Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendidikan Agama Kristen Dalam Keluarga Dengan Orang Tua Beda Agama di Jemaat GKMI Salatiga T2 752013020 Bab II

BAB II
TEORI RUJUKAN
Pendahuluan
Memperhatikan judul tesis ini yaitu “Pendidikan Agama Kristen dalam
Keluarga dengan Orang Tua Beda Agama di GKMI Salatiga”, maka ada beberapa
unsur penting yang mendapatkan penekanan. Unsur-unsur yang dimaksud adalah
Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam keluarga dan keluarga dengan orang tua
beda agama. Oleh karena kedua unsur tersebut dalam konteks gereja yaitu GKMI
Salatiga sebagai tempat penelitian, maka peneliti mengaitkannya dengan gereja.
Dengan demikian sebagai landasan teori dalam tesis ini, peneliti memaparkan
secara berturut-turut (1) Gereja dan relasinya dengan keluarga, (2) PAK dalam
keluarga (3) Keluarga dengan orangtua beda agama, (4) Pendidikan Agama dalam
keluarga beda agama.

2.1.

Gereja dan relasinya dengan keluarga

Gereja menurut kata aslinya ekklesia memiliki arti persekutuan orangorang yang percaya kepada Yesus Kristus. Küng menjelaskan bahwa tidak ada
gereja tanpa orang-orang percaya, atau dengan kata lain gereja ada karena adanya


14

orang-orang percaya.1

Dengan demikian gereja menjadi pusat iman dan

pertumbuhan iman bagi orang-orang percaya yang ada di dalamnya.
Dalam sejarah gereja, gereja telah ada dari dahulu hingga sekarang.
Dijelaskan oleh Hadiwijono bahwa gereja lahir oleh karena adanya usaha dari
orang-orang yang telah percaya menyampaikan Injil kepada orang-orang yang
belum percaya.2 Sebagaimana disebutkan dalam “tridarma” gereja, meliputi
koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian), dan diakonia (pelayanan).3
Koinonia atau persekutuan yang dimaksud adalah persekutuan orang-orang yang
beriman kepada Allah, meliputi bersekutu dengan saudara seiman, bersekutu
dengan umat beriman, bersekutu dengan semua orang dalam masyarakat dan
bersekutu dengan alam. Marturia atau kesaksian, juga disebut mystagogia.

4

Tugas tersebut adalah bina misteri iman dalam rangka menyiapkan diri untuk

mengkomunikasikan iman. Dengan kata lain tugas gereja menghantar manusia
untuk berjumpa dengan Allah, mengalami kasih Allah dan kemudian
menyaksikannya kepada orang lain, sedangkan diakonia merupakan pelayanan
gereja kepada sesama yang membutuhkan pertolongan, diakonia yang dimaksud
meliputi diakonia karitatif (memberi bantuan secara insidental). Diakonia
reformatif (memberi bantuan secara berkesinambungan yang mengarah pada

1

Küng,Hans, The Church, Burns and Oates Limited, London, 1967, hal 3.
Hadiwijono, H, Dr, Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1986, hal.390.
3
Singgih, Gerrit, Emanuel, Ph.D, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja, Menyongsong
Abad ke-21, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hal.26.
4
Tsalatsa, Ya ’ah, da , Pat a i gsih, Agus, Sri, Pdt, da , A. Va Kooij, Rij ardus, Dr, Prof,
Menguak Fakta, Metana Karya Nyata, Sumbangan Teologi Praktis dalam Pencarian Model
Pembangunan Jemaat Konstekstual, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2010, hal. 40.

2


15

perbaikan kehidupan orang yang dibantu), dan diakonia transformatif (bantuan
yang mengarah pada perubahan struktural dalam masyarakat).
Sehubungan dengan tugas marturia (kesaksian) yang di dalamnya
melakukan pemberitaan Injil oleh gereja, maka gereja perlu memberdayakan
setiap anggota untuk terlibat dalam pelaksanaannya. Dalam hal tersebut keluarga
menjadi salah satu bagian utama dalam pemberitaan Injil yaitu dari orang tua
(baca juga: orang dewasa) kepada anak-anak. Dalam upaya memperkenalkan Injil
kepada anak-anak tersebut keluarga yang menjadi bagian dalam gereja
melaksanakan tugas gereja.
Pelaksanaan tugas pemberitaan Injil yang dilakukan oleh gereja dan
keluarga bersifat saling mendukung. Seperti diungkapkan oleh Cooley bahwa
gereja (kelompok keagamaan) adalah kelompok sekunder dalam proses sosial
seseorang sedangkan keluarga adalah kelompok primer. Cooley menyebutkan
dalam teorinya bahwa kelompok sosial terbagi menjadi dua, yaitu kelompok
primer atau primary group dan kelompok sekunder atau secondary group.5
Kelompok primer dicirikan adanya hubungan yang erat melalui seringnya anggota
dalam kelompok ini bertatap muka dan bekerja sama. Ciri berikutnya adalah

hubungan dalam kelompok primer berlangsung lama dan didasarkan atas
kerukunan dan kasih antar anggotanya. Oleh karena itu kelompok primer menjadi
dasar bentuk alami kehidupan sosial seseorang.6 Lebih lanjut Cooley memberikan

5

Susanto, S, Astrid, Phil, Dr, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, Bandung,
1977, hal. 67.
6
Soemarjan, Selo,- Soemardi, Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi, Fakulatas Ekonomi
Universitas Indonesia, Djakarta, 1964, hal. 433.

16

contoh kelompok primer di antaranya keluarga dan tetangga. Seseorang memiliki
kebiasaan perilaku bersumber dari proses sosialisasi dari keluarga dan tetangga,
kebiasaan tersebut akan mempengaruhi pada waktu seseorang memiliki kelompok
sosial lainnya.
Adapun kelompok sekunder adalah kelompok yang anggotanya memiliki
hubungan yang tidak terlalu erat, kontak secara langsung sedikit, terbatas dalam

komunikasi dan cenderung resmi.7 Namun demikian, kelompok sekunder
memiliki unsur obyektif dan lebih luas dibandingkan dengan kelompok primer.
Contoh dari kelompok sekunder diantaranya negera dan kelompok-kelompok
keagamaan. Memperhatikan sifat-sifat dari kelompok primer dan kelompok
sekunder, kedua kelompok tersebut sejatinya saling mengisi dan dalam
kenyataannya tidak dapat dipisahkan secara mutlak.8 Dari teori Cooley
menunjukkan bahwa terkait dengan pemberitaan Injil kepada anak, gereja dalam
hal ini sebagai kelompok sekunder dan keluarga sebagai kelompok primer.
Namun demikian keduanya tidak dapat dipisahkan bahkan saling mengisi dan
melengkapi satu dengan yang lain.
Lebih jauh Westerhoff III menjelaskan analisisnya dari hasil penelitian
kepada anak-anak dalam gereja dari keluarga yang berbeda-beda.9 Pertanyaan
yang diajukan pada responden berhubungan dengan pemahaman anak tentang
Tuhan dari pengalaman hidup mereka dari keluarga dan gereja. Ia memperoleh
7

Susanto, S, Astrid, Phil, Dr, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, Bandung, 1977,
hal 67.
8
Soekanto, Soerjono, Sosiologi, Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hal 128.

9
Westerhoff III, H, John, and Gwen Kennedy Neville, Generation to Generation, Conversation on
Religious Education and Culture, The Pilgrim Press, New York-Philadelphia, 1979, 109-118.

17

jawaban yang beragam dan semua jawaban dari responden sangat dipengaruhi
pengalaman hidup mereka di keluarga dan gereja.
Westerhoff III merumuskan pendekatan terkait dengan pendidikan iman
bagi anak-anak seharusnya menggunakan keluarga dan gereja secara bersamasama guna melakukan tugas tersebut. Hal itu disebabkan ia menyebutkan bahwa
pendidikan iman tidak hanya persoalan ibadah di gereja melainkan cara pandang
orang dewasa dan sistem nilai yang dilakukan dalam hidup sehari-hari. Orang tua
menjadi sumber utama untuk melakukan affirmed (nilai-nilai apa yang
diteguhkan) dan transmitted (pemahaman dan gaya hidup yang diturunkan),
sedangkan gereja menjadi komunitas iman bagi keluarga untuk mensosialisasikan,
mengevaluasi dan mereformasi pelayanan pendidikan iman dalam hidup dan
tindakan bersama yang diteruskan oleh orang tua kepada anak-anak dalam
keluarga.
Dengan demikian gereja dan keluarga adalah dua institusi yang saling
melengkapi dalam seluruh aspek spiritual seseorang. Oleh karena itu, keduanya

bekerja sama dalam pelaksanaan PAK keluarga sebagaimana dipaparkan oleh
Westerhoff III, sehingga anak-anak mendapatkan pengalaman yang lengkap
dalam keimanan mereka.

2.2.

Gereja dan Relasinya dengan Lingkungan

Keberadaan gereja tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hal itu
dikarenakan kelahiran gereja juga dari anggota-anggota masyarakat itu sendiri.

18

Mereka membentuk komunitas sesuai dengan agama yang dianutnya. Dalam hal
inilah gereja memiliki tiga jenis hubungan.10 Hubungan yang dimaksud adalah
pertama, hubungan dengan orang-orang tak beriman dan atau di luar komunitas.
Hubungan ini terkait dengan perutusan pemberitaan Injil kepada sesama.
Hubungan kedua, hubungan dengan dalam komunitas itu sendiri, dalam hal ini
untuk memperdalam iman dan kehidupan kerohaniannya. Hubungan yang ketiga,
adalah hubungan dengan komunitas lain, komunitas lain yang dimaksud adalah

gereja lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hubungan gereja dengan masyarakat
umumnya masuk dalam hubungan gereja dengan luar komunitas. Dalam
hubungan tersebut meskipun dalam rangka pewartaan Injil, gereja dituntut
memiliki pandangan yang terbuka mengenai hidup bermasyarakat dan tidak
eksklusif. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia membuktikan bahwa orang-orang
Kristen telah berperan besar dalam terbentuk negara dan masyarakat, namun
terkait dengan peran gereja masih menjadi pergumulan hingga saat ini.11 Oleh
karena itu hubungan gereja dengan masyarakat terus diupayakan. Hal itu
bertujuan agar gereja dapat berperan serta dalam masyarakat, khususnya masalahmasalah yang ada di dalam masyarakat, seperti ekonomi dan sosial. Sejauh ini
dalam gereja telah mengembangkan pelayanan diakonia sebagai langkah kongkret
untuk menjawab tantangan peran gereja dengan masyarakat di lingkungan sekitar.

10

Kiswara, c, sj, Gereja Memasyarakat, Belajar dari Kisah Para Rasul, Yogyakarta, Kanisius, 1988,
hal 12-16.
11
Wahono, Wismoady, S, Ph.D, Pro- Eksistensi, Kumpulan ulisan untuk Mengacu Kehidupan
Bersama, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001, hal. 55.


19

Pelayanan diakonia gereja seperti pemberian bantuan kebutuhan pokok kepada
fakir miskin dan bantuan modal usaha.
Salah satu persoalan terkait dengan gereja dan hubungannya dengan
masyarakat di Indonesia adalah pluralitas. Hal itu dilatarbelakangi oleh konteks
masyarakat Indonesia yang majemuk baik agama, budaya, suku, dan bahasa.
Menghadapi prulalitas agama di masyarakat, gereja telah mengembangkan sebuah
metode dalam rangka meningkatkan hubungan dan kerja sama dengan pemeluk
agama lain. Metode tersebut adalah dialog, yaitu dialog antar umat beragama
dalam masyarakat.12 Dengan berdialog gereja dapat mengalami perjumpaan
dengan agama lain di tengah masyarakat dan membangun hubungan yang
bertanggunjawab.

2.3.

Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga

Sebagai lembaga sosial terkecil merujuk pada pendapat Sudjana, keluarga

memiliki enam fungsi yaitu fungsi biologis, edukatif, religius, protektif, sosialisasi
anak, dan ekonomis.13 Terkait dengan fungsi edukatif dan religius keluarga
menyelenggarakan pendidikan agama. Miller menyebutkan pendidikan agama
tidak hanya hal-hal yang berhubungan dengan ritual keagamaan terkait dengan
kelahiran, ulangtahun, pernikahan dan kematian, lebih daripada itu agama
menempatkan keluarga sebagai komunitas yang saling menopang di masa sulit
12

Knitter, F, Paul, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi-Agama dan Tanggunjawab Global,
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2012, hal.143.
13
Helmawati, Pendidikan Keluarga, Teoritis dan Praktis, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014,
hal.44.

20

dan menjadi sebuah sistem nilai yang memberi makna hidup.14 Dengan demikian
pendidikan agama menjadi hal utama dalam keluarga atau dengan kata lain
keluarga menjadi tempat pertama bagi pendidikan agama, sehingga setiap anggota
keluarga dapat memaknai agama bagi kehidupannya. Oleh karena itu, setiap

keluarga mengupayakan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.
Dalam Pendidikan Agama Kristen (PAK) juga mencakup PAK keluarga.
PAK keluarga yang dimaksud tidak hanya penerusan nilai-nilai, melainkan
melibatkan pemikiran yang sadar, kritis, kreatif dan baru dalam PAK.15 Oleh
karena itu, orang tua sebagai pendidik memiliki tugas penting dalam PAK, terkait
dengan hal itu orang tua perlu memiliki pemahaman PAK itu sendiri dan metode
yang tepat guna melaksanakan PAK dalam keluarga. Untuk hal pertama tentang
pemahaman PAK, penulis merujuk pada apa yang disampaikan oleh Groome

16

bahwa PAK adalah sebagai berikut:
1) Pendidikan bagi Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang dimaksud
adalah simbol yang menggambarkan kehadiran Allah secara aktif yang
berkuasa sepanjang sejarah. Dalam hal ini Kerajaan Allah yang
dibicarakan ialah Kerajaan Allah masa lampau (yang telah hadir dalam
Yesus Kristus), masa kini (ketika umat melaksakan kehendak Allah)
dan masa yang akan datang (kesempurnaan yang akan dikerjakan

14

Elizabeth Miller dalam Lemanna, Ann, Mary, and Riedmann, Agnes, Marriages and Families,
Making Choices in a Diverse Society, Thomson Higher Education, USA, 2009, hal. 70.
15
Hadinoto, Atmadja, N.K, Dialog dan Edukasi, Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hal. 272.
16
Groome, H, Thomas, Pendidikan Agama Kristen- Berbagi Cerita dan Visi Kita, BPK Gunung
Mulia, Jakarta 2011, hal. 49-143.

21

Allah). Kerajaan Allah itu sendiri adalah pemberian Allah yang
dipahami dalam iman Kristen hadir dalam Yesus Kristus yang disalib
dan dibangkitkan. Orang-orang Kristen dipanggil melalui Yesus
Kristus ke dalam hubungan dengan Allah dan satu sama lain sebagai
anggota Kerajaan Allah. Dalam relasi itu kasih menjadi nilai dasarnya,
selain itu ada pertobatan dari masing-masing individu yang membawa
mereka hidup dalam nilai-nilai Kerajaan Allah (keadilan, kebenaran,
damai dan kesetaraan) di tengah masyarakat. Terkait dengan hal itu
komunitas Kristen (keluarga dan gereja) menjadi tanda kehadiran
Kerajaan Allah dan mewartakannya.
2) Pendidikan bagi Iman Kristen. Dalam hal ini PAK mempromosikan
iman Kristen dan mensponsori orang-orang ke arah iman Kristen yang
dewasa sebagai realitas hidup. Iman Kristen yang dimaksud adalah
anugerah Allah yang menyentuh inti batiniah seseorang dan
membimbingnya ke arah hubungan yang hidup dengan Allah di dalam
Yesus Kristus. Dalam iman Kristen tersebut memiliki dimensi kognitif
(kegiatan percaya), dimensi afektif (kegiatan mempercayakan),
dimensi tingkah laku (kegiatan melakukan).
3) Pendidikan bagi kebebasan manusia. Kebebasan yang dimaksud adalah
kebebasan setiap individu dalam menentukan iman Kristen, artinya
respon seseorang terhadap undangan Allah untuk memiliki iman
Kristen yang hidup haruslah sebuah respon yang bebas. Namun
demikian

kebebasan

tersebut

22

memiliki

konsekuensi

yaitu

mengaktualisasikan diri sesuai yang diminta secara terus-menerus
berkaitan dengan iman Kristen. Dalam iman Kristen itu sendiri
kebebasan dipahami sebagai “kebebasan bagi” (Freedom for) dan
“kebebasan dari” (Freedom from). “Kebebasan bagi” yang dimaksud
adalah kebebasan untuk menjadi apa seseorang dipanggil, yaitu
kebebasan menjadi satu dengan Allah yang diekspresikan dalam
kebebasan bersekutu dengan orang lain dan kebebasan melayani orang
lain. Sedangkan “kebebasan dari” adalah kebebasan dari dosa yang
diperoleh dari Allah melalui penyelamatan di dalam Yesus Kristus.
PAK yang mencakup tiga hal tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan
PAK keluarga orang tua tidak hanya mengajarkan secara lisan kepada anak
tentang iman Kristen, tetapi juga memberikan contoh praktek iman dalam
kegiatan sehari-hari di tengah keluarga.
Terkait dengan pelaksanaan PAK keluarga, peneliti merujuk pada
Hadinoto.17 Ada dua metode yang menurutnya harus dilaksanakan secara
bersamaan dalam pelaksanaan PAK keluarga. Kedua metode yang dimaksud
adalah sosialisasi dan edukasi. Metode sosialisasi yang dimaksud adalah proses
pendidikan yang berlaku secara wajar sehingga dengan sendirinya orang tua
meneruskan pengetahuan, kebiasaan, nilai-nilai kepada anak-anak. Proses
sosialisasi PAK dalam keluarga sebagai contoh; mengajak anak tiap hari Minggu
ke gereja, mengajak anak berdoa dengan menutup mata dan melipat tangan.

17

Hadinoto, Admadja, Kristiana, Nieke, Dialog dan Edukasi, Keluarga Kristen dalam Masyarakat
Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hal. 182-191.

23

Dengan demikian anak secara wajar akan melakukan hal itu sebagai kebiasaan
yang mereka terima dari orang tua. Hal itu seperti yang diungkapkan juga oleh
Lickona dalam metodenya yaitu pemodelan (teladan).18 Pemodelan yang yang
dimaksud adalah orang tua tidak hanya membicarakan PAK dalam keluarga,
tetapi lebih daripada itu mempraktekkan langsung dalam hidup sehari-hari.
Dengan demikian anak melihat secara langsung dari contoh atau teladan. Pada
akhirnya anak juga mempraktekkan hal tersebut secara sukarela dan sadar karena
melihat bagaimana orang tuanya melakukan.
Lebih lanjut Hadinoto menjelaskan metode sosialisasi dalam PAK
keluarga yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Sebagai proses fungsional yaitu meneruskan nilai-nilai dan kebiasaakebiasaan dari orang tua kepada anak-anak, dari generasi kepada
generasi seperti terjadi dalam masyarakat yang berlangsung dengan
sendirinya, tanpa sadar dan sengaja.
2) Sebagai upaya memberikan “identitas kelompok”. Identitas yang
dimaksud adalah identitas anak sebagai anggota dari kelompok
persekutuan Kristen.
3) Sebagai “induksi alamiah iman Kristen” dari orang tua kepada anakanak. Dalam hal ini Hadinoto merujuk pada teori Busnell yang
menggambarkan keluarga sebagai

18

kesatuan

organik.

Keluarga

Lickano, Thomas, dalam David Streight (editor), Parenting for Character, Five Experts, Five
Practices, Council for Spiritual and Ethical Education (CSEE), Porland-Oregon, 2008, hal.35.

24

digambarkan seperti batang pohon mengalirkan makanan ke dahan dan
daun, demikian iman Kristen yang dipercayai dan diamalkan orangtua
mengalir ke dalam hidup anak-anak.
4) Sebagai suatu interaksi sosial, yaitu interaksi diantara “anggotaanggota persekutuan orang percaya” dalam hal ini adalah keluarga.
Dengan demikian dalam metode sosialisasi orang tua menjalankan
fungsinya sebagaimana yang dilakukan oleh orang tua pada umumnya yaitu
meneruskan nilai-nilai keagamaan sehingga anak menyadari identitasnya sebagai
bagian dari kelompok persekutuan Kristen. Hal tersebut dilakukan oleh orang tua
secara terus menerus melalui proses interaksi dalam keluarga.
Berbeda dengan metode sosialisasi, metode edukasi lebih bersifat
terencana dan disengaja yang mencakup tiga arti sebagai berikut:
1) Emansipasi. Dalam PAK istilah “emansipasi” dipakai sebagai lawan
dari sosialisasi. Jika proses sosialisasi membawa pemaksaan dan
penyesuaian anak menurut model dari orang tua, maka emansipasi
membawa pada subjektivitas dan kemandirian individu dari kelompok
atau masyarakat. Dengan demikian PAK adalah seni dalam mencari
perimbangan antara sosialisasi dan emansipasi.
2) Intentional sosialisasi. Yaitu proses sosialisasi yang diusahakan secara
sadar dan sengaja, dengan tidak hanya menggantungkan pada keadaan
saja. Dalam hal ini Hadinoto merujuk pada yang dikemukakan oleh
Schipper yaitu sosialisasi yang bermutu, di mana sosialisasi adalah

25

usaha sengaja, direncanakan dengan cermat melalui jalan menciptakan
keluarga sebagai “persekutuan belajar-mengajar”, dan mempunyai
tujuan yang jelas untuk meningkatkan segala sesuatu yang telah ada.
3) Concientization. Hadinoto meminjam istilah dari Paulo Freire. Dalam
metode ini PAK tidak hanya menuangkan ilmu pengetahuan
keagamaan yang dipelajari, tetapi juga membuka kesadaran diri dan
kesadaran akan lingkungan, sehingga anak mampu melihat hubungan
yang satu dengan yang lain dan menganalisis situasi.
Dengan demikian metode Edukasi berfungsi sebagai kritis, dialektis dari
metode sosialisasi. Oleh karena itu jika metode tersebut digabungkan dalam PAK
keluarga, maka keluarga mampu mengahsilkan sikap kritis dan terbuka terhadap
iman Kristen yang diajarkan.
Hadinoto juga menambahkan dari perspektif Alkitab terkait dengan PAK
dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua. Menurutnya proses sosialisasi dan
edukasi seperti dijelaskan di atas, dalam Alkitab dicerminkan melalui keluarga
Yahudi (Perjanjian Lama) dan Yesus beserta murid-murid-Nya (Perjanjian Baru).
Pendidikan Yahudi dimulai dari keluarga dengan tujuan melatih anak-anak
melalui cerita-cerita tentang Allah dan sejarah keselamatan bangsa pilihan Allah
sedemikian rupa, sehingga anak-anak Israel menghayati kisah tindakan
penyelamatan Allah itu sebagai bagian kisah pengalaman mereka juga. Para orang
tua melengkapi pengajarannya dengan Torah sebagai petunjuk yang harus mereka
ajarkan kepada anak-anak. Dengan demikian pengajaran tidak hanya dalam

26

bentuk lisan, tetapi juga tulisan. Selain menerima pengajaran di rumah dari
orangtuanya, anak-anak Yahudi juga dididik oleh orang tua melalui keikutsertaan
mereka dalam ritual-ritual yang diselenggarakan.
Dalam Perjanjian Baru, pendidikan berpusat pada diri dan pekerjaan
Yesus. Yesus dipanggil sebagai guru, oleh karena itu pengajaran-Nya yang penuh
kuasa yang disaksikan langsung oleh para imam dan ahli Taurat selain muridmuridNya. Dalam relasinya dengan murid-muridNya sangat jelas bahwa ia
mengajar mereka. Yesus tidak bermaksud mendirikan sekolah ketika Ia bertindak
sebagai guru terhadap para murid, melainkan hendak menjadikan muridmuridNya kelak menjadi rasul-rasul yang diutus ke dunia untuk memanggil
orang-orang lain mengenal Yesus dan mengalami kuasa pembebasanNya. Oleh
karena tujuan tersebut Yesus mengajar dan menjadi guru atas mereka.
Dari kedua teologi tersebut Hadinoto hendak mengajak para pendidik
dalam hal ini orang tua dalam pelaksanaan PAK keluarga bahwa mereka
mendapat tugas yang sejak PL dan PB dikerjakan demi nilai-nilai kristiani yang
diteruskan pada generasi selanjutnya. Oleh karena itu sekali lagi metode
sosialisasi dan edukasi harus dikerjakan bersama agar terjadi proses belajarmengajar iman Kristen dalam keluarga.
Sebagaimana dalam setiap pendidikan memiliki sasaran didik, demikian
pula PAK keluarga. Sasaran PAK keluarga adalah anak, oleh karena itu orang tua
dalam pelaksanaan PAK dalam keluarga perlu memperhatikan perkembangan
anak khususnya dalam perkembangan iman. Dalam hal ini penulis merujuk pada

27

teori yang dikemukakan oleh Fowler. Dalam teorinya Fowler menyebutkan ada
tujuh tahapan iman dalam perkembangan iman seseorang.19 Tahap-tahap yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Tahap pertama disebut kepercayaan Awal dan Elementer (Primal
Faith) pada masa ini anak berusia 0-2 tahun. Tahap ini ditandai adanya
cita rasa yang bersifat praverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi,
yaitu rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang dan
lingkungan yang secara langsung terlibat dalam pengasuhan, serta
terdapat gambaran kenyataan yang paling akhir dan mendasar. Selama
tahun pertama terjadi perkembangan keseluruhan interaksi timbal balik
(mutual) yang lebih komplek dan mantap antara bayi dan pengasuh
utama (ibu atau penggantinya). Berkat lingkungan pengasuhnya dan
orang lain anak belajar membedakan kebaikan yang dirasakan sebagai
hal yang dapat dipercaya, dan kejahatan yang harus dicurigai dan
dihindari sebagai sumber bahaya dan ancaman. Berdasarkan perbedaan
antara kedua perasaan dasar tersebut timbul “gambaran-gambaran
elementer” (primal images) dan pola acuan imajinatif yang senantiasa
memantau keseluruhan “diri-dunia” menurut sifat baik dan buruknya.
Dalam konteks inilah primal faith dapat muncul yaitu seluruh rasa
kepercayaan dan kesetiaan vital-somatik yang bersifat praverbal,
prarefleksi dan prakonseptual terhadap lingkungan dan keseluruhan
“diri-dunia”. Dengan demikian gambaran Allah atau simbol-simbol
19

Cremes, Agus, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W. Fowler, Sebuah
Gagasan Baru dalam Psikoloi Agama, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hal. 96-218.

28

kepercayaan diangkat dari seluruh gambaran bayi tentang ibu dan
bapak, berdasarkan ingatan imajinatif akan irama kehadiran dan
ketidakhadiran ibu, bapak, atau pengasuh lainnya yang saling
bergantian.
2) Tahap kedua disebut kepercayaan Intuitif-Proyektif (umur 2 sampai 6
tahun). Pada tahap ini anak belajar menyusun dunia pengalaman dari
sudut perasaan dan titik pandangannya berdasarkan daya imajinasi
tanpa dihalangi oleh aturan-aturan pemikiran logis yang ketat. Oleh
karena itu anak praoperasional mengikuti irama fantasinya sendiri.
Dengan demikian anak belum mampu membedakan antara fakta dan
fantasi, kenyataan dan mimpi. Cara pengertian perseptif-intutif yang
diliputi oleh daya imajinatif, fantasi dan mimpi, sangat berpengaruh
dan menciptakan suatu realitas psikis yang terasa lebih nyata dan hidup
dibandingkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang objektif. Oleh
karena itu simbol-simbol kepercayaan muncul dalam gambarangambaran dan tokoh-tokoh yang dilakonkan dalam cerita. Misalnya
cerita khayal, cerita dongeng, mitos, upacara dan ibadat.
3) Tahap ketiga adalah kepercayaan Mitis-Harfiah (umur 6-11 tahun).
Berbagai pola sifat baru dapat ditemukan pada pola pengertian
kepercayaan mitis-harfiah ini. Anak mulai berfikir secara “logis”, dan
mengatur dunia dengan kategori-kategori baru, seperti kategori
kausalitas, kategori ruang dan waktu. Anak menjadi sang empirikus
kecil yang secara empiris dan logis berniat menyelidiki struktur dan

29

fungsi sebenarnya dari segala hal dan seluruh kenyataan. Anak
mendasarkan pengetahuan kepercayaannya semata-mata pada autoritas
orang tua, anggota keluarga, dan pribadi-pribadi lain yang dihargainya,
serta pada autoritas yang berasal dari dunia pengalaman langsung dan
dekat.
4) Tahap keempat merupakan kepercayaan Sintetis-Konvensional (umur
12 tahun sampai masa dewasa). Pada tahap ini muncul bermacammacam kemampuan kognitif yang berpolakan operasi formal dini
sehingga anak harus meninjau kembali pandangan hidupnya. Oleh
karena itu fungsi dan tugas kepercayaan adalah mensintesiskan dan
mengintegrasikan

bermacam-macam

bayangan

diri

serta

menjadikannya satu kesatuan diri atau identitas diri yang koheren dan
yang berfungsi baik. Dalam hal ini identitas diri dibangun berdasarkan
rasa kesetiakawanan, kesetiaan, dan kepercayaan kepada orang lain.
Pola kepercayaan ini juga disebut “konvensional”, sebab secara
kognitif, afektif dan sosial, seorang remaja akan menyesuaikan diri
(conform) dengan orang lain yang dianggap penting baginya dan
dengan mayoritas orang. Bagi remaja, kriteria kebenaran adalah fakta
bahwa segala nilai, norma, gambaran religius, dan keyakinan religius
tersebut disahkan oleh konvensi dan konsensus umum antara para
anggota kelompok yang bernilai baginya.
5) Pada tahap kelima disebut kepercayaan Individuatif-Reflektif (umur 18
tahun dan seterusnya). Pada tahap ini individu masuk dalam struktur

30

operasional formal secara penuh. Sebagai akibat dalam tahap ini,
pertama, muncul suatu kesadaran jelas tentang identitas diri yang khas
dan otonomi tersendiri, diperjuangkannya suatu jenis kemandirian
baru, artinya terjadi kesadaran diri dan refleksi diri yang mendalam.
Kedua, berkat daya operasional formal dan sikap refleksivitas dirinya
yang tinggi, individu belajar mengajukan pertanyaan kritis mengenai
seluruh nilai, pandangan hidup, keyakinan kepercayaan, dan komitmen
yang tak diucapkan (tacit system) namun diterima sebagai yang benar
dan sah secara konvensional-konsensus berdasarkan autoritas ekstern.
Akibat ketiga, individu itu sendirilah yang harus memikul tugas
menentukan pilihan dan menyingkirkan sekian banyak alternatif lain
terkait komitmen dalam hidup dan kepercayaan yang terbuka baginya.
Segala perubahan yang dijelaskan di atas mempunyai dampak terhadap
perubahan gambaran tentang Allah. Allah tidak lagi dirasakan sebagai
pribadi atau orang lain yang paling mengenal hati dan paling
menentukan hidup seseorang, melainkan sebagai Pribadi yang dengan
bebas dan dinamis mengundang setiap orang untuk bekerja sama
dengan-Nya dan menjadi rekan kerja-Nya.
6) Tahap enam adalah kepercayaan Konjungtif (umur minimal sekitar 3540 tahun). Pada tahap ini timbul kesadaran baru dan pengakuan kritis
terhadap prioritas, ketegangan, kedwiartian, dan multidimensionalitas
yang dirasakan oleh pribadi dalam diri dan hidupnya. Kini kenyataan
semakin komplek. Kebenaran tidak lagi dipandang sebagai hasil

31

penangkapan arti yang bersifat rasional, konseptual, dan jelas, tetapi
merupakan hasil perpaduan dari berbagai pertentangan dan paradoks
sehingga kompleksitas realitas sungguh diakui dan dihormati. Pada
tahap ini diperjuangkan pula sifat terbuka terhadap kebenaran
tradisional yang sebelumnya dianggap berlawanan dan asing terhadap
kebenaran rasional karena merupakan hasil ciptaan pribadi. Oleh
karena itu segala hal yang bersifat pertentangan dan kontradiksi, yang
pada tahap sebelumnya dirasakan sebagai sungguh-sungguh terpisah
dan tidak mungkin diperdamaikan, kini dipersatukan dalam suatu
kesatuan utuh yang lebih tinggi dan melampaui segala pertentangan
tanpa meniadakannya. Sehingga timbul keyakinan bahwa kebenaran
hanya dapat ditemukan apabila dalam suatu dialog terbuka secara jujur
kita mau melakukan konfrontasi dialektis antara visi, perspektif, atau
pandangan yang diketengahkan oleh semua patner dialog. Dengan
demikian sikap kritik diri dan transendensi diri harus selalu disertai
kewaspadaan untuk mencegah berbagai bahaya fatal yang terdapat
dalam setiap bentuk kepercayaan dan semua agama.
7) Pada tahap tujuh disebut sebagai kepercayaan yang mengacu pada
universalitas (sekitar 30 tahun dan seterusnya). Tahap kepercayaan ini
ditunjukkan melalui tokoh-tokoh besar di sejarah agama. Pribadi
semata-mata didorong oleh berbagai kabajikan ilahi, seperti cinta kasih
inklusif dan keadilan universal serta penghargaan yang amat tinggi
terhadap nilai hidup, kesatuan dan persatuan. Jika ada penderitaan

32

tidak bersifat balas dendam dan mental perombak tidak dipaksakan,
tetapi nampak begitu spontan. Kini transendensi diri merupakan
realisasi diri yang paling manusiawi, yaitu sebagai pembaktian diri
tanpa syarat demi kepentingan orang lain dan keseluruhan kesatuan.
Terdapat semangat cinta sejati, yang tidak mengingat kepentingan diri
pribadi, mengorbankan seluruh tenaga dan hidupnya sendiri. Pribadi
yang demikian oleh Fowler disebut sebagai universalizer yaitu gaya
hidup yang jauh lebih manusiawi daripada semua orang lain. Hal itu
didasarkan adanya rasa kesatuan dengan Allah dan sumber daya.
Dengan demikian individu mampu merayakan dan mewujudkan
dengan semangat nyata, dalam bentuk penghayatan religius dan mistik
yang mendalam, keterlibatan etis yang inklusif, rasa tanggungjawab
universal, serta keprihatianan kreatif dan konkret, yang semuanya
menjadi batu bangunan bagi upaya mewujudkan “Kerajaan Allah”
yang secara antisipatif ingin dikembangkan kini dan disini.
Dari teori perkembangan iman sebagaimana dikemukakan oleh Fowler
menuntut orang tua adalah orang yang telah mencapai tahapan dewasa sehingga
mampu melaksanakan PAK keluarga sesuai dengan perkembangan anak. Dalam
konteks keluarga dengan orang tua yang memiliki kepercayaan yang sama akan
lebih terpahami, tetapi berbeda dengan keluarga beda agama. Sejauh ini belum
ada peneliti belum menemukan adanya penelitian tentang PAK keluarga dalam
keluarga dengan orangtua beda agama, namun demikian dalam penelitian lain
pendidikan agama Islam dalam keluarga beda agama sudah banyak dilakukan.

33

Oleh karena itu peneliti dalam hal ini merujuk pada pendidikan multikultural yang
akhir-akhir ini banyak dikembangkan oleh para ahli guna melengkapi PAK
keluarga bagi keluarga dengan orang tua beda agama. Hal itu dikarenakan dalam
keluarga tersebut orang tua memiliki agama yang berbeda sehingga terdapat lebih
dari satu agama dalam satu keluarga. Pendidikan Multikultural pertama kali
ditemukan oleh James Banks, Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan untuk
people of color.20 Artinya pendidikan multikultural hendak mengeksplorasi
perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Berangkat dari temuan Banks
para ahli pendidikan kemudian melakukan penelitian untuk mengembangkannya
sesuai dengan konteks masing-masing. Dalam konteks pendidikan Kristen
Kurniawati mendefinisikan pendidikan multikultural adalah suatu proses
transformasi untuk membantu peserta didik agar cakap berpartisipasi penuh dalam
kehidupan masyarakat sehubungan dengan kepelbagaian etnis, ras, budaya,
agama, bahasa.21
Lebih lanjut, secara khusus Pendidikan multikultural ini menurut
Kurniawati dalam kaitannya dengan pendidikan Kristen memfokuskan pada
kebutuhan akan perubahan dan transformasi sosial.22 Adapun fungsi pendidikan
multikultural adalah sebagai berikut:

20

Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hal.167.
Kurniawati, Maryam, D.Min, Pendidikan Kristiani Multikultural, Tangerang, Bamboo Bridge
Press, 2014, hal.100.
22
Ibid, hal 102

21

34

1) Membantu peserta didik memperoleh pemahaman diri lebih luas
dengan melihat dirinya dari sudut pandang suku, ras, agama dan
budaya lain.
2) Menolong peserta didik untuk mengenal, memahami dan menghargai
suku, ras, agama, dan budaya di luar suku, ras, agama dan budayanya
sendiri.
3) Menolong peserta didik untuk mengembangkan kekhususannya dari
suku, agama, ras dan budaya yang dimiliki.
4) Menolong peserta didik untuk dapat berpartisipasi dengan penuh
dalam kehidupan masyarakat yang multikultural.
Dengan penggabungan antara PAK keluarga dan Pendidikan Multikultural
maka PAK keluarga tidak hanya bertujuan untuk meneruskan nilai-nilai Kristen
atau menjadikan anak beragama Kristen, tetapi anak mampu mengembangkan
sikap toleransi terhadap anggota keluarga yang memiliki perbedaan agama. Dalam
hal inilah taggungjawab pendidikan agama pada keluarga beda agama menjadi
tanggungjawab bersama orang tua meskipun mereka berbeda agama.

2.4.

Keluarga dengan orang tua beda agama

Dalam pelaksanaan PAK keluarga orang tua memiliki peranan penting.
Oleh karena itu, dalam hal ini bagaimanakah agama ayah dan ibu dalam keluarga
diperhatikan? Jika keluarga sebagai persekutuan iman Kristen sebagaimana yang

35

telah dijelaskan sebelumnya, hal itu merujuk pada orang tua yang sama-sama
beragama Kristen. Dengan demikian orang tua yang memiliki agama berbeda
tidak termasuk di dalamnya, tetapi karena salah satu dari orang tua (ayah atau ibu)
beragama Kristen maka yang bersangkutan juga mempunyai tugas yang sama
dalam pekabaran Injil melalui PAK keluarga. Oleh karena itu, perlu ada gambaran
keluarga dengan orang tua beda agama.
Penyebab yang paling umum adanya keluarga beda agama adalah
perkawinan beda agama. Banyak penelitian bahwa terjadi peningkatan jumlah
perkawinan beda agama di masyarakat Indonesia. Padahal Undang-Undang tidak
mengaturnya. Bossard menjelaskan bahwa perkawinan beda agama disebabkan
oleh karena beberapa faktor. Pertama adalah faktor sosial, semua agama memiliki
aspek kehidupan sosial dan organisasi. Dalam hal ini keluarga dianggap sebagai
lembaga yang memiliki otoritas dalam penyelenggaraan nilai-nilai keagamaan. Di
India misalnya agama diidentifikasikan dengan sistem kasta dan melibatkan
seluruh jajaran sosial. Sedangkan di Amerika tidak terlalu dipentingkan, hanya
dikaitkan untuk menunjukkan latar belakang seseorang. Oleh karena itu, di
Amerika jumlah keluarga dengan orang tua beda agama lebih banyak
dibandingkan dengan di India. Di Indonesia sendiri dalam konteks negara yang
multikulral, perkawinan beda agama cukup tinggi meskipun secara hukum belum
diatur dalam Undang-undang.
Faktor yang kedua, adalah sejarah. Perkawinan antar agama dalam sejarah
telah dilarang seperti yang ditunjukkan dalam kitab Ulangan 1: 1-4, khususnya

36

ayat yang ke 3.23 Perintah itu kemudian dilanjutkan oleh nabi-nabi dan gereja.
Tetapi pada abad keduapuluh Draschler dalam penelitiannya di New York
menyebutkan bahwa telah terjadi pernikahan beda agama yang cukup signifikan.
Hal itu disebabkan oleh populasi penduduk Yahudi dan Kristen yang tidak
berimbang. Oleh karena itu, terjadi sikap lunak baik dari pihak Kristen Katolik
maupun Protestan meskipun tidak secara terbuka. Hal itu juga terjadi di Indonesia,
di mana ada gereja-gereja yang mengijinkan anggotanya melakukan pernikahan
beda agama.
Dalam konteks Indonesia pasangan beda agama yang melakukan
pernikahan dapat mengalami isolasi dari masyarakat. Terisolasinya pasangan beda
agama terjadi karena beberapa alasan seperti yang diungkapkan oleh Ariarajah.24
Ia menyebutkan ada tiga alasan pasangan semacam itu terisolasi. Pertama,
khususnya dalam tradisi agama Kristen dan Islam, jika seseorang menikah dengan
seorang beragama Buddha atau Hindu, maka dia dianggap “berkhianat” atau
“kurang kristiani“ atau “kurang islami” dan dianggap “meninggalkan”
persekutuan agamanya. Alasan kedua berhubungan dengan sikap pasangan itu
sendiri. Setelah mendapatkan pertentangan dari orangtua dan saudara atas
pernikahannya, maka setelah menikah mereka berusaha untuk mengatasi masalah
23

Ulangan 7: 1-4: ”Apabila TUHAN, Allah u, telah e bawa e gkau ke dala
egeri, ke a a
engkau masuk untuk mendudukinya, dan Ia telah menghalau banyak bangsa dari depanmu, yakni
orang Het, orang Girgasi, orang Amori, orang Kanaan orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus,
tujuh bangsa, yang lebih banyak dan lebih kuat dari padamu, dan TUHAN Allahmu, telah
menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah
engkau ........, janganlah engkau kawin mengawinkan dengan mereka: anakmu perempuan
janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan
kauambil bagi anakmu laki-laki.....”
24
Ariarajah, Wesley, S, Not Without My Neighbour, Tak Mungkin Tanpa Sesamaku, Jakarta BPK
Gunung Mulia, 2008, hal. 94-95.

37

mereka sendiri tanpa melibatkan keluarga. Alasan ketiga para tokoh agama seperti
Pendeta dalam agama Kristen segan untuk mengadakan kontak dengan pasangan
yang menikah karena takut dituduh ikut campur, sehingga cenderung untuk
menjaga jarak dengan keluarga dari pernikahan beda agama. Oleh karena itu,
Ariarajah menegaskan keberhasilan keluarga beda agama bergantung sepenuhnya
pada pasangan itu sendiri.25
Keluarga dalam kondisi orang tua beda agama oleh beberapa penelitian
menunjukkan adanya dampak terhadap anak-anak. Dampak-dampak tersebut
diantaranya, persoalan interaksi dalam keluarga. Gambaran keluarga sebagai
sebuah sistem yang didalamnya terdapat interaksi personal di antara anggotaanggotanya, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut 26:

Ibu

Ayah

Anak

Anak

Gambar 1 : Interaksi dalam keluarga
Interaksi yang kuat dalam keluarga memiliki pengaruh yang kuat dalam
proses pendidikan dalam keluarga. Orang tua dalam hal ini ayah dan ibu memiliki
25

Ibid, hal.97.
Havighurst, J, Robert, and Neugarten, L, Bernice, Society anda Education, ALLYN AND BACON,
INC, Boston, 1959, hal. 82.

26

38

peran besar terjadinya interaksi yang kuat dalam keluarga, meskipun interaksi di
antara mereka sendiri juga perlu diupayakan. Keberhasilan proses interaksi ayah
dan ibu mempengaruhi interaksi mereka dengan anak-anak. Oleh karena itu jika
terjadi persoalan pada interaksi orang tua berdampak pada anak, salah satu
persoalannya adalah interaksi terkait adanya perbedaan agama. Dengan kata lain
jika interaksi di antara orang tua tidak kuat karena agama yang berbeda, maka
dapat melemahkan interaksi orang tua dengan anak yang secara langsung
mempengaruhi perkembangan anak.27
Dampak lain dari perbedaan agama di antara orang tua dalam keluarga
adalah rendahnya kualitas agama anak-anak.28 Hal itu disebabkan sikap orang tua
yang kurang memberikan perhatian dan pembinaan agama terhadap anak-anak.
Dampak berikutnya hasil penelitian menunjukkan juga terhadap pemilihan agama
oleh anak di antara agama yang dianut oleh kedua orangtuanya, dalam hal ini
pengaruh maternal lebih kuat sehingga anak lebih cenderung memilih agama
ibu.29 Pilihan anak tersebut karena ibu lebih memiliki hubungan yang dekat
dengan anak atau karena waktu bersama dengan ibu lebih banyak dibandingkan
dengan ayah.

27

Bossard, H.S, James, The Sociologi of Chid Development, Harper And Brothers, United State of
America, 1954, hal. 390.
28
Asrori, Mohib, Kritisi Jurnal Millah Keluarga Beda Agama Dalam Masyarakat Jawa Perkotaan,
Sudi Kasus di Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta, www.gurutrenggalek.com/2010/01/kritisijurnal-millah-keluarga-beda.html?m=1, 29 Maret 2015.
29

Asrori, Mohib, Kritisi Jurnal Millah Keluarga Beda Agama Dalam Masyarakat Jawa Perkotaan,
Sudi Kasus di Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta, www.gurutrenggalek.com/2010/01/kritisijurnal-millah-keluarga-beda.html?m=1, 29 Maret 2015.

39

Dengan demikian keluarga dengan orangtua beda agama yang disebabkan
oleh pernikahan beda agama dapat membawa dampak terhadap anak. Oleh karena
itu orang tua dalam keluarga beda agama perlu memperhatikan dampak tersebut
baik sebelum maupun setelah menikah.

2.5.

Pendidikan Agama dalam keluarga beda agama

Pendidikan dalam keluarga tidak dapat dilepakan dari pendidikan agama
karena keluarga juga memiliki fungsi religius. Dengan pendidikan agama yang
dilaksanakan oleh keluarga Helmawati mengungkapkan bahwa agama selain
dapat menghasilkan anak pada kedewasaan dalam menerapkan norma-norma
agama dalam hidup sehari-hari, agama juga dapat membantu memecahkan
persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh manusia itu sendiri.30 Dengan
demikian pendidikan agama dalam keluarga mengikat seluruh anggota keluarga,
mereka malaksanakan norma-norma agama bersama dan menggunakan norma
tersebut dalam mengatasi persoalan yang mereka hadapi dalam keluarga. Dalam
hal tersebut orang tua sebagai orang lebih dewasa menjadi sumber pengajaran
agama bagi anak-anak. Hal ini berlaku bagi setiap keluarga termasuk keluarga
beda agama. Meskipun orang tua beda agama yang disebabkan oleh perkawinan
beda agama, mereka tetap memiliki tanggungjawab dalam pendidikan agama.

30

Helmawati, Pendidikan Keluarga, Teoritis dan Praktis, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014,
hal.45.

40

Pendidikan agama dalam keluarga beda agama menurut penelitian
Mustofiyah terdapat tiga variasi berdasarkan interaksi yang terjadi pada orang tua
yang berbeda agama.31 Tiga variasi tersebut, pertama, pasangan suami-istri kurang
kuat dalam keagamaan. Bila hal itu yang terjadi maka pendidikan agama pada
anak lebih ditentukan oleh lingkungan. Dalam hal ini lingkungan yang dimaksud
adalah keluarga besar seperti kakek-nenek atau saudara dan masyarakat yang ada
di sekitar keluarga. Jika lingkungan mayoritas Islam maka anak akan cenderung
beragama Islam dan pendapatkan pendidikan agama dari lingkungan, demikian
pula jika lingkungan mayoritas beragama Kristen dan sebagainya. Variasi kedua,
salah satu pasangan lebih kuat dalam beragama. Maka pendidikan agama lebih
banyak dilakukan oleh pasangan yang kuat agamanya. Dalam hal ini dari hasil
penelitian ibu lebih banyak dibandingan dengan ayah. Variasi yang ketiga,
pasangan sama-sama kuat beragama. Jika dalam keluarga beda agama terjadi
demikian maka pendidikan agama keluarga di dasarkan atas “perjanjian” yang
disepakati bersama oleh pasangan. Dalam keluarga yang demikian kemungkinan
besar anak memiliki agama yang berbeda satu dengan yang lain karena
dipengaruhi oleh perbedaan agama orang tua dan pengaruh yang kuat dari masingmasing orang tua.
Dalam keluarga beda agama anak-anak cenderung mengikuti salah satu
agama orang tuannya, tetapi setelah dewasa sangat dimungkinkan perubahan
agama. Hal tersebut karena anak mendapatkan pendidikan dan pengaruh dari
masing-masing orang tua baik yang dalam relasi orang tua satu kuat dan satu
31

Mustadhoui.wordpress.com/pendidikan-agama-pada-anak-pasangan-orang-tua-beda-agama.
2 April 2015.

41

lemah dalam hal agama, atau relasi yang kedua orang tua sama-sama kuat
agamanya masing-masing. Dengan demikian perubahan agama lebih besar terjadi
dalam keluarga beda agama dibandingan dengan keluarga yang memeluk satu
agama.

2.6 Kesimpulan
Pendidikan Agama Kristen (PAK) tidak dapat dilepaskan dari gereja. Hal
tersebut disebabkan adanya hubungan erat antara gereja sebagai persekutuan
orang-orang percaya dan keluarga menjadi bagian di dalamnya. Keduanya juga
menjadi sumber PAK keluarga yang saling mengisi dan melengkapi.
Pengertian PAK mencakup seluruh proses pendidikan yang dilaksanakan
secara terencana dari orang tua tentang nilai-nilai Kerajaan Allah (kasih,
kebenaran, damai dan kesetaraan), iman Kristen, dan kebebasan hidup beriman.
Dalam pelaksanaan PAK orang tua dapat menggunakan dua metode sekaligus
yaitu metode sosialisasi dan edukasi sesuai dengan perkembangan kepercayaan
anak. Dalam konteks masyarakat majemuk termasuk dalam keluarga, maka PAK
dilengkapi dengan Pendidikan Multikultural. Dengan demikian PAK keluarga
tidak hanya meneruskan nilai-nilai Kristen sehingga anak menjadi seorang
Kristen, tetapi juga mengembangkan sikap toleransi terhadap anggota keluarga
yang beragama lain.
Pendidikan agama dalam keluarga beda agama sangat bergantung pada
relasi dari orang tua. Jika orang tua dalam relasi sama-sama lemah dalam agama

42

maka pendidikan agama anak lebih ditentukan oleh lingkungan. Apabila orang tua
pada relasi satu lemah dan satu kuat dalam agama, maka yang kuat akan
menentukan pendidikan agama pada anak. Sedangkan apabila orang tua samasama kuat dalam agamanya maka pendidikan agama anak dilaksanakan
berdasarkan perjanjian dari orang tua. Oleh karena itu dalam keluarga beda agama
sangat dimungkinkan terjadinya perubahan agama pada anak-anak sampai
dewasa.

43

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Psiko-Teologis tentang Musik dalam Ibadah Minggu di Jemaat GKMI Salatiga T2 752014023 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Psiko-Teologis tentang Musik dalam Ibadah Minggu di Jemaat GKMI Salatiga T2 752014023 BAB II

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Psiko-Teologis tentang Musik dalam Ibadah Minggu di Jemaat GKMI Salatiga T2 752014023 BAB IV

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Tingkat Religiusitas Remaja Akhir dari Orang Tua yang Beda Agama dan Orang Tua yang Tidak Beda Agama

0 1 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tradisi “Piring Nazar” dalam Perspektif Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga T2 752013033 BAB II

0 0 41

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendidikan Agama Kristen Dalam Keluarga Dengan Orang Tua Beda Agama di Jemaat GKMI Salatiga T2 752013020 Bab I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendidikan Agama Kristen Dalam Keluarga Dengan Orang Tua Beda Agama di Jemaat GKMI Salatiga T2 752013020 Bab IV

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendidikan Agama Kristen Dalam Keluarga Dengan Orang Tua Beda Agama di Jemaat GKMI Salatiga T2 752013020 Bab V

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendidikan Agama Kristen Dalam Keluarga Dengan Orang Tua Beda Agama di Jemaat GKMI Salatiga

0 0 12

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB II

0 1 26