Skrining Fitokimia, Uji Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Metanol dan Etil Asetat Daun Pirdot ( Saurauia vulcani Korth) dari Daerah Tigarunggu

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tumbuhan Pirdot (Saurauia vulcani Korth)

Tumbuhan pirdot seperti terlihat pada Gambar 2.1 dan hasil identifikasi yang
dilakukan di laboratorium Herbarium Medanense, Universitas Sumatera Utara,
adalah sebagai berikut :

Dunia

: Plantae

Divisio (Divisi)

: Magnoliophyta (Spermatophyta)

Class (Kelas)


: Magnoliospida (Dicotyledonae)

Ordo (Bangsa)

: Ericales

Familia (Suku)

: Actinidiaceae

Genus (Marga)

: Saurauia

Spesies (Individu)

: Saurauia vulcani Korth

Nama Daerah


: Pirdot (Sumatera Utara)

Gambar 2.1 Daun Pirdot

Universitas Sumatera Utara

Saurauia yang dikenal dengan nama cepcepan di daerah Kabupaten Karo
merupakan tanaman kecil, perdu, tangkai daun menggugurkan daunnya setiap
tahun, daun memiliki dua sisi yang berbeda bagian atas berwarna hijau bagian
bawah berwarna coklat pucat, pangkal daun bertoreh dan berlekuk seperti jantung
membulat telur sampai lonjong, ujung daun meruncing, tepi daun bergerigi,
permukaan daun muda banyak memiliki bulu sesudah dewasa tidak berbulu, helai
daun tebal dan kaku, bunga berbentuk cawan terletak pada ketiak daun, letak daun
pada batang melingkar 3/4 , daun-daun pelindung membulat telur sampai lonjong
meruncing, memiliki 5 tangkai kepala putik (Miquel, 1859).
Genus saurauia hidup pada daerah lembab atau daerah basah seperti dekat
air terjun, aliran sungai, jurang, gunung yang lembab, daerah hutan hujan, hutan
lumut, dan daerah yang berawan (mendung). Kebanyakan spesies hidup pada
tanah yang berpasir, banyak humus, tanah liat, jarang terdapat pada batu
(Soejarto, 1980). Daun pirdot digunakan sebagai obat luka dan diabetes dalam

pengobatan tradisional (Adiastuti, 2007).
2.2

Seyawa Metabolit Sekunder

Senyawa metabolit sekunder merupakan biomolekul yang dapat digunakan
sebagai lead compounds dalam penemuan dan pengembangan obat-obat baru
(Atun,2003). Senyawa-senyawa kimia yang merupakan hasil metabolisme
sekunder pada tumbuhan sangat beragam dan dapat diklasifikasikan dalam
beberapa golongan senyawa bahan alam yaitu alkaloid, flavonoid, terpenoid,
saponin dan tanin (Lenny, 2006). Pada umumnya senyawa metabolit sekunder
berfungsi untuk mempertahankan diri atau untuk mempertahankan eksistensinya
di lingkungan tempatnya berada. Dalam perkembangannya senyawa metabolit
sekunder tersebut dipelajari dalam disiplin ilmu tersendiri yaitu kimia bahan alam
(Natural Product Chemistry). Contoh metabolit sekunder adalah antibiotik,
pigmen, toksik, efektor kompetisi ekologi dan simbiosis, feromon, inhibitor
enzim, agen immunemodulasi, reseptor antagonis dan agonis, pestisida, agen
antitumor, dan promotor pertumbuhan binatang dan tumbuhan. Identifikasi
kandungan metabolit sekunder merupakan langkah awal yang penting dalam
penelitian pencarian senyawa bioaktif baru dari bahan alam yang dapat menjadi


Universitas Sumatera Utara

prekursor bagi sintesis obat baru atau prototipe obat beraktivitas tertentu
(Rasyid,2012). Identifikasi ini merupakan uji fitokimia. Metode yang dilakukan
merupakan metode uji berdasarkan yang telah dimodifikasi. Uji yang dilakukan
antara lain uji flavonoid, senyawa fenolik, alkaloid, saponin, tanin dan terpenoid
(Harbone, 1987).

2.2.1

Flavonoid

Flavanoid merupakan senyawa polar yang umunya mudah larut dalam pelarut
polar yang umumnya mudah larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, dan
aseton (Markham, 1998).
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol, senyawa fenol
mempunyai sifat efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri, dan jamur.
Khunaifi (2010) menambahkan bahwa senyawa-senyawa flavonoid umumnya
bersifat antioksidan banyak telah digunakan sebagai komponen bahan baku obatobatan. Senyawa flavonoid dan turunannya memiliki dua fungsi fisiologi tertentu,

yaitu sebagai bahan kimia untuk mengatasi serangan penyakit (sebagai
antibakteri) dan anti virus bagi tanaman. Para peneliti lain juga menyatakan
pendapat sehubungan dengan mekanisme kerja dari flavonoid dalam menghambat
pertumbuhan bakteri,antara lain bahwa flavanoid

terjadinya kerusakan

permeabilitas dinding sel bakteri (Sabir, 2008). Flavonoida pada tumbuhan
berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus dan kerja
terhadap serangga (Robinson, 1995). Adapun fungsi flavonoida dalam kehidupan
manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung, hesperidin mempengaruhi
pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi bekerja sebagi diuretik dan
antioksidan pada lemak (Sirait, 2007).
Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak
macamnya dan dapat dijelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid
dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor
kuat pernapasan. Beberapa flavonoid menghambat fosfodiesterase. Flavonoid lain
menghambat aldoreduktase, monoamonia oksidase, protein kinase, balik
transkriptase, DNA polimerisasi dan lipooksigenase (Robinson, 1995).


Universitas Sumatera Utara

Kerangka dasar karbon pada flavonoid merupakan kombinasi antara jalur
sikhimat dan jalur asetat-malonat yang merupakan dua jalur utama biosintesis
cincin aromatik. Cincin A dari struktur flavonoid berasal dari jalur poliketida
(jalurasetat-malonat), yaitu kondensasi tiga unit asetat atau malonat, sedangkan
cincin B dan tiga atom karbon dari rantai propan berasal dari jalur fenil propanoid
(jalur sikhimat) (Achmad, 1985).
Markham (1988) menyatakan bahwa flavonoid pertama yang dihasilkan
pada alur biosintesis flavonoid ialah khalkon, dan semua bentuk lain diturunkan
darinya melalui berbagai alur (Gambar 2.2). Semua golongan flavonoid saling
berkaitan, Karena berasal dari alur biosintesis yang sama. Cincin A terbentuk
karena kondensasi ekor-kepala dari tiga unit asam asetat-malonat atau berasal dari
jalur poliketida. Cincin B serta satu atau tiga atom karbon dari rantai propan yang
merupakan kerangka dasar C6 – C3 berasal dari jalur asam sikimat (Manitto,
1981).
Modifikasi flavonoid lebih lanjut, dapat mungkin terjadi pada berbagai
tahap dan menghasilkan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, metilasi
gugus hidroksil atau inti flavonoid, isoprenilasi gugus hidroksil atau inti
flavonoid, metilasi gugus orto-dihidroksil, dimerisasi (pembentukan biflavonoid),

pembentukan bisulfat, dan yang terpenting adalah glikosilasi gugus hidroksil
(pembentukan flavonoid O-glikosida) atau inti flavonoid (pembentukan flavonoid
C-glikosida) (Markham, 1988).

Universitas Sumatera Utara

Berikut merupakan alur biosintesis flavonoid:

Gambar 2.2 Biosintesis hubungan antara jenis monomer flavonoida dari alur
Asetat malonat dan alur sikimat( Markham, 1988).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2

Alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa kimia bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen, umumnya tidak berwarna, dan berwarna jika mempunyai
struktur kompleks dan bercincin aromatik. Alkaloid pada umumnya juga

mempunyai kereaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloida
sering dimanfaatkan sebagai pengobatan. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu
golongan heterogen. Secara fisik, alkaloida dipisahkan dari kandungan tumbuhan
lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau
pikrat (Harbone, 1987).
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkaloid
memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme yang diduga adalah dengan
cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri,sehingga
lapisan dinding sel terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut
(Robinson, 1995).

Menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokkan sebagai berikut :
a.

Alkaloid sesungguhnya

Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tesebut menunjukkan aktivitas
phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa ; lazim menggunakan
nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat
dalam tanaman sebagai garam basa organik. Beberapa perkecualian terhadap

aturan tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa
dan tidak memiliki cincin heterosiklis dan alkaloid kuartener yang bersifat agak
asam.

b.

Protoalkaloid

Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen asam
amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloid diperoleh
berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Contoh meskalin,
ephedin dan N,N-dimetiltriptamin.

Universitas Sumatera Utara

c.

Pseudoalkaloida

Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawaini

biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloid yang penting dalam kelas ini, yaitu
alkaloid

stereoidal

(contoh,

konnesin)

dan

purin

(contoh,

kafein

)

(Sastrohamidjojo, 1996).

Biosintesis

Benzylisoquinoline

alkaloid

dimulai

dengan

tahap

dekarboksilasi, orto-hidroksilasi dan deaminasi yang mengkonversi tirosin baik
dopamin dan 4-hidroksifenil acetaldehid (4-HPAA) (Gambar 2.3). Molekul klon
untuk

senyawa

aromatik

asam

dekarboksilase

l-amino

(TYDC)

yang

mengkonversi tirosin dan dopa menjadi tirosin dan dopamin, masing-masing,
telah diisolasi. Kondensasi Norcoclaurine sintase (NCS) dengan dopamin dan 4HPAA menghasilkan (S)-norcoclaurine, yang merupakan prekursor pusat untuk
semua benzylisoquinoline alkaloid pada tanaman. (S)-Norcoclaurine dikonversi
ke (S)-reticuline oleh 6-O-metiltransferase (6OMT), N-metiltransferase (CNMT),
hidroksilase P450 (CYP80B) dan 4-O-metiltransferase (4 OMT). Molekul klon
telah diisolasi untuk semua enzim yang terlibat dalam konversi (S)-norcoclaurine
ke (S)-reticuline, yang merupakan cabang-titik menengah dalam biosintesis
berbagai jenis benzylisoquinoline alkaloid. Intermediet dari jalur (S)-reticuline
juga berfungsi sebagai prekursor untuk lebih dari 270 dimer alkaloid
bisbenzylisoquinoline seperti (+)-Tubokurarin. Molekul klon untuk oksidasi P450
(CYP80A) dengan (R) N-metilcoclaurine ke (R) atau (S) N-metilcoclaurine untuk
menghasilkan bisbenzylisoquinoline alkaloid, yang masing-masing telah diisolasi
dari barberry (Berberis stolonifera). Banyak pekerjaan telah difokuskan pada jalur
cabang yang mengarah ke benzophenanthridine alkaloid, seperti sanguinarine,
alkaloid protoberberine, seperti berberin, dan morphinan alkaloid , seperti morfin .
Sebagian besar enzim yang terlibat dalam jalur ini , dimana ada lima enzim sesuai
dengan molekul klon , telah diisolasi ( Gambar 2.3 ) . Langkah pertama yang
dilakukan dalam biosintesis benzophenanthridine dan protoberberine alkaloid
melibatkan konversi

(S)-reticuline ke (S)-scoulerine oleh jembatan enzim

berberin (BBE) . (S)-Scoulerine dapat dikonversi ke (S)-stylopine oleh dua
oksidase P450 . Setelah N-metilasi (S)-stylopine oleh metiltransferase tertentu,
dua enzim P450 tambahan akan mengkonversi (S)-cis-N-metilstylopine ke

Universitas Sumatera Utara

dihydrosanguinarine, yang teroksidasi untuk menghasilkan sanguinarine. Eksudat
dari banyak sepsis Papaveraceae, seperti Sanguinaria Canadensis dan Eschsholzia
californica, berwarna merah karena akumulasi sanguinarine dan alkaloid
benzophenanthridine lainnya. Dalam beberapa tanaman, terutama berberidaceae
dan Ranunculaceae, (S)-scoulerine termetilasi oleh SAM scoulerine-9-Ometiltransferase

(SOMT)

untuk

menghasilkan

(S)-tetrahydrocolumbamine

(Gambar2.3). Molekuler Klon untuk SOMT dan P450 (S)-synthase canadine
(CYP719A), yang mengubah (S)-tetrahydrocolumbamine ke (S)-canadine, telah
diisolasi. (S)-Canadine teroksidasi untuk menghasilkan berberin. Pada beberapa
spesies papaver, (S)-reticuline yang epimeris ke (R)-reticuline sebagai langkah
pertama dalam biosintesis alkaloid morphina. Selanjutnya, (R)-reticuline diubah
dalam dua langkah ke (7S)-salutaridinol oleh enzim P450 dan sebuah oksidoreduk
tase NADPH. Morphina alkaloid tebain dihasilkan dari (7S)-salutaridinol melalui
asetil koenzim A: salutaridinol-7-O-asetiltransferase (SAT). Tebain diubah
menjadi

codeinone,

dengan

mereduksi

codeine

oleh

enzim

NADPH

codeinnonereduktase (COR). Molekuler SAT dan COR telah diisolasi dari opium
poppy. Tahap ahir, kodein demetilasi untuk menghasilkan morfin (Crozier et al,
2006)

Universitas Sumatera Utara

Berikut merupakan alur biosintesis dari alkaloid :

O

HO

HO

OH TYDC

NH2

HO

NH2

HO

L-Dopa

+

O

HO

OH

HO

HO

HO
S-koklaurin

HO
S-Norkoklaurin

H3CO

CNMT

R2

N

O

HO

H3CO

CH3

O

N

N+

HO

H3CO

R1

HO

OH

HO
S-N-Metilkoklaurin

Bisbenzilisoquinolin Alkaloid

Sanguinarin

H

O

O

CH3

N

CH3

H

O

H

H

NH2

HO

NH

NH
HO

4-hidroksifenilasetaldehid

Tyrosin

6OMT

NCS

O

NH2

H3CO

HO

Dopamin

CYP80B

O

H3CO

O
N+
H

HO
OCH3

N

OH

H

BBE HO

OCH3

HO

OCH3

H

H3CO

N

HO
CYP719A

SAT

HO

OCH3 HO

H

OCH3

(S)-Canadine

(S)-3'-Hydroxy-N-methylcoclaurine

H3CO

H3CO

N

H

HO

(S)-Reticuline

O

CH3

N
HO

4'OMT

HO

(S)-Scoulerin

O

CH3

H

H3CO

OCH3

Berberin

H3CO

H3CO

N

N
N

OCH3
H

(S)-Tetrahydrocolumbamine H3CO

CH3

CH3

H

H3CO

CH3

O

HO

Salutaridinol

O
7-O-Acetylsalutaridinol

HO

H3CO

H3CO
H3CO

O
N

H

CH3

O
N

H

HO

H

O
N

H

HO

Morphine

CH3 COR

H

H

CH3

O
N

O
H3CO

Codeine

Codeinone

CH3

H

Thebaine

Gambar 2.3 Biosintesis Benzylisoquinolin Alkaloid (Crozier et al, 2006)

Universitas Sumatera Utara

2.2.3

Terpenoid

Terpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis,
terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid ditemui tidak saja
pada tumbuhan tingkat tinggi namun juga pada terumbu karang dan mikroba.
Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprena, CH2=C(CH3)-CH=CH2,
kerangka terpenoid terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan unit isoprena (C5).
Terpenoid yang disebut juga isoprenoid, diklasifikasikan atas jumlah unit isoprena
yang membangunnya, dengan demikian ada yang terdiri atas dua (C10), tiga (C15),
empat (C20), enam (C30), atau delapan (C40) isoprena. Terpenoid dapat juga
dikelompokkan menjadi monoterpen, seskuiterpen, diterpen, triterpen dan
tetraterpen. Senyawa terpenoid berkisar dari senyawa volatil, yaitu komponen
minyak atsiri, yang merupakan mono dan seskuiterpen (C10 dan C15), senyawa
yang kurang volatil, yakni diterpen (C20), sampai senyawa nonvolatil seperti
triterpenoid dan sterol (C30) seperti karatenoid (Sirait, 2007).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa terpenoid dapat
menghambat pertumbuhan dengan mengganggu proses terbentuknya membran
dan atau dinding sel,membran atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk
tidak sempurna (Ajizah, 2004).
Berbagai macam aktivitas fisiologi yang menarik ditunjukkan oleh beberapa
triterpenoid, dan senyawa ini merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat
yang telah digunakan untuk penyakit termasuk diabetes, gangguan menstruasi,
patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Beberapa senyawa
mungkin mempunyai nilai ekologi bagi tumbuhan yang mengandungnya karena
senyawa ini bekerja sebagai antifungi, insektisida atau antipemangsa. Akan tetapi
senyawa lain menstimulasi serangga bertelur. Beberapa senyawa menunjukkan
sifat antibakteri dan antivirus (Robinson, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Secara umum biosintesa terpenoida terjadinya dengan 3 tahap reaksi dasar yaitu:
1. Pembentukan isoprena aktif berasal dari asam asetat melalui asam mevalonat.
Asam asetat setelah diaktifkan oleh koenzim A (Ko-A) melakukan kondensasi
jenis Claisen menghasilkan Asetoasetil Ko-A. Senyawa ini dengan Asetil Ko-A
melakukan kondensasi jenis Aldol menghasilkan rantai karbon bercabang
sebagaimana ditemukan pada asam mevalonat yang terlihat pada gambar 2.4
(Pinder,1960).
O
CoA-SH

CH3COOH

CH3-C-SHCoA

Asam asetat

O

O

CH3-C-SCoA

O

+ CH3-C-SCoA

O

CH3-C-CH2-C-SCoA

+

CoA-SH

Asetoasetil Ko-A

CH3-C-CH2-C-SCoA

OH

O

O

O

O

CH3-C-CH2-C-SCoA

+ CH3-C-SCoA

Asetoasetil Ko-A

CH3-C-SCoA
O
O

OH

CH3-C-CH2-C-SCoA

O

OH
H-OH

CH3-C-CH2-C-SCoA

CH2-C-SCoA

CH2-C-SCoA

O

O

[H]
CH3-C-CH2-C-SCoA
CH2-C-OH
O

H2O

CoA-SH

O

OH

O

OH

+

CH3-C-CH2-CH2-OH
CH2-C-OH
O
Asam Mevalonat

Gambar 2.4 Pembentukan Asam Mevalonat (Pinder, 1960)
2. Penggabungan kepala dan ekor dua unit isoprena akan membentuk mono-,
seskui-, di-, sester-, dan poli- terpenoida.
Setelah asam mevalonat terbentuk, reaksi-reaksi berikutnya adalah fosforilasi,
eliminasi asam posfat, dan dekarboksilasi menghasilkan Isopentenil Pirofosfat
(IPP). Selanjutnya berisomerisasi menjadi Dimetil Alil Pirofosfat (DMAPP) oleh
enzim isomerase. IPP inilah yang bergabung dari kepala ke ekor dengan DMAPP.

Universitas Sumatera Utara

Penggabungan ini terjadi karena serangan elektron dari ikatan rangkap IPP
terhadap atom karbon dari DMAPP yang kekurangan elektron diikuti oleh
penyingkiran ion pirofosfat mengasilkan Geranil Pirofosfat (GPP) yaitu senyawa
antarsemua senyawa monoterpenoida. Penggabungan selanjutnya antara satu unit
IPP dan GPP dengan mekanisme yang sama menghasilkan Farnesil Pirofosfat
(FPP) yang merupakan senyawa antara bagi semua senyawa seskuiterpenoida.
Senyawa diterpenoida diturunkan dari Geranil – Geranil Pirofosfat (GGPP) yang
berasal dari kondensasi antara satu unit IPP dan GPP dengan mekanisme yang
sama terlihat pada gambar 2.5 (Pinder, 1960).

OP

OH

CH3-C-CH2-CH2-OH

ATP
3 Tahap

O
dekarboksilasi

CH3-C-CH2-C-O

CH2

CH2-CH2-OPP

CH2-C-OH

CH2=C-CH2-CH2-OPP
Isopentenil
Piroposfat
(IPP)

O
Asam Mevalonat

CH3-C-CH2-CH2-OPP
CH2
Enzim Isomerase

CH3-C-CH2-CH2-OPP

CH3-C=CH-CH2-OPP

CH2

CH3

OPP

+

Dimetil Alil Pirofosfat
(DMAPP)

OPP

OPP

IPP

Geraniol Pirofosfat (GPP)

DMAPP

OPP

+

OPP

IPP

GPP

OPP

IPP

+

OPP

Farsenil Pirofosfat (TPP)

OPP

Geranil-Geranil Pirofosfat (GGPP)

Gambar 2.5 Pembentukan Geranil-Geranil Pirofosfat (GPP) (Pinder,1960)

Universitas Sumatera Utara

3. Penggabungan ekor dan ekor dari unit C15 atau unit C20 menghasilkan
triterpenoida dan steroida.
Triterpenoida (C30) dan tetraterpenoida (C40) berasal dari dimerisasi C15 atau C20
dan bukan dari polimerisasi terus-menerus dari unit C5. Yang banyak diketahui
ialah dimerisasi FPP menjadi skualena yang merupakan triterpenoida dasar dan
sumber dari triterpenoida lainnya dan steroida yang terlihat pada gambar 2.6.
Siklisasi dari skualena menghasilkan tetrasiklis triterpenoida lanosterol ( Pinder,
1960).

OPP
Farsenil Pirofosfat (TPP)

Skualen

Gambar 2.6 Pembentukan Skualen (Triterpenoida Dasar) (Pinder, 1960)

2.2.4

Saponin

Saponin merupakan glukosida yang larut dalam air dan etanol,tetapi tidak larut
dalam eter. Saponin bekerja sebagai antibakteri dengan mengganggu stabilitas
membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakterilisis,jadi mekanisme kerja
saponin termasuk dalam kelompok antibakteri yang mengganggu pemeabilitas
membran sel bakteri, yang mengakibatkan kerusakan membran sel dan
menyebabkan keluarnya berbagai kompone penting dari dalam sel bakteri yaitu
protein, asam nukleat dan nukleotida (Ganiswarna,1995).

2.2.5

Tanin

Tanin merupakan salah satu metabolit sekunder yang dapat digunakan tumbuhan
untuk melindungi dari serangan bakteri dari cendawan (Salisbury, 1995).
Secara kimiawi tanin merupakan kompleks, biasanya merupakan campuran
polifenol yang sulit dipisahkan karena tidak mengkristal.

Universitas Sumatera Utara

Apabila tanin direaksikan dengan air membentuk larutan koloid yang memberikan
reaksi asam dan reaksi yang tajam (Harborne, 1996). Tanin memiliki peranan
fisiologis yang kompleks mulai dari pengendap protein hingga pengkhelat logam.
Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman, 2002).
Secara kimia terdapat dua jenis tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia
tumbuhan yaitu tanin terkondensasi (Proantosianidin) dan tanin terhidrolisis
(Hydrolyzable tannin) (Harbone, 1987). Kedua golongan tanin menunjukkan
reaksi yang berbeda dalam larutan garam Fe (III). Tanin terkondensasi
menghasilkan warna hijau kehitaman sedangkan tanin terhidrolisis memberikan
biru kehitamanan.

1. Tanin terhidrolisis
Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higrokopis, berwarna
coklat kuning yang larut dalam air (terutama air panas) membentuk larutan koloid
bukan larutan sebenarnya. Makin murni tanin, makin kurang kelarutannya dalam
air dan makin mudah diperoleh dalam bentuk kristal. Tanin ini larut dalam pelarut
organik yang polar, tetapi tidak larut dalam pelarut organik nonpolar seperti
benzene atau kloroform (Robinson, 1995).Tanin ini biasanya berikatan dengan
karbohidrat dengan membentuk jembatan oksigen, maka dari itu tanin ini dapat
dihidrolisis dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida (Hagerman,
2002). Salah satu contoh jenis tanin ini adalah galotanin yang merupakan senyawa
gabungan karbohidrat dan asam galat seperti yang terlihat pada Gambar 2.7
berikut:

Universitas Sumatera Utara

OH

OH
OH

O
HO

OH

HO

OH

HO

HO

OH

O

OH

GT

O

O OO

HO

HO

O O

COOH

OH

Asam galat

Beta-Glukogallin

OH

O

HO

O

OH
HO

O

O

OH

O

OH

OH

OH
HO

HO

OH

Galotanin
(Tanin Terhidrolisis)

OH
O

OCH3
OH

COOH

L-Fenilalanin

HOOC

NH2

Asam 3-Dehidro-Sikimat

OCH3
HOOC

Asam Sinapat

PAL

OCH3
OH

HO

SKoA

COMT-1

BA2H

Karbohidrat

O

OH

O

HOOC

Asam Sinamat

HOOC

Asetil KoA

HOOC

Asam
Benzoat

OH
Asam
Salisilat

Asam 5-Hidroksi
ferulat

HOOC
FH5

CH4

OCH3
OH

OH
OH

OH
COMT-1

ACoAC
SKoA

HOOC
O

Asam p-Kumarat

HOOC

HOOC

Asam Kafeat

Asam ferulat

HOOC

Malonil-KoA
x3

Flavonoid
Stilben

4CL

OH

KoAS

OH

p-Kumaroyl-KoA
O
HCT

O
O

OH
Asam 5-O-p-Kumaroylquinat

OH

OH

HOOC

OH

OH

CH3

O
O Asam 5-O-Kafeoylquinat
OH

HOOC

OH

OH

Gambar 2.7 Biosintesis Galotanin (Crozieret al, 2006)

Selain membentuk galotanin, dua asam galat akan membentuk tanin
terhidrolisis yang disebut elagitanin. Elagitanin sederhana disebut juga ester asam
hexahydroxydiphenic (HHDP) (Hagerman, 2002). Senyawa ini dapat terpecah
menjadi asam galat jika dilarutkan dalam air.

Universitas Sumatera Utara

2. Tanin terkondensasi
Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara
kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan
kemudian oligimer yang lebih tinggi. Proantosianidin merupakan nama lain dari
tanin terkondensasi karena jika direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan
karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin
(Harborne, 1987).Tanin jenis ini biasanya tidak dapat dihidrolisis. Tanin jenis ini
kebanyakan terdiri dari polimer flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Nama
lain dari tanin ini adalah proantosianidin. Proantosianidin merupakan polimer dari
flavonoid, salah satu contohnya adalah Sorghum procyanidin (tertera pada
Gambar 2.5), senyawa ini merupakan trimer yang tersusun dari epiccatechin dan
catechin (Hagerman, 2002).Senyawa ini jika dikondensasi maka akan
menghasilkan flavonoid jenis flavan dengan bantuan nukleofil berupa
floroglusinol (Hagerman, 2002). Tanin terkondensasi banyak terdapat dalam
paku-pakuan, gymnospermae, dan tersebar luas dalam angiospermae, terutama
pada jenis tumbuhan berkayu (Robinson, 1991).Biosintesis dari Procyanidin dapat
dilihat pada Gambar 2.8 berikut:

Universitas Sumatera Utara

OH
SCoA

HOOC

KoAS

+

O

O

Malonil KoA

4-Kumaroil-KoA

OH HO

HO

OH

OH
Trans-resveratrol
( stilben)

OH
HO

OH

O

O

O

2'-Isoliquiritigenin

5-Liquiritigenin
( Flavanon)

OH

HO

O

OH

HO

OH

O

Naringenin-khalkon

OH

HO

OH

HO

O

HO

O

O
OH

OH
OH O

OHO

Apigenin
( Flavon)

Naringenin
( Flavanon)

OH

HO

O
OH

OHO

Daidzein
( Isoflavon)

Genistein
( Isoflavon)

OH

HO

O

O
OH

O
OHO

OH

Dihidrokamferol
( Dihidroflavanol)

Kamferol
( Flavonol)

OH
OH

HO

O
OHO

OH

Dihidroquercetin
( Dihidroflavonol)

OH

HO

O
OH
OH OH

Leukosianidin

OH

HO

O+

OH

HO

O

OH

OH

OH

Cyanidun
( Antocyanidin)

OH
HO

OH

O
OH

OH

HO

O
OH

OH

( -) -Epikatekin
( Flavan-3-ol )

OH
HO

OH

O
OH

OH

Proantocyanidin trimer C2
Polimer Proantocyanidin
( Tanin Terkondensasi )

OH

HO

O
OH

OH

( +) -katekin
( Flavan-3-ol )

Gambar 2.8 Biosintesis Proantocyanidin (Crozier et al,2006)

Universitas Sumatera Utara

2.3 Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati dan simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk
yangtersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan.
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan
tumbuhan atau hewan dengan menggunakan penyari tertentu (Depkes RI, 2000).
Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat
kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa yang diekstraksi dengan senyawa
pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut yang berbeda dalam pelarut yang
berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara zat terlarut dengan pelarut.
Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar, begitu juga sebaliknya. Sifat
penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran
senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti OH, COOH, dan lain
sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah
selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk
diuapkan, dan harga (Harbone, 1987).
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa
cara :
1.

Maserasi

Maserasi berasal dari kata “macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil
penarikan simplisia dengan cara maserasi,sedangkan maserasi adalah cara
penarikan simplisia dengan cara merendam simplisia tersebut dalam cairan
penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature
kamar,sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan

penyaringan

maserat

pertama,dan

seterusnya

(Depkes,2000).

Keuntungan dari metode maserasi yaitu prosedur dan peralatannya sederhana
(Agoes,2007).

Universitas Sumatera Utara

2.

Perkolasi
Perkolasi berasal dari kata “colore”artinya menyerkai dan “per”artinya

menembus. Dengan demikian,perkolasi adalah suatu cara penarikan simplisia
dengan menggunakan alat yang disebut perkolator dimana simplisia terendam
dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes
secara beraturan (Syamsuni,2006). Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan
bahan,

tahap

perendaman

antara,

tahap

perkolasi

sebenarnya

(penetesan/penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Depkes,2000).
Keuntungan dari metode perkolasi ini adalah proses penarikan zat berkhasiat dari
tumbuhan lebih sempurna,sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu
yang lama dan peralatan yang digunakan mahal (Agoes,2007).

3.

Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan pelarut akan terdestilasi menuju pendingin dan akan
kembali ke labu (Depkes,2000).

4.

Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet,dimana pelarut akan
terdestilasi dari labu menuju pendingin,kemudian jatuh membasahi dan merendam
sampel yang mengisi bagian tengah alat soklet setelah pelarut mencapau tinggi
tertentu

maka

akan

tirin

ke

labu

destilasi,

demikian

berulang-ulang

(Depkes,2000).

5.Infudasi
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air atau bejana
infus tercelup dalam penangas air mendidih pada temperatur 96 o C selama 15-20
menit (Depkes,2000).

6.Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur
sampai titik didih air (Depkes,2000).

Universitas Sumatera Utara

2.4 Radikal bebas
Radikal bebas adalah atom atau senyawa yang kehilangan pasangan elektronnya
(Kumalaningsih, 2006). Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil
dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan
pada orbital terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal
bebas akan bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk memperoleh pasangan
elektron (Maulida, 2010). Radikal bebas dapat dihasilkan dari metabolisme tubuh
sendiri, dan bisa pula lewat eksternal seperti lingkungan sekitar kita (Iswari,
2011).
Rangkaian reaksi yang membentuk radikal bebes dapat dibagi menjadi tiga
langkah yang berbeda yaitu inisiasi, propagasi, terminasi. Inisiasi adalah proses
awal dimana jenis radikal tertentu akan bereaksi dengan asam lemak dalam tubuh
membentuk radikal alkil (R•).
Tahap selanjutnya propagasi dimana radikal alkil dapat bereaksi dengan oksigen
menghasilkan radikal peroksil (ROO•) kemudian radikal peroksil selanjutnya
bereaksi dengan asam lemak tubuh membentuk peroksida lipid (ROOH)dan
radikal alkil (R•). Pada tahap terminasi radikal peroksil dapat bereaksi dengan
sesama peroksil menghasilkan senyawa yang tidak bersifat radikal, radikal alkil
juga dapat bereaksi dengan sesamanya membentuk senyawa yang tidak radikal,
peroksil dapat bereaksi dengan alkoksil membentuk senyawa yang tidak radikal.
Berikut gambaran rangkaian pembentukan radikal bebas dalam tubuh:
1. Inisiasi
X•+ RH

R• + X H

2. Propagasi
R• + O2
ROO• + RH

ROO•
ROOH + R•

Universitas Sumatera Utara

3. Terminasi
ROȮ• + ROO•

ROOR non radikal

ROO•+ R•
R• + R•

ROOR non radikal
R 2 non radikal

Keterangan:
R•

: Radikal Alkil

ROOH

: Lipid Peroksida

ROO•

: Radikal Peroksida

X•

: Jenis Radikal Bebas

RH

: Asam Lemak Dalam Tubuh
(Cui K et al, 2004,di dalam Roking,2007).

2.5

Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat
memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus reaksi
berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2006).
Ciri utama senyawa antioksidan adalah kemampuannya dalam meredam
radikal bebas. Radikal bebas merupakan senyawa yang mengandung elektron
tidak berpasangan yang bertindak sebagai akseptor elektron. Radikal bebas ini
berbahaya karena sangat reaktif mencari pasangan elektronnya. Radikal bebas ini
memerlukan elektron yang berasal dari pasangan elektron molekul sekitarnya.
Radikal bebas yang terbentuk dalam tubuh akan menghasilkan radikal bebas yang
baru melalui reaksi berantai yang akhirnya jumlahnya terus bertambah dan
menyerang tubuh, proses ini akan berlangsung secara berantai dan menyebabkan
kerusakan biologi (Kalt et al, 1999). Radikal bebas dapat terbentuk akibat
hilangnya maupun penambahan elektron dilintasannya pada saat terputusnya
ikatan kovalen atom dan molekul bersangkutan sehingga menyebabkan
instabilitas dan bersifat sangat reaktif. Susunan elektron yang tidak lengkap

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan atom atau molekul sangat terpengaruh oleh medan magnet. Energi
untuk memutuskan ikatan kovalen berasal dari panas, radiasi elektromagnetik atau
reaksi redoks berlebihan. Hilang atau bertambahnya satu elektron pada molekul
lain menyebabkan terjadinya radikal bebas baru dan mengakibatkan perubahan
dramatis secara fisik dan kimiawi dalam tubuh manusia. Mula-mula diransang
(initiation) terjadinya radikal bebas, kemudian radikal bebas cenderung bertambah
banyak membentuk (propagasi) rantai reaksi dengan molekul lain. Senyawa reaksi
berantai ini mempunyai massa paruh yang lebih panjang dan potensial
menyebabkan kerusakan sel. Fase inisiasi dan propagasi dapat dinetralisir oleh
antioksidan yang berasal dari endogen dan eksogen (Kosasih, 2004).

Menurut Kosasih (2004), antioksidan tubuh dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
1.

Antioksidan primer yang berfungsi untuk mencegah pembentuk senyawa
radikal baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul
yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas ini sempat
bereaksi.
Contoh : enzim superoksida dismutase (SOD) yang berfungsi sebagai
pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh karena radikal bebas.

2. Antioksidan sekunder adalah senyawa yang berfungsi menangkap senyawa
serta mencegah terjadinya reaksi berantai.
Contoh: Vitamin E, C dan beta karoten yang diperoleh dari berbagai buah.
3.

Antioksidan tersier adalah senyawa yang memperbaiki kerusakan sel-sel dan
jaringan yang disebabkan radikal bebas.
Contoh: Enzim metionin sulfoksidan reduktase untuk memperbaiki DNA
pada inti sel.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan sumbernya antioksidan terbagi atas,yaitu :
a.

Antioksidan alami

Merupakan antioksidan yang merupakan hasil dari ekstraksi bahan alami.
Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang
sudah ada dari 1 atau 2 komponen makanan, senyawa antioksidan yang terbentuk
dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa antioksidan yang diisolasi
dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan.

b.

Antioksidan sintetik

Adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil reaksi kimia. Contoh antioksidan
sintetik yang diijinkan untuk makanan dan sering digunakan, yaitu butil hidroksi
anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidroksi quinon
(TBHQ), dan tokoferol. Antioksidan-antioksidan tersebut merupakan antioksidan
alami yang telah diproduksi secara sintesis untuk tujuan komersial.
Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu:

1.

Metode DPPH (2,2-diphenyl-1-pikril-hydrazyl)

DPPH merupakan suatu radikal bebas yang stabil karena mekanisme delokalisasi
elektron bebas oleh molekulnya, sehingga molekul ini tidak mengalami reaksi
dimerisasi yang sering terjadi pada sebagian besar radikal bebas lainnya.
Delokalisasi juga memberikan efek warna ungu pada panjang gelombang 517 nm
dalam pelarut etanol (Hirota et al, 2000). DPPH sering digunakan sebagai salah
satu metode untuk mengukur aktivitas antioksidan. Prinsipnya adalah reaksi
penangkapan hidrogen oleh DPPH dari zat antioksidan (Apak et al, 2007). DPPH
yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan,
sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenil pycril hydrazine yang bersifat
non-radikal mekanisme reaksinya ditunjukkan pada Gambar 2.9. Meningkatnya
jumlah diphenil pycril hydrazine akan ditandai dengan berubahnya warna ungu
pada larutan menjadi warna kuning pucat (Molyneux, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan inkubasi DPPH
dengan ekstrak selama 30 menit sehingga menghasilkan larutan ungu yang lebih
memudar kemudian dilakukan pengukuran panjang gelombang pada 517 nm
(Mosquera, 2007).

Gambar 2.9 Mekanisme Penghambatan Radikal DPPH
Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (Inhibitor
Concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau
sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin
besar aktivitas antioksidan makan nilai IC50 akan semakin kecil. Suatu senyawa
antioksidan dinyatakan baik jika nilai IC50-nya semakin kecil (Molyneux, 2004).
3. Metode FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power)
Pengujian aktivitas antioksidan dengan metode FRAP (Ferric Reducing
Antioxidant Power) didasarkan atas kemampuan senyawa antioksidan dalam
mereduksi senyawa besi(III)-tripridil-triazin menjadi besi(II)-tripiridil triazin pada
pH 3,6. Pengukuran FRAP memberikan urutan respon yang samadengan metode
CUPRAC. Namun hasilnyamenunjukkan aktivitas yang lebih kecildibandingkan
dengan data pengujianCUPRAC ataupun DPPH. Hal ini didugakarena larutan
FRAP bersifat kurang stabilsehingga harus dibuat secara in time dan harussegera
dipergunakan (Widyastuti, 2010). Reaksinya sebagai berikut :
Fe(TPTZ)23+ + AgOH

Fe(TPTZ)22+ + H+ + Ag=O

Universitas Sumatera Utara

Menurut Ou et al. (2002), pengukuranantioksidan dengan metode FRAP
dapatberjalan akurat apabila dilakukan padasenyawaan antioksidan yang bisa
mereduksiFe(III)TPTZ pada kodisi reaksi secaratermodinamika dan memiliki laju
reaksi yangcukup cepat. Selain itu, antioksidan yangteroksidasi dan semua produk
reaksisekundernya harus tidak memiliki serapanmaksimum pada absorbansi 598
nm atauserapan Fe(II)TPTZ (Widyastuti, 2010).

4. Metode CUPRAC (Cupric Ion Reducing Antioxidant Capacity)
Prinsip dari uji CUPRAC (Cupric Ion Reducing Antioxidant Capasity) adalah
pembentukan kelat oleh bis (neukropin) besi (II) menggunakan pereaksi redoks
kromogenik pada pH 7. Absorbansi dari pembentukan kelat Cu(I) merupakan
hasil reaksi redoks dengan mereduksi polifenol yang diukur pada panjang
gelombang 450 nm. Untuk spektrum Cu(I) Ne diperoleh dengan mereaksikan
asam askorbat berbagai konsentrasi reagen, pH dan waktu oksidasi pada suhu
kamar dan peningkatan suhu pada percobaan dapat berasal dari sumber lain.

Reaksinya sebagai berikut :
nCu(Nc)22+ + AR(OH)n

nCu(Nc)2+ + AR(=O)n + nH+

Kelebihan dari metode CUPRAC adalah pereaksi yang digunakan cukup cepat
bekerja, selektif, lebih stabil, mudah didapatkan dan mudah untuk diaplikasikan
(Erawati, 2002).

Beberapa

nilai

IC50

untuk

Asam askorbat

:1,96+/-0,013

Alpa-tokoferol

:7,3+/-0,308

Sayur-sayuran

:4,7

Gamma oryzanol

:50+/-0,0408

Pohon pinus OPC

:4,0–13,5

Quercetin

:2,457+/-0,192

senyawa

antioksidan

(mg/mL):

:

Asam ferulat (FRAC) :31,3 +/-0,327
Hesperidin

:>500 (Ronald,2004)

Universitas Sumatera Utara

2.6

Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektometer dan fotometer.
Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang
tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan
atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi
secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan
sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan spektrometer dibandingkan
fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih terseleksi yang
diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma, grating ataupun celah optis
(Khopkar, 2007).
Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan
elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UVVis biasanya digunakan untuk molekul atau ion anorganik atau kompleks di
dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit
informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi
spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari
analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang
gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Berr. Sinar ultraviolet
berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada
panjang gelombang 400-800 nm (Rohman, 2007).
Prinsip dari alat ini radiasi pada rentang panjang gelombang 400-800 nm
dilewatkan melalui suatu larutan senyawa. Elektron-elektron pada ikatan didalam
molekul menjadi tereksitasi sehingga menempati keadaan kuantum yang lebih
tinggi dan dalam proses menyerap sejumlah energi yang melewati larutan
tersebut. Semakin longgar elektron tersebut ditahan di dalam ikatan molekul,
semakin panjang gelombang (energi lebih rendah) radiasi yang diserap
(Dachriyanus, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.7Bakteri
Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh
mata,tetapi dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Ukuran bakteri berkisar
antara panjang 0,5 sampai 10µ dan lebar 0,5 sampai 2,5µ (µ = 1 mikron =
0,001mm) tergantung dari jenisnya. Bakteri terdapat secara luas dilingkungan
alam yang berhubungan dangan hewan,udara,air dan tanah. Bakteri berkembang
biak secara aseksual yaitu dengan proses pembelahan diri menjadi dua (Buckle,
2007).
Mikroorganisme memang peranan penting dalam menganalisis sistem enzim dan
dalam mengalisis komposisi suatu makanan. Bakteri merupakan organisme yang
sangat kecil (berukuran mikroskopis). Bakteri rata-rata berukuran lebar 0,5 – 1
mikron dan panjang hingga 10 mikron (1 mikron - 103 mm). Untuk melihat
bakteri dengan jelas, tubuhnya perlu diisi dengan zat warna, pewarna ini disebut
pengecatan bakteri.
Cat yang umum dipakai adalah cat Gram. Diantara bermacam-macam
bakteri yang dicat,ada yang dapat menahan zat warna ungu dalam tubuhnya
meskipun telah didekolorisasi dengan alkohol dan aseton. Dengan demikian tubuh
bakteri itu tetap berwarna ungu meskipun disertai dengan pengecatan oleh zat
warna kontras,warna ungu itu tetap dipertahankan. Bakteri yang memberikan
reaksi semacam ini dinamakn bakteri Gram positif. Sebaliknya,bakteri yang tidak
dapat menahan zat warna setelah didekolorisasi dengan alkohol akan kembali
menjadi tidak berwarna dan bila diberikan pengecatan dengan zat warna
kontras,akan berwarna sesuai dengan zat warna kontras. Bakteri yang
memperlihatkan reaksi semacam ini dinamakan bakteri Gram negatif (Irianto,
2006).
Kelompok mikroorganisme yang paling penting dan beraneka ragam, yang
berhubungan dengan makanan dan manusia adalah bakteri. Adanya bakteri dalam
bahan pangan dapat mengakibatkan pembusukan yang tidak diinginkan atau
menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan. Bakteri adalah
mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata (Buckle, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan perbedaan respons terhadap prosedur pewarnaan gram dan
strktur dinding bakteri, bakteri diklasifikasikan menjadi bakteri gram negatif dan
bakteri gram positif.

2.7.1 Bakteri gram positif
Bakteri gram positif lebih sensitif terhadap penisilin, tetapi lebih tahan
terhadap perlakuan fisik dibandingkan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif
sering berubah sifat pewarnaannya sehingga menunjukkan reaksi gram variabel.
Sebagai contoh, kultur gram positif yang sudah tua dapat kehilangan
kemampuannya untuk menyerap pewarna violet kristal sehingga dapat berwarna
merah seperti bakteri gram negatif. Perubahan tersebut dapat juga disebabkan oleh
perubahan kondisi lingkungan atau modifikasi teknik pewarnaan (Fardiaz, 1992).
Ciri-cirinya:


Dinding sel mengandung peptidoglikan yang tebal serta diikuti pula
dengan adanya ikatan benang-benang teichoic dan teichoronic acid



Pada umunya berbentuk bulat (coccus)



Pada perwarnaan gram, bakteri jenis ini berikatan dengan zat warna utama
yaitu gentian violet dan tidak luntur bila dicelupkan kedalam larutan
alkohol



Dibawah mikroskop tampak berwarna ungu (Nasution, 2014).

Contoh dari bakteri gram positif :
a.

Staphylococcus ureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 µm,tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur,fakultatif anaerob,tidak membentuk spora,dan tidak bergerak.
Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum

37 C
̊ ,tetapi membentuk pigmen paling

baik pada suhu kamar (20-25 C
̊ ) (Jawetz et al,1994).
Staphylococcusaureus adalah bakteri genus kokus Gram-positif utama penyebab
penyakit. Bakteri ini bersifat positi-koagulase (memulai pembentukan bekuan
fibrin), β-hemolitik, dan toleran garam (halodurik). Staphylococcus aureus
memiliki protein A pada permukaannya, yang mengikat Fc Ig (menghambat

Universitas Sumatera Utara

fagositosis), menghasilkan pigmen kuning dan mungkin memproduksi eksotoksin
Staphylococcus aureus berdiam di mukosa hidung manusia atau di kulit; kuman
ini menyebar melalui tangan, bersin dan lesi kulit (Hawley, 2003). Gambar bakteri
Staphylococcus aureus dapat dilihat pada gambar 2.10 dibawah ini:

Gambar 2.10 Bakteri Staphylococcus aureus
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus terdiri atas empat
jenis :Keracunan makanan Staphylococcus aureus dari enterotoksin stabil
terhadap panas yang terjadi akibat makanan yang kurang mendapat pendinginan
dan tercemar oleh Staphylococcus aureus (misal, ham, daging yang diasinkan atau
dikalengkan, kue custard, atau salad kentang). Ingesti toksin menyebabkan nyeri
abdomen, muntah dan diare dengan onset cepat (1-6 jam) dan Infeksi kulit atau
subkutis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus sering muncul sebagai
nyeri dan panas, kemerahan dan pembengkakan subkutis. Infeksi dapat
menyebabkan penyakit kulit eksfoliativa (scalded skin syndrome) bila strainnya
menghasilkan eksofoliatin. (Hawley, 2003).

b.

Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis adalah salah satu spesies bakteri dari genus
staphylococcus

yang

diketahui

dapat

menyebabkan

infeksi

oportunistik

(menyerang individu dengan system kekebalan tubuh yang lemah) ( Jodi,
2008).Beberapa karakteristik bakteri ini adalah fakultatif, koagulase negatif,
katalase positif, gram-positif,berbentuk kokus,dan berdiameter 0,5-1,5 µm ( Lisa,
1998). Bakteri ini secara alami hidup pada kulit dan membran mukosa
manusia.Infeksi S.epidermidis dapat terjadi karena bakteri ini membentuk biofilm
pada alat-alat medis di rumah sakit dan menulari orang-arang di lingkungan
rumah sakit tersebut (infeksinosokomia) ( Jodi, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.7.2 Bakteri gram negatif
Bakteri gram negatif lebih sensitif terhadap antibiotik lainnya seperti
streptomisin dan bersifat lebih konstan terhadap reaksi pewarnaan (Fardiaz,
1992). Dinding sel bakteri gram negatif tersusun atas satu lapisan peptidoglikan
dan membran luar. Dinding selnya tidak mengandung teichoic acid. Membran
luar terususun atas lipopolisakarida, lipoprotein dan pospolipid (Tortora, 2001).
Ciri-cirinya:


Mengandung sedikit sekali peptidoglikan dan tidak terdapat ikatan
benang-benang teichoic acid dan teichoronic acid



Pada umunya berbentuk batang (basil) kecuali basillus antharias dan
basillus sereus



Pada pewarnaan gram, bakteri jenis ini tidak mampu berikatan dengan zat
warna utama yaitu gentian violet dan luntur bila dicelupkan kedalam
larutan alkohol



Dibawah mikroskop tampak berwarna merah (Nasution, 2014).

Contoh bakteri gram negatif :
a.

Escherichia coli

Escherichia berbatang pendek.Habitat utamanya adalah usus manusia dan hewan.
Escherichia coli dipakai sebagai organism indikator, karena jika terdapat dalam
jumlah yang banyak menunjukkan bahwa pangan atau air telah mengalami
pencemaran (Gaman, 1992).

b.

Salmonella thypi

Salmonella adalah suatu genus bakteri enterobakteria, gram-negatif berbentuk
tongkat yang menyebabkan tifoid, paratifoid, dan penyakit foodborne .Spesiesspesies salmonella dapat bergerak bebas menghasilkan hydrogen sulfida
(Giannella, 1996). S.typhi menyebabkan penyakit demam tifus Karena infasi
bakteri ke dalam pembuluh darah dan gastroenteritis, yang disebabkan

oleh

keracunan makanan/intoksikasi (King S, 1968).

Universitas Sumatera Utara

S. Typhi memiliki keunikan hanya menyerang manusia, dan tidak ada inang lain.
Infeksi salmonella dapat berakibat fatal kepada bayi, balita, ibu hamil dan
kandungannya serta orang lanjut usia. Hal ini disebabkan karena kekebalan tubuh
mereka yang menurun (Taylor, 1970).

Beberapa perbedaan sifat yang dapat dijumpai antara bakteri gram positif dan
bakteri gram negatif adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Perbedaan bakteri gram positif dan gram negatif :
Perbedaan

Bakteri gram

Bakteri gram

Positif

Negatif

Lapisan peptidoglikan

Lebih tebal

Lebih tipis

Kadar Lipid

1-4%

11-12%

Resistensi terhadap alkali KOH 1%

Tidak larut

Larut

Kepekaan terhadap Iodium

Lebih peka

Kurang peka

Toksin yang dibentuk

Eksotoksin

Endotoksin

Resistensi terhadap tellurit

Lebih tahan

Lebih peka

Sifat tahan asam

Ada yang tahan

Ada yang tidak

asam

tahan asam

Kepekaan terhadap penisilin

Lebih peka

Kurang peka

Kepekaan terhadap Streptomisin

Kurang peka

Peka

Dinding sel :

(Syahrurachaman, dkk., 1993).

2.7.3

Pengukuran Aktivitas Antimikroba

Penentuan kerentanan patogen bakteri terhadap obat-obatan antimikroba dapat
dilakukan dengan salah satu metode utama yaitu dilusi atau difusi. Metodemetode tersebut dapat dilakukan untuk memperkirakan baik potensi antibiotik
dalam sampel maupun kerentanan mikroorganisme dengan menggunakan
organisme uji standar yang tepat dan sampel obat tertentu untuk perbandingan.

Universitas Sumatera Utara

Metode-metode utama yang dapat digunakan adalah :
a.Metode Dilusi
Sejumlah antimikroba dimasukkan kedalam medium bakteriologi padat atau cair.
Biasanya digunakan pengenceran dua kali lipat zat antimikroba. Medium akhirnya
diinokulasikan dengan bakteri yang diuji dan diinokulasi. Tujuan akhirnya adalah
mengetahui seberapa banyak jumlah antimikroba yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri yang diuji. Uji kerentanan
dilusi agar membutuhkan waktu yang lama.

b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan
menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini
adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi
zat yang bersifat antibakteri di dalam media padat melalui pencadang. Daerah
hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih disekitar cakram. Luas daerah
hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakteri, semakin kuat daya
aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatnya. Metode ini
dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia, misalnya : pH, suhu, zat inhibitor,
sifat dari media dan kemampuan difusi, ukuran molekul dan stabilitas dari bahan
obat (Jawetz et al, 1996).

2.7.4

Mekanisme Kerja Antibakteri

a.

Inhibitor Sintesis Dinding Sel

Kerusakan dinding sel atau penghambatan pada pembentukannya dapat
menyebabkan sel menjadi lisis. Dinding sel bakteri terdiri dari peptidoglikan yang
merupakan komples mukopeptida (glikopeptida). Zat antibakteri menghambat
sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri dengan menghambat kerja enzim
transpeptidase dan enzim rasemase alanin atau dengan menghambat sintesa asam
muramat. Senyawa penisilin dan sefalosforin yang secara struktur mirip dan
senyawa-senyawa yang tidak mirip seperti siklorin, vankomisin, dan basitrain
merupakan zat antibakteri yang bekerja menghambat sintesis dinding sel
(Setiabudi, 1995).

Universitas Sumatera Utara

b.

Inhibitor Fungsi Membran sel

Biasanya merupakan senyawa yang bekerja langsung pada membran sel
mikroorganisme, mempengaruhi permeabilitas dan menyebabkan kebocoran
senyawa-senyawa intraseluler. Dalam hal ini termasuk senyawa yang bersifat
detergen seperti polimiksin dan amfoterisin B yang berikatan dengan sterl-sterol
dinding sel (Chamber, 2007). Kerusakan membran sel akan mengakibatkan
keluarnya berbagai komponen pent

Dokumen yang terkait

Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol serta Fraksi n-Heksana Etilasetat dan Air Herba Kurmak Mbelin (Enydra fluctuans Lour.)

1 75 100

Skrining Fitokimia, Uji Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Metanol dan Etil Asetat Daun Pirdot ( Saurauia vulcani Korth) dari Daerah Tigarunggu

17 83 104

Skrining Fitokimia, Uji Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Metanol dan Etil Asetat Daun Pirdot ( Saurauia vulcani Korth) dari Daerah Tigarunggu

3 7 13

Skrining Fitokimia, Uji Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Metanol dan Etil Asetat Daun Pirdot ( Saurauia vulcani Korth) dari Daerah Tigarunggu

0 0 2

Skrining Fitokimia, Uji Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Metanol dan Etil Asetat Daun Pirdot ( Saurauia vulcani Korth) dari Daerah Tigarunggu

0 0 4

Skrining Fitokimia, Uji Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Metanol dan Etil Asetat Daun Pirdot ( Saurauia vulcani Korth) dari Daerah Tigarunggu

1 12 5

Skrining Fitokimia, Uji Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Metanol dan Etil Asetat Daun Pirdot ( Saurauia vulcani Korth) dari Daerah Tigarunggu

0 2 13

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Pirdot (Saurauia vulcani Korth) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

4 10 16

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Pirdot (Saurauia vulcani Korth) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

1 2 2

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Pirdot (Saurauia vulcani Korth) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

6 30 4