ANALISIS PSIKOLOGI KARAKTER GEORGE VI DA

ANALISIS PSIKOLOGI KARAKTER GEORGE VI DAN
LIONEL LOGUE
DALAM FILM ‘THE KING’S SPEECH’ (2010)
UJIAN TENGAH SEMESTER
MATA KULIAH PSIKOLOGI SENI

WARIDAH MUTHI’AH
NIM. 27110047

JURUSAN MAGISTER DESAIN
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2011

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 1

1. PENDAHULUAN
Pendekatan psikologi dalam menganalisa sebuah film sering dilakukan tidak hanya
untuk memahami suatu karakter dan latar belakang sifatnya sebagaimana
digambarkan dalam film tersebut, tetapi juga untuk memahami interaksi antartokoh
dan latar belakang perilakunya yang mempengaruhi alur cerita. Seringkali

pendekatan psikologi diterapkan pada film ber-genre thriller, roman psikologis, atau
biografi.
Salah satu film biografi dengan pendekatan psikologi adalah The King’s Speech
(2010). Film yang diangkat dari kisah nyata mengenai Raja George VI, raja Inggris
pada 1936 hingga akhir hayatnya, ini memiliki tema yang tidak biasa dalam
memotret kehidupan seorang raja. Berbeda dengan film kebanyakan mengenai
dunia kerajaan, yang biasanya terfokus pada keberanian, kisah heroik, percintaan,
bahkan kekejaman seorang penguasa, film ini berkisah mengenai hal yang
sederhana dan manusiawi, bahkan mungkin aneh karena bukan merupakan suatu
hal yang lazim pada seorang raja, yakni mengenai kegagapan. Kegagapan, atau
kesulitan bicara, bagi seorang rakyat jelata atau bahkan pelawak akan menjadi
sesuatu yang lucu, tetapi bagi seorang raja, apalagi raja dari emporium sebesar
Inggris, kegagapan adalah petaka. Apalagi jika dengan kondisi gagapnya itu, sang
raja, yang memerintah pada masa perang, diharuskan melakukan siaran radio
kenegaraan dan mengumumkan pernyataan perang. Justru dari tema kecil ini,
dengan melibatkan kondisi mental raja dan upayanya mengatasi kegagapannya itu,
film ini menjadi menarik.
Keunikan tema film ini, pembangunan alur cerita, dan kompleksitas karakter tokoh
dalam film karya sutradara Tom Hooper dan penulis naskah David Seidler ini
membuahkan tujuh nominasi Golden Globe dan menang untuk kategori Film Terbaik,

serta masuk dalam duabelas nominasi

Academy Award dan berhasil menyabet

empat Oscar. Karakter dua tokoh utama dalam film ini, yakni tokoh George VI dan
Lionel Logue, dan interaksi keduanya yang menjadi jantung film ini memberikan
suatu impresi dan wacana yang menarik mengenai kompleksitas antara sifat dasar
seorang raja dan beban dari jabatan itu sendiri, yang membuat kedua karakter
tersebut layak dikaji.
2. OBJEK KAJIAN
2.1.

SINOPSIS FILM

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 2

Film The King’s Speech bercerita tentang kehidupan Pangeran Albert Frederick
Arthur George alias Bertie, putra kedua Raja George IX dari Inggris, sejak masih
bertitel Duke of York hingga menjadi Raja Inggris. Ia sebenarnya adalah seorang
perwira Angkatan Laut, dan sebagai pangeran, ia dituntut aktif dalam berbagai

urusan kenegaraan. Akan tetapi, ia memiliki masalah kepercayaan diri, akibat
kondisi berbahasanya yang gagap.

Poster film The King’s Speech (2011)
Sumber: blog.beliefnet.com

Pada saat itu, yakni tahun 1930-an, Inggris sebagai monarki di Eropa yang masih
tersisa dihadapkan pada perebutan kekuasaan, berhadapan dengan aliansi
Jerman. Jerman dengan ideologi fasisnya berusaha memanunggalkan kedudukan
bangsa Arya dan menyerang negara Eropa lain, berhadapan dengan Inggris dan
sekutunya. Namun, yang dihadapi Inggris bukan sekadar perang senjata dan
ideologi. Berbeda dengan Jerman, Inggris tidak memiliki tokoh muda fenomenal
sekaliber Hitler, yang dengan kemampuan retorikanya mampu menggerakkan
massa. Pada saat itu, kekuasaan monarki memang sudah berubah menjadi
hanya sekadar simbol, tetapi keberadaan seorang raja yang berwibawa tetap
diharapkan rakyat. Namun, Raja George IX sudah tua, sedangkan putra
mahkotanya, David, Prince of Wales, memiliki hubungan gelap dengan seorang
perempuan yang sudah bersuami. Sesungguhnya, sang raja berharap putra
keduanya menggantikannya bertakhta, tetapi rasa rendah diri Bertie dan
kedudukannya sebagai anak kedua membuatnya menolak.


Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 3

Demi menanggulangi kegagapannya, Duke of York meminta bantuan dokter,
tetapi tidak berhasil. Hingga suatu hari istrinya, Elizabeth, Duchess of York,
membujuknya menemui seorang ahli terapi bicara. Terapis Australia bernama
Lionel Logue ini memiliki klinik yang agak kumuh di Harley Street dan metode
yang tidak biasa. Pada awalnya, Bertie tidak suka dengan prinsip kesejajaran
sang terapis yang menurutnya tidak sopan dan metodenya yang tak berguna.
Namun, setelah mendengar kaset rekaman yang membuktikan dirinya dapat
membaca dengan lancar pada pertemuan pertama mereka, Bertie memutuskan
untuk mengikuti sesi terapi tersebut. Sang terapis ternyata tidak hanya melatih
bahasa, tetapi juga melakukan pendekatan psikologi.
Walau seringkali sikap Lionel seakan kurang sopan, sang pangeran yang merasa
mendapat teman yang dipercaya memaafkan saja kekasaran itu. Hingga pada
satu titik, sang terapis menyudutkan Bertie dengan mempertanyakan hasratnya
untuk menjadi raja menggantikan sang kakak. Pada saat itu, David telah
diangkat sebagai Raja Edward VII menggantikan ayahnya yang meninggal pada
20 Januari 1936 karena sakit, tetapi ia dianggap mencemarkan nama baik
keluarga kerajaan dengan bersikeras menikahi kekasihnya, Willis Simpsons.

Bertie, dalam kondisi psikologinya yang kompleks, antara rasa inferior, perasaan
sedih akibat kehilangan ayah, dan tak mau mengkhianati sang kakak di satu sisi,
dan kenyataan mengenai skandal sang kakak membuatnya terpojok. Ditambah
lagi bahwa ialah yang diharapkan untuk menggantikan sang ayah menjelang
kematiannya. Dalam kekalutannya, Bertie menimpakan amarahnya pada Lionel,
yang dianggapnya mempengaruhi untuk melakukan makar, dengan mencemooh
latar belakangnya sebagai orang biasa dan meninggalkannya.
Rupanya, pihak penasihat kerajaan pun menganggap skandal sang raja dapat
memancing krisis konstitusional. Karena tak mau menjadikan kekasihnya sebagai
selir (mistress), David rela melepaskan takhtanya kepada sang adik. Menyadari
bahwa

ia

butuh

ketegasan

berbicara,


terutama

sehubungan

dengan

perkembangan teknologi yang menjadikan siaran radio sebagai alat propaganda
perang

dan

penyambung

lidah

raja

dengan

rakyatnya,


Bertie

kembali

menghubungi Lionel.
Pada upacara penobatan raja di Westminster Abbey, Bertie menempatkan Lionel
di bangku kehormatan, yang memunculkan rasa tidak suka sebagian bangsawan.
Archbishop pun mencari informasi mengenai Lionel, yang dipaparkannya pada

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 4

sang raja sebelum gladi resik penobatannya. Bertie merasa ditipu karena
ternyata Lionel bukan dokter sungguhan bersertifikat, dan hampir menolak gladi
resik. Namun Lionel menyatakan bahwa ia tak pernah menyatakan dirinya
dokter, serta bahwa kemampuannya lahir dari pengalamannya mengatasi
trauma para pemuda veteran perang yang membuat mereka tak mampu bicara.
Ketika Bertie melontarkan kekecewaannya, Lionel malah melakukan hal yang
paling tabu dengan duduk di singgasana St. Edward’s Chair yang hanya boleh
diduduki raja pada upacara penobatan. Justru dengan ini, Lionel memancing

Bertie melontarkan protesnya dan membuat Bertie sadar akan niat baik Lionel
untuk menolongnya.
Akhirnya, Lionel kembali menjadi terapis kerajaan. Tidak hanya berhenti pada
upacara penobatan, ia juga menjadi pelatih dan pendamping sang raja pada
semua pidato kenegaraan. Khususnya ketika sang raja diharuskan memberi
siaran radio yang mendeklarasikan perang dengan Jerman. Kesulitan George VI
dalam berbicara bahkan menjadi gaya pribadi yang menambah kesan suram dan
kesyahduan isi pidato dalam masa perang, yang menjadikannya lambang
resistansi Inggris.

2.2.

KARAKTER TOKOH DALAM FILM

2.2.1. Albert, Duke of York/George VI

Foto asli George VI (1940-an, kiri) dan representasinya oleh aktor Colin Firth dalam The King’s
Speech (2011, kanan)
Sumber: www.wikipedia.com


Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 5

Ahli waris kedua takhta Inggris yang akhirnya diangkat sebagai raja setelah
kakaknya, David alias Edward, mengundurkan diri. Sebagai pangeran, ia
seringkali terlibat dalam urusan dalam negeri, dan merupakan pejabat
angkatan laut yang berani. Kehidupan pribadinya terlihat harmonis dengan
sang istri, Duchess of York, dan dua putri yang masih kanak-kanak. Namun,
ia digambarkan sebagai seorang pria yang kikuk, tidak percaya diri, dan
lemah dalam menghadapi orang lain, yang hadir dari kondisi bicaranya
yang gagap. Kendati ia mudah marah, namun sifat gagap dan rendah
dirinya membuatnya tidak dapat menyampaikan argumen dan amarahnya
dengan mudah.
2.2.2. Lionel Logue

Foto asli L. Logue (1930-an, kiri) dan representasinya oleh aktor Geoffrey Rush dalam The
King’s Speech (2011, kanan)
Sumber: www.wikipedia.com, www.guardian.co.uk

Seorang ahli terapi bicara asal Australia yang membuka praktik di Harley
Sreet. Ia menjadi terapis bagi Pangeran Albert setelah direkomendasikan

oleh ketua perkumpulan ahli terapi bicara. Logue digambarkan sebagai
seorang pria berumur yang kalem, santai, tetapi seringkali mengagetkan
orang dengan sifatnya yang tidak konvensional dan seringkali tidak sopan.
Di samping bakatnya dalam bicara, ia juga mencintai drama dan
digambarkan memiliki ambisi sebagai aktor panggung, namun selalu gagal
dalam audisi. Dalam terapinya, ia melakukan metode penyembuhan yang
menggabungkan antara latihan fisik dan terapi psikologi. Awalnya ia
dianggap sebagai dokter, tetapi ternyata ia merupakan terapis otodidak
yang mendapatkan semua metodenya dari pengalaman.
3. TINJAUAN TEORI

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 6

3.1.

TINJAUAN HISTORIS TOKOH

3.1.1. George VI
Raja George VI, atau dengan nama lengkap Albert Frederick Arthur George,
lahir pada 14 Desember 1895. Sebelum diangkat sebagai raja, ia bergelar

Duke of York dan pernah bertugas di Angkatan Laut Kerajaan Inggris (Royal
Navy) selama Perang Dunia I. Setelah perang, ia sering menangani urusan
dalam negeri kerajaan. Ia menikahi Lady Elizabeth Bower-Lyons pada 1923
dan

memiliki

dua

orang

putri,

yakni

Elizabeth

yang

kemudian

menggantikannya sebagai ratu Inggris, dan Margaret.
Pangeran Albert naik takhta menggantikan kakaknya, Edward VIII, pada 11
Desember 1936 dan memerintah hingga kematiannya pada 6 February
1952. Pada pemerintahannya, Inggris terlibat dalam perang dengan Nazi
Jerman, kemudian dengan Italia dan Jepang, yang membawa Inggris dan
hampir seluruh negara jajahannya, kecuali Irlandia, dalam Perang Dunia II.
Walaupun aliansi Inggris menang, terjadi perubahan peta kekuatan dunia
dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara adidaya. Mengikuti
turunnya kekuatan Inggris, India dan Pakistan memerdekakan diri pada
1947, demikian pula Irlandia yang sebelumnya sempat membentuk
pemerintahan otonomi Irish Free State, memisahkan diri pada 1949.
Perubahan

bentuk

pemerintahan

daerah

jajahan

Inggris

menjadi

Commonwealth of Nation menjadikan Raja George VI sebagai Kepala
Commonwealth yang pertama.
3.1.2. Lionel Logue
Lionel Logue lahir pada 26 Februari 1880 di Adelaide, Australia, sebagai
anak sulung dari empat bersaudara dan cucu dari pendiri perusahaan yang
cukup ternama di Australia. Sejak remaja, ia tertarik pada olah vokal,
bahkan sempat mengikuti pementasan drama dan musik, serta mengajar
Ia menikahi Myrtle Gruenert pada 1907, yang memberinya tiga orang anak.
Pada 1924 ia pindah ke Inggris dan membuka praktik terapi bicara di 146,
Harley Street. Sejak 1930-an hingga 1940, mereka tinggal di villa di
Syndenham. Ia menjadi mentor bagi Pangeran Albert sejak 1926 hingga
1940-an. Berkat jasanya, ia diangkat menjadi Member of The Victorian

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 7

Order dan kemudian Commander of The Victorian Order pada 1944,
sebelum akhirnya meninggal pada 12 April 1953.
3.2.

PENDEKATAN PSIKOANALISIS

Pendekatan psikoanalisis akan dilakukan untuk memahami latar belakang salah
satu karakter, yakni Pangeran Albert, khususnya mengenai faktor yang
membentuk perilaku dan sifatnya.
Pendekatan psikoanalisis berfokus pada aspek unconsciousness dalam diri
seseorang
seseorang.

yang

mempengaruhi

Aspek

persepsi,

ketidaksadaran

ini

tindakan,

merupakan

perilaku,
bagian

dan
dari

karya
kondisi

psikologisnya. Kondisi psikologis yang menentukan kepribadian seseorang saat
dewasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan anak pada tahap usia
Golden Age, yakni usia 0-5 tahun.
Prinsip pendekatan psikoanalisis adalah dengan melihat bahwa terjadinya suatu
perilaku, atau pengambilan keputusan untuk melakukan suatu tindakan,
merupakan hasil dari konflik antara Inctinctual Drive (id), ego, dan superego. Id
atau insting adalah naluri dasar kebinatangan dalam diri manusia, hasrat dasar
dan dorongan yang membuat manusia dapat survive

seperti naluri agresi,

dorongan biologis, dan trauma. Sifat id adalah mengutamakan azas pleasure,
tidak mengindahkan rasio, dan impulsif. Sedangkan superego adalah sisi dalam
pikiran manusia yang mengutamakan nilai-nilai yang dianut, seperti norma dan
kontrol sosial, yang berperan sebagai kontra dari dorongan-dorongan id. Adapun
ego adalah bagian dari pikiran yang bersifat rasional, berperan sebagai
pengambil keputusan yang bersifat kompromistis dari konflik antara id dan
superego.
3.3.

TEORI KREATIVITAS ATHYPICAL THINKING

3.3.1. Divergen Thinking
Kemampuan

kreativitas

seseorang

yang

dihubungkan

dengan

cara

pemikirannya dikemukakan oleh Guilford. Ia menyatakan bahwa individu
kreatif cenderung berpikir secara menyebar (divergen), bukan hanya
memusat

(konvergen).

menunjukkan

tingkat

Menurut
kekreatifan

Guilford,

ada

seseorang,

beberapa
yakni

hal

yang

kemampuannya

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 8

memiliki kosakata/perbendaharaan bahan yang siap dipakai (affluency),
memiliki fleksibilitas dalam pemikiran (flexibility), tidak konvensional, dan
memiliki pemikiran yang asli (originality).
Ciri pertama dengan sendirinya mengungkap ciri yang lain, yakni
kemauannya untuk mencari atau membekali diri dengan bahan tersebut
dan kemampuan untuk menerapkannya saat dihadapkan pada situasi
tertentu. Orang kreatif biasanya selalu ingin tahu dan giat mencari tahu
hal-hal yang membangkitkan minatnya.
3.3.2. Remote Associates Thinking
Konsep ini dikemukakan oleh Sarnoff Mednick pada 1960, yang berfokus
pada kemampuan seseorang menghasilkan hubungan-hubungan (asosiasi).
Individu yang kreatif ditandai oleh kemampuannya menghasilkan asosiasiasosiasi yang tidak biasa atau tidak terpikirkan sebelumnya, dalam waktu
singkat secara spontan.
3.3.3. Janusian Thinking
Konsep Janusian Thinking dimunculkan oleh Albert Rottenberg pada 1971.
Nama ini berasal dari nama dewa Romawi, Janus, dewa penjaga pintu dan
gerbang surga yang memiliki dua wajah. Konsep Janusian Thinking
berfokus pada antonimi, yakni perbandingan kata atau dua benda/hal yang
memiliki sifat-sifat yang berbeda. Dalam konsep ini, individu yang kreatif
dapat menemukan persamaan dari elemen-elemen yang tampaknya
berbeda (Irma Damajanti, perkuliahan 7 Maret 2011)
4. ANALISA KARAKTER TOKOH
Analisa mengenai kondisi psikologi dan kreativitas karakter dalam film ini akan
difokuskan pada dua karakter, yakni Pangeran Albert alias George VI dan Lionel
Logue. Kendati dalam konsep psikoanalisa di dunia nyata, tidak bisa dilakukan
pemisahan antara karakter seseorang dengan situasi yang membentuk atau
melatarbelakanginya,

analisa

dalam

tulisan

ini

hanya

akan

mengikuti

perkembangan karakter sebagaimana disampaikan dalam film. Dalam pembahasan
mengenai Pangeran Albert, akan dibahas mengenai hal-hal yang mempengaruhi
kondisi gagapnya dan cara dia mengatasinya. Sedangkan pembahasan mengenai

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 9

Lionel Logue akan terfokus pada karakter dan cara berpikir yang mendasari metode
penangannya sebagai terapis, tanpa menghubungkannya dengan hal-hal yang
mendasari terbentuknya karakter tersebut, karena hal tersebut tidak disampaikan
dalam film.

4.1.

GEORGE VI

Sang pangeran digambarkan sebagai seorang laki-laki yang pemalu, mudah
gugup, dan jarang berbicara karena menyadari kegagapannya. Pada pembukaan
film ini, diperlihatkan adegan sang pangeran membuka acara pameran di
Wembley Stadium mewakili ayahnya. Ia begitu gugup saat membacakan teks
tertulis, sehingga muncul keheningan yang panjang sebelum ia memulai kata
pertama. Saat membacakan teks, sang pangeran begitu terbata-bata sehingga
muncul banyak jeda dalam pidatonya. Ketidakmampuannya bicara lancar
menjadi rahasia publik kian diperparah oleh tekanan ayahnya, yang memang
mampu menyajikan pidato dengan baik, dan cemoohan kakaknya.
Dalam film, diceritakan Lionel menganggap kegagapan sang pangeran bukan
suatu kelainan fisiologis, tetapi dipicu oleh kondisi psikologisnya. Lionel terus
berusaha memancing Sang Pangeran mengeluarkan perasaannya. Akhirnya,
pada salah satu sesi terapi, sang pangeran menyebutkan beberapa latar
belakang kehidupannya yang turut membentuk karakternya, antara lain sikap
keras sang ayah, penanganan atas perbedaan fisiknya di masa kecil, rasa rendah
dirinya, dan rasa kesedihan atas kematian adiknya, Pangeran John. Di sini akan
dibahas tiga alasan di antaranya:
a) Sikap keras ayah
Ayahnya digambarkan sebagai seseorang yang tegas dan keras. Sebagai raja,
ia menaruh suatu target kesempurnaan yang harus dicapai oleh anakanaknya. Hal ini wajar sebenarnya, mengingat kedudukan sang anak sebagai
calon raja yang harus tampil berwibawa di depan rakyatnya. Bagi David, sang
ayah menetapkan persyaratan bagi calon istrinya. Sedangkan pada Albert,
sang ayah terus menuntut anaknya untuk lebih tegas dan berwibawa.
Sesungguhnya, sang raja bersikap lebih keras karena ia lebih mengharapkan
sang adik yang menjadi raja menggantikannya . Kegagapan anaknya

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 10

dianggap sebagai kelemahan yang bisa menurunkan martabatnya sebagai
calon raja.
Sikap keras ini membuat Albert memiliki kepribadian yang tidak percaya diri,
karena selalu merasa tidak sempurna melakukan segala sesuatunya. Ia
menjadi

sensitif,

mengutarakan

mudah

amarah

tersinggung

tersebut.

dan

marah,

tetapi

Ketidakmampuannya

ragu

untuk

mengungkapkan

perasaan secara verbal ini menjadi dasar dari kegugupannya.
Jika melihat teori bahwa karakter seseorang saat dewasa ditentukan oleh
perkembangan

psikologisnya

saat

masih

kanak-kanak,

tampak

bahwa

tekanan dari sang ayah yang terus menerus membentuk rasa permusuhan di
dalam diri Albert, namun hal ini tidak bisa dikemukakan ke luar. Sesuai
dengan teori Will and Guilty Concept, kepribadian pada saat dewasa
ditentukan oleh kemampuan anak mengatasi konflik antara keinginannya dan
keinginan orangtua. Anak yang menolak langsung cenderung menjadi anak
yang berkeinginan kuat dan mandiri, sedangkan anak yang menyesuaikan
dengan kehendak orangtua dengan ikhlas cenderung menjadi orang dewasa
yang taat aturan dan menghindari konflik. Masalah muncul pada anak yang
setengah menolak dan menerima dengan terpaksa. Beban antara id yang
tidak terpenuhi secara mutlak dan superego yang merasa bersalah karena
tidak melakukan aturan dengan sepenuh hati membuat anak dihantui rasa
bersalah. Anak seperti ini cenderung menjadi anak yang tidak sepenuhnya
mandiri, rendah diri, serta menderita konflik dan gangguan emosi (Irma
Damajanti,

perkuliahan

14

Februari

2011).

Hal

inilah

yang

rupanya

melatarbelakangi karakter Albert yang mudah gugup dan rendah diri.
b) Perbedaan fisik
Secara alamiah, ia kidal, tetapi etika yang mengharuskannya menggunakan
tangan

kanan

membuatnya

harus

mengubah

kebiasaannya.

Ia

juga

menderita genu valgum alias knock-knees, kelainan fisik pada tungkai kaki
yang membuat lutut berputar ke dalam dan bertemu saat kaki diluruskan,
sehingga kaki tampak bengkok membentuk huruf X. Hal ini dianggap sebagai
kelainan yang kurang baik, sehingga untuk menyembuhkannya, dipasang
metal splints yang membuat sang pangeran kecil merasa tersiksa.

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 11

Albert, sebagai anggota keluarga kerajaan, dipaksa untuk selalu tampil
sempurna, baik dalam penampilan maupun etika. Hal ini membuat Albert
yang saat itu masih anak-anak merasa bahwa dirinya yang ‘alamiah’, yang
‘asli’, yang ‘bergerak sebagaimana dikendalikan oleh hasratnya’, adalah
sesuatu yang buruk dan tidak dapat diterima. Tubuhnya yang ‘alamiah’ harus
diubah supaya bersesuaian dengan norma yang ada, dan proses perubahan
itu sendiri adalah hukuman, karena harus dilalui dengan rasa sakit dan
tersiksa. Hal ini menanamkan perasaan bahwa dirinya yang sesungguhnya
bukanlah diri yang dapat dengan normal diterima oleh lingkungan. Alasan
orang menjadi kidal sendiri tidak diketahui, tetapi orang kidal biasanya
cenderung

lebih

kreatif

dan

mampu

berpikir

cepat

(maulananusantara.wordpress.com). Namun, sedari kecil Albert diajari untuk
menolak insting ini, yang berarti menolak tubuhnya sendiri
Dorongan lingkungan untuk terus menekan instingnya sendiri membuat
Albert tumbuh menjadi orang yang rendah diri, mudah gugup, dan mudah
gemetar, yang turut berperan pada pembentukan sifat gagapnya. Sifat gagap
sendiri dapat dikaitkan dengan kegugupan dan rasa gemetar, karena
biasanya

orang

menjadi

gugup

saat

berada

dalam

tekanan,

yang

mengakibatkannya sulit mengeluarkan suara. Rasa gemetar sendiri muncul
saat seseorang merasa takut, atau menderita kecemasan berlebihan yang
disebut kecemasan neurosis (neurotic anxiety). Neurosis lahir sebagai reaksi
dari alam bawah sadar, ketika dihadapkan pada situasi tertentu yang secara
instingtif dikaitkan dengan suatu pengalaman traumatis di masa lalu
(www.scribd.com). Di sini, tubuh bereaksi sebagai akibat terungkapnya
memori masa lalu yang mengendap di alam bawah sadar, yang terpicu oleh
situasi masa kini yang dianggap memiliki kondisi atau kemiripan dengan
pengalaman traumatis terdahulu.
c) Inferiority feeling
Sebagai anak kedua yang bukan putra mahkota, Bertie merasakan inferioritas
dibandingkan dengan kakaknya, apalagi didukung oleh sikap inangnya
(nanny) semasa kecil yang lebih menyukai kakaknya ketimbang dirinya.
Pada masa itu, raja dan ratu tidak merawat sendiri anak mereka dan
menyerahkan pengasuhan pada inang, sementara pertemuan anak dengan

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 12

orangtua dilakukan dalam acara harian

yang disebut daily presentation.

Namun, sang inang, yang tidak menyukai situasi itu, biasa mencubit perut
sang pangeran kecil sehingga ia menangis dan dikembalikan kepada sang
inang. Ini membuat hubungan sang pangeran dengan orangtuanya tidak
terlalu dekat, bahkan ia sianggap sebagai anak yang lemah dan cengeng. Hal
yang berlangsung terus-menerus selama tiga tahun ini membuat sang
pangeran menderita sakit perut akut, yang berujung pada duodenal ulcer
yang mengganggu pekerjaannya saat menjabat sebagai perwira Angkatan
Laut.
Teori Inferiority Feeling pertama kali dikemukakan oleh Alfred Adler pad 1907.
Menurut Adler dalam Durbin (www.infinityinst.com) rasa inferior merupakan
perasaan yang lumrah pada diri manusia, tetapi biasanya karena dianggap
sebagai kelemahan, perasaan ini cenderung ditekan. Rasa inferior secara
natural membuat orang ingin mencapai suatu target untuk menunjukkan
dirinya, disebut striving for popularity.

Namun, pada beberapa orang,

penolakan pada perasaan ini cenderung membawa pada keinginan untuk
menunjukkan kekuasaan yang berlebihan, menunjukkan keegoisan dan
keinginan untuk selalu mendominasi, yang disebut superiority complex.
Sedangkan pada sebagian orang lain, ketidakmampuan untuk menangani
rasa inferiornya dan kegagalan yang terus menerus membawa pada
hilangnya rasa kepercayaan terhadap diri sendiri, yang membentuk citra diri
negatif yang disebut inferiority complex.
Sifat yang berkembang dalam diri Albert adalah inferiority complex, yang
muncul sebagai akumulasi dari perlakuan yang diterimanya pada masa kecil.
Harapan yang terlalu tinggi padanya sebagai putra raja, kondisi fisiknya pada
masa kecil yang dianggap tidak memenuhi ekspektasi lingkungan, tuntutan
lingkungan agar ia menolak ‘fitrah fisiknya’, serta tuntutan dari ayahnya yang
selalu menginginkan ia tampil sempurna menjadi beban pada diri Albert,
apalagi dengan kenyataan bahwa ia tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut.
Hal ini ditambah dengan ejekan dari sang kakak yang selalu menghina
kegagapannya dan sang ayah yang terus mendorongnya tetapi tidak
mempedulikan perasaan dan ketakutannya, membuat kondisi ini semakin
akut.
4.2.

LIONEL LOGUE

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 13

Ketika pada pertemuan pertama, sang pangeran ternyata dapat membaca
dengan jelas dan tanpa gugup ketika diharuskan bicara di depan mikrofon
sembari diperdengarkan lagu yang keras, Logue menyadari bahwa sebenarnya
Pangeran tidak menderita penyakit fisik yang membuatnya tak bisa bicara
lancar. Setelah ia mengajari latihan fisik dan hampir tak ada perubahan pada
kondisi bicara pasiennya, Lionel pun berasumsi bahwa kegagapan Albert berasal
dari kondisi psikologisnya. Ia sering memancing Albert mengeluarkan beban
pikiran dan mengutarakan pengalaman atau beban masa lalunya untuk
mengetahui latar belakang psikologisnya, tetapi hal ini tidak mudah karena sifat
sang pangeran yang cenderung menutup diri. Namun, Lionel tidak putus asa. Ia
kadang mengajukan pertanyaan dan pernyataan yang sekilas tampak tidak
penting dan membuat pasiennya bingung atau marah, tetapi kemudian diketahui
bahwa hal itu merupakan pancingan yang mengungkap kepribadian pasiennya.
Lionel seringkali menggunakan metode yang tidak biasa dalam dunia akademis
dan kedokteran, maupun terkesan kurang sopan jika dihubungkan dengan latar
belakang

pasien

yang

termasuk

anggota

keluarga

kerajaan.

Sifat

tidak

konvensionalnya sudah terlihat pada pertemuan pertama Lionel dengan Duchess
of York. Walaupun mengetahui bahwa orang yang akan menjadi pasiennya
adalah keluarga kerajaan, Lionel tetap berkeras pasiennya harus datang
menemuinya. Di sini terlihat kekuatan ego (ego strength) Lionel, yang
sebenarnya berdasar pada keyakinan bahwa untuk dapat sembuh, pasien
membutuhkan kepercayaan bahwa terapisnya dapat menyembuhkan, dan
menumbuhkan

ketergantungan

pada

terapis.

Kepercayaan

ini

berusaha

dibangun dengan menunjukkan bahwa pasien dan terapis berada pada
kedudukan yang setara dan tidak berjarak. Dengan menolak mendatangi pasien,
Lionel menyatakan bahwa dirinya tidak berada pada kedudukan di bawah pasien.
Lionel berusaha menjadi teman, bukan abdi sang pangeran. Tetapi, justru
kenyamanan ini yang membuat Albert kembali dan menaruh kepercayaan bahwa
Lionel dapat menyembuhkannya. Sebagai pangeran, ia terbiasa dipandang
dengan berjarak. Hal ini menimbulkan tekanan pada dirinya untuk tampil
sempurna. Dengan menempatkan dirinya di posisi yang sama dengan Lionel
yang orang kebanyakan, ia dapat menurunkan ketegangan dalam dirinya dan
dapat dengan nyaman mengeluarkan bebannya.
Pendekatan Lionel yang tidak biasa merupakan ciri orang yang kreatif.

Bukti

kreativitas Lionel sangat terlihat ketika sang pangeran meragukan kredibilitas

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 14

Lionel setelah mendapat laporan bahwa Lionel bukan dokter. Lionel tidak
menyanggah hal yang memang benar ini, tapi juga menegaskan bahwa ia tidak
menipu, karena memang tak pernah mengatakan bahwa ia dokter, tetapi ahli
terapi bicara. Ia menyatakan bahwa kompetensinya bukan lahir dari teori, tetapi
dari pengalamannya mengatasi kondisi traumatis dalam diri para prajurit yang
membuat mereka tak dapat bicara. Lionel memberikan contoh ini dengan
menekankan kesamaan yang dimiliki sang pangeran dalam hal ini, sekaligus
penekanan bahwa ia dapat menolong menanggulanginya berdasarkan bukti
pengalaman. Di sini tampak Lionel memanfaatkan hal yang sudah ia ketahui dan
mengemukakannya pada saat yang tepat, dengan menyatakan hubungan
analogi dari dua hal yang berbeda untuk menuntun kesimpulan orang pada arah
yang ia kehendaki.
Ketika sang raja masih meragukan kemampuan Lionel dan menyatakan
kekecewaannya, Lionel justru melanggar adat dengan duduk di singgasana
sakral yang hanya boleh diduduki raja pada upacara penobatan. Ia memancing
amarah sang raja dengan sengaja. Ia terus memotong argumen Albert dan
mempertanyakan semua dasar larangan itu, seakan mengejek bahwa sang raja
tidak berhak memerintahnya dan melarangnya karena ia tak punya ketegasan
dan tak bisa bersuara. Justru ketika sang pangeran berteriak marah dan
menyatakan "I have a voice", pernyataan inilah yang ditunggu Lionel. Ia melunak
tiba-tiba dan turun dari singgasana dengan wajah puas, yang membuat sang raja
sadar bahwa Lionel sengaja memancingnya untuk menyadarkannya bahwa
kekuatan raja yang dapat membuat orang menurut adalah pada ketegasannya
mengeluarkan perintah, bahwa sesungguhnya ia memiliki potensi tersebut, dan
bahwa Lionel dapat membantunya.
Di sini tampak bahwa Lionel memenuhi tiga konsep athypical thinking yang
dimiliki individu kreatif. Pertama adalah konsep pola berpikir menyebar
(divergen) dari Guilford. Ketika memberikan contoh mengenai pengalamannya
mengatasi trauma para tentara, Lionel yang sudah memiliki data yang bisa
digunakan untuk mengatasi suatu persoalan (affluency), memanfaatkan data
tersebut untuk kepentingannya. Di sini terlihat juga fleksibilitasnya dalam
berpikir (flexibility).
Ciri tidak konvensional (unconventionality) dan keaslian (originality) terlihat pada
tindakannya yang duduk di singgasana St. Edward. Tindakan ini bukan semata

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 15

tidak sopan atau menunjukkan pemberontakan, atau justru dilatarbelakangi
ketidaktahuan. Lionel yang sudah tahu sifat Albert, kedudukannya, dan harga
dirinya, sudah memprediksi reaksi sang raja, yang pada dasarnya adalah orang
yang cenderung menghindari konflik karena tidak percaya dengan dirinya
sendiri. Ia tahu sang raja akan tersinggung dan marah, tetapi takkan memanggil
penjaga dan menyeretnya turun. Ia tahu sang raja akan mengemukakan alasan
demi alasan dengan suara gagap, yang menunjukkan keengganannya untuk
berdebat dengan orang yang selama ini ia percaya. Lionel menunjukkan
kekeraskepalaannya dengan mendebat setiap perkataan raja untuk memancing
amarahnya, agar sang raja bertindak sesuai dorongan id dari alam bawah
sadarnya dengan mengabaikan superegonya. Lionel sudah terlebih dahulu tahu
bahwa kegagapan sang raja berasal dari kondisi psikologisnya. Dengan
melepaskan

dorongan

naluriahnya,

tanpa

dibatasi

nilai-nilai

etika

yang

dipelajarinya sebagai anggota keluarga kerajaan dan mengendap sebagai
superego dalam alam pikiran bawah sadarnya, sesungguhnya sang raja dapat
mengeluarkan potensi yang tidak ia sadari.
Kedua adalah konsep Janusian Thinking yang menyatakan bahwa individu yang
kreatif dapat menemukan persamaan dari hal-hal yang berbeda. Hal ini tampak
ketika Lionel menganalogikan kondisi mental raja yang mengalami kondisi
traumatis yang membuatnya bicara gagap dengan para prajurit perang. Bahkan
perbandingan ini bersifat lebih besar, karena kondisi traumatis yang dialami
korban perang tentunya lebih berat, yang bahkan membuat mereka tak dapat
bicara. Dengan mengemukakan contoh ini, Lionel menyatakan bahwa ia pernah
mengatasi kasus yang lebih berat demi mendapatkan kembali kepercayaan sang
raja.
Ketiga adalah konsep Remote Associates Thinking yang menyatakan bahwa
individu kreatif tak hanya dapat membuat asosiasi sederhana, tetapi hubunganhubungan yang tidak biasa dalam waktu yang singkat. Hal ini terlihat ketika
Lionel melakukan hal yang tabu dengan duduk di singgasana St. Edward ketika
sang raja sedang mengeluhkan kekecewaannya pada latar belakang akademis
Lionel. Terbukanya hal ini dengan sendirinya adalah hal yang berat, karena sang
raja bias menuduh Lionel melakukan penipuan dan menjatuhkan sanksi.
Seseorang yang tidak kreatif tentunya tidak akan berpikir bahwa melakukan hal
yang bertolakbelakang dengan perilaku yang diharapkan pada kondisi penuh
tekanan semacam itu dapat menjadi perilaku yang dapat membalikkan keadaan.

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 16

Setiap perkataan Lionel yang diucapkan saat mendebat raja tampak spontan dan
tidak sopan, tetapi sesungguhnya hal ini dilakukan dengan pertimbangan yang
matang, dengan tujuan akhir yang jelas yakni tersadarnya raja akan potensi
yang ia miliki. Konsep berpikir Janusian juga tampak di sini, karena pada
dasarnya upaya membersihkan diri dari tuduhan dan melakukan tindakan yang
melanggar etika adalah hal yang sepenuhnya bertentangan, tetapi Lionel dapat
melihat

bahwa

ekstremnya

kondisi

tersebut

dapat

dimanfaatkan

untuk

kepentingannya.
Contoh lain dari penerapan Janusian Thinking adalah ketika Lionel dengan
sengaja memancing Albert mengeluarkan hasrat terdalamnya sehubungan
dengan naiknya sang kakak sebagai raja. Lionel menyudutkan sang pangeran
untuk menyatakan keinginannya menjadi raja menggantikan kakaknya, karena ia
memang menganggap sang kakak sudah melakukan hal yang tidak pantas
dengan ingin menikahi janda yang sudah dua kali bercerai, dan bahwa ayahnya
pun menginginkan hal yang sama. Tetapi dorongan id ini selalu berusaha ditekan
dengan menonjolkan superegonya, yakni dengan pertimbangan moral bahwa ia
sebagai adik tidak pantas merebut takhta milik sang kakak. Pertimbangan lain,
bahwa ia tidak memiliki kemampuan bicara seperti sang kakak, yang lahir dari
rasa inferiornya, juga menekan hasrat itu.
Seharusnya, sebagai teman, sangat tidak pantas bagi Lionel untuk melakukan
hal yang bisa dianggap sebagai penghasutan dan pemberontakan. Namun,
tindakan Lionel ini sesungguhnya bukan untuk mempropagandai sang pangeran
demi menempatkan dirinya di tempat terhormat sebagai mentor raja, tetapi
murni karena kebutuhan mengatasi konflik batin pada diri sang pasien. Lionel
melihat bahwa tekanan id dan superego yang sangat kuat pada alam bawah
sadar Albert menimbulkan keraguan dan rasa beban dalam hatinya, yang
berpengaruh pada kegugupan dan kegagapannya dalam bicara. Dengan
membiarkan dirinya melontarkan hasrat id-nya, sesungguhnya sang pangeran
dapat mengurangi beban dalam dirinya.
Konsep athypical thinking juga sangat terlihat pada metode-metode Lionel dalam
melatih bicara pasiennya. Ia kerap meminta Albert meneriakkan kata-kata kasar
yang terlintas di dalam pikirannya, untuk mengeluarkan hasrat id-nya yang
biasanya ditekan etika (superego). Ia juga melihat bahwa dalam keadaan tenang
ketika menyanyi, Albert tidak bersuara gagap, sehingga ia menyuruh Albert

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 17

‘menyanyikan’ dan ‘menarikan’ isi pidato yang akan dibawakannya pada siaran
radio di akhir film.
Dengan proyeksi pola berpikir divergen dan Janusian Thinking, Lionel dapat
memperbaiki sifat gagap sang raja. Ia memang tidak mengobati seluruhnya,
tetapi ia justru dapat melatih agar kegagapan itu dialihkan dalam bentuk jeda
yang berhenti pada saat yang tepat dalam pidato. Saat sang raja membacakan
pidato pada masa perang, ia dapat mengubah kelemahan raja menjadi kekuatan,
yakni aset untuk membuat pidato tampak agung, khidmat, dan meningkatkan
ketegangan justru dengan mengatur jeda waktu pidato tersebut. Pidato George
VI yang syahdu dan tegang menjadi kontradiktif dengan pidato Hitler yang
berapi-api, yang justru menjadikan George VI sebagai lambang resistansi Inggris
terhadap supremasi dan agresi Jerman terhadap negara-negara Eropa lain pada
masanya.

5. KESIMPULAN
Teori-teori psikoanalisa dapat dipakai untuk menjelaskan karakter dan tindakan para
tokoh yang membangun alur cerita dalam sebuah film. Dalam pembahasan
mengenai karakter George VI dan Lionel Logue dalam The King’s Speech, dapat
digunakan dua pendekatan yang berbeda, yakni pendekatan psikoanalisa untuk
melihat landasan terbentuknya karakter George VI dan pendekatan kreativitas
athypical thinking untuk melihat tindakan Lionel Logue.
Teori psikoanalisa mengenai dorongan naluri, pembentukan kepribadian pada masa
golden ages, dan teori inferiority feeling dapat dipakai untuk menjelaskan karakter
dan sifat Raja George VI yang cenderung mudah gugup dan gaya bicaranya yang
gagap. Kegagapannya merupakan refleksi dari perasaan rendah diri akibat
akumulasi perlakuan-perlakuan negative sejak ia kecil, yang tidak menemukan jalan
pelampiasan. Setelah melakukan latihan yang memberi jalan untuk mengeluarkan
hasrat id-nya, sang raja dapat memperbaiki citra diri dan tercermin dalam gaya
bicaranya yang membaik.
Teori athypical thinking dapat dipakai untuk menjelaskan tindakan dan perilaku
tokoh Lionel dalam film yang seringkali aneh dan tidak berada pada tempatnya.
Dengan melihat tindakannya dari sudut yang berbeda, akan terlihat cirinya sebagai

Analisis Psikologi Karakter dalam Film The King’s Speech (2010) - 18

individu kreatif yang memenuhi setidaknya cirri-ciri dari tiga teori cara berpikir tidak
biasa, yakni Divergen Thinking, Remote Associate Test, dan Janusian Thinking.

REFERENSI
Dhublin, Chaplain Paul G. n.d. Alfred Adler's Understanding of Inferiority. Dalam Infinity Institute.
Diambil dari http://www.infinityinst.com/articles/alfred_adler.htm
Damajanti, Irma. 2011. Materi Perkuliahan Psikologi Seni Januari-Maret 2011.
King George VI of England. n.d. Dalam Wikipedia. Diambil dari http://en.wikipedia.org/
wiki/File:King_George_VI_of_England,_formal_photo_portrait,_circa_1940-1946.jpg
Lionel Logue. n.d. Dalam Wikipedia. Diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Lionel_Logue.
George
VI
of
the
United
Kingdom.
n.d.
Dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/ George_VI_of_the_United_Kingdom

Wikipedia.

Diambil

dari

Review. n.d. Dalam The King’s Speech. Diambil dari www.kingsspeech.com
The

King’s

Speech.

n.d.

Dalam

Movie’s

Review.

Maulana

Nusantara.

Diambil

dari

http://www.imdb.com/title/tt1504320/
Fakta

Orang

yang

Kidal.

n.d.

dalam

Diambil

dari

http://maulanusantara.wordpress.com/ 2010/ 08/ 23/fakta-orang-yang-kidal/
Konsep

Kecemasan.

2010,

13

Oktober.

www.scribd.com/doc/39239940/KONSEP-KECEMASAN

Dalam

Scribd.

Diambil

dari