PERKAWINAN sebuah budaya yang kuat

PERKAWINAN TANPA PERNIKAHAN
( Suatu Tinjauan Etis Teologis)
Oleh: Jenri Teuf, MTh.
A. Latar Belakang Masalah
Peneliti menemukan suatu kesenjangan sosial yang
menyebabkan terjadinya perkawinan tanpa ikatan pernikahan dalam
Gereja dan pencatatan sipil. Esensi sebuah keluarga dinyatakan resmi
berkeluarga apabila telah dinyatakan sah secara adat dan
diproklamirkan dari pihak keluarga saja. Jadi dalam hal ini, seorang
laki-laki dan seorang perempuan diizinkan untuk tinggal serumah atau
berkeluarga dan memiliki keturunan (anak) tanpa ikatan pernikahan di
dalam Gereja dan pencatatan sipil di bagian pemerintahan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Sutarno mengatakan bahwa
setiap warga Negara mengemban kewajiban dan hak yang merupakan
bagian integral dari, dan unsur pembentuk masyarakat, bangsa dan
Negara.1 Jika kekristenan memiliki spiritual dan memberikan tempat
terhadap budaya asli dapat membuktikan bahwa gereja sepertinya
gagal menerapkan ajaran kekristenan yang sebenarnya.2 Meskipun
demikian, perihal keberadaan perkawinan tanpa pernikahan telah
mendapat pengakuan yang sah sebagai keluarga dari dalam
lingkungan masyarakat dan Gereja, serta dimutlakkan pula

bahwasanya anak dari pasangan sebuah keluarga tersebut wajib
menggunakan marga atau fam3 dari sang laki-laki.
Berkenaan dengan pernyataan tersebut, terdapat sebuah
kejenuhan rohani4 yang bersangkutan terhadap permasalahan dalam
1

Sutarno, Tanggung jawab warga Negara Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2

Celia Deane-Dromuuound, Teologi dan Ekologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1992), 33

2001), 42.
3

Marga atau fam merupakan kelompok kekerabatan, baik secara matrilineal maupun
patrilineal, anggota suatu marga percaya bahwa mereka berasal dr nenek moyang
yg sama, biasanya mereka menganut sistem eksogami. Lih. Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:

Pusat Bahasa, 2008), 989
4

Sehubungan adanya titik tolak dalam batas kejenuhan rohani dipaparkan
menurut Smith mengutip perkataan Herbert Freudenberger mengungkapkan bahwa
orang yang mengalami kejenuhan adalah seorang berada dalam keadaan kelelahan
atau frustrasi yang disebabkan oleh pengabdian kepada suatu maksud, suatu cara

penulisan penelitian ini sehingga timbul sebuah pertanyaan kritis dari
benak peneliti yaitu mengapa Gereja seolah-olah hanya berdiam diri
dan dimanakah tanggung jawab gereja ? Dan mengapa membiarkan
tradisi lama yang sudah berkembang turun-temurun dan membentuk
suatu budaya dalam masyarakat tersebut ? Pertanyaan ini didukung
oleh T.B. Simatupang yang dijelaskan dalam bukunya bahwa peranan
Gereja hanya sebatas berdiam diri terhadap suatu suku yang
memegang kuat budaya itu sendiri, 5 dan ditambahkan oleh Gaylord
Noyce bahwa keadaan gereja memberikan kebebasan tradisi lama yang
berkembang terus menerus.6 Menurut Daniel J. Adams dalam bukunya
mengatakan bahwa budaya yang dimaksud yaitu perkawinan tanpa
permberkatan atau peneguhan di Gereja terlebih dahulu.7 Sehingga

peran gereja tidak diikutsertakan terlebih dahulu dalam mengukuhkan
sebuah nilai pernikahan.
Meninjau hal tersebut sangat penting, jika dilihat dari sejarah
organisasi-organisasi dalam Gereja, telah ada pembentukan organisasi
Timorsch Verbond, pada tahun 1921 dan disahkan pada tahun 1923
dipimpin oleh J.W Amalo. Kemudian organisasi Perserikatan Timor
pada tahun 1924 dipimpin oleh C. Frans. Kedua organisasi ini
bertujuan untuk meningkatkan moral dan kerohanian orang-orang
timor, memajukan kesejahteraan dan memberikan bantuan bila
diperlukan, serta membantu memajukan anak-anak anggota.8 Oleh
karena itu, organisasi seperti ini seharunya pada awalnya mampu
merubah pola pikir masyarakat terutama perkawinan dalam gereja.
Membahas mengenai perkawinan, pada umumnya pola
perkawinan yang disukai oleh orang Timor adalah perkawinan antara
seorang pemuda dengan anak gadis saudara laki-laki ibu.9 Walaupun
demikian seorang pemuda bisa kawin dengan gadis mana pun, asalkan
hidup, atau hubungan yang gagal menghasilkan ganjaran yang diharapkan, Lih.
Malcolm Smith, Kejenuhan Rohani (Malang: Gandum Mas, 1992), 14.
5
T.B Simatupang, Tanggung Jawab Warga Negara (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1992), 151
6
Gaylord Noyce, Tanggung jawab etis pelayanan Jemaat (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000), 78.
7
Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya, refleksi barat di Asia, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia), 69
8
Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme ( Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), 70.
9

1999), 99.

T.O Ihromi, Bunga rampai sosiologi keluarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

bukan dengan anak saudara perempuan ibunya yang dianggap masih
memiliki hubungan saudara. Ada dua macam sistem perkawinan adat
yang dianut oleh masyarakat timor tersebut, yakni sistem perkawinan
patrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ayah) dan

sistem matrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ibu).10
Dari kedua sistem tersebut yang paling menonjol adalah sistem
patrilineal.
Berkaitan pada hal tersebut, sistem ini menjunjung tinggi belis
(mas kawin). Oktavianus menyatakan bahwa:11
Mas kawin bukanlah uang pembelian atau harga wanita,
melainkan merupakan hadiah atau penghargaan dari
pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai
perempuan. Materi mas kawin ini biasanya terdiri dari
barang-barang tradisional atau sejumlah uang.
Itu sebabnya sebelum pernikahan dilangsungkan, calon pria menjalani
serentetan adat perkawinan, dimulai dari tahap meminang,
memberikan belis, dan pada tahap terakhir dilakukan pengesahan. Oleh
karena itu, setelah melakukan upacara tersebut maka dinyatakan bahwa
mempelai pria telah melakukan pembayaran belis sampai selesai atau
putus. Sehingga sejak saat itu pula mempelai wanita bersama
keturunannya kelak dinyatakan putus hubungan secara adat istiadat
dengan ayah dan ibu serta keluarganya kemudian masuk ke suku/klen
suaminya.
Seiring dengan perkembangan jaman dan pola pikir masyarakat

yang kian modern membuktikan bahwa tuntutan akan belis untuk
mempelai permpuan mulai mendapatkan pelunakkan meskipun tidak
berarti mas kawin secara total dinyatakan salah atau dihapuskan. 12
Namun ada pula masyarakat yang masih mempertahankan belis
berdasarkan keturunan. Misalnya permintaan akan belis disesuaikan
dengan belis yang pernah diterima oleh ibu sang mempelai wanita
ketika dilamar oleh pihak mempelai laki-laki.
10
Tedi Sutardi, Antropologi mengungkap keberagaman Budaya (Bandung: Setia
Purna Invest, 2003), 43
11
P. Oktavianus, Identitas Kebudayaan Asia dalam terang Firman Allah (Malang:
Gandum Mas, 1985), 41.
12
P. Oktavianus, Identitas Kebudayaan Asia dalam terang Firman Allah, 41

Keberadaan belis di masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT)
akhir-akhir ini mulai menuai pertentangan. Hal ini menimbulkan
kemerosotan status perkawinan yang tampak jelas dalam masyarakat
dan juga gereja. Makna perkawinan menjadi merosot ketika seseorang

melakukan hubungan seksual pada masa pertunangan, ketika hidup
bersama tanpa menikah, atau berada diluar perkawinan.13 Bagi
sebagian masyarakat NTT meminta belis sama halnya menjual anak
gadis, karena sering berkembang pemahaman di masyarakat jika
seorang gadis sudah dibelis, maka secara keseluruhan dia menjadi
milik keluarga mempelai laki-laki sehingga wajib mengikuti marga
dari pihak laki-laki, serta keluarga laki-laki berhak melakukan apa saja
terhadap sang gadis, termasuk melarang sang gadis untuk bertemu
keluarganya lagi. Selain itu ada pula yang merasa belis sebagai suatu
beban yang harus dipenuhi terutama pada saat perkawinan dan beban
ini dirasakan memberatkan perekonomian keluarga, terutama bagi
keluarga miskin, karena terbatasnya aset yang mereka miliki untuk
melunasi belis.14 Jadi, nilai dari estetika untuk belis sangat
diperhitungkan dalam hal ini.
Pengeluaran rumah tangga untuk belis ini dirasakan
menghambat peningkatan kesejahteraan oleh sebagian besar
masyarakat di desa-desa. Akumulasi aset terutama hewan ternak
menjadi terhambat. Ada pula warga masyarakat yang menyatakan
bahwa kondisi kehidupannya tetap miskin bahkan cenderung terus
menurun akibat pengeluaran untuk belis yang terjadi secara berturutturut dan tak terduga. Tidak jarang ditemukan warga yang menjual aset

produktifnya satu per satu untuk memenuhi kewajiban membayar
belis.15
Berdasarkan adat yang terutama berkembang dalam
kebudayaan Timor dinamakan Amarasi. Pengertian Amarasi bagi
budaya suku Timor dianggap sebagai perkawinan yang ideal, sebab
diartikan sebagai perkawinan yang bilamana seorang pemuda memilih

13

Anne K. Hershberger, Seksualitas Pemberian Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2008), 91.
14

J. Verkuyl, Etika Kristen social ekonomi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985),

182.
15

www.semeru.com


seorang gadis dari saudara laki-laki ibunya.16 Tetapi tidak menutup
kemungkinan diberikan kebebasan kepada para pemuda untuk memilih
pasangan mereka masing-masing. Dalam adat pernikahan orang
Amarasi, mas kawin atau mahar atau “belis” (sebutan mas kawin untuk
daerah NTT) dibebankan kepada kaum pria atau mempelai pria.
Terkait dengan hal tersebut, terdapat sebuah fakta yang terjadi pada
masyarakat Timor adalah bahwa orang lebih menjunjung tinggi adat
istiadat yang sudah dipegang turun temurun meskipun demikian hal
ini menimbulkan kesan atau dampak negatif bagi diri sendiri. Jadi
orang tersebut lebih menghargai adat dari pada berusaha terlepas
dengan hal itu.
Di lain pihak, salah satu masalah terbesar perkawinan tanpa
pernikahan yang terjadi hingga saat ini belum terselesaikan adalah
kemiskinan. Sebab perkawinan tanpa persiapan kerja yang matang
akan menimbulkan keluarga-keluarga yang miskin dalam hal
ekonomi.17 Berkaitan pada pernyataan tersebut, pada umumnya
penduduk Amarasi (salah satu suku di NTT) mengadakan pesta
perkawinan dengan biaya yang sangat mahal. Sebaliknya bila ditinjau
dari segi ekonomi, rata-rata penduduk Amarasi memiliki taraf ekonomi

dari tingkat menengah kebawah dan tingkat pendapatan perkapita yang
sangat rendah. Itu sebabnya, dari pengamatan peneliti dalam kegiatan
masyarakat suku Amarasi, khususnya perkawinan tanpa pernikahan,
peneliti melihat ada suatu kecenderungan untuk menonjolkan diri.
Faktor yang mempengaruhi kemiskinan muncul karena adanya
tingkat kebutuhan yang tinggi serta pendapatan masyarakat yang
rendah ini membuat masyarakat kesulitan untuk bisa berkembang hal
ini dapat memicu pada tingkat pengangguran.18 Dibalik itu juga,
pengaruh geografis dan keadaan tempat yang kurang menunjang
karena daerah yang kering dan gersang. Kehidupan masyarakat pada
umumnya adalah petani musiman yang hanya mengharapkan curah
hujan setiap musim hujan untuk dapat bercocok tanam. Bila dilihat dari
segi pendidikan masih sangat kurang. Masyarakat kebanyakan berada
pada garis kemiskinan karena faktor pendidikan dan sumber daya
16
http://arti-definisi-pengertian.info/adat-perkawinan-suku-timor, hal ini
dimaksudkan agar ikatan kekerabatan keluarga tetap erat dan kelestarian marga atau fam tetap
dipelihara.
17
F. B Edege, ”Into the Word, so send You” (Waco: Word,1978), 14.

18
B. Fobia, Gereja dan Kontekstualisasi (Jakarta: Pustaka sinar harapan, 1998), 220.

manusia yang rendah.19 Itu sebabnya, setiap orang dapat
mengkreasikan sesuatu kalau ia mempunyai pendidikan yang cukup.
Pengaruh perkembangan teologi masa kini, khususnya di
kalangan Gereja Bethel Indonesia. Pemahaman teologi yang berbeda
juga berdampak pada pengajaran yang berbeda juga. Misalkan ada
pemimpin satu gereja yang tidak lagi menghargai budaya satu tempat,
dengan alasan jika budaya tersebut masuk dalam agama atau gereja
maka akan terjadi sinkritisme yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab.
Dan sebagian lagi ada pemimpin agama yang dapat menerima budaya
itu dengan menyatakan alasan bahwa manusia tidak bisa terlepas dari
budaya, sebab budaya itu merupakan bagian dari kehidupan itu
sendiri.20 Itulah sebabnya, usaha manusia untuk mempertahankan
kehidupannya menyebabkan bahwa kebudayaan pun menjadi
kepentingan pribadi maupun kelompok.21
Sehubungan dengan perihal yang dipaparkan di atas, adapun
hal yang menjadi alasan pemilihan judul (bagi penelitian tesis ini)
diantaranya adalah:
Pertama, masalah yang peneliti dapat utarakan berkenaan
dengan tinjauan etis teologis terhadap perkawinan tanpa pernikahan di
masyarakat Amarasi merupakan hal yang dianggap penting bagi
peneliti sendiri untuk dibahas, dikarenakan bersifat urgen dan atas
dasar pertimbangan sumber daya dalam pemecahan masalah.
Beberapa masalah yang berkenaan dengan hal tersebut adalah:
1. Adanya masalah mengapa terjadi perkawinan tanpa
pernikahan yang terjadi pada masarakat Amarasi yang
mengakibatkan tingkat kemiskinan yang semakin tinggi.
2. Adanya masalah dalam menjalin hubungan rumah tanpa
persiapan untuk masuk dalam sebuah pernikahan.
Kedua, peneliti menemukan resiko yang muncul terhadap
masyarakat Aramasi terhadap perkawinan tanpa pernikahan. Beberapa
masalah yang berkenaan dengan hal tersebut adalah:

19

Soetarman SP, Fundamentalisme Agama-agama dan Teknologi, Gereja ditengah
perkembangan IPTEK: Menjadi Bonsai? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993) 118.
20
Jarusman Situmorang, ed. Junifrius Gultom, Agama dan Kebudayaan,
(Jakarta:STT Bethel Indonesia, 20150, 111.
21

Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung,
Binacipta, 147).

1. Adanya masalah yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan
sosial masyarakan dan tingkat ekonomi masyarakat
2. Adanya masalah dalam pendidikan orang yang melakukan
perkawinan sebelum pernikahan di Amarasi, Kab. Kupang,
NTT
Oleh sebab itu, peneliti memiliki ketertarikan khusus untuk
melakukan penelitian tinjauan etis teologis terhadap perkawinan tanpa
pernikahan masyarakat Amarasi bagi pertumbuhan gereja masa kini di
Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Fokus Penelitian
Fokus penelitian yang disajikan peneliti dalam penulisan tesis
ini adalah “Tinjauan Etis Teologis Terhadap Perkawinan Tanpa
Pernikahan Masyarakat Timor (Aramasi) bagi Pertumbuhan Gereja
Masa Kini di Kupang, Nusa Tenggara Timur.” Sehingga fokus
penelitian dalam tesis ini memuat rincian pernyataan tentang cakupan
atau topik-topik pokok yang akan diungkap dan digali dalam proses
penelitian.
B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah akan dibuat sebagai berikut:
1. Mengapa perkawinan sebelum pernikahan dapat terjadi di
masyarakat Amarasi, Kab. Kupang, NTT.
2. Faktor apa yang mempengaruhi perkawinan tanpa pernikahan
bergitu marak terjadi di masyarakat Amarasi, Kab. Kupang,
NTT.
3. Dampak apa yang terjadi apabila terjadi perkawinan tanpa
persiapan di masyarakat Amarasi, Kab. Kupang, NTT.
4. Seberapa dalam tingkat pemahaman masyarakat dalam
menanggapi masalah perkawinan
5. Responsibilitas dari kaum rohaniawan dalam menghadapi
masalah perkawinan tanpa pernikahan.
C. Tujuan penelitian
Guna dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka
dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan tentang budaya dan adat istiadat yang
berlaku didaerah Amarasi, Kab. Kupang, NTT

2. Mendeskripsikan makna perkawinan yang berlaku
didaerah Amarasi, Kab. Kupang, NTT
3. Mendeskripsikan tentang dampak yang akan terjadi dalam
perkawinan tanpa persiapan
4. Mendeskripsikan tentang pemahaman jemaat dalam
menanggapi masalah perkawinan dalam sebuah penikahan
5. Mendeskripsikan keterlibatan kaum rohaniawan dalam
memberikan pmahaman mengenai sebuah pernikahan
D. Manfaat Penelitan
Adapun manfaat penelitian dalam penulisan tesis ini yaitu
manfaat teoritis, manfaat praktis, manfaat Instuisi dan manfaat bagi
peneliti.
1. Manfaat teoritis
Dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan
ilmu pengetahuan, sumber daya manusia dan organisasi, Ilmu
Kepemimpinan Kristen terutama dalam menghadapi masalah yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat khususnya perkawinan dan
pernikahan Kristen.
2. Manfaat Praktis
Dapat memberikan masukan kepada gereja agar membuka diri untuk
melihat budaya pernikahan secara kontekstual dan pengaruhnya
kepada kekristenan.
3. Manfaat instuisi
Penelitian ini merupakan pemenuhan persyaratan menerima gelar
Magister Teologi pada program studi Magister Teologi di Seklah
Tinggi Teologi Bethel Indonesia Jakarta.

4. Manfaat bagi peneliti
Melalui penelitian ini, peneliti memperoleh pemahaman dan metode
yang benar mengenai etika perkawinan yang berlaku di Amarasi dan
penerapannya pada Gereja-gereja didaerah tersebut secara khusus dan
NTT secara menyeluruh.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan ini
yaitu metode penelitian kualitatif. Peneliti menggunakan metode
kualitatif karena permasalahan masih bersifat dinamis, umum,
kompleks dan penuh makna sehingga tidak memungkinkan data
dijaring secara kuantitatif.
Penelitian dilakukan pada objek yang alamiah, yaitu objek yang
berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi pleh peneliti dan
kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika objek tersebut.
Menurut Syamsul Bahri mengutip perkataan Sugiono,22 mengatakan
bahwa dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau
human instrument, yaitu peneliti sendiri. Untuk dapat menjadi
instrument maka peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang
laus, sehingga peneliti harus mampu bertanya, menganalisis, memotret
dan mengkosntruksi situasi sosial yang diteliti menjadi lebih jelas dan
bermakna.

22
Syamsul Bahri dan Fahkry Zamzam, Model Penelitian Kuantitatif berbasis SEMAmos (Yogyakarta: Penerbit Deepulish, 2014), 4.