Analisis Pola Konsumsi Keluarga Miskin Di Kota Binjai

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teoritis
2.1.1. Defenisi Kemiskinan
Friedman (1997) mendefenisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan
kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis kekuatan sosial
meliputi modal yang produktif atau aset (misalnya tanah, perumahan, peralatan,
kesehatan dan lain-lain); sumber-sumber keuangan (income dan kredit yang
memadai); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan bersama (partai politik, sindikat, koperasi dan lain-lain); jaringan
sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dan lain-lain; pengetahuan dan
keterampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk memajukan
kehidupan seseorang.
Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia/Lakpesdam (2003:26)
mendefenisikan kemiskinan absolut sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi
standar

minimum

kebutuhan


hidup.

Sementara

itu,

kemiskinan relatif

didefenisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup sesuai
dengan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sinaga dan White (1980) menyatakan bahwa kemiskinan dibedakan dalam
dua bentuk, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan. Kemiskinan
alamiah adalah kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumberdaya yang langka
jumlahnya atau karena perkembangan teknologi yang rendah. Kondisi ini dapat
diatasi dengan pembangunan infrastruktur fisik, pemasukan modal serta
pengembangan teknologi baru. Kemiskinan buatan dapat terjadi karena
6
Universitas Sumatera Utara

kelembagaan yang ada membuat masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan

fasilitas secara merata. Kondisi ini dapat diatasi dengan mencari strategi
perombakan struktural kelembagaan serta hubungan sosial ekonomi dalam
masyarakat.
2.1.2. Konsep Ukuran Kemiskinan
Kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan seseorang
dengan tingkat pendapatan

yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan

dasarnya. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep ukuran kemiskinan
didasarkan pada metologi umum yang disebut dengan garis kemiskinan (poverty
line). Garis kemiskinan pada dasarnya adalah standar minimum yang diperlukan
oleh individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, baik bahan makanan maupun
bukan bahan makanan. Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari garis
kemiskinan pangan dan garis kemiskinan non pangan. Penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan dikategorikan
sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai
pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100
kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili

oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu,
sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Garis
kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang,
pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili
oleh 51 jenis di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.

7
Universitas Sumatera Utara

Menurut perhitungan BPS pada tahun 1984 batas miskin (poverty line)
adalah Rp 13.371 (kota) dan Rp 7.746 (desa), pada tahun 1990 sebesar Rp 20.614
(kota) dan Rp 13.295 (desa), pada tahun 1993 sebesar Rp 27.905 (kota) dan Rp
18.244 (desa), dan pada tahun 1996 sebesar Rp 38.246 (kota) dan Rp 27.413
(desa) perkapita perbulan.
Semakin tinggi tingkat pendapatan perkapita suatu negara, makin tinggi
pula batas dari tingkat kemiskinannya (poverty line). Pada tahun 1985, Bank
Dunia menentukan suatu garis kemiskinan terletak antara $275 dan $375
perkapita pertahun. Bank dunia menggambarkan “sangat miskin” sebagai orang
yang hidup dengan pendapatan kurang dari US $1 perhari dan “miskin” dengan
pendapatan kurang dari US $2 perhari. Berdasarkan standar tersebut, 21% dari

penduduk dunia masih disebut miskin pada tahun 2001.
2.1.3. Penyebab Kemiskinan
Emil Salim (1984) menyoroti beberapa sumber dan penyebab terjadinya
kemiskinan, yaitu :
1.

Policy induces processes, yaitu proses kemiskinan yang dilestarikan,
direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy)
diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru
melestarikan.

2.

Socio economic Dualism, yaitu negara ekskoloni yang mengalami kemiskinan
karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marginal karena tanah
yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.

8
Universitas Sumatera Utara


3.

Population Growth, yaitu perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa
pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan
seperti deret hitung.

4.

Resources Management and The Environment, yaitu adanya unsur misalnya
manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian
yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.

5.

Natural Cycles and Processes, yaitu kemiskinan yang terjadi karena siklus
alam. Misalnya tinggal di lahan kritis dimana lahan ini jika turun hujan akan
terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak
memungkinkan produktivitas yang maksimal terus-menerus.

6.


The Marginalization of Woman, yaitu peminggiran kaum perempuan karena
perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan
penghargaan hasil kerja diberikan lebih rendah dari laki-laki.

7.

Cultural and Ethnic Factors, yaitu bekerjanya faktor budaya dan etnik yang
memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan
nelayan ketika panen raya, serta adat-istiadat yang konsumtif saat upacara adatistiadat keagamaan.

8.

Explotative Intermediation, yaitu keberadaan penolong yang menjadi
penodong, seperti rentenir (lintah darat).

9.

Internal Political Fragmentation and Civil Stratfe, yaitu suatu kebijakan yang
diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya yang kuat, dapat

menjadi penyebab kemiskinan.

9
Universitas Sumatera Utara

10. International

Processes,

yaitu

bekerjanya

sistem-sistem

internasional

(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin
miskin.
2.1.4.


Kriteria Keluarga Miskin
Keluarga miskin adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan

dasar minimum rumah tangga dengan pendapatan dibawah batas minimum. Badan
Pusat Statistik (BPS) menggunakan 14 kriteria untuk mengasumsikan keluarga
miskin, yakni :
1.

Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari delapan meter persegi.

2.

Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/kayu murahan.

3.

Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas.

4.


Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga
lain.

5.

Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6.

Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air
hujan.

7.

Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak
tanah.

8.


Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu.

9.

Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10. Hanya sanggup makan satu/ dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik.
12. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya tamat SD.

10
Universitas Sumatera Utara

13. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani, atau buruh tani,
nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lain dengan
pendapatan dibawah Rp 600.000,- per bulan.
14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai Rp
500.000,- seperti sepeda motor baik kredit atau non kredit, emas, ternak dan
barang modal lain.
2.1.5. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan

Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk mengurangi kemiskinan dan
memeratakan pendapatan dengan melalui delapan jalur pemerataan, yaitu:
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat banyak khususnya pangan,
sandang, dan perumahan.
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja.
5. Pemerataan kesempatan berusaha.
6. Pemerataan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda
dan wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
8. Pemerataan memperoleh keadilan (Mubyarto, 1979 : 3).
2.1.6 Defenisi Konsumsi
Kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar atau basic human needs dapat
dijelaskan sebagai kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan hidup
manusia, baik yang terdiri dari kebutuhan atau konsumsi individu (makan,

11
Universitas Sumatera Utara

perumahan, pakaian) maupun keperluan pelayanan sosial tertentu (air minum,
sanitasi, transportasi, kesehatan, pendidikan dan lain lain).
Menurut Thee Kian Wie (Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan
1981:26) menyebutkan bahwa kebutuhan pokok sebagai suatu paket barang dan
jasa oleh masyarakat dianggap perlu tersedia bagi setiap orang. Kebutuhan ini
merupakan tingkat minimum yang dinikmati oleh seseorang. Pendekatan model
kebutuhan dasar ini memandang bahwa dalam pembangunan yang bertujuan
memenuhi kebutuhan dasar, partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat sangat
diperlukan. Partisipasi ini tertutama didalam pengambilan keputusan yang
menyangkut kebutuhan penduduk. Artinya kebutuhan apa yang dibutuhkan
masyarakat dan berapa jumlahnya hendaknya berdasarkan atau ditentukan oleh
masyarakat itu sendiri.
Ada yang membedakan antara kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder.
Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang

paling utama untuk dapat

mempertahankan hidup seperti makan, minum, pakaian dan perumahan,
sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan guna
melengkapi kebutuhan primer, seperti alat-alat dan perabot. (Manullang, 1971:6).
Menurut Rosydi (1996:148), konsumsi secara umum diartikan sebagai
penggunaan barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung akan memenuhi
kebutuhan manusia. Sukirno (2000:337) mendefinisikan konsumsi sebagai
pembelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga atas barang-barang dan jasa-jasa
akhir dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan
pekerjaan tersebut.

12
Universitas Sumatera Utara

Nurhadi (2000:22) mendefenisikan konsumsi adalah kegiatan manusia
menggunakan atau memakai barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan.
Kualitas dan kuantitas barang atau jasa dapat mencerminkan kesejahteraan
konsumen tersebut. Semakin tinggi kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang
dikonsumsi, maka akan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan konsumen
tersebut. Sebaliknya, semakin rendah kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang
dikonsumsi, maka semakin rendah pula tingkat kesejahteraan konsumen tersebut.
Menurut Nurhadi (2000:23) tujuan konsumsi adalah untuk mencapai kepuasan
maksimum dari kombinasi barang atau jasa yang digunakan.
2.1.7. Pola Konsumsi
Pola konsumsi ialah kebutuhan manusia baik dalam bentuk benda maupun
jasa yang dialokasikan selain untuk kepentingan pribadi juga keluarga yang
didasarkan pada tata hubungan dan tanggung jawab yang dimiliki yang sifatnya
terrealisasi sebagai kebutuhan primer dan sekunder.(Singarimbun, 1978: 3).
Pola konsumsi secara sederhana didefenisikan sebagai bagaimana
seseorang hidup, termasuk bagaimana seseorang menggunakan uangnya,
bagaimana ia mengalokasikan waktunya.
Pola konsumsi suatu rumah tangga diukur berdasarkan banyaknya macam
barang yang dikonsumsi dan dikelompokkan tinggi dan rendah. Pola konsumsi
dikelompokkan tinggi jika suatu rumah tangga mengkonsumsi sama dengan atau
lebih dari 45 macam barang konsumsi. Demikian juga sebaliknya dikelompokkan
rendah jika kurang dari 45 macam barang per bulan. Makin banyak macam barang

13
Universitas Sumatera Utara

yang dikonsumsi makin banyak pengeluaran yang ditanggung, dengan syarat
bahwa nilai per satuan dari barang tersebut sama.
Rumah tangga menerima pendapatan dari tenaga kerja dan modal yang
mereka miliki, membayar pajak kepada pemerintah dan kemudian memutuskan
berapa banyak dari pendapatan setelah pajak digunakan untuk konsumsi dan
berapa banyak untuk ditabung (Mankiw, 2003:51).
2.1.8. Jenis-jenis Pengeluaran Konsumsi
Pada umumnya pendapatan rumah tangga dibelanjakan untuk kebutuhan:
1. Pengeluaran pangan, adalah pengeluaran-pengeluaran untuk makanan dan
minuman termasuk minuman ringan dan minuman beralkohol, serta tembakau
dan sirih.
2. Pengeluaran sandang, adalah pengeluaran-pengeluaran untuk pakaian, sarung
dan termasuk keperluan-keperluan untuk kaki.
3. Pengeluaran perumahan, adalah pengeluaran-pengeluaran untuk peralatan
rumah tangga, perbaikan rumah, bahan bakar termasuk arang, kayu api,
penerangan, air, serta pajak bumi dan bangunan.
4. Pengeluaran jasa-jasa, adalah pengeluaran-pengeluaran untuk pendidikan,
kesehatan dan hukum.
5. Pengeluaran hiburan dan rekreasi, adalah pengeluaran untuk transportasi
perjalanan, alat-alat hiburan.
6. Pengeluaran rupa-rupa, adalah pengeluaran untuk alat-alat kecantikan termasuk
odol, sabun dan lain-lain.

14
Universitas Sumatera Utara

Dari enam pengeluaran di atas, kemudian dibagi lagi atas tiga jenis
pengeluaran yaitu:
1. Pengeluaran pangan
Adalah pengeluaran untuk makanan dan minuman. BPS dalam Survey
Ekonomi Sosial Nasional (SUSENAS, 2010), mengukur untuk pengeluaran
bahan makanan dengan 12 jenis bahan makanan yang dikonsumsi secara umum
oleh keluarga. Keduabelas pengeluaran untuk bahan makanan tersebut adalah
beras dan padipadian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayur-sayuran,
kacang-kacangan, buah-buahan, makanan jadi, minuman dan bahan makanan
lainnya seperti bumbu-bumbu.
2. Pengeluaran non pangan
Kesejahteraan manusia tidak hanya dapat dipenuhi dengan kebutuhan makanan
saja, tetapi perlu dilengkapi dengan pemenuhan kebutuhan lainnya seperti
kebutuhan akan bahan bakaar, pakaian, kesehatan, pendidikan, perumahan,
transportasi,

pemeliharaan

badan

dan

lain-lain.

Kebutuhan

tersebut

dikelompokkan dalam suatu kelompok non makanan.
3. Pengeluaran total
Adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk pangan dan non pangan.
2.1.9.

Pendapatan Rumah Tangga
Menurut Badan Pusat Statistik pendapatan rumah tangga adalah

pendapatan yang diterima oleh rumah tangga bersangkutan baik yang berasal dari
pendapatan kepala rumah tangga maupun pendapatan anggota-anggota rumah
tangga. Pendapatan rumah tangga dapat berasal dari balas jasa faktor produksi

15
Universitas Sumatera Utara

tenaga kerja (upah dan gaji, keuntungan, bonus, dan lain lain), balas jasa kapital
(bunga, bagi hasil, dan lain lain), dan pendapatan yang berasal dari pemberian
pihak lain (transfer). Pendapatan meliputi upah dan gaji atas jam kerja atau
pekerjaan yang telah diselesaikan, upah lembur, semua bonus dan tunjangan,
perhitungan waktu-waktu tidak bekerja, bonus yang dibayarkan tidak teratur,
penghargaan; dan nilai pembayaran sejenisnya. Terdapat dua komponen, yaitu:
untuk jam kerja biasa atau untuk pekrjaan yang telah diselesaikan dan untuk
lembur. Semua komponen pendapatan lainnya dikumpulkan secara agregat.
Pengertian pendapatan dan penerimaan menurut Biro Pusat Statistik (BPS)
dibedakan dalam pendapatan berupa uang, pendapatan berupa barapng dan lainlain penerimaan uang dan barang. Pendapatan berupa uang adalah segala
penghasilan berupa uang yang sifatnya reguler dan yang diterima biasanya
sebagai balas jasa atau kontra prestasi. Sumber-sumber yang utama adalah gaji
dan upah serta lain-lain balas jasa serupa dari majikan; pendapatan bersih dari
usaha sendiri dan pekerjaan bebas; pendapatan dari penjualan barang yang
dipelihara di halaman rumah; hasil investasi seperti bunga modal, tanah, uang
pensiun, jaminan sosial serta keuntungan sosial. Pendapatan berupa barang adalah
segala penghasilan yang sifatnya reguler dan biasa akan tetapi tidak selalu
berbentuk balas jasa dan diterimakan dalam bentuk barang atau jasa. Barangbarang dan jasa-jasa yang diperoleh dinilai dengan harga pasar sekalipun tidak
diimbangi atau disertai transaksi uang oleh yang menikmati barang dan jasa
tersebut; demikian pula penerimaan barang secara cuma-cuma, pembelian barang
dan jasa dengan harga subsidi atau reduksi dari majikan merupakan pendapatan

16
Universitas Sumatera Utara

berupa barang. Untuk lain-lain penerimaan uang dan barang yang dipakai sebagai
pedoman adalah segala penerimaan yang bersifat transfer redustributif dan
biasanya membawa perubahan dalam keuangan rumah tangga, misalnya penjualan
barang-barang yang dipakai, pinjaman uang, hasil undian, warisan, penagihan
piutang, kiriman uang, menang judi.
2.1.10. Hubungan Pendapatan dengan Pengeluaran Konsumsi
Menurut Engel ada suatu hubungan antara konsumsi rumah tangga untuk
suatu barang atau golongan barang dengan penghasilan rumah tangga. Dia
menemukan bahwa proporsi dari penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli
makanan berkurang dengan naiknya penghasilan (Engel, Bunga Rampai Ekonomi,
1976:25).
Teori konsumsi agregatif pada mulanya dikemukakan oleh John Maynard
Keynes dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money
yang diterbitkan pada tahun 1936 yaitu Absolute Income Hyphotesis. J.M. Keynes
mengungkapkan bahwa besar kecilnya konsumsi pada suatu waktu ditentukan
oleh nilai absolute dari pendapatan masyarakat yang siap untuk dibelanjakan
(disposable income) pada waktu berlangsung. Fugsi konsumsi agregatif secara
sederhana dapat ditulis sebagai:
‫)݀ ܻ(݂ = ܥ‬

Dimana:
C = Nilai konsumsi agregatif
Yd = Dispossable income

Ide pengembangan teori konsumsi berikutnya disajikan oleh James
Duessenbery dalam bukunya Income, saving, and theory of consumer behavior

17
Universitas Sumatera Utara

pada tahun 1949 yaitu Relative Income Hyphotesis. Teori konsumsi ini didasarkan
kepada anggapan utama atau asumsi sebagai berikut:
1. Tingkat konsumsi adalah bersifat interdependent terhadap tingkat pendapatan
tinggi atau kebiasaan yang terjadi sebelumnya. Disamping itu unsure status
social seseorang juga turut menentukan tingkat konsumsinya. Dengan
demikian tingkat pendapatan yang akan mempengaruhi konsumsi adalah nilai
pendapatan relative terhadap tingkat pendapatan tertinggi yang pernah dimiliki
sebelumnya.
2. Tingkat konsumsi bersifat irreversible yang bermakna bahwa apa yang terjadi
pada waktu pendapatan naik, tidak akan selalu merupakan kebalikan apabila
terjadi penurunan pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa bila tingkat
konsumsi sebelumnya pernah tinggi akibat kenaikan pendapatan maka pada
waktu pendapatan turun, penurunan konsumsi tidak akan proporsional.
Berdasarkan kedua asumsi ini maka fungsi konsumsi dinyatakan sebagai:

Dimana:

‫ܥ‬/ܻ = ܽ + ܾ(‫ܥ‬/ܻ°)
C = konsumsi agregatif
Y = pendapatan
Y°= pendapatan tertinggi sebelumnya
a = tingkat konsumsi pada pendapatan nol (subsitence)
b = marginal propensity to consumption (MPC)

Teori konsumsi Permanent Income Hyphotesis dikembangkan oleh Milton
Friedman pada tahun 1957. Menurut beliau perlu dibedakan dalam pembahasan
konsumsi antara measured income dengan permanent income. Measured income
adalah pendapatan yang diterima

pada suatu waktu tertentu, sedangkan

permanent income adalah pendapatan yang diramalkan oleh konsumen akan dapat
diterima pada masa yang akan datang (expected income). Kemudian transitory

18
Universitas Sumatera Utara

income merupakan pendapatan yang dapat mengurangi atau meningkatkan
permanent income. Formulasi disajikan sebagai berikut:
ܻ ݉= ܻ ‫݌‬+ ܻ ‫ݐ‬

Dimana:
Ym = measured income
Yp = permanent income
Yt = transitory income

Perkembangan teori konsumsi berikutnya disajikan oleh A. Ando dan
Franco Modigliani pada tahun 1963 yang lajim disebut sebagai

Life Cycle

Hyphotesis. Melalui teori ini sumberdaya yang dimiliki oleh konsumen dalam
hidupnya (life time resources) dipandang sebagai faktor yang sangat penting. Oleh
sebab itu menurut Ando dan Modigliani bahwa faktor penentu tingkat konsumsi
agregatif adalah sumberdaya yang dimiliki oleh konsumen, tingkat pengembalian
modal ( rate of return on capital ) dan umur konsumen tersebut.
Wealth

Hyphotesis

pada

prinsipnya

merupakan

modifikasi

dan

pengembangan hipotesis siklus hidup yang dikemukakan oleh David Ott dan
kawan-kawan pada tahun 1975. Hubungan diantara tingkat pendapatan (kekayaan)
dengan konsumsi di formulasikan sebagai:
௧ିଵ
‫ܥ‬௧
=ܽ+ܾ
ܻௗ ௧
ܻௗ ௧

Hipotesis kekayaan ini kemudian dikembangkan oleh Ball dan Drake
tahun 1964 dengan menggunakan formulasi sebagai berikut:
‫ܥ‬௧ = ݇ ‫ܣ‬௧

Dimana:
A = wealth (kekayaan)
K = konstanta

19
Universitas Sumatera Utara

2.1.11. Pendidikan Kepala Rumah Tangga
Pendidikan pada penelitian ini diukur berdasarkan pengelompokan atas
pendidikan rendah dan tinggi. Yang dimaksud dengan pendidikan rendah adalah
mereka yang tidak pernah sekolah formal dan yang hanya pernah menduduki
sekolah dasar. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pendidikan tinggi
adalah kelompok yang pernah menduduki sekolah lanjutan pertama dan juga
pernah mencapai pendidikan sekolah lanjutan atas atau perguruan tinggi.
Pada umumnya tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pendapatan
masyarakat, makin tinggi pendidikan suatu masyarakat, makin tinggi pula
pendapatan serta status sosial masyarakat tersebut. Bagi

rumah tangga yang

berpenghasilan rendah tentu akan merasa berat untuk membiayai pendidikan
anak-anaknya, apabila meneruskan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi.
Berdasarkan penyelidikan UNESCO antara lain menyimpulkan bahwa
putus sekolah lebih banyak terjadi pada sekolah-sekolah di desa daripada di kota.
Faktor utama yang menyebabkan anak putus sekolah adalah kemiskinan atau
ketidakmampuan orangtua untuk membiayai anak-anaknya (Vembriarto, St,
1978:43). Yang dimaksud anak putus sekolah adalah anak tidak dapatmenamatkan
pendidikan formal yang diikutinya di sekolah. Ataupun tidak dapat menikmati
pendidikan formal dalam waktu yang lama. Dari gambaran ini menunjukkan
bahwa sebagian besar anak yang putus sekolah maupun yang tidak dapat
berkesempatan belajar di sekolah terjadi di daerah pedesaan karena kemiskinan
orang tua.

20
Universitas Sumatera Utara

2.1.12. Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungaan keluarga adalah semua orang yang biasanya
bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada dirumah tangga
responden maupun sementara tidak ada pada waktu pencacahan.
Jumlah anggota rumah tangga kemungkinan dapat meningkatkan
pendapatan karena makin besar jumlah anggota keluarga makin besar pula jumlah
anggota keluarga yang ikut bekerja untuk mengkasilkan pendapatan, tetapi
kemungkinan juga terjadi bahwa jumlah anggota keluarga yang besar tidak
menambah

pendapatan

karena

makin

besar

jumlah

anggota

keluarga

mengakibatkan bertambahnya kesibukan orang tua untuk mengurus anaknya.
Rasio ketergantungan ( Dependency Ratio) dimaksudkan sebagai
perbandingan riil antara jumlah anggota keluarga yang tidak bekerja dengan
jumlah anggota keluarga yang bekerja atau perbandingan antara jumlah anggota
keluarga bukan umur angkatan kerja dengan jumlah anggota keluarga umur
angkatan kerja. Penduduk yang berusia muda dan yang berusia lanjut pada
dasarnya merupakan kelompok sebagai beban ketergantungan yang menjadi
beban hidup dan tanggungan dari tenaga kerja yang bekerja yang kebanyakan
berusia 15 hingga 64 tahun.

21
Universitas Sumatera Utara

2.2. Penelitian Terdahulu
No
1

2

Nama Peneliti

Judul Penelitian

Hasil Penelitian

Pola 1) Rata-rata pendidikan keluarga
miskin adalah SD ke bawah
Konsumsi Keluarga
(tidak/berhenti sekolah) dan rataMiskin di Kota
rata jenis pekerjaannya adalah
supir.
Medan
2) Rata-rata jumlah tanggungan
keluarga miskin adalah 2 sampai 4
orang.
3) Rata-rata tingkat pendapatan
keluarga miskin adalah berkisar
Rp600.000,-per bulan.
4) Rata-rata tingkat pengeluaran
keluarga miskin untuk pangan
adalah Rp371.000,- per bulan dan
pengeluaran untuk non pangan
adalah Rp318.000,-per bulan.
5) Rata-rata tingkat pengeluaran
terbesar keluarga miskin untuk
pangan adalah beras yaitu sebesar
Rp180.000,- kebawah per bulan.
6) Rata-rata tingkat pengeluaran
terbesar keluarga miskin untuk non
pangan adalah perumahan/rumah
sewa yaitu sebesar Rp200.000,per bulan.
Khairil Anwar Analisis Determinan 1) Jumlah masyarakat miskin yang
belum mendapat penanganan dan
Pengeluaran
(2007)
perhatian
pemerintah masih
Konsumsi Rumah
terlalu besar. Hal ini terindikasi
Tangga Masyarakat
dari 24 desa yang diobserasi
dijumpai 3.701 KK miskin. Dari
Miskin
di
jumlah tersebut, hanya 1.870 KK
Kabupaten
Aceh
(50,53%) yang memiliki kartu
Utara
miskin. Jumlah KK miskin yang
tidak memiliki kartu miskin
mayoritas tinggal di kawasan
pedalaman dan pesisir Kabupaten

Yuliana(2013) Analisis

22
Universitas Sumatera Utara

Aceh Utara. Padahal kartu miskin
ini sangat penting sebagai
administrasi untuk mendapatkan
fasilitas pelayanan publik bagi
masyarakat
miskin,
seperti:
pelayanan kesehatan, pendidikan
maupun
bantuan
langsung
lainnya.
2) Kondisi sosial masyarakat miskin
Aceh
Utara
sangat
memprihatinkan, sebagian dari
mereka berstatus janda pada saat
umur relatif masih muda salah
satu faktor sebagai ekses dari
konflik senjata berkepanjangan
dan juga akibat dari terjadinya
Tsunami. Dari segi pendidikan
juga masih sangat rendah, dimana
rata-rata kepala keluarga hanya
menamatkan SD/MI, akibatnya
mereka hanya bekerja pada
sektor primer terutama pertanian,
perkebunan
dan
kelautan.
Sebagian kepala keluarga ini
tidak
memiliki
pekerjaan
sampingan, yang menyebabkan
tingkat pendapatan yang diterima
menjadi terbatas. Padahal ini
sangat kontras dengan waktu
yang digunakan untuk bekerja,
rata-rata waktu bekerja keluarga
miskin masih tergolong tinggi
dengan rata-rata diatas 45 jam
perminggu.

23
Universitas Sumatera Utara

2.3.Kerangka Konseptual

Pendapatan Rumah
Tangga (X1)

Pendidikan Kepala
Rumah Tangga (X2)

Pola Konsumsi
(C)

Jumlah Tanggungan
(X3)

2.4. Hipotesis
Hipotesis adalah jawabaan sementara terhadap masalah terhadap yang
masih praduga dan akan dibuktikan kebenarannya berdasarkan penelitian yang
dilakukan, hipotesinya antara lain :
1. Pendapatan rumah tangga berpengaruh positif terhadap pola konsumsi keluarga
miskin di Kota Binjai.
2. Pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap pola konsumsi
keluarga miskin di Kota Binjai.
3. Jumlah tanggungan keluarga berpengaruh positif terhadap pola konsumsi
keluarga miskin di Kota Binjai.

24
Universitas Sumatera Utara