Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-24 Bulan di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh Tahun 2013

11

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting
Stunting adalah kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur
berdasarkan TB/U (tinggi badan menurut umur) (Setiawan, 2010). Stunting atau
malnutrisi kronik merupakan bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan.
Stunting adalah gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat, berupa
penurunan kecepatan pertumbuhan dalam perkembangan manusia yang merupakan
dampak utama dari gizi kurang. Gizi kurang merupakan hasil dari ketidak
seimbangan faktor-faktor pertumbuhan (faktor internal dan eksternal). Gizi kurang
dapat terjadi selama beberapa periode pertumbuhan, seperti masa kehamilan, masa
perinatal, masa menyusui, bayi dan masa pertumbuhan (masa anak). Hal ini juga bisa
disebabkan karena defisiensi dari berbagai zat gizi, misalnya mikronutrien, protein
atau energi (Setiawan, 2010).
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah,
ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran
berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan
keseimbangan motolik (retensi kalsium, dan nitrogen tubuh). Pertumbuhan adalah

peningkatan secara bertahap dari tubuh, organ dan jaringan dari masa konsepsi
sampai remaja (Supariasa, et al, 2001).

11

12

2.2 Indikator Stunting
Tinggi badan menurut umur (TB/U)

adalah indikator untuk mengetahui

seseorang anak stunting atau normal. Tinggi badan merupakan ukuran antropometri
yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan
tumbuh seiring pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif
terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Indeks TB/U
menggambarkan status gizi masa lampau serta erat kaitannya dengan sosial ekonomi
(Supariasa et al 2001).
Salah satu metode penilaian status gizi secara langsung yang paling populer
dan dapat diterapkan untuk populasi dengan jumlah sampel besar adalah

antropometri. Di Indonesia antropometri telah digunakan secara luas sebagai alat
untuk menilai status gizi masyarakat dan pertumbuhan perorang pada beberapa
dasawarsa belakang ini (Supariasa et al, 2001).
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur
beberapa parameter, sedangkan parameter adalah ukuran tunggal dari ukuran tubuh
manusia. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah
lalu dan keadaan sekarang. Pengukurang tinggi badan atau panjang badan pada anak
dapat dilakukan dengan alat pengukur tinggi/panjang badan dengan presisi 0.1 cm.
(Supariasa et al, 2001).
Penggunaan indeks TB/U memiliki beberapa kelebihan antara lain 1)
merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada masa lampau. 2)
Alat mudah dibawa-bawa, murah. 3) Pengukuran objektif. Sedangkan kelemahannya

13

antara lain : 1) dalam penilaian intervensi harus disertai dengan indeks lain (seperti
BB/U), karena perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi dalam waktu singkat, 2)
ketepatan umur sulit didapat.
Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronik
sebagai akibat dari keadaan berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup

sehat dan pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan
yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Riskesdas, 2010).
Kategori dan ambang batas penilaian status gizi berdasarkan indikator tinggi
badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U) disajikan
pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
PB/U atau TB/U
Indeks
Panjang Badan menurut Umur
(PB/U) atau Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U) anak
umur 0-60 bulan
Sumber : Kepmenkes RI, 2010

Kategori Status
Gizi
Sangat Pendek
Pendek
Normal
Tinggi


Ambang Batas (Z-Score)
< - 3 SD
-3 SD s/d ≤ -2 SD
-2 SD s/d 2 SD
> 2 SD

Pada waktu lahir, panjang badan bayi rata-rata adalah 50 cm, tinggi badan 75
cm dicapai pada usia 1 tahun, 85 cm pada usia 2 tahun dan 100 cm yaitu 2 kali
panjang lahir dicapai pada usia 4 tahun, dan pada usia 6 tahun tingginya berkisar 130
cm. Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersama dengan pertumbuhan umur.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang
cukup lama.

14

Tabel 2.2. Tinggi Badan dan Berat Badan Rata-rata Anak Umur 0-6 Tahun
No

Kelompok Umur


1
0 - 6 bulan
2
7 - 12 bulan
3
1 - 3 tahun
4
4 – 6 tahun
Sumber : AKG 2004

Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (cm)

6
8,5
12
17


60
71
90
110

Satu dari tiga anak di negara berkembang dan negara miskin mengalami
stunting dengan jumlah kejadian tertinggi berada dikawasan Asia Selatan yang
mencapai 46% disusul dengan kawasan Afrika sebesar 38%, sedangkan secara
keseluruhan angka kejadian stunting dinegara miskin dan berkembang mencapai
32%. Stunting disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang terjadi dalam waktu
lama dan frekuensi menderita penyakit infeksi (UNICEF, 2007). Akibat dari stunting
ini meliputi perkembangan motorik yang lambat, mengurangi fungsi kognitif dan
menurunkan daya fikir.
Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak berusia dibawah 5 tahun mengalami
stunting, data ini berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF. dan
memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan jumlah anak di
bawah 5 tahun yang mengalami stunting tinggi. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan
angka kejadian stunting secara nasional sebesar 36,7 % yang berarti 1 dari 3 anak
dibawah 5 tahun mengalami stunting, yang merupakan proporsi yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

(UNICEF Indonesia, 2012). Meskipun telah terjadi penurunan angka kejadian
stunting pada Riskesdas 2010 menjadi 35,7 %, namun di beberapa Provinsi di

15

Indonesia terutama di kawasan timur Indonesia menunjukkan peningkatan angka
kejadian stunting.

2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Stunting
2.3.1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat
kurang dari 2500 gram, tanpa memandang usia kehamilan (IDAI, 2009). Bayi yang
lahir dengan BBLR tergolong bayi dengan resiko tinggi, karena angka kesakitan dan
kematiannya tinggi. Oleh karena itu pencegahan BBLR adalah sangat penting,
dengan pemeriksaan prenatal yang baik dan memerhatikan kebutuhan gizi ibu.
Dikatakan bahwa bayi yang lahir dengan BBLR kurang baik karena pada bayi BBLR
telah terjadi retardasi pertumbuhan sejak di dalam kandungan, lebih-lebih jika tidak
mendapat nutrisi yang baik setelah lahir (Soetjiningsih, 1995)
Menurut Sitohang (2004) bayi berat lahir rendah (BBLR) dibagi menjadi dua
golongan, yaitu :

1. Prematur
Bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi < 37 minggu dan berat badan

2500 gram. Biasanya kelahiran premature ini disebabkan oleh ibu yang
mengalami perdarahan antepartum, trauma fisik, psikologis, usia ibu terlalu
muda (20 tahun), multigravida dengan jarak kehamilan dekat, keadaan
ekonomi rendah dan kehamilan ganda atau hidramnion.

16

2. Dismatur
Bayi lahir kecil dengan berat badan seharusnya untuk masa gestasi. Kondisi
ini dapat terjadi preterm, aterm, maupun posterm. Dalam hal ini bayi
mengalami retardas pertumbuhan intra uterin dan merupakan bayi kecil untuk
masa kehamilanya. Bayi kecil masa kehamilan sering disebut juga dengan
intra uterin growth retardation (IUGR).
Ada dua bentuk IUGR yaitu :
a.

Propotionate IUGR, janin lahir dengan berat, panjang, dan lingkar kepala

dalam porposi yang seimbang, akan tetapi keseluruhannya masih dibawah
masa gestasi yang sebenarnya.

b.

Disproportionate IUGR, janin lahir dengan panjang, dan lingkar kepala
normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi.

Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah sering mengalami masalah
sukar bernafas, reflek menghisap dan menelan belum sempurna, mudah mengalami
hipotermia jika tidak dalam inkubator, mudah terkena infeksi. Gambaran klinis bayi
BBLR antara lain fisiknya masih lemah, kepala lebih besar dari badannya, kulit tipis,
rambut tipis dan halus, genitalia belum sempurna, ubun-ubun lebar, tulang rawan
elastis kurang, otot-otot masih hipotonik dan pernafasan belum teratur (Sitohang,
2004 dalam Arnisam, 2006).
Data Nasional tentang gizi ibu sangat tidak tersedia, tetapi berat lahir rendah
dan anemia memberikan sebuah indikasi. Berat anak saat lahir merupakan akibat
langsung dari status kesehatan dan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan. Secara

17


nasional, proporsi anak dengan berat lahir rendah pada tahun 2010 (11% dengan berat
badan kurang dari 2.500 gram) tidak menunjukkan perubahan signifikan sejak tahun
2007. Di empat belas provinsi, prevalensi berat lahir rendah meningkat dari tahun
2007 sampai 2010 (UNICEF Indonesia, 2012).
Menurut Nurlinda (2013) yang menguti pendapat Reyes (2005), banyak faktor
yang mempengaruhi kejadian BBLR terutama yang berkaitan dengan ibu selama
masa kehamilan. Berat badan ibu < 50 kg, keluarga yang tidak harmonis termasuk
didalamnya kekerasan dalam rumah tangga dan tidak adanya dukungan dari keluarga
selama masa kehamilan, gizi ibu buruk selama masa kehamilan, kenaikan berat badan
ibu kurang dari 7 kg selama hamil, infeksi kronik, tekanan darah tinggi selama hamil,
kadar gula darah ibu tinggi, merokok, alkohol, serta genetik merupakan faktor
penyebab bayi yang dilahirkan BBLR (Nurlinda, 2013).
Berbagai faktor yang mempengaruhi BBLR yaitu jenis kelamin bayi, ras,
keadaan plasenta, umur ibu, aktivitas ibu, kebiasaan merokok, paritas, jarak
kehamilan, tinggi badan dan berat badan ibu sebelum kehamilan, keadaan sosial
ekonomi, gizi, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pertambahan berat badan ibu
selama kehamilan (Turhayati, 2006 dalam Subkhan, 2011).
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu
yang lain yaitu umur, paritas dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler,

kehamilan kembar serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR
(IDAI, 2004).

18

Menurut Mochtar (1998) dalam Subkhan (2011) faktor-faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya persalinan prematur atau berat badan lahir rendah adalah:
1. Faktor Ibu
a. Gizi saat hamil yang kurang
b. Umur kurang dari 20 tahun atau di atas 35 tahun
c. Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat
d. Penyakit menahun ibu seperti hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah.
e. Merokok
f. Faktor pekerjaan yang terlalu berat
2. Faktor Kehamilan
a. Hamil dengan hidramnion
b. Hamil ganda
c. Perdarahan antepartum
d. Komplikasi hamil : pre-eklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini
3. Faktor Janin
a. Cacat bawaan
b. Infeksi dalam rahim
4. Faktor lain yang masih belum diketahui
2.3.2 Resiko BBLR terhadap Pertumbuhan
Berat lahir memilki dampak yang besar terhadap pertumbuhan anak,
perkembangan anak dan tinggi badan pada saat dewasa. Kegagalan pertumbuhan
anak terjadi dari konsepsi sampai dua tahun dan dari tahun ketiga anak seterusnya

19

tumbuh dengan cara yang rata-rata sama. Hal ini juga diakui bahwa penyebab
stunting berawal dari pertumbuhan janin yang tidak memadai dan ibu yang kurang
gizi, dan sekitar setengah dari kegagalan pertumbuhan terjadi didalam rahim,
meskipun proporsi ini mungkin bervariasi diseluruh negara ( Azwar, 2004).
Bayi lahir dengan BBLR akan beresiko tinggi terhadap morbiditas, kematian,
penyakit infeksi, kekurangan berat badan, stunting di awal periode neonatal sampai
masa kanak-kanak. Bayi dengan berat lahir 2000-2499 gram 4 kali beresiko
meninggal 28 hari pertama hidup daripada bayi dengan berat 2500-2999 gram, dan 10
kali lebih beresiko dibandingkan bayi dengan berat 3000-3499 gram. Berat lahir
rendah dikaitkan dengan gangguan fungsi kekebalan tubuh, perkembangan kognitif
yang buruk, dan beresiko tinggi terjadinya diare akut dan pneumoni (Podja & Kelley,
2000 dalam Arnisam, 2006).
Berat bayi lahir rendah (BBLR) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang banyak terjadi di negara-negara miskin dan berkembang. Diperkirakan 15% dari
seluruh bayi yang dilahirkan merupakan bayi dengan berat lahir rendah. Berat badan
lahir rendah erat kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas janin dan bayi,
penghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif dan penyakit kronik ketika
menginjak usia dewasa seperti diabetes, hipertensi dan jantung (UNICEF, 2004)
Terhambatnya pertumbuhan meningkat secara signifikan dengan adanya diare,
infeksi saluran pernafasan, demam, pemberian makanan tambahan dini dan berat lahir
rendah. Berat lahir memberikan kontribusi utama pada tahun pertama lalu menyusul
proses menyusui, pelayanan kesehatan dan postur ibu yang tinggi secara signifikan

20

menurunkan kemungkinan terhambatnya pertumbuhan anak (Adair dan Guilkey,
1997).
Dari Penelitian Fitri (2012) proporsi kejadian stunting pada balita (12-59
bulan) lebih banyak ditemukan pada balita dengan berat lahir rendah (49,3%)
dibandingkan dengan balita dengan berat lahir normal (36,9%). Balita yang
mempunyai berat lahir rendah memiliki resiko menjadi stunting sebesar 1,7 kali
dibanding dengan balita yang mempunyai berat lahir normal.
Menguti pendapat Azwar (2004) dalam Arnisam (2006), berat badan lahir
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dimasa akan datang.
Bayi dengan BBLR akan mengalami gangguan dan belum sempurna pertumbuhan
dan pematangan organ/alat-alat tubuhnya, akibatnya bayi BBLR sering mengalami
komplikasi yang berakhir dengan kematian. Berat badan lahir rendah erat kaitannya
dengan kurang gizi selama kehamilan. Selain berdampak pada angka kematian bayi ,
BBLR juga berdampak pada tingginya kasus gizi kurang dan gizi buruk pada balita
(Arnisam, 2006).
Stunting yang dibentuk oleh growth faltering catch upgrowth yang tidak
memadai merupakan suatu keadaan yang patologis. Stunting mencerminkan
ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal yang disebabkan oleh status
kesehatan atau status gizi yang suboptimal.
Dari hasil penelitian Kusharisupeni (2002) menyimpulkan bahwa jumlah bayi
stunting tinggi saat lahir, menurun pada umur 4-6 bulan, dan meningkat sesudahnya
hingga umur 12 bulan. Semua kelompok lahir berkontribusi terhadap stunting hingga

21

umur 12 bulan dengan kontribusi terbesar dari kelompok IUGR dan terkecil dari
kelompok normal.
2.3.3 Asupan Makanan
Asupan makanan berkaitan dengan kandungan nutrisi (zat gizi) yang
terkandung di dalam makanan yang dimakan. Dikenal dua jenis nutrisi (zat gizi) yang
terkandung didalam makanan yang dimakan. Ada dua jenis nutrisi yaitu makronutrisi
dan mikronutrisi. Makronutrisi merupakan nutrisi yang menyediakan kalori atau
energi, diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, dan fungsi tubuh lainnya.
Makronutrisi ini diperlukan tubuh dalam jumlah yang besar, terdiri dari karbohidrat,
protein, dan lemak. Nutrisi (zat gizi) merupakan bagian yang penting dari kesehatan
dan pertumbuhan. Nutrisi yang baik berhubungan dengan peningkatan kesehatan
bayi, anak-anak, dan ibu, sistem kekebalan yang kuat, kehamilan dan kelahiran yang
aman, resiko rendah terhadap penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit
jantung, dan umur yang lebih panjang (WHO, 2011).
Apabila defisiensi (kekurangan) asupan gizi ini terjadi pada ibu hamil, maka
janin yang dikandung dapat kekurangan gizi. Wanita hamil yang kekurangan gizi bisa
melahirkan bayi dengan berat badan rendah. Hal ini bahkan dapat terjadi pada masa
konsepsi (pertumbuhan), pada kondisi (calon) ibu kekurangan gizi sehingga janin
tidak dapat tumbuh dalam kondisi optimal. Kenyataan itu bisa bertambah parah bila
pemberian ASI kurang, pemberian makanan pendamping ASI terlambat, kuantitas
serta kualitas makanan tambahan kurang, dan terjadi gangguan penyerapan zat gizi
akibat infeksi disaluran cerna. Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan tinggi

22

badan pada anak, sehingga tinggi badannya tidak sesuai dengan usianya atau lebih
pendek daripada teman sebayanya (Setiawan, 2010).
Manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya, makanan
merupakan sumber energi untuk menunjang semua kegiatan atau aktivitas manusia.
Energi dalam tubuh manusia dapat timbul dikarenakan adanya pembakaran
karbohidrat, protein dan lemak. Dengan demikian agar manusia selalu tercukupi
energinya diperlukan pemasukan zat-zat makanan yang cukup pula kedalam
tubuhnya. Manusia yang kurang makanan akan lemah, baik daya kegiatan pekerjaan
fisik atau daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima
tubuhnya yang dapat menghasilkan energi (mengutip pendapat Suhardjo (2003)
dalam Fitri (2012).
Pemberian makan pada anak balita bertujuan untuk mendapatkan zat gizi yang
cukup. Zat gizi sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Disamping itu zat gizi berperan dalam memelihara dan memulihkan kesehatan. Zat
gizi pada anak sangat penting karena pertumbuhan, perkembangan dan kecerdasan
anak ditentukan sejak bayi bahkan sejak dalam kandungan (Suhardjo, 1992 dalam
Ahmad, 2012).
Tanpa nutrisi yang baik akan mempercepat terjadinya stunting selama usia 618 bulan, ketika seorang anak berada pada masa pertumbuhan yang cepat dan
perkembangan otak hampir mencapai 90 % dari ukuran otak ketika anak tersebut
dewasa. Periode-periode ini merupakan periode dimana mulai diperkenalkannya
makanan pendamping ASI (Dairy Global Nutrition). Usia balita terutama baduta

23

merupakan usia yang paling rentan terhadap perubahan keadaan gizi dan kesehatan.
Jika pada masa ini anak tidak mendapatkan zat gizi yang baik dan cukup, maka akan
mudah mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dalam
arti proses bertambahnya struktur serta ukuran tubuh dimana kebutuhan gizi yang
sangat berperan khususnya energi dan protein.
Tingkat pertumbuhan berbeda untuk setiap anak, begitu juga dengan
kebutuhan energinya. Kebutuhan energi balita dan anak-anak sangat bervariasi
berdasarkan perbedaan tingkat pertumbuhan dan tingkat aktivitas. Tingkat
pertumbuhan untuk umur 1-3 tahun dan 7-10 tahun lebih cepat sehingga
mengharuskan kebutuhan energi yang lebih besar. Usia dan tahap perkembangan
anak juga berkaitan dengan kebutuhan energi (Sharlin & Edelstein dalam Fitri, 2012).
Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi zat gizi yang
terdapat pada makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas
hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan
tubuh didalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang
lain. Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh.
Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi baik, disebut
dengan konsumsi adekuat. Kalau komsunsi baik dari segi kuantitas dan kualitasnya
melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan konsumsi berlebih, maka akan terjadi suatu
keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitas maupun

24

kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit
(Sediaoetama, 2000).
Status gizi atau tingkat konsumsi pangan merupakan bagian terpenting dari
status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi kesehatan
seseorang, tetapi status kesehatan juga mempengaruhi status gizi. Berdasarkan angka
kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasonal Pangan dan Gizi
ke VIII (LIPI, 2004) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) Rata-rata Perhari
No
Golongan Umur
1
0-6 bulan
2
7-11 bulan
3
1-3 tahun
4
4-6 tahun
Sumber: WNPG, LIPI (2004)

Energi (kcal)
550
650
1000
1550

Protein (gram)
10
16
25
39

Hasil penelitian Hautvast et al (1999) dengan sampel bayi umur 6-9 bulan dan
anak usia 14 - 20 bulan menemukan asupan harian total energi tidak cukup
dibandingkan dengan asupan harian yang direkomendasikan pada bayi dan balita.
Bayi dan balita yang stunting cenderung memiliki asupan rendah energi dibandingkan
dengan yang tidak stunting. Asupan energi harian perkilogram berat badan tidak
menunjukkan perbedaan antara stunting dan tidak stunting pada anak-anak.
Hasil penelitian Fitri (2012) menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting
pada balita lebih banyak ditemukan pada asupan protein kurang dibandingkan dengan
balita dengan asupan protein cukup. Balita yang mempunyai asupan protein kurang

25

memiliki resiko menjadi stunting sebesar 1,2 kali dibanding balita yang mempunyai
asupan protein cukup.
Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung
zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan
gizi selain dari ASI (Depkes RI, 2006). Untuk tumbuh kembang optimal anak
membutuhkan asupan gizi yang cukup. Bagi bayi 0-6 bulan, pemberian ASI saja
sudah cukup, namun bagi bayi usia 6 bulan keatas diperlukan makanan selain ASI
yaitu berupa makanan pendamping ASI.
Pemberian MP-ASI bertujuan untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang
diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus
menerus. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal dapat diketahui dengan
cara melihat kondisi pertambahan berat badan anak. Apabila setelah usia 6 bulan,
berat badan seorang anak tidak mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa
kebutuhan energi dan zat-zat gizi bayi tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan asupan
makanan bayi hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian makanan tambahan
kurang memenuhi syarat (Krisnatuti dalam Ahmad, 2012).
Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for
Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal
penting yang harus dilakukan yaitu :
1. Memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah
bayi lahir

26

2. Memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara
eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan
3. Memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia
6 bulan sampai 24 bulan
4. Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih.
Rekomendasi tersebut menekankan secara sosial budaya MP-ASI hendaknya
dibuat dari bahan pagan yang murah dan mudah diperoleh di daerah setempat
(indigenous food) (Aritonang, 2012).
2.3.4 Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan
bersifat sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup tentunya ingin bertahan
hidup dengan cara berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu
mencari reservoir baru dengan cara berpindah atau menyebar. Penyebaran mikroba
patogen ini tentunya sangat merugikan bagi orang-orang yang sedang dalam keadaan
sakit (penderita). Orang yang sehat akan menjadi sakit dan orang yang sedang sakit
serta sedang dalam proses penyembuhan akan memperoleh “tambahan beban
penderitaan” dari penyebaran mikroba patogen ini (Darmadi, 2008).
Scrimshaw et.al, (1959) menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat
antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan
interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi, dan juga infeksi
akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi (Supariasa, et.al, 2001) .

27

Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri
maupun bersamaan, yaitu:
a. Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya
absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit
b. Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare, mual/muntah
dan pendarahan yang terus menerus
c. Meningkatnya kebutuhan, baik peningkatan kebutuhan akibat sakit (human
host) dan parasit yang tedapat dalam tubuh (Supariasa et.al, 2001).
Penyakit infeksi pada anak-anak antara lain ISPA dan diare. Penyakit ISPA
didefinisikan sebagai suatu penyakit infeksi pada hidung, telinga, tenggorokan
(pharynx), trachea, bronchioli dan paru-paru yang kurang dari dua minggu (14 hari)
dengan tanda dan gejala dapat berupa batuk dan atau pilek dan atau batuk pilek dan
atau sesak nafas karena hidung tersumbat dengan atau tanpa demam, batasan waktu
14 hari diambil menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun beberapa
penyakit yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14
hari. Sedangkan diare didefinisikan sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan
berak cair lebih dari tiga kali sehari (Darmadi, 2008).
Tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit infeksi adalah tindakan
yang paling utama. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara memutuskan
rantai penularannya. Rantai penularannya adalah rentetan proses berpindahnya
mikroba sehari-hari, pathogen dari sumber penularan (reservoir) ke pejamu
dengan/tanpa media perantara. Sebagai sumber penularan atau reservoir adalah orang

28

(penderita), hewan, serangga (arthropoda) seperti lalat, nyamuk, kecoa, yang
sekaligus dapat berfungsi sebagai media parantara. Contoh lain adalah sampah,
limbah, sisa makanan dan lain-lain. Apabila perilaku hidup sehat sudah menjadi
budaya dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, serta sanitasi lingkungan
yang sudah terjamin, diharapkan kejadian penularan penyakit infeksi dapat ditekan
seminimal mungkin (Darmadi, 2008).
Peyakit infeksi berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular
terutama diare, cacingan dan penyakit pernafasan akut (ISPA). Faktor ini banyak
terkait mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan
hidup dan perilaku hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah
ketersediaan air bersih, sarana sanitasi dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci
tangan pakai sabun, buang air besar dijamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam
rumah dan sebagainya (Abas, 2012).
Hasil penelitian Nashikhah dan Margawati (2012) hasil analisis bivariat
menunjukkan bahwa riwayat diare akut merupakan faktor resiko kejadian stunting
(p=0,011) dimana balita yang sering mengalami diare akut beresiko 2,3 kali lebih
besar tumbuh menjadi stunting.
Penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak-anak adalah diare dan ISPA.
Penyakit diare dan ISPA dapat membuat anak-anak tidak mempunyai nafsu makan
sehingga terjadi kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk kedalam
tubuhnya dan dapat mengakibatkan kekurangan gizi.

29

2.3.5 Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas
makanan, antara pendapatan dan gizi sangat erat kaitannya dalam pemenuhan
makanan kebutuhan hidup keluarga, makin tinggi daya beli keluarga makin banyak
makanan yang dikonsumsi dan semakin baik pula kualitas makanan yang dikonsumsi.
Disini terlihat jelas bahwa pendapatan rendah akan menghalangi perbaikan gizi dan
dapat menimbulkan kekurangan gizi (Berg dalam Syafiq, 2012). Tingkat pendapatan
dapat menentukan pola makan. Orang dengan tingkat ekonomi rendah biasanya akan
membelanjakan sebagaian besar pendapatannya untuk makanan, sedangkan orang
dengan tingkat ekonomi tinggi akan berkurang belanja untuk makanan.
Penghasilan merupakan faktor yang menentukan kualitas makanan, didorong
oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat baik perbaikan
gizi kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi,
yang jelas kalau rendahnya tingkat penghasilan orang miskin dan lemahnya daya beli
keluarga telah tidak memungkinkannya untuk mengatasi kebiasaan makan dan caracara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk anak-anak
mereka (Berg, 1986).
Menurut

Suhardjo (2003), keluarga yang termasuk dalam kategori

berpendapatan terbatas menggunakan

sebagian besar dari pendapatan yang

diperoleh untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan untuk keluarga. Di negara
berkembang dengan populasi rumah tangga

lebih banyak rumah tangga

30

berpendapatan rendah sebagian besar pengeluaran rumah tangganya dialokasikan
untuk makanan.
Penelitian di Bangladesh dengan jumlah sampel 1.182 anak berusia 12-30
bulan menemukan prevalensi pendek sebesar 50,9% diantara mereka. Risiko kejadian
pendek 3,6 kali lebih besar pada anak yang berasal dari rumah tangga paling miskin
dibandingkan dengan anak yang berasal dari rumah tangga paling kaya (Hong et al
dalam Nurlinda, 2013). Pendapatan perkapita merupakan faktor yang turut
menentukan status gizi balita. Hasil penelitian Nasikhah dan Margawati (2012)
menujukkan bahwa pendapatan perkapita merupakan faktor resiko kejadian stunting
pada balita usia 24-36 bulan.
Keadaan ekonomi keluarga dapat ditinjau dari pendapatan seseorang yang
akan memberikan dampak kearah yang baik atau kearah yang buruk, keadaan
ekonomi akan berpengaruh terhadap penyediaan gizi yang cukup, dimana kurangnya
pendapatan akan menghambat aktivitas baik yang bersifat materialistik maupun non
materialistik. Disamping kebutuhan akan sandang, pangan dan perumahan.
Pendapatan/penghasilan keluarga Provinsi Aceh dapat dikategorikan sebagai berikut
(Upah Minimum Provinsi Aceh, UMP tahun 2014):
a. Tinggi apabila penghasilan ≥ UMP Rp. 1.750.000,00
b. Rendah apabila penghasilan < UMP Rp. 1.750.000,00
Kemiskinan adalah keadaan sebuah keluarga yang tidak sanggup memelihara
dirinya dan keluarganya dengan taraf kehidupan, dan juga tidak mampu

31

memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya.
Keluarga miskin yang memiliki anak balita tidak dapat memenuhi kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangannya, dimana anak mengalami penyimpangan dari
pertumbuhan dan perkembangan normal (Almatsier, 2005).
Jika dilihat hubungannya dengan pekerjaan kepala keluarga maka prevalensi
kependekan tertinggi ditemukan pada rumah tangga petani/nelayan/buruh yaitu
sebesar 42,9% dan terendah pada rumah tangga yang kepala keluarganya bekerja
sebagai pegawai tetap yaitu 21,1%. Prevalensi kependekan juga terlihat berhubungan
terbalik dengan keadaan ekonomi rumah tangga, semakin tinggi keadaan ekonomi
rumah tangga semakin rendah prevalensi kependekan dan sebaliknya (Riskesdas,
2010).
2.3.6

Pola Asuh
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan prilaku ibu dalam hal kedekatannya

dengan anak, memberi makan, merawat, memberi kasih sayang dan sebagainya
(Depkes RI, 2001). Pola asuh yang baik pada anak balita dapat dilihat pada praktek
pemberian makanan yang bertujuan untuk mendapatkan zat-zat gizi yang cukup bagi
pertumbuhan fisik dan mental anak. Zat gizi juga berperan dalam memelihara dan
memulihkan kesehatan anak dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. aspek gizi
juga mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang dan kecerdasan anak yang
ditentukan sejak bayi, bahkan dalam kandungan (Suhardjo, 1992).
Pola asuh adalah pemenuhan kebutuhan fisik dan biomedis anak. Pola asuh ini
termasuk pangan dan gizi, kesehatan dasar, imunisasi, penimbangan, pengobatan,

32

papan/pemukiman yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang dan
rekreasi (Soekirman dalam Yusnidaryani, 2009). Pola asuh yang memadai pada bayi
adalah pemenuhan kebutuhan fisik dan biomedis anak terpenuhi secara optimal. Hal
ini dilakukan melalui pemberian gizi yang baik berupa pemberian ASI, pemberian
makanan pendamping ASI tepat waktu dan bentuknya, melanjutkan menyusui sampai
anak berumur 2 tahun, ibu punya cukup waktu merawat bayi, imunisasi dan
memantau pertumbuhan melalui kegiatan penimbangan.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, UNICEF merumuskan
tiga faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang secara tidak langsung
(underlying factors), yaitu pangan rumah tangga, pengasuhan, dan sanitasi
lingkungan. ketiga faktor tersebut mempengaruhi status gizi dan juga tingkat
kesehatan anak yang juga turut menentukan kualitas pertumbuhan serta
perkembangan anak (Engel et al dalam Nurlinda, 2013).
Berbagai studi telah mengidentifikasikan faktor-faktor risiko tinggi yang
mempunyai pengaruh terhadap status gizi anak. Faktor tersebut berkaitan dengan
kondisi medis, sosial ekonomi dan tingkat pendidikan, mencakup berat bayi lahir
rendah, kembar, jumlah anak dalam keluarga, penyakit infeksi, pemberian makanan
tambahan terlalu dini atau terlalu lambat. Jika anak mempunyai salah satu ciri
tersebut harus diberikan perhatian khusus. Perhatian itu berupa pola asuh yang baik,
agar kemungkinan timbulnya gizi kurang pada anak yang bersangkutan dapat dicegah
(Suhardjo, 1992). Menurut Soetjiningsih (1995) pertumbuhan dan perkembangan
anak balita sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan postnatal. Faktor lingkungan

33

postnatal sangat erat hubungannya dengan pola asuh yang diberikan oleh ibu kepada
anaknya, antara lain gizi dan status kesehatan.
Menurut Yusnidaryani (2009) yang mengutip pendapat Budi (2006)
menjelaskan bahwa bayi adalah kelompok usia yang rentan terserang penyakit, terkait
interaksi dengan sarana dan prasarana dirumah tangga dan sekelilingnya. Jenis sakit
yang dialami, frekuensi sakit, lama sakit, penanganan bayi sakit dan status imunisasi
adalah faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan bayi dan status gizi bayi.
Perilaku ibu dalam mengahadapi bayi yang sakit dan pemantauan kesehatan
terprogram adalah pola pengasuhan kesehatan yang sangat mempengaruhi tumbuh
kembang bayi. Bayi yang mendapatkan imunisasi akan lebih rendah mengalami
resiko penyakit. Bayi yang dipantau pertumbuhan diposyandu melalui kegiatan
penimbangan akan lebih dini mendapatkan informasi akan adanya gangguan
pertumbuhan. Sakit yang lama dan berulang akan mengurangi nafsu makan yang
berakibat pada rendahnya asupan zat gizi.
Pola pengasuhan anak usia 1-2 tahun memang spesifik, mereka bukan bayi
lagi, tetapi juga terlalu muda untuk dikatakan sebagai anak-anak. Akibatnya, banyak
timbul masalah kesehatan termasuk kasus gizi buruk yang prevalensinya tinggi (ratarata 50% pada setiap daerah penelitian), yang tidak saja mengganggu tumbuh
kembang anak seperti stunted, penurunan IQ, tapi bahkan berakhir dengan kematian
(Nurlinda, 2013).

34

2.4 Landasan Teori
Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait. Faktor
langsung yang mempengaruhi status gizi pada balita yaitu asupan makanan dan
penyakit infeksi. Status gizi kurang pada dasarnya disebabkan oleh interaksi antara
asupan gizi yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Faktor lain yang juga
berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga, khususnya pangan untuk bayi 0-6
bulan (ASI Eksklusif), usia enam bulan keatas (MP-ASI), dan pangan yang bergizi
seimbang khususnya ibu hamil. Semua itu terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola
asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan akses informasi terutama
tentang gizi dan kesehatan (UNICEF, 1998). Kondisi status sosial ekonomi
memengaruhi konsumsi makanan. Konsumsi makanan yang rendah berakibat pada
gizi yang buruk. Gizi buruk pada ibu hamil mengakibatkan anak yang dikandungnya
mengalami BBLR (FAO, 2003). BBLR secara tidak langsung dipengaruhi oleh status
gizi ibu buruk. Riwayat Berat badan lahir rendah dapat mempengaruhi secara
langsung status gizi anak balita. Secara tidak langsung berat badan lahir rendah
dipengaruhi oleh status gizi dan kesehatan ibu, paritas, jarak kelahiran, usia hamil
pertama dan status sosial ekonomi ibu sebelum hamil (Mochtar, 1998). Kerangka
Teori dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

35

Kurang Gizi

BBLR

Status Gizi
Ibu Ketika
Hamil

Penyakit
Infeksi

Asupan
Makanan

Ketersediaan
Pangan TK.
Rumah

- Status Gizi dan
Kesehatan Ibu
- Paritas
- Jarak Kelahiran
- Usia Hamil
Pertama
- Status Sosial
Ekonomi Ibu

Tangga

Dampak

Pola Asuh

Pelayanan
Kesehatan
& Sanitasi

Kemiskinan, Pendapatan, Pendidikan,
Ketrampilan, Ketersediaan Pangan dan
kesempatan kerja

Krisi Politik, Sosial dan Ekonomi

Penyebab
Langsung

Penyebab
tidak
Langsung

Masalah
Utama

Akar
Masalah

Gambar 2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi pada Anak Balita
Modifikasi dari UNICEF (1998), Mochtar (1998), FAO (2003)

2.5 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori diatas dapat dirumuskan kerangka konsep
penelitian sebagai berikut: variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian
stunting pada anak balita sedangkan variabel independen dari penelitian ini adalah
riwayat BBLR, pemberian ASI Eksklusif, pendapatan keluarga, riwayat penyakit
infeksi, pola asuh makan dan pola asuh perawatan kesehatan yang merupakan faktor
yang mempengaruhi stunting pada anak balita. Kerangka konsep dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:

36

Variabel Independen

Variabel Dependen

BBLR
Pemberian ASI
Eksklusif
Pendapatan
Keluarga

Stunting

Penyakit Infeksi
Pola Asuh
- Pola asuh makan
- Pola asuh perawatan
kesehatan

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian