Film G30S PKI Kolosal Sejarah Mumpuni

Cover Story
G30S/PKI: Kolosal Sejarah Mumpuni, Proganda Kekuasaan
Pengkhianatan G30S/PKI sebuah film dokumenter drama propaganda Indonesia
tahun 1984. Film ini dibuat berdasarkan pada intepretsi sejarah versi resmi
menurut pemerintah Orde Baru. Film ini menggambarkan masa menjelang
kudeta dan beberapa hari setelah peristiwa tersebut. Dalam kala kekacauan
ekonomi, enam jenderal diculik dan dibunuh oleh PKI dan TNI Angkatan Udara.
Film ini dianggap cukup kontroversial, khususnya dari sisi alur cerita. Letak
kontroversinya adalah karena alur cerita yang digunakan dianggap alur cerita
dari perspektif sejarah penguasa saat itu.
Meski film G 30 S/PKI adalah film proyek pemerintah, namun dalam
penggarapannya begitu serius. Bahkan dari para pemeran yang bermain dalam
film itu terdapat tokoh intelektual yang ikut serta di dalamnya. Sebut saja Umar
Kayam yang memerankan tokoh Soekarno dan Syubah Asa yang berperan
sebagai Dipa Nusantara Aidit, Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia.
Film Pengkhianatan G30S/PKI ini bisa dianggap meraih sukses secara komersil
maupun kritis. Film ini dinominasikan untuk tujuh penghargaan di Festival Film
Indonesia 1984 dan saat itu digunakan sebagai kendaraan propaganda oleh
pemerintah Orde Baru selama tiga belas tahun, di mana pemerintahan Soeharto
memerintahkan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu (TVRI) untuk
menayangkan film ini setiap tahun pada tanggal 30 September malam.

Film ini juga diperintahkan menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah di
Indonesia, walaupun memperlihatkan adegan-adegan yang penuh kekerasan
berlebihan. Pada saat stasiun-stasiun televisi swasta bermunculan, mereka juga
dikenai kewajiban yang sama. Namun aturan ini juga hilang seiring pengehentian
penayangan film ini di TVRI. Pemerintah, lewat Menteri Penerangan Yunus Yosfiah
(kala itu) mengeluarkan keputusan untuk menghentikan pemutaran dan
peredaran film tersebut.

Review Sinematik
Sebagai sebuah film yang base on true story, film ini dianggap cukup baik dari
sisi sinematografi, emosional, dan kualitas yang hampir semuanya ada di dalam
film tersebut. Proses produksi yang dijalankan selama dua tahun dan
menggunakan sekitar 100 figuran, memperlihatkan bagaimana film ini dibuat
sedemikian detail.
Film ini memang kaya dengan detail, seperti latarnya yang berpindah-pindah dari
satu lokasi ke lokasi yang lain. Tapi, di samping beberapa fakta yang terkait
dengan penggambaran kejadian yang dianggap sebagai sebuah gerakan
pengkhianatan, film ini juga menggambarkan kerawanan ekonomi masa itu lewat
penggambaran tentang antre dan kemiskinan.
Dalam film ini, kerawanan politik saat itu juga dilukiskan dengan detail dan tidak

melulu menampilkan Jakarta sebagai daerah Pusat kejadian, tapi juga kejadian di
daerah di luar Jakarta. Misalnya penggambaran melalui adegan serangan PKI ke

sebuah masjid di Jawa Timur, guntingan koran, berita radio, dan komentarkomentar tajam. Poster dan tulisan-tulisan graffiti tentang pandangan politik dan
manifesto-manifesto pemikiran yang digambarkan banyak bertebaran di tembok
dan atap rumah.
Sebagian orang menilai, sebetulnya dari sisi kualitas sebuah film, Pengkhianatan
G30S/PKI ini disayangkan saat terhenti ditayangkan dan Rabu, 30 September
1998 adalah hari terakhir pemutaran film tersebut. Karena justru dari sisi ini, kita
bisa menyaksikan sebuah film yang dibuat dengan sangat detil, apik dan serius.
Terjaga kualitas sinematografisnya, mampu membangun ketegangan dari alur
ceritanya, dan benar-benar bisa membawa emosi siapapun yang menontonnya.
“Kekuatan film luar biasa, banyak orang menerima film Pengkhianatan G30S/PKI
sebagai representasi kenyataan,” ujar sejarahwan Hilman Farid seperti dikutip
dari Tempo.
Tidak seperti sekarang, proses pembuatan film menjadi sangat instan, dengan
proses syuting yang hanya seminggu misalnya, dan kurang menjaga kualitas dari
berbagai sisi. Yang pada akhirnya, kebanyakan proses pembuatan film hanya
mengandalkan nama besar pemainnya dan kelebihan fisik semata.
Bagi Hanung Bramantyo, sutradara film, bagian yang paling diingat dalam film

ini adalah adegan diskusi. " Shot big close-up mulut-mulut sedang diskusi atau
menghisap rokok, sangat menohok. Bayangkan saja, di layar besar semua gelap.
Hanya mulut yang tampak. It's brilliant," ujarnya seperti dikutip dari Tempo.
Menurut Hanung, terlepas film itu disebut propaganda, secara sinematik film
Pengkhianatan G30S/PKI rapi, detail, dan nyata. "Saya sempat mengira itu bukan
film. Tapi real!"
Lain lagi di mata sutradara film Monty Tiwa. Adegan yang teringat adalah kala
putri D.I. Pandjaitan histeris saat ayahnya ditembak. Kemudian, ia mencoreng
dengan darah sang ayah. "Karena (efel) dramatis yang tinggi dan shot yang
belum pernah saya lihat dalam film Indonesia. Membuat campuran emosi, ngeri,
sedih, marah nyampur jadi satu," kata Monty.

Film & Propaganda
Meski dinilai sebagai film sejarah, film ini dianggap tidak mewakili keseluruhan
pendapat tentang alur cerita dan fakta sejarah yang sebenarnya. Film ini juga
menampilkan pergantian rezim pemerintahan Indonesia dari Presiden Soekarno
ke Soeharto menurut versi pemerintahan Orde Baru. Film ini menggambarkan
gerakan G30S/PKI sebagai gerakan yang kejam.
Pada tahun 2012 para korban tragedi kemanusiaan 1965 menyatakan film
Pengkhianatan G30S/PKI adalah bentuk pembohongan terhadap masyarakat

yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru atas kehendak Soeharto. Film
tersebut dinilai sebagai bentuk propaganda yang memutarbalikkan fakta di balik
tragedi kemanusiaan 1965 yang menurut penyelidikan Komnas HAM termasuk
dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Menurut Hilmar Farid, film tersebut telah berhasil membuat generasi muda
mengira apa yang terjadi di masa lalu seperti yang ada di film. “Jangankan film

sejarah, kadang sinetron yang ditonton itu dipercaya benar adanya,” ujar peneliti
dari Indonesia Institute of Social History ini. Pada kasus film Pengkhianatan
G30S/PKI, ia menguraikan, ada campur tangan kepentingan politik. Intervensi itu
mengeksploitasi ketidaktahuan atau kesalahpahaman untuk mendapatkan apa
yang diinginkan. “Film menjadi sarana yang efektif untuk kepentingan semacam
itu,” ujar Hilmar.
Namun memang, sebagai sebuah alat komunikasi dan sekaligus propaganda,
film tersebut menjadi sedikit menakutkan karena bisa berfungsi menjadi pencuci
otak yang bisa jadi bertujuan untuk mengaburkan dan membelokkan fakta
sejarah yang sebenarnya dan hanya memperkuat hegemoni satu perspektif
sejarah saja demi kepentingan kekuasaan saat itu. Bagaimanapun, film menjadi
cara yang ampuh untuk menyebarluaskan dan memasukkan ide, gagasan, dan
ideologi.

Analisa yang lebih dalam dibahas dalam buku, 'Ketika Sejarah Berseragam:
Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia', karya
Katherine E McGregor. Di sana, film Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu
cara Orde Baru dalam menggambarkan usaha kudeta oleh PKI. Tafsir peristiwa
yang digunakan Orde Baru dalam film itu adalah salah satu upaya meyakinkan
masyarakat, kudeta itu dilakukan oleh komunis dan bukan pihak militer. Peristiwa
itu dijadikan alasan oleh Orde Baru untuk membenarkan tindakannya untuk
berkuasa.
Dalam Buku itu Katherine E. McGregor mengakui, dia ingin mengungkapkan
peran Orde Baru dengan militernya dalam menggambarkan masa lalu Indonesia.
Salah satunya dengan media visual, yang didukung oleh buku-buku pelajaran,
monumen-monumen, film, hingga diorama yang di pajang dalam museum.
Dalam analisa Katherine, pembuatan dan pemaknaan sejarah baru oleh Orde
Baru melalui media visual dan film sangat efektif. Hal itu terkait dengan jumlah
pendudukIndonesia pada saat itu masih memiliki tingkat buta huruf yang tinggi,
maka dengan pembuatan sejarah melalui media visual diharapkan bisa
menjangkau seluruh Indonesia.
Analisa itu muncul setelah Katherine membaca dokumen dari Departemen
Pertahanan dan Keamanan Pusat sejarah Angkatan Bersenjata Indonesia dalam
merancang semua itu. Katherine mengutip Nugroho Notosutanto dalam dokumen

itu, "Di dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia, di mana
kebiasaan membaca pun masih sedang berkembang, kiranya historio-visual isasi
masih agak efektif bagi pengungkapan identitas ABRI."
Tidak mengherankan kelanggengan Orde Baru berkuasa dijaga dengan strategi
yang rapi. Pengaruh kekuasaan sudah dijaga dengan doktrin yang sudah
ditanamkan dalam melalui buku pelajaran, film, museum, monumen, hingga
rancangan diorama yang begitu detail. Meski begitu, tidak jarang menggunakan
kekerasan.
Film sebagai representasi realitas, tidak sekedar memindah realitas ke layar akan
tetapi dibentuk oleh kode-kode dan konvensi ideologi maupun budaya
pembuatnya. Oleh karena itu, film merupakan arketipe awal media massa
modern, memiliki potensi untuk ditunggangi rezim polik dan media propaganda.
Konstruksi propaganda dalam film dibangun oleh penyusunan tanda dan kata
maupun tanda-tanda dalam teks film yang membentuk suatu tehnik propaganda
untuk mempengaruhi opini publik sesuai dengan yang diinginkan Propagandis.

Karena itu menjadi sangat bijak untuk terus membangun pemikiran kreatif dalam
proses pembuatan film dengan tanpa melupakan sisi edukasi yang dapat
didistribusikan sebagai pesan dalam setiap film yang dibuat oleh para
pembuatnya. Untuk itu, setiap insan perfilman, khususnya para pembuat film

haruslah memahami bahwa film menjadi alat yang efektif bagi para mereka
untuk berkontribusi positif bagi Negara, masyarakat dan peradabannya, bukan
justru memperparah dengan film-film yang justru menyebarkan pesan yang
mendegradasi nilai-nilai positif yang terdapat di dalam setiap sendi kehidupan
masyarakat.

Sang Sutradara dan Prestasi
Film ini disutradari oleh Arifin C Noer, seorang sutradara besar sejak masanya
hingga kini. Film-filmnya kebanyakan laris dan meraih penghargaan. Khusus film
Pengkhianatan G30S/PKI ini, ditayangkan sejak tahun 1984 hingga 1998 di TVRI.
Karena film ini, Arifin di ganjar penghargaan Piala Citra untuk Penulis Skenario
Terbaik pada 1985. Dengan biaya sekitar Rp. 800 juta di tahun 1984, film ini
menjadi film pertama yang mencapai penonton sebanyak 699.282 orang di
tahun 1984. Rekor ini bertahan sampai tahun 1995.
Film ini memang bukan film kolosal yang pertama bagi Arifin C Noer, namun dia
sendiri mengakui bahwa mengurus dan menata casting yang begitu besar
memang ukan pekerjaan yang mudah dan sebentar. Untuk membuat film itu,
Arifin mengeluarkan usaha yang sangat besar dengan membaca sebanyak
mungkin tentang peristiwa tersebut, mewawancarai saksi sejarah, dan berusaha
mencari properti asli. Arifin sebetulnya memimikan bahwa film Pengkhianatan

G30S/PKI bisa menjadi sebuah film pendidikan dan renungan tanpa pesan
kebencian bagi setiap orang yang menontonnya.
Memang, Arifin C Noer dikenal sebagai seniman multitalenta. Sejak SMP dia
menggeluti teater dan puisi. Ia mulai menyentuh kamera ketika Wim Umboh
membuat film Kugapai Cintamu pada 1976. Film perdananya, Suci Sang
Primadona (1977), melahirkan pendatang baru, Joice Erna, yang memenangkan
Piala Citra sebagai Aktris Terbaik Festival Film Indonesia 1978. Arifin C Noer
meninggal pada 28 Mei 1995 di usia 54 tahun.
Pada 1984, Arifin C. Noer meraih penghargaan Piala Citra untuk skenario terbaik
film ini. Di perhelatan yang sama, Arifin juga masuk unggulan untuk kategori
penyutradaraan film terbaik. Amoroso Katamsi menjadi kandidat pemeran utama
pria terbaik.
Yang juga kecipratan adalah Embie C. Noer yang diunggulkan dalam kategori
tata musik terbaik, Hasan Basri untuk kategori tata kamera terbaik, dan Farraz
Effendy yang masuk nominasi kategori tata artistik terbaik. Meski akhirnya,
hanya Arifin yang berhasil menggondol pulang Piala Citra sebagai penulis
skenario terbaik. Pada 1985, masih di Festival Film Indonesia, film Pengkhianatan
G30S/PKI mendapat penghargaan Piala Antemas untuk kategori film unggulan
terlaris 1984-1985.