Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia dalam

Persembahan Purna Karya
DRS. B. RAHMANTO, M.HUM

Sapardi Djoko Damono Maman S.
Mahayana Riris K. Toha-Sarumpaet  St.
Sularto Novita DewiPamusuk EnesteHery
AntonoHersri Setiawan Sri Widati S. E.
Peni AdjiJabrohim J. Prapta Diharja,
SJBambang Kaswanti PurwoI Dewa Putu
WijanaI. Praptomo Baryadi Ganjar
HarimansyahSugihastutiFransisca
Tjandrasih Adji Novi Anoegrajekti
Yoseph Yapi Taum

Cover Belakang

DITERBITKAN
OLEH
PENERBIT
SANATA
DHARMA

ISBN:
Alamat:
Jl. Gejayan, Mrican,
Tromol Pos 29,
Yogyakarta 55002

Buku ini dipersembahkan
untuk Drs. B. Rahmanto, M.Hum
yang telah menyelesaikan karya bhaktinya sebagai
dosen di Universitas Sanata Dharma,
Tanggal 17 Juli 2011

KATA PENGANTAR
Memaknai sebuah perjananan hidup dengan menerbitkan sebuah buku
kenangan bukan hanya merupakan sebuah monumen cinta kasih, tetapi lebih dari itu
mengandung sebuah harapan. Para penulis buku itu tentu ingin mengenang kembali
nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang dibagikan, hangatnya persahabatan,
semangat perjuangan yang diwariskan, teladan yang diberikan, serta jasa-jasa dari
seorang yang dikasihi. Buku itu pun mengandung harapan untuk terus menghidupkan
nilai-nilai dan mutiara kebijaksanaan sang tokoh pendahulu ke generasi-generasi

selanjutnya. Dalam semangat itu pulalah buku berjudul Bahasa, Sastra, dan Budaya
Indonesia dalam Jebakan Kapitalisme ini ditulis.
Buku ini merupakan sebuah buku bunga rampai yang ditulis sebagai
persembahan untuk B. Rahmanto yang mengakhiri karya bhaktinya sebagai dosen di
Universitas Sanata Dharma, terhitung mulai 17 Juli 2011. Persoalan kapitalisme yang
melilit disiplin ilmu Bahasa, Sastra, dan Budaya ini dipilih, selain karena merupakan
sebuah persoalan yang penting dan mendesak untuk dibahas, topik ini pun merupakan
salah satu masalah yang mengusik perhatian B. Rahmanto. Dalam pidatonya pada
kesempatan Dies Natalis ke-53 Universitas Sanata Dharma tanggal 20 Desember 2008
berjudul “Revitalisasi Humaniora Dalam Rangka Pembangunan Moral Bangsa:
Sebuah Refleksi Sastra wi,” B. Rahmanto mengungkapkan dua kegalauan hatinya.
Pertama, fakta bahwa ilmu-ilmu humaniora di berbagai universitas di dunia sudah
(ter)/(di)pinggirkan oleh kapitalisme dan orientasi pasar semata-mata. Kedua,
pengalaman panjang sejarah kelam bangsa Indonesia yang disebutnya menjalankan
‗tiada hari tanpa kekerasan dan korupsi‘. Fenomena kekerasan tahun 1965 dan 1996
serta silang-sengkarut manusia dan masyarakat Indonesia dipaparkannya dengan
terang disertai berbagai data dan fakta pendukung.
Rahmanto mengungkapkan, orientasi pendidikan tinggi pada pasar telah
mengubah lembaga itu menjadi sekadar tempat pelatihan ketrampilan dan keahlian
kerja. Pragmatisme telah membuat ilmu-ilmu humaniora di Eropa dan AS terancam

bubar. Jumlah mahasiswa yang berminat pada studi ilmu-ilmu humaniora semakin
kecil karena kebutuhan pasar yang tidak memadai. Program-program studi tertentu
terpaksa diperkecil, dipersempit, atau bahkan ditutup seperti Program Studi Gender di
Negeri Belanda, Program Studi Indonesia di Australia, dan lembaga yang menjadi
cikal bakal pengembangan cultural studies ke seluruh dunia, yakni Birmingham
Cultural Studies Center menjadi sebuah tantangan yang sangat berat bagi upaya
merevitalisasi, menghidupkan, atau menggiatkan kembali humaniora.
Sebagaimana karakter B. Rahmanto sebagai sosok yang selalu optimistik dan
cerah pandang, atau yang disebut oleh Maman S. Mahayana sebagai ―manusia yang
royal memberi kebahagiaan‖, beliau pun memberikan solusi agar ilmu-ilmu
humaniora, dapat merevitalisasikan dirinya. Tulis Rahmanto, ―Humaniora
memberikan wawasan yang luas, kapasitas untuk berubah, visi yang kreatif, kepekaan
untuk implikasi sosial dan kultural, kemampuan untuk melihat the whole picture.
Melalui humaniora dapat dikembangkan bakat untuk memimpin. Melalui humaniora
mahasiswa dirangsang untuk berpikir kritis, kreatif, dan holistik, dan ini amat penting
untuk mahasiswa yang dipersiapkan sebagai pemimpin bangsa ke depannya. Syaratnya
tentu saja, humaniora harus diberikan dengan cara berbobot dan dekat dengan
aktualitas.‖
Persoalannya adalah bagaimana mengajarkan humaniora dengan cara yang
berbobot dan dekat dengan aktualitas itu? Bagaimana ilmu-ilmu humaniora dapat


bertahan dari jebakan kapitalisme? Benang merah buku ini adalah mencoba
memahami, mengurai, dan memberikan sejumlah solusi untuk keluar dari jebakan
kapitalisme dari perspektif ilmu bahasa, sastra, dan budaya Indonesia.
***
Buku ini terbagi dalam tiga bagian. Bagian Pertama yang membahas topik
Bahasa berisi enam karangan. P. Ari Subagyo mengawalinya dengan tulisan berjudul
―Bahasa Indonesia di Tengah Kapitalisme (Pos/Hiper)Modern: Masih Adakah
―Keajaban Ketiga‖? Tulisan ini secara tegas mengungkapkan bahwa bahasa
merupakan piranti kapitalisme. Melalui kajian yang cermat, penulis ini mengungkap
jejak kapitalisme (pos/hiper)modern dalam Bahasa Indonesia, yang telah mewarnai
ideologi bahasa Indonesia dengan ciri internasionalisme melalui iklan dan internet.
Gempuran kapitalisme laksana samudra luas itu mengakibatkan bahasa Indonesia
terlihat seperti sampan kecil yang tidak berdaya. Efek yang terlihat kemudian adalah
munculnya gejala imperealisme bahasa dan ancaman yang semakin nyata terhadap
bahasa baku bahasa Indonesia. Dalam kondisi yang seperti itu, Ari Subagyo tetap
berharap bahwa Bahasa Indonesia masih akan selamat oleh ―keajaiban ketiga‖ asalkan
bangsa Indonesia masih bersedia menggunakan bahasa kebangsaannya dengan setia
dan penuh rasa bangga. Apa sajakah keajaiban bahasa Indonesia? Simak dalam tulisan
ini.

Tulisan kedua bernada sangat optimistik. Tulisan berjudul ―Linguistik Itu Ilmu
yang paling Indah‖ oleh I Dewa Putu Wijana membahas kemampuan perangkat Ilmu
Linguistik dalam memahami fenomena bahasa, termasuk fenomena bahasa alay yang
telah terkontaminasi oleh terpaan kapitalisme pos/hypermodern. Bahasa yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi, bagaimanapun, memiliki pola atau kaidah
tertentu, misalnya pola pembentukannya, penyimpangan maknanya, penyimpangan
dan permainan ejaannya, dsb. Fenomena ini, menurut I Dewa Putu Wijana, hanya
dapat dijelaskan oleh orang yang menguasai Ilmu Linguistik. Orang yang tidak
berkecimpung di dalam bidang ilmu ini hanya dapat menangkap sebagian kecil, dan
hal-hal yang pada umumnya bersifat ekstralingual, seperti bagaimana kesukaan dan
perilaku remaja, perkembangan teknologi komunikasi, sikap mereka tentang keadaan
di sekitarnya, dsb. Sehubungan dengan itu, seorang linguis harus membekali dirinya
dengan teori-teori kebahasaan dan teori-teori kebudayaan mengenai perilaku
masyarakat orang yang memiliki bahasa itu. Hanya dengan cara demikian, bahasa
manusia dapat dipahami secara utuh. Hanya dengan cara demikian pula, linguistik itu
akan menjadi indah seindah bahasa yang menjadi objek kajiannya.
Tulisan ketiga berjudul ―Metode Menjelaskan: Penerapan Logika, Semantik,
dan Retorika‖ yang ditulis oleh I. Praptomo Baryadi secara langsung menjawab
tantangan B. Rahmanto, bagaimana mengajarkan humaniora dengan cara yang
berbobot dan dekat dengan aktualitas. Umum diketahui bahwa metode menjelaskan

cenderung membosankan. Padahal, metode menjelaskan merupakan sebuah metode
pengajaran yang tidak dapat dihindari oleh setiap dosen. Karena itu, I Praptomo
Baryadi memaparkan bagaimana metode ini dapat didayagunakan untuk memberikan
hasil yang berbobot dan memuaskan. Sebuah penjelasan yang baik perlu melibatkan
piranti logika, semantik, dan retorika. Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis
mengungkapkan bahwa di dalam Metode Menjelaskan itu terdapat paling kurang
sembilan metode, yaitu: definisi, identifikasi, ilustrasi atau eksemplifikasi, hiponimi,
meronimi, klasifikasi, taksonomi, perbandingan, dan analogi. Pemanfaatan lebih dari

satu metode menjelaskan akan membuat pengajaran humaniora menjadi lebih
menyenangkan dan lebih efektif.
Tulisan keempat berjudul ―Kreativitas dalam Peribahasa dan Pemendekan‖
ditulis yang oleh Hery Antono mengungkapkan bahwa bahasa bersifat arbitrer,
kontekstual, merupakan penunjuk identitas, dan menerima berbagai pengaruh budaya.
Hal-hal itulah yang menyebakan terjadinya bentuk-bentuk kreativitas dalam
berbahasa. Selain itu, kreativitas berbahasa dipengaruhi pula oleh unsur-unsur budaya
kapitalisme global serta keinginan menggunakan bahasa dengan segar, unik, menarik
sehingga menimbulkan efek atau perlokusi seperti pembagian tindak ujar. Secara
khusus, Hery Antono mengungkapkannya dalam bidang peribahasa dan pemendekan.
Tulisan kelima mengemukakan konsep-konsep teoretis analisis wawacana

yang disebut Analisis Wacana-Kritis (AWK) yang secara khusus ditujukan untuk
mengungkap ideologi (kapitalisme) di dalam maupun ―di luar‖ karya sastra. Tulisan
karya Ganjar Harimansyah berjudul ―Analisis Wacana-Kritis Karya Sastra:
Mengungkap Ideologi (Kapitalis) di Dalamnya dan Konteks Pembelajarannya‖ itu
merupakan sebuah implikasi praktis dari teori-teori linguistik. Sebuah karya sastra
dari sudut pandang AWK dianggap memiliki elemen ideologi tertentu yang
tersembunyi ketika elemen estetis dan sosiologis berpadu di dalamnya. Di dalam
konsep AWK, teks dilihat sebagai wacana yang tidak dapat melepaskan diri dari
konteksnya, baik berdasarkan aspek kebahasaan dalam struktur teks, proses
interpretasi atas pemroduksian teks dan pengonsumsian teks, maupun berdasarkan
praktik sosial-politik. Selain itu, di dalam AWK terdapat konsep metode sejarah
perjalanan (discourse-historical method) produksi teks. Dengan melihat aspek sejarah
tersebut dapat dikaji berbagai dimensi bahasa dan pemikiran si pembuat naskah. AWK
pun menempatkan analisis karya sastra bukan lagi sekadar menganalisis bahasa
pengarangnya, tetapi menganalisis sebuah ungkapan bahasa yang dipengaruhi oleh
ideologi dan struktur mental kelompok sosialnya.
Tulisan terakhir dalam Bagian Pertama ini merupakan sumbangan Bambang
Kaswanti Purwo. Tulisan yang diberi judul ―Puisi: Memperkosa Bahasa‖ itu
bermaksud menjawab pertanyaan, ―Bagaimana menyiapkan siswa untuk dapat
menikmati karya sastra?‖ Jika B. Rahmanto menjawabnya melalui bidang apresiasi

sastra, Bambang Kaswanti Purwo menawarkan sebuah alternatif lain, yaitu melalui
sudut pandang bahasa. Menurutnya, salah satu kelebihan penyair dibandingkan dengan
orang-orang lain adalah kepiawaian mereka dalam ―memperkosa bahasa‖. Justru
keterampilan memperkosa bahasa, yang merupakan salah satu kelebihan penyair,
dapat diterapkan baik pada penciptaan kata baru (dengan memanfaatkan potensi
morfologi bahasa Indonesia) dan penciptaan rangkaian kata baru (dengan
memanfaatkan potensi sintaksis bahasa Indonesia). Buah dari tindakan memperkosa
bahasa pada penulisan puisi justru merupakan salah satu keindahan di dalam puisi
untuk diapresiasi. Bambang Kaswanti Purwo menegaskan, bahwa bahasa tidak hanya
sebatas pada apa yang lazim dirujuk sebagai bahasa yang baik dan benar. Bahasa hasil
perkosaan para penyair dalam memilih kata, menata kata, dan menyusun larik demi
larik adalah bahasa yang mencoba keluar dari ―penjara tata bahasa‖, keluar dari
―penjara aturan main dalam berbahasa‖ agar mampu memasuki alam makna yang
bebas dan tak terbatas itu. Karena itu, anak-anak kita perlu didampingi dan
disemangati agar tidak sekadar mampu berbahasa yang baik dan benar. Mereka perlu
disadarkan, diberi kesempatan, dan dipacu untuk berpetualang dengan bahasa. Puisi
adalah salah satu lahan yang ideal untuk keperluan itu.

***
Bagian kedua buku ini mengemukakan sembilan tulisan mengenai Sastra.

Tulisan diawali dengan paparan Maman S. Mahayana berjudul Visi dan Misi
Kesusastraan Indonesia Abad XXI‖. Visi dan misi ini berkaitan dengan prospek
kesusastraan kita dan tugas yang diembannya dalam kehidupan bangsa ini di masa
mendatang. Pertanyaan kritisnya adalah: apakah sastra Indonesia kembali akan
terperangkap pada isu-isu kontemporer atau klise? Apakah persoalannya masih
berkutat pada gerakan komunitas sastra yang berskala lokal atau mulai memasuki
wilayah regional dan global? Masihkah persoalan tematik –eksploitasi tubuh—dan
klaim pusat—daerah makin menjadi wacana yang basi dan memuakkan yang
menunjukkan kesusastraan Indonesia berjalan di tempat atau mengalami lompatan
yang mengagumkan, sehingga dikenal luas oleh masyarakat dunia tidak sebatas pada
karya-karya Pramoedya Ananta Toer? Tidak sedikit keluh-kesah pesimistis
dilontarkan yang memasalahkan keterpencilan kesusastraan Indonesia; kurangnya
apresiasi para siswa terhadap khazanah sastra kita; gugatan terhadap mandulnya kritik
sastra; dan belakangan, mewabah-meriah-meruahnya semangat bersastra dalam
jejaring sosial macam milis, friendster , twitter , blogger , multiply dan teristimewa
facebook, meski kadangkala membuat kita menahan muntah. Lalu, bagaimana pula
kita menyikapinya? Perumusan visi dan misi sastra Indonesia memasuki abad ke-21
membutuhkan pra-pemahaman yang komprehensif mengenai lingkaran budaya
sastrawan, penerbit dan media massa sebagai lembaga yang melakukan reproduksi
karya sastra, pelajaran sastra di sekolah sebagai ujung tombak pembudayaan apresiasi

sastra bagi para siswa, dan kritik sastra sebagai salah satu sarana penyehatan dan
dinamisator kehidupan kesusastraan. Bagi Maman, memasuki abad ke-21, arus
globalisasi telah memutuskan sekat-sekat geografis dan menjadikan Indonesia sebuah
desa dunia. Dengan demikian, tuntutan intelektualitas bagi sastrawan Indonesia
mendatang merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Tulisan St. Sularto berjudul ―Memaknai Sastra di Era Kapitalisme‖ diawali
dengan mendeskripsikan ‗potret kacaunya kebudayaan,‘ yaitu tumpang-tindihnya
budaya tulisan dan lisan di tanah air. Sastra –dalam konteks humaniora-- diunggulkan
dalam mengembangkan kepekaan manusiawi. Sastra terjebak dalam dunia kapitalisme
sejak Johan Gutenberg berhasil menemukan mesin cetak (1450). Sejak saat itu, faktor
keuntungan finansial yang merupakan praktik kapitalisme menjadi primer dan faktor
humaniora di urutan yang kesekian. Menurut Sularto, fenomena sastra Indonesia saat
ini serba tanggung: tidak lagi dihasilkan karya sastra sebagai klangenan adi luhung,
tidak juga karya-karya yang tegas-tegas berorientasi bisnis. Yang terjadi bukan
keseimbangan win-win solution, dengan moralitas sebagai rujukan, melainkan semua
serba tanggung-kemampo, seiring bahkan jadi pupuk penyubur proses melapuknya
kehidupan bangsa dan negara secara keseluruhan. Akan tetapi, di era kapitalisme
modern ini posisi sastra terjerembab dalam kondisi sekadar sebagai klangenan pelipur
lara bahkan tempat pelarian kelelahan menghadapi derasnya arus perubahan. Di titik
lunturnya gradasi humaniora inilah tugas para pendidik sastra menjadi sangat berat:

bagaimana membangun keseimbangan antara peningkatan harkat-martabat
kemanusiaan yang dijiwai semangat asketis sastrawan negeri ini di satu pihak dengan
nafsu kapitalistis yang semakin mengakibatkan perbedaan antarkeduanya terlihat
semakin mencolok di pihak lain.
Tulisan Novita Dewi berjudul ―Arah Kajian Sastra: Ciptakan Dunia
Perempuan yang Lebih Baik‖ beranjak dari keprihatinannya yang amat besar terhadap

kuatnya tahta ideologi patriarki dalam kehidupan kita. Perempuan selalu saja
dipandang sebagai Sang Liyan yang tidak sama dengan laki-laki dari segi rasionalitas,
kekuatan fisik, minat, kebutuhan aktualisasi diri, dan lain-lain, dengan perbandingan
laki-laki ―lebih‖ sedangkan perempuan ―kurang‖ atau bahkan ―tidak punya‖. Novita
mengajukan sebuah solusi, bagaimana penelitian sastra dapat berperan sebagai kontrol
sosial terhadap dominasi ideologi patriarki, yang tanpa disadari maupun terangterangan hadir dalam keseharian kita lewat berbagai wacana, dari iklan, media
informasi dan hiburan, sampai ke kebijakan publik. Penelian sastra, demikian harapan
Novita Dewi, mampu menyemai kesadaran atas kesetaraan antar umat manusia
sehingga pada akhirnya memiliki kontribusi dalam menciptakan dunia perempuan
yang lebih baik.
Tulisan berjudul ―Sastra Beranak Putra dan Tantangan Kapitalisme Modern
oleh Riris K. Toha-Sarumpaet pada prinsipnya senada dengan tulisan Novita Dewi,
mempersoalkan hegemoni patriarkhi dalam karya sastra. Dalam dunia kapitalisme di
mana masyarakat kita sudah menjadi sangat materialistic, hedonistik, dan bahkan
masuk dalam faset ―possessive individualism,‖ posisi perempuan tidak beranjak
menjadi lebih baik. Masyarakat adat dalam berbagai kebudayaan di Indonesia –dalam
kajian ini masyarakat Lampung dan Batak—mengidealkan anak laki-laki dan
menyepelekan kehadiran anak perempuan.
Dari kaca mata feminis, dengan
meletakkannya dalam ranah kapitalisme modern kini, yang merajakan produktivitas,
Riris secara tegas mengungkapkan bahwa kejadian beranak hingga 15 itu menggelikan
sekaligus membuat marah. Dia menggugat: di manakah kebebasan dan hasrat egaliter
dalam adat yang membedakan laki-laki dari perempuan? Bagaimana misalnya
perempuan diperlakukan sebagai pabrik anak, seolah tidak bernyawa dan tidak
berperasaan. Perempuan juga menerima dan melaksanakan tanpa tanya tugas
domestiknya. Dia sendirian melakukannya, ―bertarung nyawa,‖ katanya, cemaskan
laku serong suaminya yang berhak mencari penggantinya, termasuk menanggung malu
dicemooh orang karena tidak bisa melahirkan anak laki-laki. Dalam kedua kisah ini
kita temukan anak –walau dinanti dan didambakan-- hanya dihargai dan diperlakukan
sebagai obyek, investasi yang harus diperjuangkan secara ―adat‖ –yang satu
diperlukan sebagai penjaga limas sedang yang lainnya ―sebagai penjaga kehormatan
dan menjadi raja bagi saudara perempuannya‖-- yang di satu sisi sesungguhnya
menunjukkan kecondongan masyarakatnya sejak sediakala pada kapitalisme modern,
dunia pasar dan kehidupan dagang yang mencari untung itu.
Tulisan berjudul ―Dari Marxis ke Komunis Sampai Lekra: Pemikiran Kritis‖
yang ditulis oleh J. Praptadiharja, SJ. bertujuan merunut asal-usul ideologi, paham,
dan pandangan-pandangan filsafat yang mempengaruhi Marx, Partai Komunis, PKI,
serta Lekra. Dari ideologi-ideologi dan paham-paham itulah Lekra yang merupakan
anak partai PKI membangun konsepnya tentang sastra. Lekra di Indonesia memiliki
konsep yang tidak jauh dari Partai Komunis itu sendiri. Bagi mereka, partai adalah
segalanya. Segala gerak harus diarahkan ke sana sehingga muncul slogan, "Politik
adalah panglima". Panglima dalam memimpin sebuah revolusi menuju ke dunia tanpa
kelas. Semua bidang maupun sektor kebudayaan lainnya, harus tunduk kepada
politik: revolusi. Revolusi untuk mencapai kekuasaan proletariat dilakukan
lewat organisasi Partai.
Semboyan "Seni untuk Revolusi", dan "Seni
untuk Rakyat"merupakan propaganda bagi Lekra. Maka seni, sastra, filsafat
merupakan alat indoktrinasi Partai Komunis. Dari kajian kritisnya, Praptadiharja
menyimpulkan bahwa prinsip penciptaan sastra Lekra bertentangan dengan hakikat
sastra dan penciptaan itu sendiri. Sastra sebagai unsur kebudayaan, memberikan

hidup yang lebih mulia kepada manusia. Mengangkat dunia dan martabat manusia
dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai yang paling tinggi, indah, agung dan benar.
Mencipta, sebagai manifestasi dari martabat manusia harus dilakukan secara bebas.
Sastra harus bebas mengorek kehidupan itu sendiri. Bisa menembus kebenaran hakiki
manusia. Sastra harus bebas. Bebas dari politik. Bebas dari segala kepentingan.
Tanggung jawab sastra adalah untuk memperkembangkan martabat manusia,
menjadikan manusia lebih menusiawi.
Tulisan berjudul ―Kritik Sastra Marxis dan Jebakan Kapitalisme di Indonesia‖
oleh Yoseph Yapi Taum muncul dari kegelisahannya akan terpinggirkannya kritik
sastra Marxis dari dunia kritik sastra di Indonesia. Padahal kritik sastra Marxis
memiliki pengaruh akademis yang sangat signifikan sebagai alat analisis sosial yang
mampu menjawab teka-teki sejarah. Dunia kritik sastra di Indonesia didominasi
hampir secara mutlak oleh kritik dan penapisan struktural sehingga tidak ada
kontribusinya yang relevan dengan persoalan alienasi dan degradasi harkat dan
martabat manusia Indonesia yang tergerus arus kapitalisme global. Selain mengungkap
sebab-sebab lemahnya kritik sastra Marxis di Indonesia serta konsep dasar sistem
kapitalisme, tulisan ini mengemukakan beberapa isu strategis yang perlu diperhatikan
dalam melakukan kajian teks-teks sastra dengan pendekatan kritik sastra Marxis.
Tulisan berjudul ―Representasi Perempuan dan Kapitalisme dalam Drama
Nyonya-Nyonya Karya Wisran Hadi‖ ditulis oleh S. E. Peni Adji. Drama NyonyaNyonya menarik penulis untuk mengkajinya dengan pendekatan kritik feminis
sosialis/Marxis. Secara mengejutkan, Peni Adji mengungkap begitu kuatnya dominasi
dan perangkap sistem kapitalisme dan patriarkhi terhadap perempuan. Bahkan di ranah
Minang –yang konon lebih menomor-satukan perempuan—perempuan sesungguhnya
tidak berkutik menghadapi pongahnya kedua sistem yang membelenggu itu:
kapitalisme dan dominasi patriarkhi. Peni Adji bahkan menyebut bahwa dominasi dan
lilitan kedua sistem tersebut bersifat total memasuki semua ranah publik maupun
domestik wanita, bahkan sampai menyentuh wilayah tubuh, wilayah yang sebenarnya
merupakan privasi perempuan. Harkat dan martabat manusia (baca: perempuan) pun
menjadi sekadar komoditas dapat ditawar-tawar. Perempuan menjadi lebih tak berdaya
lagi karena kedua sistem itu menggunakan cara-cara opresif. Peni Adji menyimpulkan,
bahwa meskipun latar budaya drama ini adalah budaya Minangkabau yang hubungan
kekerabatannya bersifat matrilineal, permasalahan di luar kekerabatan tetaplah
patrilineal. Dalam struktur ekonomi di Minangkabau, kekuatan kapitalisme
menyebabkan laki-laki mengopresi dan mengeksploitasi perempuan.
Tulisan, ―Memaknai Perempuan Bercahaya Karya Rina Ratih Sri Sudaryani‖
yang ditulis oleh Sugihastuti merupakan sebuah praktik kritik sastra dengan
pendekatan semiotik Larsen dan feminist practice. Keenam cerpen bermasalah pada
seputar lelaki berstatus suami yang beristri, berpacar gelap, dan/atau berselingkuh.
Melalui dua pendekatan tersebut, Sugihastuti membagi tokoh-tokoh dalam kumpulan
cerpen Perempuan Bercahaya atas dua, yaitu kelompok ‖perempuan pertama‖ dan
kelompok ―perempuan kedua‖. Perempuan pertama adalah perempuan yang menjadi
istri pertama, sedangkan kelompok perempuan kedua adalah perempuan yang menjadi
istri kedua, istri simpanan, kekasih gelap, ataupun perempuan selingkuhan. Kelompok
―perempuan pertama‖ tentu saja merupakan kelompok yang ideal, sedangkan
kelompok perempuan kedua dipandang sebagai kelompok perempuan yang bodoh dan
konyol. Mereka ini dinilai bodoh dan konyol karena bersedia dinikahi oleh lelaki yang
sudah beristri, bahkan dapat dikategorikan sebagai perempuan yang ‗agak gila‘ atau
‗kurang akal‘. Dari sudut pandang feminis, karya ini merupakan ekspresi dari

pengalaman pengarang yang telah terbentuk secara gender. Karya ini termaknai bahwa
kerumahtanggaan dan hubungan pribadi laki-laki—perempuan menjadi tema karya
pengarang perempuan, Rina Ratih. Lebih sering muncul makna hubungan seksual dan
hubungan keluarga daripada bidang-bidang lain di sektor publik. Hal ini termaknai
wajar dalam konteksnya dengan pendapat bahwa teks PB ini juga dapat dimaknai
sebagai efek dari cara langsung, yang laki-laki itu memegang kekuasaan terhadap
perempuan dalam hubungan keluarga dan seksual.
Tulisan terakhir dalam Bagian Kedua ini merupakan sebuah sumbangan yang
sangat berharga dari seorang pakar sekaligus praktisi penyuntingan naskah senior yang
terkenal di tanah air. Tulisan berjudul ―Menyunting Naskah Sastra‖ yang
disumbangkan oleh Pamusuk Eneste. Menyunting naskah sastra adalah sebuah
persoalan yang tidak ringan mengingat sastrawan memiliki tameng ampuh bernama
licentia poetica yang tidak bisa diganggu gugat oleh seorang editor sekalipun. Akan
tetapi, berdasarkan pengalamannya sebagai penyunting naskah/editor sastra di
Kelompok Kompas Gramedia (Gramedia/Grasindo), Pamusuk mengungkapkan bahwa
seorang editor sastra memang menjadi penjaga gawang sebelum naskah pengarang
dicetak menjadi buku. Penyunting naskah sastra boleh meluruskan kata-kata yang
salah kaprah (merubah, dipungkiri, frustasi, dan berpetualang) dan kata salah eja
(disini, di cium, sayapun) yang tercantum dalam naskah. Penyunting naskah/editor
sastra pun boleh menyunting kalimat yang (1) ambigu, (2) membingungkan, atau (3)
tidak jelas maksudnya. Bahkan penyunting pun dapat meluruskan fakta-fakta
geografis, fakta sejarah, nama diri, fakta ilmiah, dan angka statistik/nonstatistik.
***

Bagian Ketiga dari buku ini berisi tujuh buah tulisan yang mengangkat
persoalan budaya dalam jebakan kapitalisme. Tulisan pertama berjudul ―Kearifan Lokal

dan Kapitalisme Moderen dalam Tegangan‖ ditulis oleh Fransisca Tjandrasih Adji. Melalui
berbagai fenomena yang ada, Tjandrasih Adji mengungkapkan kenyataan semakin
termarginalkannya kearifan-kearifan lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat daerah-

daerah di Indonesia. Akibatnya, terjadi pula apa yang disebutnya sebagai lunturnya
spiritual heritage yang telah diwariskan oleh para leluhur, bergesernya nilai-nilai
paguyuban (pedesaan) ke arah patembayan (perkotaan bahkan metropolitan),
industrialisasi mengarah ke budaya pasar dan bukan ke budaya humanitas, menipisnya
budaya agraris dan tradisional, memudarnya nilai-nilai pendidikan masyarakat dan
nilai-nilai keteladanan, berkurangnya kepekaan akan makna simbolis dan nilai
filosofis, dan munculnya gelombang penyeragaman budaya global yang sangat kuat.
Sistem kapitalisme modern memang menawarkan peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan hidup, tetapi di sisi lain, terjadi pula penjajahan terhadap budaya lokal
yang mengakibatkan terjadinya erosi kearifan lokal.
Jalan keluar yang ditawarkan Tjandrasih Adji menghadapi ketidakberdayaan
kearifan lokal dan kuatnya arus kapitalisme modern adalah: agakr masyarakat kita
bersikap dan berperilaku mengutamakan keseimbangan hubungan manusia dengan
alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Sang Pencipta. Revitalisasi
budaya yang mencerminkan kearifan lokal pun perlu dilakukan. Realisasi revitalisasi
ini memerlukan sinergi dari berbagai pihak antara lain pemerintah daerah, lembagalembaga pendidikan, para paraktisi budaya, para pakar budaya, masyarakat pemilik
kebudayaan.
Tulisan kedua dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono. Sapardi mengangkat
topik yang sangat familiar dalam budaya Jawa, tentang ksatria dan punakawan.
Dengan judul berbentuk pertanyaan, ―Mengapa Ksatria Memerlukan Panakawan?‖

Sapardi memberikan beberapa alternatif jawaban, mengapa seorang ksatria perkasa
yang sebenarnya tidak memerlukan bantuan siapapun selalu memerlukan sejumlah
punakawan. Arjuna India misalnya, tidak punya panakawan, tetapi Arjuna Jawa
‗dituntun‘ oleh batur- nya. Dan batur atau abdi atau panakawan itulah justru yang
menjadi hakikat wayang Jawa, yang dalam perkembangannya telah dimanfaatkan oleh
berbagai agama dan kepercayaan sebagai wahana untuk menegaskan hubunganhubungan antara yang di Sana dan yang di sini, yang dengan sendirinya berkaitan
dengan masalah hegemoni. Semar adalah abdi yang merangkap pengatur tatanan
hidup. Dalam kedudukan seperti itulah sebenarnya Semar adalah juga mata-mata yang
dikirim oleh dunia Sana, mata-mata Kekuasaan. Tokoh itu diciptakan agar kita,
masyarakat, tidak berbuat keliru, tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh
pemilik hegemoni. Konsep tersebut menunjukkan bahwa ‗rakyat jelata‘ masih
memiliki tempat yang sangat terhormat dalam kehidupan karena tidak hanya mampu
menjelaskan masalah pelik dengan bahasa ‗rakyat‘ (seperti juga yang terbaca dalam
dialog clowns ciptaan Shakespeare) tetapi, dan lebih-lebih lagi, karena para
panakawan itu bisa lebih arif dari ksatria, kaum yang diasuhnya. Ksaria harus diasuh
oleh rakyat kecil agar berhasil menegakkan kebenaran dan menciptakan kesejahteraan:
gagasan ini muncul antara lain karena seni pertunjukan seperti wayang pada dasarnya
adalah milik rakyat banyak, meskipun kaum inteletual juga merasa memilikinya.
Tulisan berikutnya berjudul ―Travel and Writing: Pers dan Sastra Eksil‖
merupakan sumbangan Hersri Setiawan. Dengan dalil bahwa sastra adalah sebuah
travelling: sebuah kisah perjalanan hidup seseorang, sekelompok orang, atau sebuah
bangsa pada tempat dan saat tertentu, Hersri mengupas sejarah dan kedudukan sastra
eksil. Ketika di tahun 1965 terjadi pembalikan drastis kondisi kehidupan politik di
Indonesia, ribuan warga negara Indonesia yang progresif yang berada di luar negeri
tidak dapat kembali ke tanah air. Di antara mereka itu terdapat sastrawan, wartawan
dan seniman lainnya, yang berjumlah tak kurang dari 20 orang dan dalam umur
sekarang (2011) rata-rata berusia 60-an tahun. Sebagai kelompok eksil, mereka
menerbitkan berbagai karya. Sastra eksil tentu saja tidak menjadi bagian dari ‗sastra
resmi‘ atau ‗sastra baku‘. Sastra jenis ini bahkan dianggap rendah mutunya dan
keberadaannya pun diingkari oleh para penguasa resmi.
Bagi Hersri, ada dua
persoalan yang dihadapi sastra eksil. Persoalan pertama yang dihadapi sastra eksil
adalah tidak adanya apresiasi yang layak. Bahkan hanya untuk mencari pembaca di
Indonesia pun, sastra eksil menghadapi kendala yang besar, semestara pembacanya di
luar negeri jumlahnya tak lebih dari 140 orang, itu pun yang mempunyai minat sastra
hanya 5%. Persoalan kedua adalah mutunya sebagai karya sastra. Mutu perlawanannya
secara politis akan menjadi hambar belaka jika tidak didukung oleh mutu
kesusastraannya. Dikaitkan dengan persoalan pertama di atas, Hersri berpendapat
bahwa mutu sastra eksil tidak meningkat menjadi lebih baik selama daerah pembaca
mereka pun sangat terbatas. Akibatnya, dua nada utama dalam karya-karya ‗eksil luar
negeri‘ menjadi tak terhindarkan: perlawanan dan penderitaan sekaligus, yang
terkadang terucapkan dalam kerinduan.
Tulisan keempat, seperti terlihat dalam judulnya ―Pendidikan Karakter Bangsa
Berbasis Sastra‖ yang ditulis oleh Jabrohim, mengangkat persoalan pendidikan
karakter yang menjadi salah satu persoalan penting bangsa Indonesia. Pentingnya
persoalan pendidikan karakter ini telah diatur pula di dalam UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena dianggap sebagai kunci sukses dalam
mebangn peradaban bangsa Indonesia. Jabrohim mengungkapkan bahwa pendidikan
karakter bangsa dapat dilaksanakan melalui sastra. Sebagai ilustrasi, Jabrohim

mengacu pada model pendidikan karakter melalui sastra yang dilakukan bangsa Rusia.
Pemerintah Rusia mewajibkan semua anak sekolah menbaca buku Antara Perang dan
Damai karya Leo Tolstoy. Meskipun buku itu sangat tebal, tetapi karena ditulis
dengan bahasa yang memukau maka anak-anak Rusia pun suka membaca buku ini.
Apa yang kemudian terjadi? Semua anak Rusia yang membaca buku itu bangga
menjadi anak Rusia. Mereka bangga dan percaya diri menjadi bagian dari bangsa
Rusia. Watak sebagai bangsa Rusia yang kokoh dan teguh dalam mengatasi masalah
mereka miliki setelah proses membaca buku ini selesai. Jabrohim kemudian memilih
delapan buah puisi yang dapat dipergunakan untuk menggelorakan semangat
perjuangan dan cinta tanah air terhadap generasi muda bangsa Indonesia.
Tulisan kelima merupakan sumbangan Sri Widati berjudul ―Migrasi, Adaptasi,
dan Motivasi dalam Perkembangan Sastra Jawa Modern.‖ Sastra Jawa telah
mengalami migrasi, yaitu perjalananan dan persebaran sastra ke dalam (migrasi
internal) dan keluar (migrasi eksternal) yang tak pernah berhenti dari dulu sampai
sekarang karena motivasi bermigrasi berubah-ubah mengikuti kondisi politik, dan
ekonomi Negara. Saat ini, banyak sekali mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di
luar negeri, yang memiliki Jurusan Bahasa Jawa datang untuk melanjutkan studi, atau
mencari data penelitian. Melalui kehadiran mereka di Indonesia, khususnya di wilayah
pemakai bahasa Jawa, kegiatan alih budaya akan terus berlangsung, bahkan secara
resiprokal, karena hal semacam itu juga dilakukan Pemerintah Indonesia. Migrasi
budaya, khususnya sastra Jawa tiba saat hubungan resiprokal harus dilakukan agar
hakikat sastra Jawa sebagai media seni dan pendidikan di daerah dapat berkembang
dan dikenali masyarakat luas. Banyak cara dilakukan dalam sastra Indonesia, dan
sastra Jawa mengikuti perkembangan tersebut dengan tetap menunjukkan diri sebagai
sastra etnis. Menurut Widati, dalam iklim ekonomi dan politik yang semakin
mengglobal ini, sastra daerah, termasuk sastra Jawa memerlukan pengayom atau
maesenas, seperti Yayasan ―Rancage‖ dan lain-lainnya, untuk melindungi dan
mendorong sastra berbahasa daerah berkembang.
Tulisan keenam berjudul ―Membaca Identitas Melalui Seni Pertunjukan:
Komodifikasi dan Politik Kebudayaan‖ yang ditulis oleh Novi Anoegrajekti secara
khusus membahas kontestasi antara tiga kekuatan (pasar, birokrasi, dan agama) yang
menghimpit kesenian tradisional komunitas Using di Banyuwangi. Kesenian
komunitas Using di Banyuwangi menghadapi ketiga agen kekuatan itu secara intens,
sementara dia juga harus bertahan atas dasar tata nilai lokalnya. Komunitas Using di
Banyuwangi dikenal sangat kuat mengapresiasi kesenian, bahkan lebih dibandingkan
dengan kelompok-kelompok etnik lain di Banyuwangi. Hampir semua kesenian di
daerah itu diproduksi dan diapresiasi oleh komunitas Using. Jika disebut kesenian
Banyuwangi hampir pasti yang dimaksud adalah kesenian yang diapresiasi oleh
komunitas Using. Tulisan Novi Anoegrajekti membahas pertarungan antaragen
kekuatan terhadap gandrung dalam kerangka memperebutkan representasi identitas
Using. Uraiannya diawali dengan menelaah siapa wong Using, hubungan antara
gandrung dengan komunitas Using, dan deskripsi mengenai pertunjukan gandrung.
Ada dua kategori kontestasi. Pertama , pertarungan dalam menentukan teks
pertunjukan yang menyangkut struktur pertunjukan. Kedua , pertarungan
memperebutkan makna representasi identitas Using yang berpengaruh pada penentuan
teks pertunjukan. Melalui kajian yang cermat, Novi menyimpulkan bahwa perubahan
sosial masyarakat Banyuwangi seperti pertumbuhan dan mobilitas penduduk,
modernisasi (kapitalisasi) pedesaan, meluasnya budaya pop, dan kehidupan politik
memainkan peran penting dalam melahirkan dua hal yang saling berkaitan. Pertama,

komunitas Using dan masyarakat Banyuwangi pada umumnya secara perlahan
meninggalkan hampir semua yang pernah terbentuk (makna, nilai, norma, pemikiran,
bahkan struktur) di masa lalu yang berkaitan dengan gandrung dan menangkap atau
merumuskan yang baru. Kedua, akibat dari itu, semakin dapat dipastikan bahwa
gandrung terhegemoni oleh pasar, menjadi murni hiburan yang komersial. Kenyataan
yang terakhir ini dapat disaksikan dalam semua pertunjukan gandrung sekarang.
Tulisan terakhir berjudul ‖Pembinaan (Calon) Penonton Wayang‖ yang ditulis
oleh Sudartomo Macaryus. Tulisan ini dipicu oleh keprihatinan penulis terhadap
adanya gap antara pembelajar dengan lingkungannya. Penulis mencoba menawarkan
sebuab model pendidikan yang dapat mendekatkan pembelajar dengan lingkungannya.
Dalam makalah ini dibahas bagaimana memperkenalkan wayang dan
mengintegrasikannya dalam pembelajaran bahasa Jawa dan seni yang lain serta
kegiatan yang ada di masyarakat. Menurut Sudartomo, membangun publik penonton
dapat dilakukan dengan memanfaatkan lembaga pendidikan, sanggar seni, dan aneka
paguyuban kemasyarakatan, seperti kelompok karawitan, panembromo, macapat, dan
sebagainya. Rancangan di atas memiliki kemungkinan direalisasi melalui dua langkah
berikut. Pertama, wayang kulit untuk TK dan SD mengasumsi penontonnya adalah
anak seusia TK dan SD. Penonton akan lebih terkesan jika dilibatkan dalam
pertunjukan seperti membawakan tembang anak-anak, pembacaan gurit, atau yang
lain. Oleh karena itu, sebagian siswa TK dan SD memiliki kemungkinan dilibatkan
dalam pertunjukan wayang tersebut. Kedua, dalang yang hidup di tengah masyarakat
berpeluang memanfaatkan fasilitas yang dimiliki (keterampilan, ruang, gamelan,
wayang) untuk membina kegiatan seni di lingkungannya. Jika sekolah
mengembangkan karawitan atau wayang sebagai salah satu kegiatan ekstra kurikuler
sebaiknya disertai dengan target pentas. Target pentas dapat dikaitkan dengan
peringatan hari-hari nasional, hari sekolah, hari keagamaan, atau yang lain. Selain itu,
target pentas juga dapat dilaksanakan dengan menjalin kerja sama dengan rumahmakan, hotel, taman hiburan, pemerintah/masyarakat setempat, atau yang lain.
***
Puji dan syukur patut dipanjatkan ke haribaan Tuhan Yang Maha Kasih atas
bimbingan dan berkat-Nya sehingga buku ini dapat diterbitkan dengan baik. Tim
editor mengucapkan terima kasih kepada semua penulis atas sumbangan tulisan yang
telah dimuat dalam buku bunga rampai ini. Ucapkan terima kasih juga disampaikan
kepada Kepala Penerbitan Universitas Sanata Dharma yang dengan sabar dan setia
menanti dan mengikuti proses penerbitan buku ini.
Bahasa, sastra, dan budaya Indonesia telah lama terjebak dalam sistem
kapitalisme. Buku ini telah ikut mencoba merunut, memaknai, mencari alternatif agar
jebakan kapitalisme itu tidak sampai menciptakan disparitas, alienasi, dan degradasi
nilai manusia menjadi sekadar komoditas. Itulah sumbangan humaniora bagi bangsa
Indonesia. Demikian sajian buku berjudul Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia
dalam Jebakan Kapitalisme.Semoga bermanfaat.

Yogyakarta, 1 Juni 2011
Tim Editor

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSEMBAHAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAGIAN I BAHASA
1.1 Bahasa Indonesia di Tengah Kapitalisme (Pos/Hiper) Modern: Masih Adakah
―Keajaban Ketiga‖? P. Ari Subagyo
1.2 Linguistik Itu Ilmu Yang Paling Indah I Dewa Putu Wijana
1.3 Metode Menjelaskan: Penerapan Logika, Semantik, dan Retorika I. Praptomo
Baryadi
1.4 Kreativitas dalam Peribahasa dan Pemendekan Hery Antono
1.5 Analisis Wacana-Kritis Karya Sastra: Mengungkap Ideologi (Kapitalis) di
Dalamnya dan Konteks Pembelajarannya Ganjar Harimansyah
1.6 Puisi: Memperkosa Bahasa Bambang Kaswanti Purwo
BAGIAN II SASTRA
2.1 Visi dan Misi Kesusastraan Indonesia Abad XXI Maman S. Mahayana
2.2 Memaknai Sastra di Era Kapitalisme St. Sularto
2.3 Arah Kajian Sastra: Ciptakan Dunia Perempuan yang Lebih Baik Novita Dewi
2.4 Sastra Beranak Putra dan Tantangan Kapitalisme Modern Riris K. TohaSarumpaet
2.5 Dari Marxis ke Komunis Sampai Lekra: Pemikiran Kritis J. Prapta Diharja, SJ
2.6 Kritik Sastra Marxis dan Jebakan Kapitalisme di Indonesia Yoseph Yapi Taum
2.7 Representasi Perempuan dan Kapitalisme dalam Drama Nyonya-Nyonya Karya
Wisran Hadi S. E. Peni Adji
2.8 Memaknai Perempuan Bercahaya Karya Rina Ratih Sri Sudaryani Sugihastuti
2.9 Menyunting Naskah Sastra Pamusuk Eneste

BAGIAN III BUDAYA
3.1 Kearifan Lokal dan Kapitalisme Moderen dalam Tegangan Fransisca
Tjandrasih Adji
3.2 Mengapa Ksatria Memerlukan Panakawan? Sapardi Djoko Damono
3.3 Travel and Writing: Pers dan Sastra Eksil Hersri Setiawan
3.4 Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Sastra Jabrohim
3.5 Migrasi, Adaptasi, dan Motivasi dalam Perkembangan Sastra Jawa Modern
Sri Widati
3.6 Membaca Identitas Melalui Seni Pertunjukan: Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan Novi Anoegrajekti
3.7 Pembinaan (Calon) Penonton Wayang Sudartomo Macaryus
TENTANG B. RAHMANTO: “SANG RAJAWALI YANG TERBANG TINGGI”
BIOGRAFI PENULIS DAN EDITOR

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24