Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014

(1)

FAKTOR – FAKTOR PENDERITA TYPHUS

DR.

FAKUL UNI

OR YANG MEMENGARUHI LAJU KESEMB US ABDOMINALIS YANG DIRAWAT INAP D R. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2014

SKRIPSI

Oleh :

OCTIRA DANIATY NIM.131021088

KULTAS KESEHATAN MASYARAKAT NIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015

MBUHAN P DI RSUD


(2)

FAKTOR – FAKTOR PENDERITA TYPHUS

DR.

sala

FAKUL UNI

OR YANG MEMENGARUHI LAJU KESEMB US ABDOMINALIS YANG DIRAWAT INAP D R. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2014

Skripsi ini diajukan sebagai alah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

OCTIRA DANIATY NIM.131021088

KULTAS KESEHATAN MASYARAKAT NIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015

MBUHAN P DI RSUD


(3)

(4)

PERNYATAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI LAJU KESEMBUHAN PENDERITA TYPHUS ABDOMINALIS YANG DIRAWAT INAP

DI RSUD DR.PIRNGADI MEDAN TAHUN 2014 SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut daftar pustaka.

Medan, Agustus 2015

Octira Daniaty 131021088


(5)

ABSTRAK

Di Indonesia penyakit Typhus Abdominalis ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia. Kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6 – 5 %.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui probabilitas laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang dirawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh umur, jenis kelamin, titer uji widal, komplikasi, trombosit, leukosit, anemia dan tingkat kesadaran terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis.

Jenis penelitian ini bersifat kohort retrospektif. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari rekam medis RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014. Besar sampel yang diambil sebanyak 97 penderita.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa probabilitas laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang dirawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan adalah sebesar 0% dengan median 6,04 hari. Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa terdapat pengaruh variabel komplikasi terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang dirawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014. Penderita Typhus Abdominalis yang tidak mengalami komplikasi 1,234 kali lebih cepat sembuh dibandingkan dengan penderita Typhus Abdominalis yang disertai dengan adanya komplikasi penyakit.

Saran dari penelitian ini adalah agar pihak Rumah Sakit lebih meningkatkan pelayanan medis terhadap penderita Typhus Abdominalis untuk meningkatkan laju kesembuhan pasien dengan cara memantau pasien Typhus Abdominalis agar tidak terjadi komplikasi yang lebih serius. Selain itu kepada pihak petugas rekam medis RSUD Dr.Pirngadi Medan agar lebih memperhatikan penyimpanan dan pemeliharaan berkas rekam medis pasien agar berkas rekam medis tidak rusak dan hilang.


(6)

ABSTRACT

In Indonesia Typhus Abdominalis disease is endemic and is a public health problem. From the case study at a large hospital in Indonesia. Cases of suspected typhoid showed a tendency to increase from year to year with an average pain 500 / 100,000 population with a mortality between 0.6 to 5%.

The purpose of this study was to determine the probability of a cure rate of Typhus Abdominalis patients who are hospitalized in Dr.Pirngadi Hospital Medan in 2014. In addition, to determine the influence of age, gender, widal test, complications, platelets, leukocytes, anemia and level of consciousness on the rate of healing Typhus Abdominalis patients.

This research is a retrospective cohort. The data collected is secondary data obtained from medical records Dr.Pirngadi Hospital Medan in 2014. The sample size is taken as 97 patients.

The results showed that the probability of a cure rate of Typhus Abdominalis patients who are hospitalized in Dr.Pirngadi Hospital Medan is 0% with a median of 6.04 days. Results of multivariate analysis showed that there are significant variables on the rate of healing complications Typhus Abdominalis patients who are hospitalized in the Hospital Medan Dr.Pirngadi 2014. Patients who did not experience complications 1,234 times faster recovery as compared to patients with Typhus Abdominalis is accompanied by the complications of the disease.

Suggestions from this study is that the hospital improve medical care for patients with Typhus Abdominalis to increase the recovery rate of patients by monitoring the patient's in order to avoid more serious complications. In addition to the medical records officer Dr.Pirngadi field hospital for more attention to storage and maintenance of the patient's medical record file so that medical record file is not corrupted and lost.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014”.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi serta dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ayahanda tercinta Dadang Sopian dan Ibunda yang kusayangi Tuti Suryati yang telah mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang serta perhatian moril maupun materil. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat, Kesehatan, Karunia dan keberkahan di dunia dan di akhirat atas budi baik yang telah diberikan kepada penulis.

Penghargaan dan terima kasih penulis berikan kepada Bapak Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes selaku Pembimbing I dan Ibu Arnita, S.Si, M.Si selaku Pembimbing II yang telah membantu penulisan skripsi ini. Serta ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera utara dan para wakil Dekan.

2. Bapak Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera utara.


(8)

3. Bapak Drs. Heru Santoso, MS, Ph.D selaku Ketua Departemen Kependudukan dan Biostatistika Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera utara.

4. Seluruh Dosen beserta staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

5. Keluargaku Ibunda Tuti Suryati, Ayahanda Dadang Sopian, Adikku Indah Wulandari, dan Abangku Agung Chandra Wijaya serta Kakak Iparku Syifa Fauziah Nazmi.

6. Sahabat hidupku Khairuddin yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

7. Sahabat-sahabatku Nisa, Nida, Vika, Dilla, Tike, Kak Nurma, serta seluruh teman-teman seperjuangan khususnya Peminatan Biostatistika dan Informasi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis memohon saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaannya. Semoga Allah SWT melimpahkan karunia-Nya dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Agustus 2015


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

RIWAYAT HIDUP ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Typhus Abdominalis ... 7

2.1.1 Definisi Typhus Abdominalis ... 7

2.1.2 Sistem Pencernaan ... 8

2.1.3 Masa Inkubasi ... 11

2.1.4 Etiologi ... 12

2.1.5 Patofisiologi ... 13

2.1.6 Gejala Klinis ... 13

2.1.7 Pengobatan ... 15

2.1.8 Pencegahan ... 19

2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis ... 21

2.2.1 Umur ... 21

2.2.2 Jenis Kelamin ... 22

2.2.3 Titer Uji Widal ... 23

2.2.4 Komplikasi ... 25

2.2.5 Kadar Trombosit ... 28

2.2.6 Kadar Leukosit ... 28

2.2.7 Anemia ... 29

2.2.8 Tingkat Kesadaran ... 30

2.3 Analisis Survival ... 31

2.3.1 Pengertian Analisis Survival ... 31

2.3.2 Tujuan Analisis Survival ... 32

2.3.3 Metode Analisis Survival... 32


(10)

2.3.5 Langkah-Langkah Analisis Survival ... 35

2.3.6 Time independen cox regression ... 39

2.3.7 Cox Regression Model Interaksi ... 40

2.3.8 Cox RegressionModel Stratifikasi ... 41

2.3.9 Memilih Model Stratifikasi atau Model Interaksi ... 42

2.4 Kerangka Konsep ... 44

2.5 Hipotesis Penelitian ... 44

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 46

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

3.3 Populasi dan Sampel ... 46

3.3.1 Populasi ... 46

3.3.2 Sampel ... 46

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 47

3.5 Definisi Operasional ... 47

3.6 Aspek Pengukuran ... 51

3.7 Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum RSUD Dr.Pirngadi Medan ... 54

4.2 Analisis Univariat ... 57

4.2.1 Lama Waktu Sembuh Penderita Typhus Abdominalis ... 57

4.2.2 Waktu Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis dengan Metode Life Table ... 58

4.2.3 Distribusi Karakteristik penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 59

4.3 Analisis Bivariat ... 62

4.3.1 Umur dan Laju Kesembuhan ... 65

4.3.2 Jenis Kelamin dan Laju Kesembuhan ... 65

4.3.3 Titer Uji Widal dan Laju Kesembuhan ... 66

4.3.4 Komplikasi dan Laju Kesembuhan ... 66

4.3.5 Trombosit dan Laju Kesembuhan ... 66

4.4.6 Leukosit dan Laju Kesembuhan ... 67

4.3.7 Anemia dan Laju Kesembuhan ... 67

4.3.8 Tingkat Kesadaran dan Laju Kesembuhan ... 68

4.4 Analisis Multivariat ... 68

4.4.1 Pemilihan Variabel Kandidat ... 68

4.4.2 Uji Asumsi Proportional Hazard ... 69

4.4.3 Permodelan ... 73

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Probabilitas Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 78


(11)

5.2 Pengaruh Faktor Umur terhadap Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun

2014 ... 79

5.3 Pengaruh Faktor Jenis Kelamin terhadap Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 79

5.4 Pengaruh Faktor Titer Uji Widal terhadap Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 80

5.5 Pengaruh Faktor Komplikasi terhadap Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 82

5.6 Pengaruh Faktor Trombosit Terhadap Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 83

5.7 Pengaruh Faktor Leukosit Terhadap Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 84

5.8 Pengaruh Faktor Anemia Terhadap Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 85

5.9 Pengaruh Faktor Tingkat Kesadaran Terhadap Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 86

5.10 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 87

5.11 Keterbatasan Penelitian ... 88

5.11.1 Keterbatasan Data Sekunder ... 88

5.11.2 Keterbatasan Rancangan Penelitian ... 89

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 90

6.2 Saran ... 91 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 51 Tabel 4.1 Ukuran Statistik Waktu Kesembuhan Penderita Typhus

Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 57 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Status Penderita Typhus Abdominalis yang

Dirawat Inap di RSUD Dr.pirngadi Medan Tahun 2014 ... 58 Tabel 4.3 Waktu Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis dengan

Metode Life Table yang Dirawat Inapdi RSUD dr. PirngadiMedan tahun 2014... 58 Tabel 4.3 Lanjutan ... 59 Tabel 4.4 Distribusi Karakteristik Penderita Typhus Abdominalis yang

Dirawat Inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun2014 ... 59 Tabel 4.4 Lanjutan ... 60 Tabel 4.5 Analisis Kaplan Meier Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju

Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 62 Tabel 4.5 Lanjutan ... 63 Tabel 4.6 Analisis Bivariat Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju

Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 64 Tabel 4.6 Lanjutan ... 65 Tabel 4.7 Analisis Multivariat Pada Permodelan Menggunakan model

Interaksi ... 74 Tabel 4.8 Analisis Multivariat pada Permodelan Menggunakan Model


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem Pencernaan ... 8

Gambar 2.2 Alur Analisis Survival ... 38

Gambar2.3 Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Memengaruhi LajuKesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014 ... 44

Gambar 4.1 Grafik Log Minus Log (LML) Variabel Umur ... 69

Gambar 4.2 Grafik Log Minus Log (LML) Variabel Komplikasi ... 70

Gambar 4.3 Grafik Log Minus Log (LML) Variabel Trombosit ... 71

Gambar 4.4 Grafik Log Minus Log (LML) Variabel Anemia ... 72


(14)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Octira Daniaty

Tempat / Tanggal Lahir : Muara Enim / 30 Oktober 1991

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Anak ke : 2 dari 3 bersaudara

Nama Ayah : Dadang Sopian

Suku Bangsa Ayah : Indonesia

Nama Ibu : Tuti Suryati

Suku Bangsa Ibu : Indonesia

RIWAYAT PENDIDIKAN :

Tahun 1996 – 1997 : TK Pelita Bhayangkari Cirebon Tahun 1997 - 2003 : SD Negeri 1 Sunyaragi Cirebon Tahun 2003 - 2006 : SMP Negeri 11 Cirebon

Tahun 2006 - 2008 : SMA Swasta ITUS Kuningan Tahun 2008 - 2009 : SMA Swasta YPIT Mutiara Duri Tahun 2009 - 2012 : Poltekkes Kemenkes Riau Tahun 2013 - 2015 : Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT PEKERJAAN :


(15)

ABSTRAK

Di Indonesia penyakit Typhus Abdominalis ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia. Kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6 – 5 %.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui probabilitas laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang dirawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh umur, jenis kelamin, titer uji widal, komplikasi, trombosit, leukosit, anemia dan tingkat kesadaran terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis.

Jenis penelitian ini bersifat kohort retrospektif. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari rekam medis RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014. Besar sampel yang diambil sebanyak 97 penderita.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa probabilitas laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang dirawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan adalah sebesar 0% dengan median 6,04 hari. Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa terdapat pengaruh variabel komplikasi terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang dirawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014. Penderita Typhus Abdominalis yang tidak mengalami komplikasi 1,234 kali lebih cepat sembuh dibandingkan dengan penderita Typhus Abdominalis yang disertai dengan adanya komplikasi penyakit.

Saran dari penelitian ini adalah agar pihak Rumah Sakit lebih meningkatkan pelayanan medis terhadap penderita Typhus Abdominalis untuk meningkatkan laju kesembuhan pasien dengan cara memantau pasien Typhus Abdominalis agar tidak terjadi komplikasi yang lebih serius. Selain itu kepada pihak petugas rekam medis RSUD Dr.Pirngadi Medan agar lebih memperhatikan penyimpanan dan pemeliharaan berkas rekam medis pasien agar berkas rekam medis tidak rusak dan hilang.


(16)

ABSTRACT

In Indonesia Typhus Abdominalis disease is endemic and is a public health problem. From the case study at a large hospital in Indonesia. Cases of suspected typhoid showed a tendency to increase from year to year with an average pain 500 / 100,000 population with a mortality between 0.6 to 5%.

The purpose of this study was to determine the probability of a cure rate of Typhus Abdominalis patients who are hospitalized in Dr.Pirngadi Hospital Medan in 2014. In addition, to determine the influence of age, gender, widal test, complications, platelets, leukocytes, anemia and level of consciousness on the rate of healing Typhus Abdominalis patients.

This research is a retrospective cohort. The data collected is secondary data obtained from medical records Dr.Pirngadi Hospital Medan in 2014. The sample size is taken as 97 patients.

The results showed that the probability of a cure rate of Typhus Abdominalis patients who are hospitalized in Dr.Pirngadi Hospital Medan is 0% with a median of 6.04 days. Results of multivariate analysis showed that there are significant variables on the rate of healing complications Typhus Abdominalis patients who are hospitalized in the Hospital Medan Dr.Pirngadi 2014. Patients who did not experience complications 1,234 times faster recovery as compared to patients with Typhus Abdominalis is accompanied by the complications of the disease.

Suggestions from this study is that the hospital improve medical care for patients with Typhus Abdominalis to increase the recovery rate of patients by monitoring the patient's in order to avoid more serious complications. In addition to the medical records officer Dr.Pirngadi field hospital for more attention to storage and maintenance of the patient's medical record file so that medical record file is not corrupted and lost.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Typhus Abdominalis atau demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Salmonela Typhi. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagela, dan tidak membentuk spora.Kuman ini mempunyai sekurang- kurangnya tiga antigen yang penting untuk pemeriksaan laboratorium yaitu antigen O, antigen H, dan antigen V1 (Kunoli, 2013 dan Zulkoni, 2011).

Salmonela yang menyebabkan tifus bukan jenis penyakit baru, tetapi penyakit ini sulit untuk diberantas. Bahkan kuman ini bisa kembali menyerang bila pengobatan tidak tuntas. Salmonella masuk kedalam tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar olehnya. Kuman ini mampu bertahan hidup cukup lama dalam tinja, sampah, daging, telur, makanan yang dikeringkan, bahkan dalam bahan kimia seperti zat pewarna makanan sekalipun.Ciri-ciri seseorang yang mengalami salmonellosis (penyakit yang disebabkan oleh salmonella) adalah diare, keram perut, dan demam dalam waktu 8-72 jam setelah memakan makanan yang terkontaminasi oleh salmonella (Abata, 2013).

Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia. Insidensi penyakit demam tifoid diseluruh dunia mencapai 17 juta setahun dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang. Di Amerika Serikat demam tifoid muncul sporadis dan relatif konstan berkisar antara 500 kasus setahun selama bertahun-tahun (bandingkan dengan demam tifoid yang dilaporkan sebanyak 2.484 pada tahun 1950). Demam


(18)

tifoid menyerang penduduk disemua negara. Seperti penyakit menular lainnya tifoid banyak ditemukan dinegara berkembang yang higiene pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik (Kunoli,2013).

Menurut KEPMENKES No.364 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid,menyatakan bahwa di Indonesia penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia. Kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6 – 5 %.

Hasil RISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa Dalam 12 bulan terakhir, tifoid dapat dideteksi di Provinsi Sumatera Utara dengan persentase 0,9 persen, dan tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan rentang 0,2-3,3 persen. Di kota Medan persentasi untuk penyakit tifoid adalah sebesar 0,4 persen. Sedangkan di RSUD Dr.Pirngadi Medan sendiri, demam tifoid menjadi satu dari sepuluh terbesar untuk penyebab pasien di rawat inap pada bulan Januari 2013, sedangkan data terbaru menyebutkan ada setidaknya 297 kasus penderita Typhus Abdominalis yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi pada tahun 2014 dengan rincian 293 kasus baru dan 4 kasus lama.

Menurut Abata (2013), umumnya terapi penyakit ini berlangsung baik jika diobati sejak dini dengan memperhatikan gejala-gejala awal penyakit tersebut. Namun umur, keadaan umum pasien, derajat kekebalan tubuh, jumlah salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan sangat menentukan kesembuhan pasien.


(19)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rinni (2014), yang berjudul Permodelan Laju Kesembuhan Pasien Rawat Inap Typhus Abdominalis (Demam Tifoid) Menggunakan Model Regresi Kegagalan Proporsional Dari Cox (Studi Kasus di RSUD Kota Semarang). Hasilnya adalah pasien dengan usia kurang dari 15 tahun memiliki laju kesembuhan lebih cepat dibandingkan dengan pasien lebih dari sama dengan 15 tahun. Selain itu pasien dengan jenis kelamin perempuan memiliki laju kesembuhan lebih cepat dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin laki- laki.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Syafrani (2013), yang berjudul Korelasi Titer Uji Widal Dengan Derajat Klinis Pada Pasien Demam Tifoid Di RSUD Panglima Sebaya Kabupaten Paser Periode Tahun 2012

,

menyatakan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kadar titer uji widal memiliki hubungan dengan derajat klinis pasien. Selain itu, adanya komplikasi yang terjadi pada masa pengobatan pasien sedikit banyaknya dapat mempengaruhi kesembuhan pasien Typhus Abdominalis.

Lajukesembuhan dapat diketahui dengan analisis survival. Studi kesintasan atau survival umumnya merupakan desain kohort dimana seluruh subyek yang diteliti dengan masa pengamatan yang sama atau sampai mengalami efek. Namun dalam prakteknya,banyak hal pada desain kohort yang tidak dapat diteliti dengan metode tersebut, yang seringkali terjadi subyek masuk penelitian pada saat yang tidak sama sedangkan penelitian harus dihentikan pada suatu saat tertentu. Karena itulah perlunya suatu metode analisis khusus yang


(20)

dapatmerangkum jenis data seperti ini yaitu analisis kesintasan /analisis survival (Yasril,2009).

Survival berasal dari kata survive yang berarti ketahanan/ kelangsungan hidup. Sedangkan analisis survival disebut juga analisis kelangsungan hidup atau analisis kesintasan. Analisis survival adalah kumpulan dari prosedur statistik untuk menganalisis data dimana variabel outcome yang diteliti adalah waktu (time) sampai suatu kejadian (event) muncul. Time adalah tahun, bulan, minggu, atau hari dimulai dari awal pengamatan kejadian sampai kejadian itu muncul. Kejadian (event) itu sendiri dapat berupa kematian, insiden penyakit, kakambuhan, kesembuhan, kembali bekerja atau kejadian lain sesuai dengan kepentingan peneliti. Metode analisis survival yang sering dipakai adalah metode Tabel Kehidupan (Life Table) / Akturial (Cutler–Ederer), metode Kaplan Meier (Product Limit), dan metode Regresi Cox (Yasril, 2009).

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang di Rawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini mencoba menganalisis faktor-faktor apakah yang dapat memengaruhi laju kesembuhan penderitaTyphus Abdominalis yang di rawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014?


(21)

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui laju kesembuhan penderitaTyphus Abdominalis yang di rawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh faktor umur terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang di rawat inap di RSUD Dr.PirngadiMedan tahun 2014.

b. Untuk mengetahui pengaruh faktor jenis kelamin terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang di rawat inapdi RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014.

c. Untuk mengetahui pengaruh faktortiter uji widal terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang di rawat inapdi RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014.

d. Untuk mengetahui pengaruh faktor komplikasiterhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang di rawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014.

e. Untuk mengetahui pengaruh faktor kadar trombosit terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang di rawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014.

f. Untuk mengetahui pengaruh faktor kadar leukosit terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang di rawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014.


(22)

g. Untuk mengetahui pengaruh faktor anemia terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang di rawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014.

h. Untuk mengetahui pengaruh faktor tingkat kesadaran terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang di rawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014.

i. Untuk mengetahui pengaruh faktorumur, jenis kelamin, titer uji widal, komplikasi, kadar trombosit, kadar leukosit, anemia dan tingkat kesadaran terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis yang di rawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan masukan atau sumber informasi bagi mahasiswa mengenai faktor-faktor yang memengaruhi laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis.

b. Sebagai bahan masukan atau informasi bagi peneliti lain.

c. Sebagai masukan bagi pihak rumah sakit untuk menduga laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalis di RSUD Dr.Pirngadi Medan.

d. Sebagai masukan bagi pihak rumah sakit untuk memperbaiki program layanan bagi penderita Typhus Abdominalis berdasarkan hasil-hasil yang didapat.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Typhus Abdominalis

2.1.1 Definisi Typhus Abdominalis

Tipes atau Typhus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhosa atau Salmonella Paratyphi A, B dan C. Selain itu dapat juga menyebabkan gastroenteritis (radang lambung). Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama tipes atau Typhus Abdominalis karena berhubungan dengan usus didalam perut(Zulkoni, 2011).

Sejarah tifoid dimulai saat ilmuan Perancis bernama Piere Lois memperkenalkan istilah Typoid pada tahun 1829. Typhoid atau Typhus berasal dari bahasa Yunani yaitu Typhos yang berarti penderita demam dengan gangguan kesadaran. Kemudian Gaffky menyatakan bahwa penularan penyakit ini melalui air dan bukan udara. Gaffky juga berhasil membiakkan Salmonella Typhi dalam media kultur pada tahun 1986. Widal akhirnya menemui pemeriksaan tifoid yang masih digunakan sampai saat ini. Selanjutnya, pada tahun 1948 Woodward dkk melaporkan untuk pertama kalinya bahwa obat yang efektif untuk demam tifoid adalah Kloramfenikol (Kunoli,2013).

2.1.2 Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan terdiri atas saluran cerna yang dimulai dari mulut sampai anus. Fungsi utama sistem pencernaan adalah menyediakan zat nutrisi


(24)

yang sudah dicerna secara berkesinambungan untuk di distribusikan ke dalam sel melalui sirkulasi dengan unsur-unsur air, elektrolit, dan zat gizi.

Gambar 2.1 Sistem Pencernaan

1. Mulut

Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam mulut dilapisi oleh selaput lendir. Saliva atau liur yang dihasilkan oleh mulut bersifat alkali (basa) yang disekresikan oleh kelenjar parotis, submaksilaris, sublingualis dan kelenjar mukosa pipi. Saliva atau liur berfungsi :

a. Sebagai pelumas (lubrikasi) pada waktu mengunyah dan menelan makanan.


(25)

c. Mengandung lisozyme yang berperan sebagai anti bakteri. d. Sebagai palarut molekul yang dapat memacu reseptor rasa.

e. Membantu proses bicara dengan mempermudah gerakan bibir dan lidah.

f. Buffer karbohidrat di dalam saliva akan menetralkan asam dari makanan.

2. Gigi

Gigi berfungsi melakukan proses pencernaan secara mekanik. Gigi akan memotong-motong makanan yang masuk ke dalam mulut, fungsi inidilakukan oleh gigi depan (incisivus), setelah dipotong makanan akan dikunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), dengan tujuan makanan menjadi bagian –bagian kecil yang lebih mudah dicerna.

3. Tenggorokan (faring)

Adalah organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan. Organ yang penting didalam faring adalah tonsil yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi, menyaring, dan mematikan bakteri atau mikrorganisme yang masuk melalui jalan pencernaan dan pernafasan.

4. Kerongkongan (esofagus)

Esofagus merupakan saluran pencernaan setelah mulut dan faring. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan gerakan peristaltik. Esofagus dibagi menjadi tiga bagian :


(26)

b. Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus) c. Bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus) 5. Lambung

Lambung adalah kantong maskular yang letaknya antara esofagus dan usus halus. Fungsi lambung adalah menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik lambung dan getah lambung. Selain itu dilambung hanya terjadi absorbsi nutrien sedikit.

6. Usus halus

Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari saluran pencernaan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada secum. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), usus penyerapan (ileum).

Fungsi usus halus :

a. Mensekresi cairan usus untuk menyempurnakan pengolahan zat makanan di usus halus.

b. Menerima cairan empedu dan pankreas melalui duktus koleduktus dan pankreatikus.

c. Mencerna makanan.

d. Mengabsorbsi air garam, dan vitamin. 7. Usus Besar

Usus besar merupakan saluran pencernaan berupa usus berpenampungan luas atau berdiameter besar dengan panjangnya lebih kurang 1,5 – 1,7 m dan penampang 5-6 cm. Fungsi usus besar :


(27)

a. Menyerap air dan elektrolit kemudian mensisakan massa yang disebut feses.

b. Menyimpan feses sampai saat defekasi. 8. Rektum

Bagian ini merupakan lanjutan dari kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus sepanjang 12 cm yang dimulai dari pertengahan sakrum dan berakhir pada kanalis anus.

9. Anus

Merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berhubungan dengan dunia luar terletak di dasar pelvis/dindingnya diperkuat oleh spinchter ani (Niman, 2013).

2.1.3 Masa Inkubasi

Menurut Zulkoni (2011), masa inkubasi dihitung mulai saat pertama kali kuman ini masuk kemudian “tidur” sebentar untuk kemudian menyerang tubuh, masa ini berlangsung 7 – 12 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit ini penderita mengalami keluhan berupa :

1. Anoreksia 2. Rasa malas

3. Sakit Kepala bagian belakang 4. Nyeri Otot

5. Lidah kotor


(28)

Sedangkan menurut Kunoli (2013), masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bakteri yang menginfeksi : masa inkubasi berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata antara 8-14 hari.

2.1.4 Etiologi

Menurut Zulkoni (2013),penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella Typhosa. Penyakit tipes (typhus Abdominalis) merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella Typhosa(food and water borne disease). Seseorang yang sering menderita penyakit tipes menandakan bahwa ia mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri ini.

Salmonella Typhosa sebagai suatu spesies, termasuk dalam kingdom bakteria, phylum proteobacteria, classis gamma proteobacteria, ordo enterobacteriales, famili enterobacteriakceae, genus salmonella. Salmonella Typhosa adalah bakteri gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu : antigen O (somatic, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen V1(hyalin, protein membrane).

2.1.5 Patofisiologi

Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/ feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman / karier. Empat F (Finger, Files, Fomites, Fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu,


(29)

buah, dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/ dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama negara- negara yang sedang berkembang.

Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja dan urin dari penderita atau carrier. Dibeberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat juga berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikrorganisme dari tinja ke makanan (Kunoli, 2013).

2.1.6 Gejala Klinis

Gejala klinis demam tifoid yaitu dapat terjadi ulserasi plaques peyeri pada ileum yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan atau perforasi (sekitar 1% dari kasus), hal ini sering terjadi pada penderita yang terlambat diobati. Dapat juga timbul demam tanpa disertai keringat, gangguan berfikir, pendengaran berkurang dan parotitis (Kunoli,2013).

Secara rinci, gejala klinis dijelaskan oleh Zulkoni (2011), yaitu : 1. Minggu Pertama

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut lain seperti demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39oc hingga 40oc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernafasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis, perut kembung, dan merasa tidak enak, serta diare dan sembelit silih berganti. Lidah pada penderita


(30)

putih kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor, tenggorokan terasa kering dan meradang.

2. Minggu kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam).

Gejala toksemia (ketika kuman sudah masuk aliran darah), semakin berat ditandai dengan gangguan pendengaran. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare menjadi lebih sering dan terkadang bewarna gelap akibat perdarahan. Pembesaran hati atau limpa. Perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi.

3. Minggu ketiga

Suhu tubuh berangsur turundan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.

Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa otot-otot yang bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai peritonitis lokal atau umum, maka hal


(31)

ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernafas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.

4. Minggu keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun sering dijumpai sisa gejala yang terjadi sebelumnya.

2.1.7 Pengobatan

Menurut KEPMENKES No 364 tahun 2006 dipaparkan bahwa pengobatan penderita demam tifoid meliputi :

1. Perawatan Umum dan Nutrisi

Penderita demam tifoid dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan, seperti:

a. Tirah baring

Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan perforasi.

b. Nutrisi

- Cairan : penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parental. Cairan parental diindifikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. - Diet : harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Rendah


(32)

c. Terapi Simptomatik

terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita :

- Roboransia

- Antipiretik ( untuk kenyamanan penderita) - Antiemetik (jika penderita muntah hebat) d. Kontrol dan Monitor dalam perawatan

- Suhu tubuh, serta tanda vital lain seperti nadi, nafas, tekanan darah). - Keseimbangan cairan : cairan masuk (minum dan infus) dan cairan

tubuh yang keluar (urin, feses) harus seimbang. - Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi.

- Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain. - Efek samping dan atau efek toksik obat.

- Resistensi anti mikroba

- Kemajuan pengobatan secara umum. 2. Antimikroba

Antimikroba diberikan segera bila diagnosis klinis demam tifoid telah ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable maupun suspek. Sebelum antimikroba diberikan harus diambil spesimen darah atau sumsum tulang lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman salmonella, kecuali fasilitas biakan ini tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan.

Antimikroba yang dikenal sensitif dan efektif untuk demam tifoid adalah : - Kloramfenikol


(33)

- Seftriakson

- Ampisilin & amoksilin - TMP – SMX (kotrimoksasol) - Quinolone

- Cefixime - Tiamfenikol

3. Pengobatan dan Perawatan Komplikasi Terapi komplikasi tifoid :

a. Tifoid toksik

Antimikroba yang dipilih adalah parentral dan dapat ganda seperti kombinasi ampisilin dan kloramfenikol. Pemberian kortikosteroid seperti deksametason dengan dosis 4x10mg intravena. Dosis untuk anak 1-3mg/kg BB/hr selama 3-5 hari.

b. Syok septik

- Penderita dirawat intensif

- Kegagalan hemodinamik yang terjadi diatasi secara optimal

- Obat-obatan vasokatif (seperti dopamin) dipertimbangkan bila syok mengarah irreversible.

c. Perdarahan perforasi

- Penderita dirawat intensif - Transfusi darah jika ada indikasi


(34)

- Bila perforasi : rawat bersama dengan dokter bedah, operasi, antibiotik spektrum luas, diet parenta dan monitor keseimbangan cairan.

d. Komplikasi lain

Komplikasi lain diobati sesuai dengan kondisi, obat- obatan dan prosedur perawatan defenitif untuk tifoid tetap diberikan.

4. Perawatan Mandiri di rumah

Syarat penderita dapat dirawat dirumah : - Penderita dengan gejala klinis ringan - Penderita dengan kesadaran baik

- Penderita dengan keluarganya cukup mengerti cara-cara merawat serta paham dengan tanda bahaya dari tifoid.

- Rumah tangga penderita memiliki atau dapat melaksanakan sistem pembuangan ekskreta yang memenuhi syarat kesehatan.

Menurut Abata (2013), demam tifoid umumnya berlangsung selama 10-20 hari dengan rentang 3-60 hari, tergantung jumlah kuman yang masuk ke dalam tubuh penderita. Semakin banyak kuman yang masuk maka gejalanya akan semakin cepat muncul. Pada suhu yang tinggi penderita bisa sampai mengigau dan apatis.


(35)

2.1.8 Pencegahan

Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak tertular oleh basil salmonella. Ada 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan menurut KEPMENKES No 364 tahun 2006, yakni :

1. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid

2. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan 3. Perlindungan dini agar tidak tertular.

Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam upaya pencegahan adalah :

1. Langkah–langkah strategis pencegahan carrier, relaps dan resistensi tifoid.Bila ada kasus karier maka diterapi dengan quinolone selama 4 minggu (siprofloksasin 2x 750mg atau norfloksasin 2 x 400mg).

2. Perbaikan Sanitasi Lingkungan

Perbaikan sanitasi lingkungan, meliputi :

- Penyediaan air bersih untuk seluruh warga, untuk air minum masyarakat membiasakan dengan memasak sampai mendidih. - Jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan.

- Pengolahan limbah, kotoran, dan sampah harus benar sehingga tidak mencemari lingkungan.

3. Peningkatan Higiene Makanan dan Minuman

- Pilih hati-hati makanan yang sudah diproses, demi keamanan. - Panaskan kembali secara benar makanan yang sudah dimasak - Hindari kontak antara makanan mentah dengan yang sudah masak. - Permukaan dapur dibersihkan dengan cermat.


(36)

- Lindungi makanan dari serangga, binatang mengerat dll. - Gunakan air bersih untuk dikonsumsi.

4. Peningkatan Higiene Perorangan

Setiap tangan yang dipergunakan unruk memegang makanan, maka tangan harus bersih, cuci tangan pakai sabun.

5. Pencegahan dengan imunisasi

Immunisasi, sampai saat ini vaksin tiroid baru diprioritaskan untuk traveler

6. Surveilens

Pengumpulan yang sistematik, analisis dan interpretasi yang terus menerus dari data kesehatan yang penting. Untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan dan evaluasi suatu tindakan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.

7. Definisi Kasus

Dalam hal pengumpulan data, diperlukan petugas yang memiliki kemampuan memadai dalam hal menentukan seorang pasien menderita tifoid atau bukan.

8. Sistim Pencatatan dan Pelaporan 9. Penanggulangan KLB

Bila ada dugaan KLB disuatu daerah, maka diperlukan serangkaian kegiatan yang berpola dengan baik untuk menanggulanginya. Pihak unit pelayanan kesehatan (rumah sakit / puskesmas) segera melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.


(37)

2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan PenderitaTyphus Abdominalis.

2.2.1 Umur

Umur merupakan salah satu faktor yang penting pada proses terjadinya penyakit. Sebagian penyakit timbul hampir secara eksklusif pada suatu kelompok usia tertentu saja. Angka kesakitan dan kematian dalam hampir semua keadaan itu berkaitan dengan fungsi dari proses umur, perkembangan, imunitas dan keadaan fisiologi, perubahan kebiasaan makan dari tiap golongan umur, perubahan daya tahan tubuh dan penyakit tertentu yang menyerang umur tertentu (Friedman,1993 dan Kunoli, 2013).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati(2009) yang berjudul “Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Tifoid Di Indonesia Tahun 2007”mengatakan bahwa kelompok umur 1-14 tahun merupakan usia yang berisiko terbesar terkena tifoid yaitu 1,449 kali daripada kelompok umur responden yang lain, makin tua kelompok umur makin rendah risiko yang terjadi.

Penelitian lain dilakukan oleh Rinni (2014) yang berjudul “Permodelan Laju Kesembuhan Pasien Rawat Inap Typhus Abdominalis (Demam Tifoid) Menggunakan Model Regresi Kegagalan Proporsional Dari Cox (Studi Kasus di RSUD Kota Semarang)”,menyatakan hasil bahwa pasien dengan usia kurang dari 15 tahun memiliki laju kesembuhan lebih cepat dibandingkan dengan pasien lebih dari sama dengan 15 tahun.


(38)

2.2.2 Jenis Kelamin

Sebagian penyakit lebih sering dijumpai pada kaum pria dan sebagian lainnya pada wanita. Jika faktor pewarisan yang mempunyai kaitan seksual dapat disingkirkan, maka perbedaan seks dalam insidensi penyakit akan menimbulkan pemikiran awal tentang kemungkinan adanya faktor-faktor hormonal atau reproduktif yang menjadi faktor predisposisi (pencetus) atau pelindung (Friedman,1993).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati(2009) yang berjudul “Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Tifoid Di Indonesia Tahun 2007”mengatakan bahwa kelompok laki-laki lebih dominan terkena tifoid (OR = 1,142) daripada kelompok perempuan. Ada perbedaan hasil penelitian antara Herawati (2009) dan penelitian yang dilakukan oleh Ja’afar(2013)yang berjudul “Epidemiological analysis of typhoid fever in Kelantan from a retrieved registry” yang menyatakan hasil penelitiannya bahwa demam tifoid didominasi oleh laki-laki dalam kelompok usia 5-14 tahun dan perempuan dalam kelompok usia 20– 35 dan 45-60 tahun.

Laju kesembuhannya sendiri dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rinni (2014) yang berjudul “Permodelan Laju Kesembuhan Pasien Rawat Inap Typhus Abdominalis (Demam Tifoid) Menggunakan Model Regresi Kegagalan Proporsional Dari Cox (Studi Kasus di RSUD Kota Semarang)”,menyatakan hasil bahwa pasien dengan jenis kelamin perempuan memiliki laju kesembuhan lebih cepat dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin laki-laki.


(39)

2.2.3 Titer Uji Widal

Menurut KEPMENKES No. 364 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Tes serologi widal adalah reaksi antara antigen (suspensi salmonella yang telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap komponen basil salmonella didalam darah manusia (saat sakit, karier, atau pasca vaksinasi). Prinsip test adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yakni aglutinin O dan H.

Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai puncaknya pada minggu ke-3 sampai ke-5. Aglutinin ini dapat bertahan sampai lama 6-12 bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lama, sampai 2 tahun kemudian.

Peneliti beranggapan bahwa nilai titer berpengaruh terhadap derajat klinis penderita Typhus Abdominalis sehingga sedikit banyaknya dapat memengaruhi laju kesembuhan penderita. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Syafrani (2013)yang berjudul “Korelasi Titer Uji Widal Dengan Derajat Klinis Pada Pasien Demam Tifoid Di RSUD Panglima Sebaya Kabupaten Paser Periode Tahun 2012”

,

menyatakan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kadar titer uji widal memiliki hubungan dengan derajat klinis pasien yang dapat diketahui dari nilai P.value= 0,002 atau < 0,05 dan nilai korelasi r = 0,767.


(40)

• Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama masing-masing daerah tergantung endemisitas daerah masing-masing-masing-masing dan tergantung hasil penelitiannya.

• Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau perjanjian pada satu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid.

• Reaksi widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis tifoid.

• Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru baik negatif palsu atau positif palsu. Hasil test negatif palsu seperti pada keadaan pembentukan anti bodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan- keadaan gizi jelek, konsumsi obat-obat imunosuspresif, penyakit agammaglobulinemia, leukemia, karsinoma lanjut, dll. Hasil test positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi, mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dll.

2.2.4 Komplikasi

Adanya komplikasi yang menyertai penyakit Typhoid Fever dapat mempengaruhi kesembuhan seseorang, karena tubuh menjadi lebih ekstra dalam melawan penyakit. Kematian karena Typhoid umumnya disebabkan oleh


(41)

komplikasi typhoid antara lain radang paru paru, perdarahan usus, dan kebocoran usus. Tidak jarang jika operasi menjadi salah satu penatalaksanaan yang diambil oleh pihak tenaga medis jika komplikasi yang dialami pasien Typhus Abdominalis cukup parah seperti adanya perforasi usus.

Penggunaan obat-obatan antibiotika sendiri bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi penyakit. Perlubangan usus (perforasi usus ) merupakan salah satu bentuk komplikasi serius akibat typhoid yang dapat menyebabkan kematian. Pada minggu kedua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi menurut KEPMENKES No 364 tahun 2006,diantaranya:

a. Tifoid Toksik (Tifoid Ensefalopati)

Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisa cairan otak biasanya dalam batas-batas normal. b. Syok Septik

Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, karena bakteremia salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid diatas, penderita jatuh ke dalam fase kegagalan vaskular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan halus, berkeringat serta akral dingin. Berbahaya jika syok menjadi irreversible.

1. Perdarahan dan Perforasi Intestinal

Perdarahan dan perforasi terjadi pada minggu ke dua demam atau setelah itu. Perdarahan dengan gejala berak berdarah (hematoskhezia)


(42)

atau dideteksi dengan tes perdarahan tersembunyi (occult blood test). Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang, dan nyeri tekan yang paling nyata di kuadran kanan bawah abdomen. Suhu tubuh tiba-tiba menurun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir syok. Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda-tanda ileus, bising usus melemah dan pekak hati menghilang, perforasi intestinal adalah komplikasi tifoid yang serius karena sering menimbulkan kematian.

2. Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi. Ditemukan gejala-gejala abdomen akut yakni nyeri perut hebat, kembung serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas khas untuk peritonitis.

3. Hepatitis Tifosa

Demam tifoid yang disertai gejal-gejala ikterus, hepatomegali dan kelainan test fungsi hati dimana didapatkan peningkatan SGPT, SGOT dan bilirubin darah. Pada histopatologi hati didapatkan nodul tifoid dan hiperplasi sel-sel kuffer.

4. Pankreatitis Tifosa

Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejala-gejalanya adalah sama dengan gejala pankreatitis. Penderita nyeri perut hebat yang disertai mual dan muntah warna kehijauan, meteorismus dan bisisng usus menurun. Enzim amilase dan lipase meningkat.


(43)

5. Pneumonia

Dapat disebabkan oleh basil salmonella atau koinfeksi dengan mikroba lain yang sering menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan didapatkan gejal-gejala klinis pneumonia serta gambaran khas pneumonia pada foto polos toraks.

6. Komplikasi Lain

Karena basil salmonella bersifat intra makrofag, dan dapat beredar keseluruh bagian tubuh, maka dapat mengenai banyak organ yang menimbulkan infeksi yang bersifat lokal diantaranya :

- Osteomielitis, artritis

- Miokarditis, perikarditis, endokarditis - Pielonefritis, orkhitis

- Serta peradangan- peradangan ditempat lain.

2.2.5 Kadar Trombosit

Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu dalam proses pembekuan darah untuk menghentikan perdarah aktif yang terjadi pada luka, Selain itu, trombosit juga mempunyai peran dalam melawan infeksi virus dan bakteri dengan memakan virus dan bakteri yang masuk dalam tubuh kemudian dengan bantuan sel-sel kekebalan tubuh lainnya menghancurkan virus dan bakteri di dalam trombosit tersebut. Nilai normal trombosit berkisar antara 150.000 - 400.000 sel/µl darah.


(44)

Pada pemeriksaan trombosit penderita Typhus Abdominalis terdapat gambaran trombositopenia ringan (Penurunan Kadar trombosit dibawah nilai normal). Kejadian trombositopenia sehubungan dengan produksi yang menurun dan secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap proses kesembuhan penderita Typhus Abdominalis.

2.2.6 Kadar Leukosit

Leukosit merupakan komponen darah yang berperanan dalam memerangi infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll. Nilai normal leukosit berkisar 4.000 - 10.000 sel/µl darah. Penurunan kadar leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat infeksi virus, penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan peningkatannya bisa ditemukan pada penyakit infeksi bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut, leukemia, gagal ginjal, gangguan dari sistem kekebalan tubuh.

Pada pemeriksaan hitung leukosit total penderita Typhus Abdominalisterdapat gambaran leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000 – 4000 /mm3 ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin. Terjadi leukopenia akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada. Diperkirakan kejadian leukopenia 25%. Namun sekarang hitung leukosit kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan.


(45)

Anemia disebabkan produksi haemoglobin yang menurun serta kejadian perdarahan intestinal yang tak nyata (occult bleeding). Perlu diwaspadai bila pada penderita Typhus Abdominalis terjadi penurunan haemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4 yang biasanya disebabkan oleh perdarahan hebat dalam abdomen.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Okafor (2007) yang berjudul Haematological alterations due to typhoid fever in Enugu Urban- Nigeria.Dapat disimpulkan bahwa perbedaan rata-rata antara nilai hematologis diperoleh untuk pasien tifoid dibandingkan dengan pasien bukan tifoid, ditemukan bahwa demam tifoid menyebabkan leukopenia dan dalam kasus yang lebih berat dan kronis, dapat menimbulkan terjadinya anemia.

Nilai normal Hb :

Wanita : 12 – 16 gr/dL

Pria : 14 – 18 gr/dL

Anak : 10- 16 gr/dL Bayi baru lahir : 12-24 gr/dL

2.2.8 Tingkat Kesadaran

Pada penderita Typhus Abdominalis, umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut (tiroid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai samnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psychosis (organic Brain Syndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.


(46)

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :

1. Compos Mentis (conscious) : yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.

2. Apatis : yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.

3. Delirium : yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.

4. Somnolen (Obtundasi, Letargi) : yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.

5. Stupor (soporo koma): yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.

6. Coma (comatose) : yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun.

2.3 Analisis Survival

2.3.1 Pengertian Analisis Survival

Menurut Yasril(2009),survival berasal dari kata to survive yang berarti ketahanan/ kelangsungan hidup. Sedangkan analisis survival disebut juga analisis kelangsungan hidup atau analisis kesintasan. Analisis survival adalah kumpulan dari prosedur statistik untuk menganalisis data dimana variabel outcome yang


(47)

tahun, bulan, minggu, atau hari dimulai dari awal pengamatan kejadian sampai kejadian itu muncul. Kejadian(event) itu sendiri dapat berupa kematian, insiden penyakit, kakambuhan, kesembuhan, kembali bekerja atau kejadian lain sesuai dengan kepentingan peneliti.

Dalam analisis survival, variabel waktu sebagai survival time, karena variabel ini menunjukkan waktu dari seseorang untuk “survived” dalam periode waktu tertentu. Pada analisis survival ada problem yang terjadi pada waktu pengamatan, bahwa kita tidak mengetahui time yang kita ukur secara pasti (sensor), hal ini terjadi karena :

1. Orang yang kita amati tidak mengalami event.

2. Orang yang kita amati hilang dalam pengamatan (lost to follow up).

3. Orang yang kita amati meninggal yang terjadi bukan karena event (withdrawn).

2.3.2 Tujuan Analisis Survival

Menurut Yasril (2009), analisis survival bertujuan untuk :

1. Mengestimasi/ memperkirakan dan menginterpretasikan fungsi survivor atau hazard dari data survival, misalnya kanker, mati, post operasi dan lain-lain.

2. Membandingkan fungsi survivor dan fungsi hazard pada dua atau lebih kelompok.

3. Menilai hubungan variabel – variabel explanatory dengan survival time/waktu ketahanan misalnya dengan menggunakan “cox proportional hazard”.


(48)

2.3.3 Metode Analisis Survival

Metode analisis survival yang sering dipakai adalah :

1. Metode Tabel Kehidupan (life table)/ Aktuarial (cutler-ederer) 2. Metode Kaplan Meier (product limit)

3. Regresi Cox

Ketiga metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu dibutuhkan setidaknya 2 metode pengujian. Dalam penelitian ini, metode analisis survival yang dipilih oleh peneliti adalah metode Kaplan Meier dan Regresi Cox.

A. Metode Kaplan Meier (product limit)

Metode Kaplan Meier disebut sebagai product limitmethod, pada cara ini tidak dibuat interval tertentu, dan efek dihitung tepat pada saat ia terjadi. Lama pengamatan disusun dari yang terpendek sampai yang terpanjang, dengan catatan subyek yang tersensor diikut sertakan. Metode Kaplan Meier ini berdasarkan pada dua konsep sederhana, yakni :

1. Pasien yang tersensor dihitung sebagai pasien at risk hanya sampai pada saat ia tersensor.

2. Peluang untuk hidup 2 bulan sama dengan peluang hidup pada 1 bulan 1 dikali dengan peluang hidup pada bulan II, dan seterusnya.

B. Regresi cox

Apabila terdapat variabel-variabel kovariat yang ingin dikontrol maka kita dapat menggunakan regresi cox. Regresi cox dapat digunakan untuk membuat


(49)

dependen dengan satu set variabel independen. Variabel independen bisa kontinyu maupun kategorik.Regresi cox menggunakan hazard function sebagai dasar untuk memperkirakan Relative Risk untuk gagal. Fungsi hazard“h(t)” adalah sebuah rate yang merupakan estimasi potensi untuk mati pada satu unit waktu pada suatu saat tertentu, dengan catatan bahwa kasus tersebut masih hidup ketika menginjak interval waktu tersebut.

Tujuan dari penggunaan Regresi Cox adalah untuk : 1. Mengestimasi Hazard Ratio

2. Menguji Hipotesa

3. Melihat confident interval dari Hazard Ratio

Model Regresi Cox :

H(t.x) = ho(t).e –(b1x1+ b2x2 + ...+ bixi)

2.4.4 Terminologi Penting

1. Sumbu y, sumbu x, dan garis survival

Sumbu y pada kurva survival menunjukkan persentase survival, yaitu persentase subyek yang masih bertahan / bebas dari kejadian yang sedang diamati. Sumbu x pada kurva survival menunjukkan waktu. Garis “berkelok-kelok” adalah garis survival.

2. Survival rate untuk waktu-waktu tertentu

Survival rate untuk waktu tertentu dapat diketahui dengan cara menarik garis vertikal pada waktu tertentu pada sumbu x sampai memotong garis survival.


(50)

3. Median Survival

Median survival adalah waktu dimana 50% subyek mengalami event. Median survival bisa diketahui dengan menarik garis horizontal dari sumbu y pada titik 50% sampai memotong garis survival.

4. Asumsi Proporsional Hazard

Proporsional Hazard (PH) artinya perbandingan kecepatan terjadinya suatu kejadian antar kelompok setiap saat adalah sama. Ciri suatu kurva survival yang memenuhi asumsi PH adalah garis survival antar kelompok tidak saling berpotongan. Asumsi PH dianalogkan dengan asumsi normalitas data pada analisis parametrik. Analisis yang dilakukan pada suatu fungsi survival yang memenuhi asumsi PH berbeda dengan analisis yang dilakukan pada fungsi survival yang tidak memenuhi asumsi PH. Survival yang memenuhi asumsi PH akan dianalisis dengan time independent analisys sementara survival yang tidak memenuhi asumsi PH akan dianalisis dengan analisis model interaksi dan analisis model stratifikasi.

5. Hazard Rasio

Insident Rate adalah kecepatan terjadinya suatu peristiwa yang secara matematis merupakan perbandingan antara insiden dengan waktu (person Time). Nama lain dari insident rate adalah hazard. Apabila kita membandingkan dua hazard, maka yang diperoleh adalah hazard Ratio. Sedangkan bila kita membandingkan dua insiden maka yang akan kita peroleh Risiko Relatif (RR).


(51)

2.3.5 Langkah-Langkah Analisis Survival

Analisis survival terdiri dari tiga langkah utama yaitu pengecekan asumsi proporsional hazard (PH), analisis bivariat dan multivariat.

Berikut adalah rincian dari langkah-langkah tersebut : 1. Pengecekan asumsi PH

Asumsi PH dapat diketahui dengan membuat kurva Kaplan Meier. Metode lain untuk menguji asumsi PH adalah dengan membuat kurva –ln ln survival dan global test. Asumsi PH terpenuhi apabila :

a. Garis survival pada kurva Kaplan Meier tidak saling berpotongan. b. Garis survival pada kurva –ln ln survival tidak saling berpotongan. c. Nilai P dapat uji global test lebih besar dari 0,05.

Mungkin terdapat beberapa variabel yang memenuhi asumsi PH dan beberapa variabel tidak memenuhi asumsi PH.

2. Bivariat dan penilaian

Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan dengan analisis cox regression. Untuk variabel yang tidak memenuhi asumsi PH, analisis cox regression tidak bisa dilakukan.

3. Analisis Multivariat

Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p<0,25. Selain itu, variabel yang tidak memenuhi asumsi PH dan secara teoritis penting, harus dimasukkan ke dalam analisis multivariat. Bila semua variabel memenuhi asumsi PH, maka analisis multivariat yang dipilih adalah analisis time independen cox


(52)

regression. Apabila terdapat variabel yang tidak memenuhi asumsi PH, maka dapat dilakukan analisis cox regression model interaksi atau cox regression model stratifikasi.

4. Interpretasi Hasil

Setelah menyelesaikan analisis survival, kita melakukan interpretasi hasil. Beberapa hal yang dapat kita simpulkan dari analisis survival adalah sebagai berikut :

a. Variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung dengan melihat nilai p dan interval kepercayaan dari HR pada masing-masing variabel.dikatakan berhubungan jika nilai p kurang dari 0,05 dan pada interval kepercayaan tidak ada angka 0.

b. Urutan kekuatan dari variabel-variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung. Pada analisis survival, urutan kekuatan dilihat dari besarnya nilai HR.

c. Model atau rumus untuk memprediksikan hazard function dan survival function.

Untuk hazard function, rumusnya adalah : H(t) = H0(t)ey

H(t) = Hazard pada waktu tertentu

H0(t) = Baseline hazard pada waktu tertentu

Y = b1x1 + b2x2 + b3x3 + ...+ bnxn

Untuk Survival function, rumusnya adalah : S(t) = S0(t)(e^y)


(53)

S(t) = Survival pada waktu tertentu

S0(t) = Baseline survival pada waktu tertentu

Y = b1x1 + b2x2 + b3x3 + ...+ bnxn

5. Mengaplikasikan persamaan yang diperoleh untuk menghitung hazard dan probabilitas pasien.

Langkah-langkah analisis survival dapat diringkaskan dengan alur pada Gambar 2.1.


(54)

Gambar 2.2 Alur Analisis Survival Semua variabel

memenuhi asumsi PH

Sebagian variabel tidak memenuhi asumsi PH

Analisis bivariat : Analisis cox regression

Analisis bivarat:

Analisis cox regression untuk variabel yang memenuhi asumsi PH

Analisis multivariat :

Variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25 dan variabel yang tidak memenuhi asumsi PH yang secara klinis penting Analisis Multivariat :

Variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p< 0,25 : analisis cox regression time independen

Pilih mana analisis yang lebih baik

Analisis regresi cox model stratifikasi Analisis regresi cox model interaksi Interpretasi :

1. Variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung 2. Urutan kekuatan

hubungan

3. Hazard function dan

survival function

Aplikasi


(55)

2.3.6 Time Independen Cox Regression

Langkah – langkah Time Independen Cox Regression adalah : 1. Pengecekan asumsi proporsional hazard (PH)

Asumsi PH diketahui dengan membuat kurva kaplan meier. Asumsi PH terpenuhi jika garis survival tidak saling berpotongan.

2. Analisis Bivariat

Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan dengan analisis cox.

3. Analisis Multivariat

Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25.

4. Interpretasi

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari analisis survival adalah sebagai berikut :

- Diketahuinya variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung dengan melihat nilai p dan interval kepercayaan dari HR pada masing- masing variabel.

- Diketahuinya urutan kekuatan dari variabel-variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung berdasarkan nilai HR-nya. - Diketahuinya model atau rumus untuk memprediksikan hazard


(56)

2.3.7 Cox Regression Model Interaksi

Langkah-langkah analisis survival denganCox Regression model interaksi adalah :

1. Pengecekan asumsi proporsional hazard (PH)

Asumsi PH diketahui dengan membuat kurva Kaplan Meier. Asumsi PH terpenuhi jika garis survival tidak saling berpotongan.

2. Analisis Bivariat

Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan dengan analisis cox.

3. Analisis Multivariat

Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25.

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari analisis survival adalah sebagai berikut :

- Diketahuinya variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung dengan melihat nilai p dan interval kepercayaan pada masing – masing variabel. Analisis terdiri dari beberapa tahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis hubungan antara variabel A dan C, interaksi variabel A dan B, dan interaksi variabel C dan B. Analisis berhenti pada tahap dimana semua variabel memiliki nilai p < 0,05.

- Diketahuinya urutan kekuatan dari variabel–variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung. Berdasarkan nilai HR-nya (lihat pada tahap terakhir).


(57)

- Diketahuinya model atau rumus untuk memprediksikan hazard function dan survival function.

2.3.8 Cox Regression Model Stratifikasi

Langkah –langkah analisis survival dengan Cox Regression Model Stratifikasi adalah :

1. Pengecekan asumsi proporsional hazard (PH)

Asumsi PH diketahui dengan membuat kurva kaplan meier. Asumsi PH terpenuhi jika garis survival tidak saling berpotongan.

2. Analisis Bivariat

Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan dengan analisis cox.

3. Analisis Multivariat menggunakan model stratifikasi

Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25. Pada analisis model stratifikasi, variabel yang tidak memenuhi asumsi PH (contoh : jenis kelamin) dijadikan sebagai variabel untuk menstratifikasi sampel. Dengan demikian, pada analisis model stratifikasi sampel akan dianalisis berdasarkan kelompok jenis kelamin laki-laki dan perempuan akan tetapi dianalisis dalam satu kesatuan analisis. Untuk melakukan analisis multivariat model stratifikasi.


(58)

4. Interpretasi

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari analisis survival adalah sebagai berikut :

- Diketahuinya variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung dengan melihat nilai p dan interval kepercayaan dari HR pada masing – masing variabel.

- Diketahuinya urutan kekuatan dari variabel–variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung. Berdasarkan nilai HR-nya.

- Diketahuinya model atau rumus untuk memprediksikan hazard function dan survival function.

2.3.9 Memilih Model Stratifikasi atau Model Interaksi

Cara pemilihan model stratifikasi atau model interaksi dilakukan dengan dua cara, yaitu secara klinis dan secara statistik.

1. Pemilihan Model Secara Klinis

Secara klinis, pertimbangan utamanya adalah pada manfaat dan kepraktisan penggunaan model untuk kepentingan klinis. Apabila secara klinis lebih bermanfaat untuk menilai survival berdasarkan kelompok laki-laki dan perempuan, maka model stratifikasilah model yang tepat. Akan tetapi, bila secara klinis kita ingin melihat seberapa besar pengaruh jenis kelamin terhadap survival, maka model interaksilah model yang tepat.


(59)

2. Pemilihan Model Secara Statistik

Pemilihan model secara statistik dilakukan dengan uji likelihood Ratio (LR). Uji LR dilakukan dengan cara menghitung selisih likelihood Ratio (LR) antara kedua model kemudian dilihat apakah selisihnya bermakna pada degree of freedom (df) yang sesuai. Secara matematis, uji LR adalah sebagai berikut :

LR / df =

LR / df : Selisih LR untuk setiap degree of freedom LRf : LR full model( LR pada model interaksi) LRr : LR reduced model (LR pada model stratifikasi) P (k – 1) : degree of freedom

P : Jumlah variabel interaksi pada full model K : Jumlah strata pada reduced model

Ho : Reduced model tidak berbeda dengan full model (reduced model = dapat diterima). Ho ditolak bila nilai LR/df > 3,8.

Ha : Reduced model berbeda dengan full model (reduced model = tidak dapat diterima)

Untuk mengetahui berapa besar LR untuk masing- masing model, kita dapat melihatnya pada output SPSS dari prosedur yang telah dilakukan (pada omnibus Test of Model coefficients, pada nilai chisquare kolom change from previous block).


(60)

2.4 Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD

Dr.Pirngadi Medan tahun 2014

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, adalah :

1. Ada pengaruh umur terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014. 2. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap laju kesembuhan penderita Typhus

Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014. UMUR

JENIS KELAMIN

TITER UJI WIDAL

KOMPLIKASI

LAJU KESEMBUHAN PENDERITA TYPHUS ABDOMINALIS

ANEMIA

TINGKAT KESADARAN KADAR LEUKOSIT KADAR TROMBOSIT


(61)

3. Ada pengaruh titer uji widal terhadap laju kesembuhan penderita Thypus Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014. 4. Ada pengaruh komplikasi terhadap laju kesembuhan penderita Typhus

Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014. 5. Ada pengaruh kadar trombosit terhadap laju kesembuhan penderita Typhus

Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014. 6. Ada pengaruh kadar leukosit terhadap laju kesembuhan penderita Typhus

Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014. 7. Ada pengaruh anemia terhadap laju kesembuhan penderita Typhus

Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014. 8. Ada pengaruh tingkat kesadaran terhadap laju kesembuhan penderita

Typhus Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.

9. Ada pengaruh umur, jenis kelamin, titer, komplikasi, trombosit, leukosit, anemia dan tingkat kesadaran terhadap laju kesembuhan penderita Typhus Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.


(62)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini bersifat Kohort Retrospektifyaitu untuk mengkaji laju kesembuhan penderita Thypus Abdominalis dengan dimensi waktu ke belakang (retrospective).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di RSUD Dr.Pirngadi Medan. RSUD Dr.Pirngadi Medan terpilih sebagai lokasi penelitian karena jumlah penderita Typhus Abdominalis yang dirawat inap di RSUD tersebut cukup tinggi pada tahun 2014.Penelitian ini dilakukan pada periode tahun 2014 - 2015.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah data penderita Thypus Abdominalis yang dirawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan pada tahun 2014 yaitu sebanyak 293 penderita.

3.3.2 Sampel

Peneliti menetapkan sampel dalam penelitian ini adalah total populasi atau seluruh data penderita Thypus Abdominalis yang dirawat inap dan tercatat di rekam medis RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014 yaitu sebanyak 97 kasus dikarenakan banyaknya berkas rekam medis yang hilang.


(63)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yaitu data penderita Thypus Abdominalis yang diperoleh dari rekam medis RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.

3.5 Definisi Operasional 1. Laju Kesembuhan

Laju Kesembuhan adalah kecepatan sembuh penderita Thypus Abdominalisselama masa pengamatan (12 bulan) sejak di diagnosa Thypus Abdominalis sampai pengamatan berakhir. Pada akhir penelitian dilihat status pasien apakah terjadi event atau tidak.

Status pasien dikategorikan menjadi : 0 = Sensor

1 = Event

Event adalah kejadian kesembuhan pada penderita Thypus Abdominalis selama dalam kurun waktu pengamatan (12 bulan).

Sensor adalah kejadian yang bukan merupakan event yang terjadi pada waktu pengamatan (12 bulan), yaitu pasien meninggal pada akhir penelitian, pasien mengundurkan diri atau hilang dari pengamatan (lost to follow up).

Event dan sensor diketahui setelah selesai pengamatan. Pada kalkulasi kesintasan dengan metode Kaplan Meier, subyek yang tersensor hanya bertindak sebagai subyek at risksampai ia tersensor dan tidak diikutsertakan dalam kalkulasi kesintasan (Sastroasmoro dkk, 1995).


(64)

2. Umur

Umur adalah lamanya hidup penderita sejak dilahirkan hingga saat di diagnosa menderita Thypus Abdominalis berdasarkan catatan rekam medis penderita pada saat dirawat di RSUD Dr.Pirngadi Medan pada tahun 2014. Dikategorikan menjadi :

0= < 15 tahun 1= !5 – 59 tahun 2= ≥ 60 tahun 3. Jenis Kelamin

Jenis Kelamin adalah ciri khusus (organ reproduksi) yang dimiliki penderita Thypus Abdominalissejak lahir sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2014. Dikategorikan menjadi:

0 = Laki – Laki 1 = Perempuan 4. Titer Uji Widal

Nilai titer yang diamati dalam penelitian ini adalah nilai titer pasien Typhus Abdominalis pada pemeriksaan awal laboratorium yang tercatat di rekam medis RSUD Dr.Pirngadi Medanpada tahun 2014. Dikategorikan menjadi:

0 = 1/40 1 = 1/80 2 = 1/160


(1)

Variabel Tingkat Kesadaran

Stratum Statusa

Stratum Strata label Event Censored

Censored Percent

0 Compos

Mentis

66 10 13,2%

1 Apatis 12 2 14,3%

Total 78 12 13,3%

a. The strata variable is : Tingkat Kesadaran Pasien

Block 0: Beginning Block

Omnibus Tests of Model Coefficients -2 Log Likelihood

500,054


(2)

(3)

ANALISIS MULTIVARIAT

Permodelan Menggunakan Model Interaksi

Categorical Variable Codingsc,d

Frequency (1)b

KomplikasiKata 0=Tidak ada komplikasi 61 1

1=Komplikasi 36 0

anemiaKAta 0=Tidak Anemia 62 1

1=Anemia 35 0

a. Indicator Parameter Coding

b. The (0,1) variable has been recoded, so its coefficients will not be the same as for indicator (0,1) coding.

c. Category variable: KomplikasiKat (Komplikasi Penyakit) d. Category variable: anemiaKAt (Status Anemia)

Block 0: Beginning Block

Omnibus Tests of Model Coefficients -2 Log Likelihood

564,632

Block 1: Method = Backward Stepwise (Likelihood Ratio)

Omnibus Tests of Model Coefficientsc Step

-2 Log Likelihood

Overall (score) Change From Previous Step

Chi-square df Sig. Chi-square df Sig.

1a 541,791 23,802 2 ,000 22,841 2 ,000

2b 542,058 23,334 1 ,000 ,267 1 ,605

Omnibus Tests of Model Coefficientsc Step

Change From Previous Block

Chi-square Df Sig.

1a 22,841 2 ,000

2b 22,575 1 ,000

a. Variable(s) Entered at Step Number 1: KomplikasiKat KomplikasiKat*anemiaKAt b. Variable Removed at Step Number 2: KomplikasiKat*anemiaKAt

c. Beginning Block Number 1. Method = Backward Stepwise (Likelihood Ratio) Variables in the Equation

B SE Wald df Sig.

Step 1 KomplikasiKat 1,111 ,364 9,290 1 ,002

KomplikasiKat*anemiaKAt ,173 ,339 ,260 1 ,610

Step 2 KomplikasiKat 1,234 ,267 21,387 1 ,000

Variables in the Equation Exp(B)

95,0% CI for Exp(B)

Lower Upper

Step 1 KomplikasiKat 3,036 1,487 6,202

KomplikasiKat*anemiaKAt 1,189 ,611 2,312

Step 2 KomplikasiKat 3,436 2,036 5,797


(4)

Survival Table Time

Baseline Cum Hazard

At mean of covariates

Survival SE Cum Hazard

2 ,014 ,971 ,016 ,029

3 ,069 ,864 ,033 ,146

4 ,157 ,720 ,044 ,329

5 ,340 ,490 ,049 ,712

6 ,695 ,233 ,038 1,457

7 ,884 ,156 ,035 1,855

8 1,102 ,099 ,029 2,311

9 1,441 ,049 ,020 3,021

10 2,252 ,009 ,006 4,722

11 3,350 ,001 ,001 7,026

Covariate Means

Mean

anemiaKAt ,633

KomplikasiKat ,600


(5)

Permodelan Menggunakan Model Stratifikasi

Stratum Statusa

Stratum Strata label Event Censored

Censored Percent

0 Tidak Anemia 50 7 12,3%

1 Anemia 28 5 15,2%

Total 78 12 13,3%

a. The strata variable is : Status Anemia Categorical Variable Codingsc

Frequency (1)b

KomplikasiKata 0=Tidak ada komplikasi 61 1

1=Komplikasi 36 0

a. Indicator Parameter Coding

b. The (0,1) variable has been recoded, so its coefficients will not be the same as for indicator (0,1) coding.

c. Category variable: KomplikasiKat (Komplikasi Penyakit)

Block 0: Beginning Block

Omnibus Tests of Model Coefficients -2 Log Likelihood

467,335

Block 1: Method = Backward Stepwise (Likelihood Ratio)

Omnibus Tests of Model Coefficientsb Step

-2 Log Likelihood

Overall (score) Change From Previous Step

Chi-square df Sig. Chi-square df Sig.

1a 448,865 18,686 1 ,000 18,470 1 ,000

Omnibus Tests of Model Coefficientsb Step

Change From Previous Block

Chi-square Df Sig.

1a 18,470 1 ,000

a. Variable(s) Entered at Step Number 1: KomplikasiKat

b. Beginning Block Number 1. Method = Backward Stepwise (Likelihood Ratio) Variables in the Equation

B SE Wald df Sig. Exp(B)

Step 1 KomplikasiKat 1,136 ,272 17,434 1 ,000 3,115

Variables in the Equation

95,0% CI for Exp(B)

Lower Upper

Step 1 KomplikasiKat 1,827 5,309

Survival Table


(6)

Time

Baseline Cum Hazard

At mean of covariates

Survival SE Cum Hazard

anemiaKAt=Tidak Anemia 2 ,015 ,971 ,020 ,029

3 ,099 ,822 ,044 ,196

4 ,199 ,675 ,057 ,394

5 ,445 ,415 ,058 ,880

6 ,872 ,178 ,039 1,724

7 1,135 ,106 ,034 2,243

8 1,266 ,082 ,033 2,503

9 2,045 ,018 ,011 4,043

10 2,738 ,004 ,005 5,413

anemiaKAt=Anemia 2 ,015 ,970 ,029 ,030

3 ,032 ,938 ,041 ,064

4 ,116 ,795 ,068 ,229

5 ,236 ,627 ,083 ,466

6 ,541 ,343 ,080 1,070

7 ,683 ,259 ,078 1,351

8 ,975 ,145 ,059 1,928

9 1,109 ,112 ,054 2,192

10 1,956 ,021 ,017 3,867

Covariate Means Mean