Analisis semiotik Film a mighty heart

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

RIZKY AKMALSYAH

NIM 106051101939

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

Rizky Akmalsyah

NIM: 106051101939

Di Bawah Bimbingan

Dra. Hj. Asriati Jamil, M. Hum

NIP 19610422 199003 2 001

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H/ 2010 M


(3)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat,


(4)

Analisis Semiotika Film “ A Mighty Heart

A Mighty Heart, sebuah film drama menegangkan yang diangkat berdasarkan

kisah nyata seorang jurnalis Wall Street Journal, Daniel Pearl’s, yang hilang diculik dan dibunuh tragis oleh oknum suatu gerakan di Karachi, Pakistan. Film yang disutradarai Michael Winterbottom ini benar-benar akan membawa penonton hanyut dalam setiap adegannya. Apalagi dibantu oleh pengambilan gambar yang dramatis dan dialog yang sesuai, menjadikan film yang distribusi oleh Revolutions studio dan Paramount ini diminati oleh para pecinta film drama. Selain, film ini juga didekasikan untuk para jurnalis yang terbunuh dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Pernyataan di atas, merumuskan beragam pertanyaan mengenai film yang dilakoni artis papan atas, Angelina Jolie. Apakah dalam film” A Mighty Heart” diperlihatkan adegan pembunuhan tragis itu, seperti yang sudah dilihat oleh dunia melalui internet? Bagaimanakah keadaan jiwa Mariane Pearl’s dalam film tersebut setelah mengetahui sang suami tewas mengenaskan di ujung layar LCD handycam? Lalu, benarkah Daniel Pearl’s satu-satunya jurnalis yang diculik dan dibunuh ketika menjalankan tugasnya?

Dalam film yang berhasil mendapatkan beberapa penghargaan ini tidak diperlihatkan bagaimana Daniel pearl’s dibunuh, atau disembelih seperti yang sudah dilihat banyak orang di internet. Di film ini hanya diperlihatkan rasa emosi dan kengeriaan pemain ketika melihat gambar tragis di layar kecil LCD handycam. Tentu, keadaan Mariane, istri Daniel yang tengah hamil 6 bulan saat itu terpukul, dalam film ia digambarkan teriak histeris dan menangis sejadinya. Namun, peristiwa penculikan dan pembunuhan jurnalis ini bukan hanya menimpa Daniel’s. CPJ ( Committee to Protect

Jounalist) menginformasikan sejak 15 tahun terakhir sudah 500 jurnalis yang terbunuh,

dan jika dihitung setelah 5 tahun sejak kematian Daniel’s, sudah 230 jurnalis yang hilang dan terbunuh dari seluruh belahan dunia.

Film yang menyedot perhatian kritikus film ini memang layak untuk ditonton dan diteliti, sebab dari dialog, pengambilan gambar dan gerakan para pemain sanggup menggugah penikmat film. Inilah yang menjadi kesempatan metodologi kualitatif untuk menggali lebih dalam film ini. Terlebih lagi, didukung oleh analisis semiotika yang diusung oleh Roland Barthes melalui denotasi, konotasi dan Mitos-nya, menafsirkan lebih lanjut dialog, pengambilan gambar dan gerakan pemain dalam film tersebut.

Bisa dikatakan, melalui teori Roland Barthes dengan denotasi, konotasi dan mitos-nya, peneliti dapat lebih memahami pesan atau simbol yang terkandung dalam dialog, pengambilan gambar dan gerak para pemain film”A Mighty Heart”. Sehingga, penyampaian informasi yang diharapkan Michael Winterbottom sebagai sang sutradara tersampaiakan dengan cermat. Berdasarkan, salah satu sumber analisis, yaitu analisis semiotika, yang membuka pesan tersirat mengenai perjalanan rumit seorang jurnalis ketika mereka ingin mencapai sebuah kebenaran. Film”A Mighty Heart” merupakan suara kebenaran mereka yang hilang.


(5)

Kesulitan memang tidak pernah lepas dari kulit hidup manusia, sebab itu Tuhan selalu memberikan dukungan kepada hamba-Nya untuk tidak berputus asa. Ia berfirman, “ setelah kesulitan pasti ada kemudahan ”. Atas nama-NYA Yang Agung dan harum penulis bersimpuh dan bersyukur kepada Allah SWT, Raja dari segala raja, tiada Tuhan selain Engkau, yang telah mendukung penulis melalui firman-NYA, yang telah menghangatkan penulis dari malam-Nya dan yang telah membuat skripsi ini selesai karena cinta-Nya.

Tidak lupa pula penulis bershalawat kepada sang pangeran cinta, manusia agung yang banyak berkorban, menangis dan tersenyum untuk umatnya, seorang suami, sahabat, nabi, dan rasul yang mencintai anak-anak yatim. Al-Mustofa, Nabi Muhammad Saw. Semoga keberkahan sholawat dan salam selalu tercurah kepada beliau, keluarga dan para sahabatnya.

Tiada emas, mutiara, intan permata sekalipun yang dapat menggantikan kegembiraan hati penulis dalam menyelesaikan tugas mulia ini. Alhamdulillah berkat usaha, doa dan tawakal, skripsi yang berjudul ANALISIS SEMIOTIKA FILM “A MIGHTY HEARTini dapat dituntaskan.

Selesainya skripsi ini tentunya tidak lepas dari dukungan dan bantuan serta bimbingan semua pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, serta Drs. H. Mahmud Jalal, MA dan Drs. Studi Rizal L.K, MA, selaku


(6)

2. Drs. Suhaimi, M. Si, selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Rubiyanah, MA, selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang selalu ada dan siap membantu dalam masalah akademik. Terima kasih atas segala bimbingannya.

3. Dra. Hj. Asriati Jamil, M. Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktunya kepada penulis. Terima kasih atas bimbingan, secercah ilmu dan dorongan yang telah Ibu berikan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

4. Dosen-dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas ilmu dan dedikasi yang diberikan kepada penulis. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis. Amin.

5. Segenap staff dan karyawan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

6. Situs www.amightyheart.com atas rumah produksi revolutions yang telah memudahkan penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Thank You All!

7. Orang tua tercinta, Ayah dan Ibu (Rusmiadi dan Norma hidayah) yang telah memberikan doa, kelembutan kasih sayang, materi dan motivasi kepada penulis. Semoga setiap tetesan keringat kalian menjadi wewangian dan jalan menuju surga Allah SWT. Serta adik-adikku, Isya Andriansyah dan Indah ramadhani yang banyak menuangkan warna bagi penulis.


(7)

9. Sahabat-sahabat yang selalu kurindukan, Juftazani, Dana, Angga, Amin, Fajri, Zakaria, Irham, Deden, Topan, Jose, A.Yani, Hardi, Subekti, Bagus, Gesta, Edy, Danang, Dede.R, Pandu, Maysarah, Aida, Risni, Mimi, Ina, Dyamby, Putri, Novita dan Mulia. Terima kasih atas memoir suci yang kalian berikan. Sukron Yaa Ashabiii !!!

10.Teman-teman seperjuanganku di Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2007. Terima kasih atas kepercayaan dan kerja sama kalian selama ini. Satu kata, kalian teman-teman yang sungguh luar biasa !. Five Thumbs Up!

11.Guru-guru dan teman-temanku di Pondok Pesantren Daar el-Qolam. Terima kasih atas ilmu, suri tauladan, inspirasi, bimbingan dan pelajaran hidup yang telah kalian berikan.

12. Kakek Lin di Padang dan untuk para Jurnalis yang meninggal dalam menjalankan tugasnya. Skripsi ini penulis dedikasikan untuk kalian.

Dan kepada semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung membantu penulis dalam menyelasaikan skripsi ini, Semoga Allah membalas budi baik yang telah kalian berikan. Amin.

Tangerang, Juni 2010

Penulis.


(8)

ABSTRAK………...i

KATA PENGANTAR………...ii

DAFTAR ISI.………..….v

DAFTAR TABEL……….viii

DAFTAR GAMBAR……...……….…..ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...…………...1

B. Batasan dan Rumusan Masalah………...…3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………....4

D. Metodologi Penelitian….……….…...5

E. Tinjauan Pustaka………..7

F. Sistematika Penulisan………...8

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Tentang Film 1. Sejarah dan Perkembangan Film...10

2. Klasifikasi Film... 13

3. Struktur dalam Film...15

B. Tinjauan Umum Tentang Semiotika 1. Konsep Semiotika...18


(9)

1. Pengertian Jurnalisme...24

2. Sejarah dan Perkembangan Jurnalisme...25

3. Macam-macam Jurnalisme...28

4. Etika Jurnalisme...29

5. Kode Etik Jurnalisme...31

BAB III GAMBARAN UMUM FILM ”A MIGHTY HEART” A. Profil Sutradara Film...35

B. Profil Pemain dan Film Maker’s...37

C. Sinopsis Film ”A Mighty Heart”...49

BAB IV TEMUAN DATA DAN ANALISA DATA LAPANGAN A. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos...54

B. Pesan yang Disampaikan...75

C. Dedikasi untuk Daniel Pearl’s dan Para Jurnalis yang terbunuh ....78

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...82

B. Saran...83

DAFTAR PUSTAKA...85

LAMPIRAN-LAMPIRAN...88


(10)

1. Tabel 1: Peta Tanda Roland Barthes...22

2. Tabel 2: Scene 1...55

3. Tabel 3: Scene 2...57

4. Tabel 4: Scene 3...58

5. Tabel 5: Scene 4...59

6. Tabel 6: Scene 5...61

7. Tabel 7: Scene 6...62

8. Tabel 8: Scene 7...64

9. Tabel 9: Scene 8...65

10.Tabel 10: Scene 9...67

11.Tabel 11: Scene 10...68

12.Tabel 12: Scene 11...70

13.Tabel 13: Scene 12...71

14.Tabel 14: Scene 13...73


(11)

viii

1. Gambar 1 : Dokumenter………...55

2. Gambar 2 : Sebuah Kota Besar………57

3. Gambar 3 : Perpisahan……….58

4. Gambar 4 : Bertemu Kaleem Yusuf………59

5. Gambar 5 : Makan Malam………...61

6. Gambar 6 : Pria Berjanggut Putih………...62

7. Gambar 7 : Menghubungi Konsulat………64

8. Gambar 8 : Dua Intelejen………65

9. Gambar 9 : Foto Eksekusi………...67

10.Gambar 10: Sheikh Gilani………68

11.Gambar 11: Bernama Omar……….70

12.Gambar 12: Histeris……….71

13.Gambar 13: A Mighty Heart………73


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Komunikasi massa merupakan media yang sangat berpengaruh bagi manusia. Kerjanya ibarat jarum hipodermik atau teori peluru yang banyak dicetuskan oleh pakar ilmu komunikasi, di mana kegiatan mengirimkan pesan sama halnya dengan tindakan menyuntikkan obat yang dapat langsung merasuk ke dalam jiwa penerima pesan1. Medianya bisa berupa apa saja, salah satunya film.

Film dapat diartikan sebagai gambar bergerak yang diperangkati oleh warna, suara dan sebuah kisah. Atau film bisa juga disebut gambar-hidup. Para sineas barat biasa menyebutnya movie. Film, secara kolektif, sering disebut

sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga

sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah

Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie =

grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan

cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.2

1

Morrisan, Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi ( Tangerang: Ramdina Prakarsa, 2005), h.12.

2

Bahasfilmbareng. blogspot.com /2008/ 04/ pengertian-film di akses tanggal 28 Desember 2009 pukul 10:30 WIB.


(13)

Dewasa ini banyak film-film yang meninggikan kapitalisme, romantisme, nasionalisme atau sekedar idealisme. Namun, dari beberapa pilihan yang ada peneliti lebih tertarik dengan film yang melatarbelakangi kerja para wartawan. Semangat jurnalisme. Identitas sebuah tantangan dan perjuangan mereka sebagai pencari berita. Di antaranya seperti film “Long Road to Heaven :

Makna di balik tragedy” (2007) yang disutradarai oleh Enison Sinaro,

mengisahkan tentang wartawan Australia yang ingin menguak lebih dalam peristiwa di balik tragedi Bom Bali pada tahun 2002. Kemudian, “Blood

Diamond” (2007) yang disutradarai oleh Edward Zwick ( Glory, The Last

Samurai) dan dibintangi oleh artis papan atas, Leonardo Dicarpio (Titanic, Romeo

and Juliet, The Beach, The Departed), Jennifer Connelly (Hulk) dan Djimon

Hounsou ( Island, Constantine, Gladiator).3 Menceritakan bagaimana seorang wartawan mampu memecahkan masalah mutiara berdarah, yang sering menjadi penyebab pembelian senjata, pertumpahan darah dan perpecahan saudara di Sierra Leone, Afrika.

Namun, dari berbagai macam film mengenai jurnalisme, peneliti lebih simpatik dengan film yang disutradarai oleh Michael Winterbottom “ A Mighty

Heart” (2007). Diangkat dari judul novel yang sama dan berangkat dari kisah

nyata oleh Mariane Pearl’s. Film ini menggambarkan kerasnya hidup menjadi seorang wartawan. Letihnya mencari narasumber dan perihnya meninggalkan keluarga demi sebuah berita. Tidak hanya itu, di sini juga menjelaskan bagaimana wartawan menjadi korban pembunuhan dan penculikan di area konflik. Seperti di Karachi, Pakistan, Irak dan Afghanistan.

3


(14)

Selain itu, film yang diperankan oleh artis cantik terkenal, Angelina Jolie, istri dari Brad Pitt ini bukan hanya menggugah dan membuat para pecinta film drama menangis, spesialnya film ini juga hampir tidak ada konspirasi Amerika seperti kebanyakan film-film Hollywood lainnya, tidak ada tuding-menuding Islamkah atau kaum radikalkah yang membunuh sang Jurnalis. Di sini digambarkan permasalahan itu secara lembut, bahwa teroris adalah teroris, Muslim adalah muslim, bukan sebaliknya, teroris adalah muslim, pembunuh adalah orang Islam.

Kemudian, kejeniusan sang sutradara memutar balikkan adegan, kisahnya bisa dibilang maju-mundur, seakan-akan penonton diajak se-dramatis mungkin, atau merasakan apa yang film tonjolkan. Tapi, walaupun begitu, pesan yang akan disampaikan begitu terasa di akhir film.

Berdasarkan latar belakang film di atas, perlu adanya penelitian secara mendalam pada aspek cerita film ini, guna memahami denotasi, konotasi dan mitos apa yang akan di sampaikan dalam sebuah film melalui pendekatan semiotika Roland Barthes. Sebab dalam industri perfilman, khusunya bagi sang sutradara ada pesan atau simbol-simbol yang ingin disampaikan untuk masyarakat luas lewat film. Berangkat dari penjelasan di atas, maka peneliti memilih judul

Analisis Semiotika Film “ A Mighty Heart

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah, penulis sengaja membatasi pengambilan adegan-adegan dalam film A Mighty Heart hanya yang dianggap memiliki makna simbol yang mewakili bagaimana jurnalis, intelejen bekerja dan budaya


(15)

orang-orang Pakistan di Karachi. Seutuhnya penelitian ini menggunakan analisis semiotika model Roland Barthes, sebab menurut Roland semua objek kultural dapat diolah secara tekstual. Dengan demikian, semiotika dapat meneliti bermacam-macam teks, film salah satunya.4

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film AMIGHTY HEART?

b) Apa pesan yang terkandung dalam film A MIGHTY HEART?

c) Apa dedikasi yang dibuat film A MIGHTY HEART untuk Daniel Pearl’s dan para jurnalis yang terbunuh?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah penelitian di atas, secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam film A Mighty Heart, dan mengetahui pesan yang terkandung dalam film A Mighty Heart. Sedangkan, manfaat yang dilahirkan dengan adanya penelitian ini ialah:

1) Manfaat Akademis, senantiasa hasil penelitian ini mampu memberikan konstribusi bagi pegembangan ilmu komunikasi, serta sebagai tambahan referensi bahan pustaka, khususnya penelitian tentang analisis dengan minat pada kajian film dan semiotika.

2) Manfaat Praktis, senantiasa penelitian ini mampu memberikan deskripsi dalam membaca makna yang terkandung dalam sebuah film

4

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), Cet.ke-4, h.123.


(16)

melalui semiotika. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kosa kata dan istilah yang biasa digunakan dalam film.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefenisikan metodologi sebagai mekanisme penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, baik itu tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti.5

Dalam penerapannya, pendekatan kualitatif menggunakan metode pengumpulan data dan metode analisis yang bersifat nonkuantitatif, seperti penggunaan instrumen wawancara mendalam dan pengamatan.6 Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis deskriptif yang berfokus pada penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis.7

2. Objek Penelitian dan Unit Analisis

Objek penelitian ini ialah film A Mighty Heart. Sedangkan, unit analisis peneelitiannya adalah potongan gambar atau visual yang terdapat dalam film A

Mighty Heart yang berkaitan dengan rumusan masalah dalam penelitian.

5

Lexy J. Moeleong, Metodologi Peneliitian Kualitatif (Bandung: Rosda, 2002), h.3.

6

Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gintanyali, 2004) h.2.

7

Suharismi Arikonto, Prosedur Penelitian Suatu Pendakatan Praktik (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1989), h. 194.


(17)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Data Primer adalah data yang diperoleh dari rekaman video original berupa satu keping DVD film A Mighty Heart. Kemudian dipilih visual atau gambar dari adegan-adegan film yang diperlukan untuk penelitian. 2) Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur. Literatur yang mendukung data primer, seperti kamus, internet, artikel Koran, buku-buku yang berhubungan dengan penelitian, catatan kuliah dan sebagainya.

4. Teknik Penelitian

Teknik penelitian terdiri atas dua, yaitu 1) Observasi adalah melakukan pengamatan8 secara langsung dan tidak terikat terhadap objek penelitian dan unit analisis dengan cara menonton dan mengamati teliti dialog-dialog, serta adegan-adegan dalam film A Mighty Heart. Kemudian mencatat, memilih dan menganalisanya sesuai dengan model penelitian yang digunakan. 2) Studi komunikasi (document research), yaitu penulis mengumpulkan data-data melalui telaah dan mengkaji berbagai literatur yang relevensinya dengan materi penelitian untuk selanjutnya dijadikan bahan argumentasi, seperti DVD film, arsip, majalah, surat kabar, catatan perkuliahan, internet dan lain-lain.

5. Waktu Penelitain

Penelitian ini dilakukan dari Desember 2009 sampai April 2010. Peneliti sengaja menggunakan kaca mata analisis semiotika, sebab film merupakan objek yang penuh tanda dan simbol, sehingga penggunaan analisis semiotika menjadi lebih tepat digunakan dalam penelitian ini.

8

Tigor Pangaribuan, Kamus Populer Lengkap, (Bandung: Pustaka Stia, 1996), cet-1, h. 114.


(18)

6. Teknik Analisis Data

Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian diklarifikasikan sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah ditentukan. Setelah data terklarifikasi, dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes. Roland mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi yang menghasilkan makna secara objektif untuk memahami makna yang tersirat dalam film A Mighty

Heart yang menjadi titik dalam penelitian ini.

7. Teknik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis dan Disertasi” yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang menjadi rujukan penulis, yaitu:

1) “ Analisis Semiotika Rubrik Fashion Style Majalah Kawanku” oleh Trigustia Pusporini, tahun 2009, Konsentrasi Jurnalistik, UIN Jakarta. 2) “ Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya

Zarqoni Maksum pada Galeri Foto Antara.co.id)” oleh Fatimah, tahun 2008, Konsentrasi Jurnalistik, UIN Jakarta.

3) “ Analisis Semiotika terhadap Foto-foto pada Majalah National

Geographic dalam Perspektif Kebudayaan” oleh Siti Fatimah, tahun


(19)

4) “ Analisis Semiotika Film Turtle Can Fly” oleh Istianah, tahun 2009, Konsentrasi Jurnalistik, UIN Jakarta.

Keempat skripsi di atas memiliki objek berbeda. Ketiga skripsi yang berada di posisi atas menggunakan objek foto dan satu skripsi terakhir menggunakan objek film. Masing-masing menggunakan teknik analisis semiotika model Roland Barthes.

Walaupun dalam penelitian ini penulis berkiblat pada skripsi di atas, tetap penelitian yang dilakukan penulis berbeda. Objek penelitian penulis adalah film Internasional yang berkoalisi pada kerja wartawan dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika Roland Barthes.

Film ini sengaja diambil penulis karena belum banyak mahasiswa yang meneliti Film Internasional seperti tersebut. Sehingga, penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat menambah referensi penelitian film. Khususny, Film Internasional yang merujuk pada kerja wartawan, sehingga dapat menjadi bahan referensi selanjutnya. Film genre drama berjudul A Mighty Heart karya Michael Winterbottom yang akan penulis teliti ini diangkat dari novel dengan judul yang sama dan berangkat dari kisah nyata Mariane Pearl’s.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian yang akan dibahas dalam skripsi ini terdiri dari lima Bab dan masing-masing bab terdiri dari Sub Bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah, perumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,


(20)

metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Dalam bab ini berisikan tinjauan umum tentang film, seperti sejarah dan perkembangannya, klasifikasi dalam film, struktur film, kemudian terdapat pula tinjauan umum tentang semiotika, konsep semiotika, konsep semiotika Roland Barthes, serta tinjauan umum tentang jurnalisme, pengertian jurnalisme, sejarah dan perkembangan jurnalisme, macam-macam jurnalisme, etika jurnalisme dan kode etik jurnalisme.

BAB III GAMBARAN UMUM FILM ”A MIGHTY HEART

Pada Bab ini pembahasan spesial di balik layar film A Mighty Heart, seperti profil sutradara, para pemain, pembuat film dan sinopsis film A Mighty Heart.

BAB IV TEMUAN DATA DAN ANALISA DATA LAPANGAN

Membahas konsep semiotika Roland Barthes mengenai makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film yang digarap Michael Winterbottom, pesan yang disampaikan dalam film A Mighty Heart dan dedikasi untuk Daniel Pearl’s dan para jurnalis yang terbunuh pada tahun 2002-2007.


(21)

BAB V PENUTUP

Penulis mengakhiri skripsi ini dengan beberapa kesimpulan sekaligus berfungsi sebagai jawaban umum yang terdapat dalam bab pendahuluan, serta diikuti dengan saran penulis.


(22)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Umum tentang Film

1. Sejarah dan Perkembangan Film

Berawal dari sebuah mimpi, “Aku ingin membuat gambar yang bergerak”, yang tersimpan kira-kira 17.000 tahun yang lalu di gua Altamira, Spanyol. Ditemukan gambar hewan berkaki banyak. Para ahli sejarah menyatakan, bisa saja ini adalah sebuah impian manusia zaman purbakala untuk membuat gambar bergerak. Sebab itu, seakan tersembullah ungkapan dari gambar itu, “ Aku ingin membuat gambar ini bergerak”. 1

Bukan hanya itu, yang membuktikan cikal bakal terlahirnya film dari zaman purbakala, para ahli sejarah juga menjelaskan, bagaimana dahulu manusia zaman purbakala berkomunikasi dengan menggunakan obor, dari bukit satu ke bukit yang lain kepada kawanannya. Obor yang diputar-putar, sebagai tanda mengirim isyrat (pesan). Para ahli sejarah mendeskripsikan bahwa, jika obor digerakkan, maka akan terlihat seperti satu garis, sebagaimana lampu senter yang digerakkan di tempat yang gelap, akan membentuk suatu garis. Ini yang disebut ajaib dan tipuan mata, sesuatu yang berhubungan erat dengan pemutaran film.2

Berdasarkan penemuan di atas, muncul-lah gagasan untuk membuat foto bergerak. Dipelopori oleh Edward Muybridge, mahasiswa Stanford University

yang mencoba membuat 16 foto atau frame kuda yang sedang berlari. Dari ke-16

1

Seiichi Konishi & Keiji Nakamura, Penemuan Film, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), cet-1, h.5.

2


(23)

foto kuda yang sedang berlari ini, Muybridge mencoba merangkai dan menggerakkan secara berurutan. Hasilnya, foto tersebut terlihat hidup dan berhasil menjadi foto bergerak pertama di dunia. Sekalipun pada saat itu teknologi perekam belum ada, Muybridge menggunakan kamera foto biasa untuk menghasilkan gerakan lari kuda. Dengan kata lain, diperlukan pengambilan gambar beberapa kali agar memperoleh gerakan lari kuda yang sempurna saat difilmkan. Sejarah mencatat peristiwa itu pada tahun 1878. Dari sinilah ide membuat film muncul.3

Sejak saat itu, banyak orang berbondong-bondong mulai membuat foto bergerak dan bergulat untuk memperbaiki mesin proyektor. Marey salah satunya, penemu asal Perancis yang mampu membuat foto bergerak (progresif), sehingga dengan adanya kamera ini teknologi film dan fotografi mengalami kemajuan yang pesat. Selain itu, Thomas Alva Edison ” sang raja penemu ”, juga sedang berkutat dalam pembuatan film. Penemuan Edison kali ini berbeda dengan penemuannya yang lain, yaitu sebuah alat berbentuk kotak dinamakan kinetoscope

(alat untuk memproyeksikan gerak), dan orang dapat mengintip melalui jendela kecilnya. Di dalamnya terdapat pita film endores sepanjang 17 m, sehingga film yang sama dapat dilihat berulang kali. Penemuan ini banyak digemari, sampai orang-orang rela mengantri untuk bisa menikmatinya.4

3

“News Display” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari

http://www.wikimu.com.

4 Seiichi Konishi & Keiji Nakamura, Penemuan Film, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), cet-1, h.21.


(24)

Ketika itu, di Perancis, Lumiere bersaudara yaitu sang kakak Auguste, dan sang adik Louis juga sedang berusaha keras menemukan film. Dan, pada tanggal 28 Desember 1895, Lumiere bersaudara akhirnya berhasil menemukan dan mempertunjukkan film mereka untuk pertama kali kepada masyarakat Paris.5 Salah satu film pertama yang diputar, durasinya sangat singkat, dan hanya bercerita tentang kereta api yang tiba di stasiun. Berlandaskan hal ini, para ahli sejarah sepakat menetapkan, bahwa pertunjukkan perdana Lumiere bersaudara saat itu, dideklarasikan sebagai hari kelahiran dunia perfilman.6

Beberapa tahun kemudian, barulah negara yang dikenal adidaya, Amerika Serikat memproduksi film pertamanya yang berjudul Monkey Shines No.1.

Gambar orang yang ‘blur’ dengan latar hitam yang sedang melakukan gerakan-gerakan tangan dalam beberapa detik.7 Demikianlah pada tahun 80-an dianggap sebagai tahun di mana film itu terlahir sampai saat ini.

2. Klasifikasi Film

Klasifikasi film atau genre (jenis/ragam)8 dalam film berawal dari klasifikasi drama yang lahir pada abad XVIII. Klasifikasi drama tersebut muncul berdasarkan atas jenis stereotip manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Ada berbagai jenis naskah drama yang dikenal saat itu, di antaranya, lelucon, banyolan, opera balada, komedisentimental, komedi tinggi, tragedi

5

“Sejarah Film” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari

http://www.blogiehahablogspot.com 6

Seiichi Konishi & Keiji Nakamura, Penemuan Film, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), cet-1, h.22.

7 “News Display” di akses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari

http://www.wikimu.com.

8 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), h. 265.


(25)

borjois dan tragedi neoklasik. Selanjutnya berbagai macam jenis drama itu diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: Tragedi (duka cita), Komedi (drama ria), melodrama, dagelan (farce).9

Tapi, seiring berkembangnya zaman dan dunia perfilman, genre dalam film pun mengalami sedikit perubahan. Namun, tetap tidak menghilangkan keaslian dari awal pembentukannya. Sejauh ini diklasifikasikan menjadi 5 jenis,10 yaitu:

a. Komedi, film yang mendeskipsikan kelucuan, kekonyolan, kebanyolan pemain (actor/actress). Sehingga alur cerita dalam film tidak kaku, hambar, hampa, ada bumbu kejenakaan yang dapat membuat penonton tidak bosan.

b. Drama, Film yang menggambarkan realita (kenyataan) di sekeliling hidup manusia. Dalam film drama, alur ceritanya terkadang dapat membuat penonton tersenyum, sedih dan menetaskan air mata.

c. Horor, Film beraroma mistis, alam gaib, dan supranatural. Alur ceritanya biasa membuat jantung penonton berdegup kencang, menegangkan, dan berteriak histeris.

d. Musikal, Film yang penuh dengan nuansa musik. Alur ceritanya sama seperti drama, hanya saja di beberapa bagian adegan dalam film para pemain (actor/actress) bernyanyi, berdansa, bahkan beberapa dialog menggunakan musik (seperti bernyanyi).

e. Laga (action), Film yang dipenuhi aksi, perkelahian, tembak-menembak, kejar-kejaran, dan adegan-adegan berbahaya yang mendebarkan. Alur

9

Prof. Dr.Herman J. Waluyo, Drama: Teori dan pengajarannya, ( Yogyakarrta: PT. Hanindita, 2003), cet-2, h. 38.

10

Ekky Imanjaya, Why Not: Remaja Doyan Nonton, ( Bandung:: PT Mizan Bunaya Kreativa, 2004_), cet-1, h. 104.


(26)

ceritanya sederhana, hanya saja dapat menjadi luar biasa setelah dibumbui aksi-aksi yang membuat penonton tidak beranjak dari kursi.

3. Struktur dalam Film

Sehebat apa pun film 2012 Karya Rolland Emmerich, sepopuler apa pun film Jurasic Park karya Steven Spielberg dan se-booming apa pun Ayat-Ayat Cinta karya Hanung Bramantyo, tidak akan pernah menarik dan nyaman untuk dilihat, jika para kru (regu) film tidak menampilkan angle (sudut) kamera yang baik untuk ditonton. Tentu saja selain kehebatan para kru, ada beberapa teknik pengambilan gambar yang mampu membuat penonton berdecak kagum terhadap film yang mereka lihat:

1. Sudut pengambilan gambar (Camera Angle)11

a. Bird Eye View

Pengambilan gambar dilakukan dari atas ketinggian tertentu, sehingga memperlihatkan lingkungan yang sedemikian luas dengan benda-benda lain yang tampak dibawah sedemikian kecil. Pengambilan gambar biasanya menggunakan helikopter maupun dari gedung-gedung tinggi.

b. High Angle

Sudut pengambilan gambar tepat diatas objek, pengambilan gambar seperti ini memiliki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil

c. Low Angle

Pengambilan gambar diambil dari bawah si objek, sudut pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari high angle. Kesan yang ditimbulkan dari sudut pandang ini yaitu keagungan atau kejayaan.

11

main” diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul 23:00 WIB dari


(27)

d. Eye Level

Pengambilan gambar ini mengambil sudut sejajar dengan mata objek, tidak ada kesan dramatik tertentu yang didapat dari eye level ini, yang ada hanya memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri.

e. Frog Level

Sudut pengambilan gambar ini diambil sejajar dengan permukaan tempat objek berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar.

2. Ukuran gambar (frame size)12

a. Extreme Close Up (ECU/XCU) : pengambilan gambar yang terlihat

sangat detail seperti hidung pemain atau bibir atau ujung tumit dari sepatu.

b. Big Close Up (BCU) : pengambilan gambar dari sebatas kepala hingga

dagu.

c. Close Up (CU) : gambar diambil dari jarak dekat, hanya sebagian dari

objek yang terlihat seperti hanya mukanya saja atau sepasang kaki yang bersepatu baru

d. Medium Close Up : (MCU) hampir sama dengan MS, jika objeknya

orang dan diambil dari dada keatas.

12

Teknik Pengambilan Gambar” diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul 23:01 WIB dari http://www.thinktep.wordpress.com


(28)

e. Medium Shot (MS) : pengambilan dari jarak sedang, jika objeknya orang maka yang terlihat hanya separuh badannya saja (dari

perut/pinggang keatas).

f. Knee Shot (KS) : pengambilan gambar objek dari kepala hingga lutut.

g. Full Shot (FS) : pengambilan gambar objek secara penuh dari kepala

sampai kaki.

h. Long Shot (LS) : pengambilan secara keseluruhan. Gambar diambil dari

jarak jauh, seluruh objek terkena hingga latar belakang objek.

i. Medium Long Shot (MLS) : gambar diambil dari jarak yang wajar,

sehingga jika misalnya terdapat 3 objek maka seluruhnya akan terlihat. Bila objeknya satu orang maka tampak dari kepala sampai lutut.

j. Extreme Long Shot (XLS): gambar diambil dari jarak sangat jauh, yang

ditonjolkan bukan objek lagi tetapi latar belakangnya. Dengan demikian dapat diketahui posisi objek tersebut terhadap lingkungannya.

k. One Shot (1S) : Pengambilan gambar satu objek.

l. Two Shot (2S) : pengambilan gambar dua orang.

m. Three Shot (3S) : pengambilan gambar tiga orang.

n. Group Shot (GS): pengambilan gambar sekelompok orang.

3. Gerakan kamera (moving camera)13

a) Zoom In/ Zoom Out : kamera bergerak menjauh dan mendekati objek

dengan menggunakan tombol zooming yang ada di kamera.

13


(29)

b) Panning : gerakan kamera menoleh ke kiri dan ke kanan dari atas

tripod.

c) Tilting : gerakan kamera ke atas dan ke bawah. Tilt Up jika kamera

mendongak dan tilt down jika kamera mengangguk.

d) Dolly : kedudukan kamera di tripod dan di atas landasan rodanya. Dolly

In jika bergerak maju dan Dolly Out jika bergerak menjauh.

e) Follow : gerakan kamera mengikuti objek yang bergerak.

f) Crane shot : gerakan kamera yang dipasang di atas roda crane.

g) Fading : pergantian gambar secara perlahan. Fade in jika gambar

muncul dan fade out jika gambar menghilang serta cross fade jika gambar 1 dan 2 saling menggantikan secara bersamaan.

h) Framing : objek berada dalam framing Shot. Frame In jika memasuki

bingkai dan frame out jika keluar bingkai.

Demikianlah, di balik kematangan sebuah film, selain ada sutradara, D.O.P

(Director of Photography} atau penata fotografi, kameramen, editor, lighting

(penata cahaya), wardrobe,14 dan kru (regu) lainnya, ada juga teknik pengambilan gambar, yang mampu menyihir penonton untuk hanyut dalam situasi adegan film.

B. Tinjauan Umum Semiotika 1. Konsep Semiotika

Istilah Semiotika atau semiotik dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce, merujuk kepada “doktrin formal tentang tanda-tanda”. Yang menjadi dasar semiotika adalah konsep tentang


(30)

tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun-sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas.

Dalam arti lain, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal

(things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan

mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal ini di mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem tersruktur dari tanda.15

Banyak para tokoh yang menggeluti bidang semiotik atau semiotika, di antaranya:16

a) Charles Sanders Peirce: Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Pierce, sebagaimana dipaparkan Lechte, seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon

(ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Dijelaskan, Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau kenyataan. Contoh, asap sebagai tanda adanya api. Dan, simbol adalah

15

Drs. Alex Sobur, M.Si, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet-3, h.13-15.

16


(31)

tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.

b) Ferdinand de Saussure, Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, salah satunya ialah Signifier (penanda) dan signified (petanda). Dengan kata lain penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.Bisa juga disebut aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan, petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Bisa juga disebut aspek mental dari bahasa. Yang mesti diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak dapat dilepaskan. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.

c) Roman Jakobson, Jakobson adalah salah seorang dari teoretikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh Jakobson pada semiotika berawal pada abad-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal: Adresser (pengirim), message

(pesan), adresse (yang dikirimi), context (konteks), code (kode), dan

contact (kontak).

d) Louis Hjelmslev, Hjelmselv mengembangkan sistem dwipihak (dyadic

system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan Hjelmselv

terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam


(32)

masyarakat. Dalam pandangan Hjelmselv, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.

2. Konsep Semiotika Roland Barthes17.

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Semasa hidupnya, Bathes telah banyak menulis buku, di antaranya, telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Karya-karya pokok Barthes, antara lain: Le degree zero de I’ecriture atau “Nol Derajat di Bidang Menulis”(1953, diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, Writing Degree Zero,

1977).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai ssstem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.

17

Drs. Alex Sobur, M.Si, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet-3, h.63-70.


(33)

Melanjutkan studi Hjelmsev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:

1. Signifier

(penanda)

2. Signified

(petanda)

3. Denotative sign (tanda denotatif)

4.CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Gambar 2.1 Peta tanda Roland Barthes

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.

Jadi, dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan hanya sekadar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.

Semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya mengungkapkan bahwa, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang


(34)

paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi.

Dilihat segi bahasa, denotasi ialah makna yang sebenarnya yang sama dengan makna lugas untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat faktual. Konotasi ialah adalah makna yang bukan sebenarnya yang umumnya bersifat sindiran dan merupakan makna denotasi yang mengalami penambahan. Sedangkan mitos ialah sistem komunikasi dan sebuah pesan.18

Dijelaskan pula dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.

Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu

18

Pengertian makna denotatif & konotatif “ diakses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 11:00 WIB dari http://organisasi.org.


(35)

kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.

Barthes juga menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, karena mitos ini merupakan sebuah pesan pula. Ia menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.19

C. Tinjauan Umum tentang Jurnalisme 1. Pengertian Jurnalisme20

Istilah Jurnalisme berasal dari bahasa Inggris “journalism” berarti kewartawanan21, dan bersumber dari bahasa latin “diurnal” yang berarti harian atau setiap hari.

19

“ Mitos & bahasa media mengenal semiotika roland barthes” diakses pada tanggal 28 Desember 2009 pukul 10:30 WIB dari http://www.averroes.or.id.

20

Sudirman Tebba, Junalistik baru, ( Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), cet-1, h.9

21

John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), h. 337.


(36)

Sedangkan, menurut istilah jurnalisme berarti kegiatan mengumpulkan bahan berita, mengolahnya sampai menyebarluaskannya kepada khalayak. Sebab, setiap kejadian dan pernyataan yang memiliki daya tarik bagi khalayak dapat dijadikan berita untuk disebarluaskan ke tengah masyarakat.

2. Sejarah dan Perkembangan Jurnalisme22

Kegiatan jurnalisme sudah sangat tua, yaitu dari zaman Romawi kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Tetapi saat itu kegiatan jurnalisme tidak terus berkembang, karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalisme sempat mengalami kevakuman, terutama ketika Eropa masih dalam kegelapan (dark age). Pada masa itu jurnaslisme menghilang. Berita disampaikan dengan cara lain, biasanya diceritakan atau dinyanyikan oleh orang yang disebut “wandering

minstrels” yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain, kalaupun ada dilakukan

secara tertulis hanyalah dalam bentuk surat.

Jurnalisme bergairah kembali pada tahun 1609, dengan terbitnya Avisa

Relation Oder Zeitung di Jerman, yang dikenal sebagai surat kabar pertama. Lalu

di London terbit Weekly News pada 23 Mei 1622. Tetapi surat kabar yang

benar-benar terbit secara teratur setiap hari adalah Oxford Gazette pada tahun 1665, yang kemudian namanya diganti menjadi London Gazette. Henry Muddiman sebagai editor pertama surat kabar itu adalah orang yang pertama kalinya memperkenalkan istilah “newspaper”yang digunakan sampai hari ini.

Pada abad ke-18 terjadi peralihan sistem pers dari pers otoriter

(authoritarian press) ke sistem pers liberal (libertarian press). Kemenangan pers

itu boleh disebut sebagai kemenangan demokrasi atau kemenangan demokrasi


(37)

merupakan kemenangan pers. Pers diakui sebagai pejuang yang aktif dalam mengembagkan prinsip kemerdekaan. Dalam rangka pembinaan dasar teoritis untuk konsep modern mengenai kebebasan menyatakan pendapat, pers telah mengembangkan apa yang disebut “the theory of objective reporting” untuk memenuhi fungsinya sebagai media informasi.

Pada abad ke-20 sistem pers berubah lagi dari pers liberal (the libertarian

theory of the press) ke pers tanggung jawab social (the social responsibility theory

of the press). Fungsi pers teori tanggung jawab sosial sebenarnya sama dengan

pers yang menganut teori liberal, yaitu teori tanggung jawab sosial dapat menerima peranan pers dalam mengabdikan diri kepada sistem politik dalam memberikan penerangan kepada khalayak, dalam melindungi kemerdekaan perorangan, tetapi teori itu menyatakan pendapatnya bahwa pers kurang sempurna dalam melaksanakan tugasnya itu.

Selain ketiga teori di atas, ada satu teori pers lagi yang berkembang di Uni Soviet, yang disebut teori pers komunis soviet. Namun dengan runtuhnya Uni Soviet, maka teori pers ini sekarang lebih tepat disebut teori pers komunis. Teori yang menempatkan pers sebagai alat partai politik yang berkuasa.

Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di dunia, muncul pula teori-teori jurnalisme yang mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting ialah munculnya suatu teori jurnalisme yang disebut jurnalistik baru.

Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat linier, yaitu satu referensi saja. Sementara jurnalistik baru beritanya bersifat multilinier, yaitu selain menggunakan referensi pokok, juga dilengkapi dengan referensi-referensi


(38)

lain. Dengan demikian, suatu jurnalistik disebut jurnalistik baru lebih karena kelengkapan dan pengembangan beritanya. Karena itu pada prinsipnya jurnalistik baru tetap mengacu pada konsep jurnalisme yang ada, seperti:

1) Tidak boleh memasukkan opini pribadi.

2) Berita yang disajikan hanya fakta yang mengandung kebenaran. 3) Mengandung 5 W (who, what, where, when, why) + 1 H (how).

4) Penulisan berita harus tepat, ringkas, jelas, sederhana dan dapat dipercaya.

5) Naskah berita harus lugas dan megandung daya gerak.

Karena jurnalistik baru juga menggali fakta-fakta yang tersembunyi, maka isinya bisa mengandung banyak hal, tergantung aspek yang digali, misalnya ada yang berupa laporan investigatif, laporan yang faktanya diperoleh dengan cara investigasi. Laporan kontemporer, laporan dengan memasukkan unsur susatra. Laporan komparatif, laporan yang pengolahannya membandingan antara suatu kejadian atau pendapat pokok dengan kejadian/ pendapat yang lain. Laporan

analisis, laporan yang memberikan analisis terhadap fakta yang diberitakan.

Laporan interpretatif, laporan dengan memberikan interpretasi, dan laporan

evaluatif, laporan yang memberikan evaluasi terhadap fakta yang diberikan.

Kelima teori atau sistem pers tersebut berkembang di seluruh dunia di mana ada kehidupan pers, termasuk di Indonesia, yang memang juga sudah berkembang cukup lama.


(39)

3. Macam-macam Jurnalisme23

Fred Fedler, Everette Dennis dan pakar lainnya mengkategorikan ada tujuh macam jurnalisme:

Jurnalis advokasi: Kegiatan jurnalisme yang berupaya menyuntikkan opini ke dalam berita. Tiap reportase tanpa mengingkari fakta diarahkan untuk membentuk opini publik. Jadi, kesimpulan opini mereka memiliki korelasi erat dengan realitas peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

Jurnalis alternatif: Kegiatan jurnalisme yang menyangkut publikasi internal dan bersifat lebih personal. Jurnal-jurnal alternatif memunculkan tulisan-tulisan yang hendak membasmi korupsi, dengan tampilan yang lain dari “anjing penyalak”, dan melebihi media

underground konvensional dalam performa kritikan dan liputannya.

Jurnalis presisi : Kegiatan jurnalisme yang menekankan ketepatan (presisi) informasi dengan memakai pendakatan ilmu sosial dalam proses kerjanya.

Jurnalis sastra : Membahas pemakaian gaya penulisan fiksi untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel-artikel menjadi memikat. Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya penyajian fiksi yang memberikan rincian potret subjek, yang secara sengaja diserahkan kepada pembaca untuk dipikirkan, digambarkan dan ditarik kesimpulannya.

23


(40)

Jurnalis bawah tanah : Jenis jurnalisme ini menyampaikan perbincangan tentang soal-soal yang biasanya dianggap tabu oleh pers

mainstream.

Jurnalis pembangunan : Jurnalisme yang menyiarkan berita-berita pembangunan. Berita pembangunan meliputi berita langsung, feature, tajuk rencana, surat redaksi dan pidato/ keterangan yang berhubungan dengan kebutuhan primer, sekunder dan tertier dari suatu negara sedang berkembang.

Jurnalis damai : Jurnalisme yang melaporkan suatu kejadian dengan bingkai yan lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi. Jurnalisme damai membuka peluang pada pemahaman non-kekerasan (non-violence) dan kreativitas seperti yang diaplikasikan sehari-hari oleh para wartawan dalam membuat liputan. Demikianlah jurnalisme telah berkembang ke dalam berbagai macam jurnalisme sesuai dengan keperluan dan kepentingan wartawan dan media massa yang menyiarkan berita itu. Hal ini menunjukkan bahwa konsep jurnalisme selalu berkembang sampai melampaui batas-batas jurnalisme itu sendiri.

4. Etika Jurnalisme

Jurnalisme memang sudah lama membicarakan fakta, tapi jurnalisme juga sudah lama diembargo, dimanipulasi, atau ditutup oleh tinta hitam, walaupun pada akhirnya kebenaran akan muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan.24 Tapi, tidak untuk saat ini. Sebab jurnalisme sudah lama bebas bernafas dari cengkraman

24

Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam sastra harus bicara,


(41)

para diktator dan penguasa. Terlebih lagi setelah adanya Undang-undang yang menyatakan keberadaan dan perlindungan bagi mereka. Serta, etika jurnalisme dan kode etik yang meluruskan moral mereka sebagai pencari berita (informasi).

Dr. Rushworth Kidder dari institut Etika Global Amerika menjelaskan tradisi-tradisi yang paling berpengaruh pada falsafah moral, dan bagaimana tradisi itu memengaruhi keputusan etika dalam jurnalisme professional saat ini. Kidder menguraikan tiga jenis pendekatan dalam pembuatan etika berdasar pada tradisi-tradisi falsafah moral. Masing-masing dapat dipakai untuk memecahkan masalah, tapi masing-masing memiliki kelemahan dan jebakannya sendiri.25

• Utilitarianisme, pendekatan ini meminta kita untuk menjajaki konsekuensi dari tindakan dan keputusan kita (jurnalis). Jika saya melakukan hal ini, akan terjadi begini; jika saya melakukan hal itu, yang akan terjadi lain lagi. Keputuan etis ini, dengan pendekatan utilitarian, adalah hasil dari sebuah kalkulasi etis.

• Keputusan Berdasar Peraturan: Imperatif Kategoris Kant, istilah Emmanuel Kant ini adalah cara yang agak menakutkan untuk menyebutkan sebuah pendekatan yang relatif sederhana terhadap alasan moral: apapun yang anda putuskan, anda boleh meyakini bahwa keputusan itu bersifat moral atau etis jika anda bisa menyatakan bahwa prinsip atau peraturan yang menjadi keputusan anda adalah sebuah hukum universal. Dengan kata lain, anda (jurnalis) memutuskan untuk berlaku sama bagi siapa saja di dunia ini dalam situasi yang sama.

25

Budi Prayitno, Etika Jurnalisme : Debat Global, (Jakarta : Institut Studi Arus Informasi, 2006), h. 9-12.


(42)

• Aturan Emas, atau Keterbalikan, Prinsip bahwa anda harus ” melakukan sesuatu terhadap orang lain sebagaimana orang lain melakukan terhadap anda” adalah pokok dari semua agam besar. “Ini mungkin prinsip etika yang sudah lebih banyak dipakai oleh kebanyakan orang ketimbang prinsip lain mana pun dalam sejarah dunia,” di sini anda menempatkan diri pada kedudukan orang lain, jadi saling tukar peran. Aturan emas ini sering disebut sebagai pendekatan “berdasar kepedulian”.

Ketiga pendekatan itu merupakan jalan untuk para juranlisme, setidaknya sebagai solusi bagi mereka saat terjun di dalam masyarakat. Sebab, menurut Kidder, pengambilan keputusan yang beretika melibatkan pemikiran yang kompleks dan hampir selalu merupakan usaha keras.26

5. Kode Etik Jurnalisme

Jurnalisme adalah sebuah profesi sekaligus seni, karena wartawan memiliki ketrampilan khusus dan tunduk pada standar-standar yang umum. Penulis dan humoris Amerika abad ke-19, Finley Peter Dunne, pernah mengatakan bahwa pekerjaan wartawan adalah, “memberi rasa nyaman kepada

orang yang kesusahan, dan menyusahkan orang yang hidup nyaman.” Tapi peran

utama jurnalisme dalam masyarakat dunia selama generasi ke generasi tetap sama, menyediakan bagi warga informasi yang akurat dan dapat diandalkan, kemudian apa yang mereka lakukan dapat berfungsi dalam sebuah masyarakat.27

Wiliam H. Siemering sebagai instruktur penyiaran di Afrika, Eropa Timur dan Asia menambahkan, “Saya perlu katakan bahwa anda (jurnalis) perlu misi yang jelas dan pemahaman yang mendalam soal pentingnya informasi dalam

26

Ibid, h.12.

27

Deborah Potter, Jurnalisme Independen, (Jakarta: Kedutaan Amerika Serikat, 2006), h. 2-3.


(43)

masyarakat dunia. Dedikasi terhadap keakuratan dan kebenaran harus sejajar dengan kepercayaan. Tantangannya adalah bagaimana menyajikan informasi dengan cara yang menarik sehingga orang ingin mendengarkan atau membaca apa yang perlu mereka ketahui.28

Pernyataan di atas merupakan buah dari kode etik Jurnalisme, bisa juga, seperti yang dikatakan seorang penulis, Robert H. Estabrook, bahwa pernyataan itu merupakan kebebasan. Dan kebebasan Pernyataan tersebut merupakan kode etik yang menghormati tindak tanduk pers.29

Memang dalam menjalankan tugasnya, wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah supaya wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyiarkan informasi.

Saat ini ada beberapa definisi yang berkembang mengenai kode etik jurnalisme. Misalnya ada yang mengatakan bahwa kode etik jurnalisme adalah himpunan etika profesi kewartawanan (Pasal 1 Ayat (14) UU No 40 Tahun 1999). Definisi lain ialah kode etik jurnalis televisi Indonesia, yaitu pedoman perilaku jurnalis televisi dalam menjalankan profesinya (Pasal 1 Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia).30

28

Didin Natasukarya, Mencari Media yang Bebas dan Bertanggung Jawab, (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2006), h. 39.

29

Budi Prayitno, Pers Tak Terbelenggu, ( Jakarta: Departemen Luar Negeri A.S., 2004), h. 34.

30


(44)

Dari definisi-definisi itu terlihat bahwa kode etik jurnalisme terkait dengan organisasi wartawan dan kode etik jurnalisme hanya mengikat wartawan yang menjadi anggota oraganisasi wartawan yang bersangkutan.

Di dunia saat ini, khususnya di Indonesia banyak organisasi wartawan yang beragam. Karena itu, kode etik jurnalisme juga berbagai macam, di antaranya:

1) Aliansi Jurnalis Independen (AJI). 2) Aliansi Jurnalistik Indonesia (ALJI).

3) Asosiasi Wartawan Muslim Indonesia ( AWAM). 4) Asosiasi Wartawan Ekonomi (AWE).

5) Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia ( HIPSI). 6) Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

7) Ikatan Wartawan Republik Indonesia (IWARI). 8) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

9) Persekutuan Okumene Jurnalis kristiani Indonesia. 10)Ikatan Wartawan Indonesia (IWI).31

Berikut ini adalah salah satu kode etik jurnalisme, yaitu kode etik wartawan Indonesia, ditegaskan:

1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memeroleh dan menyiarkan informasi yang benar.

2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memeroleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.

31


(45)

3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.]

4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.

6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.

7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.32

32


(46)

BAB III

GAMBARAN UMUM FILM A MIGHTY HEART

A. Profil Sutradara Film1

Film A Mighty Heart mengisahkan tentang penculikan dan pembunuhan tragis seorang reporter Wall Street Journal berdarah Yahudi di Pakistan. Film yang diangkat dari kisah nyata Mariane Pearl’s dan novel ini disutradarai oleh Michael Winterbottom, sutradara Inggris yang muncul di akhir abad-21.

Michael Winterbottom lahir di Blackburn, Lancashire pada Tanggal 29 Maret 1961. Meraih gelar di Oxford University. Selain, ia juga menerima pelatihan film dan televisi di Bristol University dan politeknik di London Tengah.

Setelah Michael menyelesaikan bangku kuliahnya, ia menghabiskan waktu mudanya sebagai editor film di Thames Television, yang sukses mengarahkan episode drama dan dua dokumenter tentang Ingmar Bergman. Michael sering mendapat pujian atas karya-karyannya itu termasuk oleh tokoh-tokoh besar Eropa-

Jean-Luc Godard, Wim Wenders, François Truffaut, dan Bergman sendiri-

dengan gaya filmnya yang dinilai kontinental sejak awal. Seperti karyanya yang berjudul Forget About Me (ITV, 1990), film TV drama komedi romantis yang berkolaborasi dengan penulis Frank Cottrell Boyce, mengisahkan dua tentara Skotlandia yang dikirim ke Jerman Barat dan terjerat cinta dengan gadis-gadis Hungaria selama perjalanan ke Budapest. Under The Sun (ITV, 1992), film TV

1

People” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:30 WIB dari http://


(47)

yang berlatar belakang di Spanyol ini mengisahkan tentang seorang gadis pemalu yang belajar membela dirinya sendiri.

Pada tahun 1994 Michael membentuk Revolution Films, sebuah rumah produksi yang dibangun bersama Andrew Eaton, produser sekaligus keluarganya sendiri, yang kemudian membuat debut film pertamanya “Butterfly Kiss”. Lalu, pada tahun 1996 Michael membuat film pertamanya yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul Jude. Film yang diangkat dari judul yang sama buah karya Thomas Hardy’s ini diperankan oleh artis papan atas, Kate Winslet (finding Neverland, Titanic, The Reader) sebagai batu loncatan menembus pasaran.

Pada tahun 1997, dengan bakatnya yang elektik Michael mengubah gaya filmnya. Kali ini ia membuat sesuatu yang subjektif dan periodik, Welcome to

Sarajevo (1997). Film yang penuh emosional ini diangkat dari kisah nyata

wartawan televisi (diperankan oleh Stephen Dillane) yang bertekad menyelamatkan seorang anak yatim di Sarajevo. Walaupun film Welcome to

Sarajevo dibilang gagal, Michael terus berkarya dengan menyutradai banyak film,

I Want You (1998), Wonderland (1999), 24 Hours Party People (2002), In This

World (2002), Code 46 (2003), 9 Songs (2004), Tristram Shandy: A Cock and

Bull Story (2005) dan A Mighty Heart (2007).

Meskipun, dalam film-film komersil yang dibuatnya tidak banyak menuai sukses, tapi tekad, semangat dan inovasinya memajukan film-film Inggris membuat iri para sineas Internasional.


(48)

B. Profil Pemain dan Film Maker’s

a) Angelina Jolie as Mariane Pearl’s

Angelina Jolie (lahir di Los Angeles, California, Amerika Serikat, 4 Juli 1975; umur 34 tahun - lahir dengan nama Angelina Jolie Voight) adalah seorang pemeran wanita Amerika Serikat yang pernah dinominasikan dalam Academy

Award. Ia adalah putri kandung dari pemeran pria senior, Jon Voight. Ia memulai

karier aktingnya di era 1980-an. Pada tahun 2003, ia menikah dengan pemeran dan penyanyi senior, Billy Bob Thornton, namun mereka bercerai pada tahun 2005. Setelah itu ia menikah kembali dengan Brad Pitt pada tahun 2006. Anak hasil hubungan mereka, Shiloh Nouvel Jolie-Pitt, lahir pada Januari 2006.2

Sebelum terjun ke dunia perfilman, Jolie bekerja sebagai seorang model di Los Angeles, New York dan London saat usianya 14 tahun. Pada saat itu Jolie juga sering muncul di video-video klip, termasuk Meat Loaf ( Rock & Roll

Dreams Come Through), Antonello Venditti ( Alta Marea), Lenny Kravitz ( Stand

by My Woman), dan The Lemonheads ( It's About Time). Pada usia 16 tahun, Jolie

kembali ke teater dan memainkan peran pertamanya sebagai seorang Jerman. Ia mulai belajar dari ayahnya, memerhatikan dan mengamati bagaimana menjadi orang besar seperti mereka. Walaupun sebelumnya, hubungan mereka kurang baik, tapi akhirnya jolie menyadari bahwa mereka berdua bisa menjadi ” Ratu Drama”.

Pada tahun 1982, Jolie baru mulai berakting dengan debut film perdananya bersama sang ayah, Jon Voight, Lookin’ to Get Out. Satu dekade kemudian, karir Jolie menanjak dengan film yang beranggaran rendah, Cyborg 2 (1993). Peran

2

Biografi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:45 WIB dari


(49)

utama pertamanya dimulai dari sebuah film besar, Hackers (1995). Ia juga membintangi film-film biografi yang diakui secara kritis, George Wallace (1997) dan Gia (1998), kemudian pernah memenangkan Academy Award For Supporting

Actress dalam film Girl, Interrupted (1999).

Beberapa tahun kemudian, jolie mencapai puncak ketenarannya melalui sebuah film yang diangkat dari video game fenomenal, Lara Croft : Tomb Raider

(2001). Dalam film itu ia berperan sebagai Lara Croft, perempuan seksi yang

berpetualang mencari benda-benda langka. Dan sejak saat itulah, ia dikenal sebagai artis yang paling mahal di Hollywood. Terkenal dengan film aksi-komedinya bersama suami tercinta, Brad Pitt, Mr and Mrs Smith (2005), kemudian A Mighty Heart (2007), dalam film ini suaminya bertindak sebagai produser, film animasi Kungfu Panda (2008), pengisi suara the tiger, dan Wanted

(2008).3

b) Dan Futterman as Daniel Pearl’s4

Dan Futterman dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tanggal 8 Juni 1967 dan dibesarkan di Westchester County. Ayahnya adalah seorang pengacara dan ibunya seorang psikoanalis, yang kemudian ia bercanda bahwa dua hal yang paling dibutuhkan dari keduanya ialah seorang aktor. Ia belajar di Columbia University dan lulus pada tahun 1989 dengan gelar degree in English. Kemudian, terbagi antara lulusan sekolah dan mengejar karir akting, akhirnya ia menyerah ke dalam dorongan kreatif dan memilih yang terakhir. Karirnya begitu cepat, sebab pada tahun 1991 ia sudah di kontrak jangka panjang oleh club soda di teater WPA

3

“Biografi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 13:45 WIB dari http:// www.en.wikipedia.org

4

Movie” diakses pada tanggal 15 Frbruari 2010 pukul 13:10 WIB dari http:// www.moviesyahoo.com.


(50)

bersejarah di New York. Setelah bergelut di Teater, ia kemudian segera menampilkan film perdananya”The Fisher King”, yang bermain sebagai anak-anak punk. Dalam rentang waktu yang singkat, karirnya pun memuncak.

Pada tahun 1992, Futterman dipilih menjadi bintang utama dalam fim Big

Girls Don't Cry...They Get Even. Selain itu, Futterman banyak membuat beberapa

penampilan di Televisi, salah satunya film seri Class of '61 (ABC, 1993). Pernah juga memberikan penampilan mengesankan dalam film-film independen yang diperankannya, Breathing Room (1996), Far Harbor (1996), Shooting Fish

(1997) dan Birdcage, di film ini ia bermain bersama artis tersohor Hollywood, Robin Williams. Kemudian, Futterman semakin bergairah di dunia pertelevisian. Beberapa chanel TV seperti TNT menempatkannya sebagai bintang utama dengan Mickey Rourke” Thicker Than Blood" (1998), Dan dipasangkan bersama Ron Eldard dan Martin Donovan dalam kisah Perang Dunia II “When Trumpets Fade" (HBO, 1998).

Selain menyukai dunia akting, Futterman juga senang menulis skenario film. Terbukti dengan kesuksesannya memperoleh nominasi oscar untuk Best

Adapted Screenplay dari Boston dan Los Angeles Film Critics Associations.

Sementara itu, pada tahun 2007 Futterman kembali ditarik sebagai aktor untuk memerankan seorang reporter Wall Street Journal, Daniel Pearl’s yang dibunuh dan dipenggal di Pakistan dalam film “A Mighty Heart”. Ia mengatakan, bahwa film ini ialah film terakhirnya, sebab ia ingin lebih serius dibidang tulis-menulis skenario.


(51)

c) Archana "Archie" Panjabi as Asra Nomani5

Archana "Archie" Panjabi lahir pada tahun 1972, ia merupakan artis Inggris yang diakui karena perannya dalam film komedi “Bend it Like Beckham”

(2002), dan aktingnya sebagai Kalinda Sharma di serial TV CBS ”Good Wife”.

Panjabi lahir di London Barat dan ia merupakan mahasiswi lulusan Brunel

University di London Barat pada tahun 1996 dengan gelar studi manajemen.

Panjabi dikenal sebagai wanita yang berbakat dalam dunia film dan televisi. Karirnya di awali pada tahun 1999 dalam sebuah film komedi “East to East” dan baru-baru ini mengikuti serial TV BBC “Life in Mars”. Sedangkan, Peran Hollywood pertamanya adalah pada tahun 2005 sebagai seorang diplomat Inggris,”The Constant Gardener”, film yang sempat mendapatkan piala oscar. Walaupun sebenarnya, Panjabi tetap unggul dalam film komedi yang digarap pada tahun 2002, “Bend it Like Beckham”.

Pada tahun 2005, ia juga memenangkan Bintang Award untuk perannya sebagai karakter dalam judul Yasmin di Festival Film Berlin, dan penghargaan

Best Actress pada tahun yang sama di Reims Film Festival.

Pada tahun 2007, Punjab muncul dengan artis seksi Angelina Jolie dalam film adaptasi sebuah buku dan kisah nyata Mariane Pearl’s, istri jurnalis Daniel Pearl’s ”A Mighty Heart”. Dalam film ini Punjab memainkan peran mantan Wall

Street Journal, reporter Asra Nomani. Selain itu Punjab juga telah memberikan

suaranya untuk beberapa tokoh dalam film animasi anak di televisi Inggris

Postman Pat”.

5

Archie Panjabi” diakses pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 14: 10 WIB dari http:// www.wikipedia.org.


(52)

d) Irfan Khan as Captain6

Sahabzade Irfan Ali Khan, dikenal juga sebagai Irfan Khan, (Hindi:

इरफ़ान ख़ान; lahir 30 November 1962). Ia adalah seorang aktor India yang berkecimpung dalam film, televisi dan teater. Banyak sudah film yang dimainkan olehnya, The Warrior (2001), Maqbool (2003), Haasil (2004), The Namesake

(2006), A Mighty Heart (2007), Slumdog Millionaire (2008), Billu (2009) dan

New York, I Love You (2009), serta Vodafone, sebuah iklan.

Khan lahir di Jaipur, India, ia seorang muslim Nawab, Ibu Khan bernama Sayeeda Begum, berasal dari Keluarga Hakim Tonk dan Bapaknya, Late Yaseen Khan Jagirdar, berasal dari desa dekat Tonk Khajuriya Dist. Pada tahun 1984, ia memperoleh beasiswa di National School of Drama (NSD), New Delhi, padahal saat itu ia sedang mengejar gelar M.A.

Setelah lulus pada tahun 1987, Khan pindah ke Mumbai, di sana ia membintangi berbagai film serial televisi, seperti 'Chanakya', 'Sara Jahan

Hamara (Banegi Apni baat,,' 'Chandrakanta' (Doordarshan), dan lain-lain. Ia

pernah membintangi tokoh antagonis dalam serial Darr (yang disiarkan di Star Plus), di mana ia berperan sebagai seorang psikopat yang haus darah. Ia juga memainkan peran revolusioner penyair urdu terkenal dan aktivis politik Marxis India, Makhdoom Mohiuddin, “Kahkashan” yang disutradarai oleh Ali Sardar Jafri. Pada tahun 1990-an, ia juga muncul dalam sebuah film yang diakui secara kritis, “Ki Ek Dokter Maut” dan Long Journey (1998).

Setelah banyak film yang dilakoninya tidak berhasil, sutradara Asif Kapadia yang berbasis di London, memberinya peran dalam film The Warrior,

6

Irfan Khan” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:40 WIB dari http:// www.wikipedia.org.


(53)

sebuah film sejarah yang selesai dalam 11 minggu. The Warrior meledak dalam festival film internasional, dan inilah yang membuat wajah Irfan Khan terkenal di seluruh dunia.. Pada tahun 2007, ia muncul dalam film box office, Metro, sehingga ia menerima penghargaan sebagai Aktor Pendukung Terbaik Filmfare

Award, dan The Namesake, yang sukses di luar negara. Kemudian, diikuti pula

penampilan lainnya dalam film-film internasional, A Mighty Heart dan The Darjeeling Limited.

Khan menikah dengan seorang penulis, Sutapa Sikdar, yang juga seorang lulusan NSD dan saat ini mereka dikaruniai dua orang anak, Babil dan Ayan.

e) Will Patton as Randall Bennet7

Aktor Will Patton berhasil membagi waktunya, antara figur utama, film televisi, dan panggung kariernya. Lahir dan dibesarkan di North Carolina, putra seorang pendeta Lutheran. Patton belajar keahliannya di North Carolina School of

the Arts dan Actor's Studio, New York, di mana ia belajar di bawah bimbingan

Lee Strasberg. Selain, Patton juga belajar di Open Teater, di bawah bimbingan Joseph Chaikin, sebelum membuatnya naik ke atas panggung New York.

Patton telah memenangkan dua Obie Award dalam Tourists and Refugees

No 2 dan Sam Shepard, Fool for Love. Patton juga telah memiliki pengalaman

bekerja di London's Royal Court Theatre. Patton pertama kali muncul dalam film pendek, Minus Zero (1979). Lalu, film independen yang berbasis di New York,

King_Blank dan Varietas (keduanya 1983).

Patton pernah bermain sebagai figuran, tapi menjadi peran penting dalam

Susan_Seidelman 's Desperately_Seeking_Susan (1985). Setelah film itu, ia

7

“Actor’s” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14:30 WIB dari


(54)

dilempar dalam Martin_Scorsese' s After_Hours (1985), film beranggaran besar yang pertama kali diperankan olehnya, di mana ia bermain sebagai kekasih yang kasar. Penggambaran terbaiknya menjadi seorang penjahat dapat dilihat dalam film yang dibintangi oleh Gene Hackman, No_Way_Out (1987). Kemudian, dari beberapa film-film independennya yang telah muncul, ia mendapatkan ulasan baik di festival film, terutama The_Spitfire_Grill (1996) dan A Mighty Heart

(2007).

f) Denis O’hare as John Bussey8

Denis O'Hare lahir di Kansas, Missouri pada tanggal 17 Januari 1962. Ia merupakan seorang artis yang pernah mendapatkan Tony Award-winningaktor. Ia lulusan teater sekolah Northwestern University's. Sebenarnya O'Hare adalah seorang Amerika Irlandia dan telah memiliki paspornya. .

O'Hare memenangkan Tony Award untuk Best Performance dalam

Richard Greenberg 's Take me Out. Ia juga memenangkan Drama Desk Award

pada tahun 2005 untuk Outstanding Feature Actor atas perannya sebagai Oscar Lindquist dalam Broadway. Ia juga pernah muncul beberapa episode sebagai bintang tamu dalam film serial Law & Order, spin-off, Law & Order: Special

Victims Unit, Law & Order : Criminal Intent dan Brothers & Sisters. Kemudian,

film-filmnya yang termasuk mendapat penghargaan The Anniversary Party, 21

Gram, Globe Golden, ialah Michael Clayton , A Mighty Heart , Half Nelson , dan

Milk.

Pada tahun 2007, O’hare muncul dalam film Charlie Wilson’s War

bersama artis papan atas Tom Hanks (Saving Private Ryan, Green Mile, Forrest

8

“Wiki” diakses pada tanggal 21 Februari 2010 pukul 14: 15 dari http:// www.en.wikipedia.org


(1)

hard.

Cinematical: What do you consider a perfect screenplay?

JO: For me, the big question is: what is the best version of the movie supposed to be, and does that film accomplish it? Like Raiders of the Lost Ark, to me, is a perfect film. Is it a serious film? No. But it wanted to be the 1930s serial movie, and it is awesome. It is exactly what it wanted to be, and it is the greatest version of that genre. For me, the greatest script I ever read is Dalton Trumbo's script for Spartacus. It reads like a novel, and it is so much better than the movie. It's unbelievably textured, and nuanced, and sexy. I adore Stanley Kubrick, but this script is so much better than that movie. It's endless, I mean it's 200 pages, I think. But it's better than a book. Most scripts aren't written that fully, and technically, and beautifully. I'm a 'less is more' kind of writer. I don't write like Dalton Trumbo, maybe that's why I'm so enamored with his writing. 2001 is an amazing script. That's probably the greatest non-verbal movie there is that's not a silent film. Dr. Strangelove -- I almost weep at how great that script is. I guess I'm on a big Kubrick kick right now! Jaws is a great script.


(2)

A Mighty Heart - Michael Winterbottom interview

1

Interview by Rob Carnevale

PROLIFIC British director Michael Winterbottom talks about making A Mighty Heart, the film about murdered Wall Street Journal reporter Daniel Pearl, and working with Angelina Jolie.He also discusses some of the challenges of filming on location in Pakistan and working with the film’s producer, Brad Pitt…

Did you have to think twice about taking on A Mighty Heart given that it would be your second film in a row that was connected to the war on terror?

Michael Winterbottom: Hopefully, whenever you do a film you think about it a little bit and we had just done Road To Guantanamo, so there was a sense that the timing wasn’t great. We’d been due to do a film in Italy last summer, so originally we said maybe we should do that first but they [Plan B and Paramount Vantage] said they needed to do it now. So it was a little bit of a shame that we were doing a film that was a little bit in the same area and set in the same time. But on the other hand, I thought Mariane [Pearl]‘s book was very powerful and it was a chance to try and match it.

But this is a very different film about the war on terror in that it almost celebrates the triumph of the human spirit at the darkest of times?

Michael Winterbottom: Sure, yeah. From my point of view, having read Mariane’s book, we were going to keep the film very simple and try and focus on Mariane, like you say, and the people in the house, which is what the book does. We really sort of borrowed the shape and structure of how she tells the story in the book.

Angelina Jolie gives what is arguably the performance of her career. How did you enjoy working with her?

Michael Winterbottom: I thought she was great. I first met her with Brad [Pitt] and my own dad in Namibia when we were talking about whether we were going to do it or not. I think there were lots of things that were very, very lucky from our point of view because both Brad and Angelina knew Mariane and were really personally committed to making it a story. Also, I think Mariane and Angelina are very similar in lots of ways – Mariane’s views about journalism are quite similar to Angelina’s views about her work with the UN and so on. So, I think the reason why Angelina wanted to do it was because she connected to Mariane and felt she recognised a lot of things in her.

From the very beginning, when she started working on the film, she was great. When we talked to other people in the house about Mariane, they said she was clearly trying to make a group of very disparate people feel like part of a team and part of a family [during Daniel’s missing days], and I think Angelina was aware of that and wanted to do the same thing with the film. She was very inclusive of everyone from the most junior member of the crew


(3)

upwards. Everyone felt very relaxed and very much part of the group as opposed to there being a star and then everyone else.

Everyone is obviously going to be talking about Angelina’s performance. But Dan Futterman is also superb as Daniel Pearl…?

Michael Winterbottom: Yeah, we went out and did some casting in America with all the people that we thought were possible but once I’d met him I kind of felt he should be the priority because he’s a good actor and he’s also physically very similar to Daniel. That’s important because while you’re not necessarily trying to impersonate someone you’re kind of looking for someone who has some of the same characteristics. But Dan’s a writer himself and that was important because some actors sometimes try to over compensate for being what a journalist is like.

Dan is very bright and intelligent, I thought he wrote a great script for Capote, and I liked the sense that he had another aspect to him besides being an actor and that he could bring that to Daniel a little bit. I also think he was a little bit nervous about coming to Pakistan because he was the only American in the end who did come out. I’m sure he had some reservations about doing it but I think it ultimately really helped because he overcame those worries. And because we were taking him into some of the real locations, it helped his understanding of the character and the situation as to what the experience might have really been like.

Did you get to meet Mariane yourself?

Michael Winterbottom: Yes. The whole thing was quite compressed with time. So, I met her briefly in Paris and then we all went down and had about three days in Namibia, which was the longest period we were together. After that, she gave instructions to all the other people so I went off to Pakistan and then America meeting all the people that were in the house with her. As soon as we got the shape of the script down I went back to Paris to talk it through with her and after that we were off filming. So, we didn’t spend a huge amount of time together but she was always very open and very supportive if we needed help.

And yet at the same time, from the very beginning she was very hands off in terms of content. She never said anything like: “You must change this.” Or: “You can’t do that.” She very much felt that we should make the film and she’d help but she didn’t want to be involved.

Has she seen the film?

Michael Winterbottom: Yes. We showed it to her before we took it to Cannes and she was very positive about it in the sense that you could be about that sort of experience. I’m sure the whole thing was difficult for her but she chose to write the book and obviously felt it was important to tell her version of the story. At the same time, every time you have to revisit something like that it’s not a very pleasant experience.

How easy was it to gain access to some of the real locations you used?

Michael Winterbottom: Most of the exterior stuff we tried to shoot in the places where it happened, such as the place where Daniel was kidnapped – even places where some people were arrested. But because of Mariane’s introductions, I met all the other people that were there, such as Captain [the police investigator played by Irfan Khan], who were very


(4)

co-operative. It meant we had easy access to the locations in order to find out where things happened and to make sure we got the story accurate.

But given that it’s quite a problematic story in a lot of ways for Pakistan I wasn’t sure how much help we’d get and in the end we had a lot of co-operation and a lot of problems. The intelligence agency was basically quite hostile to the project and made things difficult, whereas people like the police and the interior ministry were supportive

What were some of the biggest problems you faced?

Michael Winterbottom: From the beginning the intelligence agencies were following us the whole time and they would hassle the crew a little bit. We also weren’t always sure what was going on. When we started filming we thought we had most of the permissions from Islamabad but we never had exactly the right document. We were all very open about it and everyone knew what we were trying to do [with the movie] but at the same time… we started filming thinking we were OK and the police in Karachi were helping us but then after about two days they stopped helping us.

Our local crew especially began to get more hassle from the intelligence agency people who kept stopping them and making them feel uncomfortable. They would also always be there filming us when we were filming. When they eventually arrested some of the people we were working with we said: “OK, we’re going to leave the country, we’re going to complain about it all and we’re going to kick up as much fuss as we can because this film can’t work here because of your attitude.” They then backed off a bit and in the end the Culture Ministry was trying to encourage us to come back and make more films.

I think it’s like any country, though. Pakistan is not a unified country where everyone feels the same – we had people who were genuinely very supportive and people who were very involved in the investigation who were very proud of the work they did and therefore wanted the film to be made. But at the same time we had other people that felt it reflected badly on Pakistan. We were lucky in the end that we were able to shoot pretty much everything we wanted to shoot.


(5)

(6)