Contoh cerpen bahasa Indonesia. Karya Wi

TERPENDAM
“PING!!!” Seseorang mengirim pesan melalui BBM. Kulihat nama pengirim pesan
tersebut dan terlihat nama pengirim pesan itu ialah Deana Nugraha. Kubalas pesan singkat itu.
“Ada apa De?” Seperti itu kubalas. Sesaat kemudian smartphoneku berbunyi lagi. Deana lagi.
“Lagi apa?” Balas dia. “Aku lagi ngerjain PR matematika nih. Kamu?” Begitu kubalas. “Aku
lagi tiduran aja soalnya besok ga ada PR,” balasnya. “Wah, enak dong,” singkat kubalas. “Besok
ketemu depan kelas yuk!” balasnya. “Mau apa?” jawabku. “Apa aja dong, kepo ah,” balasnya.
“Yaudah deh, sampai ketemu besok yah,” jawabku. “Iya, aku tidur duluan yah cape nih baru
pulang futsal,” jawabnya. “Iya, night De!” jawabku. “Night juga, jangan tidur kemaleman yah!”
balasnya.
Percakapan singkat lewat BBM. Itulah yang selalu kami lakukan setiap malam. Tak
pernah terlewat meskipun lelah dan kantuk melanda, kami selalu menyempatkan diri untuk
saling berkirim pesan. Kami tidak punya hubungan apapun, hanya sebatas teman. Hanya saja
dulu kami pernah mengukir kenangan indah bersama, waktu kelas X dan bukan pula kenangan
indah sebagai pacar.
Kami sama – sama single, tapi kami tak pernah membuat kesepakatan untuk berpacaran.
Sebenarnya, aku tidak suka seperti ini. Mesra, tapi bukan pacar.Deana sayang padaku, aku
sayang pada Deana, tapi kami masih saja menganggap hubungan ini sebagai teman.
“PING!!!” kulihat smartphoneku dan kulihat Deana mengirim pesan BBM.
“Dimana?”
“Aku di kelas, kamu dimana?”

“Aku depan kelas kamu nih,”
“Oh iya, aku kesana.”
Kami bertemu di depan kelas dan duduk berdua di bawah pohon rindang.
“Ada apa? Tumben nyamperin,” kataku.

“Hehe, tau aja aku ada perlu sama kamu. Aku mau minta jawaban remedial matematika
nih. Aku gak sempet ngerjain soalnya aku lagi sibuk futsal,” dia berkata sambil tersenyum kecil.
“Yaudah nih!”
“Hehe, makasih yah.”
Ini yang aku benci. Dia selalu datang ketika dia membutuhkan sesuatu dariku. Tapi,
meskipun begitu, aku tak sampai bisa marah padanya. Senyumnya dengan mata yang sipit,
membuat aku kehilangan rasa untuk marah. Aku menyayanginya.
“Eh Rai, kamu pacaran yah sama si Deana itu?” temanku Siska bertanya soal kedekatan
aku dengan Deana.
“Nggak, emang kenapa?” jawabku.
“Ah masa, keliatannya Deana suka tuh sama kamu. Kemaren dia ngeBM aku, katanya dia
lagi nyari cewek,” jawabnya.
“Ah masa? Dari dulu kan aku sama Deana udah deket,”jawabku.
“Iya beneran eh, masa kamu gak percaya sama aku,” jawab Siska.
“Terus, kamu jawab apa?” tanyaku.

“Ya aku suruh Deana pacaran sama kamu aja,” jawab Siska.
“Terus, dia bilang apa?” tanyaku lagi.
“Tapi kata dia, dia gak enak sama Dimas. Dimas kan mantan kamu, Dimas juga temennya
Deana juga,” jawabnya.
“Oh gitu,” jawabku.
Hah... padahal kan gak apa – apa. Lagi pula aku sudah putus dengan Dimas. Kenapa
Deana masih ragu juga buat nembak aku? Pikirku dalam hati.
Malam itu, Deana mengirim pesan lagi lewat BBM.

“Boleh nelpon gak?” kata dia.
“Boleh,” jawabku.
Sesaat kemudian Deana menelponku. Hatiku berdebar kencang saat melihat nama Deana
tertera di smartphoneku.
Kami pun bertelpon hingga larut malam.
Malam esoknya, Deana mengirim pesan lagi lewat BBM.
“Jangan dulu tidur yah! Aku mau nelpon kamu. Aku lagi di jalan nih baru pulang futsal.”
“Iya,” jawabku singkat.
Kutunggu telpon dari Deana hingga larut malam. Kupaksa mataku untuk tetap terbuka
walau rasa kantuk melanda. Tapi telpon itu tak kunjung datang. Aku pun memutuskan tidur
dengan perasaan yang sangat sedih.

Pagi hari aku bangun. Kulihat layar smartphoneku. Tak ada BBM, tak ada juga panggilan
tak terjawab. Tak terasa, air mata mengalir dari mataku.
Ah...mengapa aku harus menangis? Mengapa aku harus bersedih? Mungkin saja Deana
lupa atau mungkin saja Deana terlalu kelelahan hingga tak sempat untuk menelpon.
Ah...sudahlah. Di sekolah nanti juga ketemu lagi. Pikirku dalam hati.
Kucari – cari sosok Deana di sekolah. Tak kutemukan. Setelah kucari tahu, ternyata
Deana tidak masuk sekolah hari ini. Aku pun memutuskan untuk mengirim pesan lewat BBM.
“Kamu gak sekolah De?”
“Nggak Rai,” jawabnya singkat.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku sakit, kecapean abis futsal semalem,” jawabnya.
“Oh iya, GWS yah,” jawabku.

Dia sama sekali tak membahas kelupaannya untuk menelponku semalam. Tak terasa, air
mataku mengalir lagi sedikit demi sedikit. Segera kuusap sebelum orang lain mengetahuinya.
Deana kenapa yah? Kok dia jadi gitu? Beribu tanya dalam hatiku tak terjawab. Beribu
kemungkinan pun muncul dalam hati.
“Hai Rai, ngelamun aja,” Siska membangunganku dari lamunan tentang Deana.
“Ah kamu, bikin orang kaget aja,” jawabku.
“Hahaha, ngelamunin Deana yah?” katanya.

“Sssst, jangan keras – keras ngomongnya,” jawabku.
“Hahaha ketahuan sekarang, ternyata kamu suka yah sama Deana?” tanya Siska.
Aku hanya terdiam dan tak bisa menjawab.
“Udah lah Rai, tunggu aja. Dia pasti nembak kamu kok. Cuma tinggal tunggu waktu aja,”
kata Siska.
“Ah sok tahu kamu,” jawabku.
“Eh beneran, Deana sendiri yang bilang sama aku,” jawab Siska.
Hmmm...kalau yang dibicarakan Siska itu benar, pasti aku seneng banget nih. Baiklah,
aku akan nunggu Deana untuk menyatakan cintanya padaku.
Lama kutunggu. Kami masih melakukan kebiasaan kami untuk saling berkirim pesan
lewat BBM seperti biasa. Tapi, Deana tak kunjung menyatakan rasa cintanya padaku. Aku mulai
bosan, dan mulai berpikir kalau Deana memang tidak mau berpacaran denganku. Akhirnya,
kuputuskan untuk berpacaran lagi dengan Dimas, mantan pacarku yang sudah lama meminta
jadian lagi.
Setelah Deana tahu aku berpacaran dengan Dimas, hubunganku dengan Deana sudah
lama merenggang. Kami sudah jarang bertelrpon, jarang berkirim pesan dan jarang sekali
bertemu.

Satu bulan aku menjalin hubungan dengan Dimas, beredar kabar kalau Deana berpacaran
dengan Noni, mantan pacar teman Deana, Willy.

Ketika pertama aku dengar kabar tersebut, aku marah pada diriku, marah pada Deana.
Tapi apa daya, aku bukan siapa – siapanya Deana. Harusnya aku senang, ‘teman’ku kini sudah
mendapatkan pacarnya. Tapi...mengapa bukan aku? Mengapa Deana tidak menjadikan aku
sebagai pacarnya? Aku menangis sejadi – jadinya.
Dulu, waktu Siska menyuruhmu pacaran denganku, alasanmu tidak enak dengan Dimas,
yang katanya temanmu. Tapi, kenapa sekarang kamu bisa pacaran dengan Noni? Mantan
sahabatmu, Willy. Ingatkah kamu saat aku membantumu dalam setiap pelajaran yang kamu tidak
bisa? Ingatkah kamu saat kamu hampir tidak naik kelas karena kamu terlalu sibuk dengan futsal?
Ingatkah kamu saat aku menunggumu pulang dan menunggu telepon darimu hingga larut
malam? Ah...peduli apa kamu padaku. Bahagialah dengannya De, walaupun aku tak rela melihat
kamu bahagia dengannya.