Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemasungan terhadap Penderita Skizofrenia di Kota Binjai tahun 2014

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tujuan Nasional Bangsa Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang 1945 salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas maka diselenggarakan program pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu secara optimal untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia termasuk di bidang kesehatan.

Di Indonesia Kesehatan Jiwa masih belum menjadi agenda prioritas. Hal ini terlihat dari masih rendahnya investasi pemerintah dibidang kesehatan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan jiwa dan pemberdayaan masyarakat belum adekuat. Padahal adanya Otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan status kesehatan jiwa diwilayahnya (Utami, 2013).

Setiap orang tentu tidak ingin mengalami gangguan jiwa. Namun, keadaan terkadang tidak mampu membuat orang terhindar dari kondisi gangguan kejiwaan. Tingkat stress yang berlebihan karena suatu sebab yang sangat mengganggu baik fisik dan psikis merupakan faktor utama yang dapat menyebabkan seseorang kemudian terkena gangguan jiwa (Haryadi, 2014).


(2)

Temuan WHO menunjukkan, diperkirakan 873.000 orang bunuh diri setiap tahun. Lebih dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan gangguan jiwa seperti skizofrenia, depresi dan ketergantungan terhadap alkohol (Febriani, 2008).

Dinegara-negara berpenghasilan rendah dan menengah termasuk Indonesia, kesenjangan pengobatan gangguan jiwa dapat mencapai > 85 %- 90% artinya baru sekitar 10% orang dengan gangguan jiwa yang diterapi di fasilitas kesehatan (Utami, 2013).

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia ditandai dengan terjadinya perubahan sikap, perilaku dan emosi dari orang yang terkena. Pada beberapa kebudayaan skizofrenia seringkali dianggap sebagai suatu kerasukan dan pengobatannya adalah dengan membawa yang sakit ke orang pintar dan bila sudah sangat mengganggu seringkali orang ini dipasung, dikurung untuk menghindarkan dari perilaku berbahaya (Kembaren, 2014).

Di Indonesia pemasungan penderita Skizofrenia diperkirakan terjadi 1% dari orang dengan gangguan jiwa berat dan diperkirakan hanya mewakili sebagian kecil dari kasus gangguan jiwa terutama skizofrenia. Data dan informasi mengenai pasung di Indonesia sangat sedikit, Sepanjang tahun 2008-2009 hanya terdapat 2 penelitian kasus pasung yang dipublikasi yaitu penelitian kasus pemasungan di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara dan di Kabupaten Bireun, Aceh. Dari hasil penggabungan dan analisis data-data dari ke dua penelitian tersebut (49 kasus) didapatkan bahwa


(3)

dari 85% kasus pemasungan dilakukan oleh keluarga (Dirjen BUK Kemenkes RI, 2013).

Kementrian Kesehatan telah menyusun sebuah peta jalan (roadmap) menuju Indonesia bebas pasung 2014 yang kemudian diikuti dengan pencanangan program Indonesia bebas pasung 2014 oleh mentri kesehatan RI pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada 10 oktober 2011. Tetapi hal ini tampaknya sulit diwujudkan sehingga kementrian kesehatan berharap Indonesia bebas pasung dapat dicapai pada tahun 2019 atau 2020 (Utami, 2013).

Diperkirakan saat ini tidak kurang 18.800 orang mengalami pemasungan di berbagai daerah di Indonesia. Anggapan bahwa pasung dan penelantaran hanya dipedesaan juga bisa dipatahkan. Pemasungan tidak hanya terjadi karena akses yang sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Yusuf, 2012).

Adapun alasan terjadinya pemasungan adalah karena perjalanan penyakit yang cenderung kronik dan kambuhan. Tingkat ketergantungan penderita skizofrenia yang tinggi kepada keluarga sehingga menjadi beban keluarga, kurangnya pemahaman dan pengetahuan keluarga, sulitnya akses kelayanan kesehatan dan masalah ekonomi sehingga keluarga tidak sanggup untuk membawa penderita skizofrenia ke RS (Utami, 2013).

Philip Pinel dianggap berjasa sebagai orang pertama yang melepaskan para penderita gangguan jiwa yang dirantai di Rumah Sakit Bicetre and Salpetriere di Paris pada akhir abad ke 18 (Beech, 2003, dalam Minas & Diatri, 2008).


(4)

Sebagian masyarakat New Guinea misalnya, menganggap bahwa gangguan jiwa dianggap karena kerasukan setan, karena itu perlu diobati dengan cara kaki dan tangannya diikat dan kemudian diasapi sampai muntah. Di Nigeria, sebagian penderita gangguan jiwa tinggal di rumah shaman atau dukun selama 3-4 bulan dan penderita dirawat oleh saudaranya yang tinggal bersama si pasien di rumah dukun. Biasanya si pasien dibelenggu dan diberi ramu-ramuan dan dukun memberikan korban binatang pada roh gaib. Apabila si pasien sembuh, lalu diadakan upacara ditepi sungai dengan diikuti korban darah binatang sebagai simbol membersihkan si pasien dari sakitnya atau kelahiran kembali (Sudarti, 1986).

Sebagian warga masyarakat di Aceh melakukan pemasungan, mengurung penderita skizofrenia dan memperlakukan pasien dengan tidak manusiawi bahkan ada keluarga dengan sengaja membuang anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Akibatnya, banyak penanganan pasien skizofrenia yang dilakukan secara mandiri oleh keluarga dengan cara yang tidak tepat sesuai dengan prosedur kesehatan sehingga penyakit semakin kronis. Prevalensi gangguan jiwa di Aceh 14,1% dari populasi 4,2 juta lebih tinggi dari rata-rata untuk Indonesia (11,6%) penyebabnya adalah kemiskinan, bencana alam seperti tsunami, dan konflik militer yang berkepanjangan (Puteh, 2011).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa yang menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan. Bahkan Surat Menteri


(5)

kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien gangguan jiwa yang ada didaerah mereka.

Pemerintah juga telah membuat regulasi sebagai pedoman dalam penanganan dan perlakuan terhadap penderita gangguan jiwa sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bab IX pasal 144 - 151 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 34, 42 dan pasal 54 namun masih banyak ditemukan kasus penanganan yang salah yaitu dengan cara penelantaran, pemasungan hingga tindak kekerasan terhadap orang dengan gangguan jiwa (Dirjen BUK Kemenkes RI, 2013).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan 14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat. Data jumlah pasien gangguan jiwa di Indonesia terus bertambah. Dari 33 Rumah Sakit Jiwa diseluruh Indonesia diperoleh data bahwa jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Kenaikan jumlah penderita gangguan jiwa terjadi di sejumlah kota besar. Di Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta, tercatat 10.074 kunjungan pasien jiwa pada 2006, meningkat menjadi 17.124 pasien pada 2007. Sedangkan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, jumlah pasien meningkat hingga 100% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2006-2007, Rumah Sakit


(6)

Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara hanya menerima 25-30 penderita perhari, dan pada awal 2008 mengalami peningkatan , 50 penderita perhari untuk menjalani rawat inap dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan (Garcia, 2009).

Banyak sekali orang yang percaya bahwa skizofrenia tidak mungkin bisa disembuhkan dan orang yang menderitanya tidak mungkin bisa berfungsi secara normal di masyarakat. Di Indonesia pengetahuan seseorang tentang gangguan skizofrenia dipengaruhi erat oleh kultur budaya (Kembaren, 2014). Dampak yang kemudian terjadi adalah dukun dan penyembuh tradisional menjadi pilihan populer. Bagi orang Indonesia pengobatan dengan terapi spiritual hasilnya lebih baik, murah dan pasien yang dirawat dengan cara ini biasanya terhindar dari stigma masyarakat tentang gangguan jiwa (Keithaon, 2013).

Tantangan terbesar untuk penanganan masalah skizofrenia terletak pada keluarga dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya bertugas membawa anggotanya ke Rumah Sakit Jiwa jika ada yang menderita skizofrenia, tetapi juga aktif untuk menerima penderita setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa, melibatkannya dalam kegiatan masyarakat, dan yang paling penting memantau perilaku pasien selama di Rumah Sakit Jiwa (Moersalin, 2009).

Fenomena lain yang menarik adalah adanya kecenderungan keluarga/ masyarakat untuk menjadikan Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa. Setelah diantar, keluarga tidak pernah membesuk lagi, pasien dianggap sudah menjadi tanggungjawab petugas Rumah Sakit Jiwa, sedangkan


(7)

pasien di Rumah Sakit Jiwa yang telah menjadi warga disana lebih dari sepuluh tahun tanpa pernah diketahui dimana alamat dan siapa keluarganya (Moersalin, 2009).

Banyak pasien yang jarang dikunjungi oleh keluarga bahkan ada keluarga yang datang ke Rumah Sakit hanya untuk urusan administrasi akibatnya keluarga tidak mempunyai pengetahuan tentang masalah pasien dan cara penanganannya (Keliat, 1996).

Selama ini ada kesalahan dalam menerapkan pelayanan kesehatan jiwa, dimana pelayanan kesehatan jiwa hanya berbasis di Rumah Sakit, sehingga orang yang datang hanya yang mengalami gangguan jiwa berat, setelah sembuh mereka pulang dan akan datang lagi jika terserang lagi. WHO menyarankan agar penanganan kesehatan jiwa lebih ditekankan atau berbasis pada masyarakat (community based), sehingga masyarakat diharapkan mampu menangani kasus gangguan jiwa yang

ringan, dan hanya yang berat yang dilayani oleh Rumah Sakit Jiwa (Moersalin, 2009). Menurut Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2013, jumlah kasus

pasung yang ditemukan dari hasil penjaringan pasung di 9 kabupaten/kota berjumlah 37 orang dengan perincian sebagai berikut : Kota Binjai 10 kasus, Kabupaten Humbahas 8 kasus, Tapanuli Tengah 6 kasus, Serdang Bedagai 3 kasus, Langkat 3 kasus, Kota tanjung Balai 3 kasus, Tobasa 2 kasus, Karo 1 kasus, Simalungun 1 kasus, dari data ini Kota Binjai tertinggi kasus pemasungan.

Jumlah kunjungan Rawat Jalan Skizofrenia di RSUD dr RM Djoelham Kota Binjai pada tahun 2013 berjumlah 60 orang dimana poliklinik Psikiatri dibuka pada hari jumat dan sabtu setiap minggunya. Tingginya kasus pasung di Kota Binjai untuk


(8)

wilayah Propinsi Sumatera Utara tentunya memerlukan penanganan yang serius dari pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu perlu kiranya diteliti faktor-faktor apa yang memengaruhi terjadinya pemasungan terhadap penderita skizofrenia di Kota Binjai. Sehingga penanganan penderita skizofrenia dapat dilaksanakan secara benar sesuai dengan standar pelayanan kesehatan jiwa.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia di kota Binjai Provinsi Sumatera Utara tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia di kota Binjai Provinsi Sumatera Utara.

1.4. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia dikota Binjai provinsi Sumatera Utara tahun 2014.

1.5. Manfaat Penelitian


(9)

Manfaat praktis yaitu:

1.5.1. Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit dr RM Djoelham Kota Binjai Sumatera Utara Sebagai sumber data untuk pengambilan kebijakan dalam menetapkan program kesehatan jiwa dan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengubah perilaku masyarakat agar tidak memasung keluarganya yang menderita skizofrenia.

1.5.2. Penelitian selanjutnya

Dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik pemasungan.


(1)

Sebagian masyarakat New Guinea misalnya, menganggap bahwa gangguan jiwa dianggap karena kerasukan setan, karena itu perlu diobati dengan cara kaki dan tangannya diikat dan kemudian diasapi sampai muntah. Di Nigeria, sebagian penderita gangguan jiwa tinggal di rumah shaman atau dukun selama 3-4 bulan dan penderita dirawat oleh saudaranya yang tinggal bersama si pasien di rumah dukun. Biasanya si pasien dibelenggu dan diberi ramu-ramuan dan dukun memberikan korban binatang pada roh gaib. Apabila si pasien sembuh, lalu diadakan upacara ditepi sungai dengan diikuti korban darah binatang sebagai simbol membersihkan si pasien dari sakitnya atau kelahiran kembali (Sudarti, 1986).

Sebagian warga masyarakat di Aceh melakukan pemasungan, mengurung penderita skizofrenia dan memperlakukan pasien dengan tidak manusiawi bahkan ada keluarga dengan sengaja membuang anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Akibatnya, banyak penanganan pasien skizofrenia yang dilakukan secara mandiri oleh keluarga dengan cara yang tidak tepat sesuai dengan prosedur kesehatan sehingga penyakit semakin kronis. Prevalensi gangguan jiwa di Aceh 14,1% dari populasi 4,2 juta lebih tinggi dari rata-rata untuk Indonesia (11,6%) penyebabnya adalah kemiskinan, bencana alam seperti tsunami, dan konflik militer yang berkepanjangan (Puteh, 2011).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa yang menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan. Bahkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15 tanggal 11 Nopember 1977 yang ditujukan


(2)

kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien gangguan jiwa yang ada didaerah mereka.

Pemerintah juga telah membuat regulasi sebagai pedoman dalam penanganan dan perlakuan terhadap penderita gangguan jiwa sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bab IX pasal 144 - 151 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 34, 42 dan pasal 54 namun masih banyak ditemukan kasus penanganan yang salah yaitu dengan cara penelantaran, pemasungan hingga tindak kekerasan terhadap orang dengan gangguan jiwa (Dirjen BUK Kemenkes RI, 2013).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan 14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat. Data jumlah pasien gangguan jiwa di Indonesia terus bertambah. Dari 33 Rumah Sakit Jiwa diseluruh Indonesia diperoleh data bahwa jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Kenaikan jumlah penderita gangguan jiwa terjadi di sejumlah kota besar. Di Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta, tercatat 10.074 kunjungan pasien jiwa pada 2006, meningkat menjadi 17.124 pasien pada 2007. Sedangkan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, jumlah pasien meningkat hingga 100% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2006-2007, Rumah Sakit


(3)

Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara hanya menerima 25-30 penderita perhari, dan pada awal 2008 mengalami peningkatan , 50 penderita perhari untuk menjalani rawat inap dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan (Garcia, 2009).

Banyak sekali orang yang percaya bahwa skizofrenia tidak mungkin bisa disembuhkan dan orang yang menderitanya tidak mungkin bisa berfungsi secara normal di masyarakat. Di Indonesia pengetahuan seseorang tentang gangguan skizofrenia dipengaruhi erat oleh kultur budaya (Kembaren, 2014). Dampak yang kemudian terjadi adalah dukun dan penyembuh tradisional menjadi pilihan populer. Bagi orang Indonesia pengobatan dengan terapi spiritual hasilnya lebih baik, murah dan pasien yang dirawat dengan cara ini biasanya terhindar dari stigma masyarakat tentang gangguan jiwa (Keithaon, 2013).

Tantangan terbesar untuk penanganan masalah skizofrenia terletak pada keluarga dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya bertugas membawa anggotanya ke Rumah Sakit Jiwa jika ada yang menderita skizofrenia, tetapi juga aktif untuk menerima penderita setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa, melibatkannya dalam kegiatan masyarakat, dan yang paling penting memantau perilaku pasien selama di Rumah Sakit Jiwa (Moersalin, 2009).

Fenomena lain yang menarik adalah adanya kecenderungan keluarga/ masyarakat untuk menjadikan Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa. Setelah diantar, keluarga tidak pernah membesuk lagi, pasien dianggap sudah menjadi tanggungjawab petugas Rumah Sakit Jiwa, sedangkan keluarga tidak peduli tentang keadaan pasien. Konsekuensinya, sering kita temukan


(4)

pasien di Rumah Sakit Jiwa yang telah menjadi warga disana lebih dari sepuluh tahun tanpa pernah diketahui dimana alamat dan siapa keluarganya (Moersalin, 2009).

Banyak pasien yang jarang dikunjungi oleh keluarga bahkan ada keluarga yang datang ke Rumah Sakit hanya untuk urusan administrasi akibatnya keluarga tidak mempunyai pengetahuan tentang masalah pasien dan cara penanganannya (Keliat, 1996).

Selama ini ada kesalahan dalam menerapkan pelayanan kesehatan jiwa, dimana pelayanan kesehatan jiwa hanya berbasis di Rumah Sakit, sehingga orang yang datang hanya yang mengalami gangguan jiwa berat, setelah sembuh mereka pulang dan akan datang lagi jika terserang lagi. WHO menyarankan agar penanganan kesehatan jiwa lebih ditekankan atau berbasis pada masyarakat (community based), sehingga masyarakat diharapkan mampu menangani kasus gangguan jiwa yang

ringan, dan hanya yang berat yang dilayani oleh Rumah Sakit Jiwa (Moersalin, 2009). Menurut Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2013, jumlah kasus

pasung yang ditemukan dari hasil penjaringan pasung di 9 kabupaten/kota berjumlah 37 orang dengan perincian sebagai berikut : Kota Binjai 10 kasus, Kabupaten Humbahas 8 kasus, Tapanuli Tengah 6 kasus, Serdang Bedagai 3 kasus, Langkat 3 kasus, Kota tanjung Balai 3 kasus, Tobasa 2 kasus, Karo 1 kasus, Simalungun 1 kasus, dari data ini Kota Binjai tertinggi kasus pemasungan.

Jumlah kunjungan Rawat Jalan Skizofrenia di RSUD dr RM Djoelham Kota Binjai pada tahun 2013 berjumlah 60 orang dimana poliklinik Psikiatri dibuka pada hari jumat dan sabtu setiap minggunya. Tingginya kasus pasung di Kota Binjai untuk


(5)

wilayah Propinsi Sumatera Utara tentunya memerlukan penanganan yang serius dari pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu perlu kiranya diteliti faktor-faktor apa yang memengaruhi terjadinya pemasungan terhadap penderita skizofrenia di Kota Binjai. Sehingga penanganan penderita skizofrenia dapat dilaksanakan secara benar sesuai dengan standar pelayanan kesehatan jiwa.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia di kota Binjai Provinsi Sumatera Utara tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia di kota Binjai Provinsi Sumatera Utara.

1.4. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan terhadap penderita skizofrenia dikota Binjai provinsi Sumatera Utara tahun 2014.

1.5. Manfaat Penelitian

Masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Binjai khususnya dalam penanganan penderita skizofrenia sehingga program bebas pasung dikota binjai bisa tercapai.


(6)

Manfaat praktis yaitu:

1.5.1. Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit dr RM Djoelham Kota Binjai Sumatera Utara Sebagai sumber data untuk pengambilan kebijakan dalam menetapkan program kesehatan jiwa dan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengubah perilaku masyarakat agar tidak memasung keluarganya yang menderita skizofrenia.

1.5.2. Penelitian selanjutnya

Dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik pemasungan.