Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Kewenagan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Sistem Pemerintahan Desa

(1)

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA

SKRIPSI

Diajukan Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat

untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

OLEH

MOSES RITZ OWEN TARIGAN

NIM: 080200372

Departemen Hukum Administrasi Negara

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP

KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA

SKRIPSI

Diajukan Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

OLEH

MOSES RITZ OWEN TARIGAN NIM: 080200372

Departemen Hukum Administrasi Negara

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

NIP. 196002141987032002 Suria Ningsih, SH M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Pendastaren Tarigan, SH MS NIP.

Suria Ningsih, SH M.Hum 195409121984031001 NIP. 196002141987032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan karya ilmiah yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENAGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA” Untuk Memeperoleh gelar Sarjana Hukum, Universitas Sumatera Utara.

Penulisan Judul ini didasari atas ketertarikan terhadap Badan Permusyawaratan Desa. Yang di mana Badan Permusyawaratan Desa di dalam Pemerintahan Desa sering mendapat kendala-kendala dalam melaksananakan tugasnya sebagai Badan Permusyawaratan Desa, Sehingga keberadaan Badan Permusyawaratan Desa yang masuk dalam Struktur HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Kurang efektif keberadaannya.

Dalam Penulisan Skripsi ini penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan dan juga masukan sehingga penulis Skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar sehingga dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis dengan ketulusan hati mengucapkan terima kasih Kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syarifudin Hasibuan, SH, MH, DFM, Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

ii

4. Muhammad Husni, SH, MH, Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Suria Ningsih, SH, M.Hum, Selaku ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, Dosen Pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

7. Seluruh staf dosen pengajar fakultas hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang Hukum.

Penulis ingin juga mengucapkan terima kasih kepada yang teristimewa: a. Para Orang Tua Penulis, Drs. Rasin Tarigan, SE, M.Sc, Maria Kaban, SH,

M.Hum, Sariaman Tarigan dan juga saudara kandung dari penulis yakni Louis Eu Nico Tarigan dan Diana Lee Tarigan yang selalu mendukung dalam doa dan memberikan motivasi bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.

b. Kepada keluarga besar dan saudara-saudaraku yakni: Misalina Br. Bukit, SH, Enos Syahputra Sipahutar, SH, Agie Gama, Anthony Patam, Cok Bernad, Dhani Bayuana, Efraim Antoni, Franky Tarumta, Friskana, Hariman, Rezky Diapani, Prabowo, Rully Alfredo, Syamsir Amri, Thimothy Ananta, Waspada Afrianto, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas doa, dukungan dan motivasi yang telah diberikan.


(5)

iii

c. Kepada Teman-teman Royal Warrior and Company, Ikatan Mahasiswa Karo, Super Patam X Grup, dan Master Forex Grup yang selalu mendukung memberikan motivasi dan doa, serta menjadi teman yang menghibur dan memberi dukungan secara materi selama pengerjaan penulisan skripsi ini.

d. Kepada teman-teman dan senior-senior di kampus yang selalu mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya walaupun disadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkat dari Tuhan. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, Oktober 2012 Hormat Saya


(6)

iv ABSTRAK

Dr. Pendastaren Tarigan, SH MS* Suria Ningsih, SH M.Hum** Moses Ritz Owen Tarigan***

Adanya aturan hukum mengenai pemerintahan desa yang belum membuahkan hasil atas apa yang semestinya diharapkan dari Peraturan Hukum dan undang-undang. Sistem pemerintahan desa sering kali terabaiakan oleh perangkat-perangkat desa yang terkait didalamnya, baik seketaris desa maupun Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintahan desa yang tidak mengetahui tupoksi dan wewenangnya secara jelas membuat tidak adanya keharmonisan dari perangkat-perangkat desa. Kepala desa lebih dominan dalam menjalankan pemerintahan desa yang dimana tata pemerintahannya terdapat perangkat-perangkat desa dan Badan Permusyawaratan desa.

Permasalahan yang dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENAGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA. Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pengumpulan data dengan cara penelusuran kepustakaan dan mengkaji bahan penelitian yang berupa data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, dan buku-buku yang terkait dalam sistem pemerintahan desa, yang kemudian di analisis secara kulitatif dengan menguraikan dengan kata-kata.

Pada analisis yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang otonomi, terdapat beberapa wewenang yang harus diketahui oleh Badan Permusyawaratan Desa, sehingga dapat menjalankan wewenangnya untuk memaksimalkan kinerjanya dan membangun keserasian hubungan kerja yang saling membantu dan saling mengawasi dalam sistem pemerintahan desa oleh kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Sehingga tidak timbul rasa iri-irian dari masing-masing pihak yang menghambat perkembangan pemerintahan desa dan masyarakat desa dalam desa tersebut.

Dengan demikian peraturan perundang-undagan yang dibuat tidak diketahui secara menyeluruh oleh kamu masyarakat, terlebih didesa, sehingga pengertian dan pemahaman terhadap aturan hukum tidak tersampaikan yang membuat aturan hukum tersebut menjadi tidak efektif bagi daerah pedesaan.

Kata Kunci: Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Hukum Administrasi Negara

________________________________

*Dosen Pembimbing I, Departemen HAN Fakultas Hukum USU **Dosen Pembimbing II, Departemen HAN Fakultas Hukum USU ***Mahasiswa Departemen HAN Fakultas Hukum USU


(7)

v DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Mamfaat penelitian ... 7

D. Keaslian Penulis ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metodologi Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA ... 13

A. Latar belakang Berdirinya Badan Permusyaratan Desa dan Pemerintahan Desa ... 13

B. Pengertian Badan Permusyaratan Desa dan Pemerintahan Desa ... 14

C. Dasar Hukum Pembentukan Badan Permusyaratan Desa ... 28


(8)

vi

BAB III TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA... 35

A. Pengertian Hukum Administrasi Negara ... 35

B. Pengertian Dan Kedudukan Pemerintahan Desa Dalam Hukum Administrasi Negara ... 40

C. Kewenangan Badan Permusyawaratan Desa Sebagai Unsur Penyelenggara Pemerintahan Desa ... 53

D. Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Badan Permusyawaratan Desa Dalam Sistem Pemerintahan Desa ... 56

BAB IV HUBUNGAN YURIDIS ANTARA BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN PEMERINTAHAN DESA (PERANGKAT DESA) ... 72

A. Hubungan Badan Permusyawaratan Desa Dengan Prangkat Pemerintahan Desa ... 72

B. Kendala-kendala yang dihadapi Badan Pemerintahan Desa Dalam Pelaksanaan Kewenangannya ... 85

C. Upaya Mengatasi Kendala-kendala yang Dihadapi Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pelaksanaan Kewenangannya 89 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 95


(9)

iv ABSTRAK

Dr. Pendastaren Tarigan, SH MS* Suria Ningsih, SH M.Hum** Moses Ritz Owen Tarigan***

Adanya aturan hukum mengenai pemerintahan desa yang belum membuahkan hasil atas apa yang semestinya diharapkan dari Peraturan Hukum dan undang-undang. Sistem pemerintahan desa sering kali terabaiakan oleh perangkat-perangkat desa yang terkait didalamnya, baik seketaris desa maupun Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintahan desa yang tidak mengetahui tupoksi dan wewenangnya secara jelas membuat tidak adanya keharmonisan dari perangkat-perangkat desa. Kepala desa lebih dominan dalam menjalankan pemerintahan desa yang dimana tata pemerintahannya terdapat perangkat-perangkat desa dan Badan Permusyawaratan desa.

Permasalahan yang dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENAGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA. Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pengumpulan data dengan cara penelusuran kepustakaan dan mengkaji bahan penelitian yang berupa data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, dan buku-buku yang terkait dalam sistem pemerintahan desa, yang kemudian di analisis secara kulitatif dengan menguraikan dengan kata-kata.

Pada analisis yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang otonomi, terdapat beberapa wewenang yang harus diketahui oleh Badan Permusyawaratan Desa, sehingga dapat menjalankan wewenangnya untuk memaksimalkan kinerjanya dan membangun keserasian hubungan kerja yang saling membantu dan saling mengawasi dalam sistem pemerintahan desa oleh kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Sehingga tidak timbul rasa iri-irian dari masing-masing pihak yang menghambat perkembangan pemerintahan desa dan masyarakat desa dalam desa tersebut.

Dengan demikian peraturan perundang-undagan yang dibuat tidak diketahui secara menyeluruh oleh kamu masyarakat, terlebih didesa, sehingga pengertian dan pemahaman terhadap aturan hukum tidak tersampaikan yang membuat aturan hukum tersebut menjadi tidak efektif bagi daerah pedesaan.

Kata Kunci: Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Hukum Administrasi Negara

________________________________

*Dosen Pembimbing I, Departemen HAN Fakultas Hukum USU **Dosen Pembimbing II, Departemen HAN Fakultas Hukum USU ***Mahasiswa Departemen HAN Fakultas Hukum USU


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sejak diundangkannya PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya memuat pasal-pasal yang mengatur tentang pemerintahan desa (Bab XI Pasal 200 s.d 216), banyak pihak yang mempertanyakan mengenai arah dasar kebijakan tentang pemerintahan desa berubah-ubah, tetapi tidak menyentuh substansi dasar pengolahan pemerintahan desa secara proporsional.

Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maka Peraturan Pemerintah No 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa harus disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tentang perubahan atas Undang-Undang no 32 Tahun 2004. Walaupun terjadi pergantian Undang-Undang namun prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan mengenai Desa masih tetap berlaku yaitu;

1. Keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti pola penyelenggaraan pemerintah serta pelaksanaan pembangunan di Desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini Undang-Undang Dasar Negara


(11)

2

Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesame warga desa.

3. Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempatdidasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai social budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan negarayang selalu mengikuti perkembangan jaman.

4. Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan di Desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakatyang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintahan Desa. 5. Pmberdayaan Masyarakat, memiliki makn bahwa penyelenggaraan

pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahtraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.1

1


(12)

3

Dalam Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hokum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.

Ada 4 (empat) sumber hal mendasar yang banyak dipertanyakan orang mengenai kebijakan pengaturan tentang desa.

1. Mengenai kerangka hokum dan kedudukan desa atas hasil Amandemen UUD 1945, ternyata pengelolaan pemerintahan desa tidak diatur secara eksplisit di dalamnya tetapi disiapkan dalam kebijakan mengenai pemerintahan daerah. Konsekuensinya, eksistensi desa berada di dalam wilayah yuridiksi dan merupakan subsistem pemerintah daerah (kabupaten/kota). Akibatnya, desa kehilangan kontak hubungan secara langsung dengan Propinsi dan Pemerintah Pusat.2

2. Mengenai kewenangan desa, kewenangan-kewenangan desa dinilai masih belum jelas meskipun telah diatur dalam UU No. 32/2004 Pasal 206

2

Daeng Sudiro, Pembahasan Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah dan Pemerintahan Desa, Angkasa, Bandung, 1985, hal. 35


(13)

4

kewenangan asal usul dan adat istiadat pada umumnya sudah hancur karena masuknya intervensi Negara dan eksploitasi modal. Yang masih tersisa adalah ritual adat di desa yang sama sekali tidak berkaitan dengan kewenangan kepemerintahan. Hal ini karena desentralisasi dan otonomi daerah berhenti di kabupaten/kota, maka kewenangan desa sangat bergantung pada “budi baik” pimpinan daerah masing-masing.

3. Mengenai keuangan dan ekonomi desa. PP No. 72 Tahun 2005 cukup tegas menyebutkan sumber-sumber pendapatan (keuangan) desa namun dalam realisasinya pemerintah dan masyarakat desa tidak pernah jelas mengenai hal ini. Keterbukaan informasi dan kebijakan keuangan pemerintah supradesa tidak pernah sampai di desa. 3

Di pihak lain, banyak proyek pengembangan usaha kecil dan mikro kredit (mislnya) tidak pernah berkaitan langsung dengan pemerintah desa kecuali hanya dengan kepala desa secara individual. Proyek-proyek pengembangan ekonomi pedesaan ini, dengan demikian tidak pernah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya penguatan pemerintahan desa.4

4. Mengenai demokrasi dalam system dan tata pemerintahan desa. Perubahan UU No. 34 Tahun 2004 menjadi PP No. 72 Tahun 2005 mengubah system pemilihan.

5

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) secara langsung menjadi system pengangkatan Badan Permusyawaratan Desa (Bamusdes). Persoalan mengenai

3

Daeng Sudiro, Op.Cit. Hlm. 37

4

A.W Widjaja, Sumber pandapatan yang telah dimiliki atau dikelola oleh desa, PT. Raja Grafindo Persada Bina Aksara, Jakarta, 2003, Hlm. 132

5


(14)

5

Bamusdes sebenarnya bukan hanya pada system pengangkatannya, tetapi juga pada fungsi (peran) yang harus dilakukan bersama dengna kepala desa yang dipilih menyusun dan mengesahkan peraturan-peraturan desa. Akibatnya, secara popular legitimasi aturan-aturan desa yang ditetapkan dapat dinilai tidak kuat. Fungsi pengawasan Bamusdes terhadap kinerja kepala desa di dalam PP No. 72 Tahun 2005 tidak ada. Kepala desa dipilih secara langsung oleh rakyat desa tetapi pertanggungjawabannya tidak kembali kepada rakyat desa sebagai konstituenya melainkan kepada Bupati melalui Camat. Mekanisme pertanggungjawaban kepala desa ini jelas mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas kepada desa yang dapat berakibat pada responsivitas kepala desa terhadap kepentingan dan kebutuhan rakyat desa rendah. 6

Selama ini, pembahasan mengenai desa dan pengaturan kebijakan mengenai pemerintahan desa belum pernah dilakukan secara mendalam dan menyeluruh melalui suatu proses kontrak social yang terbuka. Penyusunan kebijakan pengaturan mengenai desa cenderung elitis dan tertutup sehingga hasilnya hampir selalu menimbulkan “kejutan-kejutan” di kalangan masyarakat luas. 7

Oleh adanya perubahan-perubahan, kebijakan pengaturan mengenai pemerintah desa, pemerintahan kabupaten dan desa (termasuk masyarakat desa sendiri) dituntut untuk terus melakukan penyesuaian-penyesuaian yang didalam prosesnya tidak sedikit menimbulkan gesekan social dan politik yang berimplikasi pada terganggunya proses pembangunan demokrasi dan ekonomi masyarakat desa

6

W. Widjaja, Pemerintah Desa/Marga, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2001, hlm. 13 7


(15)

6

itu sendiri. Berangkat dari 4 (empat) permasalahan dasar ini, muncul kebutuhan untuk bersama untuk mempertajam konsep mengenai desa secara komprehensif dan proporsional atas realitas kemajemukan kondisi desa-des di Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian penulisan dalam bentuk skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA.”


(16)

7 B. Perumusan Masalah

Adapun Permasalahan yang akan diangkat penulis adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kewenangan Badan Permusyawaratan Desa dalam

melaksnakan pemerintahan desa?

2. Bagaimana hubungan Badan Permuswayaratan Desa dengan perangkat pemerintahan desa?

3. Bagaimana Badan Permusyawaratan Desa menjalankan kewenanganya 4. Bagaimana kinerja Badan Permusyawaratan Desa.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dlam penelitian ini adalah :

a. Untuk menganalisa kewenangan Badan Permusyawaratan Desa dalam melaksanakan pemerintahan desa.

b. Untuk menganalisa hubungan Badan Permusyawaratan Desa dengan perangkat pemerintah desa.

c. Untuk menganalisa kendala-kendala yang dihadapi Badan Permusyawaratan Desa dalam menjalankan kewenangannya

d. Untuk menganalisa upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kinerja Badan Permusyawaratan Desa.


(17)

8 2. Mamfaat Penulisan

Ada pun yang menjadi tujuan penulisan skripsi penulis yang berjudul: TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA, sesuai dengan permasalahan yang diajukan antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Secara teoritis diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hokum pada umumnya dan secara khusus administrasi Negara yang menyangkut mengenai masalah pelaksanaan pemerintahan desa.

b) Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai alat dalam penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang kewenangan badan Permusyaratan desa dalam melaksanakan pemerintah desa.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah asli (bukan jiplakan), sebab ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Dengan ini penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini, belum pernah ada judul yang sama demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan. Dalam hal mendukung penulisan ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang diambil atua dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan.


(18)

9 E. Tinjauan Kepustakaan

Penulis melakukan tinjauan kepustakaan berdasarkan refernsi dari buku-buku. Badan Permusyawaraan Desa yang selanjutnya disingkat BPD adalah, badan Permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat di desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Salah satu tugas pokok yang dilaksanakan lembaga ini (BPD) adalah berkewajiban dalam menyalurkan aspirasi dan meningkatkan kehidupan masyarakat desa, sebagaimana juga diatur dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, BPD dituntut mampu menjadi aspirator dan articulator antara masyarakat desa dengan pejabat atau instansi yang berwenang.

Sesuai dengan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pokok-pokok pemerintahan di Daerah, program-program pendayagunan kelembagaan pemerintah daerah dan desa terutama adala yang menyangkut rumusan tugas, fungsi, saling hubungan, tanggun jawab dan kewenangan yang melekat pada struktur organisasi dalam seluruh hirarki administrasi pemerintah daerah dan desa. Sehubungan dengan upaya peningkatan kemapuan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah, baik dalam rangka desentralisasi, dekontrasi dan pelaksanaan tugas pembantuan, dalam Repelita V dilakukan perjanjian dan langkah-langkah penataan dan pengatuan kembali pembagian dan batas-batas wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Derah Tingkat II. Selanjutnya


(19)

10

unsure-unsur organisasi yang berperan dalam upaya peningkatan pendapatan asli akan dimantapkan system dan kemampuan teknis dan manajemennya.

Pemilihan Anggota BPD dilaksanakan oleh penduduk desa dari dusun dalam wilayah desa yang bersangkutan yang mempunyai hak pilih yang pelaksanaanya dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Panitia pemilihan adalah, Panitia pemilihan anggota Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan Keputusan BPD.

Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan. Anggota BPD dipilih dari calon-calon yang dijukan oleh kalangan adat, agama, organisasi sosial-politik, golongan profesi dan unsur pemuka masyarakat lainnya yang memenuhi persyaratan.

F. Metodologi Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Materi/Bahan Penelitian

Adapun materi atau bahan penelitian ini bersumber dari data sekunder. Data sekunder tersebut terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hokum yang mengikat, yakni : peraturan perundang-undangan yang terkait seperti PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bhan perpustakaan, yakni buku-buku bacaan yang berkaitan dengan masalah kewenangan Badan Permusyaratan Desa dalam melaksanakan pemerintah desa.


(20)

11 2. Alat Pengumpul Data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen, yaitu pengumpulan data dengan cara penelusuran kepustakaan.

3. Analisis Hasil Penelitian

Keseluruhan data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu dengan cara menguraikan dengan kata-kata.

G. Sitematika Penulisan

Secara sistematis penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab dan tiap bab dibagi atas sub bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab ini Mengemukakan tentang latar belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan Skripsi ini. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN

DESA

Dalam Bab ini Mengemukakan tentang tinjauan umum tentang latar belakang berdirinya badan permusyawaraan desa, Pengertian Badan Pemusyaratan Desa dan Pemerintah Desa, Dasar Hukum Pembentukan Badan Permusyaratan Desa, Tata Cara Pengangkatan Badan Permusyawaratan Desa


(21)

12

BAB III TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DESA

Dalam Bab Ini Mengemukakan tentang Pengertian Hukum Administrasi Negara, Pengertian Badan Pemusyaratan Desa dan Pemerintah Desa, Kewenangan Badan Permusyaratan Desa Dalam Melaksanakan Pemerintahan Desa.

BAB IV HUBUNGAN YURIDIS ANTARA BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DAN PERANGKAT DESA

Dalam Bab ini Mengemukakan tentang Hubungn Yuridis antara Badan Permusyawaratan Desa dan perangkat Desa, Hubungan Badan Permusyawaratan Desa Dengan Perangkat Pemerintahan Desa, Kendala-Kendala Badan Permusyaratan Desa Dalam Menjalankan Kewenangannya dan upaya penyelesaian kendala.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam Bab ini berisi tentang kesimpulan yang merupakan penutup dariseluruh rangkaian bab-bab sebelumnya dan juga berisi saran dari penulisan yang mungkin bermamfaat di masa mendatang.


(22)

13 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

A. Latar Belakang Berdirinya Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintahan Desa

Badan Permusyawaratan Desa merupakan organisasi yang berfungsi sebagai badan yang menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggotanya adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. BPD mempunyai peran yang besar dalam membantu Kepala Desa untuk menyusun perencanaan desa dan pembangunan desa secara keseluruhan. Dalam UU No. 32 dijelaskan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh kabupaten/ kota dan atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Dalam rangka pemberdayaan dan penguatan desa, pemerintah mendorong terbentuknya Badan Perwakilan Desa (BPD) yang dalam UU.No.32 tahun 2004 , menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Dalam melaksanakan kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga legeslasi (menetapkan kebijakan desa) dan menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat bersama Kepala Desa. Lembaga ini pada hakikatnya adalah mitra kerja pemerintah desa yang memiliki kedudukan sejajar dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan Desa, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai lembaga legislasi, Badan Permusyawaratan


(23)

14

Desa (BPD) memiliki hak untuk menyetujui atau tidak terhadap kebijakan desa yang dibuat oleh Pemerintah Desa. Lembaga ini juga dapat membuat rancangan peraturan desa untuk secara bersama-sama Pemerintah Desa ditetapkan menjadi peraturan desa. Disini terjadi mekanisme check and balance system

Selain itu, dapat juga dibentuk lembaga kemasyarakatan desa sesuai kebutuhan desa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan.

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang lebih demokratis. Sebagai lembaga pengawasan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki kewajiban untuk melakukan kontrol terhadap implementasi kebijakan desa, Anggaran dan Pendapatan Belanja Desa (APBDes) serta pelaksanaan keputusan Kepala Desa.

B. Pengertian Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa

Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disingkat BPD adalah, badan Permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat di desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyulurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. 8

Salah satu tugas pokok yang dilaksanakan lembaga ini (BPD) adalah berkewajiban dalam menyalurkan aspirasi dan meningkatkan kehidupan masyarakat desa, sebagaimana juga diatur dalam PP. No. 72 Tahun 2005 tentang

8

A.W. Widjaja, Pemerintah Desa dan Adminitrasi Desa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 35


(24)

15

Desa, BPD dituntut mampu menjadi aspirator dan articulator antara masyarakat desa dengan pejabat atua instansi yang berwenang.

Desa yang secara yuridis formal diakui keberadaanya memiliki otonomi yang bersifat tradisional, kenyataanya menunjukkan selama diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 maupun PP No. 72 tahun 2005 kurang mengalami kemajuan yang cukup signifikan, bahkan sebaliknya masyarakat desa sangat tergantung pada bantuan pihak luar pada segi dana maupun kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.9

Selama ini, pembahasan mengenai desa dan pengaturan kebijakan mengenai pemerintahan desa belumpernah dilakukan secara mendalam dan menyeluruh melalui suatu proses kontrak social yang terbuka. Penyusunan kebujakan pengaturan mengenai desa cenderng elitis dan tertutup sehingga hasilnya hamper selalu menimbulkan “kejutan-kejutan” di kalangan masyarakat luas. 10

UU No. 32 Tahun 2004 yang diganti dengan PP No. 72 Tahun 2005 secara normative didalamnya mengatur desa sebagai unit organisasi pemerintahan terendah yang pada Undang-Undang sebelumnya diatur sendiri dengan UU No. 5 Tahun 2004 yang bercorak sentralistik, namun pergeseran perubahan yang menonjol pada UU No. 32 Tahun 2004 maupun PP No. 72 Tahun 2005 yaitu filosofi yang digunakan adalah “keanekaragaman dalam kesatuan” sebagai kontra konsep dari filosofi “keseragaman” yang digunakan dalam UU No. 5 Tahun 2004, disamping itu upaya simplikasi pengaturan mengenai desa dan kelurahan karena sebelumnya diatur dan Undang-undang tersendiri, oleh karenanya agar tidak

9

Ibid, Hlm 36 10

Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 34


(25)

16

menyebabkan adanya desa-desa yang tidak terbina (aut of control) perlu dibuat pedoman umum pengaturan desa melalui peraturan daerah masing-masing yang mengacu pada peraturan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 72 Tahun 2005.

Sedangkan sistem pemerintahan desa yang disebut dengan pemerintah desa adalah Kepala Desa dan Lembaga Musayawarah Desa. Pemerintah desa dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari sekretaris desa dan kepala-kepala urusannya yang merupakan staf membantu kepala desa dalam menjalankan hak wewenang dan kewajiban pemerintah desa.11

Penyelenggara pemerintahan desa menurut PP No. 72 Tahun 2005 flfiarahkan agar mampu menggerakkan prakarsa dan partisipasi masyarakat. Proses pembuatan peraturan desa akan berhasil baik apabila didukung oleh partisipasi seluruh warga masyarakat dengan menyampaikan aspirasinya dan juga kemampuan BPD di dalam menyerap aspirasi dari masyarakat dan dibantu oleh seluruh perangkat pemerintah desa tersebut.

Sekretaris desa sekaligus menjalankan tugas dan wewenang kepala desa sehari-hari apabila desa berhalangan. Pemerintah desa juga dilengkapi dengan lembaga-lembaga musyawarah desa yang berfungsi menyalurkan pendapat masyarakat di desa dengan masyawarah setiap rencana yang diajukan kepala desa sebelum menetapkan menjadi ketetapan desa.12

11

Ibid, Hlm. 34 12


(26)

17

Sekretaris desa diangakat dan diberhentikan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II setelah mendengar pertimbangan Camat atas usul Kepala Desa sesudah mendengar pertimbangan Lembaga Permusyawaratan Desa.

Sedangkan pengertian desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.13

Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat degan memperhatikan asal usul Desa dan persyaratan yang ditentukan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.14 Dengan berdasarkan pada adat istiadat dan asal usul Desa dimungkinkan adanya pembagian wilayah yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan Pemerintah Desa.15

Kewenangan Desa mencakup:16

a. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa;

b. Kewenangan yang oleh Peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan Daerah dan Pusat;

c. Tugas pembantuan dari pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten.

Kewenangan otonomi desa yang begitu luas, masih ditambah dengan beban dalam kapasitasnya sebagai organisasi pemerintah terendah guna

13

AW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 hlm. 65

14

Ibid, hlm. 30 15

Ibid, hlm. 43 16


(27)

18

inengemban tugas, misi dari seluruh Departemen/ Kementerian, sehingga idealnya desa harus memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa. Keberhasilan pembangunan desa sangat dipengaruhi adanya kemauan politik (political -will) dan tindakan politik (political action) dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya untuk dapat memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di desanya.

Kewenangan otonomi desa yang begitu luas, masih ditambah dengan beban dalam kapasitasnya sebagai organisasi pemerintah terendah guna mengemban tugas, misi dari seluruh Departemen/ Kementerian, sehingga ideahiya desa harus memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa. Keberhasilan pembangunan desa sangat dipengaruhi adanya kemauan politik ((political will) dan tindakan politik (political action) dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya untuk dapat memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di desanya. Pemerintah Desa berhaJc menolak pelaksanaan tugas perbatuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.

Kepala desa di dalam menjalankan tugas dan fungsinya bertanggungjawab kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II melalui Camat Kepala Wilayah Kecamatan yang bersangkutan, sedangkan Sekretaris desa dan Kepala-kepala dusun bertanggungjawab kepada sekretaris desa.

Adapun hak dan kewajiban kepala desa adalah sebagai berikut:17

1. Mengajukan pencalonan perangkat desa kepada pejabat yang berwenang.

17


(28)

19

2. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan.

3. Menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk mewakili desanya. 4. Mengatur penyelenggaraan pemerintah dan pembangungan desa.

5. Mewakili desanya dalam rangka kerjasama, Wewenang Kepala Desa adalah sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan rapat lembaga masyawarah desa. b. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam membangun.

c. Menumbuhkan dan mengembangkan serta membina jiwa gotong-royong masyarakat.

d. Melaksanakan pembinaan dan pengembangan adat istiadat,

e. Menetapkan keputusan kepala desa sebagai pelaksana dari keputusan desa.

18

1. Melaksanakan tertib administrasi pemerintah di tingkat desa Sedangkan kewajiban dari kepala desa adalah sebagai berikut:

2. Melaksanakan pembangunan dan pembinaan masyarakat.

3. Melaksanakan pembinaan terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan.

4. Menggali dan memelihara sumber-sumber pendapatan.

5. Bertanggungjawab atas jalannya penyelenggara pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan masyarakat.

6. Melaksanakan keputusan-keputusan desa.

7. Menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di desa.

18 Ibid 79


(29)

20

8. Menyusun rencara program kerja tahunan dan program kerja Jima tahunan.

9. Menyusun APPKD (Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa)

10.Memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada lembaga musyawarah desa.19

Hak, wewenang dan kewajiban Kepala Desa sebagai penyelenggara urusan dalam rangka urusan Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Umum adalah sama.

Sesuai PP No. 72 Tahun 2005 pasal 212 ayat (3) sumber pendapatan desa teridiri atas :

a. Pendapatan Asli Desa;

b. Bagi hasil pajak daerah dan restribusi daerah Kabupaten/Kota;

c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota;

d. Bantuan dari Pemermtah. Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota;

e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

Pengamatan empirik sumber pendapatan desa menunjukkan fakta bahwa :20

1. Pendapatan asli desa pada umumnya berasal dari tanah desa yang tidak semua desa memiliki, kalaupun ada digunakan untuk penghasilan pamong desa.

19 Ibid 79 20

Kusworo, Kajian Tentang Perubahan Pemerintahan Desa Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 1974, Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah, Volum I, Edisi Ke-3 2004, hlm. 22


(30)

21

Badan Usaha Desa yang berbentuk perusahaan desa yang menghasilkan sebagaimana diatur dalam pasal 213 Undang-Undang ini, hampir dipastikan belum ada, sedangkan hasil swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat mampu.

2. Bantuan kepada desa dari Kabupaten/Kota baru sebatas melestarikan kebijakan yang sudah ada dari Pemerintah Pusat, berupa program Bantuan Desa.

3. Bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Propinsi lazimnya disebut ganjaran, namun jumlahnya sangat terbatas hanya untuk tambahan penghasilan bagi perangkat desa.

4. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga jarang terjadi.

Kenyataan dilapangan menunjukkan selama ini kebijakan pemerintah berbentuk Program Bantuan Desa yang sifatnya berbentuk stimulant untuk merangsang agar tumbuh partisipasi amsyarakat dalam menunjang pembangunan desa, justru menjadi sumber utama yang diharapkan dalam pembiayaan pembangunan di desa.

Salah satu peluang lain sumber pendapatan desa sesuai PP No. 72 Tahun 2005 adalah berupa bantuan dari pemerintah kabupaten/kota dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota dapat diberikan secara proposional dalam arti setiap desa tidak hams sama nilai nominal


(31)

22

bantuannya, akan tetapi perlu diperhatikan juga dari aspek luas wilayah, jumlah penduduk tingkat perkembangan desa maupun jarak lokasi desa.21

Tercapainya tujuan organisasi pemerintahan desa yang dimanifestasikan oleh kepala desa, hubungan kerja dengan kecamatan maupun Pemerintah kabupaten/kota sangat diperlukan. Apalagi kalau menengok masa diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 dimana kedudukan kepala desa dibuat sedemikian rupa sehingga akan selalu lebih banyak berorientasi ke atas meskipun kepala desa dipilih dan dibiayai oleh masyarakat, akan tetapi kepala desa tidak bertanggung jawab kepada para pemilihnya baik secara langsung amupun tidak langsung. Sesuai Undang-Undang ini, kepala desa bertanggung jawab sepenuhnya kepada camat, ia hanya memberikan keterangan pertanggung jawaban kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD).22

Makna demokrasi adalah keterwakilan artinya pemerintahan yang demokratis, keputusan-keputusan yang dibuat harus mencerminkan keterwakilan rakyat melalui Permusyawaratan politik. Konsep Permusyawaratan adalah konsep yang menunjukkan hubungan antara orang-orang, yakni pihak yang mewakili dan diwakili, di mana orang yang mewakili memiliki sederet kewenangan sesuai dengan kesepakatan antar keduanya.

Dalam PP No. 72 Tahun 2005 konsep keterwakilan sebagaimana tersebut diatas tercermin dalam institusi yang dinamakan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berkedudukan sejajar dengan pemerintah desa. Adapun fungsi BPD sesuai PP No. 72 Tahun 2005 Pasal 4 menyebutkan "Badan Permusyawaratan

21

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah : Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dengan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 41

22


(32)

23

Desa atau yang disebut dengan nama lain beriungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa,, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa"

Secara konsepsional BPD yang berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah desa diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan prinsip "chek and balance'" dan sangat dibutuhkan hubungan kemitraan (partnership) yang didasarkan pada filosofi sebagai berikut : 23

a. Adanya kedudukan yang sejajar antara yang bermitra. b. Adanya kepentingan bersama yang ingin dicapai. c. Adanya sikap saling mengormati.

d. Adanya niat baik untuk saling membantu dan saling mengingatkan.

Pada tataran konsep, kedudukan BPD berdasarkan PP No. 72 Tahun 2005 sangat ideal sebagai wahana untuk menjalankan demokrasi di tingkat desa, bahkan berdasarkan pasal 105 ay at (1) "Anggota Badan Permusyawaratan Desa dipilih dari dan oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan", akan tetapi pada tataran implementasi dari wujud kemitraan antara pemerintah desa dengan BPD menghadapi permasalahan yang menyebabkan tidak dapat mengarah kepada pencapaian tujuan diselenggarakannya otonomi desa.

Didalam PP No. 72 Tahun 2005 sebutan Badan Permusyawaratan Desa diubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa, yang sesuai dengan pasal 209 menyebutkan "Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat".

23


(33)

24

Sedangkan anggota, pimpinan, dan masa kerja syarat dan tata cara penetapannya sesuai pasal 210 sebagai berikut:

1. Anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara masyawarah dan mufakat;

2. Pimpinan Badan Permusyawatan Desa dipilih dari dan oleh anggota BPD; 3. Masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah 6 (enam) tahun

dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya;

4. Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam Perda yang berpedoman pada peraturan pemerintah.

Pola kemitraan antara pemerintah desa dengan Badan Permusyawaratan Desa sesuai Undang-Undang ini, tercermin untuk mengembalikan pada budaya politik lokal yang sudah ada pada masyarakat pedesaan. Budaya olitik lokal yang berbasis pada filosofi "musyawarah mufakat". Musyawarah berbicara tentang proses, sedangkan mufakat berbicara tentang basil. Hasil yang baik diharapkan diperoleh dari proses yang baik. Melalui musyawarah untuk mufakat, berbagai konflik antara para elit politik dapat segera diselesaikan secara arif, sehingga tidak samapi menimbulkan goncangan-goncangan yang merugikan masyarakat luas.

Pengalaman empiris memperlihatkan bahwa kemitraan yang diharapkan dapat berjalan secara harmonis antara pemerintah desa dengan BPD ternyata seringkali mengalami hambatan yang disebabkan antara lain :

a. Munculnya ego sektoral yang menimbulkan ketidakpercayaan antara kedua belah pihak yang berdampak pada lingkungan kerja kurang kondusif;


(34)

25

c. Kurang memahaminya tugas dan fungsi masing-masing, sehingga ada kesan bahwa BPD selalu mencari kesalahan dari pemerintah desa;

d. Pengabdian sebagai anggota BPD hanya dijadikan sambilan, karena sebagian besar anggota masyarakat mempunyai tugas pokok masing-masing;

e. Tunjangan anggota BPD kurang memadai, sekalipun pengaturan mengenai tunjangan sebenamya sudah ada dalam PP No. 72 Tahun 2005.

Pemerintah Desa

Hakikat otonomi daerah adalah efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaran pemerintahan, yang pada akhirnya bernuansa pada pemberian pelayanan kepada masyarakat yang hakikatnya semakin lama semakin baik, disamping untuk member peluang peran serta masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan secara luas dalam konteks demokrasi.

Mengantisipasi aspirasi masyarakat yang terus berkembang serta menghadpai perkembangna yang terjadi, baik dalam lingkungan nasional maupun internasional yang secara langsung akan berpengaruh terhadap roda atau pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Negara kita, maka untuk menjawab dan menghadapi tantangan dan sekaligus peluang diperlukan adanya pemerintahan daerah yang tangguh, yang didukung oleh system dan mekanisme kerja yang professional. 24

Kenyataan menunjukkan bahwa system dan mekanisme penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan PP No. 72 Tahun 2005 kurang dapat menangkap

24

Sohartono, Desa digambarkan sebagai bentuk kesatuan masyarakat, Aditya Bakti, 2001, Hlm. 10


(35)

26

sinyal-sinyal tersebut. Hal ini tidak sja disebabkan oleh karena masih adnaya beberapa peraturan pelaksanaan PP No. 72 Tahun 2005 yang belum diterbitkan, akan tetapi lebih dikarenakan beberapa pengaturan dalam Undang-Undang tersebut tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan yang terjadi.

Dikaitkan dengan pemerintahan desa yang keberadaanya adalah berhadapan langsung dengan masyarakat, maka sejalan dengan otonomi daerah tersebut, upaya untuk memberdayakan (empowering) pemerintahan desa harus dilaksanakan. 25

Salah satu cirri yang baik adalah dapat memberikan kepuasan bagi yang memerlukan karena cepat, mudah, tepat dan dapat terjangkau. Disamping itu, pelayanan harus relati dekat yang memerlukannya. Posisi pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat adalah pemerintah desa. Sedangkan dari segi pengembangan peran serta masyarakat, maka pemerinth desa selaku Pembina, pengayom dan pelayan kepada masyarakat sangat berperan dalam menunjang mudahnya masyarakat digerakkan untuk berpartisipasi.

Otonomi daerah yang akan terus digalakkan terus adalah otonomi daerah yang mandiri yang dapat mewadahi dan memberikan respon secara aktif terhadap kebutuhan, kehendak dan aspirasi masyarakat. Pengembangan dan pembangunan otonomi daerah tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diarahkan untuk memberikan kewenangna-kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah yang langsung berhubungan dengan masyarakat dengan maksud untuk lebih meningkatkan pelayanan dan partisipasi aktif masyarakat

25


(36)

27

terhadap pelaksanaan pembangunan disegala bidang didaerah khususnya maupun nasional pada umumnya. 26

System struktur kelembagaan dan mekanisme kerja disemua tingkatan pemerintah, khususnya pemerintahan daerah yang langsung berhubungan dengan masyarakat diarahkan untuk dapat menciptakan pemerintahan yang peka terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi. Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan sub system dalam system penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan sub system dalam system penyelenggaraan pemerintahan nasional sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.

Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan desa adalah keaneka ragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdyaaan masyarakat. Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan oleh peraturan daerah Kabupaten (PERDA Kabupaten) sesuai pedoman umum yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Dalam menetapkan kebijakan tersebut sudah seyogyanya Perda yang dibuat berdasarkan aspirasi masyarakat daerah setempat, sehingga tidak menimbulkan kebijakan yang tumpung tindih dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini perlu diantisipasi kedepan. Sebab suatu kebijakan ang kurang tepat dapat menimbulkan ekses yang tidak di inginkan. Dan bukan membuat suatu pola kebijakan yang lebih baik tetapi tidak sebaliknya. Untuk itu diperlukan sebuah perencanaan yang matang dan terpadu.

26

Rozali, Pemberdayaan Potensi Desa untuk meningkatkan Pendapatan Desa, Bina Aksara, Jakarta, 2002, Hlm. 64


(37)

28

C. Dasar Hukum Pembentukan Badan Permusyaratan Desa

Sesuai dengan PP No. 72 Tahun 2005 tentang pokok-pokok pemerinthan di Daerah, program-program pendayagunaan kelembagaan pemerintah daerah dan desa terutama adalah yang menyangkut rumusan tugas, fungsi, saling hubungan, tanggung jawab dan kewenangan yang melekat pada struktur organisasi dalam seluruh hirarki administrasi pemerintah daera dan desa. Sehubungan dengan upaya peningkatan kemampuan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah, baik dalam rangka desentralisasi, dekontrasi dan pelaksanaan tugas pembantuan, dalam Repelita V dilakukan pengkajian dan langkah-langkah penataan dan pengaturan kembali pembagian dan batas-batas wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II. Selanjutnya unsure-unsur organisasi yang berperan dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah akan dimantapkan system dan kemampuan teknis dan manajemennya.

Lebih mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah, ditempuh usaha untukmeningkatkan saling pengertian dan kerja sama antara aparatur pemerinth yang ada di daerah, dan antara aparatur pemerintaha tersebut dengan dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Hal ini dilakukan antara lain dengan meluaskan informasi, memperlancar komunikasi, meningkatkan


(38)

29

kesempatan, dan mengkordinasikan serta menyerasikan berbagai langkah kegiatan pembangunan di daerah. 27

Dalam PP No. 72 Tahun 2005 konsep keterwakilan sebagaimana tersebut diatas tercermin dalam institusi yang dinamakan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berkedudukan sejajar dengan pemerintah desa. Adapun fungsi BPD sesuai UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 4 menyebutkan “Badan Permusyaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain befungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasn terhadap penyelenggaraan pemerintah desa.28

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) secara langsung menjadi system pengangkatan Badan Permusyawaratan Desa (Bamusdes). Persoalan mengenai Bamusdes sebenarnya bukan hanya pada system pengangkatannya, tetapi juga pada fungsi (peran) yang harus dilakukan bersama dengan kepala desa yang dipilih menyusun dan mengesahkan peraturan-peraturan desa. Akibatnya, secara popular legitimasi aturan-aturan desa yang ditetapkan dapat dinilai tidak kuat. Fungsi pengawasn Bamusdes terhadap kinerja kepala desa di dalam PP No. 72 Tahun 2005 tidak ada. Kepala des dipilih secara langsung oleh rakyat desa tetapi pertanggungjawabannya tidak kembali kepada rakyat desa sebagai konstituenya melainkan kepada Bupati melalui Camat. Mekanisme pertanggungjawaban kepala desa ini jelas mencedarai prinsip transparansi dan akuntabilitas kepada desa yang

27

Muhyanto, Masalah dan Tantangan Pembangunan Pedesaan Jangka Panjang Tahap Ke-II, APMD, Yogyakarta, 1991, hlm. 74

28

Syaukani HR, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Belajar, Jakarta, 2002, hlm. 31


(39)

30

dapat berakibat pada responsivitas kepala desa terhadap kepentingan dan kebutuhan rakyat desa rendah. 29

Dalam PP No. 72 Tahun 2005 sebutan Badan Permusyawaratan Desa diubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa, yang sesuai dengan Pasal 32 menyebutkan “Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalukan aspirasi masyarakat.

Anggota BPD terdiri dari tokoh-tokoh agama, adat, organisasi social politik, golongan profesi dan unsure pemuka masyarakat lainnya yang memenuhi persyaratan yang dipilih dari dan oleh penduduk desa. Untuk melaksanakan pemilihan anggota BPD tersebut di atas Kepala Desa membentuk Panitia pemilihan yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa, keanggotannya sebanyak-banyaknya 9 (Sembilan) orang yang terdiri dari 1 orang ketua merangkap anggota, 1 orang Sekretaris merangkap anggota, dan 7 orang anggota.

Lebih mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah, ditempuh usaha untuk meningkatkan saling pengertian dan kerja sama antara aparatur pemerintah yang ada di daerah, dan antara aparatur pemerintah tersebut tersebut dengan dunia usha dan masyarakat pada umumnya. Hal ini dilakukan antara lain dengan melakukan informasi, memperlancar komunikasi, meningkatkan kesempatan, dan mengkordinasikan serta menyerasikan berbagai langkah kegiatan pembangunan di daerah. 30

Mendukung perwujudan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah Tingkat II, program pendayagunaan aparatur pemerintah juga ditujukan pada

29

Abdul Ghafar Karim, Kompleksits Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 45

30


(40)

31

usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan teknis dan manajemen aparatur pemerintah Daerah Tingkat II khususnya perangkat Dinas-dinasnya.31

Sedikitnya ada 108 desa di Kabupaten Semarang Jawa Tengah yang bingung karena pada pertengahan awal tahun 2005 ini masa jabatna BPD yang terpilih pada 5 (lima) tahun lalu telah habis masa jabatannya. Untuk membentuk BPD yang baru, sesuai dengan UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005, Pemerintah Kabupaten belum mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai BPD ayng akan berganti nama menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Bagaimana pula dengan desa-desa lain di Kabupaten yang lain diseluruh tanah air yang mengalami hal serupa, termasuk masa jabatan Kepala Desa yang selesai pada pertengahan tahun ini. Jika peraturan Daerah belum disyahkan oleh Pemda dan DPRD, bagaimana nasib pemerintah desa.

32

Mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan seperti ini, agar tidak menimbulkan persoalan yang berlarut-larut di tingkat pemerintah desa di seluruh tanah air, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah menerbitkan Surat No. 140/2242/SJ tertanggal 6 September 2005 mengenai Penjelasan tentang Pengangkatan Pejabat Kepala Desa, Pengisian Sekretaris Desa dan Penetapan Anggota dan Pimpinan Badan Permusyaratan Desa (BPD). Surat ini terbit 4 (empat) bulan sebelum Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 tahun 2005 tentang Desa ditanda tangani Presiden.

31

Bambang Yudyono, Otonomi Daerah Desentralissi dan Pengembangan SDM Aparatur Daerah dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm. 45

32


(41)

32

Khusus mengenai BPD dalam Surat Mendagri No. 140/2242/SJ ini, khususnya nomor 7 (tujuh) dinyatakan bahwa para anggota BPD yang diproses melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagai pelaksanaan dari PP No. 72 Tahun 2005.33

D. Tata Cara Pengangkatan Badan Permusyawaratan Desa

Pemilihan Anggota BPD dilaksanakan oleh penduduk desa dari dusun dalam wilayah desa yang bersangkutan yang mempunyai hak pilih yang pelaksananaya dilakukan oleh Panitia Pemilihan. Panitia pemilihan adalah, Panitia Pemilihan anggota Badan Permusyaratan Desa yang ditetapkan dengan Keputusan BPD. 34

Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan. Anggota DPRD dipilih dari calon-calon yang diajukan oleh kalangan adat, agama, organisasi social-politik, golongan profesi an unsure pemuka masyarakat lainnya yang memenuhi persyaratan.

Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah sebagai berikut :

a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

33

Bambang Yudyono, Op.Cit, Hlm 46 34


(42)

33

c. Tidak pernah terlihat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan yang menghianati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, G 30 S/PKI dan/atau kegiatan organisasi terlarang lainnya 35

d. Berpendidikan sekurang-kurangnya SLTP atau berpengetahuan yang sederajat e. Berumur sekurang-kurangnya 25 tahun/sudah kawin;

f. Nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya ; g. Sehat jasmani dan rohani

h. Berkelakuan baik, jujur dan adil

i. Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan j. Mengenali daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di desa setempat k. Bersedia dicalonkan menjadi anggota DPRD

l. Tidak sedang dicabut hak pilihannya berdasarkan keputusan Pengadilanyang telah mempunyai kekuatan hukum pasti ;

m. Memenuhi syarat-syarat lain yang sesuai dengan adat istiadat yang diatur dalam Peraturan desa. 36

Pengesahan anggota BPD adalah selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah Kepala Desa menyampaikan Berita Acara Hasil Pemilihan kepada Bupati melalui Camat. Sebelum BPD melaksanakan tugas dan wewenangnya, Bupati atau pejabat yang ditunjuk melakukan pelantikan dan mengambil sumpah/janji terhadap Pimpinan dan Anggota BPD. Setelah pengambilan sumpah Anggota BPD Kepala Desa dengan persetujuan BPD mengangkat Sekretaris BPD sebagai Kepala

35

Bambang Yudyono, Otonomi Daerah Desentralissi dan Pengembangan SDM Aparatur Daerah dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm. 45

36


(43)

34

Sekretariat dan Star sesuai yang dibutuhkan. Sekretaris dan Staf BPD tersebut bukan dari Perangkat Desa.

Badan Permusyawaratan Daerah mempunyai fungsi yakni :

Jumlah anggota Badan Permusyaratan Desa ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan. Anggota BPD dipilih dari calon-calon yang diajukan oleh kalangan adat, agama, organisasi social-politik, golongan profesi dan unsure pemuka masyarakat lainnya yang memenuhi persyaratan.

a. Mengayomi, yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di Desa yang bersangkutan, sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan.

b. Legalisis, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan Desa bersama-sama Pemerintah Desa.

c. Pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanana Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta Keputusan Kepala Desa.

d. Menampung aspirasi yang diterima dari masyarakat dan menyalurkan kepada pejabat instansi yang berwenang. 37

37


(44)

35 BAB III

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA, DALAM

SISTEM PEMERINTAHAN DESA

A. Pengertian dan Struktur Hukum Administrasi Negara

Pada dasarnya definisi Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk dapat memberikan suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak, mengingat Ilmu Hukum Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara.

1.

Namun sebagai pegangan dapat diberikan beberapa definisi dari para Ahli sebagai berikut :

Oppen Hein mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenagnya yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.

2.

J.H.P. Beltefroid mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan tentang cara bagaimana alat-alat pemerintahan dan badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis pengadilan tata usaha hendak memenuhi tugasnya.

3.

Logemann mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat dari norma-norma yang menguji hubungan Hukum Istimewa yang diadakan


(45)

36

untuk memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas mereka yang khusus.

4.

De La Bascecoir Anan mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab Negara berfungsi/ bereaksi dan peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan antara warga Negara dengan pemerintah.

5.

L.J. Van Apeldoorn mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan yang hendaknya diperhatikan oleh para pendukung kekuasaan penguasa yang diserahi tugas pemerintahan itu

6.

.”

A.A.H. Strungken mengatakan “ Hukum Administarsi Negara adalah aturanaturan yang menguasai tiap-tiap cabang kegiatan penguasa sendiri. 7.

” J.P. Hooykaas mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah ketentuan – ketentuan mengenai campur tangan dan alat-alat perlengkapan Negara dalam lingkungan swasta.

8.

Sir. W. Ivor Jennings mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah hukum yang berhubungan dengan Administrasi Negara, hukum ini menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas dari pejabat-pejabat administrasi.

9.

Marcel Waline mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan yang menguasai kegiataan-kegiatan alat-alat perlengkapan Negara yang bukan alat perlengkapan perundang-undangan atau kekuasaan kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan alat-alat perlengkapan tersebut, baik terhadap warga masyarakat maupun antara


(46)

alat-37

alat perlengkapan itu sendiri, atau pula keseluruhan aturan-aturan yang menegaskan dengan syarat-syarat bagaimana badan-badan tata usaha negara/ administrasi memperoleh hak-hak dan membebankan kewajiban-kewajiban kepada para warga masyarakat dengan peraturan alat-alat perlengkapannya guna kepentingan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umum 10.

.” E. Utrecht mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan agar memungkinkan para pejabat pemerintahan Negara melakukan tugas mereka secara khusus

11.

.”

Prajudi Atmosudirdjo mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah hukum mengenai operasi dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap penguasa-penguasa administrasi 12.

.” Bachsan Mustofa mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah sebagai gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat yang diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintaha dalam arti luas yang tidak diserahkan pada badan-badan pembuat undang-undang dan badan – badan kehakiman.

1. A. Pengertian Hukum Administrasi Negara

Dari pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa bidang hukum administrasi Negara sangatlah luas, banyak segi dan macam ragamnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Administarsi Negara adalah Hukum mengenai pemerintah/Eksekutif didalam kedudukannya, tugas-tuganya, fungsi dan wewenangnya sebagai Administrator Negara.


(47)

38

Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Pemerintahan itu meliputi segala sesuatu mengenai pemerintahan, yakni seluruh aktifitas pemerintah yang tidak termasuk perundangan dan peradilan.[1]

Untuk mendapatkan pemahaman yang dirasakan cukup memadai, berikut ini akan dikemukakan batasan pengertian Hukum Administrasi Negara dari beberapa pakar ilmu hukum.

Van Vollenhoven mengemukakan bahwa;

“Hukum Administrasi Negara adalah suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan yang tinggi maupun yang rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenangnya yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.”

De La Bassecour Laan mendefinisikan HAN sebagai berikut;

“Hukum Administrasi Negara adalah himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab negara berfungsi (beraksi), maka peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungannya antara tiap-tiap warga negara dengan pemerintahnya.”

Dalam bukunya yang telah disebutkan di atas E. Utrecht mengemukakan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah cabang ilmu pengetahuan hukum yang menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdrages, yakni administrasi negara) melakukan tugas istimewa mereka obyek :


(48)

39

1. Sebagian hukum mengenai hubungan hukum antara alat perlengkapan negara yang satu dengan alat perengkapan negara yang lain.

2. Sebagian aturan hukum mengenai hubungan hukum, antara perlengkapan negara dengan perseorangan. HAN juga disebut sebagai perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan sehingga memungkinkan para pejabat negara melakukan tugasnya yang istimewa. Dengan kata lain bisa dikemukakan bahwa:

1. Obyek HAN adalah semua perbuatan yang tidak termasuk tugas mengadili, meskipun mungkin tugas itu dilakukan oleh badan di luar eksekutif, bagi HAN yang penting bukan siapa yang menjalankan tugas itu, tetapi adalah masuk ke (bidang) manakah tugas itu.

2. HAN merupakan himpunan peraturan-peraturan istimewa.

Istimewa dalam pengertian HAN di atas adalah kekuasaan istimewa (khusus) yang dimiliki administrasi negara. Pada dasarnya administrasi negara dalam melakukan hubungan hukum tunduk pada hukum biasa. Sebagai subyek hukum dalam melakukan Hukum Administrasi Negara dapat menggunakan KUH Perdata seperti subyek hukum lainnya. Tetapi agar dapat melaksanakan tugas khususnya dengan baik (tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh subyek hukum lain) dalam rangka menjamin kesejahteraan umum, maka administrasi negara diberi kekuasaan istimewa agar semua masyarakat dapat tunduk pada perintahnya. Adapun wujud dari kekuasaan istimewa ialah adanya kekuasaan “memaksa” agar perintah administrasi negara dapat ditaati. Dalam perjanjian misalnya administrasi


(49)

40

negara dapat memaksa seseorang atau badan hukum untuk menjual tanahnya kepada negara melalui lembaga Onteigening. Jadi dengan demikian HAN merupakan hukum istimewa karena memberikan kekuasaan yang lebih bisa memaksa, sedangkan hukum yang lain berlaku bagi subyek selain administrasi negara adalah hukum biasa[3]

B. Pengertian Dan Kedudukan Pemerintahan Desa Dalam Hukum Administrasi Negara

1. Penyelenggara Pemerintahan Dalam Hukum Administrasi Negara

Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh wakil presiden, dan oleh menteri negara.Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Untuk pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi. Untuk pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten atau kota dan DPRD kabupaten atau kota.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas


(50)

41

pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dimaksud dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.

Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini tertuang dalam amanat UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 200 ayat (1): “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa”. Dari pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa pemerintahan desa bukanlah menjadi


(51)

42

bagian/perangkat pemerintah kabupaten/kota, karena sesungguhnya pemerintahan desa memiliki hak otonomi tersendiri untuk mengelola pemerintahannya.

Dengan kondisi yang demikian, maka pemerintahan desa dituntut untuk mampu menjalankan segala kewenangan yang menjadi tanggung jawabnya. Menurut peraturan perundang-undangan terdapat 4 (empat) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan desa, yaitu:38

a. Uurusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. Ttugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;

d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa (Pasal 206 UU No. 32/2004).

2. Sistem Pemerintahan Desa

Penyelenggaraan pemerintahan desa tidak terpisahkan dari penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintahan desa merupakan unit terdepan (ujung tombak) dalampelayanan kepada masyarakat serta tombak strategis untuk keberhasilan semua program.Karena itu, upaya untuk memperkuat desa (Pemerintah Desa dan LembagaKemasyarakatan) merupakan langkah mempercepat terwujudnya kesejahteraanmasyarakat sebagai tujuan otonomi daerah. Sehingga penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan sub sistem dari

38

Daeng Sudiro, Pembahasan Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah dan Pemerintahan Desa, Angkasa, Bandung, 1985, hal. 75


(52)

43

sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengaturdan mengurus kepentingan masyarakatnya.39

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang ditetap kan pada tanggal 30 Desember 2005, pada pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Seperti yang disebutkan dalam Undang-undang bahwa dalam sebuah Pemerintah Kabupaten/Kota dibentuk Pemerintahan Desa dan Badan permusyawaratan Desa.40

Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa.Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya.Sedangkan yang dimaksud Pemerintahan Desa adalah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa.Badan Perwakilan Desa adalah lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa dan keputusan kepala Desa.BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah desa.Sementara kedudukan Sekretaris Desa menjadi sangat penting dalam membantu pelaksanaan tugas Kepala Desa.Apa yang terjadi apabila Sekretaris Desa menjadi ganjalan kepala Desa dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan kepemerintahan.

39

Wijaya, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2003, Hlm 76

40


(53)

44

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 45 Tahun 2007 tentang persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi Pegawai Negeri Sipil, pada pasal 1 yang disebut dengan Sekretaris Desa adalah Perangkat Desa yang bertugas membantu Kepala Desa dalam bidang tertib administrasi pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Pada pasal 14 disebutkan bahwa Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dapat dimutasikan setelah menjalani masa jabatan Sekretaris Desa sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun.

Hubungan antara Pemerintah Desa dan Badan perwakilan Desa. Pertama, hubungan dominasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak pertama menguasai pihak kedua; kedua, hubungan sub koordinasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak kedua menguasai pihak pertama, atau pihak kedua dengan sengaja menempatkan diri tunduk pada kemauan pihak pertama, Ketiga, hubungan kemitraan artinya pihak pertama dan kedua setingkat dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.

Pemerintah Desa dalam melaksanakan tugas pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat harus benar-benar memperhatikan hubungan kemitraan kerja dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa itu sendiri. Kemitraan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa disini berarti bahwa dalam melaksanakan tugas pembangunan maupun pemberian pelayanan kepada masyarakat, semua aparatur Pemerintahan Desa, baik itu Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan Badan Perwakilan Desa harus benar-benar memahami kapasitas yang menjadi kewenangan maupun tugasnyamasing-masing. Sehingga dalam


(54)

45

melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa semua aparatur pemerintah desa dalam hubungannya dapat bersinergi dan bermitra dengan baik dan tepat dalam meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang profesional dan akuntabel.

3. Kedudukan Pemerintah Desa Dalam Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara mempunyai kekuasaan untuk mewajibkan semua pihak mengimplementasikan prinsip Good Governance pada aktivitas administrasi Negara sehari-hari, memberikan sanksi dan memberikan kriteria-kriteria yang berkaitan dengan implementasi Good Governance bagi pejabat dan petugas administrasi Negara. Good Governance di dalam HAN sudah merupakan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari pemerintah. Dengan demikian paradigma yang harus dipegang teguh adalah melayani masyarakat (to serve people).41

Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai RUU Program Legislasi Nasional prioritas pada tahun 2007. RUU ini diharapkan dapat menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang cukup revolusioner dan menjadi instrument untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Governance. RUU ini juga akan menjadi hukum materiil bagi Hukum Administrasi Negara di Indoneisia melengkapi Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004) yang lebih dulu ada.42

41

Bachsan Mustafa, SH. Sistem Hukum Administrasi NegaraIndonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2012, Hlm 45

42


(55)

46

Hukum administrasi materil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum privat berisi norma-norma yang penegakannya dapat diserahkan kepada pihak partikelir. Diantara kedua bidang hukum itu terletak hukum administrasi. Setelah reformasi dipilih menjadi bagian dari bangsa Indonesia, ada beberapa Konsekwensi yang diterima oleh bangsa Indonesia atau beberapa perubahan yang Fundamental bagi bangsa Indonesia.

Mendefinisikan Desa

Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, Secara sosiologis, desa merupakan sebuah gambaran dari suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka (masyarakat) saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam.

Komunitas masyarakat di atas kemudian berkembang menjadi satu kesatuan hukum dimana kepentingan bersama penduduk menurut hukum adat dilindungi dan dikembangkan Atau dalam bahasa Soetardjo Kartohadikoesoemo, “suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang mengadakan pemerintahan sendiri”. Ciri dari masyarakat hukum adat yang otonom adalah berhak mempunyai wilayah sendiri dengan batas yang sah, berhak mengatur dan mengurus pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak


(56)

47

mengangkat kepala daerahnya atau majelis pemerintahan sendiri, berhak mempunyai sumber keuangan sendiri, serta berhak atas tanahnya sendiri (menurut I Nyoman Beratha).

Dalam konteks inilah kemudian Desa menemukan identitasnya sebagai sebuah kesatuan hukum yang memiliki hak untuk mengurus kepentingannya sendiri, yang dalam bahasa lain disebut hak otonomi. Dengan demikian desa secara alami telah memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk, dimana otonomi yang dimilikinya bukan pemberian pihak lain.

Desa di masa Orde Baru

Kemunculan Orde Baru ditandai dengan motif melakukan pemulihan kehidupan ekonomi yang porak poranda pada masa Soekarno. Keinginan tersebut membawa konsekuensi adanya jaminan stabilitas politik yang berwujud terbentuknya sistem politik yang mendukung transformasi ekonomi serta jika diperlukan mampu dan dapat mengendalikan akibat-akibatnya (terutama dengan menjinakkan oposisi agar jangan sampai “menggangu” pemerintah). Sistem kekuasaan Orde Baru kemudian dijalankan secara sentralistik-otoriter dengan memberikan porsi yang sangat besar terhadap peran negara.

Khusus untuk menata desa, Orde Baru telah melakukan pengaturan-pengaturan berkaitan dengan kedudukan desa. Dengan mengeluarkan UU No.5/1979 desa oleh Orde Baru dikonsepsikan sebagai “suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan


(57)

48

langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatan Republik Indonesia “.

Jika kemudian ditinjau lebih jauh, konsepsi desa Orde Baru merupakan suatu konsepsi desa dalam pengertian administratif. Desa dalam pengertian administratif adalah satuan ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu, suatu satuan masyarakat, dan suatu satuan pemerintahan, yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan. Dengan diartikannya desa sebagai satuan ketatanegaraan yang memiliki satuan pemerintahan memberikan kejelasan arti desa dalam konteks di atas, yaitu desa merupakan bagian dari organisasi pemerintahan, baik horizontal maupun vertikal, yang berada di daerah, baik berdasarkan asas dekonsentrasi maupun desentralisasi.43

Selain menempatkan desa dalam pengertian administratif, UU No.5/1979 juga telah melakukan perubahan-perubahan struktur desa, yaitu :

1. Penyeragaman struktur pemerintahan desa. Ini merupakan strategi dari Orde Baru untuk memberikan legitimasi dalam hal kontrol negara terhadap desa.

2. Pengintegrasian struktur pemerintah desa pada pemerintah nasional. Menempatkan pemerintah desa sebagai rantai akhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintah yang sentralistik. Ini menjadikan desa hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat.

3. Penghapusan lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada Kepala Desa.

43

Bachsan Mustafa, SH. Sistem Hukum Administrasi NegaraIndonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2012, Hlm 80


(1)

92

membantu kepala desa dalam memelihara dan melakukan pembinaan teknis dalam menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat di wilayah desa. Untuk menciptakan dan menjaga stabilitas ketentraman dan ketertiban msyarakat terutama pada momen-momen tertentu, apalagi saat ini wilayah pelosok desa sering dijadikan oleh para teroris sebagai tempat yang strategis untuk bersembunyi.

Upaya Peningkatan Lembaga Kemasyarakatan

Upaya Pemerintah desa Dalam meningkatkan Lembaga Kemasyarakatan yaitu :

1. Pendekatan Tokoh Masyarakat

Tokoh masyarakat Desa Sumare adalah orang terkemuka, orang-orang yang dituakan, disegani karena kharismatiknya atau kecendikiawannya yang pada umumnya berupa tokoh agama, pensiunan, Pegawai Negeri Sipil dan sbahagian kecil anggota LSM. Kedudukan tokoh masyarakat sangat menentukan dalam pembinaan sosial kehidupan masyarakat karena dengan posisi sebagai orang yang dituakan, disegani, dan cendikiawan, setiap kata dan perbuatannya sangat di dengar dan di ikuti oleh masyarakat. Oleh karena itu Pemerintah Desa dalam hal ini Kepala Desa harus senantiasa melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat agar mau terlibat dalam setiap kegiatan pemerintah desa.

Setiap kegiatan yang dilasanakan oleh Pemerintah Desa masyarakat, baru akan dapat ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat , apabila kegiatan tersebut benar-benar diketahui, dipahami dan dihayati oleh masyarakat itu sendiri. Oleh


(2)

93

karena itu agar setiap kegiatan dapat diketahui dan dilaksanakan oleh masyarakat, maka perlu adanya penerangan dan penyuluhan dari tokoh-tokoh masyarakat.

Menjalin kerjasama dengan Tokoh Agama merupakan salah satu cara pihak Pemerintah Desa dalam melaksanakan tujuannya untuk meningkatakan partisipasi masyarakat.Tokoh masyarakat merupakan salah satu aktor yang dapat mempengaruhi keterlibatan masyarakat desa.Baik itu melalui kegiatan keagamaan yang biasanya dilaksanakan di Desa seperti yang dikemukakan diatas salah satunya adalah pengajian atau majelis Ta’lim desa.

2. Pembinaan LKMD

LKMD merupakan suatu wadah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai mitra pemerintah desa dalam menampung dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dibidang kemasyarakatan dan pembangunan.Tugas pokok dan fungsi LKMD antara lain menyusun rancangan pembangunan yang partisipatif, menggerakkan swadaya masyarakat, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan, penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat desa, pengoordinasian perencanaan pembangunan, pengoordinasian perencanaan lembaga kemasyarakatan, dan perencanaan kegiatan secara partisipatif dan terpadu.membantu Pemerintah Desa atau Kelurahan dalam menggerakkan dan meningkatkan prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari kegiatan Pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat serta menumbuhkan kondisi dinamis masyarakat. Peranserta masyarakat itu diharapkan dapat ditampung dalam suatu wadah yang dibina oleh Pemerintah yaitu LKMD.


(3)

94 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kewenangan badan Permusyawaratan desa dalam melaksanakan pemerintahan desa yaitu sebagai badan legislatif yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemerintah desa yang berdasarkan prinsip “Check and Balance” dan hubungan kemiteraan (partnership)

2. Hubungan Badan Permusyawaratan Desa dengan perangkat pemerintahan desa yaitu sangat erat terkait dimana bentuk dan pola hubungan tersebut sejajar dan menjadi mitra didalam menjalankan tugasnya untuk memajukan desa.

3. Kendala-kendala yang dialami badan Permusyawaratan desa dalam menjalankan kewenangannya yaitu faktor sarana dan prasarana yang kurang memadai atau bahkan minim, ditambah hubungan yang kurang harmonis antara badan Permusyawaratan desa dengan perangkat desa disebabkan munculnya ego sektoral yang menimbulkan ketidak percayaan antara kedua belah pihak yang berdampak pada lingkungan kerja kurang kondusif.

4. Untuk Meningkatkan Kinerja Badan Permusyawaratan Desa, Harus Dimulai Dari Penigkatan SDM, Sehingga Seluruh Kendala-kendala Dapat Diatasi, Ego Sektoral yang muncul dapat disingkirkan dengan


(4)

95

pemahaman-pemahaman yang lebih peka terhadap hak dan kewajiban yang dipegang baik di Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Dengan Demikian Akan tercipta Pemerintahan Desa yang maju dan bermutu dalam menjalankan Sistem Pemerintahan Desa yang saling Mendukung.

B. Saran

1. Sebaiknya Untuk ke depanmya, kewenangan Badan Permusyawaratan Desa dapat lebih diperbesar kewenangannya dalam mengawasi dan menyelenggarakan Sistem Pemerintah Desa. Sehingga Dapat Dilihat jelas bagaimana cakupan dan hasil kerja Badan Permusyawaratan Desa.

2. Diharapkan hubungan Badan Permusyawaratan Desa dengan Perangkat Pemerintahan Desa dapat berjalan lebih harmonis dalam Menjalankan Peraturan-peraturan Desa dan mengelola sistem pemerintahan Desa.

3. Pemerintah Perlu melakukan pengembangan pendidikan dan pengetahuan dalam hal Keadministrasia Negara sampai ke Pedesaan. Sehingga Setia Masyarakat Desa Dapat lebih memhami fungsi-fungsi struktural kepemerintahan Desa.

4. Sebaiknya Peran serta pemerintah diharapkan lebih intens dalam menanggulangi dan membantu dalam memecahkan kendala-kendala yang dialami oleh Badan Permusyawaratan Desa.


(5)

96

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

W. Widjaja, 2001, Pemerintah Desa/Marga, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

A.W. Widjaja, 1993, Pemerintah Desa dan Administrasi Desa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

AW Widjaja, 2001, Pemerintahan Desa/Marga, Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Abdul Ghafar Karim, 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di

Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bambang Yudhoyono, 2000, Otonomi Daerah Desentrasalisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Daerah dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Daeng Sudiro, 1985, Pembahasan Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah dan Pemerintahan Desa, Angkasa, Bandung.

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah : Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dengan Kepala Daerah, Alumni, Bandung. Miftah Thoha, 2002, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Muhyanto, 1991, Masalah dan Tantangan Pembangunan Pedesaan Jangka Panjang Tahap Ke-II, APMD, Yogyakarta.

Bachsan Mustafa, 2003, Sumber pandapatan yang telah dimiliki atau dikelola oleh desa, PT. Raja Grafindo Persada Bina Aksara, Jakarta.


(6)

97 B. Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa Bab XI Pasal 200 s.d 216

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

C. Internet

http://www.ipdn.ac.id/wakilrektor/wpcontent/uploads/MAKALAH_TENTANG_ DESA.pdf

http://kevinevolution.wordpress.com/2011/11/02/kedudukan-kewenangan-dan-tindakan-hukum-pemerintah/

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia www.bappenas.go.id/get-file-server/node/82/

id.wikipedia.org/wiki/Desa

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19607/5/Chapter%20I.pdf repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29733/4/Chapter%20I.pdf

http://repository.fisip-untirta.ac.id/72/1/Skripsi_PHINANDITIA_061441.pdf http://www.crayonpedia.org/mw/SISTEM_PEMERINTAHAN_DESA jurnal.umy.ac.id/index.php/jsp/article/view/1472/206