TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERBANKAN EFEKTI

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM PERBANKAN
EFEKTIVITAS PENGAWASAN DAN
INDEPENDENSI OJK
DALAM MENCAPAI TUJUAN
Oleh : Gusnadi
NPM : 7110296

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan yang telah disahkan dan
ditetapkan menjadi Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tanggal 21 November 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan, menandai suatu perubahan besar dalam Sistem
Keuangan Negara. Undang-undang ini telah tertunda beberapa kali, yang sebelumnya
ditetapkan paling lambat pada akhir Desember 2002 dengan nama Lembaga Pengawas
Jasa Keuangan berdasarkan Pasal 34 UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Pasal ini kemudian di amandemen melalui UU No. 3

tahun 2004 yang tetap

mengamanatkan untuk membentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dengan
nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selambat-lambatnya akhir Desember 2010.
Berlarut-larutnya pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan, selain dari
pada tentu tidak terlepas dari kekhawatiran apakah lembaga ini dapat berfungsi dengan
baik, juga adanya benturan kepentingan dari lembaga-lembaga tinggi negara dan partaipartai politik. Ruang lingkup lembaga pengawas ini sangat luas tidak hanya meliputi
sektor perbankan, tetapi juga lembaga-lembaga keuangan non bank, asuransi dan dana
pensiun disatu sisi hal ini akan mengurangi fungsi eksekutif (dalam hal ini Kemenetrian
Keuangan) yang selama ini berfungsi sebagai regulator dan sebagai pengawas.
Selain dari pada itu banyaknya permasalahan yang terjadi, tidak hanya pada
sektor perbankan tetapi juga sektor jasa keuangan lainnya dan kejadian tersebut
mempunyai hubungan yang erat dan terkait satu sama lain. Tindakan Moral Hazard,
belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya astabilitas
sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan
di sketor jasa keuangan yang terintegrasi.
Otoritas Jasa Keuangan, yang dibentuk melalui undang-undang ini diharapkan
dapat menjawab tantangan dan permasalahan-permasalahan yang terjadi selama ini.

Karena dengan otoritasnya maka permasalahan lintas sektor dapat langsung ditangani
segera sesuai dengan kewenangannya.
Otoritas Jasa keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa
keuangan di dalam sektor jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara
secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan

yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung
kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing
nasional. Selain itu OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain,
meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor
jasa keuangan dengan tetpa mempertimbangkan aspek positif globalisasi.
Otoritas jasa keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola
perusahaan yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
transparansi dan kewajaran (fairness).
B. Tujuan
Secara umum, tujuan penulisan makalah ini adalah merupakan tugas dari Mata
Kuliah Hukum Perbankan dan merupakan bagian dari penilaian terhadap pemahaman
materi kuliah. Selain itu diharapkan juga mampu memberikan saran perbaikan terhadap
topik masalah yang didalam makalah ini.


BAB II
KERANGKA TEORITIS

A. Pencapaian Tujuan Organisasi, Pengendalian dan Risiko
Setiap organisasi dibentuk didasarkan pada adanya tujuan yang hendak dicapai
oleh organisasi tersebut. Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo, mengemukakan bahwa
Organisasi adalah;
“Struktur tata pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara
sekelompok orang-orang pemegang posisi yang bekerja sama secara tertentu
untuk bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu”.1
Dari batasan tersebut, maka yang pertama kali harus ada adalah tujuan dari
organisasi. Sebuah organisasi tanpa tujuan, maka tidak dapat disebut organisasi. Karena
organisasi diciptakan untuk mencapai tujuan dengan cara bekerja bersama-sama, dengan
mengatur tata kerja dan hubungan kerja. Tujuan organisasi harus dicapai dengan cara
yang efektif juga efisien dan ekonomis, oleh karena itulah maka dalam pengelolaannya
haruslah memenuhi kriteria-kriteria tersebut sehingga hasil yang dicapai akan
memuaskan.
Dalam mengelola organisasi agar tercapai tujuan maka perlu dan harus diciptakan
suatu Sistem Pengendalian Internal (Sistem Pengendalian Manajemen) yang kuat.

Pengendalian adalah merupakan salah satu fungsi manajemen yang penting.
Pengendalian difahami sebagai usaha untuk mengarahkan dicapainya tujuan.
Pengendalian Internal oleh COSO didefinsikan sebagai:
“a process, effected by an entity’s board of directors, management and other
personal, designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of
objectives in the following categories:
a. Effectiveness and efficiency of operations
b. Realibility of financial reporting
c. Compliance with laws and regulations”2

1
Adam I. Indrawijaya. Perilaku Organisasi. Cet. 6. (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2000). Hal. 4.
2
Steven J. Root., Beyond COSO Internal Control to Enhance Corporate Governance,
(New York: John Wiley & Sons., 1998.). hal. 118.

Internal Control versi COSO, terdiri dari 5 (lima) elemen, yaitu:
a. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
b. Penilaian Risiko (Risk Assessment)

c. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
d. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)
e. Pemantauan (Monitoring)
Disamping

Pengendalian

Internal,

didalam

kegiatan

operasinya

perusahaan/lembaga akan menghadapi berbagai risiko-risiko. Penerapan manajemen
resiko menjadi hal yang perlu tidak hanya pada lembaga keuangan tetapi juga pada
lembaga pengawas seperti OJK.
The Committee of Sponsoring Organization of The Treadway Commision (COSO)
mengembangkan pengertian risiko sebagai suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan

akan mempengaruhi suatu organisasi dalam tujuan dan sasarannya. Berkaitan dengan
pengertian risiko dari COSO ini, beberapa hal pokok dari formulasi risiko yang dapat
dipahami adalah:
1. Risiko berawal dari perumusani strategi dan perencanaan tujuan organisasi.
2.

Risiko merupakan kemungkinan yang dapat terjadi di mana unsur
ketidakpastian merupakan hal dominan yang ada di dalamnya.

3. Risiko nantinya berkaitan erat dengan upaya pencegahan akan hal yang tidak
diinginkan.
4. Risiko tidak bisa dipisahkan dalam semua aspek kehidupan dan oleh
karenanya ketidakpastian itu selalu ada serta melekat di dalam aktivitas
kegiatan yang dilaksanakan.
Manajemen risiko, dilakukan melalui 4 (empat) tahapan:
1. Risk Identfication
2. Quantitative or qualitative assessment of the documented risks
3. Risk priotization and responese planning
4. Risk Monitoring.3


B. Independensi
3
Robert E. Muller,, COSO Enterprise Risk Management Understanding the New
Integrated ERM Framework, (New York: John Wiley & Sons., 2007.) hal. 22.

Independensi adalah hal yang selalu kita bicarakan banyak kalangan ketika
membicarakan adanya suatu keberpihakan atau intervensi terhadap orang atau lembaga
dalam pengambilan keputusan. Didalam UU OJK Pasal 2 ayat (2) dinyatakan “OJK
adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam
undang-undang ini”. Independen yang dimaksud dalam pasal ini adalah bebas dari
campur tangan pihak lain.
Didalam Profesi Akuntan atau Auditor, independen adalah menjadi suatu
persyaratan etik yang mutlak harus dipegang teguh. Independen diartikan sebagai “An
unbiased viewpoint in performing audit tests, evaluating the results, and issuing the
audit report.”.4 Terdapat dua hal yang di identifikasikan sebagai independen, pertama
“Independence in fact” dan “Independence in appearance”5. “Independence in fact”
adalah ketika auditor secara sungguh-sungguh tetap menjaga sikap yang tidak memihak
(unbiased) dalam melaksanakan auditnya, sedangkan “Independence in appearance”
adalah munculnya interpretasi orang terhadap auditor karena adanya hubungan antara

auditor dengan yang diaudit. Baik karena hubungan darah dan kekerabatan atau karena
hubungan konflik kepentingan karena keterkaitan kepemilikan auditor terhadap
perusahaan atau entitas yang diauditnya.

BAB III
4
Alvin A. Arens, Randal J. Elder, Mark S. Beasley. Auditing and Assurance Services,
An Integrated Approach. Ninth Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 2003) , hal. 83.
5

Ibid., hal. 84.

ANALISA MASALAH
A. Pokok-pokok Masalah
Bank indonesia didirikan dengan tujuan untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah dengan tugas; menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan mengatur dan mengawasi
bank6. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didirikan dengan tujuan agar
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan; terselenggara secara teratur, adil,
transparan dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil, dan; mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat. OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.7
Dengan ditetapkannya undang-undang Otoritas Jasa Keuangan maka fungsi
pengawasan bank secara individual (mikro prudensial) menjadi kewenangan OJK,
namun demikian Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengawasi makro
prudensial dan tetap dapat melakukan pemeriksaan bank secara individual.
Pengalaman perbankan Indonesia dalam 20 tahun terakhir ini tentu menjadi
pengalaman berharga untuk mengantisipasi krisis jika terjadi dikemudian hari. Untuk itu
dalam RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan telah diatur mekanisme koordinasi
dalam pencegahan dan penanganan krisis. Bank Indonesia akan ditetapkan sebagai
otoritas kebijakan makro prudensial dan dibentuk Forum Koordinasi dengan lembaga
terkait (Kemenkeu, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan), dalam rangka menetapkan
kriteria krisis dan sistemik.
Bank Indonesia yang mempunyai tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, juga diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan bank dan lembaga
keuangan bukan bank dalam pemeliharaan sistem pembayaran yang aman, lancar dan
efisien.
Dari tugas dan fungsi masing-masing lembaga tersebut, OJK, Bank Inonesia, LPS
dan Kementerian Keuangan terdapat fungsi-fungsi yang memungkinkan terjadinya

tumpang tindih dan menimbulkan permasalahan didalam pelaksanannya. Beberapa
permasalahan yang menjadi pertanyaan adalah:
6
Indonesia, Undang-undang tentang Bank Inodnesia, UU No. 23, LN No. 66 Tahun
1999, TLN No. 3843.
7
Indonesia, Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21, LN. No. 111
tahun 2011, TLN. No. 5253.

1. Apakah rentang kendali pengawasan terhadap seluruh Lembaga Jasa
Keuangan oleh OJK dapat efektif?
2. Sejauh mana koordinasi antara Bank Indonesia (macro prudential supervision)
yang mengawasi kestabilan sistem keuangan dengan OJK yang mempunyai
wewenang mengawasi lembaga jasa keuangan secara individual (micro
prudential supervision) akan dapat efektif dalam menangani lembaga jasa
keuangan bermasalah dan mencegah sampai kepada early warning system
mengenai terjadinya krisis keuangan?
3. Bagaimana cara mengoptimalkan perlindungan konsumen lembaga jasa
keuangan sebagai contoh kasus tewasnya Irzen Okta nasabah kartu credit City
Bank oleh Debt Collector tidak terjadi lagi?

4. Apa dan bagaimana pelaksanan mengenai independensi OJK? Bagaimana
perbedaan independensi BI dan independensi OJK?
5. Apakah dengan ditetapkannya UU OJK maka moral hazard yang terjadi
seperti halnya kasus Reksadana Antaboga di Bank Century dan kasus
Reksadana Bank Global dapat di cegah?
6. Bagaiamana cara mencegah kasus Northern Rock Bank di Inggris tidak dapat
terjadi?
7. Bagaimana dengan pengawasan terhadap lembaga keuangan yang berbasis
prinsip syariah karena UU OJK tidak terlalau definitif menetapkan hal-hal
yang terkait dengan pengembangan Lembaga Keuangan Syariah?
8. Apakah pemberian kewenangan OJK untuk melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana di bidang jasa keuangan tepat dan dapat mempercepat penangan
tindak pidana tersebut atau justru menambah birokrasi dalam penyidikan
kasus-kasus tersebut?

B. Analisis Masalah
1.

Efektivitas Rentang Kendali Pengawasan OJK
Tidak dapat dipungkiri bahwa ruang lingkup tugas OJK sedemikian
luasnya, oleh karena itu memang menjadi pertanyaan apakah dengan ruang lingkup
yang sedemikian luas maka pengawasan yang dilakukan OJK dapat efektif.
Keraguan akan efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh OJK semakin
bertambah karena OJK harus menyatukan kultur yang berbeda dari fungsi

pengawasan yang selama ini dijalankan oleh BI terhadap perbankan dan fungsi
pengawasan terhadap lembaga keuangan lainnya yang dilakukan oleh Kementerian
Keuangan (Bapepam-LK).
Efektivitas diartikan sebagai suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh
target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana
target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. 8 Oleh karena itu maka tentu harus
dilihat sejauh mana target yang hendak dicapai dalam pengawasan yang dilakukan
oleh OJK terhadap seluruh Lembaga Jasa Keuangan.
Dalam mencapai target dari suatu organisasi, maka ada risiko-risiko yang
akan dihadapi oleh suatu organisasi. The Committee of Sponsoring Organization of
The Treadway Commision (COSO) mengembangkan pengertian risiko sebagai suatu
peristiwa yang mungkin terjadi dan akan mempengaruhi suatu organisasi dalam
mencapai tujuan dan sasarannya.9Pada tahun 2003, COSO menerbitkan suatu draft
paper mengenai kerangka Enteprise Risk Management (ERM), dengan tujuan
menyajikan kepada manajemen model umum yang dapat diterima untuk
mendiskusikan, menganalisis, dan mengevaluasi usaha-usaha untuk mengelola risiko
usaha.

Menurut kerangka COSO, Enterprise Risk Management (ERM) adalah

proses yang dipengaruhi oleh direksi, manajer, dan seluruh personil organisasi, yang
diterapkan mulai dari perencanaan strategi organisasi hingga ke seluruh tingkatan
dan aspek kegiatan organisasi. Tujuan ERM adalah menyajikan keyakinan yang
semestinya berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi melalui identifikasi
kejadian-kejadian yang mungkin dapat mempengaruhi organisasi dan pengelolaan
risiko sesuai harapan organisasi.10
Dalam konsep ERM yang terdiri dari 8 (delapan) komponen yang saling
berhubungan satu sama lain. Salah satu komponen tersebut adalah “lingkungan
internal” (Internal Environment). Lingkungan internal merupakan dasar dari seluruh
komponen ERM, beberapa sub komponen dalam komponen lingkungan internal
adalah; Standar SDM, Integritas dan Nilai Etika, Komitemen terhadap kompetensi,
wewenang dan tanggungjawab.

8
http://insanicita.blogspot.com/2012/05/efektivitas.html, diunduh tanggal 1 Juli
2012.
9
Tim Penyusun Modul Pendidikan Non Gelar Audit Sektor Publik, Sistem
Pengendalian Internal, Cet. 1,. (Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, 2007) , hal.
87.
10
Ibid., hal. 90.

Oleh karena itu untuk melihat apakah rentang kendali pengawasan OJK
efektif, maka yang terutama adalah adanya SDM OJK yang mempunyai kompetensi,
diberikan wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan kedudukan dan fungsinya,
mempunyai integritas dan menjunjung tinggi nilai etika. Selain itu menumbuhkan
kesadaran akan risiko pada seluruh personil OJK.
2.

Efektivitas Koordinasi BI dan OJK dalam Menangani Lembaga Keuangan
Bermasalah dan Pencegahan krisis
Koordinasi antar organisasi dalam lembaga negara sering menjadi
permasalahan krusial dalam proses pengambilan keputusan. Selain masalah kultur
organisasi yang berbeda ditambah permasalahan arogansi kelembagaan menjadi
hambatan dalam melakukan koordinasi.
Jika melihat

struktur OJK, dimana susunan Dewan Komisioner

beranggotakan 9 (sembilan) orang, dimana anggotanya termasuk seorang anggota
Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia dan seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang
merupakan pejabat setingkat Eselon I Kementerian Keuangan. 11 Maka diharapkan
permasalahan koordinasi menjadi lebih baik, walaupun tentu bukan tidak ada
hamabatan.
Struktur anggota Dewan Komisioner yang didalamnya terdapat anggota ExOfficio justru diharapkan akan menghilangkan hambatan dalam koordinasi. Karena
permasalahan yang terjadi dengan segera dapat diketahui oleh pejabat BI maupun
Kemenkeu. Sistem koordinasi yang selama ini tidak jelas pengaturannya, didalam
UU OJK telah didtetapkan yaitu di Bagian Kedua, Protokol Koordinasi, mulai dari
Pasal 44 s.d. Pasal 46. Pada pasal-pasal tersebut ditetapkan, bahwa untuk menjaga
stabilitas sistem, dibentuk sebuah Forum yang dinamai Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem Keuangan yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua
Dewan Komisisoner OJK dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS).

11
Indonesia, Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 10 ayat (4). UU
No. 21, LN. No. 111 tahun 2011, TLN. No. 5253

3.

Optimalisasi Perlindungan Konsumen Lembaga Jasa Keuangan
Perlindungan terhadap konsumen jasa keuangan, memang selama ini
menjadi masalah. Beberapa kasus yang terjadi, mislanya kasus tewasnya Irzen Okta
nasabah kartu kredit City Bank oleh Debt Collector. Intimidasi atas nasabah-nasabah
yang menunggak dan penyelesaian masalah yang dilakukan di luar kerangka
penyelesaian yang patut, telah mewarnai lemahnya perlindungan terhadap
konsumen.
Bank Indonesia sebagai otoritas jasa keuangan perbankan, telah melakukan
langkah-langkah untuk mengantisipasi permasalahan konsumen. OJK kedepan tentu
diharapkan lebih lagi dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. Didalam
UU tentang OJK hal ini telah menjadi perhatian, dan didalam struktur komisoner
terdapat seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan konsumen.
Kepala eksekutif yang duduk dalam lembaga OJK perlu menguasai
perlindungan konsumen. Dengan demikian, masyarakat akan dapat terlindungi
dengan baik manakala terjadi hal yang merugikan.12
Dalam rangka optimalisasi perlindungan terhadap konsumen, maka tentu
OJK harus melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Yasayan atau Lembaga
yang mengkhususkan diri dalam perlindungan konsumen. Regulasi yang
memberikan perlindungan yang cukup kepada konsumen dengan tidak mengabaikan
juga perlindungan terhadap lembaga jasa keuangan itu sendiri

4.

Independensi OJK dan Perbedaan Independensi BI dengan OJK
Didalam UU OJK Pasal 2 ayat (2) dinyatakan “OJK adalah lembaga yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”.
Independen yang dimaksud dalam pasal ini adalah bebas dari campur tangan pihak
lain. Sedangkan di dalam UU Bank Indonesia, mengenai independensi BI, pada
Pasal 4 ayat (2) dinyatakan ”Bank Indonesia adalah lembaga negara yang
independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya,
kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”.

12
http://www.infobanknews.com/2012/07/ojk-perlu-perkuat-perlindungankonsumen/. Diunduh tgl 6 Juli 2012.

Dilhat dari pasal-pasal yang mengatur mengenai “Independensi” OJK
dengan BI, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa untuk Bank Indonesia,
campur tangan pemerintah dalam pengambilan keputusan di BI adalah intervensi
yang melanggar independensi, sedangkan OJK campur tangan pemerintah dapat
dianggap bukan intervensi yang melanggar prinsip independensi.
Independensi dalam Penjelsan UU OJK bahwa Independensi tercermin
dalam kepemimpinan OJK, yang disebutkan bahwa gambaran independen ialah
adanya kepastian masa jabatan dan mekanisme seleksi pimpinan OJK yang
transparan, akuntabel dan melibatkan partisipasi publik. Selain itu pada Bagian
Kelima mengenai Larangan, pasal 22 huruf a diatur mengenai konflik kepentingan,
hal ini salah satu penerapan dari penjagaan sikap independensi para anggota dewan
komisioner.
Independensi adalah hal yang selalu menjadi perhatian banyak kalangan.
Wakil Presiden RI, Boediono, dalam pidato pembukaan Seminar Nasional tentang
Otoritas Jasa Keungan di Jakarta, Rabu (21/12/2011) menyatakan bahwa:
“Independensi OJK harus dimaknai secara pas. Independensi tidak berarti
lepas sama sekali dengan pemerintah, BI atau DPR. Intinya adalah
independensi ini adalah untuk menjaga jangan sampai ada intervensi yang
tidak patut dalam pengambilan keputusan. Dalam menilai kesehatan suatu
bank, OJK harus benar-benar independen. Tidak boleh ada intervensi dari
pihak-pihak manapun. Namun dalam hal melaksanakan tugas sebagai
bagian dari sistem pengendalian keuangan yang lebih luas, OJK harus
memiliki sistem koordinasi dan komunikasi dengan lembaga terkait lainnya.
Oleh sebab itu, nanti dalam operasionalisasi sangat penting independensi ini
dijabarkan. Bukan lepas, tetapi sesuatu yang berkaitan dalam sistem yang
lebih besar lagi.”13
Didalam Profesi Akuntan atau Auditor, independen adalah menjadi suatu
persyaratan etik yang mutlak harus dipegang teguh. Independen diartikan sebagai
“An unbiased viewpoint in performing audit tests, evaluating the results, and issuing
the audit report.”.14 Terdapat dua hal yang di identifikasikan sebagai independen,
13
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/21/17301319/Independensi.OJK.Perlu.Di
ajabarkan diunduh tanggal 1 Juli 2012.
14
Alvin A. Arens, Randal J. Elder, Mark S. Beasley. Auditing and Assurance Services,
An Integrated Approach. Ninth Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 2003) , hal. 83.

pertama

“Independence

in

fact”

dan

“Independence

in

appearance”15.

“Independence in fact” adalah ketika auditor secara sungguh-sungguh tetap menjaga
sikap yang tidak memihak (unbiased) dalam melaksanakan auditnya, sedangkan
“Independence in appearance” adalah munculnya interpretasi orang terhadap auditor
karena adanya hubungan antara auditor dengan yang diaudit. Baik karena hubungan
darah dan kekerabatan atau karena hubungan konflik kepentingan karena keterkaitan
kepemilikan auditor terhadap perusahaan atau entitas yang diauditnya.
Oleh karena itu, indenpensi memang perlu diperluas, tidak hanya terhadap
OJK sebagai lembaga, tetapi juga kode etik bagi para auditornya yang akan
melakukan pengawasan/pemeriksaan di lembaga jasa keuangan. Baik secara “in
fact” maupun secara “in appearance”. Juga harus disusun dalam kode etik (code of
conduct) organisasi mengenai independensi, sehingga tidak hanya Dewan
Komisioner juga karyawan OJK dapat menjaga sikap independennya..
5.

Apakah Moral Hazard dapat dicegah dengan UU OJK
Beberapa kasus yang terjadi di dunia perbankan,

yang pada akhirnya

menyeret para pengambil keputusan di lembaga-lembaga pemerintah dengan dugaan
tindak pidana, amat memprihatinkan. Moral Hazard pada kasus Reksadana
Antaboga di Bank Century ataupun kasus reksadana Bank Global tentu tidak
semata-mata karena lemahnya sistem akan tetapi juga karena adanya keinginan atau
kehendak pelaku.
UU OJK tentu tidak dapat menghapus moral hazard, akan tetapi dengan
adanya sistem pengawasaan lembaga jasa keuangan dalam satu atap akan
memudahakn

melokalisir

permasalahan

dan

pencegahan

lebih

dini

dapat

dilakukan.Transaksi antar lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan
akan lebih mudah dikorelasikan. Terpenting dari semua itu, diharapkan dengan
adanya OJK maka sistem penataan antar lembaga keuangan menjadi lebih baik.
6.

Pencegahan Kasus Seperti Norhtern Rock, Inggris Terjadi di Indonesia
Kasus Northern Rock, menjadi pelajaran berharga dalam penataan OJK.
Jika melihat kasus tersebut, yaitu Bank of England, tidak memperoleh data sama
sekali atas ekspansi kredit yang dilakukan oleh bank tersebut. Mungkin agak
berbeda antara FSA (Financial Supervisory Agency) di Inggris dengan OJK, dalam

15

Ibid., hal. 84.

Dewan Komisioner OJK terdapat anggota yang berasal dari BI, sehingga
permasalahan yang terjadi pada mikro prudensial, pejabat bank sentral dapat
mengetahui secara langsung melalui anggotanya yang duduk di Dewan Komisioner.
Oleh karena itu penanganan permasalahan akan lebih cepat, disamping itu wakil dari
pemerintah juga duduk didalamnya, sehingga penanganan masalah bisa lebih cepat.
Tentu tidak semata-mata masalah koordinasi, masalah regulasi dalam
lembaga jasa keuangan menjadi hal yang sangat penting. Regulator yang baik tentu
akan menerbitkan peraturan yang memberikan perlindungan bagi para stakeholdersnya. Penerapan Good Corporate Governance pada lembaga jasa keuangan menjadi
hal yang mutlak disamping manajemen resiko.

7.

Pengawasan Terhadap Lembaga Keuangan yang Berbasis Prinsip Syariah
Didalam UU OJK tidak secara ekplisit menegaskan pengaturan mengenai
Lembaga Jasa Keuangan Syariah. Secara umum didala Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan Perbankan dalam UU ini
adalah, “segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara
konvensional dan syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah”.
Dari definisi tersebut maka obyek pengawasan dan pengaturan yang
dilakukan oleh OJK termasuk perbankan syariah. Terhadap lembaga jasa keuangan
lainnya non-bank, walaupun tidak disebut secara eksplist, maka sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi OJK maka baik berbasis umum maupun syariah tetap menjadi
kewenangan OJK.

8.

Kewenangan OJK Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang
Jasa Keuangan
Suatu pertanyaan yang menarik adalah, apakah kewenangan OJK untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan tepat dan
dapat mempercepat penanganan tindak pidana tersebut atau justru menambah
birokrasi dalam penyidikan kasus-kasus pidana tersebut?.

Ketentuan yang mengatur mengenai penyidikan adalah pada Bab XI
Penyidikan, mulai dari Pasal 49 sampai dengan Pasal 51. Berdasarkan Pasal 49 ayat
(1), bahwa penyidik yang dapat melakukan penyidikan adalah Penyidik POLRI dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Pada Pasal 49 ayat (2) Pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dala Pasal 27 ayat (2) dapat diangkat menjadi PPNS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 27 ayat (2) OJK dapat mempekerjakan
pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan.
Ketentuan mengenai penyidikan dalam UU OJK ini tidak secara jelas
mengatur kedudukan dan hubungan PPNS tersebut dengan Dewan Komisioner OJK.
Pada Pasal 50 PPNS menyampaikan hasil penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan
penuntutan dan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari Jaksa wajib menindak
lanjuti. Pada Pasal 51 PPNS yang dipekerjakan di OJK hanya dapat ditarik dengan
pemberitahuan paling singkat 6 (enam) bulann sebelum penarikan dan tidak sedang
menangani perkara.
Penanganan perkara tindak pidana dilakukan oleh OJK dan hasilnya
langsung dikirimkan kepada jaksa serta tindak lanjut jaksa maksimal 90 hari, tentu
terlihat akan mempercepat penanaganan perkara tindak pidana. Namun tergantung
dari pengaturan internal di dalam OJK sendiri, bagaimana proses penanganan tindak
pidana yang dilakukan oleh PPNS dan kedudukannya dalam struktur OJK. Jika
pengaturan internal OJK menghendaki harus dibahas dan ditelaah oleh atau Kepala
Eksekutif teretentu dan dibahas di Dewan Komisioner, maka akan terjadi birokrasi.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari analisis terhadap pokok-pokok masalah, yang dikemukanan pada Bab III
dapat di simpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Efektivitas rentang kendali pengawasan OJK harus dilihat terutama adalah adanya
SDM OJK yang mempunyai kompetensi, diberikan wewenang dan tanggung jawab
sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, mempunyai integritas dan menjunjung tinggi
nilai etika. Selain itu menumbuhkan kesadaran akan risiko pada seluruh personil OJK.
2. Struktur anggota Dewan Komisioner yang didalamnya terdapat anggota Ex-Officio
justru diharapkan akan menghilangkan hambatan dalam koordinasi. Karena
permasalahan yang terjadi dengan segera dapat diketahui oleh pejabat BI maupun
Kemenkeu. Sistem koordinasi yang selama ini tidak jelas pengaturannya, didalam UU
OJK telah didtetapkan yaitu di Bagian Kedua, Protokol Koordinasi, mulai dari Pasal
44 s.d. Pasal 46. Pada pasal-pasal tersebut ditetapkan, bahwa untuk menjaga stabilitas
sistem, dibentuk sebuah Forum yang dinamai Forum Koordinasi Stabilitas Sistem
Keuangan yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan
Komisisoner OJK dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
3. Dalam rangka optimalisasi perlindungan terhadap konsumen, maka tentu OJK harus
melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Yasayan atau Lembaga yang
mengkhususkan diri dalam perlindungan konsumen. Regulasi yang memberikan
perlindungan yang cukup kepada konsumen dengan tidak mengabaikan juga
perlindungan terhadap lembaga jasa keuangan itu sendiri.
4. Indenpensi OJK sebagai lembaga, perlu diperluas tidak hanya kepada Lembaga dan
Dewan Komisionernya tetapi juga kode etik bagi para auditornya yang akan
melakukan pengawasan/pemeriksaan di lembaga jasa keuangan. Baik secara “in fact”
maupun secara “in appearance”. Juga harus disusun dalam kode etik (code of conduct)
organisasi mengenai independensi, sehingga tidak hanya Dewan Komisioner juga
karyawan OJK dapat menjaga sikap independennya.
5. UU OJK tentu tidak dapat menghapus moral hazard, akan tetapi dengan adanya sistem
pengawasaan lembaga jasa keuangan dalam satu atap akan memudahakn melokalisir
permasalahan dan pencegahan lebih dini dapat dilakukan. Transaksi antar lembaga
keuangan baik perbankan maupun non perbankan akan lebih mudah dikorelasikan.

Terpenting dari semua itu, diharapkan dengan adanya OJK maka sistem penataan antar
lembaga keuangan menjadi lebih baik
6. Pencegahan terhadap masalah seperti kasus Northtern Rock, dapat dicegah dengan
koordinasi antar lembaga. Tentu tidak semata-mata masalah koordinasi, masalah
regulasi dalam lembaga jasa keuangan menjadi hal yang sangat penting. Regulator
yang baik tentu akan menerbitkan peraturan yang memberikan perlindungan bagi para
stakeholders-nya. Penerapan Good Corporate Governance pada lembaga jasa
keuangan menjadi hal yang mutlak disamping manajemen resiko
7. Dari definisi tersebut maka obyek pengawasan dan pengaturan yang dilakukan oleh
OJK termasuk perbankan syariah. Terhadap lembaga jasa keuangan lainnya non-bank,
walaupun tidak disebut secara eksplist, maka sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
OJK maka baik berbasis konvensional maupun syariah tetap menjadi kewenangan
OJK.
8. Penanganan perkara tindak pidana dilakukan oleh OJK dan hasilnya langsung
dikirimkan kepada jaksa serta tindak lanjut jaksa maksimal 90 hari, tentu terlihat akan
mempercepat penanaganan perkara tindak pidana. Namun tergantung dari pengaturan
internal di dalam OJK sendiri, bagaimana proses penanganan tindak pidana yang
dilakukan oleh PPNS dan kedudukannya dalam struktur OJK. Jika pengaturan internal
OJK menghendaki harus dibahas dan ditelaah oleh atau Kepala Eksekutif teretentu dan
dibahas di Dewan Komisioner, maka akan terjadi birokrasi
B. Saran
Dari kesimpulan atas analisis terhadap pokok-pokok masalah, yang dikemukanan
diatas beberapa hal yang perlu disaran sebagai berikut:
1.

Rekruitmen dan penempatan SDM yang kompeten, diberikan wewenang dan
tanggung jawab sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, mempunyai integritas dan
menjunjung tinggi nilai etika.

2.

Koordinasi dan kerjasama dengan Yasayan atau Lembaga yang mengkhususkan diri
dalam perlindungan konsumen. Membuat regulasi yang memberikan perlindungan
yang cukup kepada konsumen dengan tidak mengabaikan juga perlindungan terhadap
lembaga jasa keuangan itu sendiri.

3.

Standar dan Norma serta kode etik yang mencerminkan Indenpensi harus dibangun
dan diterapkan secara konsisten

4.

Kasus seperti Northtern Rock, dapat dicegah dengan koordinasi antar lembaga.
Penerapan Good Corporate Governance pada lembaga jasa keuangan menjadi hal
yang mutlak disamping manajemen resiko

DAFTAR PUSTAKA

Arens, Alvins A. and Elder, Randal J., Beasley, Mark S..
Auditing and Assurance Services, an Integrated Approach.
9 ed. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.
Inc., 2003.
Indrawijaya, Adam I A.. Perilaku Organisasi. Cet. 6,. Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2000.
Tim Penyusun Modul Pendidikan Non Gelar Audit Sektor Publik,
Sistem Pengendalian Internal, Cet. 1,. Jakarta: Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara, 2007.
Root, Steven J., Beyond COSO Internal Control to Enhance
Corporate Governance, New York: John Wiley & Sons., 1998.
Muller,
Robert
E.,
COSO
Enterprise
Risk
Management
Understanding the New Integrated ERM Framework, New York:
John Wiley & Sons., 2007.
UNDANG-UNDANG
Indonesia. Undang Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan. UU
No. 21 tahun 2011. LN No. 111 tahun 2011, TLN. No.5253.,
Indonesia. Undang Undang Tentang Bank Indonesia. UU No. 23
tahun 1999. LN No.66 tahun 1999, TLN. No. 3843.

SITUS INTERNET
http://insanicita.blogspot.com/2012/05/efektivitas.html,
diunduh tanggal 1 Juli 2012.
http://www.infobanknews.com/2012/07/ojk-perlu-perkuatperlindungan-konsumen/. Diunduh tgl 6 Juli 2012.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/21/17301319/Inde
pendensi.OJK.Perlu.Diajabarkan
diunduh tanggal 1 Juli 2012.