makalah pada anak dengan asfiksia neonat
4
TINJAUAN TEORI
2.1
2.1.1
Konsep Asfiksia Neonatorum
Pengertian
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia
janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul
dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo, Sarwono, 1997).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak bisa
bernafas secara spontan dan adekuat (Wroatmodjo,1994).
Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan
dengan
sempurna,
sehingga
tindakan
perawatan
dilaksanakan
untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut yang mungkin
timbul. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, beberapa faktor perlu
dipertimbangkan dalam menghadapi bayi dengan asfiksia.
2.1.2
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor etiologi dan predisposisi terjadinya asfiksia, antara
lain sebagai berikut:
1. Faktor Ibu
Hipoksia ibu akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian analgetika atau
anesthesi dalam gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak karena
pendarahan, hipertensi karena eklamsia, penyakit jantung dan lain-lain.
2. Faktor Plasenta
Yang meliputi solutio plasenta, pendarahan pada plasenta previa, plasenta
tipis, plasenta kecil, plasenta tak menempel pada tempatnya.
3. Faktor Janin dan Neonatus
Meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit ke leher, kompresi tali
pusat antara janin dan jalan lahir, gemelli, IUGR, kelainan kongenital dan lainlain.
4. Faktor Persalinan
5
Meliputi partus lama, partus tindakan dan lain-lain.
2.1.3
Patofisiologi
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan
terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika
kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi
lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih
cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan
intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan
mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir,
alveoli tidak berkembang.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung
mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsurangsur dan bayi memasuki periode apneu primer.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat
lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki
periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah
dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi
terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara
spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan
pemberian tidak dimulai segera.
2.1.4
Web Of Caution
6
Persalinan lama, lilitan tali pusat Paralisis pusat pernafasan faktor lain : anestesi,
resentasi janin abnormal
obat-obatan narkotik
ASFIKSIA
Janin kekurangan O2
Dan kadar CO2 meningkat
Nafas cepat
paru-paru terisi cairan
Bersihan
jalan nafas
tidak efektif
Pola nafas
tak efektif
Apneu
suplai O2
ke paru
suplai O2
dlm darah
Kerusakan otak
Resiko ketidak
seimbangan suhu
tubuh
DJJ & TD
respiratorik
Janin tdk bereaksi
Terhadap rangsangan
Kematian bayi
Proses keluarga
terhenti
Gangg.meta
Bolisme&per
ubahan
asam basa
Asidosis
Resiko
cedera
Gangg.perfui ventilasi
Kerusakan
pertukaran gas
2.1.5
Gejala Klinik
7
Gejala klinik Asfiksia neonatorum yang khas meliputi :
a. Pernafasan terganggu
b. Detik jantung berkurang
c. Reflek / respon bayi melemah
d. Tonus otot menurun
e. Warna kulit biru atau pucat
2.1.6
Diagnosis
Asfiksia pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia atau
hipoksia janin. Diagnosa anoksia / hipoksia dapat dibuat dalam persalinan dengan
ditemukan tanda-tanda gawat janin untuk menentukan bayi yang akan dilahirkan
terjadi asfiksia, maka ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatikan.
1.
Denyut Jantung Janin
Frekuensi normal ialah 120 sampai 160 denyutan per menit, selama his
frekuensi ini bisa turun, tetapi diluar his kembali lagi kepada keadaan semula.
Peningkatan kecepatan denyutan jantung umumnya tidak banyak artinya, akan
tetapi apabila frekuensinya turun sampai dibawah 100/menit, dan lebih-lebih jika
tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
2.
Mekonium Dalam Air Ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada
prosentase kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan terus timbul
kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada prosentase kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan
dengan mudah.
3.
Pemeriksaan pH Pada Janin
Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat
sayatan kecil pada kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin. Darah ini
diperiksa pH-nya adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu
turun sampai dibawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya. Dengan
penilaian pH darah janin dapat ditemukan derajat asfiksia yaitu :
Tabel 1.1. Penilaian pH Darah Janin
8
NO
Hasil Apgar Score
Derajat Asfiksia
Nilai pH
1.
0–3
Berat
< 7,2
2.
4–6
Sedang
7,1 – 7,2
3.
7 – 10
4.
Dengan Menilai Apgar Skor
Ringan
Sumber : Wiroatmodjo, 1994
> 7,2
Cara yang digunakan untuk menentukan derajat asfiksia yaitu dengan
penilaian Apgar Skor. Apgar mengambil batas waktu 1 menit karena dari hasil
penyelidikan sebagian besar bayi baru lahir mempunyai Apgar terendah pada
umur tersebut dan perlu dipertimbangkan untuk melakukan tindakan resusitasi
aktif. Sedangkan nilai Apgar lima menit untuk menentukan prognosa dan
berhubungan dengan kemungkinan terjadinya gangguan neurologik di kemudian
hari. Ada lima tanda (sign) yang dinilai oleh Apgar, yaitu :
Tabel 1.2 Apgar Skor
Tanda-tanda
Vital
Nilai = 0
Nilai = 1
Nilai = 2
1. Appearance
(warna kulit)
Seluruh tubuh bayi Warna kulit tubuh
berwarna kebiru- normal, tetapi
biruan atau pucat tangan dan kaki
berwarna kebiruan
Warna kulit
seluruh tubuh
normal
2.
Pulse
(denyut
jantung)
Tidak ada
100 x/ menit
3.
Grimace
(Respons
reflek)
Tidak ada
Menyeringai/
meringis
Meringis, menarik,
batuk, atau bersin
saat
stimulasiMeringis,
menarik, batuk,
atau bersin saat
stimulasi
4.
Activity
(tonus otot)
Lemah, tidak ada
gerakan
Lengan dan kaki
dalam posisi fleksi
dengan sedikit
gerakan
Bergerak aktif dan
spontan
Menangis lemah,
terdengar seperti
Menangis kuat,
pernapasan baik
5.
Respiratio Tidak bernapas
n
9
(usaha
bernafas)
merintih, pernapasan dan teratur
lambat dan tidak
teratur
Dari kelima tanda diatas yang paling penting bagi jantung karena
peninggian frekuensi jantung menandakan prognosis yang peka. Keadaan akan
memburuk bila frekuensi tidak bertambah atau melemah walaupun paru-paru telah
berkembang. Dalam hal ini pijatan jantung harus dilakukan. Usaha nafas adalah
nomor dua. Bila apnea berlangsung lama dan ventilasi yang dilakukan tidak
berhasil maka bayi menderita depresi hebat yang diikuti asidosis metabolik yang
hebat. Sedang ketiga tanda lain tergantung dari dua tanda penting tersebut.
Ada 3 derajat Asfiksia dari hasil Apgar Skor diatas yaitu :
1. Nilai Apgar 7-10, Vigorous baby atau asfiksia ringan.
Bayi dalam keadaan merintih, adanya retraksi sela iga, dengan nafas
takipnea ( >60x/menit), bayi tampak sianosis, adanya pernafasan cupping
hidung, bayi kurang aktifitas, pada pemeriksaan auskultasi terdapat .ronchi,
rales, dan wheezing.
2. Nilai Apgar 4-6 Mild Moderat atau asfiksia sedang.
Pada pemeriksaan fisik akan dilihat frekuensi jantung menurun menjadi
(60 – 80x/menit), usaha nafas lambat, tonus otot baik, bayi masih bereaksi
terhadap rangsangan, bayi sianosis, tidak terjadi kekurangan O2 yang
bermakna selama proses persalinan.
3. Nilai Apgar 0-3, asfiksia berat
Pada pemeriksaan ditemukan frekuensi jantung kecil ( 1500 gram menggunakan D10%
Kebutuhan nutrisi enteral
BB < 1250 gram = 24 kali per 24 jam
BB 1250 - < 2000 gram = 12 kali per 24 jam
BB > 2000 gram = 8 kali per 24 jam
Kebutuhan minum pada neonatus :
Hari ke 1 = 50-60 cc/kg BB/hari
Hari ke 2 = 90 cc/kg BB/hari
Hari ke 3 = 120 cc/kg BB/hari
Hari ke 4 = 150 cc/kg BB/hari
Dan untuk tiap harinya sampai mencapai 180 – 200 cc/kg BB/hari
Pola eliminasi
Yang perlu dikaji pada neonatus adalah
BAB : frekwensi, jumlah, konsistensi.
17
BAK : frekwensi, jumlah
Latar belakang sosial budaya
Kebudayaan yang berpengaruh terhadap kejadian asfiksia, kebiasaan ibu
merokok, ketergantungan obat-obatan tertentu terutama jenis psikotropika
Kebiasaan ibu mengkonsumsi minuman beralkohol, kebiasaan ibu
melakukan diet ketat atau pantang makanan tertentu.
Hubungan psikologis
Sebaiknya segera setelah bayi baru lahir dilakukan rawat gabung dengan
ibu jika kondisi bayi memungkinkan. Hal ini berguna sekali dimana bayi akan
mendapatkan kasih sayang dan perhatian serta dapat mempererat hubungan
psikologis antara ibu dan bayi. Lain halnya dengan asfiksia karena memerlukan
perawatan yang intensif
2.
Data Obyektif
Data obyektif adalah data yang diperoleh melalui suatu pengukuran dan
pemeriksaan dengan menggunakan standart yang diakui atau berlaku (Effendi
Nasrul, 1995)
a. Keadaan umum
Pada neonatus post asfiksia berat, keadaannya lemah dan hanya merintih.
Keadaan akan membaik bila menunjukkan gerakan yang aktif dan
menangis keras. Kesadaran neonatus dapat dilihat dari responnya terhadap
rangsangan. Adanya BB yang stabil, panjang badan sesuai dengan usianya
tidak ada pembesaran lingkar kepala dapat menunjukkan kondisi neonatus
yang baik.
b. Tanda-tanda Vital
Neonatus post asfiksia berat kondisi akan baik apabila penanganan asfiksia
benar, tepat dan cepat. Untuk bayi preterm beresiko terjadinya hipothermi
bila suhu tubuh < 36 C dan beresiko terjadi hipertermi bila suhu tubuh <
37 C. Sedangkan suhu normal tubuh antara 36,5C – 37,5C, nadi normal
antara 120-140 kali per menit respirasi normal antara 40-60 kali permenit,
sering pada bayi post asfiksia berat pernafasan belum teratur.
Pengkajian
18
1. Sirkulasi
a. Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt.
b. Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg
(diastolik).
c. Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal
tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV.
d. Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.
e. Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.
2. Eliminasi
a. Dapat berkemih saat lahir.
3. Makanan/ cairan
a. Berat badan : 2500-4000 gram
b. Panjang badan : 44 - 45 cm
c. Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi)
4. Neurosensori
a. Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.
b. Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit
pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan
asimetris (molding, edema, hematoma).
c. Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan
abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)
5. Pernafasan
a. Skor APGAR : 1 menit s/d 5 menit dengan skor optimal harus antara 710.
b. Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.
c. Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya
silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.
6. Keamanan
a. Suhu rentang dari 36,5º C sampai 37,5º C. Ada verniks (jumlah dan
distribusi tergantung pada usia gestasi).
19
b. Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat,
warna
merah
muda
atau
kemerahan,
mungkin
belang-belang
menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau
perubahan warna herlequin, petekie pada kepala/ wajah (dapat
menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau
tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak mata,
antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama
punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala
mungkin ada (penempatan elektroda internal)
.
3.
Data Penunjang
Data penunjang pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam
menegakkan diagnosa atau kausal yang tepat sehingga kita dapat memberikan
obat yang tepat pula.
Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
1) Darah
a) Nilai darah lengkap pada bayi asfiksia terdiri dari :
Hb (normal 15-19 gr%) biasanya pada bayi dengan asfiksia Hb
cenderung turun karena O2 dalam darah sedikit.
Leukositnya lebih dari 10,3 x 10 gr/ct (normal 4,3-10,3 x 10 gr/ct)
karena bayi preterm imunitas masih rendah sehingga resiko tinggi.
Trombosit (normal 350 x 10 gr/ct)
Distrosfiks pada bayi preterm dengan post asfiksi cenderung turun
karena sering terjadi hipoglikemi.
b) Nilai analisa gas darah pada bayi post asfiksi terdiri dari :
pH (normal 7,36-7,44). Kadar pH cenderung turun terjadi asidosis
metabolik.
PCO2 (normal 35-45 mmHg) kadar PCO2 pada bayi post asfiksia
cenderung naik sering terjadi hiperapnea.
PO2 (normal 75-100 mmHg), kadar PO2 pada bayi post asfiksia
cenderung turun karena terjadi hipoksia progresif.
HCO3 (normal 24-28 mEq/L)
20
2) Urine
Nilai serum elektrolit pada bayi post asfiksia terdiri dari :
Natrium (normal 134-150 mEq/L)
Kalium (normal 3,6-5,8 mEq/L)
Kalsium (normal 8,1-10,4 mEq/L)
3) Photo thorax
Pulmonal tidak tampak gambaran, jantung ukuran normal.
2.2.2
Analisa data dan Perumusan Masalah
Analisa data adalah kemampuan mengkaitkan data dan menghubungkan
data tersebut dalam konsep, teori dan prinsip yang relevan untuk membuat
kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan pasien
(Effendi Nasrul,1995 : 23).
Tabel 1.3 Analisa Data dan Perumusan Masalah
Sign / Symptoms
1. Pernafasan tidak teratur,
Kemungkinan Penyebab
- Riwayat partus lama
Masalah
Gangguan
pernafasan cuping hidung,
- Pendarahan peng-obatan.
pemenuhan
cyanosis, ada lendir pada
- Obstruksi pulmonary
kebutuhan O2
hidung dan mulut, tarikan
- Prematuritas
inter-costal, abnormalitas
gas darah arteri.
2. Akral dingin, cyanosis
pada ekstremmitas,
- lapisan lemak dalam kulit Resiko terjadinya
tipis
hipotermia
keadaan umum lemah,
suhu tubuh dibawah
normal
3. Keadaan umum lemah,
- Reflek menghisap lemah
Resiko gangguan
reflek menghisap lemah,
pemenuhan
masih terdapat retensi
kebutuhan nutrisi.
pada sonde
4. Suhu tubuh diatas normal,
tali pusat layu, ada tandatanda infeksi, abnormal
- Sistem Imunitas yang
belum sempurna
- Ketuban mekonial
Resiko
infeksi
terjadinya
21
kadar leukosit, kulit
- Tindakan yang tidak
kuning, riwayat persalinan
aseptik
dengan ketuban mekonial
2.2.3
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik tentang respon individu,
keluarga atau komunitas terhadap masalah-masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual atau potensial.
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien post asfiksia berat
antara lain:
1.
Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 sehubungan dengan post asfiksia
berat.
2.
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi sehubungan dengan reflek
menghisap lemah.
3.
Resiko terjadinya hipotermia
4.
Resiko terjadinya infeksi
2.2.4
Rencana Keperawatan
Rencana perawatan adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan
yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa
keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan pasien.
Langkah-langkah penyusunan rencana perawatan terdiri dari 3 kegiatan yaitu
menetapkan urutan prioritas masalah, merumuskan tujuan perawatan yang akan
dicapai, menentukan rencana tindakan perawatan.
Prioritas masalah
Penentuan prioritas berdasarkan diagnosa keperawatan, dimana prioritas
tertinggi diberikan kepada masalah yang mengancam kehidupan atau
keselamatan pasien. Masalah nyata diberikan perhatian / prioritas terlebih
dahulu dari pada masalah potensial. Penentuan prioritas dilakukan karena tidak
semua masalah dapat diatasi pada waktu yang sama.
22
Tabel 1.4. Perencanaan / Intervensi
No.
1
Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Gangguan pemenuhan
Tujuan:
kebutuhan O2
Kebutuhan O2 bayi terpenuhi
Intervensi
1. Letakkan bayi terlentang
Rasional
1. Memberi rasa nyaman dan
dengan alas yang data,
mengantisipasi flexi leher yang
sehubungan dengan post Kriteria:
kepala lurus, dan leher
dapat mengurangi kelancaran
asfiksia berat
sedikit tengadah/ekstensi
jalan nafas.
- Pernafasan normal 40-60
kali permenit.
dengan meletakkan bantal
- Pernafasan teratur.
atau selimut diatas bahu
- Tidak cyanosis.
bayi sehingga bahu
- Wajah dan seluruh tubuh
terangkat 2-3 cm
Berwarna
kemerahan 2. Bersihkan jalan nafas,
(pink variable).
mulut, hidung bila perlu.
- Gas darah normal
2. Jalan nafas harus tetap
dipertahankan bebas dari lendir
untuk menjamin pertukaran gas
PH = 7,35 – 7,45
yang sempurna.
PCO2 = 35 mm Hg
PO2 = 50 – 90 mmHg
3. Observasi gejala kardinal
dan tanda-tanda cyanosis
tiap 4 jam
Tabel 1.4. Perencanaan / Intervensi
3. Deteksi dini adanya kelainan.
23
No.
Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
4. Kolaborasi dengan tim
2.
Rasional
4. Menjamin oksigenasi jaringan
medis dalam pemberian
yang adekuat terutama untuk
O2 dan pemeriksaan
jantung dan otak. Dan
kadar gas darah arteri.
peningkatan pada kadar PCO2
menunjukkan hypoventilasi
1. Letakkan bayi terlentang 1. Mengurangi kehilangan panas
Resiko terjadinya
Tujuan
hipotermi sehubungan
Tidak terjadi hipotermia
diatas pemancar panas
pada suhu lingkungan sehingga
dengan adanya roses
Kriteria
(infant warmer)
meletakkan bayi menjadi hangat
persalinan yang lama
Suhu tubuh 36,5 – 37,5°C
dengan ditandai akral
dingin suhu tubuh
Akral hangat
Warna seluruh tubuh kemerahan 2. Singkirkan kain yang
dibawah 36° C
sudah dipakai untuk
mengeringkan tubuh,
letakkan bayi diatas
handuk / kain yang
kering dan hangat.
2. Mencegah kehilangan tubuh
melalui konduksi.
24
Tabel 1.4. Perencanaan / Intervensi
No.
Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Rasional
3. Observasi suhu bayi tiap 3. Perubahan suhu tubuh bayi
6 jam.
dapat menentukan tingkat
hipotermia
4. Kolaborasi dengan team 4. Mencegah terjadinya
medis untuk pemberian
hipoglikemia
Infus Glukosa 5% bila
ASI tidak mungkin
3.
diberikan.
1. Lakukan observasi BAB 1. Deteksi adanya kelainan pada
Gangguan pemenuhan
Tujuan
kebutuhan nutrisi
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
dan BAK jumlah dan
eliminasi bayi dan segera
sehubungan dengan
Kriteria
frekuensi serta
mendapat tindakan / perawatan
reflek menghisap
- Bayi dapat minum pespeen /
konsistensi.
yang tepat.
lemah.
personde dengan baik.
- Berat badan tidak turun lebih 2. Monitor turgor dan
dari 10%.
mukosa mulut.
2. Menentukan derajat dehidrasi
dari turgor dan mukosa mulut.
- Retensi tidak ada.
Tabel 1.4. Perencanaan / Intervensi
No.
Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Rasional
25
4.
3. Monitor intake dan out
3. Mengetahui keseimbangan
put.
4. Beri ASI sesuai
cairan tubuh (balance)
4. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
kebutuhan.
5. Lakukan kontrol berat
secara adekuat.
5. Penambahan dan penurunan
badan setiap hari.
1. Lakukan teknik aseptik
berat badan dapat di monito
1. Pada bayi baru lahir daya tahan
Resiko terjadinya
Tujuan:
infeksi
Selama perawatan tidak terjadi
dan antiseptik dalam
komplikasi (infeksi)
memberikan asuhan
Kriteria
- Tidak
ada
tubuhnya kurang / rendah.
keperawatan
tanda-tanda 2. Cuci tangan sebelum dan 2. Mencegah penyebaran infeksi
infeksi.
sesudah melakukan
- Tidak ada gangguan fungsi
nosokomial.
tindakan.
tubuh.
Tabel 1.4 Perencanaan / Intervensi
No.
Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Rasional
3. Pakai baju khusus/ short 3. Mencegah masuknya bakteri
waktu masuk ruang
dari baju petugas ke bayi
26
isolasi (kamar bayi)
4. Lakukan perawatan tali
4. Mencegah terjadinya infeksi dan
pusat dengan triple dye 2
memper-cepat pengeringan tali
kali sehari.
pusat karena mengan-dung anti
biotik, anti jamur, desinfektan.
5. Jaga kebersihan (badan, 5. Mengurangi media untuk
pakaian) dan lingkungan
bayi.
6. Observasi tanda-tanda
pertumbuhan kuman.
6. Deteksi dini adanya kelainan
infeksi dan gejala
kardinal
Tabel 1.4. Perencanaan / Intervensi
No. Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Rasional
7. Hindarkan bayi kontak
7. Mencegah terjadinya
dengan sakit.
8. Kolaborasi dengan tim
penularan infeksi.
8. Mencegah infeksi dari
medis untuk pemberian
antibiotik.
pneumonia
27
9. Siapkan pemeriksaan
laboratorat sesuai advis
dokter yaitu pemeriksaan
DL, CRP.
9. Sebagai pemeriksaan
penunjang.
2.2.5
Tahap Pelaksanaan Tindakan
Tindakan keperawatan adalah pelaksanaan asuhan keperawatan yang
merupakan realisasi rencana tindakan yang telah ditentukan dalam tahap
perencanaan dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal
2.2.6
Tahap Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan langkah akhir dari proses keperawatan yaitu
proses penilaian pencapaian tujuan dalam rencana perawatan, tercapai atau tidak
serta untuk pengkajian ulang rencana keperawatan. Evaluasi dilakukan secara
terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan petugas kesehatan yang
lain. Dalam menentukan tercapainya suatu tujuan asuhan keperawatan pada bayi
dengan post Asfiksia sedang, disesuaikan dengan kriteria evaluasi yang telah
ditentukan. Tujuan asuhan keperawatan dikatakan berhasil bila diagnosa
keperawatan didapatkan hasil yang sesuai dengan kriteria evaluasi.
28
29
2.3
Jurnal
[Pengetahuan ibu tentang asfiksia lahir: Kebutuhan untuk berbuat lebih
banyak ]
Pengenalan
Pendidikan kesehatan telah digambarkan sebagai kombinasi dari
kesempatan belajar dan kegiatan mengajar yang dirancang untuk memfasilitasi
adaptasi sukarela perilaku yang mempromosikan kesehatan. [1] Dari tersebut,
pendidikan kesehatan merupakan komponen penting dari perawatan kesehatan
primer. Dengan demikian, setiap pekerja kesehatan terlatih dan diharapkan dapat
memberikan pendidikan kesehatan yang relevan dengan keadaan kesehatan klien
mereka, dan di setiap kesempatan. Salah satu kondisi tersebut adalah perawatan
rutin ibu hamil. Pelayanan antenatal adalah komponen kunci dari layanan
kesehatan anak ibu dan disediakan di semua tingkat perawatan di Nigeria
termasuk sektor publik dan swasta. [2]
Pelayanan antenatal dirancang untuk mempromosikan, melindungi, dan
menjaga kesehatan selama kehamilan dan mengurangi angka kematian ibu dan
bayi. Secara khusus, ruang lingkup pemeriksaan kehamilan juga mencakup
deteksi, dan perawatan khusus untuk, kasus berisiko tinggi serta prediksi dan
pencegahan komplikasi selama kehamilan dan persalinan. [3] Salah satu
komplikasi seperti persalinan dan melahirkan adalah asfiksia perinatal. Lahir
asfiksia didefinisikan sebagai ketidakmampuan bayi yang baru lahir untuk
memulai dan mempertahankan respirasi spontan dengan asidosis konsekuen dan
hipoksia-iskemik cedera jaringan. [4] Lahir asfiksia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas bayi di negara berkembang. Telah dilaporkan terjadi
antara 22,9% dari bayi yang baru lahir di Timur, Tengah, dan Afrika Selatan. [5]
Sebuah laporan Nigeria baru-baru ini menyarankan bahwa asfiksia lahir
menyumbang 41,2% dari kematian perinatal. [6] Meskipun asfiksia lahir dapat
dicegah dalam banyak kasus, itu tetap menjadi penentu utama kelangsungan hidup
bayi di belahan dunia mana akses dan pemanfaatan layanan bersalin kualitas
miskin dan sistem kesehatan tampaknya kekurangan dalam memberikan layanan
berkualitas. [7] Namun demikian, peningkatan akses ke perawatan bersalin belum
tentu mengurangi kejadian asfiksia lahir di negara berkembang, jika ibu hamil
30
tidak mengadopsi sikap preventif yang tepat. Jelas, hubungan terjalin antara
pengetahuan dan sikap tidak bisa terlalu ditekankan.
Lahir asfiksia merupakan penyebab utama kematian perinatal dan neonatal
di Sagamu, Nigeria. [8], [9] Ini juga merupakan penyebab utama dari kondisi
masa handicapping umum seperti cerebral palsy di Sagamu. [10] Meskipun beban
berat ini, belum ada penelitian yang menilai pengetahuan ibu tentang asfiksia
dalam lingkungan ini. Sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi beban asfiksia
lahir, penting untuk memeriksa pengetahuan ibu tentang kondisi. Informasi ini
mungkin berguna dalam merancang intervensi yang efektif yang bertujuan untuk
meningkatkan motivasi ibu untuk bekerja sama dengan sistem kesehatan dalam
pencegahan asfiksia lahir. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai
pengetahuan ibu, yang menerima-fasilitas kesehatan berbasis pelayanan antenatal
selama kehamilan terakhir mereka, tentang asfiksia lahir dan berhubungan
pengetahuan mereka ke tempat-tempat di mana mereka menerima perawatan
antenatal.
Bahan dan Metode
Survei ini cross-sectional dari ibu yang membawa bayi dengan baik
mereka ke Imunisasi Klinik dari Rumah Sakit Pendidikan Olabisi Onabanjo
University, Sagamu, Ogun State, Nigeria, dilakukan antara Juli dan Oktober 2010.
Selain menawarkan layanan pediatrik khusus untuk anak-anak dari dalam dan luar
Ogun State of Nigeria, rumah sakit juga menawarkan perawatan primer dalam
pengaturan perawatan tersier. Ini termasuk pelayanan kesehatan ibu dan anak
seperti perawatan antenatal dan imunisasi.
Izin etika kelembagaan diperoleh. Jenis nyaman sampling yang digunakan;
maka ibu berturut-turut yang memenuhi kriteria inklusi dan memberikan informed
consent dilibatkan dalam penelitian tersebut. Kriteria inklusi utama untuk studi ini
menerima perawatan antenatal berbasis fasilitas kesehatan selama kehamilan anak
indeks. Ibu yang tidak menerima segala bentuk perawatan antenatal atau yang
mengunjungi rumah kelahiran spiritual dan rumah kelahiran tradisional untuk
perawatan antenatal dikeluarkan. Juga dikecualikan adalah ibu yang adalah
pekerja kesehatan klinis (dokter, perawat, fisioterapis, dan apoteker).
Alat penelitian adalah kuesioner close-ended. Data yang diperoleh dari
responden termasuk ibu usia, paritas, pendidikan dan pekerjaan kedua orang tua,
dan rincian perawatan antenatal diterima selama kehamilan anak indeks. Secara
31
khusus, responden ditanya apakah mereka dikonseling tentang kelahiran asfiksia
oleh tenaga kesehatan (digambarkan sebagai ketidakmampuan bayi yang baru
lahir menangis spontan pada saat lahir) selama kunjungan klinik antenatal.
Kuesioner juga mencari informasi tentang pengetahuan responden tentang faktor
umum risiko, efek, dan langkah-langkah pencegahan untuk asfiksia lahir pada
"Ya" atau "Tidak" dasar. Jawaban yang benar diberi skor satu tanda setiap saat
respon yang salah dan nonattempts diberi skor nol. Skor itu dijumlahkan untuk
setiap bagian dari pengetahuan (faktor risiko, efek, langkah-langkah pencegahan).
Skor minimal 50% dianggap sebagai memuaskan sementara skor di bawah 50%
dianggap sebagai tidak memuaskan. Skor pengetahuan yang berkaitan dengan
tempat perawatan antenatal serta sejarah konseling tentang asfiksia lahir.
Klasifikasi sosial ekonomi keluarga dilakukan dengan menggunakan
pendidikan orang tua dan pekerjaan ini. Para profesional dan paling berpendidikan
tinggi milik kelas I sedangkan pengangguran, buruh dan paling berpendidikan
milik kelas V. [11] Untuk studi ini, kelas I dan II dianggap sebagai bagian atas
sementara kelas III adalah kelas menengah dan IV dan V dianggap sebagai lebih
rendah. Para responden dikelompokkan ke dalam kelompok umur (≤30 tahun
atau> 30 tahun), kelompok paritas (primipara atau multipara), kelompok
pendidikan (tersier atau sekunder dan bawah), kelompok sosial-ekonomi (atas
atau bawah), dan juga didasarkan pada pribadi pengalaman dengan anak sesak
napas. Berbagai strata responden dibandingkan pengetahuan mereka secara
keseluruhan tentang asfiksia lahir menggunakan analisis bivariat.
Data dikelola dengan Paket statistik untuk Ilmu Sosial (SPSS), versi 15,
dengan menggunakan statistik deskriptif dan inferensial. Proporsi dibandingkan
dengan menggunakan rasio odds (OR) dan interval kepercayaan 95% (CI). CI
termasuk 1,0 signifikansi statistik didefinisikan.
Hasil Top
Gambaran umum responden
Sebanyak 354 ibu berpartisipasi dalam studi. Usia ibu berkisar antara 21
sampai 40 tahun dengan rata-rata 30,0 ± 4,3 tahun. Dari 354 ibu, 218 (61,6%)
berusia 30 tahun atau kurang, sementara 136 (38,4%) berusia lebih dari 30 tahun.
Seratus Twenty Nine (36,4%) adalah primipara sementara sisanya 221 (62,4%)
32
dan 4 (1,2%) yang multipara dan grandmultiparous masing-masing. Sebagian
besar responden (221; 62,4%) memiliki pendidikan tinggi sedangkan sisanya 95
(26,8%) dan 38 (10,8%) memiliki pendidikan menengah dan pendidikan dasar
masing-masing. Distribusi menurut kelas sosial-ekonomi menunjukkan bahwa
212 (59,9%) berasal dari kelas bawah, sementara 126 (35,6%) dan 16 (4,5%)
milik kelas menengah dan atas masing-masing.
Seratus dua puluh waktu tujuh (35,9%) responden sebelumnya memiliki
bayi yang sesak napas saat lahir: 48 (37,7%) yang disampaikan dalam fasilitas
pribadi, 29 (22,8%) yang disampaikan di rumah sakit pendidikan, 22 (17,3%) di
tradisional rumah kelahiran, 14 (11,0%) di rumah kelahiran spiritual, dan 14
(11,0%) di fasilitas kesehatan umum lainnya.
Tempat perawatan antenatal
Seratus dua puluh satu (34,2%) memiliki pelayanan antenatal di fasilitas
pribadi sementara 233 (65,8%) memiliki pelayanan antenatal di berbagai rumah
sakit umum. Fasilitas ini kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit pendidikan
(177; 50,0%), rumah sakit umum (40; 11,3%) dan pusat kesehatan primer (16;
4,5%).
Proporsi responden yang memiliki pendidikan tinggi di antara mereka
yang menghadiri rumah sakit pendidikan dan fasilitas umum dan swasta lainnya
untuk perawatan antenatal yang mirip {107/177 (60,5%) vs 114/177 (64,4%); OR
= 0,8; CI = 0,54, 1,33}. Di sisi lain, proporsi responden yang berasal dari kelas
sosial ekonomi atas di antara peserta dari rumah sakit pendidikan yang lebih
rendah dibandingkan dengan peserta dari fasilitas lain {56/177 (31,6%) vs 86/177
(48,6% ); OR = 0,5; CI = 0,31, 0,77}.
Sebanyak 200 (56,5%) menerima konseling tentang asfiksia lahir selama
perawatan antenatal. [Tabel 1] menunjukkan distribusi responden yang menerima
konseling tentang asfiksia lahir sesuai dengan tempat perawatan antenatal. Tak
satu pun dari responden yang menghadiri puskesmas menerima konseling tentang
asfiksia lahir sedangkan lebih dari empat seperlima dari peserta dari rumah sakit
pendidikan dikonseling tentang asfiksia lahir. Sebagian signifikan lebih tinggi dari
responden yang menghadiri klinik antenatal di rumah sakit pendidikan
dikonseling tentang asfiksia lahir dibandingkan dengan responden yang
menghadiri jenis lain dari fasilitas (152/177; 85,8% vs 48/177; 27,1%). Dengan
33
demikian, responden yang menghadiri rumah sakit pendidikan yang 16 kali lebih
mungkin untuk konseling tentang asfiksia lahir (OR = 16,3; CI = 9,25, 29,07). Di
sisi lain, dengan pengecualian dari responden yang menghadiri rumah sakit
pendidikan, tidak ada perbedaan dalam proporsi responden yang dikonseling saat
menghadiri fasilitas pribadi untuk perawatan antenatal dibandingkan dengan
mereka yang dikonseling saat menghadiri fasilitas umum {32/121 ( 26,4%) vs
16/56 (28,6%); OR = 0,9, CI = 0,33, 2,48}.
Diskusi
Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden yang
disurvei menerima konseling tentang asfiksia lahir selama kunjungan klinik
antenatal. Ini mungkin muncul terpuji, meskipun masih jauh berbeda dari yang
diharapkan. Namun, itu berarti bahwa hampir setengah dari wanita yang memiliki
perawatan antenatal di fasilitas pada populasi ini, mungkin tidak diharapkan untuk
menjadi akrab dengan atau mengadopsi sikap pencegahan yang tepat sehubungan
dengan asfiksia lahir selama kehamilan mereka berikutnya. Ini menyoroti
bagaimana kekurangan dalam sistem kesehatan dapat berkontribusi pada
pelestarian beberapa penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak usia seperti
yang diamati sebelumnya. [12]
Ini mungkin tampak bahwa tingkat diamati konseling tentang asfiksia lahir
sangat dipengaruhi oleh tingkat pelayanan kesehatan yang tersedia di mana
responden menerima perawatan antenatal. Sementara lebih dari empat seperlima
dari responden yang menghadiri klinik antenatal di rumah sakit pendidikan yang
diterima konseling tentang asfiksia lahir, hanya dua seperlima dari mereka yang
menghadiri rumah sakit umum (tingkat perawatan sekunder) dan seperempat dari
mereka yang menghadiri klinik antenatal swasta menerima konseling tentang
klinik antenatal. Instructively, tidak ada peserta dari Puskesmas klinik antenatal
dikonseling tentang asfiksia lahir. Hal ini sesuai dengan pengamatan sebelumnya
bahwa sepertiga dari klien yang tidak senang dengan informasi kesehatan yang
tersedia untuk mereka selama perawatan antenatal di tingkat pelayanan primer.
[13] Temuan ini terkena lopsidedness dalam kualitas pelayanan antenatal yang
tersedia di berbagai tingkat pelayanan kesehatan di negara ini. Ketidakadilan ini
berkaitan dengan penyebaran dan kualitas personil serta ruang lingkup pelayanan
yang tersedia di fasilitas tersebut. [14] Sementara pelayanan kesehatan di sektor
34
publik biasanya disubsidi, dan dengan demikian, menarik pelanggan besar, sektor
swasta mahal dan dengan demikian, biasanya dilindungi oleh lebih sedikit dan
sosial-ekonomi diuntungkan klien (data tidak dipublikasikan. Perbedaanperbedaan ini dapat mempengaruhi kualitas dan intensitas pendidikan kesehatan
yang diterima sebagai bagian dari perawatan antenatal di fasilitas kesehatan
publik dan swasta. Pengamatan tentang tingkat dasar dan menengah perawatan
dalam survei ini adalah pemikiran karena fasilitas ini adalah port pertama yang
diharapkan dari panggilan ketika mencari perawatan kesehatan , termasuk layanan
bersalin. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk meninjau ruang lingkup
kegiatan pelayanan antenatal di berbagai tingkat pelayanan kesehatan di negara ini
dan menegaskan kembali posisi utama pendidikan kesehatan sehubungan dengan,
bukan hanya kehamilan, tetapi juga dengan hormat dengan komplikasi yang
mungkin timbul saat melahirkan dan mungkin memiliki dampak serius pada bayi.
Survei menunjukkan bahwa pengetahuan keseluruhan responden tentang
faktor-faktor risiko dan gejala sisa dari asfiksia lahir miskin. Dalam survei ini,
responden yang menghadiri rumah sakit pendidikan klinik antenatal memiliki
pengetahuan terbaik tentang asfiksia lahir sedangkan peserta dari klinik antenatal
swasta memiliki pengetahuan terburuk. Hal ini mencolok bahwa ada kebutuhan
untuk melakukan lebih di semua tingkat perawatan baik di sektor kesehatan
publik dan swasta.
Meskipun asfiksia lahir merupakan kejadian umum di Nigeria, [15]
dampak kondisi ini penting dapat buruk dihargai oleh ibu. Dalam sebuah survei
terhadap ibu tentang gangguan pendengaran bayi di Lagos, Nigeria, asfiksia tidak
diidentifikasi sebagai penyebab utama hilangnya pendengaran bayi. [16] persepsi
yang buruk seperti dampak dari asfiksia lahir mungkin berhubungan dengan
kelangkaan informasi kesehatan tentang kondisi ini. Selain itu, kelangkaan ini
mungkin timbul ketika fasilitas kesehatan, termasuk klinik antenatal, tidak
memberikan kesempatan untuk mendidik ibu hamil tentang penyebab ini
morbiditas dan mortalitas bayi yang baru lahir. Implikasinya adalah bahwa, karena
sebagian besar ibu-ibu tidak bisa mengasosiasikan asfiksia lahir dengan gangguan
masa kanak-kanak yang serius seperti kelumpuhan, tuli atau kejang gangguan
otak, mereka tidak mungkin untuk menghargai kebutuhan untuk mengadopsi
35
langkah-langkah pencegahan yang tepat. Oleh karena itu, dampak dari langkahlangkah pencegahan berbasis klinik mungkin minimal. Demikian pula, dengan
pengetahuan yang buruk dari faktor risiko asfiksia lahir, pendek-statured atau
wanita hamil hipertensi tidak mungkin untuk mencari perawatan medis yang tepat
yang pada akhirnya akan mencegah asfiksia pada bayi. Hal ini diperparah oleh
fakta bahwa hanya sepertiga dari responden dihargai pengiriman luar fasilitas
kesehatan ortodoks sebagai faktor risiko asfiksia lahir. Ini mungkin bertanggung
jawab untuk praktek luas melahirkan di rumah bersalin tradisional dan spiritual
[15] di mana terampil resusitasi bayi baru lahir adalah tidak ada.
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa konseling, sebagai bentuk
pendidikan kesehatan, meningkatkan pengetahuan tentang masalah kesehatan
umum. Bahkan di antara peserta dari rumah sakit pendidikan klinik antenatal,
responden yang tidak menerima konseling tentang asfiksia lahir memiliki
pengetahuan yang lebih buruk tentang kondisi tersebut. Oleh karena itu, setiap
sesi klinik di rumah sakit harus digunakan sebagai kesempatan untuk memberikan
pendidikan kesehatan bagi klien. Hal ini penting untuk dicatat pengetahuan
miskin responden yang menghadiri klinik antenatal pribadi tentang asfiksia lahir.
Seperti kebanyakan wanita hamil di ini bagian dari negara memanfaatkan layanan
bersalin swasta, [17] mungkin perlu berkonsentrasi kegiatan pendidikan kesehatan
di fasilitas kesehatan tersebut. Tenaga kesehatan harus memiliki kesempatan untuk
dilatih dan dilatih ulang tentang masalah kesehatan yang penting dan metode
penyampaian program pendidikan berorientasi klien. Ini mungkin berguna untuk
secara ketat membagikan periode khusus untuk pendidikan kesehatan tentang
komplikasi persalinan termasuk asfiksia lahir. Modus pengiriman pendidikan
dapat ditingkatkan dengan sederhana, audiovisual murah. Pamflet informasi Induk
disiapkan dalam bahasa lokal juga dapat didistribusikan di tempat-tempat umum
seperti pasar dan rumah-rumah agama.
Kesimpulannya, survei ini menunjukkan bahwa klinik antenatal di luar
rumah sakit pendidikan tidak memberikan pendidikan kesehatan yang memadai
tentang asfiksia lahir. Oleh karena itu, sebagian besar ibu-ibu yang disurvei
memiliki pengetahuan yang buruk tentang faktor-faktor risiko dan gejala sisa dari
asfiksia lahir dan cenderung mengadopsi langkah-langkah pencegahan yang
36
diperlukan bahkan di tingkat keluarga. Sistem kesehatan, termasuk baik publik
dan sektor swasta, perlu meningkatkan pencegahan asfiksia lahir dengan
meningkatkan pendidikan ibu hamil tentang kondisi ini.
37
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah Asril. 1994. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Effendi Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC : Jakarta.
Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan &
Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Talbot Laura A. 1997, Pengkajian Keperawatan, EGC : Jakarta.
TINJAUAN TEORI
2.1
2.1.1
Konsep Asfiksia Neonatorum
Pengertian
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia
janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul
dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo, Sarwono, 1997).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak bisa
bernafas secara spontan dan adekuat (Wroatmodjo,1994).
Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan
dengan
sempurna,
sehingga
tindakan
perawatan
dilaksanakan
untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut yang mungkin
timbul. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, beberapa faktor perlu
dipertimbangkan dalam menghadapi bayi dengan asfiksia.
2.1.2
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor etiologi dan predisposisi terjadinya asfiksia, antara
lain sebagai berikut:
1. Faktor Ibu
Hipoksia ibu akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian analgetika atau
anesthesi dalam gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak karena
pendarahan, hipertensi karena eklamsia, penyakit jantung dan lain-lain.
2. Faktor Plasenta
Yang meliputi solutio plasenta, pendarahan pada plasenta previa, plasenta
tipis, plasenta kecil, plasenta tak menempel pada tempatnya.
3. Faktor Janin dan Neonatus
Meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit ke leher, kompresi tali
pusat antara janin dan jalan lahir, gemelli, IUGR, kelainan kongenital dan lainlain.
4. Faktor Persalinan
5
Meliputi partus lama, partus tindakan dan lain-lain.
2.1.3
Patofisiologi
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan
terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika
kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi
lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih
cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan
intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan
mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir,
alveoli tidak berkembang.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung
mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsurangsur dan bayi memasuki periode apneu primer.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat
lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki
periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah
dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi
terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara
spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan
pemberian tidak dimulai segera.
2.1.4
Web Of Caution
6
Persalinan lama, lilitan tali pusat Paralisis pusat pernafasan faktor lain : anestesi,
resentasi janin abnormal
obat-obatan narkotik
ASFIKSIA
Janin kekurangan O2
Dan kadar CO2 meningkat
Nafas cepat
paru-paru terisi cairan
Bersihan
jalan nafas
tidak efektif
Pola nafas
tak efektif
Apneu
suplai O2
ke paru
suplai O2
dlm darah
Kerusakan otak
Resiko ketidak
seimbangan suhu
tubuh
DJJ & TD
respiratorik
Janin tdk bereaksi
Terhadap rangsangan
Kematian bayi
Proses keluarga
terhenti
Gangg.meta
Bolisme&per
ubahan
asam basa
Asidosis
Resiko
cedera
Gangg.perfui ventilasi
Kerusakan
pertukaran gas
2.1.5
Gejala Klinik
7
Gejala klinik Asfiksia neonatorum yang khas meliputi :
a. Pernafasan terganggu
b. Detik jantung berkurang
c. Reflek / respon bayi melemah
d. Tonus otot menurun
e. Warna kulit biru atau pucat
2.1.6
Diagnosis
Asfiksia pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia atau
hipoksia janin. Diagnosa anoksia / hipoksia dapat dibuat dalam persalinan dengan
ditemukan tanda-tanda gawat janin untuk menentukan bayi yang akan dilahirkan
terjadi asfiksia, maka ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatikan.
1.
Denyut Jantung Janin
Frekuensi normal ialah 120 sampai 160 denyutan per menit, selama his
frekuensi ini bisa turun, tetapi diluar his kembali lagi kepada keadaan semula.
Peningkatan kecepatan denyutan jantung umumnya tidak banyak artinya, akan
tetapi apabila frekuensinya turun sampai dibawah 100/menit, dan lebih-lebih jika
tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
2.
Mekonium Dalam Air Ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada
prosentase kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan terus timbul
kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada prosentase kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan
dengan mudah.
3.
Pemeriksaan pH Pada Janin
Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat
sayatan kecil pada kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin. Darah ini
diperiksa pH-nya adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu
turun sampai dibawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya. Dengan
penilaian pH darah janin dapat ditemukan derajat asfiksia yaitu :
Tabel 1.1. Penilaian pH Darah Janin
8
NO
Hasil Apgar Score
Derajat Asfiksia
Nilai pH
1.
0–3
Berat
< 7,2
2.
4–6
Sedang
7,1 – 7,2
3.
7 – 10
4.
Dengan Menilai Apgar Skor
Ringan
Sumber : Wiroatmodjo, 1994
> 7,2
Cara yang digunakan untuk menentukan derajat asfiksia yaitu dengan
penilaian Apgar Skor. Apgar mengambil batas waktu 1 menit karena dari hasil
penyelidikan sebagian besar bayi baru lahir mempunyai Apgar terendah pada
umur tersebut dan perlu dipertimbangkan untuk melakukan tindakan resusitasi
aktif. Sedangkan nilai Apgar lima menit untuk menentukan prognosa dan
berhubungan dengan kemungkinan terjadinya gangguan neurologik di kemudian
hari. Ada lima tanda (sign) yang dinilai oleh Apgar, yaitu :
Tabel 1.2 Apgar Skor
Tanda-tanda
Vital
Nilai = 0
Nilai = 1
Nilai = 2
1. Appearance
(warna kulit)
Seluruh tubuh bayi Warna kulit tubuh
berwarna kebiru- normal, tetapi
biruan atau pucat tangan dan kaki
berwarna kebiruan
Warna kulit
seluruh tubuh
normal
2.
Pulse
(denyut
jantung)
Tidak ada
100 x/ menit
3.
Grimace
(Respons
reflek)
Tidak ada
Menyeringai/
meringis
Meringis, menarik,
batuk, atau bersin
saat
stimulasiMeringis,
menarik, batuk,
atau bersin saat
stimulasi
4.
Activity
(tonus otot)
Lemah, tidak ada
gerakan
Lengan dan kaki
dalam posisi fleksi
dengan sedikit
gerakan
Bergerak aktif dan
spontan
Menangis lemah,
terdengar seperti
Menangis kuat,
pernapasan baik
5.
Respiratio Tidak bernapas
n
9
(usaha
bernafas)
merintih, pernapasan dan teratur
lambat dan tidak
teratur
Dari kelima tanda diatas yang paling penting bagi jantung karena
peninggian frekuensi jantung menandakan prognosis yang peka. Keadaan akan
memburuk bila frekuensi tidak bertambah atau melemah walaupun paru-paru telah
berkembang. Dalam hal ini pijatan jantung harus dilakukan. Usaha nafas adalah
nomor dua. Bila apnea berlangsung lama dan ventilasi yang dilakukan tidak
berhasil maka bayi menderita depresi hebat yang diikuti asidosis metabolik yang
hebat. Sedang ketiga tanda lain tergantung dari dua tanda penting tersebut.
Ada 3 derajat Asfiksia dari hasil Apgar Skor diatas yaitu :
1. Nilai Apgar 7-10, Vigorous baby atau asfiksia ringan.
Bayi dalam keadaan merintih, adanya retraksi sela iga, dengan nafas
takipnea ( >60x/menit), bayi tampak sianosis, adanya pernafasan cupping
hidung, bayi kurang aktifitas, pada pemeriksaan auskultasi terdapat .ronchi,
rales, dan wheezing.
2. Nilai Apgar 4-6 Mild Moderat atau asfiksia sedang.
Pada pemeriksaan fisik akan dilihat frekuensi jantung menurun menjadi
(60 – 80x/menit), usaha nafas lambat, tonus otot baik, bayi masih bereaksi
terhadap rangsangan, bayi sianosis, tidak terjadi kekurangan O2 yang
bermakna selama proses persalinan.
3. Nilai Apgar 0-3, asfiksia berat
Pada pemeriksaan ditemukan frekuensi jantung kecil ( 1500 gram menggunakan D10%
Kebutuhan nutrisi enteral
BB < 1250 gram = 24 kali per 24 jam
BB 1250 - < 2000 gram = 12 kali per 24 jam
BB > 2000 gram = 8 kali per 24 jam
Kebutuhan minum pada neonatus :
Hari ke 1 = 50-60 cc/kg BB/hari
Hari ke 2 = 90 cc/kg BB/hari
Hari ke 3 = 120 cc/kg BB/hari
Hari ke 4 = 150 cc/kg BB/hari
Dan untuk tiap harinya sampai mencapai 180 – 200 cc/kg BB/hari
Pola eliminasi
Yang perlu dikaji pada neonatus adalah
BAB : frekwensi, jumlah, konsistensi.
17
BAK : frekwensi, jumlah
Latar belakang sosial budaya
Kebudayaan yang berpengaruh terhadap kejadian asfiksia, kebiasaan ibu
merokok, ketergantungan obat-obatan tertentu terutama jenis psikotropika
Kebiasaan ibu mengkonsumsi minuman beralkohol, kebiasaan ibu
melakukan diet ketat atau pantang makanan tertentu.
Hubungan psikologis
Sebaiknya segera setelah bayi baru lahir dilakukan rawat gabung dengan
ibu jika kondisi bayi memungkinkan. Hal ini berguna sekali dimana bayi akan
mendapatkan kasih sayang dan perhatian serta dapat mempererat hubungan
psikologis antara ibu dan bayi. Lain halnya dengan asfiksia karena memerlukan
perawatan yang intensif
2.
Data Obyektif
Data obyektif adalah data yang diperoleh melalui suatu pengukuran dan
pemeriksaan dengan menggunakan standart yang diakui atau berlaku (Effendi
Nasrul, 1995)
a. Keadaan umum
Pada neonatus post asfiksia berat, keadaannya lemah dan hanya merintih.
Keadaan akan membaik bila menunjukkan gerakan yang aktif dan
menangis keras. Kesadaran neonatus dapat dilihat dari responnya terhadap
rangsangan. Adanya BB yang stabil, panjang badan sesuai dengan usianya
tidak ada pembesaran lingkar kepala dapat menunjukkan kondisi neonatus
yang baik.
b. Tanda-tanda Vital
Neonatus post asfiksia berat kondisi akan baik apabila penanganan asfiksia
benar, tepat dan cepat. Untuk bayi preterm beresiko terjadinya hipothermi
bila suhu tubuh < 36 C dan beresiko terjadi hipertermi bila suhu tubuh <
37 C. Sedangkan suhu normal tubuh antara 36,5C – 37,5C, nadi normal
antara 120-140 kali per menit respirasi normal antara 40-60 kali permenit,
sering pada bayi post asfiksia berat pernafasan belum teratur.
Pengkajian
18
1. Sirkulasi
a. Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt.
b. Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg
(diastolik).
c. Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal
tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV.
d. Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.
e. Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.
2. Eliminasi
a. Dapat berkemih saat lahir.
3. Makanan/ cairan
a. Berat badan : 2500-4000 gram
b. Panjang badan : 44 - 45 cm
c. Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi)
4. Neurosensori
a. Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.
b. Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit
pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan
asimetris (molding, edema, hematoma).
c. Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan
abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)
5. Pernafasan
a. Skor APGAR : 1 menit s/d 5 menit dengan skor optimal harus antara 710.
b. Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.
c. Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya
silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.
6. Keamanan
a. Suhu rentang dari 36,5º C sampai 37,5º C. Ada verniks (jumlah dan
distribusi tergantung pada usia gestasi).
19
b. Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat,
warna
merah
muda
atau
kemerahan,
mungkin
belang-belang
menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau
perubahan warna herlequin, petekie pada kepala/ wajah (dapat
menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau
tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak mata,
antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama
punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala
mungkin ada (penempatan elektroda internal)
.
3.
Data Penunjang
Data penunjang pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam
menegakkan diagnosa atau kausal yang tepat sehingga kita dapat memberikan
obat yang tepat pula.
Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
1) Darah
a) Nilai darah lengkap pada bayi asfiksia terdiri dari :
Hb (normal 15-19 gr%) biasanya pada bayi dengan asfiksia Hb
cenderung turun karena O2 dalam darah sedikit.
Leukositnya lebih dari 10,3 x 10 gr/ct (normal 4,3-10,3 x 10 gr/ct)
karena bayi preterm imunitas masih rendah sehingga resiko tinggi.
Trombosit (normal 350 x 10 gr/ct)
Distrosfiks pada bayi preterm dengan post asfiksi cenderung turun
karena sering terjadi hipoglikemi.
b) Nilai analisa gas darah pada bayi post asfiksi terdiri dari :
pH (normal 7,36-7,44). Kadar pH cenderung turun terjadi asidosis
metabolik.
PCO2 (normal 35-45 mmHg) kadar PCO2 pada bayi post asfiksia
cenderung naik sering terjadi hiperapnea.
PO2 (normal 75-100 mmHg), kadar PO2 pada bayi post asfiksia
cenderung turun karena terjadi hipoksia progresif.
HCO3 (normal 24-28 mEq/L)
20
2) Urine
Nilai serum elektrolit pada bayi post asfiksia terdiri dari :
Natrium (normal 134-150 mEq/L)
Kalium (normal 3,6-5,8 mEq/L)
Kalsium (normal 8,1-10,4 mEq/L)
3) Photo thorax
Pulmonal tidak tampak gambaran, jantung ukuran normal.
2.2.2
Analisa data dan Perumusan Masalah
Analisa data adalah kemampuan mengkaitkan data dan menghubungkan
data tersebut dalam konsep, teori dan prinsip yang relevan untuk membuat
kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan pasien
(Effendi Nasrul,1995 : 23).
Tabel 1.3 Analisa Data dan Perumusan Masalah
Sign / Symptoms
1. Pernafasan tidak teratur,
Kemungkinan Penyebab
- Riwayat partus lama
Masalah
Gangguan
pernafasan cuping hidung,
- Pendarahan peng-obatan.
pemenuhan
cyanosis, ada lendir pada
- Obstruksi pulmonary
kebutuhan O2
hidung dan mulut, tarikan
- Prematuritas
inter-costal, abnormalitas
gas darah arteri.
2. Akral dingin, cyanosis
pada ekstremmitas,
- lapisan lemak dalam kulit Resiko terjadinya
tipis
hipotermia
keadaan umum lemah,
suhu tubuh dibawah
normal
3. Keadaan umum lemah,
- Reflek menghisap lemah
Resiko gangguan
reflek menghisap lemah,
pemenuhan
masih terdapat retensi
kebutuhan nutrisi.
pada sonde
4. Suhu tubuh diatas normal,
tali pusat layu, ada tandatanda infeksi, abnormal
- Sistem Imunitas yang
belum sempurna
- Ketuban mekonial
Resiko
infeksi
terjadinya
21
kadar leukosit, kulit
- Tindakan yang tidak
kuning, riwayat persalinan
aseptik
dengan ketuban mekonial
2.2.3
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik tentang respon individu,
keluarga atau komunitas terhadap masalah-masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual atau potensial.
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien post asfiksia berat
antara lain:
1.
Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 sehubungan dengan post asfiksia
berat.
2.
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi sehubungan dengan reflek
menghisap lemah.
3.
Resiko terjadinya hipotermia
4.
Resiko terjadinya infeksi
2.2.4
Rencana Keperawatan
Rencana perawatan adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan
yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa
keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan pasien.
Langkah-langkah penyusunan rencana perawatan terdiri dari 3 kegiatan yaitu
menetapkan urutan prioritas masalah, merumuskan tujuan perawatan yang akan
dicapai, menentukan rencana tindakan perawatan.
Prioritas masalah
Penentuan prioritas berdasarkan diagnosa keperawatan, dimana prioritas
tertinggi diberikan kepada masalah yang mengancam kehidupan atau
keselamatan pasien. Masalah nyata diberikan perhatian / prioritas terlebih
dahulu dari pada masalah potensial. Penentuan prioritas dilakukan karena tidak
semua masalah dapat diatasi pada waktu yang sama.
22
Tabel 1.4. Perencanaan / Intervensi
No.
1
Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Gangguan pemenuhan
Tujuan:
kebutuhan O2
Kebutuhan O2 bayi terpenuhi
Intervensi
1. Letakkan bayi terlentang
Rasional
1. Memberi rasa nyaman dan
dengan alas yang data,
mengantisipasi flexi leher yang
sehubungan dengan post Kriteria:
kepala lurus, dan leher
dapat mengurangi kelancaran
asfiksia berat
sedikit tengadah/ekstensi
jalan nafas.
- Pernafasan normal 40-60
kali permenit.
dengan meletakkan bantal
- Pernafasan teratur.
atau selimut diatas bahu
- Tidak cyanosis.
bayi sehingga bahu
- Wajah dan seluruh tubuh
terangkat 2-3 cm
Berwarna
kemerahan 2. Bersihkan jalan nafas,
(pink variable).
mulut, hidung bila perlu.
- Gas darah normal
2. Jalan nafas harus tetap
dipertahankan bebas dari lendir
untuk menjamin pertukaran gas
PH = 7,35 – 7,45
yang sempurna.
PCO2 = 35 mm Hg
PO2 = 50 – 90 mmHg
3. Observasi gejala kardinal
dan tanda-tanda cyanosis
tiap 4 jam
Tabel 1.4. Perencanaan / Intervensi
3. Deteksi dini adanya kelainan.
23
No.
Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
4. Kolaborasi dengan tim
2.
Rasional
4. Menjamin oksigenasi jaringan
medis dalam pemberian
yang adekuat terutama untuk
O2 dan pemeriksaan
jantung dan otak. Dan
kadar gas darah arteri.
peningkatan pada kadar PCO2
menunjukkan hypoventilasi
1. Letakkan bayi terlentang 1. Mengurangi kehilangan panas
Resiko terjadinya
Tujuan
hipotermi sehubungan
Tidak terjadi hipotermia
diatas pemancar panas
pada suhu lingkungan sehingga
dengan adanya roses
Kriteria
(infant warmer)
meletakkan bayi menjadi hangat
persalinan yang lama
Suhu tubuh 36,5 – 37,5°C
dengan ditandai akral
dingin suhu tubuh
Akral hangat
Warna seluruh tubuh kemerahan 2. Singkirkan kain yang
dibawah 36° C
sudah dipakai untuk
mengeringkan tubuh,
letakkan bayi diatas
handuk / kain yang
kering dan hangat.
2. Mencegah kehilangan tubuh
melalui konduksi.
24
Tabel 1.4. Perencanaan / Intervensi
No.
Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Rasional
3. Observasi suhu bayi tiap 3. Perubahan suhu tubuh bayi
6 jam.
dapat menentukan tingkat
hipotermia
4. Kolaborasi dengan team 4. Mencegah terjadinya
medis untuk pemberian
hipoglikemia
Infus Glukosa 5% bila
ASI tidak mungkin
3.
diberikan.
1. Lakukan observasi BAB 1. Deteksi adanya kelainan pada
Gangguan pemenuhan
Tujuan
kebutuhan nutrisi
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
dan BAK jumlah dan
eliminasi bayi dan segera
sehubungan dengan
Kriteria
frekuensi serta
mendapat tindakan / perawatan
reflek menghisap
- Bayi dapat minum pespeen /
konsistensi.
yang tepat.
lemah.
personde dengan baik.
- Berat badan tidak turun lebih 2. Monitor turgor dan
dari 10%.
mukosa mulut.
2. Menentukan derajat dehidrasi
dari turgor dan mukosa mulut.
- Retensi tidak ada.
Tabel 1.4. Perencanaan / Intervensi
No.
Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Rasional
25
4.
3. Monitor intake dan out
3. Mengetahui keseimbangan
put.
4. Beri ASI sesuai
cairan tubuh (balance)
4. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
kebutuhan.
5. Lakukan kontrol berat
secara adekuat.
5. Penambahan dan penurunan
badan setiap hari.
1. Lakukan teknik aseptik
berat badan dapat di monito
1. Pada bayi baru lahir daya tahan
Resiko terjadinya
Tujuan:
infeksi
Selama perawatan tidak terjadi
dan antiseptik dalam
komplikasi (infeksi)
memberikan asuhan
Kriteria
- Tidak
ada
tubuhnya kurang / rendah.
keperawatan
tanda-tanda 2. Cuci tangan sebelum dan 2. Mencegah penyebaran infeksi
infeksi.
sesudah melakukan
- Tidak ada gangguan fungsi
nosokomial.
tindakan.
tubuh.
Tabel 1.4 Perencanaan / Intervensi
No.
Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Rasional
3. Pakai baju khusus/ short 3. Mencegah masuknya bakteri
waktu masuk ruang
dari baju petugas ke bayi
26
isolasi (kamar bayi)
4. Lakukan perawatan tali
4. Mencegah terjadinya infeksi dan
pusat dengan triple dye 2
memper-cepat pengeringan tali
kali sehari.
pusat karena mengan-dung anti
biotik, anti jamur, desinfektan.
5. Jaga kebersihan (badan, 5. Mengurangi media untuk
pakaian) dan lingkungan
bayi.
6. Observasi tanda-tanda
pertumbuhan kuman.
6. Deteksi dini adanya kelainan
infeksi dan gejala
kardinal
Tabel 1.4. Perencanaan / Intervensi
No. Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Rasional
7. Hindarkan bayi kontak
7. Mencegah terjadinya
dengan sakit.
8. Kolaborasi dengan tim
penularan infeksi.
8. Mencegah infeksi dari
medis untuk pemberian
antibiotik.
pneumonia
27
9. Siapkan pemeriksaan
laboratorat sesuai advis
dokter yaitu pemeriksaan
DL, CRP.
9. Sebagai pemeriksaan
penunjang.
2.2.5
Tahap Pelaksanaan Tindakan
Tindakan keperawatan adalah pelaksanaan asuhan keperawatan yang
merupakan realisasi rencana tindakan yang telah ditentukan dalam tahap
perencanaan dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal
2.2.6
Tahap Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan langkah akhir dari proses keperawatan yaitu
proses penilaian pencapaian tujuan dalam rencana perawatan, tercapai atau tidak
serta untuk pengkajian ulang rencana keperawatan. Evaluasi dilakukan secara
terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan petugas kesehatan yang
lain. Dalam menentukan tercapainya suatu tujuan asuhan keperawatan pada bayi
dengan post Asfiksia sedang, disesuaikan dengan kriteria evaluasi yang telah
ditentukan. Tujuan asuhan keperawatan dikatakan berhasil bila diagnosa
keperawatan didapatkan hasil yang sesuai dengan kriteria evaluasi.
28
29
2.3
Jurnal
[Pengetahuan ibu tentang asfiksia lahir: Kebutuhan untuk berbuat lebih
banyak ]
Pengenalan
Pendidikan kesehatan telah digambarkan sebagai kombinasi dari
kesempatan belajar dan kegiatan mengajar yang dirancang untuk memfasilitasi
adaptasi sukarela perilaku yang mempromosikan kesehatan. [1] Dari tersebut,
pendidikan kesehatan merupakan komponen penting dari perawatan kesehatan
primer. Dengan demikian, setiap pekerja kesehatan terlatih dan diharapkan dapat
memberikan pendidikan kesehatan yang relevan dengan keadaan kesehatan klien
mereka, dan di setiap kesempatan. Salah satu kondisi tersebut adalah perawatan
rutin ibu hamil. Pelayanan antenatal adalah komponen kunci dari layanan
kesehatan anak ibu dan disediakan di semua tingkat perawatan di Nigeria
termasuk sektor publik dan swasta. [2]
Pelayanan antenatal dirancang untuk mempromosikan, melindungi, dan
menjaga kesehatan selama kehamilan dan mengurangi angka kematian ibu dan
bayi. Secara khusus, ruang lingkup pemeriksaan kehamilan juga mencakup
deteksi, dan perawatan khusus untuk, kasus berisiko tinggi serta prediksi dan
pencegahan komplikasi selama kehamilan dan persalinan. [3] Salah satu
komplikasi seperti persalinan dan melahirkan adalah asfiksia perinatal. Lahir
asfiksia didefinisikan sebagai ketidakmampuan bayi yang baru lahir untuk
memulai dan mempertahankan respirasi spontan dengan asidosis konsekuen dan
hipoksia-iskemik cedera jaringan. [4] Lahir asfiksia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas bayi di negara berkembang. Telah dilaporkan terjadi
antara 22,9% dari bayi yang baru lahir di Timur, Tengah, dan Afrika Selatan. [5]
Sebuah laporan Nigeria baru-baru ini menyarankan bahwa asfiksia lahir
menyumbang 41,2% dari kematian perinatal. [6] Meskipun asfiksia lahir dapat
dicegah dalam banyak kasus, itu tetap menjadi penentu utama kelangsungan hidup
bayi di belahan dunia mana akses dan pemanfaatan layanan bersalin kualitas
miskin dan sistem kesehatan tampaknya kekurangan dalam memberikan layanan
berkualitas. [7] Namun demikian, peningkatan akses ke perawatan bersalin belum
tentu mengurangi kejadian asfiksia lahir di negara berkembang, jika ibu hamil
30
tidak mengadopsi sikap preventif yang tepat. Jelas, hubungan terjalin antara
pengetahuan dan sikap tidak bisa terlalu ditekankan.
Lahir asfiksia merupakan penyebab utama kematian perinatal dan neonatal
di Sagamu, Nigeria. [8], [9] Ini juga merupakan penyebab utama dari kondisi
masa handicapping umum seperti cerebral palsy di Sagamu. [10] Meskipun beban
berat ini, belum ada penelitian yang menilai pengetahuan ibu tentang asfiksia
dalam lingkungan ini. Sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi beban asfiksia
lahir, penting untuk memeriksa pengetahuan ibu tentang kondisi. Informasi ini
mungkin berguna dalam merancang intervensi yang efektif yang bertujuan untuk
meningkatkan motivasi ibu untuk bekerja sama dengan sistem kesehatan dalam
pencegahan asfiksia lahir. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai
pengetahuan ibu, yang menerima-fasilitas kesehatan berbasis pelayanan antenatal
selama kehamilan terakhir mereka, tentang asfiksia lahir dan berhubungan
pengetahuan mereka ke tempat-tempat di mana mereka menerima perawatan
antenatal.
Bahan dan Metode
Survei ini cross-sectional dari ibu yang membawa bayi dengan baik
mereka ke Imunisasi Klinik dari Rumah Sakit Pendidikan Olabisi Onabanjo
University, Sagamu, Ogun State, Nigeria, dilakukan antara Juli dan Oktober 2010.
Selain menawarkan layanan pediatrik khusus untuk anak-anak dari dalam dan luar
Ogun State of Nigeria, rumah sakit juga menawarkan perawatan primer dalam
pengaturan perawatan tersier. Ini termasuk pelayanan kesehatan ibu dan anak
seperti perawatan antenatal dan imunisasi.
Izin etika kelembagaan diperoleh. Jenis nyaman sampling yang digunakan;
maka ibu berturut-turut yang memenuhi kriteria inklusi dan memberikan informed
consent dilibatkan dalam penelitian tersebut. Kriteria inklusi utama untuk studi ini
menerima perawatan antenatal berbasis fasilitas kesehatan selama kehamilan anak
indeks. Ibu yang tidak menerima segala bentuk perawatan antenatal atau yang
mengunjungi rumah kelahiran spiritual dan rumah kelahiran tradisional untuk
perawatan antenatal dikeluarkan. Juga dikecualikan adalah ibu yang adalah
pekerja kesehatan klinis (dokter, perawat, fisioterapis, dan apoteker).
Alat penelitian adalah kuesioner close-ended. Data yang diperoleh dari
responden termasuk ibu usia, paritas, pendidikan dan pekerjaan kedua orang tua,
dan rincian perawatan antenatal diterima selama kehamilan anak indeks. Secara
31
khusus, responden ditanya apakah mereka dikonseling tentang kelahiran asfiksia
oleh tenaga kesehatan (digambarkan sebagai ketidakmampuan bayi yang baru
lahir menangis spontan pada saat lahir) selama kunjungan klinik antenatal.
Kuesioner juga mencari informasi tentang pengetahuan responden tentang faktor
umum risiko, efek, dan langkah-langkah pencegahan untuk asfiksia lahir pada
"Ya" atau "Tidak" dasar. Jawaban yang benar diberi skor satu tanda setiap saat
respon yang salah dan nonattempts diberi skor nol. Skor itu dijumlahkan untuk
setiap bagian dari pengetahuan (faktor risiko, efek, langkah-langkah pencegahan).
Skor minimal 50% dianggap sebagai memuaskan sementara skor di bawah 50%
dianggap sebagai tidak memuaskan. Skor pengetahuan yang berkaitan dengan
tempat perawatan antenatal serta sejarah konseling tentang asfiksia lahir.
Klasifikasi sosial ekonomi keluarga dilakukan dengan menggunakan
pendidikan orang tua dan pekerjaan ini. Para profesional dan paling berpendidikan
tinggi milik kelas I sedangkan pengangguran, buruh dan paling berpendidikan
milik kelas V. [11] Untuk studi ini, kelas I dan II dianggap sebagai bagian atas
sementara kelas III adalah kelas menengah dan IV dan V dianggap sebagai lebih
rendah. Para responden dikelompokkan ke dalam kelompok umur (≤30 tahun
atau> 30 tahun), kelompok paritas (primipara atau multipara), kelompok
pendidikan (tersier atau sekunder dan bawah), kelompok sosial-ekonomi (atas
atau bawah), dan juga didasarkan pada pribadi pengalaman dengan anak sesak
napas. Berbagai strata responden dibandingkan pengetahuan mereka secara
keseluruhan tentang asfiksia lahir menggunakan analisis bivariat.
Data dikelola dengan Paket statistik untuk Ilmu Sosial (SPSS), versi 15,
dengan menggunakan statistik deskriptif dan inferensial. Proporsi dibandingkan
dengan menggunakan rasio odds (OR) dan interval kepercayaan 95% (CI). CI
termasuk 1,0 signifikansi statistik didefinisikan.
Hasil Top
Gambaran umum responden
Sebanyak 354 ibu berpartisipasi dalam studi. Usia ibu berkisar antara 21
sampai 40 tahun dengan rata-rata 30,0 ± 4,3 tahun. Dari 354 ibu, 218 (61,6%)
berusia 30 tahun atau kurang, sementara 136 (38,4%) berusia lebih dari 30 tahun.
Seratus Twenty Nine (36,4%) adalah primipara sementara sisanya 221 (62,4%)
32
dan 4 (1,2%) yang multipara dan grandmultiparous masing-masing. Sebagian
besar responden (221; 62,4%) memiliki pendidikan tinggi sedangkan sisanya 95
(26,8%) dan 38 (10,8%) memiliki pendidikan menengah dan pendidikan dasar
masing-masing. Distribusi menurut kelas sosial-ekonomi menunjukkan bahwa
212 (59,9%) berasal dari kelas bawah, sementara 126 (35,6%) dan 16 (4,5%)
milik kelas menengah dan atas masing-masing.
Seratus dua puluh waktu tujuh (35,9%) responden sebelumnya memiliki
bayi yang sesak napas saat lahir: 48 (37,7%) yang disampaikan dalam fasilitas
pribadi, 29 (22,8%) yang disampaikan di rumah sakit pendidikan, 22 (17,3%) di
tradisional rumah kelahiran, 14 (11,0%) di rumah kelahiran spiritual, dan 14
(11,0%) di fasilitas kesehatan umum lainnya.
Tempat perawatan antenatal
Seratus dua puluh satu (34,2%) memiliki pelayanan antenatal di fasilitas
pribadi sementara 233 (65,8%) memiliki pelayanan antenatal di berbagai rumah
sakit umum. Fasilitas ini kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit pendidikan
(177; 50,0%), rumah sakit umum (40; 11,3%) dan pusat kesehatan primer (16;
4,5%).
Proporsi responden yang memiliki pendidikan tinggi di antara mereka
yang menghadiri rumah sakit pendidikan dan fasilitas umum dan swasta lainnya
untuk perawatan antenatal yang mirip {107/177 (60,5%) vs 114/177 (64,4%); OR
= 0,8; CI = 0,54, 1,33}. Di sisi lain, proporsi responden yang berasal dari kelas
sosial ekonomi atas di antara peserta dari rumah sakit pendidikan yang lebih
rendah dibandingkan dengan peserta dari fasilitas lain {56/177 (31,6%) vs 86/177
(48,6% ); OR = 0,5; CI = 0,31, 0,77}.
Sebanyak 200 (56,5%) menerima konseling tentang asfiksia lahir selama
perawatan antenatal. [Tabel 1] menunjukkan distribusi responden yang menerima
konseling tentang asfiksia lahir sesuai dengan tempat perawatan antenatal. Tak
satu pun dari responden yang menghadiri puskesmas menerima konseling tentang
asfiksia lahir sedangkan lebih dari empat seperlima dari peserta dari rumah sakit
pendidikan dikonseling tentang asfiksia lahir. Sebagian signifikan lebih tinggi dari
responden yang menghadiri klinik antenatal di rumah sakit pendidikan
dikonseling tentang asfiksia lahir dibandingkan dengan responden yang
menghadiri jenis lain dari fasilitas (152/177; 85,8% vs 48/177; 27,1%). Dengan
33
demikian, responden yang menghadiri rumah sakit pendidikan yang 16 kali lebih
mungkin untuk konseling tentang asfiksia lahir (OR = 16,3; CI = 9,25, 29,07). Di
sisi lain, dengan pengecualian dari responden yang menghadiri rumah sakit
pendidikan, tidak ada perbedaan dalam proporsi responden yang dikonseling saat
menghadiri fasilitas pribadi untuk perawatan antenatal dibandingkan dengan
mereka yang dikonseling saat menghadiri fasilitas umum {32/121 ( 26,4%) vs
16/56 (28,6%); OR = 0,9, CI = 0,33, 2,48}.
Diskusi
Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden yang
disurvei menerima konseling tentang asfiksia lahir selama kunjungan klinik
antenatal. Ini mungkin muncul terpuji, meskipun masih jauh berbeda dari yang
diharapkan. Namun, itu berarti bahwa hampir setengah dari wanita yang memiliki
perawatan antenatal di fasilitas pada populasi ini, mungkin tidak diharapkan untuk
menjadi akrab dengan atau mengadopsi sikap pencegahan yang tepat sehubungan
dengan asfiksia lahir selama kehamilan mereka berikutnya. Ini menyoroti
bagaimana kekurangan dalam sistem kesehatan dapat berkontribusi pada
pelestarian beberapa penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak usia seperti
yang diamati sebelumnya. [12]
Ini mungkin tampak bahwa tingkat diamati konseling tentang asfiksia lahir
sangat dipengaruhi oleh tingkat pelayanan kesehatan yang tersedia di mana
responden menerima perawatan antenatal. Sementara lebih dari empat seperlima
dari responden yang menghadiri klinik antenatal di rumah sakit pendidikan yang
diterima konseling tentang asfiksia lahir, hanya dua seperlima dari mereka yang
menghadiri rumah sakit umum (tingkat perawatan sekunder) dan seperempat dari
mereka yang menghadiri klinik antenatal swasta menerima konseling tentang
klinik antenatal. Instructively, tidak ada peserta dari Puskesmas klinik antenatal
dikonseling tentang asfiksia lahir. Hal ini sesuai dengan pengamatan sebelumnya
bahwa sepertiga dari klien yang tidak senang dengan informasi kesehatan yang
tersedia untuk mereka selama perawatan antenatal di tingkat pelayanan primer.
[13] Temuan ini terkena lopsidedness dalam kualitas pelayanan antenatal yang
tersedia di berbagai tingkat pelayanan kesehatan di negara ini. Ketidakadilan ini
berkaitan dengan penyebaran dan kualitas personil serta ruang lingkup pelayanan
yang tersedia di fasilitas tersebut. [14] Sementara pelayanan kesehatan di sektor
34
publik biasanya disubsidi, dan dengan demikian, menarik pelanggan besar, sektor
swasta mahal dan dengan demikian, biasanya dilindungi oleh lebih sedikit dan
sosial-ekonomi diuntungkan klien (data tidak dipublikasikan. Perbedaanperbedaan ini dapat mempengaruhi kualitas dan intensitas pendidikan kesehatan
yang diterima sebagai bagian dari perawatan antenatal di fasilitas kesehatan
publik dan swasta. Pengamatan tentang tingkat dasar dan menengah perawatan
dalam survei ini adalah pemikiran karena fasilitas ini adalah port pertama yang
diharapkan dari panggilan ketika mencari perawatan kesehatan , termasuk layanan
bersalin. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk meninjau ruang lingkup
kegiatan pelayanan antenatal di berbagai tingkat pelayanan kesehatan di negara ini
dan menegaskan kembali posisi utama pendidikan kesehatan sehubungan dengan,
bukan hanya kehamilan, tetapi juga dengan hormat dengan komplikasi yang
mungkin timbul saat melahirkan dan mungkin memiliki dampak serius pada bayi.
Survei menunjukkan bahwa pengetahuan keseluruhan responden tentang
faktor-faktor risiko dan gejala sisa dari asfiksia lahir miskin. Dalam survei ini,
responden yang menghadiri rumah sakit pendidikan klinik antenatal memiliki
pengetahuan terbaik tentang asfiksia lahir sedangkan peserta dari klinik antenatal
swasta memiliki pengetahuan terburuk. Hal ini mencolok bahwa ada kebutuhan
untuk melakukan lebih di semua tingkat perawatan baik di sektor kesehatan
publik dan swasta.
Meskipun asfiksia lahir merupakan kejadian umum di Nigeria, [15]
dampak kondisi ini penting dapat buruk dihargai oleh ibu. Dalam sebuah survei
terhadap ibu tentang gangguan pendengaran bayi di Lagos, Nigeria, asfiksia tidak
diidentifikasi sebagai penyebab utama hilangnya pendengaran bayi. [16] persepsi
yang buruk seperti dampak dari asfiksia lahir mungkin berhubungan dengan
kelangkaan informasi kesehatan tentang kondisi ini. Selain itu, kelangkaan ini
mungkin timbul ketika fasilitas kesehatan, termasuk klinik antenatal, tidak
memberikan kesempatan untuk mendidik ibu hamil tentang penyebab ini
morbiditas dan mortalitas bayi yang baru lahir. Implikasinya adalah bahwa, karena
sebagian besar ibu-ibu tidak bisa mengasosiasikan asfiksia lahir dengan gangguan
masa kanak-kanak yang serius seperti kelumpuhan, tuli atau kejang gangguan
otak, mereka tidak mungkin untuk menghargai kebutuhan untuk mengadopsi
35
langkah-langkah pencegahan yang tepat. Oleh karena itu, dampak dari langkahlangkah pencegahan berbasis klinik mungkin minimal. Demikian pula, dengan
pengetahuan yang buruk dari faktor risiko asfiksia lahir, pendek-statured atau
wanita hamil hipertensi tidak mungkin untuk mencari perawatan medis yang tepat
yang pada akhirnya akan mencegah asfiksia pada bayi. Hal ini diperparah oleh
fakta bahwa hanya sepertiga dari responden dihargai pengiriman luar fasilitas
kesehatan ortodoks sebagai faktor risiko asfiksia lahir. Ini mungkin bertanggung
jawab untuk praktek luas melahirkan di rumah bersalin tradisional dan spiritual
[15] di mana terampil resusitasi bayi baru lahir adalah tidak ada.
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa konseling, sebagai bentuk
pendidikan kesehatan, meningkatkan pengetahuan tentang masalah kesehatan
umum. Bahkan di antara peserta dari rumah sakit pendidikan klinik antenatal,
responden yang tidak menerima konseling tentang asfiksia lahir memiliki
pengetahuan yang lebih buruk tentang kondisi tersebut. Oleh karena itu, setiap
sesi klinik di rumah sakit harus digunakan sebagai kesempatan untuk memberikan
pendidikan kesehatan bagi klien. Hal ini penting untuk dicatat pengetahuan
miskin responden yang menghadiri klinik antenatal pribadi tentang asfiksia lahir.
Seperti kebanyakan wanita hamil di ini bagian dari negara memanfaatkan layanan
bersalin swasta, [17] mungkin perlu berkonsentrasi kegiatan pendidikan kesehatan
di fasilitas kesehatan tersebut. Tenaga kesehatan harus memiliki kesempatan untuk
dilatih dan dilatih ulang tentang masalah kesehatan yang penting dan metode
penyampaian program pendidikan berorientasi klien. Ini mungkin berguna untuk
secara ketat membagikan periode khusus untuk pendidikan kesehatan tentang
komplikasi persalinan termasuk asfiksia lahir. Modus pengiriman pendidikan
dapat ditingkatkan dengan sederhana, audiovisual murah. Pamflet informasi Induk
disiapkan dalam bahasa lokal juga dapat didistribusikan di tempat-tempat umum
seperti pasar dan rumah-rumah agama.
Kesimpulannya, survei ini menunjukkan bahwa klinik antenatal di luar
rumah sakit pendidikan tidak memberikan pendidikan kesehatan yang memadai
tentang asfiksia lahir. Oleh karena itu, sebagian besar ibu-ibu yang disurvei
memiliki pengetahuan yang buruk tentang faktor-faktor risiko dan gejala sisa dari
asfiksia lahir dan cenderung mengadopsi langkah-langkah pencegahan yang
36
diperlukan bahkan di tingkat keluarga. Sistem kesehatan, termasuk baik publik
dan sektor swasta, perlu meningkatkan pencegahan asfiksia lahir dengan
meningkatkan pendidikan ibu hamil tentang kondisi ini.
37
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah Asril. 1994. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Effendi Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC : Jakarta.
Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan &
Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Talbot Laura A. 1997, Pengkajian Keperawatan, EGC : Jakarta.