Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Perempuan Dalam Film “Fifty Shades of Grey”)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.

Paradigma Penelitian
Thomas Khun dikenal sebagai orang pertama yang mempopulerkan istilah

paradigma. Paradigma atau dalam bidang keilmuwan sering disebut sebagai
perspektif (perspective), terkadang disebut mazhab pemikiran (school of thought)
atau teori. Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kacamata atau cara
pandang untuk memahami dunia nyata. Patton mengatakan (dalam Mulyana,
2004: 9) bahwa paradigma adalah:
“A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking
down the complexity of the real world. As such, paradigms are deeply
embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigms
tell them what is important, legitimate and reasonable. Paradigms are
also normative, telling the practitioner what to do without the necessity
of long existential orepistimological consideration. But it is this aspect of
paradigms the constitutes bith their strength in that it makes action
possible, their weakness in that the very reason foraction is hidden in the
unquestioned assumptions of paradigm”.

Seperti yang dikatakan di atas, bahwa paradigma adalah suatu pandangan dunia,
suatu perspektif yang umum, suatu cara mematahkan kompleksitas dalam dunia
nyata. Dengan demikian, paradigma sangat tertanam dalam sosialisasi pengikut
dan praktisi: paradigma memberitahu mereka apa yang penting, sah dan masuk
akal. Paradigma juga normatif, memberitahu praktisi apa yang harus dilakukan
tanpa perlu pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang. Tapi itu
adalah aspek paradigma yang merupakan kedua kekuatan dalam membuat
tindakan yang mungkin, kelemahan mereka bahwa alasan untuk tindakan
tersembunyi dalam asumsi diragukan paradigma.
Paradigma penelitian merupakan kerangka berfikir yang menjelaskan
bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan
peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian merupakan perspektif
penelitian yang digunakan oleh peneliti tentang bagaimana peneliti (Pujileksono,
2015:26):

Universitas Sumatera Utara

a. Melihat realita (world views)
b. Bagaimana mempelajari fenomena
c. Cara-cara yang digunakan dalam penelitian

d. Cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan.
Paradigma itu sendiri bermacam-macam. Guba dan Lincoln menyebutkan
ada

empat

macam

paradigma

yaitu,

positivisme,

post

positivisme,

konstruktivisme, dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam
paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Paradigma kuantitatif menekankan

pada pengujian teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan
melakkan analisis data dengan prosedur statistik. Paradigma kualitatif merupakan
paradigma penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalahmasalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas yang holistis,
kompleks dan rinci. Paradigma kualitatif disebut juga dengan pendekatan
konstruktivis, naturalistik atau interpretatif, atau perspektif post modern (Erlina,
2011: 14).
Teori

konstruktivisme

adalah

pendekatan

secara

teoritis

untuk


komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekanrekannya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan
interpretasi dan bertindak menurut kategori konseptual yang ada dalam
pikirannya. Dalam teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya
yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaiana cara seseorang
melihat sesuatu (Morissan, 2009: 107). Paradigma konstrukivisme ialah
paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai konstruksi sosial,
dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif.
Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh
seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang. Konstruktivisme
menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi.
Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan
dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan, tetapi konstruktivisme
menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta

Universitas Sumatera Utara

hubungan-hubungan sosialnya. Subjek mampu melakukan kontrol terhadap
maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.
Weber menerangkan bahwa substansi bentuk masyarakat tidak hanya
dilihat dari penilaian objektif saja, melinkan dilihat dari tindakan perorangan yang

timbul dari alasan-alasan subjektif. Dalam proses sosial, individu manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut
dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga
memantapkan realitas itu secara objektif. Littlejohn mengatakan bahwa paradigma
konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang
objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat,
dan budaya (Wibowo, 2011: 27).
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Di dalam penelitian
semiotika, banyak peneliti yang menggunakan paradigma konstruktivis, walaupun
terdapat beberapa orang yang juga menggunakan paradigma kritis. Paradigma
konstruktivis dianggap lebih relevan bila digunakan untuk melihat realitas
signifikasi objek yang diteliti. Melalui paradigma konstruktivis, dapat dijelaskan 4
dimensi seperti yang tertulis (dalam Wibowo, 2011: 28):
1. Ontologis: relativism, relativitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran
suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial.
2. Epstemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu
realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara
peneliti dengan yang diteliti.

3. Axiologis: Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak
terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant,
fasilitator yang menjebatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan
penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara
peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

Universitas Sumatera Utara

4. Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti
dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui
metode-metode kualitatif seperti participant observasion. Kriteria kualitas
penelitian authenticity dan relectivty: sejauh mana temuan merupakan
refleksi otentik dari realitas yang di hayati oleh para pelaku sosial.
2.2.

Kajian Pustaka
Dalam setiap penelitian, diperlukan teori yang mendukung. Seorang

peneliti harus terlebih dahulu menyusun teori yang bersangkutan dengan topik
penelitian sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut pandang

mana penelitian tersebut dilihat. Teori adalah suatu set dari hubungan antara
konstruk, konsep, definisi/batasan dan preposisi yang menyajikan suatu
pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar
variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena tersebut
(Pujileksono, 2015:11). Teori dapat membantu memfokuskan perhatian dan
peneliti akan mampu memahami fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan dengan topik
yang menjadi permasalahan yang akan diteliti yaitu:
2.2.1. Komunikasi Massa
Dalam pembahasan komunikasi massa, perlu dibedakan definisi massa
dalam arti umum dengan komunikasi massa. Massa dalam pembahasan
komunikasi massa lebih menunjuk kepada si penerima pesan yang berkaitan
dengan media massa. Oleh karena itu, massa disini menunjuk kepada khalayak,
audiens, penonton, pemirsa, atau pembaca. Komunikasi massa juga dapat
didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah media massa untuk mengirim
pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi, menghibur, atau
membujuk (Vivian, 2008: 450). Menurut Tan dan Wright, komunikasi massa
merupakan

komunikasi


yang

menggunakan

saluran

(media)

dalam

menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak,
bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek
tertentu (Ardianto, 2004: 3). Definisi komunikasi massa yang paling sederhana

Universitas Sumatera Utara

dirumuskan oleh Bittner (dalam Rakhmat, 2007:188): “Mass communication is
messages communicated through a mass medium to a large number of people”
yang berarti komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media

massa pada sejumlah besar orang.
Definisi-definisi komunikasi massa yang telah dipaparkan secara prinsip
mengandung makna yang sama, bahkan antara definisi yang satu dan definisi
yang lain saling melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui
karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7):
1.

Komunikator Terlembagakan
Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Komunikasi
massa itu mengunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik.

2.

Pesan Bersifat Umum
Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa
ditujukkan untuk semua orang dan tidak ditujukkan untuk sekelompok
orang saja.

3.


Komunikannya Anonim dan Heterogen
Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan
(anonim), karena cara berkomunikasinya menggunakan media sehingga
tidak bertatap muka secara langsung. Selain anonim, komunikan
komunikasi massa juga bersifat heterogen karena terdiri dari berbagai
lapisan masyarakat yang berbeda dan berada di mana saja.

4.

Media Massa Menimbulkan Keserempakan
Jumlah sasaran khalayak atau komunikan dalam komunikasi massa relatif
dalam jumlah banyak dan tak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut
secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang
sama pula.

5.

Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan
Dalam komunikasi massa, isi harus disusun sedemikian rupa dan
disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.


6.

Komunikasi Massa bersifat Satu Arah

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi massa adalah komunikasi dengan atau melalui media massa.
Karena melalui media massa, maka komunikator dan komunikannya tidak
dapat melakukan kontak langsung. Dengan demikian, komunikasi massa
bersifat satu arah.
7.

Stimulasi Alat Indra Terbatas
Stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan.
Pada suratkabar dan majalah pembaca hanya melihat, radio dan rekaman
auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan
film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

8.

Umpan Balik Tertunda
Umpan balik dalam komunikasi massa tidak terjadi secara langsung karena
komunikator tidak dapat melihat reaksi atau tanggapan dari komunikan
secara langsung.

Komunikasi massa memiliki fungsi-fungsi penting terhadap masyarakat.
Dominick membagi fungsi komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004:
15):
1. Surveillance (Pengawasan)
Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam dua bentuk utama,
yaitu:
a. Fungsi pengawasan peringatan yaitu menginformasikan berbagai hal
terutama tentang ancaman kepada masyarakat.
b. Fungsi pengawasan instrumental yaitu menyampaikan atau menyebarkan
informasi yang berguna dan dapat membantu khalayak/masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari.
2.

Interpretation (Penafsiran)
Media massa tidak hanya mencari dan menyimpang data serta fakta, tetapi
juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Media
memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau layak
ditayangkan.

Universitas Sumatera Utara

3.

Linkage (Pertalian)
Media massa mampu menyatukan anggota masyarakat yang beragam,
sehingga membentuk suatu pertalian berdasarkan kepentingan dan minat
yang sama tentang sesuatu.

4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai)
Media massa memberikan nilai-nilai kepada masyarakat dan berharap
nilai-nilai ini bisa diadopsi oleh masyarakat.
5. Entertainment (Hiburan)
Hampir semua media massa menjalankan fungsinya sebagai hiburan.
Walaupun ada beberapa media yang tidak memberikan fungsi tersebut
tetapi memberikan fungsi informasi kepada masyarakat seperti majalah
Tempo, Gatra dan lainnya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi
menghibur adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak.
2.2.2. Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Manusia dengan perantara tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan
sesamanya. Pada dasarnya, suatu tanda memiliki hubungan antara tanda dengan
makna yang terkandung di dalam tanda tersebut. Tanda-tanda adalah perangkat
yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia, di tengah-tengah
manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things)
(Barthes dalam Sobur, 2004: 15). Semiotika berusaha menjelaskan tentang tanda,
secara sistematik, menjelaskan esensi, ciri-ciri dan bentuk suatu tanda, serta
proses signifikasi yang menyertainya.
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata yunani Semeion yang
berarti tanda dan dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem
tanda seperti: bahasa, kode, sinyal dan sebagainya. Tanda itu sendiri didefinisikan
sebagai suatu –yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya –
dapat mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu
hal yang menunjuk adanya hal lain (Wibowo, 2011: 5). Christomy (2004: 77)
mengatakan semiotik adalah teori dan analisis berbagai tanda (sign) dan
Universitas Sumatera Utara

pemaknaan (signification). Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang
merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa
sedangkan semiotika lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Secara substansial,
semiotika adalah kajian yang concern dengan dunia simbol. Alasannya, seluruh isi
media massa pada dasarnya adalah bahasa (verbal), sementara itu bahasa
merupakan dunia simbolik (Sobur, 2006: 140). Menurut Morissan, semiotika
merupakan studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang menggunakan tradisi
penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori
utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan
dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2009: 27).
Memahami semiotika tentu tidak bisa lepas dari pengaruh peran dua orang
penting ini yaitu Charles Sanders Pierce (1839-1914) dan Ferdinand De Saussure
(1857-1913). Keduanya meletakkan dasar-dasar bagi kajian semiotika. Kedua
tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak
mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa sedangkan Pierce di Amerika
Serikat.Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik sedangkan Peirce
adalah filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi
(semiology) (Tinarbuko, 2008: 11). Teori dari Pierce seringkali disebut sebagai
“grand theory” dalam semiotika, karena gagasan Pierce bersifat menyeluruh,
deskripsi struktural dari sistem penandaan. Sebuah tanda atau representamen
menurut Charles S Pierce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu
yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas (Wibowo, 2011: 13).
Dalam konsep semiotika Pierce, Pierce membagi tanda atas ikon (icon),
indeks (index) dan simbol (symbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara
penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah atau bersifat
kemiripan, indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah
antara tanda dan petanda yang bersifat kausal, sementara simbol adalah tanda
yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya dan
hubungan diantaranya bersifat arbiter atau semena (Sobur, 2004: 41).
Kategori tipe tanda menurut Pierce digambarkan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1.
Kategori Tipe Tanda dari Pierce
Ikon

Indeks

Simbol

Sumber dari Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2010) hal: 168

Pierce mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda, objek, dan
makna (Morrisan, 2009: 28). Dalam kajian komunikasi, pusat perhatian semiotika
adalah menggali makna-makna tersembunyi di balik penggunaan simbol-simbol
yang lantas dianalogikan sebagai teks atau bahasa.
Sedangkan menurut John Fiske (2007: 60-61) semiotika mempunyai tiga
bidang studi utama, yaitu:
1. Tanda. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara
tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara
tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang mengunakannya. Tanda
adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia
yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat
atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia
untuk mentrasmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri.
Semua model makna memiliki bentuk yang mirip secara luas.Masing-masing
memperhatikan tiga unsur yang harus ada di dalam setiap studi tentang makna.
Ketiga unsur tersebut adalah:
a. Tanda

Universitas Sumatera Utara

b. Acuan tanda dan
c. Penggunaan tanda.
Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa di persepsikan sebagai indra
kita. Tanda mengacu kepada sesuatu yang ada di luar tanda itu sendiri dan
bergantung pada pengenalan oleh penggunaannya sehingga bisa disebut tanda
(Fiske, 2007: 61).
Sedangkan Saussure memasukkan semiotika sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan langsung. Saussure mengemukakan bahwa seseorang
menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan
menginterpretasikan tanda tersebut. Menurut Saussure, bahasa itu merupakan
suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah “bunyi
yang bermakna” atau coretan bermakna (Sobur, 2004: 46). Saussure
menggambarkan tanda terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:
Gambar 2.
Elemen-Elemen Makna dari Saussure
Sign

Composed of
Signification
Signifier
(physical existence
of the sign)

plus

Signified
(mental concept)

external reality
of meaning

Sumber dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal.:
125

Saussure mengatakan signifier adalah bunyi atau coretan bermakna dan
signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Kedua unsur
ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang ataupun selembar kertas. Tanda
bahasa dengan demikian menyatukan bukan hal dengan nama, melainkan konsep
Universitas Sumatera Utara

dan gambaran akustis. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental
tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification menurut Fiske
adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2006: 125).
Selanjutnya ada seorang tokoh semiotika juga yang terkenal, yaitu Roland
Barthes. Teori semiotik Barthes hampir secara harfiah diturunkan dari teori bahasa
menurut de Saussure (Hoed, 2007: 9). Barthes melontarkan konsep tentang
konotasi dan denotasi sebagai kunci analisisnya. Dengan mengabaikan bentuk dan
substansi, Barthes mendefinisikan sebuah tanda sebagai sebuah ekspresi atau
signifier dalam hubungannya dengan content atau signified (Wibowo, 2011:16).
Fiske mengatakan bahwa model penelitian Barthes tersebut merupakan signifikasi
dua tahap (two order of signification). Signifikasi tahap pertama merupakan
hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam sebuah tanda
terhadap realitas eksternal. Itulah yang dikatakan Barthes sebagai denotasi yaitu
makna paling nyata dari tanda. Signifikasi tahap kedua digunakan Barthes dengan
istilah konotasi, yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya.
Dalam pandangan George Rixer (dalam Ghazali, 2010:11), Barthes adalag
pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial. Barthes
mengembangkan gagasan Saussure ke seluruh bidang kehidupan sosial. Tidak
hanya bahasa semata, tetapi juga perilaku sebagaimana menjadi perwakilan atau
tanda. Sementara itu Charles Sanders Pierce, manusia hanya dapat berkomunikasi
lewat sarana tanda (Tinarbuko, 2008: 16).
Charles Morris memudahkan dalam memahami ruang lingkup kajian
semiotika. Menurutnya, kajian semiotika pada dasarnya dibedakan ke dalam tiga
cabang penyelidikan (branches of inquiry) yaitu sintatik, semantik, dan pragmatik
(Wibowo, 2011: 4):
1. Sintatik
Adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal
diantara satu tanda dengan tanda yang lain. Dengan begitu hubunganhubungan formal ini merupakan kaidah yang mengendalikan tuturan dan
interpretasi. Dalam hal ini, tanda tidak pernah mewakili dirinya, tanda
Universitas Sumatera Utara

selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok
yang diorganisir melalui cara tertentu.
2. Semantik
Adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di
antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya.Yang
dimaksud designata adalah tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan
tertentu. Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan
referennya, atau apa saja yang diwakili tanda. Prinsip dasar semiotika
adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh
kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna
dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya.
3. Pragmatik
Adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di
antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakaipemakai tanda. Tanda tidak dapat dipisahkan dari pemakainya, atau
keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan
tanda itu ke dalam masyarakat dalam masyarakat pemakainya. Aspek
pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi,
khususnya

untuk

mempelajari

mengapa

terjadi

kepahaman

dan

kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
2.2.2.1.

Semiotika Roland Barthes

Kancah semiotika tidak bisa terlepas dari nama Roland Barthes. Roland
Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di Cherbourg dan
dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya
Prancis. Barthes adalah seorang ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang
sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks. Dia dikenal
sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan model
linguistik dan semiologi Saussuren (Sobur, 2004: 63). Ia menghabiskan waktu
untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam
mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat yang sama

Universitas Sumatera Utara

bisa menyampaikan makna yang berbeda kepada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dan dikenal dengan istilah “order
of signification” (Kriyantono, 2008: 268).
Semiotika, atau dalam istilah Barthes disebut semiologi pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,
dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi
sistem terstruktur dari tanda. Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi
semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran
Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui
Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari
representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Barthes menekankan pada cara
tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya dan memperhatikan konvensi pada teks yag berinteraksi dengan
konvensi pada teks yang berinteraksi dengan konveksi yang dialami (Kriyantono,
2008:268).
Konsep konotasi dan denotasi menjadi kunci dari analisis Barthes.
Konsep ini dinamakan Two orders of signification (signifikasi dua tahap atau dua
tatanan pertandaan) Barthes yang terdiri dari first order of signification yaitu
denotasi, dan second orders of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama
mencakup penanda dan petanda yang membentuk tanda. Tanda inilah yang
disebut makna denotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna
yang eksplisit, langsung, dan pasti. Bisa dikatakan bahwa denotasi yaitu makna
paling nyata dari tanda, sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi
makna yang bersifat implisit dan tersembunyi (Christomy, 2004: 94). Konotasi
mempunyai makna yang subjektif atau paling intersubjektif. Dengan kata lain,
denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu objek dan makna
konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Wibowo, 2011: 17).

Universitas Sumatera Utara

Salah satu area penting yang dimasukkan Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (the reader). Walaupun konotasi merupakan sifat asli
dari tanda, tetapi sangat dibutuhan keaktifan para pembaca agar makna suatu
tanda tersebut dapat berfungsi. Barthes memperjelas konsepnya dengan peta
sebagai berikut ini:
Gambar 3.
Konsep semiotika Roland Barthes
Tatanan pertama
realitas

Tatanan kedua
tanda

kultur

konotasi
bentuk
Denotasi

Penanda
Petanda

isi
mitos

Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal:
122

Menurut Roland Barthes, “pembaca” melalui berbagai tahap dalam
mendekonstruksikan makna dari tanda. Tatanan pertandaan Barthes tersebut
menggambarkan relasi antara petanda dan penanda di dalam tanda dan antara
tanda dengan referennya dalam realitas eksternal (Fiske, 2007: 118). Barthes
menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Denotasi merupakan image yang terlihat
secara nyata, ukan asumsi individual dari “pembaca” (Rayner, 2001: 36). Di
tatanan pertandaan kedua atau tahap konotasi merupakan saat “pembaca”
menambah segelintir informasi terkait. Pada tahap inilah beberapa bagian yang
tidak dimaknai dalam tahap denotatif dicoba untuk dimaknai. Tahapan konotasi
ini adalah di mana makna dari tanda dipengaruhi oleh pengalaman budaya yang

Universitas Sumatera Utara

dibawa oleh “pembaca” (Rayner, 2001:36). Konotasi dipakai untuk menjelaskan
salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tahapan kedua. Konotasi
menggambarkan interaksi yang berlangsung saat tanda bertemu dengan perasaan
atau emosi pengguna dan nilai-nilai kultural. Ini bisa saja terjadi saat makna
bergerak menuju subjektif atau tatkala interpretant dipengaruhi sama banyaknya
oleh penafsir objek atau tanda (Fiske, 2007: 118).
Konotasi membawa nilai-nilai ekspresif yang muncul dari akumulasi
rangkaian kekuatan. Ketika konotasi diterima sebagai sesuatuyang “normal”
maupun “alami”, maka ia bertindak sebagai peta makna konseptual yang dengan
dengannya seseorang memahami dunianya. Inilah yang disebut dengan mitos
(Barker, 2000: 117). Menurut pandangan Barthes, mitos adalah cara berpikir dari
suatu kebudayaan mengenai sesuatu, cara untuk memahami sesuatu. Jika konotasi
adalah pemaknaan tatanan kedua dari penanda, maka mitos merupakan
pemaknaan tatanan kedua dari petanda. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari
tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.Barthes menggunakan
mitos sebagai orang yang percaya. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu
kebudayaan untuk menjelaskan atau mencari pemahaman terkait beberapa aspek
dari realitas maupun alam (Fiske, 2007: 121).
Barthes

menegaskan

cara

kerja

pokok

mitos

adalah

untuk

menaturalisasikan sejarah, yang menyatakan bahwa mitos sebenarnya merupakan
produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu. Maknanya,
peredaran mitos turut membawa sejarahnya walau mitos mencoba menyangkal hal
tersebut, hingga akhirnya maknanya akan dianggap alami, bukan historis atau
sosial. Mitos menyembunyikan asal-usul sejarah dan membuat kesan bahwa mitos
tersebut bersifat universal. Konotasi dan mitos merupakan cara pokok-pokok
tanda berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat
berlagsungnya interaksi antara tanda dan pengguna/budayanya yang sangat aktif
(Fiske, 2007: 124).
Mitos mirip dengan konsep ideologi, karena sama-sama bekerja pada level
konotasi. Mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak terbantahkan
karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. Barthes mengungkapkan bahwa mitos

Universitas Sumatera Utara

bertugas memberi justifikasi alamiah kepada maksud-maksud historis dan
menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi (Barker, 2000:
117).
2.2.3. Film
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, film adalah selaput tipis yang
dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dimainkan dalam
bioskop). Film adalah sekedar gambar bergerak adapun pergerakannya disebut
intermitten movement, gerakan yang muncul hanya karena keterbatasan
kemampuan mata dan otak manusia menangkap sejumlah pergantian gambar
dalam sepersekian detik.
2.2.3.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Film merupakan media komunikasi sebagai gambar bergerak yang
membentuk suatu cerita dalam arti tayangan audio-visual yang dapat
menyampaikan pesan kepada penonton. Menurut Bittner (dalam Ardianto,
2004:3) komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media
massa pada sejumlah besar orang dan dari definisi tersebut diketahui bahwa
komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Media komunikasi yang
dapat dikategorikan sebagai media massa adalah radio, televisi, surat kabar,
majalah, serta media film. Film merupakan media massa yang tidak terbatas pada
ruang lingkupnya. Hal ini dipengaruhi unsur cita rasa dan unsur visualisasi yang
saling berkesinambungan.
Film sangat berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan
cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada
masyarakat umum (McQuail, 2011:13). Film tidak lagi dimaknai hanya sekedar
sebagai karya seni (film as art) tetapi lebih kepada ”komunikasi massa” (Jowwet
dan Linton) dan “praktik sosial” (Tumer) (Irwanto, 1999:11). Dua pendapat
tersebut lebih melihat aspek film sebagai media komunikasi massa yang
beroperasi di masyarakat. Sebagai bentuk komunikasi massa, kajian film
memandang bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dan
Universitas Sumatera Utara

pertukaran makna-makna. Film merupakan media komunikasi massa (audio
visual) yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan menggunakan bahan
baku celluloid dalam berbagai ukuran melalui proses kimiawi dengan atau tanpa
suara dan dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi
mekanik.
Makna yang ada di dalam film bukan hanya berasal dari dalam film itu
sendiri, melainkan dari hubungan antara pembuat film (produser atau sutradara)
dengan penikmat atau penonton dari film tersebut. Pemaknaan film dibentuk
dalam proses produksi sebuah film terkait dengan si pemberi pesan, dimana
proses produksi ini akan menentukan bagaimana pesan (message) yang akan
disampaikan kepada penonton. Dalam pembuatan film, si pembuat film harus bisa
mengemas sebuah film sehingga mampu untuk menarik penerima pesan secara
emosional, bahkan mengambil realitas masyarakat dan diyakini sebagai kebenaran
yang ada di masyarakat untuk menjadi landasan film.
Film

merupakan

media massa

yang memiliki

kelebihan

dalam

menyampaikan pesan. Film dapat membuat terhipnotis penontonnya karena cerita
dan visualisasi gambar yang baik sehingga dapat memuaskan kebutuhan hiburan
dari para penontonnya. Jangkauan film yang luas juga menjadi salah satu
kelebihannya dan pengaruhnya dalam membentuk emosi para penonton juga
melebihi media massa yang lain. Walaupun film memiliki kelebihan, tetapi film
juga memiliki kekurangan. Penayangan film yang sekilas membuat penontonnya
harus berkonsentrasi penuh memperhatikan jalan cerita dari film tersebut,
sehingga mereka tidak bisa mengalihkan pandangan ataupun melakukan kegiatan
yang lain.
2.2.3.2. Sejarah Film
Oey Hong Lee menyebutkan bahwa film sebagai alat komunikasi massa
yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad
ke-19 dan mencapai puncaknya di antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II
(Sobur, 2004: 126). Film adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di
belahan dunia ini, karena lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop,

Universitas Sumatera Utara

film televisi, dan film video laser setiap minggunya dan lebih dari satu juta tiket
telah terjual setiap tahunnya di Amerika Serikat dan Kanada (Ardianto &
Erdinaya, 2004: 134). Tidak seperti awal perkembangan surat kabar yang
dikembangkan oleh para pebisnis dan patriot untuk sekelompok elit yang terlibat
dalam politik yang dapat membaca, awal industri film kebanyakan dibangun oleh
wirausaha yang ingin mendapatkan uang dengan menghibur semua orang (Baran,
2008: 210).
Film memang berawal dari perkembangan fotografi.Berawal dari gambar-gambar
diperlihakan bergerak secara cepat dan berurutan, sehingga para penontonnya
melihat gambar-gambar tersebut seolah-olah sedang bergerak (Baran, 2008: 212).
Setelah itu Thomas Edison pun membuat studio gambar bergerak dekat dengan
laboratoriumnya di kota New Jersey yang disebut Black Maria. Film yang sudah
lengkap tidak diproyeksikan, melainkan diputar melalui sebuah kinetoskop,
semacam alat pameran gambar berbentuk kotak dimana seringkali diiringi dengan
musik yang disediakan oleh alat fonograf yang juga ditemukan oleh Edison
(Baran, 2008: 213). Sekitar tiga tahun kemudian, kinetoskop menjadi populer di
tempat-tempat hiburan dan pertunjukkan di kota-kota besar, dan hal ini menandai
pertunjukkan film bergerak secara komersial.
Lumiere bersaudara kemudian menciptakan kemajuan berikutnya. Pada
tahun 1895 mereka mematenkan sinematografi mereka, sebuah alat yang secara
bersamaan memfoto dan memproyeksikan gambar. Dalam pertunjukkan Natal
mereka, terlihat barisan panjang penonton film yang antusias menunggu bioskop
mereka untuk buka (Baran, 2008: 214). Film Edison dan Lumiere adalah film
yang hanya berdurasi beberapa menit dan gambarnya diambil dalam frame yang
statis dan tidak ada penyuntingan. Perkembangan film pun semakin terasa setelah
banyak orang yang meminta hak lebih mereka untuk menonton film yang lebih
baik dari uang yang sudah mereka keluarkan. Pembuat film dari Prancis, George
Melies mulai membuat cerita gambar bergerak, yaitu suatu film yang bercerita.
Namun hasrat para penonton pun belum terpenuhi oleh karya George Melies.
Sampai tahun 1890-an George membuat dan menampilkan film satu adegan, film

Universitas Sumatera Utara

pendek, namun segera setelah itu dia mulai membuat cerita berdasarkan gambar
yang diambil secara berurutan di tempat-tempat yang berbeda.
Edwin S.Porter, seorang juru kamera Edison Company, melihat bahwa
film dapat menjadi alat penyampai cerita yang jauh lebih baik dengan penggunaan
dan penempatan kamera secara artistik yang disertai penyuntingan (Baran, 2008:
215). Film pertama yang menggunakan penyuntingan, gabungan potonganpotongan antar adegan, dan sebuah kamera bergerak untuk menceritakan kisah
yang relatif kompleks berjudul The Great Train Robbery (1903) karya Porter yang
berdurasi 12 menit menjadi film Western pertama. Film menjadi hiburan yang
hadir lebih dulu dibandingkan televisi dan siaran radio. Menonton film ke bioskop
merupakan aktivitas yang populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an hingga
1950-an (Ardianto & Erdinaya, 2004: 134).
2.2.3.3.

Karakteristik Film

Tujuan utama dari film adalah sebagai media hiburan. Tetapi banyak juga
film yang di dalamnya terkandung unsur informatif, edukatif, bahkan persuasif.
Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar,
pengambilan gambar, konsentrasi penuh, dan identifikasi psikologis dalam
(Ardianto & Erdinaya, 2004: 136-137) yaitu:
1. Layar yang Luas/lebar
Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film
adalah layarnya yang berukuran luas. Layar film yang luas telah memberikan
keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam
film. Apalagi dengan berkembangnya teknologi, sekarang sudah terdapat
bioskop yang menggunakan layar tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah
melihat kejadian nyata dan diajak untuk ikut merasakan suasana yang terdapat
di dalam film tersebut.
2. Pengambilan Gambar
Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam
film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot dan
panoramic shot yakni pemandangan menyeluruh. Shot dipakai untuk memberi

Universitas Sumatera Utara

kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih
menarik.
3. Konsentrasi Penuh
Biasanya di saat menonton film di bioskop, kita terbebas dari gangguan hiruk
pikuknya suara di luar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata
hanya tertuju kepada layar sementara pikiran dan perasaan kita tertuju kepada
alur cerita tersebut. Bandingkan bila menonton televisi di rumah, selain lampu
yang tidak dimatikan seperti di bioskop, orang di sekeliling kita juga
senantiasa berkomentar atau hilir mudik mengambil makanan atau minuman
dan gangguan lainnya.
4. Identifikasi Psikologis
Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat
pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena
penghayatan kita yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar kita
menyamakan/ mengidentifikasikan pribadi kita dengan salah seorang pemain
dalam film itu, sehingga seolah-olah kita lah yang berperan.Gejala ini menurut
ilmu jiwa sosial disebut identifikasi psikologis.
Suasana menonton film di bioskop memang berbeda dengan menonton di
televisi dan media lainnya. Layar yang lebar, sound effect yang menggelegar,
suasana hening berkat ruangan kedap suara dan ruangan yang gelap memang
menambah situasi ketegangan dan emosional dalam menonton film yang
ditayangkan. Menonton film di bioskop juga dapat mengumpulkan para penikmat
film yang bisa saling berinteraksi dengan minat menonton yang sama.
Menurut Himawan Pratista (2008: 4-8) dikatakan bahwa secara umum
film terbagi menjadi tiga jenis, yakni film dokumenter, film fiksi dan film
eksperimental. Dalam hal ini, film ”Fifty Shades of Grey” masuk ke dalam jenis
film fiksi. Untuk hal cerita, biasanya film fiksi memiliki karakter protagonis,
antagonis, masalah dan juga konflik, penutupan, serta pola pengembangan cerita
yang jelas.. Umumnya produksi pembuatan film fiksi membutuhkan lebih banyak
tenaga, waktu pembuatan yang cenderung lebih lama, serta peralatan pembuatan
film yang mahal serta bervariasi.

Universitas Sumatera Utara

Dengan kreativitas yang dimiliki oleh sekelompok orang yang profesional
membuat film, seringkali terdapat banyak simbol atau ikon tertentu yang
digunakan untuk pencapaian tertentu yang diharapkan. Gambar dan suara adalah
unsur yang terpenting dalam film. Suara adalah perwujudan dari dialog naskah
yang biasanya diiringi oleh backsound sebagai pengindah sebuah alur cerita yang
akan mengiringi rekam gambar atau adegan. Melalui gambar dan suara, indera
fisik kita akan dibawa merasakan potret dari realitas yang ada melalui sebuah
proses mediasi, dimana lewat ketiganya tadi film akan mengantarkan kita pada
dunia “nyata” film yang mirip dengan yang kita rasakan di dunia sebenarnya.
2.2.3.4.

Unsur-Unsur Film

Terdapat beberapa unsur film yang perlu diperhatikan (dalam Grezia, 2015: 2831):
1. Sutradara
Sutradara merupakan pionir pembuatan film tentang bagaimana yang harus
tampak oleh penonton. Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek kreatif, baik
interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film. Selain mengatur laku
didepan kamera dan mengarahkan akting serta dialog, sutradara juga mengontrol
posisi kamera beserta gerak kamera, suara dan pencahayaan. Di samping itu
sutradara menjadi penyumbang hasil akhir sebuah film.
2. Skenario
Skenario adalah naskah yang disusun dalam bentuk literer sebagai landasan bagi
penggarapan suatu produksi. Dalam dunia perfilman, skenario dinamakan juga
“shooting script” lengkap dengan dialog-dialog dan istilah teknis sebagai
instruksi kepada kerabat kerja seperti juru kamera, juru suara, juru cahaya dan
lain-lain. Skenario film disebut juga screen atau script yang diibaratkan seperti
cetak biru insinyur atau kerangka bagi tubuh manusia.
3.

Penata Fotografi

Penata fotografi atau juru kamera adalah tangan kanan dari sutradara dalam
kerja lapangan. Ia bekerja sama untuk menentukan jenis-jenis shot, termasuk
menentukan jenis-jenis lensa. Selain itu, juga menentukan diafragma kamera
dan mengatur lampu-lampu untuk mendapatkan efek pencahayaan yang

Universitas Sumatera Utara

maksimal. Selain itu juga juru kamera melakukan tugas pembingkaian. Dalam
pelaksanaan tugasnya, seorang juru kamera juga membuat komposisikomposisi dari subyek yang hendak direkam.
4. Penata artistik

Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatar belakangi cerita
film, yakni mengangkat pemikiran tentang setting. Yang dimaksud setting
adalah tempat-tempat waktu berlangsungnya cerita film. Oleh karena itu,
sumbangan yang dapat diberikan seorang penata artistik kepada produksi film
sangatlah penting. Seorang penata artistik boleh memiliki kecendrungan,
namun bukan gaya yang harus tunduk pada tuntunan cerita atau pengarahan
sutradara. Seorang artistik bertugas sebagai penterjemah konsep visual
sutradara kepada pengertian-pengertian visual dan segala hal yang
mengelilingi aksi di depan kamera, di latar depan bagaimana di latar belakang.
5. Penata Suara

Sebagai media audio visual, pengembangan film sama sekali tidak boleh
hanya memikirkan aspek visual, sebab suara juga merupakan komponen aspek
kenyataan hidup dalam sebuah film. Itu sebabnya perkembangan teknologi
perekaman suara untuk film tidak bisa diabaikan. Tata suara dikerjakan di
studio suara. Tenaga ahlinya disebut penata suara yang tugasnya dibantu oleh
tenaga-tenaga pendamping, seperti perekaman suara di studio maupun di
lapangan. Perpaduan unsur-unsur suara ini nantinya akan menjadi jalur suara
yang letaknya bersebelahan dengan jalur gambar dalam hasil akhir film yang
nantinya akan dipersiapkan diputar di gedung-gedung bioskop.
6. Penata musik

Musik sejak dahulu sangatlah penting untuk mengiringi sebuah film. Dalam
era film bisu, sudah ada usaha-usaha untuk mempertunjukan film dengan
iringan musik hidup. Para pemusik bersiap di dekat layar dan akan memainkan
musik pada adegan-adegan tertentu. Perfilman Indonesia memiliki penata
musik yang handal, yaitu Idris Sardi. Beliau berulangkali meraih piala Citra
untuk tata musik terbaik. Tugas terpenting seorang penata musik adalah untuk
menata paduan bunyi (bukan efek suara) yang mampu menambah nilai
dramatik seluruh cerita film.

Universitas Sumatera Utara

7. Pemeran

Pemeran atau aktor adalah orang yang memerankan suatu tokoh dalam sebuah
cerita film.Pemeran mengekspresikan tingkah laku tidak lepas dari tuntunan.
8. Editor

Editor bertugas menysun hasil syuting hingga membentuk rangkaian cerita.
Seorang editor berkerja dibawah pengawasan seorang sutradara tanpa
mematikan kreatifitas, sebab tugas dari seorang editor berdasarkan konsepsi.
Editor akan menyusun segala materi di meja editing menjadi pemotongan
kasar (rought cut) dan pemotongan halus (tine cut). Hasil pemotongan halus
disempurnakan lagi dan akhirnya ditransfer bersama suara dengan efek-efek
transisi optik untuk menunjukkan waktu maupun adegan.
Dilihat dari segi teknis, unsur-unsur film terdiri dari (Gresia, 2015: 28):
1. Audio (Dialog dan Sound Effect)
a. Dialog berisikan kata-kata, dialog dapat digunakan untuk menjelaskan perihal
tokoh atau peran, menggerakkan plot maju dan membuka fakta.
b. Sound Effect adalah bunyi-bunyian yang digunakan untuk melatar belakangi
sebuah adegan yang berfungsi sebagai penunjang sebuah gambar untuk
membentuk nilai dramatik dan dramatika sebuah adegan dalam film.
2. Visual
a. Angle kamera dibedakan menurut karakteristik dari gambar yang dihasilkan
ada tiga yaitu:
1) High Angle, yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih tinggi
dari objek. Hal ini akan memberikan kepada penonton sesuatu kekuatan atau rasa
superioritas.
2) Low Angle, yaitu yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih
rendah dari objek. Hal ini akan membuat seseorang tampak kelihatan mempunyai
kekuatan yang menonjol dan akan kelihatan kekuasaannya.

3) Eye Level Angle, yaitu sudut pengambilan gambar yang normal, biasanya
ketinggalan kamera setinggi dada dan sering digunakan pada acara yang
gambarnya tetap. Mengesankan situasi yang normal, bila mengambil Eye Level

Universitas Sumatera Utara

Angle secara zoom in menggambarkan ekspresi wajah objek atau pemain dalam
memainkan

karakternya,

sedangkan

pengambilan

secara

zoom

out

menggambarkan secara menyeluruh ekspresi gerak tubuh dari objek atau pemain.
b. Teknik Pengambilan Gambar atau perlakuan kamera juga merupakan salah
satu hal yang penting dalam proses penciptaan visualisasi simbolik yang terdapat
dalam film. Proses tersebut akan dapat mempengaruhi hasil gambar yang
diinginkan, apakah ingin menampilkan karakter tokoh, ekspresi wajah dan setting
yang ada dalam sebuah film.
c. Setting adalah tempat atau lokasi untuk mengambil sebuah visual dalam
pembuatan film.
2.2.3.5. Jenis-Jenis Film
Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film
dokumenter, dan film kartun (dalam Ardianto, 2004: 138-140):
a. Film Cerita
Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim
dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film
ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi
topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang
dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan cerita maupun dari
segi gambar yang artistik.
b. Film Berita
Film berita adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi.
Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus
mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah penting dan
menarik.Yang terpenting dalam film berita adalah peristiwanya terekam secara
utuh.
c. Film Dokumenter
Film dokumenter didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya ciptaan
mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)”. Berbeda dengan film

Universitas Sumatera Utara

berita yang merupakan kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil
interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut.
d. Film Kartun
Film Kartun (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Tujuan utama
dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan utamanya adalah
untuk menghibur, tapi terdapat pula film-film kartun yang mengandung unsurunsur pendidikan di dalamnya.
2.2.4. Sinematografi
Sinematografi/cinematography terdiri dari dua suku kata yaitu cinema dan
graphy yang

berasal dari bahasa Yunani, kinema, yang berarti gerakan dan

graphoo yang berarti menulis. Jadi sinematografi bisa diartikan menulis dengan
gambar yang bergerak (Nugroho, 2014:11). Di dalam sinematografi, unsur visual
merupakan alat utama dalam berkomunikasi. Bahasa yang digunakan dalam
sinematografi adalah suatu rangkaian beruntun dari gambar bergerak yang dalam
pembuatannya memperhatikan ketajaman gambar, corak penggambarannya,
memperhatikan seberapa gambar itu ditampilkan, iramanya dan sebagainya yang
kesemuanya merupakan alat komunikasi nonverbal (Nugroho, 2014: 12).
Seperti arti dari sinematografi yang adalah gambar bergerak, itu berarti
setiap pembuatan program yang menggunakan gambar bergerak sebenarnya
memiliki keinginan untuk menyampaikan sesuatu kepada penontonnya yang
dengan kata lain pembuat program itu sendiri ingin berkomunikasi dengan
menggunakan komunikasi audio visual kepada orang lain. Sesuatu yang ingin
disampaikan itu bisa berupa ide, perasaan, ataupun visi dan misi dari si pembuat
program yang sudah dipelajari sebelumnya atau dapat pula berupa sikap atau
keberpihakan dari pembuat program terhadap suatu masalah, misalnya masalah
gender, kekerasan terhadap anak, perempuan, perdamaian, bahkan mengenai rasa
cinta dan mencintai.
Sebuah film memang tidak terlepas dari teknik sinematografi. Film dapat
terlihat baik jika teknik sinematografi yang dilakukan juga baik. Berikut ini adalah

Universitas Sumatera Utara

beberapa elemen gambar dapat ditemui dalam kode, terutama yang berhubungan
dengan bahasa gambar yang bisa dilihat sebagai berikut:
Tabel 1.
Teknik Dalam Pengambilan Gambar

MENANDAKAN (SIGNIFIED)
PENANDA (SIGNIFIER)
PENGAMBILAN GAMBAR
Extreme Long Shot
Kesan luas dan keluarbiasaan
Full Shot
Hubungan sosial
Big Close Up
Emosi, dramatik, moment penting
Close Up
Intim atau dekat
Medium Shot
Long Shot

Hubungan personal dengan subjek
Konteks Perbedaan dengan publik
SUDUT PANDANG (Angle) Pengambilan Gambar:
High
Dominasi, Kekuasaan dan otoritas
Eye-Level
Kesejajaran, keamanan dan sederajat
Low
Didominasi, dikuasai dan kurang otoritas
TIPE LENSA
Wide Angle
Dramatis
Normal
Normalitas dan keseharian
Telephoto
Tidak personal, Voyeuristik
FOKUS
Selective focus
Meminta perhatian (tertuju pada satu objek)
Soft Focus
Romantis serta nostalgia
Deep Focus
Semua unsur adalah penting (melihat secara
keseluruhan objek
PENCAHAYAAN
High Key
Riang dan cerah
Low Key
Suram dan muram
High Contrast
Dramatikan dan teatrikal
Low Contrast
Realistik serta terkesan seperti documenter
PEWARNAAN
Warm (kuning, orange, merah, abu-abu) Riang dan Cerah
Cool (biru dan hijau)
Pesimisme, tidak ada harapan
Black and White (Hitam dan Putih)
Realisme, aktualisme, harapan
Sumber: Selby, Keith, dan Codery, Ron, How to Study Television, London, Mc Millisan.
1995 (dalam Gresia Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas. 2015)

2.2.

Dokumen yang terkait

Representasi Perempuan dalam Film Hollywood Analisis Semiotika Representasi Karakter Perempuan dalam Film Colombiana

10 58 117

Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Perempuan Dalam Film “Fifty Shades of Grey”)

24 123 123

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM WANITA TETAP WANITA Representasi Perempuan Dalam Film Wanita Tetap Wanita (Analisis Semiotika Representasi Perempuan dalam Film Wanita Tetap Wanita).

2 7 13

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM WANITA TETAP WANITA (Analisis Semiotika Representasi Perempuan dalam Film Wanita Tetap Wanita) Representasi Perempuan Dalam Film Wanita Tetap Wanita (Analisis Semiotika Representasi Perempuan dalam Film Wanita Tetap Wani

0 4 14

Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Perempuan Dalam Film “Fifty Shades of Grey”)

0 1 12

Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Perempuan Dalam Film “Fifty Shades of Grey”)

0 0 2

Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Perempuan Dalam Film “Fifty Shades of Grey”)

0 0 6

Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Perempuan Dalam Film “Fifty Shades of Grey”)

0 0 4

Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Perempuan Dalam Film “Fifty Shades of Grey”)

0 0 1

Representasi Budaya Patriarki dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Budaya Patriarki dalam Film Fifty Shades of Grey) - UNS Institutional Repository

0 0 15