Analisis Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Muara Tiga Kabupaten Pidie

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini
akan berdampak pada tumbuh kembang anak. Anak yang kurang gizi akan tumbuh
kecil, kurus, dan pendek. Gizi kurang pada anak usia dini juga berdampak pada
rendahnya kemampuan kognitif dan kecerdasan anak, serta berpengaruh terhadap
menurunnya produktivitas anak ( Depkes RI, 2014).
Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan
kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu
pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor terkait. Masalah
gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga, yaitu
kemampuan rumah tangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya
(Supariasa et.al 2012).
Gizi salah (malnutrisi) diukur berdasarkan anak yang berkembang dengan
kemiskinan, yang merupakan indikator penting untuk memonitoring kesehatan dan
status gizi di masyarakat. Pada tahun 2013, 17% atau 98 juta anak di bawah lima
tahun di negara berkembang mengalami kurang gizi (berat badan rendah menurut

umur berdasarkan standar WHO). Prevalensi tertinggi berada di wilayah Asia Selatan

1
Universitas Sumatera Utara

sebesar 30%, diikuti Afrika Barat 21%, Osceania dan Afrika Timur 19%, Asia
Tenggara dan Afrika Tengah 16%, dan Afrika Selatan 12% (WHO, 2014).
Anak-anak yang tinggal di pedesaan lebih mungkin menderita kurang gizi
daripada yang tinggal di daerah perkotaan. Kurang gizi pada anak-anak, termasuk
diantaranya gangguan pertumbuhan sejak janin, asupan ASI (Air Susu Ibu) yang
kurang optimal atau tidak cukup, pendek, kurus dan kekurangan vitamin A dan Seng.
Merupakan penyebab utama kematian, diperkirakan 45% dari seluruh kematian pada
anak di bawah umur lima tahun. (WHO, 2014).
Data dari seluruh dunia menurut WHO (2014), terdapat proporsi anak
dibawah lima tahun dengan keadaan kurang gizi mengalami penurunan angka
persentase 10% yang terjadi antara tahun 1990 sampai 2013, yaitu dari 25% menjadi
15%. Di Afrika, terdapat penurunan yang relatif kecil, yaitu dari 23% pada tahun
1990 menjadi 17% pada tahun 2013. Pada periode yang sama, di Asia terjadi
penurunan dari 32% menjadi 18%, dan di Amerika Latin dan Caribbean turun dari
8% menjadi 3%. Ini berarti angka proporsi di Asia dan Amerika Latin juga Caribbean

sudah hampir mendekati angka yang ditargetkan oleh Millenium Development Goals
(MDG’s), sementara di Afrika hanya turun sedikit saja, pencapaiannya hanya
setengah dari angka target penurunan.
Walaupun secara keseluruhan proporsi kurang gizi di Asia sudah mendekati
angka target MDG’s, namun rata-rata kejadian kurang gizi berlanjut dan menjadi
sangat tinggi di Asia Selatan sebesar 30%. Hal ini berhubungan dengan populasi yang
besar, yang artinya kurang gizi terbanyak ada pada balita yang tinggal di Asia Selatan
2
Universitas Sumatera Utara

(53 juta jiwa pada 2013). Kenaikan harga pangan dan krisis ekonomi menjadi efek
dari trend yang terjadi di beberapa populasi, namun ini terlalu dini untuk
disimpulkan.
Menurut data WHO (2014), negara di regioanal Asia Selatan yang memiliki
angka tertingi kejadian kurang gizi yaitu India 43,5% (2006), disusul negara-negara
seperti Bangladesh 36,8% (2011), Afghanistan 32,9% (2011), Pakistan 31,6% (2013).
Untuk negara-negara di Afrika dengan proporsi tinggi di antaranya adalah Niger
37,9% (2012), Nigeria 31% (2013), Chad 30,3% (2010). Sejalan dengan kejadian
kurang gizi, berdasarkan data WHO (2014) untuk kejadian stunting, masih terdapat
kesamaan wilayah dimana prevalensi tinggi pada tahun 2013, berada pada regional

Afrika dan Asia dengan jumlah tertinggi di Afrika Timur sebesar 42,3%, di Asia
Selatan sebesar 35,7%.
Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi
kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang umumnya disebabkan oleh
kemiskinan; kurangnya persediaan pangan; kurang baiknya kualitas lingkungan
(sanitasi); kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan
kesehatan; dan adanya daerah miskin gizi (iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih
disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai
dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan
(Almatsier, 2004).
Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih
didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi,
3
Universitas Sumatera Utara

masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang
Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar. Pada Widya
Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993, telah terungkap bahwa Indonesia
mengalami masalah gizi ganda yang artinya sementara masalah gizi kurang belum
dapat diatasi secara menyeluruh, sudah muncul masalah baru yaitu berupa gizi

lebih (Supariasa et.al 2012).
Penyebab langsung kurang gizi yaitu asupan makanan tidak seimbang dan
penyakit infeksi. Sedangkan untuk penyebab tidak langsung diantaranya tidak cukup
persediaan pangan, pola asuh anak tidak memadai, sanitasi/pelayanan kesehatan dasar
tidak memadai. Hal ini disebabkan kemiskinan, pendapatan, kurang pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan akar masalah penyebab kurang gizi adalah
krisis ekonomi, politik dan sosial (UNICEF, 1998 dalam Baliwati 2010).
Riskesdas menghasilkan peta masalah kesehatan dan kecenderungannya pada
bayi lahir sampai dewasa. Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), diperoleh prevalensi
gizi kurang pada balita (BB/U