Makalah Keperawatan Anak Difteri

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK
DIFTERI

OLEH KELOMPOK 10:
1. MAWARNI LESTARI

(P 17420513045)

2. MIFTA ESTININGTYAS

(P 17420513046)

3. OKTAFIANTO ANDHI P

(P 17420513057)

4. SARIWIBAWI

(P 17420513073)

NAKULA 2


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
PRODI DIII KEPERAWATAN MAGELANG
2014

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular. Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara
hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui
hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh,
juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10
% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama
permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari

kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat
penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri
sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit
difteri jarang dijumpai. Vaksin/imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anakanak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit
yang menyerang saluran pernafasan ini.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penyakit difteri secara menyeluruh.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian difteri.
b. Untuk mengetahui etiologi difteri.
c. Untuk mengetahui tanda dan gejala difteri.
d. Untuk mengetahui patofisiologi dan pathway penyakit difteri.
e. Untuk mengetahui komplikasi difteri.
f. Untuk mengetahui prosedur diagnostic yang dilakukan pada pasien difteri.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien difteri
h. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien difteri

C. RUMUSAN MASALAH
a. Apakah yang dimaksud dengan difteri?
2

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Apakah penyebab penyakit difteri?
Apa saja tanda dan gejala difteri?
Bagaimana patofisiologi dan pathway penyakit difteri?
Apa sajakah komplikasi dari penyakit difteri?
Bagaimana pengobatan dan pencegahan penyakit difteri?
Apa saja pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada pasien difteri?
Bagaimana asuhan keperawatan untuk anak dengan difteri?


3

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama
saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.
Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui
benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (Ilmu Kesehatan
Anak FK UI: 2007)
Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular,sangat berbahaya pada
anak –anak terutama menyerang saluran pernafasan bagian atas,penularannya
melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat
(Sulianti Suroso. 2004)
Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang
terutama saluran pernafasaan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudo
membran (Ngastiyah, 2005).

Difteria adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria. Difteri adalah penyakit infeksi pertama yang ditaklukkan atas dasar
prinsip – prinsip mikrobiologi dan kesehatan masyarakat. (Behrman, Klirgman,
Arvin, 2000 : 955)
Difteri adalah

radang

tenggorokan

yang

sangat

berbahaya

karena

menimbulkan tenggorokan tersumbat dan kerusakan jantung yang menyebabkan
kematian. (Anik Maryunani, 2010 : 226)


4

B. ETIOLOGI
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun
makanan

yang

telah

terkontaminasi

oleh

bakteri.

Biasanya


bakteri

ini

berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan dengan
biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung
dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan
anak, sifat bakteri Corynebacterium diphteriae :
1. Gram positif
2. Aerob
3. Polimorf
4. Tidak bergerak
5. Tidak berspora
Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10 menit,
tahan

beberapa


minggu

dalam

es,

air,

susu

dan

lendir

yang

telah

mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas
dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium

telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan
berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari
fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan
setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan
yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.

5

C. TANDA DAN GEJALA
Difteri mudah menular, menyerang terutama saluran napas bagian atas,
dengan gejala demam tinggi, pembengkakan amandel (tonsil) dan terlihat selaput
putih kotor yang makin lama makin membesar dan dapat menutup jalan napas.
Penularan bakteri difteri umumnya melalui udara (batuk/bersin). Selain itu, bakteri
difteri dapat menular melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan yang
berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh – pembuluh darah melebar
mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel pada daerah tersebut rusak, lalu
terbentuklah membran putih keabu-abuan (pseudomembrane). Membran ini sukar

diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan
kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang
lebih berat dan kelenjar getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami
hiperplasia dan mengandung toksin.
Tanda dan gejala dibedakan berdasarkan tempat terjadinya infeksinya, antara
lain :
1. Difteri hidung
Difteri hidung mula – mula seperti flu, pilek, dan sedikit demam. Kemudian
mukus/lendir menjadi kental dan bercampur darah serta menyebabkan luka
disekitar lubang hidung dan bibir atas.
2. Difteri tonsil dan faring
Difteri ini lebih berat gejalanya, yaitu panas tidak tinggi, lemah (malaise), tidak
mau makan, serak, dan radang tenggorokan. Satu hingga dua hari kemudian
terbentuk membran yang kemudian meluas tergantung imunitas penderita.
Membran putih abu – abu melekat dan melapisi mukosa tonsil dan faring, dapat
meluas ke langit – langit atau ke bawah (ke laring dan trakea). Pada kasus yang
berat terjadi pembengkakan jaringan leher yang disebut “bull-neck”. Beratnya
difteri tergantung dari banyaknya toksin dan penyebaran membran.
3. Difteri laring
Difteri laring biasanya merupakan penyebaran dari faring dan tonsil. Sering

disertai gejala sumbatan jalan nafas, yang perlu tindakan trakeostomi.

6

4. Difteri kulit
Difteri kulit adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus
yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu –
abuan. Infeksi difteri kulit sering ditandai dengan nyeri, eritema, eksudat khas,
dan hiperestesi local (ketajaman abnormal kepekaan terhadap sentuhan, nyeri,
atau rangsangan sensorik lainnya).
D. PATOFISIOLOGI
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas
terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu
dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat
tersebut

basil

membentuk

pseudomembran

dan

melepaskan

eksotoksin.Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring,
dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan
mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan
miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul
paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis
fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian
pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas
akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis,
atau gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi
dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman
difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita.
Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil,
dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan
akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan
tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat
seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu
dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti
mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut Iwansain (2008), secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu :
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat
juga pada vulva, kulit, mata.

7

2. Kuman

membentuk

pseudomembran

dan

melepaskan

eksotoksin.

Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas
atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya
miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan
saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring
dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
E. PATHWAY

F. KOMPLIKASI
Komplikasi merupakan penyebab kematian terbanyak pada infeksi difteri,
dapat sebagai akibat langsung dari infeksi atau penyebaran toksin. Komplikasi yang
dapat menimbulkan kematian pada difteri laring dan trakea adalah sumbatan jalan

8

napas. Komplikasi akibat penyebaran toksin biasanya mengenai jantung, sistem
saraf dan ginjal akibat terlambatnya pemberian antitoksin. Contoh komplikasi:
1. Miokardiopati toksik
Ditandai dengan takikardi, disritmia, yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung
kongestif
2. Neuropati toksik
Neuropati akan berbahaya jika telah sampai ke otak, seperti neuropati kranial
khas yang terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor,
paralisis siliaris, pandangan kabur, dan kesukaran akomodasi.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Bakteriologik, yaitu preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa
2.
3.
4.
5.
6.

hidung dan tenggorokan (nasofaringeal swab)
Pemeriksaan Darah rutin, meliputi: Hb, leukosit, eritrosit, albumin
Pemeriksaan Urin lengkap, meliputi protein dan sedimen
Enzim CPK, segera saat masuk RS
Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung
dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada

indikasi bisa dilakukan 2-3x seminggu.
7. Tes schick
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 mL satuan per millimeter
darah. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan
intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml.
a. Pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel
(ruang pada sel yang dikelilingi oleh membran sel) pada bekas suntikan dan
hilang setelah beberapa minggu.
b. Uji Schick dapat positif apabila pada bekas suntikan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam.
c. Uji Schick negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat
suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung
antitoksin yang tinggi
d. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang
akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI Kapita Selekta Kedokteran)
H. PENATALAKSANAAN

9

Pengobatan terutama ditujukan untuk menetralisasi toksin dan membunuh
bakteri penyebab secepatnya dengan antitoksin difteri dan antibiotik. Terapi yang
tepat antara lain :
1. Antibiotik Penisilin G Kristal aqua (diberikan intramuscular atau intravena
100.000 – 150.000 U/kg/hari dibagi dalam 4 dosis)
2. Antibiotik Penisilin prokain (25.000 – 50.000 U/kg/bb dibagi dalam dua dosis)
3. Antibiotik Eritromisin (diberikan secara oral atau parenteral 40 – 50 mg/kg
BB/hari)
4. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membran dan beratnya penyakit.
a. 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi
sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.
b. 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga
melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
c. 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi
difteri laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi
dan kasus lanjut.
5. Cara – cara lain
Penderita difteri diberikan pengobatan suportif dengan istirahat total selama 2 –
3 minggu, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya miokarditis,
pemberian cairan dan nutrisi yang cukup dan penatalaksanaan komplikasi yang
sesuai.
Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi toksoid difteri selama
hidup untuk memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan untuk
mengurangi penghuni C. diphtheriae. Walaupun imunisasi tidak menghalangi
pengidap C. diphtheria saluran pernapasan atau kulit, imunisasi mengurangi
penyebaran jaringan local, mencegah komplikasi toksik, menghilangkan
penularan organisme, dan memberikan imunitas kelompok bila sekurangkurangnya 70 – 80 % dari populasi diimunisasi. (Behrman, 2000 : 960)
Pada bayi diberikan difteri toksoid bersamaan dengan tetanus toksoid
dan pertusis antigen. Vaksinasi dasar diberikan mulai umur 3 bulan, sebanyak 3
kali dengan interval 5 – 6 minggu. Suntikan booster diberikan pada umur satu
setengah dan empat tahun. Imunisasi difteri tidak memberikan kekebalan penuh,
karena vaksin dimaksudkan untuk melawan toksin, bukan infeksinya. Sehingga
seorang yang divaksinasi lengkap masih dapat menjadi karier atau terkena
infeksi ringan. (Anik Maryunani, 2010 : 228)
10

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Fokus
a. Identitas: dapat terjadi pada semua golongan umur, namun sering dijumpai
pada anak (usia 1-10 tahun).
b. Keluhan utama : Biasanya pasien datang dengan keluhan kesulitan bernapas
pada waktu tidur, nyeri pada waktu makan, dan bengkak pada
tenggorokan/leher.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia
a. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan
saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
b. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri

11

d. Pemeriksaan fisik pernapasan
1) Sulit bernapas
2) Produksi sputum meningkat
3) Dispneu
4) Luka pada tenggorakan
5) Edema mukosa
6) Pembesaran kelenjar getah bening
7) Pernapasan cepat dan dangkal
8) Penggunaan otot bantu pernapasan
9) Terdengar wheezing (auskultasi).
e. Nutrisi dan Cairan
1) Tidak nafsu makan
2) Sulit menelan
3) Turgor kulit menurun
4) Berat badan menurun
5) Edema laring dan faring
f. Aktivitas
1) Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari
2) Kurang tidur, penurunan kemampuan beraktivitas, pusing
3) Fatique
4) Insomnia
g. Sirkulasi
1) Nadi meningkat (takikardi)
2) Aritmia
h. Interaksi Sosial
1) Merasa tergantung
2) Pembatasan mobilitas fisik.

12

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola

pernapasan

berhubungan

dengan

disfungsi

neuromuskular
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
c. Risiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen.
d. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit
(metabolisme meningkat, intake cairan menurun).
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.
3. Intervensi Fokus
a. Ketidakefektifan

pola

pernapasan

berhubungan

dengan

disfungsi

neuromuscular
Tujuan : Masalah pola nafas tidak efektif teratasi dengan kriteria hasil : pola
nafas reguler, RR 30 – 35 kali/menit (bila klien bayi baru lahir), RR 25 – 30
kali/menit (bila klien usia 1 – 2 tahun), RR 20 – 25 kali/menit (bila klien usia
3 – 5 tahun)
Intervensi :
1) Monitor pola napas yang meliputi irama pernapasan, penggunaan otototot bantu napas, suara napas, dan frekuensi napas.
2) Berikan oksigen sesuai advis (2-4 Lt/menit). Apabila anak masih bayi
atur kepala dengan posisi ekstensi.
3) Atur posisi tidur pasien (kepala lebih tinggi)
4) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan
5) Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
Tujuan : Masalah kekurangan nutrisi teratasi dengan kriteria hasil : BB
stabil, pasien bebas dari tanda-tanda malnutrisi, anak dapat mengumpulkan
energi untuk beraktivitas kembali, anak menghabiskan porsi makan

13

Intervensi :
1) Catat masukan oral saat makan dan tawarkan makanan yang disukai
anak
2) Timbanglah berat badan setiap hari
3) Aturlah pemberian makanan dalam porsi yang sedikit tapi sering
4) Libatkan orang tua dalam pemberian makanan.
c. Risiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen.
Tujuan : Klien terhindar dari agen penyebab infeksi
Intervensi :
1) Observasi TTV klien
2) Turunkan faktor resiko nosokomial melalui cuci tangan yang tepat pada
semua perawat
3) Anjurkan keluarga klien untuk menyiapkan wadah sekali pakai untuk
sputum, misalnya tissue
4) Berikan antimikrobial sesuai indikasi
d. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit
(metabolisme meningkat, intake cairan menurun)
Tujuan : Resiko kurangnya volume cairan tidak terjadi
Intervensi :
1) Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa ( bibir, lidah )
2) Pantau masukan dan keluaran cairan
3) Tekankan masukan cairan yang optimal setiap harinya atau sesuai
kondisi klien

14

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.
Tujuan : Klien dapat beraktifitas sebagaimana mestinya dengan kriteria
hasil : anak dapat duduk, bermain permainan sederhana, mengenakan
pakaian secara mandiri.
Intervensi :
1) Evaluasi respon klien terhadap aktivitas. Catat adanya dispnea,
perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas
2) Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengujung
3) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktifitas dan istirahat
4) Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan

15

DAFTAR PUSTAKA

Behrman., Kliegman.,Arvin. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15,
Volume 2. Jakarta : EGC.
Doengoes, Marlynn, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3
penterjemah Monica Ester. Jakarta : EGC.
Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: CV.
Info Trans Media.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.

16