Keterkaitan Perbankan Syariah dengan Usa

Dikta Ekonomi

Huda dan Zain

Keterkaitan Perbankan Syariah dengan Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia
NURUL HUDA
EFENDY ZAIN1
Fakultas Ekonomi Universitas Yarsi
Gedung YARSI, Lantai 4, Jl. Letjen. Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp/Fax. + 62 21 426928, HP. + 62 8129076274

Abstract
Linking Of Shariah Banking With Small Micro Medium Enterprises (SMME) In
Indonesia. The aim of this descriptive study is to identify, linking of shariah banking with
Small Micro Medium Enterprises (SMME) in Indonesia. SMME contribution to GDP on
2006 was Rp 1.034.142,70 billion from total of GDP was Rp 1.626.803,90 billion or 63.5%.
In 2007 had increased to be Rp 1.097.833,30 billion and continued on 2008 risen again to be
Rp 1.163.783,40 billion. Beside that during 2006-2008 period SMME sector acted nearly
97% the absorption of Indonesian man power. Correlation of Shariah Banking with SMME
development could see from high financing which distributed during 2005 till January 2010

BUS and UUS had given financing allocation which amount enough and continually had
increasing. In conclusion of this study, amount financing had been distributed to SMME 60%
from the total financing until the end of December 2009 the financing was distributed 73%.
That matter with BPRS in contributing financing was also more domination than sector of
small business and middle.

Keywords: shariah banking, SMME, financing

Abstrak
Tujuan studi deskriptif ini adalah mencari identifikasi awal kerterkaitan perbankan Syariah
dengan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia. Kontribusi UMKM terhadap
PDB pada tahun 2006 sebesar Rp 1.034.142,70 milyar dari total PDB sebesar Rp
1.626.803,90 Milyar atau sebesar 63.5%. Pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi
Rp 1.097.833,30 Milyar dan seterusnya tahun 2008 naik kembali menjadi Rp 1.163.783,40
Milyar. Selain itu Selama periode 2006-2008 sektor UMKM berperan hampir 97%
penyerapan tenaga kerja Indonesia. Terkait hubungan perbankan Syariah dengan
perkembangan UMKM dapat dilihat dari besaran pembiayaan yang disalurkan, Selama
periode 2005 hingga Januari 2010 BUS dan UUS sudah memberikan alokasi pembiyaan
yang cukup besar dan terus mengalami kenaikan. Konklusi studi ini adalah bahwa besar
pembiayaan yang disalurkan pada UMKM sebesar 60% dari total pembiayaan dan hingga

akhir desember 2009 pembiayaan yang disalurkan sebesar 73%. Begitupula halnya dengan
BPRS yang dalam menyalurkan pembiayaan juga lebih dominan pada sektor usaha kecil dan
menengah.
Kata kunci: perbankan syariah, UMKM, pembiayaan

1

Penulis Korespondensi: Email: penzain@yahoo.com

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

IISN 1411 – 0776 137

Dikta Ekonomi

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perbankan Syariah pertama kali muncul di
Mesir tanpa menggunakan embel-embel Islam,
karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa
saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El
Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan
yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di
kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini
berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah
berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir.
Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun
menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada
usaha-usaha perdagangan dan industri secara
langsung dalam bentuk partnership dan membagi
keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971,
Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan
diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan
rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic Development Bank (IDB) kemudian
berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negaranegara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut

adalah bank antar pemerintah yang bertujuan
untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit
sharing untuk negara-negara tersebut dan secara
eksplisit menyatakan diri berdasar pada Syariah
islam.
Sistem Perbankan Syariah Indonesia dimulai
tahun 1992 dengan digulirkannya UU No. 7/1992
yang memungkinkan bank menjalankan operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil. Pada
tahun yang sama lahir bank Syariah pertama di
Indonesia, Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Hingga tahun 1998 praktis bank Syariah tidak
berkembang. Baru setelah diluncurkan Dual
Banking System melalui UU No. 10/1998,
perbankan Syariah mulai menggeliat naik. Dalam
5 tahun saja sejak diberlakukan Dual Banking
System, pelaku bank Syariah bertambah menjadi
10 bank dengan perincian 2 bank merupakan
entitas mandiri (BMI dan Bank Syariah Mandiri/
BSM) dan lainnya merupakan unit/divisi Syariah
bank konvensional.


Huda dan Zain

Pada tanggal 16 Juli 2008 pemerintah
Indonesia menerbitkan UU No.21 tahun 2008
tentang perbankan Syariah dan hal ini
memberikan dampak yang cukup signifikan
berkembangnya Bank Syariah dan Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Berdasarkan
laporan Bank Indonesia bulan Januari 2010 sudah
terdapat 6 Bank Umum Syariah (BUS) yaitu:
BMI, BSM, Bank Syariah Mega, Bank Syariah
BRI, Bank Syariah Bukopin dan Bank Syariah
Panin dan terdapat 25 Unit Usaha Syariah (UUS)
seperti UUS BNI, UUS Danamon, UUS BII dan
seterusnya. Sedangkan jumlah BPRS sebanyak
140 sehingga total keseluruhan menjadi 171 bank
Syariah.
Sejak awal 2008 pemerintah telah meluncurkan program pembiayaan baru bagi UMKM
dan koperasi, yaitu kredit usaha rakyat (KUR).

Dana yang disediakan sebesar Rp 14.5 triliun
disalurkan melalui enam bank pelaksana, yaitu
BRI, BNI, BTN, Bukopin, Bank Mandiri, dan
Bank Syariah Mandiri. Pagu kredit yang diberikan
mulai Rp 5 juta hingga Rp 500 juta dengan bunga
maksimal 16% per tahun. sejauh ini banyak yang
menilai bahwa penyaluran KUR belum berjalan
efektif karena banyak terjadi penyimpangan
(anomali) di lapangan. Selain tidak tepat sasaran,
juga tidak merata ke seluruh daerah di Indonesia.
Belum lagi adanya bank pelaksana yang masih
mematok bunga di atas 16 persen serta
mensyaratkan jaminan tambahan, padahal KUR
telah dijaminkan pemerintah melalui PT Asuransi
Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana
Pengembangan Usaha sebesar Rp 1.45 triliun.
Pangsa pasar UMKM cukup besar karena
sekarang di Indonesia terdapat sekitar 50 juta unit
UMKM, terdiri dari 47.702.310 unit usaha mikro,
2 juta unit usaha kecil, dan 120.000 unit usaha

menengah. Namun, sebagian besar usaha ini
menghadapi kesulitan mendapatkan kredit dari
perbankan nasional. Dari total semua UMKM,
hanya 18.9 juta pengusaha yang menjadi nasabah
bank. Sisanya, sekitar 31 juta tidak punya akses
ke bank. Disinalah kemudian diharapkan peranan
perbankan Syariah dalam mengembangkan
UMKM.

138 Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

IISN 1411 – 0776

Dikta Ekonomi

Huda dan Zain

1.2. Permasalahan

(socio-economic justice and equitable

distribution of income and wealth);
Stabilitas nilai uang untuk memungkinkan
alat tukar tersebut menjadi suatu unit
perhitungan yang terpercaya, standar pembayaran yang adil dan nilai simpan yang
stabil (stability in the value of money);
Mobilisasi dan investasi tabungan bagi
pembangunan ekonomi dengan cara-cara
tertentu yang menjamin bahwa pihak-pihak
yang berkepentingan mendapatkan bagian
pengembalian yang adil (mobilisation of
savings);
Pelayanan efektif atas semua jasa-jasa yang
biasanya diharapkan dari system perbankan
(effective other services).

Beradasarkan pada latar belakang di atas
maka tulisan ini mencoba mengungkap keterkaitan perbankan Syariah dengan UMKM di
Indonesia, dengan tiga pertanyaaan penelitian
yang diajukan yaitu :
1. Bagaimana perkembangan pembiayaan pada

perbankan Syariah baik Bank Umum
Syariah, Unit Usaha Syariah maupu Bank
perkreditan rakyat Syariah ?
2. Bagaimana perkembangan UMKM dan
karakteristik UMKM di Indonesia ?
3. Bagaimana keterkaitan perbankan Syariah
dengan UMKM di Indonesia ?

c.

II.

Para teoritikus perbankan Islam mendambakan aktivitas investasi dalam bank Syariah
didasarkan pada dua konsep yang legal yaitu
Mudharabah dan Musyarakah, sebagai alternative
dalam menerapkan system bagi hasil (profit and
loss sharing/PLS). Toeri ini menyatakan bahwa
bank Syariah akan memberikan sumber pembiayaan (financial) yang luas kepada peminjam
(debitur) berdasarkan atas bagi risiko (baik
menyangkut keuntungan maupun kerugian) yang

berbeda dengan pembiayaan (fianancial) system
bunga pada perbankan konvensional yang semua
risikonya ditanggung oleh peminjam (debitur),
(Abdullah Saeed, 2003).
Saat ini pembiayaan akad berbasis bagi hasil
seperti Mudharabah dan Musyarakah di Indonesia
belum memiliki porsi besar sebagaimana
pembiayaan dengan akad Murabahah. Abd alQadir al-Ush dari Jordan Islamic Bank (JIB)
mengatakan bahwa JIB berusaha menggunakan
Mudharabah untuk menginvestasikan danadananya tetapi setelah kasus kerugian, bank
membatasi penggunaan Mudharabah. Dubai
Islamic Bank misalnya menginvestasikan dananya
dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah
kurang lebih 3%. Selain itu Faisal Islamic Bank of
Egypt (FIBE) mengaalaokasikan dananya dalam
bentuk Mudharabah pada Central Bank of Egypt
yang bersifat pre-determined return.
Padahal akad dengan sistem bagi hasil lebih
menerapkan prinsip keadilan, sesuai dengan konsep bank Syariah. Secara konsep untuk menuju
perbankan Syariah ideal seharusnya pembiayaan

dengan akad Profit Loss Sharing (PLS) lebih

METODE

2.1. Perbankan Syariah
Lembaga perbankan merupakan salah satu
aspek yang diatur dalam Syariah Islam, yakni
bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur
hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga
perbankan dalam Syariah Islam dilandaskan pada
kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa
“maa laa yatimmu al–wajib illa bihi fa huwa
wajib“, yakni sesuatu yang harus ada untuk
menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib
diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan
kegiatan ekonomi) adalah wajib diadakan. Oleh
karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga
perbankan, maka lembaga perbankan ini pun
menjadi wajib untuk diadakan (Adiwarman A.
Karim, 2006).
Sistem perbankan Islam, seperti halnya
aspek-aspek lain dari pandangan hidup Islam,
merupakan sarana pendukung untuk mewujudkan
tujuan dari sistem sosial dan ekonomi Islam.
Beberapa tujuan dan fungsi penting yang
diharapkan dari sistem perbankan Islam (M. Umer
Capra, 2000) adalah :
a. Kemakmuran ekonomi yang meluas dengan
tingkat kerja yang penuh dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum (economic
well-being with full employment and
optimum rate of economic growth);
b. Keadilan sosial-ekonomi dan distribusi
pendapatan dan kekayaan yang merata

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

d.

e.

IISN 1411 – 0776 139

Dikta Ekonomi

dominan. Namun kenyataannya yang terjadi saat
ini pembiayaan non PLS yang lebih dominan.
Untuk menuju sistem keuangan Syariah ideal,
maka share PLS harus diperbesar dan menjadikan
PLS sebagai akad utama, sementara akad lain
menjadi penunjang. Sehingga perlu adanya
insentif dan peraturan dari regulator demi
mendorong penggunaan akad PLS. Mungkin
melalui penilaian tingkat kesehatan bank dimana
jika bank memiliki pembiayaan yang dominan
PLS dianggap lebih sehat dan memang kinerjanya
bagus

2.2. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM),
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM), pengertian UMKM adalah
1 Usaha Mikro adalah usaha produktif milik
orang perorangan dan/atau badan usaha
perorangan yang memenuhi kriteria Usaha
Mikro sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini.
2 Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif
yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
orang perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar yang memenuhi kriteria
Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini.
3 Usaha Menengah adalah usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan
oleh orang perseorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
atau menjadi bagian baik langsung maupun
tidak langsung dengan Usaha Kecil atau
usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih
atau hasil penjualan tahunan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM), dinyatakan bahwa criteria
UMKM yaitu :

Huda dan Zain

1. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
2. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih
dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp
2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus
juta rupiah).
3. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai
berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp
10.000.000.000,00
(sepuluh
milyar
rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih
dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar
lima ratus juta rupiah) sampai dengan
paling banyak Rp 50.000.000.000,00
(lima puluh milyar rupiah).
Merupakan suatu realitas yang tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa UMKM (Usaha Mikro,
Kecil, Menengah) adalah sektor ekonomi nasional
yang paling strategis dan menyangkut hajat hidup
orang banyak, sehingga menjadi tulang punggung
perekonomian nasional. UMKM juga merupakan
kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam
perekonomian di Indonesia dan telah terbukti
menjadi kunci pengaman perekonomian nasional
dalam masa krisis ekonomi, serta menjadi
dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis.
Itu artinya, usaha mikro yang memiliki omset
penjualan kurang dari satu milyar, dan usaha kecil
memiliki omset penjualan pada kisaran satu
milyar, serta usaha menengah dengan omset
penjualan di atas satu milyar pertahun, memiliki

140 Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

IISN 1411 – 0776

Dikta Ekonomi

peran yang sangat besar dalam proses pembangunan bangsa ini.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah secara
tegas menyatakan, tujuan pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah adalah untuk: (a)
mewujudkan struktur perekonomian nasional
yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan, (b)
menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi
usaha yang tangguh dan mandiri, dan (c)
meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan,
pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat
dari kemiskinan (Hutomo, 2010).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pembiayaan Perbankan Syariah.
3.1.1. Pembiayaan Bank Umum Syariah
(BUS) dan Unit Usaha Syariah
(UUS).
Tahun 2009 merupakan tahun yang
penuh tantangan dalam sistem keuangan,
baik global maupun domestik. Krisis
finansial global (subprime mortgage) yang
terjadi pada akhir tahun 2008 telah mengganggu stabilitas sistem keuangan dan
berdampak menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional dari 6.5% tahun 2008
menjadi 4% pada tahun 2009. Namun
alhamdulillah, industri perbakan Syariah
dapat mempertahankan tingkat pertumbuhannya secara wajar.
Dari segi jumlah bank ataupun kantor
bank syaiah dari tahun ke tahun mengalami
kenaikan. Pada awal januari 2010 jumlah
bank umum Syariah sudah terdapat 6
dengan jumlah kantor 815, sedangkan untuk
unit usaha Syariah ada penurunan jumlah
UUS dari 27 unit pada tahun 2008 menjadi
25 Unit pada awal tahun 2010, hal ini
disebabkan adanya spin off Unit Usaha
Syariah menjadi Bank Umum Syariah yakni
BRI Syariah dan Bukopin Syariah. Tetapi
dari segi jumlah kantor Unit Usaha Syariah

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

Huda dan Zain

terus mengalami kenaikan selama periode
2005 hingga Januari 2010. Begitupula
halnya dengan BPRS baik dari segi jumlah
bank maupun jumlah kantor juga mengalami
kenaikan selama periode 2005-Januari 2010.
Bahkan pada Januari 2010 jumlah BPRS
sebanyak 140 dengan jumlah kantornya 263.
Secara total pada Januari 2010 jumlah
kantor pelayanan bank Syariah sudah
mencapai 1366 kantor. Maka dari segi
kelembagaan jumlah institusi perbankan
Syariah tidak terpengaruh dampak krisis
pada tahun 2008.
Berdasarkan data yang ada maka
pembiayaan yang dilakukan baik oleh BUS
dan UUS masih didominasi oleh
pembiayaan Murabahah. Secara pengertian
Murabahah dapat diartikan sebagai jual beli
barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati antara pihak
bank dan nasabah. Selama periode 2005
hingga januari 2010. Secara rata-rata
peranan
Murabahah
terhadap
total
pembiyaan bank Syariah selama periode
2005-Januari 2010 sebesar 55.43%.
Hal ini bisa dipahami karena
pembiyaan Murabahah termasuk kategori
akad yang bersifat certainty contract,
dimana dari perspektif bank akan memberikan tingkat keuntungan yang pasti dan
risiko relative lebih rendah.. Selain itu skim
Murabahah merupakan produk yang paling
populer dan banyak dipergunakan oleh
perbankan Syariah di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Beberapa alasan
yang mendasarinya adalah :
a) Murabahah merupakan suatu mekanisme pembiayaan investasi jangka pendek
yang cukup memudahkan serta menguntungkan pihak bank Syariah dibandingkan dengan konsep profit and loss
sharing atau bagi hasil yang dianut oleh
konsep Mudharabah dan Musharakah.
b) Mark-up dalam Murabahah ditetapkan
sedemikian rupa yang memastikan
bahwa bank Syariah akan dapat memperoleh keuntungan yang sebanding
dengan keuntungan berbasis bunga yang
menjadi saingan bank-bank Islam.

IISN 1411 – 0776 141

Dikta Ekonomi

Huda dan Zain

Tabel 1. Jaringan Kantor Perbankan Syariah 2005-2009
Jenis Bank
Bank Umum Syariah
Jumlah Bank
Jumlah Kantor
Unit Usaha Syariah (UUS)
Jumlah UUS
Jumlah Kantor
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Jumlah Bank
Jumlah Kantor

2005

2006

2007

2008

2009

Jan-2010

3
304

3
349

3
401

5
581

6
711

6
815

19
154

20
183

26
196

27
241

25
287

25
288

92
92

105
105

114
185

131
202

138
225

140
263

550

637

782

1024

1223

1366

Total Kantor
Sumber : Bank Indonesia, data diolah

Tabel 2. Pembiayaan BUS dan UUS 2005-2009 (Milyar Rupiah)
Akad

2005

2006

2007

2008

2009

Jan-2010

Mudharabah

3,124
1,898
9,487
282
316
125

2,335
4,062
12,624
337
836
250

4,406
5,578
16,553
351
516
540

7,411
6,205
22,486
369
765
959

10,412
6,597
26,321
423
1,305
1,829

10,363
6,556
26,532
402
1,313
1,974

17237

22450

29951

40203

48896

47,140

Musyarakah
Murabahah

Istishna
Ijarah
Qardh
Total

Sumber : Bank Indonesia, data diolah.

c) Murabahah menjauhkan ketidakpastian
yang ada pendapatan dari bisnis-bisnis
dengan sistem PLS, dan
d) Murabahah tidak memungkinkan bankbank Syariah untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank bukanlah mitra
si nasabah, sebab hubungan mereka
dalam Murabahah adalah hubungan
antara kreditur dan debitur.
Pembiayaan terbesar kedua setelah
Murabahah yaitu Mudharabah, Kata
Mudharabah berasal dari kata dharb yang
berarti memukul atau berjalan. Pengertian
memukul atau berjalan ini lebih tepatnya
adalah proses seseorang memukulkan

142 Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

kakinya dalam menjalankan usaha. Menurut
Ibnu Manzhur dalam Lisan al-’Araby
Mudharabah adalah (Huda, Heykal, 2010):
‫السير فى اار للسفر مطلقا كق ل تعالى ا ا ضربتم‬
‫ج اح أ تق ر ا م ال ا في اار فليس عليكم‬
Jadi, kontrak ini disebut Mudharabah,
karena pekerja (mudharib) biasanya
membutuhkan suatu perjalanan untuk
menjalankan bisnis. Sedangkan perjalanan
dalam bahasa Arab disebut juga dharb fil
Ardh, Secara pengertian dapat diartikan
sebagai kerjasama antara pihak pemilik dana

IISN 1411 – 0776

Dikta Ekonomi

(shahibul maal) dan pihak pengelola
(Mudharib) (Veithzal, 2007).
Penggolongan Mudharabah secara garis
besar dapat dikelompokkan atas 2 bagian
besar yaitu :
1. Mudhrabah Muqayyadah yaitu akad
Mudharabah dimana shahibul mal
membatasi jenis usaha, waktu atau
tempat usaha. Dalam istilah ekonomi
Islam modern, jenis Mudharabah ini
disebut Restricted Investment Account.
Batasan-batasan tersebut dimaksudkan
untuk menyelamatkan modalnya dari
resiko kerugian. Syarat-syarat itu harus
dipenuhi oleh si mudharib. Apabila
mudharib melanggar batasan-batasan
ini, maka ia harus bertanggung jawab
atas kerugian yang timbul
2. Mudharabah muthlaqah, yaitu bentuk
kerja sama antara shahibul mal dan
mudharib yang cakupannya sangat luas
dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis
usaha waktu dan daerah bisnis. Dalam
pembahasan fikih klasik seringkali
dicontohkan
dengan
ungkapan,
”Lakukanlah sesukamu”. Dalam bahasa
Inggrisnya, para ahli ekonomi Islam
sering
menyebut
Mudharabah
muthlaqah
sebagai
Unrestricted
Investment Account (URIA). Jika tidak
ada syarat-syarat yang ditentukan
shahibul mal, maka apabila terjadi
kerugian
dalam
bisnis
tersebut,
mudharib tidak menanggung resiko atas
kerugian. Kerugian sepenuhnya ditanggulangi shahibul mal.
Perkembangan pembiayaan Mudharabah selama periode 2006-Januari 2010
tiap tahunnya mengalami kenaikan peranan
dari 10% tahun 2006 hingga 21% akhir
tahun 2009 terhadap total pembiayaan. Jadi
secara rata-rata kontribusi pembiayaan
Mudharabah selama periode 2005-Januari
2010 sebesar 17%.
Bagi Bank Keuntungan Mudharabah
adalah jumlah yang didapat sebagai
kelebihan dari modal. Syarat keuntungan
berikut ini harus dipenuhi:

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

Huda dan Zain

1. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak
dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk
satu pihak.
2. Bagian keuntungan proporsional bagi
setiap pihak harus diketahui dan
dinyatakan
pada
waktu
kontrak
disepakati dan harus dalam bentuk
prosentasi (nisbah) dari keuntungan
sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah
harus berdasarkan kesepakatan.
3. Penyedia dana menanggung semua
kerugian akibat dari Mudharabah, dan
pengelola tidak boleh menanggung
kerugian apapun kecuali diakibatkan
dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau
pelanggaran kesepakatan.
Pembiayaan terbesar ketiga dalam BUS
dan UUS selama periode 2005-Januari 2010
dalam
bentuk
Musyarakah,
Skim
Musyarakah merupakan skim pembiayaan
dimana bank dan nasabah sama-sama
memiliki kontribusi dana dalam usaha.
Pengembalian hasil usaha tergantung kepada
nisbah bagi hasil yang disepakati nasabah
dan bank. Semakin tinggi kinerja usaha
nasabah, semakin tinggi pula bagi hasil
untuk masing masing pihak. Salah satu
hadist yang terkait dengan Musyarakah
yaitu hadits riwayat Abu Dawud yang
berbunyi
‫فا ا‬

‫أ ا ثا لث الشاركي ما لم ي أح ا صا ح‬
( ‫خا خرجت م بي ا )ر ا أب ا‬

“Sesunggunhya Allah Azza wa Jalla
berfirman, bahwa Aku adalah pihak ketiga
dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak mengkhianati yang lainnya”
(HR Abu Dawud ).
Musyarakah akad ada 4 macam
1. Syirkah al-’inan
Akad kerja sama antara dua orang atau
lebih dimana setiap pihak memberikan
kontribusi dana dan berpartisipasi dalam
kerja serta sepakat untuk berbagi
keuntungan atau kerugian, dimana porsi

IISN 1411 – 0776 143

Dikta Ekonomi

masing-masing pihak (baik dalam dana,
kerja atau bagi hasil) tidak harus sama.
2. Syirkah Mufawadhah
Kontrak kerja sama antara dua orang
atau lebih dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi yang sama
tentang dana, partisipasi kerja dan
berbagi keuntungan/kerugian dalam
jumlah yang sama.
3. Syirkah A’maal
Kontrak kerja sama antara dua
orang/lebih yang memiliki profesi sama
untuk menerima pekerjaan secara
bersama dan berbagi keuntungan dari
pekerjaan tersebut.
4. Syirkah Wujuh
Kontrak kerja sama antara dua
orang/lebih yang sama-sama memiliki
keahlian dalam bisnis tampa modal/
uang. Mereka membeli barang secara
kredit dari suatu perusahaan dan
menjual barang tersebut secara tunai,
dan hasilnya mereka saling berbagi
keuntungan/kerugian
berdasarkan
kontribusi jaminan kepada penyuplai.
Berbeda dengan Murabahah dan
Mudharabah yang selama periode 2005Januari 2010 mengalami kenaikan dalam hal
kontribusi terhadap total pembiayaan BUS
dan UUS, untuk Musyarakah mengalami
penurunan khususnya pada tahun 2008 dan
2009 masing menjadi 15.43% dan 13.49%.
3.1.2. Pembiayaan Bank Perkreditan
Rakyar Syariah (BPRS)
Menurut UU No 21 Tahun 2008: Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah
bank syari’ah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Perbedaan antara BUS/UUS
dan BPRS, yaitu
1. BUS/UUS dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
dan memiliki produk rekening giro
sedangkan BPRS tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.
2. Pada BPRS produk yang ditawarkan
hanya tabungan dan deposito dengan
akad yang digunakan sama dengan

144 Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

Huda dan Zain

produk BUS/UUS, tapi disesuaikan
dengan segmentasi pasar yang hendak
dibidik atau kebutuhan dari para
investor. Untuk produk penyaluran dana
di BPRS lebih didominasi pada pembiayaan atau penempatan antar bank.
3. BUS/UUS lebih bervariasi produk
penyaluran dananya seperti pembiayaan,
gadai, anjak piutang. dan sewa.
4. Dari Segi modal, Modal disetor untuk
mendirikan Bank ditetapkan paling kurang sebesar Rp 1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah). Sedangkan, modal
disetor BPRS:
(a) Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) untuk BPRS yang didirikan
di Wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya dan
Kabupaten/
Kotamadya Tangerang, Bogor,
Bekasi dan Karawang.
(b) Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) untuk BPRS yang didirikan
di wilayah ibukota propinsi di luar
wilayah tersebut pada huruf a.
(c) Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) untuk BPRS yang didirikan
di luar wilayah tersebut pada huruf
a dan b. Bagian dari modal disetor
yang digunakan untuk modal kerja
sekurang-kurangnya sebesar 50%
Berdasarkan Tabel 1. jumlah BPRS
hingga Januari 2010 sebanyak 140 BPRS
dengan jumlah kantor sebanyak 263. Berikut
besaran pembiayaan yang disalurkan BPRS.
Penyaluran pembiayaan yang dilakukan
BPRS tidak berbeda jauh dengan BUS dan
UUS yang masih didominasi oleh
Murabahah bahkan selama periode 2005
hingga akhir Januari 2010 secara rata-rata
kontribusinya sebesar 80% dari total
pembiayaan yang dilakukan jauh lebih besar
dibandingkan dengan BUS dan UUS.
Sedangkan Mudharabah secara rata-rata
berkontribusi sebesar 9%, Musyarakah
sebesar 5%
Dalam sistem perbankan nasional, BPR
Syariah adalah bank yang didirikan untuk
melayani Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
Sektor UMK ini yang menjadikan BPR
Syariah berbeda pangsa pasarnya dengan

IISN 1411 – 0776

Dikta Ekonomi

Huda dan Zain

Bank Umum/Bank Umum Syariah. Dalam
sistem perbankan Syariah, BPR Syariah
merupakan salah satu bentuk BPR yang
pengelolaannya harus berdasarkan prinsip
Syariah.
Penyaluran pembiayaan yang dilakukan
BPRS tidak berbeda jauh dengan BUS dan
UUS yang masih didominasi oleh
Murabahah bahkan selama periode 2005
hingga akhir Januari 2010 secara rata-rata
kontribusinya sebesar 80% dari total pembiayaan yang dilakukan jauh lebih besar
dibandingkan dengan BUS dan UUS.
Sedangkan Mudharabah secara rata-rata
berkontribusi sebesar 9%, Musyarakah
sebesar 5%
Dalam sistem perbankan nasional, BPR
Syariah adalah bank yang didirikan untuk
melayani Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
Sektor UMK ini yang menjadikan BPR
Syariah berbeda pangsa pasarnya dengan
Bank Umum/Bank Umum Syariah. Dalam
sistem perbankan Syariah, BPR Syariah
merupakan salah satu bentuk BPR yang
pengelolaannya harus berdasarkan prinsip
Syariah.
Dalam transaksi pembiayaan (pinjaman), BPR Syariah memberikan pembia-

yaan kepada UMK dengan sistem jual beli,
bagi hasil ataupun sewa. Pilihan atas sistem
Syariah tersebut sangat tergantung kepada
jenis pembiayaan yang diajukan oleh
masyarakat kepada BPR Syariah. Selain itu,
BPR Syariah juga bisa melakukan praktik
pegadaian yang dikelola dengan sistem
Syariah. Berikut Usaha BPR Syariah
1. Menghimpun dana masyarakat dalam
bentuk :
a. Tabungan
berdasarkan
prinsip
wadi’ah atau Mudharabah.
b. Deposito berjangka berdasarkan
prinsip Mudharabah.
2. Menyalurkan dana kepada masyarakat
dalam bentuk pembiayaan berdasarkan :
a. Prinsip jual beli (Murabahah,
istishna’, salam)
b. Prinsip sewa menyewa (ijarah)
c. Prinsip bagi hasil (Mudharabah,
Musyarakah)
d. Prinsip kebajikan (qardh)
3. Menempatkan dana dalam bentuk giro,
tabungan, deposito pada bank Syariah
lain.
4. Melakukan kegiatan lain yang tidak
bertentangan dengan UU Perbankan dan
prinsip Syariah.

Tabel 3. Pembiayaan BPRS Periode 2005 – Januari 2010
(Juta Rupiah)
Akad
Mudharabah
Musyarakah
Murabahah
Salam
Istishna
Ijarah
Qardh
Multi Jasa
Total

2005
24.237
40.065
337.566
90
1.844
6.816
6.666
0

2006
65.342
26.351
505.633
30
1.361
6.783
9.969
0

2007
90.483
41.714
716.240
0
13.467
3.661
19.038
6.106

2008
113.379
42.952
1.011.743
38
24.683
5.518
40.308
17.988

2009
144.969
52.781
1.269.900
105
32.766
7.803
50.018
28.578

Jan-2010
136.060
53.283
1.277.588
0
32.436
8.219
49.908
29.085

419.289,00

617.475,00

892.716,00

1.258.617,00

1.588.929,00

1.626.758,00

Sumber : Bank Indonesia, data diolah

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

IISN 1411 – 0776 145

Dikta Ekonomi

Huda dan Zain

3.2. Perkembangan UMKM
UMKM adalah sektor yang sangat vital bagi
perekonomian Indonesia. Sektor UMKM adalah
sektor yang mampu menyumbang banyak
kontribusi dalam memajukan perekonomian
Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari besarnya
kontribusi sektor UMKM terhadap PDB Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir. Ketika terjadi
krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada
tahun 1998, sektor UMKM lah yang tetap mampu
bertahan dan tetap memberikan kontribusi yang
positif bagi perekonomian Indonesia di saat sektor
yang lain sebagian besar mengalami pertumbuhan
yang negatif.
Berdasarkan pada Tabel 4. terlihat Kontribusi
UMKM terhadap PDB pada tahun 2006 sebesar
Rp 1.034.142,70 milyar dari total PDB sebesar
Rp_1.626.803,90 Milyar atau sebesar 63.5%.
Pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi
Rp 1.097.833,30 Milyar dan seterusnya tahun
2008 naik kembali menjadi Rp 1.163.783,40
Milyar. Untuk sektor Industri besar pada tahun
2006
memberikan
kontribusi
sebesar
Rp_592.661,20 atau sebesar 36.5%. Pada tahun
2007 dan 2008 mengalami kenaikan masing-

masing sebesar
Rp_641.900,20 milyar dan
Rp_691.088,60 Milyar. Sehingga dari gambaran
itu jelas maka peran UMKM dalam perekonomian
Indonesia masih sangat dominan. Di samping
mampu memberikan kontribuai positif dalam sisi
PDB Indonesia, sektor UMKM juga merupakan
sektor yang mampu menyerap tenaga kerja
terbesar di negara kita. Terkait dengan penyerapan
tenaga kerja pada sektor UMKM dapat dilihat
pada Tabel 5.
Selama periode 2006-2008 sektor UMKM
berperan hampir 97% penyerapan tenaga kerja
Indonesia sedangkan untuk industry besar hanya
berperan sebesar 3%. Mencermati kondisi itu
maka usaha mikro kecil dan menengah
merupakan suatu subyek yang penting dalam
analisa kebijakan pemerintah Indonesia, yang
didasari oleh beberapa alasan (Hill, 2001):
1. UMKM di negara manapun memainkan suatu
peran yang sangat penting di dalam
pembangunan ekonomi. Mereka secara khas
mempekerjakan 60% atau lebih banyak
lapangan kerja industri dan menghasilkan
sampai separuh output. UMKM merupakan
suatu komponen penting dalam proses
industrialisasi yang lebih luas.

Tabel 4. Peran UMKM dn Industri Besar Terhadap PDB Harga Konstan (Tanpa migas)
(Milyar Rupiah)

Tahun
2006
2007
2008

Mikro
588.502,80
620.248,10
654.759,60

Kecil
189.614,90
203.795,70
217.168,10

Menengah
256.025,00
273.789,50
291.855,70

Total
UMKM
1.034.142,70
1.097.833,30
1.163.783,40

Besar
592.661,20
641.900,20
691.088,60

Total Pdb
1.626.803,90
1.739.733,50
1.854.872,00

Sumber : BPS, data diolah

Tabel 5. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor UMKM dan Indutri (Orang)
Tahun

Mikro

Kecil

Menengah

2006
2007
2008

79.993.756
81.732.430
83.647.711

3.758.199
3.864.995
3.992.371

3.082.852
3.142.319
3.256.188

Total
UMKM
86.834.807
88.739.744
90.896.270

Besar

Total

2.697.593
2.788.518
2.776.214

89.532.400
91.528.262
93.672.484

Sumber : BPS,data diolah

146 Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

IISN 1411 – 0776

Dikta Ekonomi

2. UMKM
merupakan
sarana
untuk
mempromosikan bisnis pribumi dan oleh
karena itu sebagai alat redistribusi aset secara
etnik. Lebih umum lagi, ada suatu pemisahan
antara standar pendekatan ahli ekonomi terhadap intervensi kebijakan, yang menekankan
solusi orientasi pasar sebagai kunci pembangunan ekonomi yang cepat.
3. Tidak bisa diasumsikan bahwa jenis kebijakan
yang sama yang dikeluarkan untuk industri
besar akan berlaku bagi UMKM. UMKM
menunjukkan suatu konsentrasi aktivitas
khusus dalam industri. Mereka biasanya
memperlihatkan suatu konsentrasi yang lebih
sedikit di sekitar pusat kota dibandingkan
dengan perusahaan besar. Hanya sebagian
kecil UMKM yang dimiliki oleh orang asing
(atau pemerintah) dan hanya sedikit yang
berorientasi ekspor, paling tidak ekspor
langsung.
4. Pengalaman internasional menyatakan bahwa
sektor UMKM kondusif bagi pertumbuhan
industri yang cepat dan merupakan struktur
industri yang fleksibel. Taiwan sering
dijadikan sebagai suatu contoh perekonomian
yang dibangun atas dasar sektor UMKM yang
efisien.
UMKM di Indonesia memiliki karakteristik
yang hampir seragam (Kuncoro, 2007), ada
empat
karakteristik
yang
dimiliki
oleh
kebanyakan UMKM di Indonesia:
1. Tidak adanya pembagian tugas yang jelas
antara bidang administrasi dan operasi.
Kebanyakan industri kecil dikelola oleh
perorangan yang merangkap sebagai pemilik
sekaligus
pengelola
perusahaan
yang
memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan
kerabat dekatnya.
2. Rendahnya akses terhadap lembaga-lembaga
kredit formal sehingga mereka cenderung
menggantungkan pembiayaan usahanya dari
modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti
keluarga, kerabat, pedagang, perantara,
bahkan rentenir.
3. Sebagian besar usaha ini belum memiliki
status badan hukum.
4. Hampir sepertiga UMKM bergerak pada
kelompok usaha makanan, minuman, dan
tembakau (ISIC31), barang galian bukan
logam (ISIC36), tekstil (ISIC32), dan industri

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

Huda dan Zain

kayu, bambu, rotan, rumput, dan sejenisnya
termasuk perabot rumah tangga (ISIC33).
Selain itu ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan yang selama ini telah menjadi
kendala bagi UMKM untuk bisa berkembang,
antara lain:
1. Faktor Internal, yang meliputi :
a. Kurangnya Permodalan, Permodalan
merupakan faktor utama yang diperlukan
untuk mengembangkan suatu unit usaha.
Kurangnya permodalan UKM, oleh
karena pada umumnya usaha kecil dan
menengah merupakan usaha perorangan
atau perusahaan yang sifatnya tertutup,
yang mengandalkan pada modal dari si
pemilik yang jumlahnya sangat terbatas,
sedangkan modal pinjaman dari bank atau
lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh,
karena persyaratan secara administratif
dan teknis yang diminta oleh bank tidak
dapat dipenuhi.
b. Sumber Daya Manusia (SDM) yang
Terbatas, Sebagian besar usaha kecil
tumbuh secara tradisional dan merupakan
usaha keluarga yang turun temurun.
Keterbatasan SDM usaha kecil baik dari
segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan
usahanya, sehingga usaha tersebut sulit
untuk berkembang dengan optimal.
Disamping itu dengan keterbatasan SDMnya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk
mengadopsi perkembangan teknologi baru
untuk meningkatkan daya saing produk
yang dihasilkannya.
c. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar, Usaha kecil yang
pada umumnya merupakan unit usaha
keluarga, mempunyai jaringan usaha yang
sangat terbatas dan kemampuan penetrasi
pasar yang rendah, oleh karena produk
yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas
dan mempunyai kualitas yang kurang
kompetitif. Berbeda dengan usaha besar
yang telah mempunyai jaringan yang
sudah solid serta didukung dengan
teknologi yang dapat menjangkau
internasional dan promosi yang baik.

IISN 1411 – 0776 147

Dikta Ekonomi

2. Faktor Eksternal, yang meliputi
a. Iklim
Usaha
Belum
Sepenuhnya
Kondusif, Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan Usaha Kecil
dan Menengah (UKM), meskipun dari
tahun ke tahun terus disempurnakan,
namun dirasakan belum sepenuhnya
kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih
terjadinya persaingan yang kurang sehat
antara pengusaha-pengusaha kecil dengan
pengusaha-pengusaha besar.
b. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha,
Kurangnya informasi yang berhubungan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, menyebabkan sarana dan
prasarana yang mereka miliki juga tidak
cepat berkembang dan kurang mendukung
kemajuan usahanya sebagaimana yang
diharapkan.
c. Implikasi Otonomi Daerah, Dengan
berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk
mengatur dan mengurus masyarakat
setempat. Perubahan sistem ini akan
mengalami implikasi terhadap pelaku
bisnis kecil dan menengah berupa
pungutan-pungutan baru yang dikenakan
pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Jika kondisi ini tidak segera dibenahi
maka akan menurunkan daya saing Usaha
Kecil dan Menengah (UKM). Disamping
itu semangat kedaerahan yang berlebihan,
kadang menciptakan kondisi yang kurang
menarik bagi pengusaha luar daerah untuk
mengembangkan usahanya di daerah
tersebut.
d. Implikasi Perdagangan Bebas, China,
Asean Free Trade Aggrement (C-AFTA)
yang mulai dilaksanakan pada awal
januari 2010 yang berimplikasi luas
terhadap usaha kecil dan menengah untuk
bersaing dalam perdagangan bebas.Dalam
hal ini, mau tidak mau Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) dituntut untuk
melakukan proses produksi dengan
produktif dan efisien, serta dapat
menghasilkan produk yang sesuai dengan
frekuensi pasar global dengan standar
kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000),
isu lingkungan (ISO 14.000) dan isu Hak

Huda dan Zain

e.

f.

Asasi Manusia (HAM) serta isu
ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan
secara tidak fair oleh negara maju sebagai
hambatan (Non Tariff Barrier for Trade).
Untuk itu maka diharapkan UKM perlu
mempersiapkan agar mampu bersaing
baik secara keunggulan komparatif
maupun keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan.
Sifat Produk dengan Masa Kegunaan
Pendek, Sebagian besar produk industri
kecil memiliki ciri atau karakteristik
sebagai produk-produk fashion dan
kerajinan dengan lifetime yang pendek.
Terbatasnya Akses Pasar, Terbatasnya
akses pasar akan menyebabkan produk
yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan
secara kompetitif baik di pasar nasional
maupun internasional.

3.3. Hubungan Perbankan Syariah Dengan UMKM
Sektor UMKM kerap kali mengalami
hambatan dalam memperoleh akses dana dan
sering dibiayai melalui program pemerintah yang
cenderung bersifat subsidi atau sumber dana
relatif murah dari para donor. Dalam perkembangannya, penyaluran kredit UMKM semakin lama
semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya
portofolio perbankan untuk pemberian kredit
UMKM.
Peranan perbankan Syariah dalam pengembangan sektor riil dapat dilihat dari skema yang
dikembangkan dalam pembiayaan bank Syariah,
selain dalam kontribusi nyata yang disumbangkan
oleh bank Syariah melalui tugasnya sebagai
lembaga intermediasi keuangan. Dilihat dari
skema pembiayaan yang dikembangkan, bank
Syariah hanya menyalurkan pembiayaannya
untuk sektor riil. Dinamika bisnis yang terjadi
pada sektor riil akan terefleksi langsung pada
kegiatan perbankan Syariah. Dalam menyalurkan
pembiayaannya, perbankan Syariah menggunakan akad-akad yang selalu terkait dengan
sektor riil, dan pertumbuhan sektor finansial
sekadar mengikuti pertumbuhan sektor riil.
Terkait hubungan perbankan Syariah dengan
perkembangan UMKM dapat dilihat dari besaran
pembiayaan yang disalurkan, Selama periode
2005 hingga Januari 2010 BUS dan UUS sudah

148 Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

IISN 1411 – 0776

Dikta Ekonomi

Huda dan Zain

Tabel 6. Pembiayaan BUS-UUS dan BPRS berdasarkan Golongan Pembiayaan
(Milyar Rupiah)
Golongan
BUS-UUS
Usaha Kecil Menengah
Selain Usaha Kecil
Menengah
Total
BPRS
Usaha Kecil menengah
Selain Usaha Kecil
Menengah
Total

2005

2006

2007

2008

2009

Jan-2010

10.196

14.872

19.566

27.063

35.799

36.093

5.036
17.237

5.573
22.451

8.379
29.952

11.132
40.203

11.087
48.895

11.047
87.319

273.212

380.079

575.028

657.359

833.076

806.344

144.072

235.392

315.044

599.291

753.843

780.235

417.284

615.471

890.072

1.256.650

1.586.919

1.586.579

Sumber : Bank Indonesia, data diolah

memberikan alokasi pembiyaan yang cukup besar
dan terus mengalami kenaikan. Tahun 2005 besar
pembiayaan yang disalurkan pada UMKM sebesar
Rp 10.196 Milyar atau sebesar 60% dari total
pembiayaan dan hingga akhir desember 2009
pembiayaan yang disalurkan sebesar Rp 35.799
Milyar atau sebesar 73% suatu angka yang sangat
besar. Begitupula halnya dengan BPRS yang
dalam menyalurkan pembiayaan juga lebih
dominan pada sektor usaha kecil dan menengah
walaupun dengan proporsi tidak sebesar BUSUUS. Gambaran ini semakin memperjelas bahwa
keberpihakan
perbankan
Syariah
dalam
menyalurkan pembiyaannya pada sektor Usaha
kecil dan menengah dan tentunya diharapkan hal
ini dapat terus dipertahankan atau bahkan
mungkin dapat ditingkatkan.
Pembiayaan segmen UMKM ini dapat
dieksekusi sendiri langsung oleh kantor-kantor
cabang bank Syariah atau melakukan channeling
atau joint pembiayaan dengan BPRS dan BMT
melalui linkage program. Namun sesuai hasil
temuan World Bank, pendekatan yang paling tepat
untuk UMKM adalah dengan Lembaga Keuangan
Mikro sehingga di sini linkage program bank
Syariah dengan LKMS harus dioptimalkan untuk
menjangkau UMKM.
Linkage Program (Azmy dan Mahrus, 2010).
Bank Syariah dengan BMT merupakan program
kerjasama yang merupakan langkah yang paling
utama karena kondisi UMKM (skala kecil, agunan
terbatas, tidak berbadan hukum, letak jauh, dan

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

administrasi lemah) sangat sulit dijangkau oleh
Bank Syariah (biaya tinggi, risiko tinggi,
persyaratan legal, sulit menjangkau, dan kesulitan
menilai usaha). Keberadaan LKMS seperti BMT
sangat diperlukan sebagai mediasi antara sektor
UMKM dengan pihak Bank Syariah. Hal ini
dikarenakan karakteristik BMT sangat cocok
dengan kebutuhan UMKM, yaitu menyediakan
layanan tabungan, pembiayaan, pembayaran,
deposito; fokus melayani UMKM; menggunakan
prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan
fleksibel; serta berada di tengah-tengah
masyarakat kecil atau pedesaan. BMT sebagai
kepanjangan tangan Bank Syariah dapat menyalurkan pembiayaan yang telah diamanahkan
kepadanya sehingga Bank Syariah sendiri tidak
perlu takut menanggung resiko yang sangat besar.
Program linkage ini cukup menarik, karena
memungkinkan Bank Syariah melayani masyarakat kecil melalui kelompok yang tidak memiliki
cukup jaminan fisik dan kelembagaan formal.
Dengan melayani pelaku usaha mikro melalui
kelompok, bank Syariah mempunyai keuntungan
dalam hal (1) Mengurangi biaya transaksi yang
bila dilakukan per orang menjadi tinggi dan tidak
sebanding dengan hasil pembiayaan yang diberikan (2) Memungkinkan terjaminnya keamanan
pembiayaan yang diberikan karena adanya jaminan alternatif berupa tanggung renteng dan
adanya social pressure dalam kelompok.
Program ini berupaya membangun kelompok
swadaya dalam mengelola keuangan bersama

IISN 1411 – 0776 149

Dikta Ekonomi

Huda dan Zain

antara anggota kelompoknya. selain itu juga ada
upaya pemandirian pelaku usaha sebagai pribadi,
Dengan demikian program diharapkan melakukan
pemberdayaan berbagai pihak, yakni penguatan
fungsi lembaga keuangan mikro, pemberdayaan
kelompok usaha, serta pemandirian pelaku usaha
mikro.
Program ini harus mempunyai petugas
pendamping di lapangan untuk membina dan
melatih kemampuan pelaku usaha mikro atau
petani. Disamping pembinaan dan pelatihan teknis
juga perlu diberikan pendamping dan pembina
keuangan atau pembiayaan. Sehingga kemampuan
pelaku usaha dalam program tersebut terlihat
menonjol dan berhasil menjalankan usahanya
dengan dana pembiayaan yang diperoleh dengan
baik dan opitmal.
Terkait dengan kemampuan UMKM untuk
dapat mengembalikan pembiayaan yang diberikan
perbankan Syariah memang saat ini menjadi
persoalan, karena berdasarkan data maka dapat
dikatakan pembiyaan non lancar perbankan
Syariah baik BUS-UUS maupun BPRS terus
mengalami kenaikan dan kondisinya sangat buruk
dibandingkan dengan selain UMKM, hal inilah
yang dalam tahun 2008-2009 Non performance
Financing bank Syariah terus mengalami
kenaikan bahkan sempat mencapai angka di atas

5% atau lebhih besar dibandingkan dengan
perbankan konvensional. Hal ini tentu dapat
dimaklumi karena hampir semua dana yang
dihimpun perbankan Syariah disalurkan, ini dapat
dilihat dari besaran nilai Financing deposit ratio
yang berada di atas 100% yang berarti dana yang
dihimpun semuanya disalurkan.
UMKM kesulitan memperoleh pembiayaan
dari bank Syariah adalah kurangnya aksesbilitas
UMKM mengenai kurangnya legalitas dan
administrasi. Sebagian besar UMKM tidak
memiliki administrasi yang teratur bahkan banyak
yang mengalami permasalahan dalam arus
kasnya. Mereka menganggap bahwa sistem bagi
hasil yang ditawarkan oleh bank Syariah itu
terlalu rumit, karena setiap bulannya mereka harus
menghitung berapa persen laba yang harus
disetorkan kepada bank, sedangakan banyak hal
yang harus dilakukan oleh pemilik UKM
mengingat sebagian besar dari UKM hanya di
handle oleh satu orang. berbeda dengan bank
konvensional yang menerapkan sistem bunga.
Mereka tidak kesulitan untuk menghitung kembali
besar bagi hasil yang harus dibayarkan setiap
bulannya, karena besar angsuran yang mereka
bayar sudah ditetapkan pada awal perjanjian utang
dengan jumlah tetap tiap bulannya.

Tabel 7. Pembiayaan Non Lancar BUS-UUS dan BPRS berdasarkan
Golongan Pembiayaan (Milyar Rupiah)
Golongan
BUS-UUS
Usaha Kecil Menengah
Selain Usaha Kecil
Menengah
Total
BPRS
Usaha Kecil Menengah
Selain Usaha Kecil
Menengah
Total

2005

2006

2007

2008

2009

Jan-2010

330

725

798

985

1.611

1.741

99
429

246
971

333
1.131

524
1.509

271
1.882

312
2.053

45.501

41.108

50.322

69.501

70.160

71.330

0

9.988

35.821

41.453

45.415

45.501

51.096

105.322

111.613

116.745

50.322

Sumber : Bank Indonesia, data diolah

150 Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

IISN 1411 – 0776

Dikta Ekonomi

Huda dan Zain

www. yukbisnis.com. tanggal 9 Maret 2010
jam 10.00 WIB

IV. SIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya
maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan.
Perbankan
Syariah
Indonesia
dalam
penyaluran pembiayaan masih didominasi skema
Murabahah, dari perspektif bank skema ini akan
memberikan tingkat keuntungan yang pasti dan
risiko relative lebih rendah. Selanjutnya
Mudharabah dan Musyarakah. Kondisi ini
sebenarnya juga berlaku pada perbankan Syariah
Negara-negara lain.
Peran UMKM terhadap perekonomian baik
kontribusinya terhadap pendapatan nasional
maupun penyerapan tenaga kerja masih sangat
dominan jika dibandingkan dengan Industri/usaha
besar.
Penyaluran pembiyaan perbankan Syariah
pada sektor UMKM lebih besar dibandingkan
dengan non UMKM, model yang sekarang
dikembangkan yaitu dengan linkage program.

REFERENSI
Algoud, Latifa & Mervyn Lewis, (2001). Islamic
Banking, Edward Elgar Publishing Limited,
United Kingdom
Antonio , Muhammad Syafi’ I, (2001). Bank Syariah
dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta

IBI, (2001). Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional
Bank
Syariah,
Penerbit
Djambatan, Jakarta
Karim, Adiwarman, (2006). Bank Islam Analisis Fiqih
dan Keuangan, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Kuncoro, Mudrajad, (2007). Ekonomika Industri
Indonesia: Menuju Negara Industri Baru
2030? Penerbit Andi. Yogyakarta.
P3EI,

(2008), Ekonomi
Persada, Jakarta

Islam,

PT.RajaGrafindo

Rivai, Veithzal, dkk, (2007). Bank and Financial
Institution Management Conventional &
Shariah System, penerbit PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Saeed, Abdullah, (2003). Bank Islam dan Bunga: Studi
Kritis dan interprestasi kontemporer tentang
Riba dan Bunga (terjemahan), Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Sudarsono, Heri, (2005).
Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah: deskripsi dan ilustrasi,
penerbit Ekonisia, cetakan ketiga, Yogyakarta.
Umer, Capra, (2000). Sistem Moneter Islam, (Edisi
terjemah, Jakarta: Gema Insani Press &
Tazkia Cendekia, Jakarta
Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Arifin, Zainul, (2002). Dasar-Dasar Manajemen Bank
Syariah, AlvaBet, Jakarta
Azmy, M. Showam dan M. Mahrus, (2010). Bank
Syariah:
Bank yang amah
UMKM,
ekisonline.com diambil tanggal 14 Maret
2010 jam 17.30
Bank Indonesia, (2010). Statistik Perbankan Syariah ,
Januari 2010 ,
Dzajuli dan Yadi Janwari, (2002). Lembaga-Lembaga
Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan),
PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta
Hill, Hal, (2001). Small and Medium Enterprises in
Indonesia. Asian Survey, Vol. 41, No. 2, 2001,
pp.248-270
Huda, Nurul dan M. Heykal, Lembaga Keuangan
Islam : Tinjauan teoritis dan Praktis, Penerbit
Prenada Kencana, Jakarta
Hutomo, Harso , (2010). Meningkatkan Peran UMKM
dalam Pembangunan Nasional, diambil dari

Volume 7, Nomor 2, Agustus 2010 / Sha’ban 1431 H

IISN 1411 – 0776 151