Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Wanita) Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan) Chapter III V

BAB III
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG
Proses penegakan hukum pidana (Criminal law enforcement process), saling
berkatian dengan krimnologi, karena kriminologi dapat memberikan masukan kepada
hukum pidana, berdasarkan ilmu kriminologi itu akan dapat membantu kepada
penegakan hukum pidana yang sedang diproses di pengadilan.42
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab akibat,
perbaikan dan pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun
sumbangan-sumbangan berbagai ilmu pengetahuan. Menurut Sutherland, cressy
criminologyis the body of knowledge regarding crime as a social phenomenon. Dalam
hal ini, kriminologi merupakan batang tubuh ilmu pengetahuan yang mengandung
pengertian kejahatan sebagai suatu fenomena sosial.43
Kriminologi menurut para ahli:
A. Mr. W.A. Bonger menyatakan bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala-gejala kejahatan seluas-luasnya.44
B. Ediwarman, Kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan (baik yang dilakukan oleh individu, kelompok atau masyarakat) dan
sebab musabab timbulnya kejahatan serta upaya-upaya penangulanganya
sehingga orang tidak berbuat kejahatan lagi dan korban kejahatan45
C. Noach, menyatakan kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki

gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab musabab
serta akibat-akibatnya.
42

Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2014, Halaman 6.
43
Ibid, Halaman 7.
44
Ediwarman, Op.cit, Halaman 5.
45
Ibid, Halaman 6.
Universitas Sumatera Utara

Didalam ilmu kriminologi dikenal adanya mazhab-mazhab dalam krimnologi,
adapun mazhab-mazhab itu ialah:
1. Mazhab Antropologi.46
Usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis dipelopori
oleh ahli-ahli frenologi, seperti GALL (1758-1828) Spurzheim (1776-1832), yang
mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak kepala dengan tingkah laku.

Mereka mendasarkan pada pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa otak
merupakan organ dari akal.
Seorang dokter ahli kedokteran kehakiman yaitu Cesare Lombroso (1835-1909)
merupakan tokoh yang penting dalam mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri fisik
(biologis) penjahat dalam bukunya L’uomo delinquent .
Pokok-pokok ajaran Lombroso adalah :
a. Penjahat adalah orang yang mempunyai bakat jahat
b. Bakat jahat tersebut diperoleh karena kelahiran yaitu diwariskan dari nenek
moyang
c. Bakat jahat tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu, seperti muka
yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan lain-lain
d. Bakat jahat tersebut tidak diubah, artinya bakat jahat tersebut tidak dapat
dipengaruhi.

46

Topo Santoso, dan Eva Achjani Zulfa, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara


Lombroso juga menggolongkan para penjahat dalam beberapa golongan
seperti:47
a. Antropologi penjahat: penjahat pada umumnya dipandang dari segi antropologi
merupakan suatu jenis manusia tersendiri (genus home delinguenes), seperti
halnya dengan negro. Mereka dilahirkan demikian (ildelinguente nato) mereka
tidak mempunyai predis posisi untuk kejahatan, tetapi suatu prodistinasi, dan
tidak ada pengaruh lingkungan yang dapat merubahnya. Sifat batin sejak lahir
dapat dikenal dari adanya stigma-stigma lahir, suatu tipe penjahat yang dapat
dikenal.
b. Hypothese atavisme: persoalnya adalah bagaimana caranya menerangkan
terjadinya makhluk yang abnormal itu (penjahat sejak lahir). Lombroso dalam
memecahkan soal tersebut, memajukan hypothase yang sangat cerdik, diterima
bahwa orang masih sederhana peradapanya sifatnya adalah amoral, kemudian
dengan berjalanya waktu dapat memperoleh sifat asusila, maka orang penjahat
merupakan suatu gejala atavistis, artinya ia dengan sekonyong-konyong dapat
dikembali menerima sifat-sifat yang sudah tidak dimiliki nenek moyangnya
yang lebih jauh (yang dinamakan pewarisan sifat secara jauh kembali).
c. Hypothese pathology: Berpendapat bahwa penjahat adalah seseorang penderita
epilepsy.
d. Tipe penjahat: ciri-ciri yang dikemukakan oleh Lombroso terlihat pada penjahat,

sedemikian sifatnya, sehingga dapat dikatakan tipe penjahat. Para penjahat
dipandang dari segi antropologi mempunyai tanda-tanda tertentu, umpamanya
47

H.M Ridwan dan Ediwarman, Loc Cit.

Universitas Sumatera Utara

sisi tengkoraknya (pencuri) kurang lebih dibandingkan dengan orang lain, dan
terdapat kelainan-kelainan pada tengkoraknya. Dalam tengkoraknya terdapat
keganjilan yang seakan-akan mengigatkan kepada otak-otak hewan, biarpun
tidak dapat ditunjukanadanya kelainan-kelainan penjahat khusus. Roman
mukanya juga lain dari pada orang biasa, tulang rahang lebar, muka menceng,
tulang dahi melengkung kebelakang.
2. Mahzab Perancis atau Mazhab Lingkungan.
Mahzab ini timbul terutama sebagai penentang mahzab (ajaran) Lombroso.
Pemuka-pemukanya adalah para dokter yang mengemukakan arti penting dari pada
milleu sebagai penerbit dari macam-macam penyakit infeksi dan etilogi dari pada
penyakit-penyakit infeksi. Para dokter ini terutama telah lebih menonjolkan teori milleu
dengan menyangkal kebenaran ajaran tentang kriminalitas sejak lahir. Walaupun

mereka adalah dokter dan bukan ahli-ahli sosiologi, namun mereka mempunyai
pengertian yang tepat mengenai sebab-sebab sosial dari pada kriminalitas. Pemukapemukanya adalah Lacassagne (dokter), Manouvrier (anthropolog) dan G.Tarde (yuridis
dan sosiologis). Menurut Tarde, Kriminalitas bukan gejala antropologis, melainkan
karena gejala sosial, seperti juga lain-lain gejala sosial yang dipengaruhi oleh imitasi. 48
Tokoh terkemukanya adalah A. Lacassagne (1843-1924) guru besar dalam ilmu
kedokteran kehakiman diperguruan Kriminil Internasional yang ke-1 di Rome (1885) ia
menentang Lambroso. Tidak kurang pentingnya ialah L. Manouvier sebagai antropolog
(1850-1927), guru besar diperguruan tinggi paris.

48

Purnianti, Moh. Kemal Darmawan, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

Tokoh ketiga dari mazhab perancis ini adalah G. Trade (1843-1940), seorang
ahli hukum dan sosiolog. Dari permulaan, dalam bukunya “La Criminilite Compare
(1886) ia dengan keras menentang ajaran dari mazhab italia. Menurut pendapatnya
kejahatan bukan suatu gejala yang antropologis sosiologis, yang seperti kejadiankejadian masyarakat lainnya dikuasai oleh peniruan.49
Mazhab lingkungan ekonomi, kita mengetahui bahwa beberapa pengarang.

Umumnya dari kalangan sosialis mementingkan keadaan ekonomi sebagai penyebab
timbulnya kejahatan. Aliran ini mulai terasa pengaruhnya pada penghabisan abad ke-18,
ketika timbul system baru dalam perekonomian dan kelihatan bertambah.
Sudah dapat dikatakan bahwa teori-teori baru dalam lapangan ilmu
kemasyarakatan yang timbul kurang lebih pada pertengahan abad ke-19, pandangan
masyarakat

yang

berdasarkan

keadaan

ekonomi

(yang

dinamakan

historis


materialisme), akan berpengaruh besar terhadap kriminologi.
3. Mazhab Biososioligis.
Ferri memberikan suatu rumus tentang timbulnya tiap-tiap kejahatan adalah
resultan dari keadaan individu, fisik dan sosial. Pada suatu waktu unsur individu yang
paling penting, keadaan sosial memberi bentuk kejahatan, tetapi ini bakatnya berasal
dari bakatnya yang anti sosial (organis dan psikis). Diantara semua penganut dari
Lombroso, Ferri yang paling berjasa dalam menyebarkan ajaranya. Sebagai seorang ahli
ilmu pengetahuan, ia sudah mengetahui bahwa ajaran Lombroso dalam bentuk aslinya
tidak dapat dipertahankan. Dengan tidak mengubah intinya, Ferri mengubah bentuknya,
sehingga tidak lagi begitu berat sebelah dengan megakui pengaruh lingkungan.
49

Mr.W.A. Bonger, Pengantar Tentang
Koesnoen.Pembangunan, 1981, Halaman 93-94.

Kriminologi,

Diterjemahkan


Oleh

R.A.

Universitas Sumatera Utara

Dari uraian di atas aliran Bio-Sosiologi ini bersintetis kepada aliran antropologi
yaitu keadaan lingkungan yang menjadi sebab kejahatan, dan ini berasal dari Ferri.
Rumusnya berbunyi “tiap kejahatan adalah hasil dari unsur-unsur yang terdapat dalam
individu” yaitu seperti unsur-unsur yang diterangan oleh Lombroso. 50
4. Mazhab Spiritualis.
Mazhab ini mencari sebab-musabab kejahatan dalam ketidak adanya
kepercayaan agama. Pendapat ini dibuatnya atas dasar penemuan, bahwa makin banyak
orang yang tidak pergi ke gereja makin bertambah kejahatan. Jadi terdapat hubungan
kausal antara kedua hal tersebut.51
Diantara aliran-aliran Kriminologi yang mempunyai kedudukan sendiri, adalah
aliran yang dulu mencari sebab terpenting dari kejahatan dalam tindak beragamanya
seseorang. Menurut Kampe aliran ini mungkin pada waktu sekarang lebih tepat jika
dinamakan aliran neo spiritualis, mempunyai kecenderungan mementingkan unsur
kerohanian dalam mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan.52

5. Mazhab Mr. Paul Moedikno Moeliono53
Menurut mazhab ini membagi kepada 5 (lima) golongan antara lain:
a. Golongan Salah Mu Sendiri (SS).
Aliran ini berpendapat kejahatan timbul disebabkan kemauan bebas individu
(Free of the will) kejahatan disebabkan oleh kemauan maka perlu hukuman untuk
jangan lagi berbuat jahat.
b. Golongan Tiada Yang Salah (TOS).
50

H.M Ridwan dan Ediwarman, Loc. Cit.
Purnianti, Moh. Kemal Darmawan, Loc. Cit
52
H.M Ridwan dan Ediwarman, Loc. Cit
53
Ediwarman, Loc. Cit.
51

Universitas Sumatera Utara

Aliran ini mengemukakan sebab-sebab kejahatan itu disebabkan Herediter

Biologis, kultur lingkungan, bakat + lingkungan, perasaan keagamaan. Jadi kejahatan
itu expresi dari pressi faktor biologis kulturil, Bio-Sosiologis, spriritualis.
c.

Golongan Salah Lingkungan.
Aliran ini menyatakan timbulnya kejahatan disebabkan faktor lingkungan.

d.

Golongan Kombinasi.
Aliran kombinasi ini menyatakan bahwa struktur personality individu terdapat 3

bagian:
1) Das ES = Id.
2) Das Ich = Ego.
3) Uber Ich = Super Ego.
e. Golongan Dialog.
Aliran ini menyatakan bakat bersama lingkungan berdialog dengan individu.
Manusia berdialog dengan lingkungan maka dia dipengaruhi lingkungan dan
mempengaruhi lingkungan.

Mazhab-mazhab ini lah yang terkandung didalam kriminologi, Didalam ilmu
kriminologi ada faktor faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang
yang dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
A.

Faktor Intern
1. Faktor Individual
Setiap individu memiliki kepribadian dan karakteristik dan tingkah laku yang

berbeda satu sama lainnya. Kepribadian ini dapat dinilai dari cara dan bagaimana setiap
individu itu berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Seseorang individu

Universitas Sumatera Utara

yang berperilaku baik di tengah masyarakat maka seseorang itu akan di nilai baik dan
mendapatkan penghargaan diri dari masyarakat dan dapat dijadikan contoh bagi
masyarakat disekitarnya. Tetapi jika seseorang berpeliku tidak baik maka orang tersebut
akan dinilai tidak baik dan timbul di benak masyarakat bahwa orang tersebut akan
menimbulkan masalah dan kekacauan di masyarakat itu.
Dalam perdagangan orang (wanita) dengan tujuan prostitusi ataupun pelacuran,
terjemusnya seorang wanita kedalam dunia prostitusi bukan semata keinginan dari
pada si wanita tersebut melainkan adanya dorang-dorangan dari orang lain yang
hendak memanfaatkan keadaan siperempuan itu. Adanya pelaku trafficking bisa
dikatakan sebagai penjahat yang akan menjual wanita sebagai lahan bisnis para pelaku
traficcking. Berkaitan dengan hal ini penulis menghubungkan dengan pendapat dari
Lambroso yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan bakat manusia yang dibawa
sejak lahir (criminal is born) yaitu dalam mazhab italia.
Lambroso juga mengatakan seorang penjahat dapat dilihat dari keadaan fisiknya
yang mana sangat berbeda dengan manusia lainya. 54 Yaitu seduai dengan pendapat
Lambroso pada Hypothese Pathologi menurutnya Type penjahat dipandang dari sudut
antropologi mempunyai tanda-tanda tertentu, umpamanya isi tengkoraknya kurang bila
dibandingkan oleh orang lain, dan terdapat kelainan-kelainan pada tengkoraknya.
2. Faktor Ekonomi.
Faktor ekonomi adalah faktor yang sering mengakibatkan seseorang untuk
berbuat kejahatan, dikarenakan ekonomi menjadi peran penting untuk meneruskan
kehidupan yang lebih jauh, karena adanya tekanan ekonomi yang sangat kuat maka

54

Made Darma Weda, Kriminologi, PT Raja Grafindo, Jakarta, 1996, Halaman 16.

Universitas Sumatera Utara

banyak wanita mencari pekerjaan tanpa melihat kesehatan, keamanan, bahaya, dan
Halal nya pekerjaan tersebut.
Kemiskinan yang begitu berat dan langkanya kesempatan kerja mendorong
jutaan penduduk Indonesia melakukan migrasi didalam dan diluar neger guna
menemukan cara agar dapat menghidupi diri mereka dan keluarganya mereka sendiri.
Kemiskinan bukan satu-satunya indicator kerentanan seseorang terhadap perdagangan
orang. Karena masih ada jutaan penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan
tidak menjadi korban perdagangan orang, akan tetapi ada banyak penduduk baik dan
tidak hidup dalam kemiskinan malah menjadi korban dari perdagangan orang.
Bermigrasi bukan untuk mencari pekerjaan bukan semata-mata hanya mencari uang,
tetapi mereka ingin memperbaiki ekonomi serta menambah kekayaan materiil.
Kenyataan in didukung oleh media yang menyajikan tontonan yang glamour dan
komsumtif, sehingga membentuk gaya hidup yang materialisme dan konsumtif.55
Materialis adalah stereotip yang selalu ditujukan kepada mereka yang memiliki
sifat menjadikan materil sebagai orientasi atau tujuan hidup. Untuk mendapatkan materi
sebagai orientasia atau tujuan hidup. Untuk mendapatkan materi sering menghalalkan
segala cara, termasuk mendapatkan melalui cara pertukaran nilai jasa ata dirinya.
Faktor ekonomi ini juga bukan hanya di derita kepada orang yang berkecukupan
pangan, sandang yang rendah tetapi pola hidup yang modern dapat juga menjadikan
faktor keinginan seorang wanita untuk mengikuti perkembangan zaman. Wanita dengan
mudahnya menjadikan dirinya sebagai pelacur atau ditempatkan di tempat prostitusi

55

Farhana, Op. Cit. Halaman 52.

Universitas Sumatera Utara

mendapatkan penghasilan yang sangat besar sehingga kebutuhan yang di inginkanya
terpenuhi.
Diperkotaan gaya hidup elite dengan budaya konsumtif sudah sangat mewarnai
sebagai masyarakat yang berada dikota, golongan masyarakat ini terutama wanita yang
masih belia memaksakan diri untuk berkeinginan menikmati kemewahan hidup tanpa
perlu perjuangan dalam mewujudkanya. Wanita cendrung menempuh jalur cepat atau
instan menuju kemewahan hidup walaupun tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan
agar memungkinkan mereka mendapatkan angan-angan itu. Bagi para pelaku
perdagangan orang, kondisi ini selalu akan menjadi peluang untuk menjaring korban
untuk diperdagangkan.56
3. Faktor keluarga.
Peranan keluarga dalam menentukan pola tingkah laku anak sebelum dewasa
maupun sesudahnya sangat penting sekali bagi perkembangan anak selanjutnya karena
tidak seorangpun dilahirkan langsung mempunyai sifat yang jahat, keluargalah yang
merupakan sumber pertama yang mempengaruhi perkembangan anak.57
Salah satu faktor terjadinya kejahatan perdagangan orang adalah faktor keluarga.
Pendapat ini didasarkan pada jumlah korban maupun pelaku tindak pidana perdagangan
orang yang tertangkap kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang tidak
harmonis dan broken home, kurang nya perhatian dari kedua orang tua membuat
mereka hidup tanpa arah dan cenderung bersifat bebas.
Perubahan dari kondisi rumah tangga seperti perceraian, kekerasan dalam rumah
tangga, dan lain-lain merupakan faktor yang sangat penting bagi kejiwaan anggota
56

Ibid, Halaman 53.
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1986, Halaman 59.
57

Universitas Sumatera Utara

keluarga. Kebanyakan dari residivis berasal dari keluarga yang terpecah dari pada
keluarga yang terpecah. Sering kali kejahatan dilakukan dari hal-hal yang kecil sewaktu
anak-anak karena kurangnya pengawasan orang tua dan akan menjadi kejahatankejahatan besar pada saat anak tersebut dewasa. Kurangnya kedisiplinan dalam keluarga
disebabkan oleh:

e.

Perbedaan antara orang tua dan anak dalam hal kedisiplinan;

f.

Kelemahan moral, fisik, dan kecerdasan orang tua yang membuat lemahnya
disiplin;

g.

Kurang disiplin karena tidak adanya orang tua;

h.

Perbedaan pendapat tentang pengawasan terhadap anak-anaknya;

i.

Kedisiplinan yang kurang ketat;

j.

Orang tua dalam membagi cinta dan kasih saying terhadap anak kurang merata
atau pilih kasih dalam penerapan disiplin didalam rumah tangga.
Kepatuhan pada orang tua juga merupakan hal yang sangat penting untuk

dicermati. Adanya ketidakpatuhan terhadap orang tua membuat anak ini tidak lagi
memerhatikan nasihat ataupun bimbingan dari orang tuanya, sehingga anak ini
bertindak dan berperilaku hanya berdasarkan emosionalnya semata. Hal ini yang
membuat anak tersebut terjebak dalam lingkaran perdagangan orang, dan hal ini
mungkin tidak pernah diinginkan oleh anak tersebut.
Dari uraian diatas dapat kita lihat beberapa proses dasar seseorang menjadi jahat
erat kaitanya dengan keluarga. Oleh karena itu kepada para orang tua agar mendidik dan
menjaga anak-anak nya dari kejahatan perdagangan orang.

Universitas Sumatera Utara

4.

Faktor Religi
Bila seseorang mempunyai keimanan dan ketaqwaan yang tipis kemungkinan

akan mudah melakukan kejahatan kekerasan seksual yang sangat merugikan orang lain
Karena tidak dibentengi oleh ajaran agama. Oleh Karena itu pengisian jiwa dengan
ajaran agamaan sangat diperlukan dan hendaknya dimulai sejak dini. Jika petunjuk
agama dapat dilaksanakan dengan baik dalam setiap mengambil keputusan maka semua
perbuatan yang akan dilakukan selalu mendapat pahala dari Tuhan Yang Maha Esa.
Sebaliknya bila nilai-nilai keagamaan tidak ada dalam jiwa manusia maka mereka akan
mudah tergoda untuk melakukan hal-hal yang bersifat merugikan orang lain.
B. Faktor Ekstern
1. Faktor Lingkungan.
Mazhab prancis atau mahzab lingkungan mengatakan “De Welt Is Mehr Schuld
An Mir, Als Is”, yaitu dunia adalah lebih bertanggung jawab terhadap bagaimana
jadinya saya, dari pada diri saya sendiri.58
Harus diakui, bahwa peniruan dalam masyarakat memang mempunyai pengaruh
yang besar sekali. Biarpun setiap kehidupan manusia bersifat khas sekali, dapat
disetujui, bahwa banyak orang dalam kebiasaan hidupnya dan pendapatnya amat sangat
mengikuti keadaan lingkunganya, dimana mereka hidup. Dengan jelas hal ini terlihat
dari adanya kelangsungan yang dapat dikatakan tetap dari masyarakat dan perubahanperubahan yang biasanya lambat.59
Pengertian lingkungan dalam tulisan ini adalah pengertian lingingan dalam arti
sempit, maksudnya hanya terbatas dalam hubungan antara penjahat dengan orang lain
58
59

H.M. Ridwan dan Ediwarman, Op. Cit, Halaman 66.
Mr.W.A. Bonger, Op. Citt, Halaman 93-94.

Universitas Sumatera Utara

atau disebut dengan hubungan sosial atau lebih tegas lagi hubungan antara penjahat
dengan masyarakat dimana ia berada. Sehubungan dengan itu, maka untuk melakukan
penyelidikan tentang tingkah laku jahat yang dilakukan oeh penjahat haruslah
memperhatikan keadaan lingkungan dimana pelaku kejahatan berasal.
Jadi dengan demikian, terjadinya kejahatan yang dilakukan seseorang salah satu
penyebabnya adalah faktor lingkungan atau pergaulan masyarakat sekitarnya. Kejahatan
yang merupakan suatu bentuk gejala sosial yang tidak berdiri sendiri, melainkan adanya
korelasi dengan berbagai perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, hukum maupun
teknologi serta perkembangan lain sebagai akibat sampingan yang negative dari setiap
kemajuan atau perubahan sosial dalam masyarakat.
2. Faktor Sosial Budaya
Dalam masyarakat terdapat sedikit kesepakatan dan lebih banyak memancing
timbulnya konflik-konflik, diantaranya konflik kebudayaan, yaitu menjelaskan kaitam
antara konflik-konflik yang terjadi didalam masyarakat dengan kejahatan yang timbul.
Norma yang dipelajari oleh setiap indvidu, diatur oleh budaya dimana individu berada.
Dalam sebuah masyarakat homogeny yang sehat, hal tersebut diatas dilakukan dalam
jalur hukum dan ditegakan oleh anggota-anggotanya masyarakat, mereka menerima
norma itu sebagai suatu hal yang benar, apabila hal ini tidak terjadi, maka konflik
budaya akan muncul dengan dua bentuk konflik, yakni primary conflict dan secondry
conflict.60
Primary conflict adalah konflik yang timbul diantara dua budaya yang berbeda.
Teori Primary Kulture Conflict ini, masalah kejahatan muncul karena adanya imigrasi.

60

Maidin Gultom, Op.Cit.Halaman 56.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan secondry conflict adalah konflik yang muncul dari satu kebudayaan,
khususnya ketika budaya itu mengembangkan sub kebudayaan masing-masing dengan
norma tingkah lakunya sendiri. Hukum biasanya akan mewaakili atauran atau norma
budaya nominan. Norma kelompok lain (sub kebudayaan) sering kali tidak hanya
berbeda, tetapi berlawanan dengan norma dominan sehingga dapat merupakan norma
kejahatan dibawah hukum. Dengan individu yang hidup dengan norma tingkah laku
subkebudayaan macam Itu, mereka dapat melanggar hukum dari budaya dominan.
Adapun pendapat dari Sutherland, semua tingkah laku dipelajari dengann
berbagai cara. Dengan kata lain tingkah laku kejahatan yang dipelajari dalam kelompok
melalui interaksi dan komunikasi. Hal ini disebutkan dengan teori asosiasi diferensial. 61
Munculnya teori diatas ini didasarkan pada 3 hal, yaitu:
a. Setiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola perilaku yang dapat
dilaksanakan;
b. Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan ikonsistensi dan
ketidakharmonisan;
c. Konflik budaya (conflict of cultures) merupakan prinsip dasar dalam
menjelaskan kejahatan.
Ketiga hal tersebut yang menjadi dasar pengembangan teori Sutherland. Versi
pertama tahun 1939 dalam bukunya Principles of Criminology, memfokuskan pada
konflik budaya dan disorganisasi sosial serta asosiasi differensial yang diartikan sebagai
the contest of the patterns presented in association.

61

Hendrojono, Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, Srikandi, Surabaya,
2005, Halaman 78.

Universitas Sumatera Utara

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kaitan teori ini dengan perdagangan
orang tidak lepas penyebab terjadnya melalui interaksi dan komunikasi baik dengan
orang lain atau melalui media.
3. Faktor Perkembangan Teknologi.
Faktor kejahatan yang merupakan suatu bentuk dari gejala-gejala sosial yang
tidak berdiri sendiri, melainkan ada hubungannya dengan berbagai perkembangan
kehidupan sosial, ekonomi, hukum maupun teknologi. Pada masa sekarang ini teknologi
sebagai sarana pendukung pembangunan yang wajib dikuasai oleh semua orang. Kita
akan tertinggal jika kita tidak menguasai teknologi tersebut, tapi sangat disayangkan
perkembangan teknologi yang sangat maju memberikan efek-efek negative didalam
kehidupan masyarakat.
Sarana-sarana seperti majalah, radio, surat kabar, media sosial dan televisi
kadang-kadang secara tidak langsung memberikan pelajaran kepada masyarakat tentang
bagaimana melakukan suatu kejahatan atau memudahkan melakukan kejahatan ataupun
menutupi kejahatan tersebut. Tayangan-tayangan yang berbau pornografi yang disiarkan
maupun ditulis di situs-situs online secara tidak langsung akan ditiru oleh orang lain.
Hal ini menyebabkan anak-anak yang melihatnya akan berdampak bagi perkembangan
masa depannya. Jika perkembangan teknologi dikaitkan dengan tindak pidana
perdagangan orang para pelaku trafficker sering menjerat korban nya dan bahkan
menjual korbannya (wanita) melalui media sosial, seperti hal nya yang sedang hangat
diperbincangkan di media sosial.
Dari uraian di atas ini dapat kita simpulkan perkembangan teknologi menjadikan
salah satu faktor perdagangan orang, karena banyak nya media-media seperti koran,

Universitas Sumatera Utara

televise, radio menayangkan tayangan yang terkadang tidak sesuai dan seharusnya tidak
ditayangkan karena jika orang yang tidak bisa menyaring informasi dari pada tayangan
itu maka orang tersebut akan meniru apa yang ia dengar dan ia lihat di televisi, dan
hubungan nya dengan perdagangan orang para trafficker sering menggunkan media
gadget untuk menawarkan para korban wanita kepada laki-laki hidung belang untuk
dijadikan pelacur.
4. Faktor Pendidikan
Salah satu penyebab terjadinya perdagangan orang (wanita) untuk tujuan
prostitusi atau pelacuran adalah faktor Pendidikan dari korban ataupun sipelaku sendiri,
peran pendidikan dari sikorban ataupun sipelaku itu sendiri akan sangat berpengaruh
menumbuhkan perilaku yang rasional dan menurunkan atau mengurangi bertindak
secara rasional.
Salah satu faktor yang menyebabkan seorang wanita menjadi korban
perdagangan orang pada umumnya adalah dikarenakan pendidikan wanita tersebut
sangat kurang, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal. Dalam hal
pendidikan kebanyakan orang tua menyerahkan sepenuhnya anak mutlak kepada
sekolah tanpa memberi perhatian yang cukup terhadap kepentingan pendidikan anak,
sedangkan kemampuan pendidikan disekolah sangat lah terbatas.
Disamping itu kurangnya pendidikan formal berupa pendidika agama juga
merupakan faktor penyebab meningkatnya perdagangan orang untuk tujuan prostitusi
atau pelacuran. Hal ini mungkin disebabkan keterbatasan pengetahuan tentang
keagamaan ataupun kurangnya iman pada diri anak tersebut dalam mengendalikan

Universitas Sumatera Utara

dirinya, dan lebih memudahkan trafficker untuk merekrut wanita dan anak untuk
dijadikan korban perdagangan.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
UPAYA PENANGULANGGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG
Tindak pidana perdagangan orang menjadi salah satu kejahatan yang
sangat melanggar hak asasi manusia, wanita banyak dijadikan korban untuk
dijadikan bisnis bagi seseorang yang hanya ingin meraup keuntungan bisnis tanpa
memikirkan apa akibat dari perbuatan yang dilakukan nya tersebut.
Dinegeri ini, perdagangan orang terhadap wanita telah banyak dilakukan
secara terbuka dan sangat terang-terangan sehingga membuat pemerintah dan para
penegak hukum geram. Kemampuan mereka dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi menjadi modal untuk memuluskan perbuatan mereka dalam
perdagangan orang terhadap wanita ini. Hati nurani dan rasa malu mengalami
krisis moral yang sangat kronis sehingga hal tersebut tidak bisa ditemukan lagi,
bagi pelaku dan korban tindak pidana perdagangan orang sudah seharusnnya
diberikan upaya-upaya pencegahan yang sangat kuat agar terhindar dari tindak
pidana ini.
Adapun upaya-upaya pencegahan ini dapat dilakukan melalui upaya penal
dan nonpenal yang dianggap bisa mencegah para pelaku trafficker melakukan
kejahatan, dalam hal upaya penanggulangan ini penulis akan menjelaskan upayaupaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang melalui kebijakan
hukum pidana (Penal) maupun diluar kebijakan hukum pidana (Non Penal) yaitu
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

A. Upaya Penal.
Istilah “kebijakan” berasal dari Bahasa inggris “policy” atau Bahasa
belanda “politic”. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas
dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum
pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Menurut soedarto, politik
hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan baik dengan situai
dan kondisi tertentu. Selain itu, politik hukum merupakan kebijakan negara
melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturanperaturan

yang

dikehendaki

dan

diperkirakan

dapat

digunakan

untuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai
cita-cita yang diinginkan.62
Upaya penal adalah penangulangan kejahatan dengan menggunakan
hukum

pidana

(criminal

law

application),

kebijakan

tersebut

dioperasionalisasikan dengan cara menerapkan hukum pidana, yaitu hukum
materil, hukum formil, dan hukum panitensier dalam masyarakat. Dalam Kongres
PBB ke-4 di Kyoto disepakati bahwa usaha pencegahan kejahatan, termasuk
penegakan hukum pidana merupakan bagian integral dari rencana pembangunan
nasional.63

62

Mahmud, Mulyadi, Criminal policy pendekatan integral penal policy dan non penal
policy dalam penengulangan kejahatan kekerasan, Bangsa Press, Medan, 2008, halaman 66.
63
Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta,
2013, halaman,188.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya Hoefnagels, mengemukakan bahwa penerapan hukum pidana
untuk menangulangi kejahatan meliputi ruang lingkup berikut:
1. Administrasi peradilan pidana dalam arti sempit, yaitu pembuatan hukum
pidana dan yurisprudensi, proses peradilan pidana dalam arti sempit dan
luas (meliputi kehakiman, ilmu kejiwaan, ilmu sosial), dan pemidanaan.
2. Psikiatri dan psikologi forensik.
3. Forensik kerja sosial
4. Kejahatan, pelaksaanaan pemindahan dan kebijakan statistic.
Persoalan sentral dalam kebijakan penal adalah penentuan apa perbuatan
yang seharusnya dijadikan tindak pidana (kriminalisasi), dana apa sanksi yang
sebaiknya diancam terhadap si pelanggar (penalisasi).64
Operasional kebijakan penal meliputi kriminalisasi, dekriminalisasi,
penalisasi dan depenalisasi. Penegakan hukum pidana tersebut sangat tergantung
pada perkembangan politik hukum, politik criminal, politik sosial. Oleh karena
itu, penegakan hukum tidak hanya memperhatikan hukum yang otonom,
melainkan memperhatikan juga masalah kemasyarakatan dan ilmu perilaku sosial.
Berkaitan dengan penerapan hukum pidana dalam criminal policy.
Bambang Purnomo berpendapat, bahwa tujuan hukum pidana adalah agar
masyarakat dan setiap anggota masyarakat terlindungi oleh hukum sehingga dapat
mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Tujuan ini tidak lepas dari 2 fungsi
hukum pidana yaitu;
1. Fungsi primer yaitu sebagai sarana untuk mencegah kejahatan,

64

Ibid, halaman189.

Universitas Sumatera Utara

2. Fungsi sekunder yaitu menindak pelaku kejahatan.
Fungsi sekunder akan diterapkan jika fungsi primer tidak dapat
dilaksanakan. Dalam lingkup kebijakan penanggulangan kejahatan, hukum pidana
hanya merupakan salah satu upaya dari beberapa upaya penangulangan kejahat.
upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan atau penangulangan tindak
pidana termasuk kedalam bidang kebijakan Kriminal (Criminal Policy). kebijakan
criminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan atau upaya-upaya untuk
kesejahteraan sosial (sosial policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya
untuk kesejahteraan sosial (sosial welfare policy) dan kebijakan atau upaya-upaya
untuk perlindungan masyarakat (sosial defence policy).65
Barda Nawawi juga menyatakan kebijakan untuk membuat peraturan
perundang-undang yang baik dapat dipisahkan dari tujuan penangulangan
kejahatan. Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yaitu
Kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
1. Penggunaan hukum pidana harus memerhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil spiritual berdasarkan Pancasila sehubungan dengan ini maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menangulangi kejahatan dan
mengadakan peneguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri,
demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu
65

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penangulangan
Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, halaman 32.

Universitas Sumatera Utara

perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat (materil
dan spritualis).
3. Penggunaan hukum pidana harus pula menghitungkan prinsip biaya dan
hasil (coast and benefit principle).
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari bahan-bahan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Kebijakan untuk menggunakan sarana-saran penal policy ini didalam
menanggulangi tindak pidana perdagangan orang ini pada dasarnya sangat
menitik beratkan kepada tindakan represif. Hukuman yang sangat berat diberikan
kepada para tersangka pelaku tindak pidana perdagangan orang, hal ini juga
merupakan upaya penanggulangan kepada orang lain yang mungkin ada niat
untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang ini agar mengurungkan niat
perbuatannya dan tidak akan berani melakukan hal tersebut, dikarenakan adanya
hukuman yang berat yang akan diberikan.
Penerapan penal ini harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk
mencegah sebelum terjadinya kejahatan perdagangan orang ini. Upaya untuk
mendapatkan jawaban dari permasalahan diatas ini dapat dikaitkan dengan tujuan
dari pemidanaan dapat diruaikan berdasarkan tujuan retributive, deterrence,
treatment, dan sosial defence, adapun penjelasan dari tujuan ini yaitu:
1. Teori Retributif.
Teori Retributif memberikan penjelasan bahwa dalam tujuan pemidanaan
disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally justified”

Universitas Sumatera Utara

(pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk
menerimanya atas kejahatan yang dilakukan olehnya.
Teori ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas
kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang, kejahatan dipandang sebagai
perbuatan yang amoral dan asusila didalam masyarakat, oleh karena itu pelaku
kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan hukuman pidana. Tujuan
pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya
mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.66
Romli Atmasasmita mempunyai pandangan pembenaran penjatuhan
pidana terhadap pelaku kejahatan dalam teori retribut ini sebagai berikut:
a. Dijatuhkan pidana akan memuaskan perasaan balas dendam dari si korban,
baik perasaan adil bagi dirinya, temanya, maupun keluarganya. Perasaan
ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh
tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributive ini disebut vindicative;
b. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku
kejahatan dan anggota masyarakat yang lainya bahwa setiap perbuatan
yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain
secara tidak wajar, maka akan menerima ganjaranya, tipe aliran retributive
ini disebut fairmess;
c. Pidana dimaksudkan untuk menunjukan adanya kesebandingan antara
beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran ini
disebut proportionality.

66

Mahmud Mulyadi, Op. Cit, halaman 68.

Universitas Sumatera Utara

2. Teori Deterrence.
Pengertian “deterrence” menurut Zimrig dan Hawking digunakan lebih
terbatas pada penerapan hukuman pada suatau kasus, dimana ancaman
pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk
melakukan kejahatan. Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya
telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penganggulangan
kejahatan karena tujuan deterrence ini berakar aliran klasik tentang pemidanaan.
Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi
pencegahan umum (General deterrence) dan pencegahan khusus (individual or
special deterrence). Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan
memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan.
Prevemsi umum ini menurut Van Veen mempunyai 3 fungsi yaitu menegakkan
wibawa pemerintah, menegakan norma dan membentuk norma, prevensi khusus
dimasukkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect
kepada sipelaku sehingga tidak menangulangi perbuatan kembali. Sedangkan
fungsinya perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana
pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar
dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.67
3. Teori Treatment.

67

Ibid, halaman 74.

Universitas Sumatera Utara

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif
yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku
kejahatan, bukan pada perbuatanya, namun pemidanaan yang dimaksud oleh
aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan
(rehabilitasi) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.
Argument aliran ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang
yang sakit sehingga perlu adanya tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan
(rehabilitation).
Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanan tidak lah
semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan.
Kritikan pertama ditujukan pada kenyataanya bahwa hanya sedikit negara yang
mempunyai fasilitas untuk penerapan program rehabilitas pada tingkat dan
kebijakan yang menekankan tentang penggunaan tindakan untuk memperbaiki
atas nama penahanan, kritikan. Kedua adanya tuduhan yang serius bahwa
pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang
mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal
proses rehabilitasi ini tidak seorang pun yang dapat memprediksi berapa lama
pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera diserahkan kepada
dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu dibebaskan.68
4.

Teori Sosial Deference.
Sosial deference adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II

dengan tokoh terkenalnya adalah Filipo Gramatica, yang pada tahun 1945

68

Ibid, halaman 84.

Universitas Sumatera Utara

mendirikan pusat studi perlindungan masyarakat. Dalam perkembangan
selanjutnya pandangan sosial deference ini terpecah menjadi dua aliran, yaitu
aliran yang radikal (ekstrim) dan aliran yang moderat (reformis).
Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh Filipo
Gramatica, yang salah satu tulisanya berjudul “The Fight Against Punishment”
(La Lotta Contra La Pena). Gramatica berpendapat bahwa: hukum perlindungan
sosial adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan
pemidanaan terhadap perbuatanya. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat
mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang
tidak hanya sesuai dengn kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai
dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang
besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat diletakkan bagi
suatu system hukum. Beberapa konsep pandangan moderat:
a. Pandangan moderat bertujuan mengitegrasikan ide-ide atau konsepsikonsepsi perlindungan masyarakat kedalam konsepsi baru hukum pidana.
b. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang
tepat mengenai hukum pidana dan ini tidak kurang pentingnya dari
kehidupan masyarakat itu sendiri.
c. Dalam menggunakan system hukum pidana aliran ini menolak
penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.
Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran

Universitas Sumatera Utara

positif dengan paham rehabilisionisnya.69
1. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Dalam Perkara No.
1913/Pid.SUS/2015/PN Mdn dan No. 741/Pid.Sus/2016/PN Mdn.
a. Putusan No. 1913/Pid.SUS/2015/PN Mdn.
1) Posisi Kasus
Bahwa pada hari Rabu tanggal 18 maret 2015 sekira pukul 02.00 Wib,
saksi korban Nindi elfira als nindi menerima Sms dari terdakwa farida hanum als
bunda denga nisi Sms “nindi ini ada job dugem di elegan tapi jumpanya di Hotel
Asean dikasih uang Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), nindi mau gak kalua mau
kabarin” awalnya saksi korban tidak mau akan tetapi saksi korban selalu di Sms
oleh terdakwa denga nisi yang sama dan kemudian terdakwa kembali Sms saksi
korban dengan mengatakan “cepatlah kabari ini ada job jelas”. Lalu saksi korban
dijemput oleh terdakwa didepan Jl.tirtosari, selanjutnya saksi korban san terdakwa
pergi kerumah saksi Tessa di jl.Denai Gg, Bilal Medan denai untuk mengantikan
baju, kemudian saksi korban, terdakwa, dan saksi tessa pergi ke Hotel Asean
dengan menggunakan sepeda motor Yamaha Mio dengan nomor Polisi BK 5618
AES dan setibanya di Hotel Asean saksi korban diberi uang sebesar Rp.800.000,(delapan ratus ribu rupiah) per Short Time oleh terdakwa farida hanum, bahwa
terdakwa mendapat uang dari laki-laki yang memesan saksi korban nindi elfira
untuk job Dugem sebesar Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) yang
mana uang tersebut untuk terdakwa Rp.500.000.-(lima ratus ribu rupiah) dan
terdakwa serahkan kepada saksi korban nindi elfira sebesar Rp.800.000,-(delapan
ratus ribu rupiah) dan sisanya
69

sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah)

Ibid, halaman 89.

Universitas Sumatera Utara

terdakwa pergunakan untuk belanja makanan dan rokok, selanjutnya pada saat
terdakwa dan saksi korban nindi elfira langsung ditangkap oleh petugas kepolisan
dan dibawa ke polda sumut guna diproses.
2) Dakwaan
Terdakwa didakwakan dengan dakwaan alternative yaitu sebagai berikut :
a) KESATU pasal 2 ayat (1) UU RI No.21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
b) KEDUA pasal 10 UU RI No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
c) KETIGA pasal 82 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
d) KEEMPAT pasal 83 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
3) Tuntutan
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum adalah:
a) Menyatakan terdakwa Farida Hanum bersalah sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) UU RI No. 21 tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama
5 (lima) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan
denda sebesar Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah)
subsidair 2 bulan kurungan
c) Menyatakan barang bukti berupa:

Universitas Sumatera Utara

(1). Satu unit HP merek Mito warna putih, nomor imei
1;355138008510611

dan

imei

2

3555138006510629,

dikembalikan kepada pemiliknya nindi elfira als nindi
(2). Satu unit hp merk Samsung warna hitam, nomor imei
352505/843635/3 dirampas untuk dimusnahkan
(3). Uang tunai rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah)
dikembalikan kepada saksi Edison Sitepu
(4). Menyatakan agar terdakwa dibebani untuk membayar ongkos
perkara sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah)
4) Fakta hukum
a) Terdakwa ditangkap polisi pada hari rabu 18 maret 2015 sekira jam
01.30 wib bertempat di Hotel Asean di jl. Adam Malik medan bersama
saksi nindi dan saksi tessa;
b) Awalnya terdakwa mendapat telpon dari seseorang yang mencari
perempuan penghibur dan minta diantar ke Hotel Asean ;
c) Terdakwa meng-SMS saksi korban nindi yang sudah dikenalnya untuk
pergi dugem dengan bayaran Rp.800.000,- berulang-ulang sehingga
saksi nindi mau;
d) Sekira jam 22.00 wib terdakwa menjemput nindi dengan sepeda motor
di rumah nya dan terdakwa membawa nindi kerumah anaknya yang
bernama tessa, sampai disana terdakwa meminjam baju dari saksi tessa
untuk di pakai oleh nindi, kemudia mereka pergi keHotel Asean dengan
menggunakan sepeda motor tessa dengan berbonceng 3;

Universitas Sumatera Utara

e) Sesampainya dihotel terdakwa bertemu dengan orang yang memesan,
dan diberikan uang sejumlah Rp.1.500.000,- sesuai kesepakatan
terdakwa memberi uang kepada nindi Rp.800.000,- dan Rp. 500.000,untuk terdakwa dan Rp.200.000,- untuk beli rokok dan minuman;
f)

Saat berada diloby terdakwa ditangkap polisi yang berpakaian preman
dan selanjutnya dibawa ke polda bersama dengan nindi, tessa dan
barang bukti.

5) Putusan
a) Menyatakan terdakwa Farida Hanum als Bunda tersebut telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana
Perdagangan Orang”;
b) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar
Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan
selama 2 (dua) bulan;
c) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangi
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
d) Menetapkan terdakwa tetap ditahan;
e) Menetapkan barang bukti berupa:

Universitas Sumatera Utara

(1). Satu unit HP merek Mito warna putih, nomor imei
1;355138008510611

dan

imei

2

3555138006510629,

dikembalikan kepada pemiliknya nindi elfira als nindi
(2). Satu unit hp merk Samsung warna hitam, nomor imei
352505/843635/3 dirampas untuk dimusnahkan
(3). Uang tunai rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah)
dikembalikan kepada saksi Edison Sitepu
(4). Satu unit sepeda motor Yamaha Mio GT 125 BK 56118 AES
warna

hitam,

nomor

rangka

MH32SV00AEJ092545

dikembalikan kepada saksi Tessa Aditia;
(5). Membebankan kepada terdakwa membiayai perkara sejumlah
Rp.1.000,- (seribu rupiah).
6) Analisis Hukum Pidana dan Kriminologi.
Dalam putusan pengadilan Negeri Medan 1913/Pid.Sus/2015/PN Mdn
Jaksa Penuntut Umum mendakwakan terdakwa Farida Hanum dengan dakwaan
alternative yaitu dakwaan pertama Pasal 2 (1) UU RI No. 21 tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang, dakwaan kedua Pasal 10 UU RI No.21 tahun
2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dakwaaan ketiga Pasal 82 UU
RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dakwaan keempat Pasal 83 UU
RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dilihat dari dakwaan Jaksa
Penuntut Umum sudah jelas bahwa terdakwa Farida Hanum ada melakukan
kejahatan Perdagangan Orang. Maka dari itu Jaksa Penuntut Umum menuntut
Terdakwa dengan Pasal 2 (1) UU RI No. 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Universitas Sumatera Utara

Perdagangan Orang, dalam hal ini dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum
sudah seseuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa.
Dalam putusan hakim, hukuman yang dijatuhi oleh Majelis Hakim kepada
terdakwa Farida Hanum sudah sesuai dengan tuntutan dari jaksa penuntut umum
yakni Pasal 2 (1) UU RI No. 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan
Orang mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Hukuman yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa lebih rendah dari hukuman
yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum, dimana Jaksa Penuntut Umum
menuntut dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dikurangi selama terdakwa
Farida Hanum berada dalam tahanan. Sedangkan dalam putusan hakim, terdakwa
dijatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun. Majelis hakim dalam hal ini
memutuskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim yang telah dianalisis
hakim. Hal-hal yang dijadikan hakim sebagai dasar pertimbangan dalam putusan
ini adalah
Keadaan yang memberaratkan:
a) Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam
pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
b) Korban di perbuatan terdakwa adalah anak-anak;
Keadaan yang meringankan
a) Terdakwa bersikap sopan dan mengakui terus terang atas perbutanya di
persidangan;
b) Terdakwa belum pernah dihukum.

Universitas Sumatera Utara

Terlihat dalam keempat pertimbangan hakim diatas, maka penjatuhan
hukuman oleh majelis hakim kepada terdakwa terdakwa Farida Hanum sudah
tepat, mengigat perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah
dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Dengan pemidanaan terhadap terdakwa, diharapkan dapat menjadi salah
satu upaya sebagai perbaikan terhadap dirinya dan manusia yang baik dan berguna
ketika terdakwa berbaur kembali kemasyarakat. Selaras dengan itu pemidaan
terhadap terdakwa sesuai dengan system kemasyarakatan dimana pemidanaan
sebagai upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatanya dan
mengembalikanya menjadi warga masyarakat terutama menjadi seorang ibu yang
baik bagi anak-anaknya dan keluarganya, dan menjadikan terdakwa sebagai
seorang yang taat kepada hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial
dan agama sehingga dapat tercapainya kehidupan masyarakat yang aman tertib
dan damai.
Dilihat dari perspektif kriminologi, maka didalam kasus Nomor:
1913/Pid.SUS/2015/PN Mdn adanya beberapa faktor yakni faktor keluarga, faktor
ekonomi, faktor pendidikan, dan faktor lingkungan. Dimana faktor lingkungan
adalah faktor yang sangat dominan dalam kasus ini. Terdakwa melibatkan anak
kandungnya yang bernama Tessa agar mengantar terdakwa dan Nindi ke Hotel
Asean. Dalam hal ini faktor keluarga juga turut mendukung terjadinya Tindak
Pidana Perdagangan Orang dimana terdakwa menjalankan kejahatannya dengan
melibatkan anak kandungnya sendiri dengan cara meminta antar ke Hotel Asean.
Kepada korban Nindi dalam keteranganya bahwa dia kenal dengan terdakwa

Universitas Sumatera Utara

karena sering main dirumah terdakwa dan saksi korban nindi sudah tidak lagi
sekolah sejak SD kelas 3 karena tidak mampu. Dari keterangan tersebut ditariklah
kesimpulan bahwa penyebab saksi korban mau diperdagangankan oleh terdakwa
dikarenakan ada faktor lingkungan, faktor ekonomi dan faktor pendidikan. Faktor
lingkungan yang salah menyebabkan Nindi sering pergi main kerumah terdakwa
yang berujung pada maunya Nindi untuk diperdagangkan oleh terdakwa dengan
iming-iming imbalan dikarenakan nindi juga bukan lah orang yang mampu. Selain
itu didukung oleh faktor Pendidikan yang minim dimana Nindi sudah berhenti
sekolah dan Nindi hanya sekolah sampai dengan SD kelas 3. Dikarenakan faktor
Pendidikan yang kurang menjadikan membuat pola pikir Nindi yang masih
berusia 14 tahun tidak bisa berfikir secara dewasa dan tidak tahu apa yang
diperbuatnya ada salah.
Faktor teknologi juga menjadi sarana untuk mempermudah bagi seorang
terdakwa untuk mencari dan mendapatkan perempuan untuk di perdagangkan jasa
seksnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa dampak negatif dari perkembangan
teknologi termasuk teknologi gadget dapat disalahgunakan oleh pelaku Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
b. Putusan Nomor: 741/Pid.Sus/2016/PN Mdn
1) posisi kasus.
Bahwa pada hari minggu terdakwa abdul azis als ummi dihubungi oleh
Muhammad azhar (berkas perkara terpisah) melalui telephone dan meminta
terdakwa untuk menjemputnya dari Ayahanda jl. Legenda Medan untuk
diantarkan ke inul vista jl. Multatuli No. 30 ABC Medan dan terdakwa pun pergi

Universitas Sumatera Utara

menjemput Muhammad azhar dengan menggunakan mobil Swiff dengan Plat
nomor BK 238 GS, setelah terdakwa dan Muhammad azhar berada didalam mobil
terdakwa, kemudian Muhammad azhar menanyakan kepada terdakw

Dokumen yang terkait

Analisis Kriminologi Dan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Mobil Rental (Analisis 4 Putusan Hakim Pengadilan Negeri)

13 165 94

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi di Pengadilan Negeri Medan)

1 78 149

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Kasus Putusan No:2438/Pid.B/2014/Pn.Mdn )

5 117 134

Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Wanita) Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan)

1 1 8

Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Wanita) Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan)

0 0 1

Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Wanita) Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan)

0 1 23

Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Wanita) Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan)

0 0 15

Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Wanita) Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan)

0 0 3