Indonesia. Di dalam Kamus Besar

  Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (KBBI Daring) , implementasi

  diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud, 2014: .

  Sementara itu, implementasi menurut para ahli didefinisikan sebagai berikut: a.

  Di dalam buku yang berjudul Konteks Implementasi Berbasis

  Kurikulum, Nurman Usman mengemukakan pendapatnya bahwa,

  implementasi atau pelaksanaan adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem, implementasi bukan sekedar aktivitas, tapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan (Nurman Usman, 2002: 70).

  b.

  Menurut Hanifah dalam bukunya yang berjudul Implementasi

  Kebijakan dan Politik mengemukakan pendapatnya bahwa,

  implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kegiatan menjadi tindakan kebijakan dari politik ke dalam administrasi.

  Pengembangan suatu kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program (Hanifah Harsono, 2002: 67).

  c.

  Selain itu, Guntur Setiawan dalam bukunya yang berjudul

  Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan

  pendapatnya bahwa, implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif (Guntur Setiawan, 2004: 39).

   Teori Implementasi Hukum

  Soerjono Soekanto dalam bukunya berjudul Pengantar

  Penelitian Hukum menjelaskan bahwa, “Hukum tumbuh hidup dan

  berkembang di dalam masyarakat. Hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban dan ketentraman bagi kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu sendiri menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan dari hukum itu sendiri adalah untuk mencapai suatu kedamaian dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 1986: 13)”.

  Sehubungan dengan itu, berdasarkan skripsi Sulistyo Wibowo, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, yang berjudul Implementasi Ketentuan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau

  Berdasarkan Pasal 29 Undang–undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Kota Surakarta , telah dijelaskan mengenai teori

  implementasi hukum. Wibowo mengutip dari GG. Howard dan RS

  Summers yang menyatakan bahwa, “Keefektifan hukum bila dikaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya, maka faktor- faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah undang-undang yang mengaturnya harus dirancang dengan baik (perancangan undang-undang) dan mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus memusatkan tugasnya dengan baik pula (Sulistyo Wibowo, Skripsi, 2009)”.

3. Teori Kebijakan

  Dalam skripsi karya Wibowo tersebut, dikutip pula pernyataan dari Thomas R. DYE bahwa, “Berbicara tentang perspektif kebijakan publik mengarahkan perhatian kita untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan (policy making process) oleh pemerintah (government) atau pemegang kekuasaan dan dampaknya terhadap masyarakat luas

  

(public). Secara sederhana pengertian kebijakan publik dirumuskan

  dalam kalimat sebagai berikut: a.

  Apa yang dilakukan oleh pemerintah (what government do?) b.

  Mengapa dilakukan tindakan itu (why government do?) c. Dan apakah terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyataan (what defference it makes?) (Sulistyo Wibowo,

  Skripsi, 2009)”.

  Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga pemerintah dalam berbagai jenjang/tingkat, baik provinsi maupun tingkat kabupaten. Setiap jenjang pelaksanaan pun masih membutuhkan pembentukan kebijaksanaan lebih lanjut dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan untuk memberikan penjabaran lebih lanjut. Apabila sarana yang dipilih adalah hukum sebagai suatu proses pembentukan kebijaksanaan publik, maka faktor- faktor non hukum akan selalu memberikan pengaruhnya dalam proses pelaksanaannya (Sulistyo Wibowo, Skripsi, 2009).

  “Untuk mengantisipasi hal ini diperlukan langkah- langkah kebijaksanaan meliputi: 1) menggabungkan rencana tindakan dari suatu program dengan menetapkan tujuan, standart pelaksanaan, biaya dan waktu yang

  2) melaksanakan program dengan memobilisasi struktur, staf, biaya,

  resources , prosedur, dan metode;

  3) membuat jadwal pelaksanaan (time schedule) dan monitoring untuk menjamin bahwa program tersebut berjalan terus sesuai rencana (Sulistyo Wibowo, Skripsi, 2009)”.

  C.

  

Perda Kabupaten Brebes Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kabupaten Brebes Tahun 2010–2030

1. Pengertian Perda

  Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi: “Peraturan perundang- undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga mengikat umum”.

  Sejalan dengan itu, di dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 terdapat dua pengertian tentang peraturan daerah, yakni peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan daerah provinsi adalah peraturan perundang- undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sementara peraturan dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

  Pemaparan Undang- undang Nomor 12 Tahun 2011 di atas sejalan dengan yang tertuang di dalam Pasal 1 angka 10 Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa, “Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota”.

2. Pengertian Rencana

  Di dalam buku Hukum Administrasi Negara karya Ridwan HR, mengutip dari Bintoro Tjokroamidjojo, “Rencana merupakan alat bagi implementasi, dan implementasi hendaknya berdasar suatu rencana (Ridwan HR, 2006: 195)”.

  Masih di dalam buku yang sama disebutkan bahwa, berdasarkan hukum administrasi negara, rencana merupakan bagian dari tindakan hukum pemerintahan (bestuurrechtshandeling), suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum (Ridwan HR, 2006: 196).

  Sejalan dengan itu di dalam buku Dimensi-Dimensi Pemikiran

  

Hukum Administrasi Negara , menurut Klaus Obermayer, seperti yang

  dikutip Belinfante perencanaan dalam Hukum Administrasi Negara adalah suatu (keseluruhan peraturan yang bersangkut paut yang mengusahakan sepenuhnya mewujudkan suatu keadaan tertentu yang menyeluruh) yang memperjuangkan dapat terselenggaranya suatu keadaan teratur secara tertentu (S.F. Marbun, dkk, 2001: 237).

  “Perencanaan terbagi dalam tiga kategori, yaitu sebagai berikut: a.

  Perencanaan informatif (informatieve planning); b.

  Perencanaan indikatif (indicatieve planning); c. Perencanaan operasional atau normatif (operationele of normatieve

  

planning ), yaitu rencana-rencana yang terdiri dari persiapan-

  persiapan, perjanjian-perjanjian, dan ketetapan-ketetapan. Rencana tata ruang, rencana pengembangan perkotaan, rencana pembebasan tanah, rencana peruntukan (bestemmingsplan), rencana pemberian subsidi, dan lain- lain merupakan contoh-contoh dari rencana operasional atau normatif. Perencanaan seperti ini memiliki akibat hukum langsung (directe rechtsgevolgen), baik bagi pemerintah atau administrasi negara maupun warga negara (Ridwan HR, 2006: 197)”.

  Dari paparan tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa, Perda Kabupaten Brebes Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Brebes Tahun 2010–2030 merupakan suatu ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Brebes adalah suatu rencana operasional atau normatif yang memiliki akibat hukum langsung baik bagi pemerintah atau administrasi negara maupun warga

  Selanjutnya, dalam buku berjudul Dimensi-Dimensi Pemikiran

  Hukum Administrasi Negara karangan S.F. Marbun yang mengutip dari

  tesis Markus Lukman diungkapkan bahwa, dalam hal perencanaan kota, sebelum rencana itu dituangkan dalam formulasi rencana (bentuk yuridis), terlebih dahulu dilakukan pembicaraan dengan masyarakat luas melalui berbagai forum seminar atau diskusi (S.F. Marbun, dkk, 2001: 246)”.

  “Sebab kalau tidak, perencanaan itu hanyalah merupakan suatu dokumen dan bahkan hanya merupakan rumusan tentang cita-cita sehingga dengan demikian kurang memungkinkan pelaksanaannya. Oleh karena itu perencanaan sebagai tindakan administrasi negara harus memperhatikan: a.

  Berorientasi untuk mencapai tujuan. Tujuan itu dapat bersifat ekonomi, politik, sosial budaya, tujuan ideologis dan bahkan kombinasi dari berbagai hal tersebut.

  b.

  Berorientasi pada pelaksanaannya.

  c.

  Perspektif waktu. Untuk mencapai tujuan tertentu, bisa saja secara bertahap (S.F. Marbun, dkk, 2001: 246-247)”.

3. Tata Ruang Wilayah Kabupaten Brebes

  Penataan ruang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal-pasal penting yang penulis gunakan adalah sebagai berikut: a.

  Pasal 1 angka 1: "Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya." b.

  Pasal 1 angka 2: “Tata ruang adalah wujud struktural ruang dan pola ruang.” c.

  Pasal 1 angka 5: “Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang." d.

  Pasal 26 ayat (4): “Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun.” e.

  Pasal 26 ayat (7): “Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten.”

  Selanjutnya, di dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa: “Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;”

  Brebes Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Brebes Tahun 2010–2030 merupakan perda wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Brebes.

  Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 21 Perda Kabupaten Brebes Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Brebes Tahun 2010–2030 telah dijelaskan pengertian Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Brebes Tahun 2010–2030 yang berbunyi: “Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Brebes Tahun 2010–2030 yang selanjutnya disebut RTRW Kabupaten Brebes adalah kebijaksanaan pemerintah daerah yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi, lokasi pengembangan kawasan budidaya termasuk kawasan produksi dan kawasan permukiman, pola jaringan prasarana dan wilayah-wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam kurun waktu perencanaan”.

  Ruang lingkup dari Perda RTRW ini diatur dalam Pasal 2, salah satu ruang lingkup dalam Perda RTRW ini yaitu kawasan strategis. Di dalam Pasal 1 angka 31 Perda RTRW ini disebutkan bahwa, “Kawasan strategis daerah adalah kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup daerah terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan”.

  Sehubungan dengan kawasan strategis di atas, pada Pasal 68 bahwa: (2)

  Kawasan strategis di Kabupaten Brebes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi;

  (3) Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. kawasan sepanjang jalan arteri primer pantura yang termasuk dalam kawasan Perkotaan Bregasmalang (Brebes, Tegal, Slawi,

  Pemalang); b. kawasan Agropolitan Larangan dan kawasan Agropolitan

  Paguyangan; c. kawasan Perkotaan Bumiayu; d. kawasan Perkotaan Ketanggungan-Kersana; dan

  e. kawasan koridor perbatasan Cibening (Cirebon, Brebes, Kuningan).

  Dengan melihat Pasal 68 ayat (3) huruf c Perda RTRW tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa Kecamatan Bumiayu, khususnya kawasan Perkotaan Bumiayu merupakan kawasan strategis bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Brebes yang sesuai dalam Pasal 1 angka 31 Perda RTRW ini penataan ruangnya harus diprioritaskan.

  Pada bagian Lampiran IV tentang Indikasi Program rencana pembangunan yang melibatkan kawasan Perkotaan Kecamatan Bumiayu, yaitu dalam bagian: (1)

PERWUJUDAN STRUKTUR RUANG I.

  Perwujudan Pusat Kegiatan a.

  Perwujudan sistem perkotaan dilakukan melalui program 1.

  Program pengembangan Pusat Kegiatan Lokal :

  • Penyusunan rencana detail tata ruang kota.
  • Penyusunan ketentuan umum peraturan zonasi.
  • Penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan.
  • Penyusunan panduan rancang kota.
  • Pengendalian kegiatan komersial atau perdagangan, mencakup pertokoan, pusat belanja, dan sejenisnya.

  Lokasi dari program ini adalah kawasan Perkotaan Brebes, kawasan Perkotaan Ketanggungan dan kawasan

  Perkotaan Bumiayu, dengan prakiraan biaya Rp 1.200.000.000,00 dari APBD, yang akan dilaksanakan oleh Bappeda, DPU dan TR dengan waktu pelaksanaan adalah dari tahun 2011 hingga 2015. (3)

  PERWUJUDAN KAWASAN STRATEGIS c.

  Perwujudan Kawasan Perkotaan Bumiayu: 1.

  Penanganan permasalahan kebersihan, kekumuhan, dan “kesemrawutan kegiatan perkotaan”. dengan prakiraan biaya sebesar Rp 15.000.000.000,00 dari APBD Provinsi dan APBD yang instansi pelaksananya adalah Bappeda, DPU dan TR dengan waktu pelaksanaan adalah dari tahun 2011 hingga 2015.

  2. Pengembangan pusat perekonomian yang terkait dengan potensi daerah yang ada di sekitarnya.

  Lokasi dari program ini adalah di Kecamatan Bumiayu dengan prakiraan biaya sebesar Rp 10.000.000.000,00 dari APBD Provinsi dan APBD yang instansi pelaksananya adalah Bappeda, DPU dan TR dengan waktu pelaksanaan adalah dari tahun 2011 hingga 2015.

  3. Penyediaan jaringan utilitas dan infrastruktur kota Lokasi dari program ini adalah di Kecamatan Bumiayu dengan prakiraan biaya sebesar Rp 20.000.000.000,00 dari

  APBD Provinsi dan APBD yang instansi pelaksananya adalah Bappeda, DPU dan TR dengan waktu pelaksanaan adalah dari tahun 2011 hingga 2015.

  4. Mengembangkan sistem pembiayaan pembangunan kawasan perkotaan Lokasi dari program ini adalah di Kecamatan Bumiayu dengan prakiraan biaya sebesar Rp 1.000.000.000,00 dari

  APBD, dengan Instansi Pelaksana adalah Bappeda, DPU hingga 2015.

  Selain itu terkait dengan hal di atas, masih ada beberapa pasal dalam Perda RTRW Kabupaten Brebes yang cukup penting, yaitu: a)

  Pasal 1 angka 53, yang berbunyi: “Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah kabupaten sesuai dengan RTRW kabupaten melalui penyusunan dan pelaksanaan program penataan/pengembangan utama jangka menengah lima tahunan kabupaten yang berisi rencana program utama, sumber pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan.”

  b)

  Pasal 1 angka 55, yang berbunyi: “Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, lokasi, besaran, waktu pelaksanaan, sumber dana, dan instansi pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang kabupaten yang sesuai dengan rencana tata ruang.”

  Dari pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa program penanganan masalah kesemrawutan tersebut merupakan program utama jangka menengah yang telah ditetapkan bahwa program penanganan masalah kesemrawutan ini adalah program perwujudan kawasan strategis Perkotaan Bumiayu yang lokasinya berada di Kecamatan waktu pelaksanaannya adalah dari tahun 2011 hingga 2015. Sumber dana untuk program ini adalah dari APBD Provinsi dan APBD yang instansi pelaksananya adalah Bappeda serta DPU dan TR Kabupaten Brebes.

  Sejalan dengan itu, berkaitan dengan program utama jangka menengah daerah ada dokumen perencanaan pembangunan daerah yang harus dibuat oleh pemerintah daerah, hal ini diatur dalam Undang- undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 263 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut tertulis bahwa: (1)

  Dokumen perencanaan pembangunan daerah terdiri atas: a.

  RPJPD; b. RPJMD; dan c. RKPD

  (2) RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penjabaran dari visi, misi, arah kebijakan dan sasaran pokok pembangunan daerah jangka panjang untuk 20 (dua puluh) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPN dan rencana tata ruang.

  (3) RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang memuat tujuan, sasaran, arah kebijakan, pembangunan daerah dan keuangan yang disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN.

  Selain itu, di dalam Pasal 1 angka 28 Undang-undang Nomor

  23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga disebutkan bahwa: “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun.”

  Berkaitan dengan RPJMD tersebut, di dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa, “Kepala daerah mempunyai tugas menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD”.

  Selain RPJMD, dalam penataan ruang juga diperlukan adanya BKPRD yaitu Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) Permendagri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah dinyatakan bahwa, Bupati/Walikota mempunyai tugas dan bertanggungjawab dalam penataan ruang dengan membentuk BKPRD Kabupaten/Kota.

  Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 13 ayat (3) disebutkan bahwa: “Susunan keanggotaan BKPRD Kabupaten/Kota sebagaimana a.

  Penanggung jawab : Bupati dan Wakil Bupati; Walikota dan Wakil Walikota;

  b. : Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota; Ketua

  c. : Kepala Bappeda Kabupaten/Kota; Sekretaris

  d. : SKPD terkait penataan ruang yang disesuaikan Anggota dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.”

  Di samping itu, BKPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas yang penting dalam penataan ruang. Dalam Pasal 14 ayat (1) berbunyi: “BKPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan koordinasi penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), mempunyai tugas: a.

  Perencanaan tata ruang meliputi: 1. mengoordinasikan dan merumuskan penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota;

  2. memaduserasikan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah dengan rencana tata ruang kabupaten/kota serta mempertimbangkan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan melalui instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); 3. mengintegrasikan, memaduserasikan, dan mengharmonisasikan rencana tata ruang kabupaten/kota dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang pulau/kepulauan, rencana wilayah provinsi, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang berbatasan; 4. mensinergikan penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota dengan provinsi dan antar kabupaten/kota yang berbatasan;

  5. mengoordinasikan pelaksanaan konsultasi rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kabupaten/kota kepada

  BKPRD Provinsi dan BKPRN; 6. mengoordinasikan pelaksanaan evaluasi rencana tata ruang kabupaten/kota ke provinsi;

  7. mengoordinasikan proses penetapan rencana tata ruang kabupaten/kota; dan

  8. mengoptimalkan peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang. b.

  Pemanfaatan ruang meliputi: 1. mengoordinasikan penanganan dan penyelesaian permasalahan dalam pemanfaatan ruang baik di kabupaten/kota, dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya; 2. memberikan rekomendasi guna memecahkan permasalahan dalam pemanfaatan ruang kabupaten/kota;

  3. memberikan informasi dan akses kepada pengguna ruang terkait rencana tata ruang kabupaten/kota; menjaga akuntabilitas publik sebagai bentuk layanan pada jajaran pemerintah, swasta, dan masyarakat;

  5. melakukan fasilitasi pelaksanaan kerjasama penataan ruang antar kabupaten/kota; dan

  6. mengoptimalkan peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang.

  c.

  Pengendalian pemanfaatan ruang meliputi: 1. mengoordinasikan penetapan peraturan zonasi sistem kabupaten/kota;

  2. memberikan rekomendasi perizinan pemanfaatan ruang kabupaten/kota;

  3. melakukan identifikasi dalam pelaksanaan insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang kabupaten/kota dengan provinsi dan dengan kabupaten/kota terkait;

  4. melakukan fasilitasi pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan penataan ruang;

  5. melakukan fasilitasi pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menjaga konsistensi pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang; dan 6. mengoptimalkan peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

  Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa selain Bappeda dimaksud yang menentukan implementasi dari program penanganan masalah kesemrawutan tersebut, Bupati sebagai kepala daerah juga ikut menentukan implementasinya.

D. Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes 1. Kabupaten Brebes

  Seperti yang tercantum dalam website resmi Kabupaten Brebes berjudul Profil Daerah, Kabupaten Brebes terletak di bagian utara paling barat Provinsi Jawa Tengah, di antara koordinat 108° 41' 37,7" - 109° 11' 28,92" Bujur Timur serta 6° 44' 56,5" - 7° 20' 51,48 Lintang Selatan.

  Kabupaten Brebes yang berada di ujung barat Provinsi Jawa Tengah ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara : Laut Jawa Sebelah timur : Kabupaten Tegal dan Kota Tegal Sebelah selatan : Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap Sebelah barat : Provinsi Jawa Barat (Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes, 2012: 6).

  Di samping itu, Kabupaten Brebes juga merupakan salah satu kabupaten yang cukup luas. Hal ini dapat dilihat dalam Buku Induk

  

Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Per Provinsi,

Kabupaten/Kota dan Kecamatan Seluruh Indonesia yang bersumber

  dari Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Bulan

  18 Tahun 2013 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan bahwa Kabupaten Brebes memiliki

  2

  luas wilayah sebesar 1.902,37 km dengan jumlah penduduk 1.764.041 jiwa (Kemendagri, 2013: 91).

  Secara Administrasi Kabupaten Brebes dibagi menjadi 17 wilayah kecamatan terdiri dari 292 desa dan 5 kelurahan. Dari jumlah itu dibagi habis menjadi 1.084 dusun, 1.631 RW/Lingkungan dan 8.653 Rukun Tetangga/RT (Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes, 2012: 23).

  Sehubungan dengan itu, di dalam Tabel Jumlah

  Desa/Kelurahan, Dusun, RW & RT Di Kabupaten Brebes 2012 telah

  dipaparkan secara rinci mengenai jumlah desa/kelurahan, dusun, RW dan RT. Dari tabel tersebut kecamatan di Kabupaten Brebes terdiri dari Kecamatan Salem, Bantarkawung, Bumiayu, Paguyangan, Sirampog,

  Tonjong, Larangan, Ketanggungan, Banjarharjo, Losari, Tanjung, Kersana, Bulakamba, Wanasari, Songgom, Jatibarang dan Kecamatan Brebes (Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes, 2012: 26).

  Selain itu, dalam portal resmi Provinsi Jawa Tengah berjudul

  Kabupaten Brebes dijelaskan bahwa, wilayah administrasi Kabupaten

  Brebes terdiri dari lima kecamatan yang merupakan wilayah pantai, sembilan kecamatan dataran rendah dan tiga kecamatan dataran tinggi .

   Kecamatan Bumiayu

  Informasi mengenai Kecamatan Bumiayu dapat diperoleh dari beberapa sumber. Berdasarkan pemaparan mengenai Kabupaten Brebes di atas, maka dapat diketahui bahwa Kecamatan Bumiayu adalah salah satu kecamatan yang merupakan wilayah dari Kabupaten Brebes.

  Kecamatan Bumiayu terletak di sebelah selatan Ibukota Kabupaten Brebes dengan batas-batas sebagai berikut :

  : Kecamatan Sirampog dan Tonjong Sebelah utara

  • : Kecamatan Bantarkawung dan Paguyangan Sebelah selatan
  • : Kecamatan Bantarkawung Sebelah barat
  • : Kecamatan Paguyangan (Badan Pusat Sebelah timur
  • Statistik Kabupaten Brebes, 2011: 2).

  Kecamatan Bumiayu merupakan daerah berbukit-bukit. Sementara Ibukota Kecamatan dilalui oleh dua buah sungai yaitu Sungai Keruh dan Sungai Kalierang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes, 2011: 2).

  Berdasarkan Tabel Banyaknya Dukuh, Rukun Warga (RW) dan

  Rukun Tetangga (RT) di Kecamatan Bumiayu Tahun 2010 yang

  bersumber dari Laporan Monografi Desa Kecamatan Bumiayu, maka dapat diketahui bahwa, Kecamatan Bumiayu terdiri dari 15 desa/kelurahan, 141 dukuh/dusun, 578 RT, serta 95 RW. Desa/kelurahan tersebut meliputi: Pruwatan, Laren, Jatisawit, Negaradaha, Kalierang, Langkap, Adisana, Penggarutan, Dukuhturi, Bumiayu, Kaliwadas, Pamijen, Kalisumur, Kalilangkap dan Kalinusu E.

   Penanganan Masalah Kesemrawutan di Kawasan Perkotaan 1. Pengertian Penanganan

  Istilah “penanganan” merupakan bentuk berafiks yang mengacu kepada proses atau perbuatan yang dibentuk dari verbal “menangani”. Seperti dikutip dari buku Pedoman Umum EYD dan

  Dasar Umum Pembentukan Istilah disebutkan bahwa, istilah bentuk

  berafiks disusun dari bentuk dasar dengan penambahan prefix, infiks, sufiks dan konfiks sesuai kaidah pembentukan kata Bahasa Indonesia (Dion Yulianto (ed), 2011: 130).

  Sementara itu, definisi menangani dapat diperoleh dari beberapa sumber yakni di dalam kamus-kamus Bahasa Indonesia. Di dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karya Yanti Yuniar disebutkan bahwa, menangani berarti mengerjakan (menggarap) sendiri, memukul atau mengurusi (Yanti Yuniar, Tanpa Tahun: 572).

  Pengertian yang sama juga penulis dapatkan dari Tim Pandom Media Nusantara dalam Kamus Bahasa Indonesia Edisi Baru yang memberikan definisi menangani berarti mengerjakan (menggarap) sendiri. Sedangkan penanganan didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan menangani atau penggarapan (Tim Pandom Media Nusantara, 2014: 842).

2. Pengertian Masalah

  Pengertian masalah dapat diketahui dari berbagai sumber, salah satunya dari kamus Bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar

  Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (KBBI Daring) , masalah diartikan

  sebagai sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan); soal; persoalan (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud, 2014: .

  Selain itu, pengertian masalah juga dapat diketahui dari para ahli. Menurut Rianto Adi dalam bukunya Metodologi Penelitian Sosial

  dan Hukum , masalah adalah setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya (Rianto Adi, 2005:15).

  Rianto Adi juga mengutip pendapat dari buku yang ditulis oleh Fisher, dkk yang menyatakan bahwa, “Masalah diartikan sebagai: a. suatu kesulitan yang dirasakan oleh seseorang; atau b. suatu perasaan yang tidak menyenangkan seseorang atas fenomena yang ada/terjadi; atau c. suatu ketidaksukaan atau penyimpangan yang dirasakan atas ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang ada/terjadi’ (Rianto Adi, 2005:

  15)”.

  3. Pengertian Kesemrawutan

  Istilah kesemrawutan merupakan kata sifat dari kata dasar semrawut. Di dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Yanti Yuniar disebutkan bahwa, semrawut berarti tidak teratur, tidak rapi atau kacau balau (Yanti Yuniar, Tanpa Tahun: 542).

  Sejalan dengan itu, pengertian semrawut juga diartikan tak jauh berbeda dengan pengertian sebelumnya. Ernawati Waridah dan Suzana dalam Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, Mahasiswa dan

  

Umum menuliskan bahwa, semrawut berarti kacau balau, acak-acakan

atau tidak teratur (Ernawati Waridah dan Suzana, 2014: 509).

  Selanjutnya, senada dengan pengertian semrawut menurut Waridah dan Suzana, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam

  

Jaringan (KBBI Daring) , semrawut juga diartikan dengan kacau balau,

  acak-acakan atau tidak teratur. Sedangkan kesemrawutan adalah keadaan semrawut, kacau balau, acak-acakan atau tidak teratur (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud, 2014: .

  4. Kawasan Perkotaan a. Definisi Kawasan Perkotaan

  Menurut Undang- undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan kawasan perkotaan dalam konsep penataan ruang adalah kawasan yang memiliki kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

  Sejalan dengan itu, dalam Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 199 ayat (6), diatur pula mengenai pengaturan terhadap kawasan perkotaan yang berbunyi: “Dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan kawasan perkotaan, pemberdayaan masyarakat”.

  Selain itu, berdasarkan informasi dari internet dengan judul Definisi Kota dan Kawasan Perkotaan dijelaskan bahwa kawasan perkotaan memiliki beberapa kriteria. “Kriteria kawasan perkotaan tersebut meliputi:

  1. Memiliki karakteristik kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau mata pencaharian penduduknya terutama di bidang industri, perdagangan dan jasa; 2. Memiliki karakteristik sebagai pemusatan dan distribusi pelayanan barang dan jasa didukung prasarana dan sarana termasuk pergantian modal transportasi dengan pelayanan skala kabupaten atau beberapa kecamatan

  ”.

  Sehubungan dengan itu, berdasarkan rangkuman dari

  Pasal 119 ayat (1) sampai (4) Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dinyatakan sebagai berikut: “Kawasan Perkotaan dapat berbentuk: a.

  Kota sebagai daerah otonom; adalah kota yang dikelola oleh pemerintah kota; b.

  Kota yang menjadi bagian daerah kabupaten yang memiliki lembaga pengelola yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada pemerintah kabupaten.

  c.

  Kota yang menjadi bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan; dalam hal penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu dikelola bersama oleh daerah terkait”.

b. Kawasan Perkotaan Bumiayu

  Di dalam Peta Rencana Kawasan Strategis, Perda Kabupaten Brebes Nomor 2 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Brebes Tahun 2010–2030, dapat diketahui bahwa, kawasan Perkotaan Bumiayu dibagi menjadi 2, yaitu kawasan Perkotaan Bumiayu yang termasuk kawasan strategis kabupaten dan kawasan strategis provinsi. Di mana kawasan perkotaan tersebut, membentang dari Kecamatan Bumiayu hingga Kecamatan Tonjong.

  Berdasarkan peta rencana kawasan strategis tersebut, jika dilihat lagi, sedikitnya ada beberapa desa di Kecamatan Bumiayu yang termasuk ke dalam kawasan Perkotaan Bumiayu. Desa-desa tersebut antara lain, Desa Jatisawit, Kalierang, Bumiayu dan Dukuhturi.

  Di dalam definisi kawasan perkotaan telah disebutkan bahwa salah satu dari kriteria kawasan perkotaan ialah memiliki kegiatan utama di bidang industri, perdagangan dan jasa.

  

Laporan Monografi Kecamatan Bumiayu Tahun 2010, dari total 7

  pasar yang ada di Kecamatan Bumiayu, 4 pasar berada di kawasan Perkotaan Bumiayu yakni 1 di Desa Jatisawit, 2 di Kalierang dan 1 di Bumiayu (Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes, 2011: 61).

  Selain itu, masih dari Laporan Monografi Kecamatan

  

Bumiayu Tahun 2010 sedikitnya ada 588 toko/kios/warung yang

  ada di Kecamatan Bumiayu. Toko/kios/warung tersebut 84 terletak di Desa Jatisawit, 70 di Dukuhturi dan 250 berada di Bumiayu serta sisanya tersebar di seluruh desa di Kecamatan Bumiayu (Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes, 2011: 62).

  Di samping itu, dari Laporan Monografi Kecamatan

  

Bumiayu Tahun 2010 tersebut juga disebutkan mengenai jumlah

  hotel/losmen dan jumlah rumah/warung makan. Dari data laporan tersebut, total hotel/losmen yang berada di Kecamatan Bumiayu berjumlah 4 buah. Di mana 1 hotel/losmen berada di Desa Jatisawit, 1 di Dukuhturi dan 1 di Bumiayu. Sementara itu, dari 804 jumlah rumah/warung makan yang berada di Kecamatan Bumiayu sebagian besar juga terletak di kawasan Perkotaan Bumiayu. Rumah/warung makan tersebut antara lain, 38 di Jatisawit, 9 di Kalierang, 718 di Dukuhturi dan 25 di Bumiayu (Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes, 2011: 63).

  Dari data-data tersebut maka dapat diketahui bahwa rumah/warung makan dan hotel yang ada di Kecamatan Bumiayu sebagian besar memang berada di kawasan Perkotaan Bumiayu. Belum lagi fasilitas- fasilitas dan sarana-sarana lain, seperti kesehatan, pendidikan, tempat ibadah dan lain sebagainya yang banyak pula berada di kawasan Perkotaan Bumiayu.