STUDI LINTAS BUDAYA KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI INDONESIA Pada PT. Semarang Garment - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

(1)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1 Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan tema yang popular, tanpa adanya pemimpin para karyawan tidak akan dapat bekerja dengan baik, karena fungsi pemimpin di sini diperlukan untuk mempengaruhi, memotivasi karyawan serta ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Manajemen seringkali disamakan dengan kepemimpinan. Abraham Zaleznik (dalam Robbins, 2002) misalnya, berpendapat bahwa pemimpin dan manajemen sangat berbeda. Mereka berbeda dalam motivasi, sejarah pribadi, dan cara berpikir serta bertindak. Zaleznik mengatakan bahwa manajer cenderung mengambil sikap impersonal dan pasif terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi dan aktif terhadap tujuan. Sedangkan Kotter (dalam Robbins, 2002) menganggap baik kepemimpinan dan manajemen sama pentingnya bagi keefektifan organisasional yang optimal. Namun ia yakin bahwa kebanyakan organisasi kurang dipimpin (underled) dan terlalu ditata-olah (overmanaged). Munandar (2001) melihat kepemimpinan sendiri lebih berhubungan dengan efektivitas sedangkan manajemen lebih berhubungan dengan efisiensi. Kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting bagi manajer. Para manajer merupakan pemimpin (dalam organisasi mereka), sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer. Jadi definisi kepimimpinan secara luas menurut Robbins (2002) yaitu sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Menurut Siagian


(2)

13

(1995) kepemimpinan merupakan keterampilan dan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik langsung, maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakan orang-orang tersebut agar dengan penuh pengertian dan kesadaran bersedia mengikuti kehendak-kehendak pemimpin tersebut. Menurut Stoner, et al (1995) kepemimpinan didefinisikan sebagai proses pengarahan dan memepengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok. Berdasarkan uraian tentang definisi kepemimpinan di atas, menurut Nitisemito, 2001 (dalam Marcian, 2008) dapat disimpulkan bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki seseorang dan akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak dipengaruhi. Kemampuan mempengaruhi adalah yang dominan dari kepemimpinan, dan keberhasilan seorang pemimpin adalah bagaimana ia bisa memotivasi dan menginspirasi orang lain. Teori-teori kepemimpinan dengan demikian dapat diterapkan pada manajer. Dalam hal ini manajemen dapat kita anggap sebagai kepemimpinan dalam perusahaan. Menurut Munandar (2001) kepemimpinan merupakan pengertian yang meliputi segala macam situasi yang dinamis, yang berisi:

a. Seorang manajer sebagai pemimpin yang mempunyai wewenang untuk memimpin.

b. Bawahan yang dipimpin, yang membantu manajer sesuai dengan tugas mereka masing-masing.

c. Tujuan atau sasaran yang harus dicapai oleh manajer bersama-sama dengan bawahannya.


(3)

14

Efektifitas kepemimpinan biasanya dipertimbangkan dari segi tercapainya suatu tujuan. Orang memandang kepemimpinan itu efektif atau tidak efektif dari segi kepuasan yang diperoleh dari pengalaman pekerjaan seluruhnya. Penerimaan dari pengarahan atau perintah seorang pemimpin sebagian besar tergantung dari harapan para bawahannya, apabila mereka menanggapinya secara baik, maka akan mendapatkan hasil yang menarik. Pemimpin yang baik harus memiliki empat macam kualitas yaitu kejujuran, pandangan ke depan, mengilhami pengikutnya, dan kompeten. Pemimpin yang tidak jujur tidak akan dipercaya dan akhirnya tidak mendapat dukungan dari pengikutnya. Pemimpin yang memiliki pandangan ke depan adalah pemimpin yang memiliki ke depan lebih baik. Pemimpin yang baik juga harus mampu mengilhami pengikutnya dengan penuh antusiasme dan optimisme. Pemimpin yang baik juga harus memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas secara efektif, mengerti kekuatannya, dan menjadi pembelajar terus-menerus (Tampubolon, 2007). Selain itu, pemimpin yang efektif adalah yang (1) bersikap luwes, (2) sadar mengenai diri, kelompok, dan situasi, (3) memberi tahu bawahan tentang setiap persoalan dan bagaimana pemimpin pandai dan bijak menggunakan wewenangnya, (4) mahir menggunakan pengawasan umum di mana bawahan tersebut mampu menyelesaikan pekerjaan dalam batas waktu yang ditentukan, (5) selalu ingat masalah mendesak, baik keefektifan jangka panjang secara individual maupun kelompok sebelum bertindak, (6) memastikan bahwa keputuan yang dibuat sesuai dan tepat waktu baik secara individu maupun kelompok, (7) selalu mudah ditemukan bila bawahan ingin membicarakan masalah dan pemimpin menunjukan minat dalam setiap gagasannya, (8) menepati janji yang diberikan kepada bawahan, cepat menangani


(4)

15

keluhan, dan memberikan jawaban secara sungguh-sungguh dan tidak berbelit-belit serta (9) memberikan petunjuk dan jalan keluar tentang metode/mekanisme pekerjaan dengan cukup, meningkatkan keamanan dan menghindari kesalahan seminimal mungkin.

2.1.2 Beberapa Teori Kepemimpinan

Bila berbicara mengenai kepemimpinan, maka terlebih dahulu harus membahas teori-teori kepemimpinan. Robbins (1996) membagi teori mengenai kepemimpinan ke dalam empat kategori, yaitu :

1. Teori Ciri Kepemimpinan (The Leadership Characteristic theory)

Teori Ciri Kepemimpinan adalah teori yang mencari ciri kepribadian, sosial, fisik, atau intelektual yang memperbedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Dalam teori ini diidentifikasikan ciri-ciri yang dikaitkan secara konsisten dengan kepemimpinan yaitu enam ciri yang cenderung membedakan pemimpin dari bukan pemimpin adalah ambisi dan energi, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan integritas (keutuhan), percaya diri, kecerdasan, dan pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan. Di samping itu, riset baru-baru ini memberikan bukti kuat bahwa orang-orang yang mempunyai sifat pemantauan diri yang tinggi artinya sangat luwes dalam menyesuaikan perilaku mereka dalam situasi yang berlainan, jauh lebih besar kemungkinannya untuk muncul sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok ketimbang yang pemantauan dirinya rendah.


(5)

16

2. Teori Perilaku Kepemimpinan (Behavioral Theories of Leadership)

Teori Perilaku Kepemimpinan adalah teori-teori yang mengemukakan bahwa perilaku spesifik membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Adapun teori-teori yang termasuk ke dalam Teori Perilaku Kepemimpinan adalah:

a. Studi-studi Kepemimpinan Ohio State

Menurut Yukl (1994) kuesioner penelitian tentang perilaku kepemimpinan yang efektif telah didominasi oleh pengaruh dari kepemimpinan dari Ohio State University. Sebuah sasaran utama untuk mengidentifikasi perilaku kepemimpinan yang efektif. Analisis faktor dari jawaban kuesioner memberi indikasi bahwa para bawahan memandang perilaku atasannya pertama-tama dalam kaitannya dengan dua dimensi atau kategori arti dari perilaku, yang kemudian disebut sebagai “consideration” dan “initiating structure”.

Kedua-duanya adalah kategori yang didefinisikan secara luas yang terdiri atas sejumlah varietas yang luas mengenai jenis-jenis perilaku yang spesifik. Consideration adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin bertindak dengan cara ramah dan mendukung, memperlihatkan perhatian terhadap bawahan, dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Contohnya termasuk melakukan kebaikan kepada bawahan, mempunyai waktu untuk mendengarkan masalah para bawahan, mendukung atau berjuang untuk seorang bawahan, berkonsultasi dengan bawahan mengenai hal yang penting sebelum dilaksanakan, bersedia untuk menerima saran dari bawahan, dan memperlakukan bawahan sebagai sesamanya.

Initiating structure (struktur memprakarasai) adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin menentukan dan menstruktur perannya sendiri dan peran


(6)

17

dari para bawahan kearah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok. Contohnya termasuk memberi kritik kepada pekerjaan yang jelek, menekankan pentingnya memenuhi batas waktu, menugaskan bawahan, mempertahankan standar-standar kinerja tertentu, meminta bawahan untuk mengikuti prosedur-prosedur standar, menawarkan pendekatan baru terhadap masalah, mengkoordinasi kegiatan-kegiatan bawahan, dan memastikan bahwa bawahan bekerja sesuai dengan batas kemampuannya.

b. Telaah Universitas Michigan

Telaah kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Survei dan Survei Universitas Michigan mempunyai riset yang serupa dengan riset yang dilakukan di Ohio yaitu melokasi karakteristik perilaku pemimpin yang tampaknya dikaitkan dengan ukuran keefektifan kinerja. Kelompok Michigan juga membagi perilaku pemimpin ke dalam dua dimensi yaitu pemimpin berorientasi karyawan dan pemimpin berorientasi produksi. Pemimpin yang berorientasi karyawan (employee oriented leader) menekankan pada hubungan antarpribadi, memberikan perhatian pribadi terhadap kebutuhan karyawan dam menerima perbedaan individual di antara para anggota. Sebaliknya pemimpin yang berorientasi produksi (production oriented leader) cenderung menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan tertentu, perhatian utama mereka adalah pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggota-anggota kelompok adalah suatu alat untuk tujuan akhir itu.

c. Kisi-kisi Manajerial Blake & Mouton dan Studi Skandinavia

Suatu penggambaran grafis dari pandangan dua dimensi terhadap gaya kepemimpinan dikembangkan oleh Blake dan Mouton. Mereka


(7)

18

mengemukakan Kisi Manajerial berdasarkan gaya “kepedulian akan orang” dan “kepedulian akan produksi”, yang pada hakikatnya mewakili dimensi pertimbangan dan struktur prakarsa dari Ohio atau dimensi berorientasi karyawan dan berorientasi produksi dari Michigan. Kisi manajerial itu sendiri merupakan suatu matriks sembilan kali sembilan yang membagankan delapan puluh satu gaya kepemimpinan yang berlainan.

Berdasarkan penemuan-penemuan Blake dan Mouton, para manajer berkinerja paling baik pada gaya 9,9 dimana perhatiannya pada produksi tinggi tetapi perhatiannya pada karyawan juga tinggi, jika dibandingkan dengan gaya 9,1 (tipe otoritas) atau gaya 1,9 (tipe laissez-faire).

Studi skandinavia mengatakan premis dasar mereka adalah bahwa dalam suatu dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan menampakkan perilaku yang berorientasi pengembangan (orients expansion). Mereka adalah para pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mencari gagasan baru, serta membuat dan mengimplementasikan perubahan.

3. Teori Kontingensi (Contingency Theory)

Teori Kontingensi merupakan pendekatan kepemimpinan yang mendorong pemimpin memahami perilakunya sendiri. Teori ini mengatakan bahwa keefektifan sebuah kepemimpinan adalah fungsi dari berbagai aspek situasi kepemimpinan (Ivancevich, Konopaske, Matteson, 2007). Adapun lima teori yang termasuk ke dalam teori kontingensi adalah :

a. Model kontingensi Fiedler (Fiedler Contingency Model)

Mengemukakakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada padanan yang tepat antara gaya si pemimpin dan sampai tingkat mana situasi


(8)

19

memberikan kendali dan pengaruh kepada si pemimpin. Fiedler menciptakan instrument, yang disebutnya LPC (Least Preffered Co-Worker) yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas atau hubungan. Kemudian setelah gaya kepemimpinan dasar individu dinilai melalui LPC yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas ataukah hubungan, Fiedler mendefinisikan faktor-faktor hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas dan kekuasaan jabatan sebagai faktor situasi utama yang menentukan efekftivitas kepemimpinan.

b. Teori Situasional Hersey dan Blanchad

Merupakan suatu teori kemungkinan yang memusatkan perhatian pada para pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya kepemimpinan yang tepat, yang menurut argument Hersey dan Blanchard bersifat tergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya. Tekanan pada pengikut dalam keefektifan kepemimpinan mencerminkan kenyataan bahwa para pengikutlah yang menerima baik atau menolak pemimpin. Tidak peduli apa yang dilakukan si pemimpin itu, keefektifan bergantung pada tindakan dari pengikutnya. Inilah dimensi penting yang kurang ditekankan dalam kebanyakan teori kepemimpinan. Istilah kesiapan, seperti didefinisikan oleh Hersey dan Blanchard, merujuk ke sejauh mana orang mempunyai kemampuan dan kesiapan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu.

c. Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota

Menurut teori ini para pemimpin menciptakan kelompok-dalam dan kelompok-luar, dan bawahan dengan status kelompok-dalam akan


(9)

20

mempunyai penilaian kinerja yang lebih tinggi, tingkat keluarnya karyawan yang lebih rendah, dan kepuasan yang lebih besar bersama atasan mereka. Hal pokok yang harus dicatat di sini adalah bahwa walaupun pemimpinlah yang melakukan pemilihan, karakteristik pengikutlah yang mendorong keputusan kategorisasi dari pemimpin.

d. Teori Jalur-Tujuan Robert House (House’s Path Goal Theory)

Merupakan teori bahwa perilaku seorang pemimpin dapat diterima baik oleh bawahan sejauh mereka pandang sebagai suatu sumber dari atau kepuasan segera atau kepuasan masa depan. Hakikat teori ini adalah bahwa merupakan tugas si pemimpin untuk membantu pengikutnya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberikan pengarahan yang perlu dan / atau dukungan guna memastikan tujuan mereka sesuai dengan sasaran keseluruhan dari kelompok atau organisasi.

e. Teori Model Partisipasi-Pemimpin Vroom dan Yetton

Merupakan suatu teori kepemimpinan yang memberikan seperangkat aturan untuk menentukan ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi-situasi yang berlainan.

4. Teori Neo-Karismatik (Neocharismatic Theories)

Merupakan teori kepemimpinan yang menekankan simbolisme, daya tarik emosional, dan komitmen pengikut yang luar biasa. Teori-teori yang termasuk ke dalam teori ini adalah

a. Teori Kepemimpinan Karismatik (Charismatic Leadership)

Teori Kepemimpinan Karismatik mengemukakan bahwa para pengikut membuat atribusi dari kemampuan kepemimpinan yang heroic atau luar biasa


(10)

21

bila mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Kepemimpinan karismatik mungkin tidak selalu diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja karyawan yang tinggi. Mungkin paling tepat bila tugas dari pengikut memiliki suatu komponen ideologis atau bila lingkungan melibatkan satu tingkat stress dan ketidakpastian yang tinggi.

b. Teori Kepemimpinan Transformasional

Teori yang menyatakan bahwa pemimpin memberikan pertimbangan dan ransangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki karisma. c. Teori Kepemimpinan Transaksional

Merupakan teori yang menyatakan bahwa pemimpin memandu atau memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.

d. Teori Kepemimpinan Visioner (Visionary Leadership)

Teori dimana pemimpin memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengkomunikasikan visi yang realistis, dapat dipercaya, dan menarik mengenai masa depan bagi suatu organisasi atau unit organisasi, yang tumbuh dan menjadi semakin baik di masa sekarang.

2.1.3 Gaya Kepemimpinan

Dalam mensukseskan kepemimpinan dalam organisasi, pemimpin perlu memikirkan dan memperlihatkan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan kepada pegawainya (Mulyadi dan Rivai, 2009). Stoner, et al. (1995) memberikan definisi tentang gaya kepemimpinan yaitu berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Paul


(11)

22

Hersey dan K. H Blanchard, 1982 (dalam Marcian 2008) menyebutkan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku yang dilakukan oleh seseorang pada waktu tertentu dan berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain. Menurut Umar (2004) gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau teknik seseorang dalam menjalankan suatu kepemimpinan dan dapat pula diartikan sebagai norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat, dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi menjadi amat penting. Gaya atau cara/norma perilaku yang dipergunakan oleh sesorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia inginkan, menurut Miftah Thoha (1994), disebut gaya kepemimpinan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan yaitu pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan pemimpin, dengan menyatukan tujuan atau sasaran yang telah menjadi komitmen bersama (Abdilah, 2011).

2.1.4 Pemahaman Budaya 2.1.4.1 Budaya

Setiap kelompok masyarakat tertentu akan mempunyai cara yang berbeda dalam menjalani kehidupannya dengan sekelompok masyarakat yang lainnya. Cara-cara menjalani kehidupan sekelompok masyarakat dapat didefinisikansebagai budaya masyarakat tersebut. Satu definisi klasik mengenai budaya adalah sebagai berikut: "budaya adalah seperangkat pola perilaku yang secara sosial dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan cara-cara lain pada


(12)

23

anggota dari masyarakat tertentu (Wallendorf & Reilly dalam Mowen, 1995). Di lain sisi budaya menurut (Tyler dalam Mowen, 1995) merupakan “a complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, customs, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”.

Ada pula definisi yang menyatakan bahwa budaya adalah pola utuh prilaku manusia dan produk yang dihasilkannya yang membawa pola pikir, pola lisan, pola aksi, dan artifak, dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahunnya kepada generasi berikutnya melalui beragam alat, bahasa, dan pola nalar. Kedua definisi tersebut menyatakan bahwa budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang menyeluruh, bahwa budaya memiliki beragam aspek dan perwujudan, serta bahwa budaya dipahami melalui suatu proses belajar (Keyong, 2010)

Definisi di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani hidup dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan. Interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari generasi ke generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Misalnya proses difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa melihat bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani budaya populer dari negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar


(13)

24

dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah yang disebut bahwa budaya mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal tertentu adaptasi budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari anggota masyarakat terhadap budaya sendiri.

Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi (enculturati). Enkulturasi menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit menerima hal-hal baru dalam masyarakat dan cenderung mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan lagi disebut sebagai akulturasi (acculturation).

Budaya yang ada dalam sekelompok masyarakat merupakan seperangkat aturan dan cara-cara hidup. Dengan adanya aturan dan cara hidup/ anggota dituntun untuk menjalani kehidupan yang serasi. Masyarakat diperkenalkan pada adanya baik-buruk, benar-salah dan adanya harapan-harapan hidup. Dengan aturan seperti itu orang akan mempunyai pijakan bersikap dan bertindak. Jika tindakan yang dilakukan memenuhi aturan yang telah digariskan, maka akan timbul perasaan puas dalam dirinya dalam menjalani kehidupan. Rasa bahagia akan juga dirasakan oleh anggota masyarakat jika dia mampu memenuhi persyaratan-persyaratan sosialnya. Orang akan sangat bahagia jika mampu bertindak baik menurut aturan budayanya. Oleh karena itu, budaya merupakan


(14)

25

sarana untuk memuaskan kebutuhan anggota masyarakatnya. Kebudayaan, menurut (Soemardjan, 2010) adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Mengacu pendapat tersebut, maka karya masyarakat akan menghasilkan teknologi dan kebudayaan yang berwujud benda, misalnya rumah, makanan, senjata, pakaian dan sebagainya.

Budaya kerja biasanya didapatkan disekolah ketika kita remaja, sedangkan budaya organisasi didapatkan pada tahap akhir setelah kita menjadi karyawan dari sebuah perusahaan, biasanya pada saat dewasa. Dalam proses pembelajaran, nilai dikembangkan lebih awal untuk memainkan peran dalam proses penyeleksian dan nilai apa saja yang diterapkan (Frits, 2002). Menurut (Hofstede, 2005) budaya dapat diterapkan dalam beberapa cara yaitu:

a. Symbols merupakan kata-kata, gambar, gerak tubuh atau objek yang membawa arti tertentu, hanya diakui oleh mereka yang berbagi budaya. Kata-kata dalam bahasa atau jargon termasuk dalam kategori ini. Simbol dimasukkan ke dalam lapisan, terluar dangkal.

b. Heroes, mengacu pada manusia, kematian, kenyataan atau imajiner, memiliki karakter yang mulia dan sangat dipuji dalam suatu budaya dan dengan demikian menjadi teladan dalam budaya tersebut.

c. Rituals adalah kegiatan kolektif secara teknis berlebihan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, tetapi yang dalam suatu budaya, dianggap sebagai sosial penting misalnya tata cara berbicara dan menghormati orang lain. d. Value mengacu pada manifestasi terdalam, atau inti dari budaya. Nilai adalah


(15)

26

kecenderungannya dengan negara lain. Mereka adalah hal pertama anak-anak belajar tanpa disadari.

Dalam keanekaragaman budaya terjadi perbedaan karakter, nilai hidup, dll, sehingga mengelola perbedaan merupakan hal penting galam berhubungan dengan pihak lain. Mengelola perbedaan berarti memungkinkan semua karyawan untuk mewujudkan potensi-potensinya secara maksimum. Hal itu menitikberatkan kepada perubahan budaya dan infrastruktur organisasi sedemikian rupa sehingga karyawan dapat memberikan hasil produktivitas karyawan yang maksimal. Dasar pemikiran rasional untuk mengelola perbedaan terletak pada hasil legal, sosial, dan moral. Secara sederhana, alasan utama untuk mengelola perbedaan adalah kemampuan untuk membangun dan memelihara usaha dalam lingkungan yang kompetitif. Hal ini menjelaskan bahwa pentingnya perusahaan untuk mengelola perbedaan dengan pertama kali meninjau ulang trend demografi yang menimbulkan adanya perbedaan diantara tenaga kerja. (Robert, 2005)

2.1.4.2 Budaya Nasional

Budaya nasional merupakan pedoman dasar bagi karyawan untuk memahami pekerjaan, dan pendekatan untuk melakukan pekerjaan serta harapan karyawan untuk diperlakukan. Budaya nasional memiliki arti bahwa suatu cara bertindak tertentu lebih disukai karena dinggap cocok dengan nilai-nilai budaya daripada yang lain. Bila praktek manajemen. Tidak sesuai dengan budaya nasional yang telah dipercaya dan dianut, karyawan akan merasa tidak enak, tidak puas, tidak berkomitmen dan tidak menyukai. Karyawan akan merasa tidak suka atau terganggu bila diminta oleh manajemen untuk bertindak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budayanya. (Mas’ud, 2002).


(16)

27

Budaya merupakan sesuatu yang seharusnya dipelajari dan bukan untuk diwariskan (Hofstede, 2005). Nilai yang mendalam akan mewakili perasaan yang luas mengenai kebaikan dan kejahatan, keindahan dan kejelekan, rasional dan irrasional. Praktek yang diperkenalkan biasanya melalui manusia, misalnya kebiasaan kolektif disajikan dalam sesuatu yang terlihat seperti pakaian, bahasa, dan jargon, simbol status, kriteria promosi, tata cara pertemuan, gaya komunikasi, dan banyak lagi. Nilai-nilai dan praktek baik milik perangkat lunak suatu budaya, ada juga hardware dalam bentuk bangunan, perlatan kantor, dan jenis kendaraan yang mencerminkan karakteristik budaya.

Budaya nasional memiliki komposisi tingkat nilai lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat prakteknya, sedangkan budaya organisasi memiliki tingkat praktek yang lebih beragam dibandingkan tingkat nilainya. Budaya nasional adalah program yang pertama yang tertanam kedalam diri kita, nilai merupakan komponen terdalam dari program tersebut. Pada saat kita dewasa biasanya nilai-nilai sudah tertanam dengan baik sehingga sulit berubah.

Sistem bangsa telah diperkenalakan diseluruh dunia pada pertengahan abad ke duapuluh, diikuti dengan sistem kolonial yang telah dikembangkan tiga abad sebelumnya. Dalam periode kolonial, kemajuan teknologi negaranegara Eropa Barat yang hanya disebarkan pada negara-negara mereka saja, sehingga mereka membagi seluruh territorial wilayah didunia yang tidak memiliki kekuatan politik. Batas wilayah antara sebelum kolonial dan sesudah kolonial ditentukan oleh para penguasa kolonial dibanding dengan penduduk setempat. Oleh karena itu, bangsa tidak dapat disamakan dengan masyarakat hisoris. Bentuk-bentuk asli yang telah dikembangkan organisasi sosial, sebenarnya merupakan konsep


(17)

28

kebudayaan umum yang berlaku untuk seluruh masyarakat, dan bukan untuk bangsa. Namun, banyak negara yang keutuhan historisnya dikembangkan bahkan bila dalam negara tersebut terdiri-dari kelompok yang berbeda, mereka akan menjadi kelompok minoritas yang kurang terintergrasi. Dalam bangsa yang telah ada selama beberapa waktu ada kekuatan yang kuat terhadap intergrasi secara berkelanjutan. Hal ini bisa dalam bentuk bahasa nasional yang dominan, media massa umum, sistem pendidikan nasional, tentara nasional, sistem politik nasional, representasi nasional di acara olahraga dengan simbolis yang kuat dan emosional.

2.1.4.3 Dimensi Keragaman Kultural untuk Mengkaji Perbedaan Budaya

Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua prinsip yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari pertentangan antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis. Kapitalisme barat yang modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar berhadapan dengan tradisi pra-kapitalis yang tua yang berada di pedesaan (Boeke, 1983:11).

Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua karakteristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan golongan masyarakat yang memiliki ikatan sosial asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang terorganisasikan, profesional,


(18)

29

bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya. Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme diasosiasikan dengan farmer yang berciri kota, sementara prakapitalisme diasosiasikan dengan peasant yang berciri desa.

Dalam kerangka ini peasant merupakan masyarakat yang (1) hidup dari mengolah tanah, (2) hidup menetap dalam komunitas pedesaan, (3) menggunakan teknologi pertanian, seperti pacul, bajak, dan garu untuk melakukan produksi pertanian, (4) memiliki hubungan dengan kota. Selain itu juga mengolah tanah untuk tujuan subsistensi.

Kroeber dalam Foster (1967:2) mengemukakan bahwa peasant merupakan bagian masyarakat dari suatu budaya yang hidup dalam kaitannya dengan pasar dan pusat kota. Golongan masyarakat ini tidak lagi terisolasi, namun masih memegang nilai tradisional. Sementara itu menurut Firth (Marzali, 1998:85), sistem ekonomi peasant adalah sistem ekonomi yang menggunakan ketrampilan dan pembagian kerja sederhana, memiliki keterbatasan akses ke pasar, alat produksi dikuasai dan diorganisasikan secara nonkapitalistik, skala produsen tergolong kecil dengan hubungan produksi bersifat lebih personal, dan perhatian terhadap aspek sosial dan keagamaan lebih diutamakan daripada aspek materi. Menurut Wolf (1983:2), peasant merupakan orang desa yang bercocok tanam dan berternak di daerah pedesaan. Usaha tani tersebut tidak dilakukannya sebagai petani farmer atau pengusaha pertanian (agricultural enterpreneur) karena tidak dilakukan sebagai kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan ekonomis, namun dilakukan dalam kerangka pengelolaan rumah tangga.


(19)

30

Dalam melakukan produksi pertanian, peasant harus mengarahkan kegiatannya untuk melayani keluarga dan masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Diaz (1967:50), yaitu bahwa peasant sebagai man economic harus mengarahkan aktivitasnya dalam dua ruang, yakni ruang keluarga dan ruang masyarakat. Perhatian peasant terhadap keluarga dan masyarakatnya dikemukakan pula oleh Popkins (1979:28), yaitu bahwa pihak-pihak yang menjadi perhatian utama peasant adalah diri sendiri, keluarga, tetangga, dan komunitas desanya. Di dalam ruang keluarga maupun ruang masyarakat, peasant memberi dukungan dengan produksi usaha tani yang dilakukan dalam kondisi kesederhanaannya dengan teknologi non-industri dan bertumpu pada rumah tangga (household based), serta produksi pertanian berorientasi subsistensi (Elson, 1997:xix). Menurut Scott (1981:7), usaha subsistensi adalah usaha tani yang mengutamakan keamanan (safety first). Dalam kehidupan tertib sosial masyarakat, peasant perlu selalu menjaga relasi antarrumah tangga dan memelihara keseimbangan antara kepentingan keluarga dan masyarakat yang dapat mengikat peasant dengan masyarakat yang lebih luas. Menurut Wolf (1983:170), dalam kerangka ini upacara atau ritual memiliki suatu fungsi melegetimasi unit sosial dan relasi di antara sesama warga desa. Selain itu dari sudut komunikasi sosial, hal ini dapat mengukuhkan eksistensi peasant dalam komunitasnya. Sebagai produsen pertanian berskala kecil, tindakan dan pilihan petani selalu dikaitkan dengan sumber daya alam, seperti tanah, air, iklim, dan matahari. Dengan demikian peasant memiliki hubungan yang kuat dengan sistem ekologis (Weizt (1971:19). Kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis menciptakan pula prosedur dalam melakukan usaha tani. Keadaan ini menyebabkan petani akan sangat


(20)

31

berhati-hati dalam menerima introduksi teknologi baru. Dalam pandangan peasant, perubahan teknologi sekecil apapun akan membawa pada konsekuensi yang tidak terantisipasi yang dapat mengancam sistem produksi pertanian (Weitz, 1971:9).

Dalam menerima teknologi baru yang berimplikasi adanya prosedur yang berbeda dengan kebiasaan bertani, petani menggunakan pola pikir safety first demi keamanan subsistensinya. Analisis Scott (1981:3) menemukan bahwa etika subsistensi di kalangan petani Asia Tenggara merupakan akibat dari kehidupan petani yang dekat dengan garis batas yang merupakan garis antara keamanan dan risiko Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif moral ekonomi petani, peasant merupakan golongan petani yang selalu menentang risiko.

Soekartawi (2003:173) mengemukakan bahwa agribisnis terdiri dari petani yang selalu melakukan upaya memaksimalkan pendapatan dengan penguasaan sumber daya yang terbatas. Adapun cirinya, pertama, cepat mengadopsi inovasi sehingga digolongkan sebagai pengadopsi awal (early adopters). Kedua, memiliki derajat kosmopolitan yang tinggi. Ketiga, memiliki keberanian menanggung risiko dalam berusaha tani. Keempat, memiliki sikap mau dan kemampuan mencoba teknologi baru yang ditunjang oleh sumber daya yang memadai. Slamet (2003:16) mengemukakan bahwa untuk peningkatan produksi dalam pembangunan pertanian diperlukan teknologi maju. Oleh karena itu petani perlu mengadopsi teknologi maju. Dalam perspektif penyuluhan pembangunan, petani maju adalah petani yang memiliki kemampuan untuk memerankan diri sebagai warga negara yang baik sesuai dengan profesinya, dan sanggup berswadaya untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya (Slamet, 2003:18).


(21)

32

Pambudy (2003:235) mengemukakan bahwa seorang usahawan agribisnis merupakan orang yang mampu untuk menyelesaikan proses dari menghasilkan ide kreatif, inovasi, hingga menghasilkan produk barang atau jasa untuk dapat dipasarkan dengan keuntungan yang memadai. Selain sebagai petani komersial berbudaya industri, farmer juga dapat digolongkan sebagai petani modern. Menurut Suriasumantri (2000:384), masyarakat modern yang urban memiliki indikator sebagai berikut, pertama, bersifat analitik. Di samping itu, sebagian besar aspek kehidupannya dilandaskan pada asas efisiensi secara teknis maupun ekonomis. Indikator ini menempatkan nilai teori dan nilai ekonomi pada posisi penting. Nilai teori terkait dengan aspek penalaran, ilmu, dan teknologi, sedangkan nilai ekonomi berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara efektif dan efisien berlandaskan perhitungan yang bertanggung jawab. Sementara itu pengambilan keputusan berlandas pada argumentasi kuat. Kekuatan berpikir bersifat dominan yang mengabaikan penarikan kesimpulan dari intuisi, perasaan, dan tradisi. Kedua, bersifat individual. Nilai sosial dan kekuasaan dalam kerangka ini harus berorientasi pada kepercayaan diri sendiri serta keberanian untuk mengambil keputusan sendiri. Hubungan antarmanusia bersifat individual, sementara untuk mempertahankan hidup seseorang harus mampu bersaing secara produktif. Perbedaan budaya lainnya dari peasant dan farmer lainnya dapat dikaitkan dengan dikotomi budaya yang dapat dijelaskan dengan konsep orientasi nilai dari Kluckhohn dan Strodtbeck, individualisme-kolektivisme, variabilitas budaya Hofstede, Pola-pola Parsons, dan keketatan Struktral.


(22)

33 A.Orientasi Nilai dari Kluckhohn-Strodtbeck

Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan dimensi orientasi nilai. Dimensi ini terdiri dari orientasi sifat manusia, orientasi sifat orang, oientasi waktu, aktivitas, dan orientasi relasional (Gudykunst dan Kim, 1997:78). Dimensi pertama adalah orientasi sifat manusia yang terkait dengan sifat bawaan. Dalam dimensi ini, manusia dipandang baik atau jahat atau campuran antara baik dan jahat yang merupakan pembawaan sejak lahir. Dimensi kedua, orientasi relasi manusia dan alam. Ada tiga jenis relasi, yaitu takluk, menyelaraskan, dan mengendalikan. Dimensi ketiga, orientasi waktu. Dalam dimensi ini, kehidupan manusia dapat berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa depan. Orientasi yang kuat terhadap masa lalu cenderung menonjol pada kelompok budaya yang menempatkan tradisi dalam posisi yang utama, seperti pemujaan pada leluhur atau yang memberi tekanan lebih pada kohesivitas keluarga. Dimensi keempat, orientasi aktivitas. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi aktivitas dapat dipandang sebagai doing, being, dan being-in-becoming. Orientasi doing berfokus pada jenis aktivitas yang memiliki keluaran eksternal yang dapat diukur. Oleh karena itu aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini terdapat pula orientasi pada capaian hasil. Dimensi kelima, orientasi relasional. Orientasi relasional terkait dengan dimensi individualisme-kolektivisme. Keterkaitan itu adalah karena cara orang berinteraksi memiliki fokus yang berbeda, yaitu ke arah individualisme atau kolektivisme.

Kluckholn dan Strodtbeck (1961) membandingkan budaya berdasarkan atas beberapa dimensi sebagai berikut :


(23)

34 1. Nature of People (Karakter dasar manusia)

Budaya yang berorientasi pada sifat manusia membagi karakter manusia menjadi: baik, buruk, dan campuran antara baik dan buruk. Masyarakat Barat, umumnya, memandang manusia memiliki karakter yang baik, sedangkan masyarakat Timur (misalnya Cina) memandang manusia memiliki sifat baik atau buruk. Orientasi seperti ini memiliki konsekuensi yang sangat berarti dalam bersikap kepada orang lain, baik dalam aspek kepercayaan atau interaksi dengan orang lain.

2. Relationship to The Environment (Hubungan dengan alam lingkungan) Pada budaya yang berorientasi pada alam, berkaitan dengan cara manusia memperlakukan lingkungannya. Manusia dapat menguasai atau mengungguli lingkungan, hidup selaras dengan lingkungan, atau menaklukkan (subjugate) lingkungannya. Masyarakat Barat berpendirian bahwa mereka dapat mengendalikan lingkungan dan semua kekuatan alam (misalnya badai, banjir). Masyarakat Timur berpendirian bahwa manusia harus hidup selaras dengan lingkungannya dan bahkan memujanya. Orientasi terhadap lingkungan mempengaruhi sikap manusia terhadap agama, estetika, kepemilikan benda, kualitas hidup, dan hubungan terhadap manusia lainnya.

3. Activity Orientation (Orientasi Aktivitas)

Orientasi terhadap aktivitas manusia berkaitan dengan sikap manusia terhadap suatu aktivitas atau kegiatan. Ada masyarakat yang berorientasi “melakukan” (doing), misalnya masyarakat Amerika dan Jerman, mereka lebih menekankan kepada aktivitas atau kegiatan, penyelesaian tugas, berkompetisi, dan pencapaian tujuan. Selain itu ada masyarakat yang berorientasi “menjadi”


(24)

35

(being). Orang mmelakukan berbagai aktivitas secara spontan, memperturutkan kesenangan, dan menunjukkan spontanitasnya sebagai ekspresi kepribadiannya. Kelompok lainnya adalah kelompok masyarakat yang berorientasi kepada “the being –in-becoming” (yang menjadi). Masyarakat ini lebih tertarik kepada kehidupan spiritual daripada kehidupan material.

4. Time Orientation (Orientasi waktu)

Orientasi terhadap waktu berkaitan dengan dengan sikap manusia terhadap waktu. Orang dapat memusatkan diri ada masa lampau, saat ini, atau masa yang akan datang. Masyarakat Barat lebih berorientasi pada masa yang akan datang (future). Mereka menganggap bahwa waktu sebagai sesuatu yang harus dihargai, oleh karena itu harus dipergunakan secara efektif. Sebaliknya, masyarakat Timur, lebih berorientasi kepada masa lalu (past) dan tradisi. Mereka memuja leluhur dan memiliki tradisi keluarga yang kuat (misalnya masyarakat Jepang dan Cina). Masyarakat yang berorientasi pada waktu sekarang (present), percaya bahwa waktu sangat berarti. Orang Filipina, Meksiko, dan Amerika Latin pada umumnya berorientasi pada waktu saat ini. 5. Focus of Responsibility (Fokus tanggung jawab)

Orientasi terhadap tanggung jawab pada orang lain merupakan aspek yang sangat penting berkaitan dengan hubungan antar manusia dan paling membedakan anatara budaya Barat dengan budaya Timur. Kluckhohn & Strodtbeck, 1961, dalam Reisinger (2009: 130) menyebutkan tiga jenis orientasi terhadap orang lain: (1) individualistik (tujuan-tujuan individu mengatasi tujuan-tujuan kelompok); (2) collateral (individu merupakan bagian dari suatu kelompok sosial yang diakibatkan oleh hubungan yang diperluas


(25)

36

secara menyamping (laterally); dan (3) linear (mengutamakan keberlanjutan kelompok melalui penggantian waktu).

6. Conception of Space (Konsepsi tentang ruang)

Konsepsi keruangan menurut kerangka Kluchkohn dan Strodtbeck berhubungan dengan kepemilikan ruang. Beberapa budaya menganggap bahwa tempat atau ruang harus tetap dijaga sebagai milik pribadi, sementara kebudayaan lain menganggap bahwa sebuah ruang/tempat sangat terbuka bahkan sangat dianjurkan untuk mengembangkan bisnis di publik. Beberapa kelompok masyarakat menggabungkan antara publik dan privat.

Table 2.1

Cultural Orientations and Dimensions

No. Dimensi Indikator

I Nature of humans (karakter dasar manusia)

Good/Evil: The basic nature of people is essentially good (lower score) or evil (higher score).

Changeable/Unchangeable: The basic nature of humans is changeable (higher score) from good to  evil or vice versa, or not changeable (lower score). II Relationships among

people / focus responsibility

(Hubungan dengan orang lain / fokus tangungjawab)

Individual: Our primary responsibility is to and for ourselves as individuals, and next for our

immediate families.

Collective: Our primary responsibility is to and for a larger extended group of people, such as an extended family or society.

Hierarchical: Power and responsibility are naturally unequally distributed throughout society; those higher in the hierarchy have power over and responsibility for those lower.

III Relation to broad environment

(hubungan dengan lingkungan)

Mastery: We should control, direct and change the environment around us.

Subjugation: We should not try to change the basic direction of the broader environment around us, and we should allow ourselves to be influenced by a larger natural or supernatural element.


(26)

37

among the elements of the environment, including ourselves.

IV Activity (aktivitas)  Doing: People should continually engage in activity to accomplish tangible tasks.

Thinking: People should consider all aspects of a situation carefully and rationally before taking action.

Being: People should be spontaneous, and do everything in its own time.

V Time (waktu)  Past: Our decision criteria should be guided mostly by tradition.

Present: Our decision criteria should be guided mostly by immediate needs and circumstances.  Future: Our decision criteria should be guided by

predicted long term future needs and circumstances.

VI Space (ruang)  Public: The space around someone belongs to everyone and may be used by everyone.  Private: The space around someone belongs to

that person and cannot be used by anyone else without permission.

Diadopsi dari Kluckholn and Strodbeck (1961) dalam See Lane et al. (2000)

B.Variabilitas Budaya Hofstede

Menurut Hofstede (1994:109), ketidakpastian dirasakan dan dipelajari oleh seorang anggota budaya dari warisan budaya yang dipindahkan serta digerakkan melalui institusi dasar, seperti keluarga dan sekolah. Perasaan itu direfleksikan ke dalam nilai yang dipegang secara kolektif oleh anggota masyarakat, serta kemudian menuntun pola perilaku kolektif suatu masyarakat yang tidak mudah dipahami oleh masyarakat lainnya.

Para anggota budaya yang berderajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian memiliki toleransi yang rendah pada ketidakpastian dan sesuatu yang sifatnya ambigu. Para anggota dari kelompok budaya ini juga memiliki kebutuhan yang besar akan adanya peraturan formal dan kebenaran mutlak. Selain itu juga kurang memberi toleransi pada ide atau perilaku yang menyimpang dari


(27)

38

peraturan formal. Sementara itu, orang dari kelompok budaya yang memiliki derajat rendah dalam menghindari ketidakpastian akan memiliki karakteristik yang berlawanan dengan orang-orang yang memiliki derajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian.

Dimensi maskulinitas-feminitas (Hofstede dalam Ting-Toomey, 1999:72) terkait dengan masyarakat yang dengan jelas membedakan karakteristik peran jender. Karakteristik seperti laki-laki lebih asertif, keras, dan memiliki fokus pada keberhasilan material, sementara perempuan yang cenderung rendah hati, lembut, dan berfokus pada kualitas hidup. Hofstede (1994:81) dalam konteks organisasi mengemukakan bahwa pada kutub maskulin, terdapat kesempatan untuk meraih pendapatan yang tinggi, pengakuan layak yang berkaitan dengan prestasi, kemajuan menuju tataran pekerjaan yang lebih tinggi, serta memiliki tantangan dalam pekerjaan. Sementara itu pada kutub feminin terdapat relasi kerja yang baik, kerjasama yang baik, dan keamanan dalam melakukan pekerjaan. Suatu hal lagi yang menjadi pembeda antara budaya maskulin dan feminin adalah pada cara atau proses peranan jender didistribusikan dalam suatu kelompok budaya. Para anggota budaya maskulin akan berorientasi pada ambisi, benda atau materi, kekuasaan, dan ketegasan, sementara para anggota budaya feminin akan memberi nilai yang tinggi pada kualitas hidup, pelayanan, perhatian pada orang lain di dalam kelompok, dan pemeliharaan hubungan.

C.Pola-pola Parsons

Dimensi pola-pola Parsons berbentuk dikotomi situasi. Satu sisi dapat dipilih oleh seorang pelaku komunikasi dengan mempertimbangkan konteks situasinya. Pola ini terdiri dari afektivitas-netralitas afektif,


(28)

universalisme-39

partikularisme, ketersebaran-keterkhususan, askripsi-prestasi, orientasi instrumental-ekspresif (Gudykunst dan Kim, 1997:78). Pertama, afektivitas-netralitas afektif. Orentasi pola ini berkenaan dengan sifat kepuasan yang dicari oleh manusia. Sisi afektivitas menjadi posisi dari orang yang mencari kepuasan segera dari situasi yang ada. Kedua, universalisme-partikularisme. Orientasi universalistik berfokus pada kategorisasi orang atau obyek dalam konteks referensi universal, sedangkan orientasi partikularistik berfokus pada kategorisasi orang atau obyek secara spesifik. Ketiga, ketersebaran-keterkhususan. Orientasi ini berfokus pada cara orang memberi respon pada orang lain. Dengan orientasi ketersebaran, respon holistik akan diberikan seseorang kepada orang lain, sedangkan orientasi keterkhususan ditampakkan seseorang dengan memberi respon terhadap orang lain dalam cara yang khusus Keempat, askripsi-prestasi. Orientasi askripsi dari seseorang akan tampak ketika orang tersebut memandang orang lain. Dengan orientasi askriptif, pandangan seseorang akan bertolak pada prediksi sosiokultural, yakni dalam kerangka keanggotaan orang lain di dalam kelompoknya, seperti jender, umur, ras, etnik, kasta, dan sebagainya. Sementara orang dengan orientasi prestasi akan mendasarkan prediksi dalam kerangka prestasi yang dapat diraih orang lain. Kelima, orientasi instrumental-ekspresif. Orientasi instrumental ditampakkan oleh orang dalam interaksinya dengan orang lain jika interaksi itu merupakan sarana untuk mencapai tujuan lainnya, sedangkan orientasi ekspresif akan tampak pada orang yang interaksinya dengan orang lain merupakan tujuannya.

Keketatan struktural merupakan dimensi yang berfokus pada norma, aturan, dan batasan yang berlaku pada anggota suatu komunitas. Budaya yang


(29)

40

longgar hanya menerapkan sedikit peraturan dan batasan atas perilaku, sementara di dalam budaya yang ketat aturan dan batasan perilaku, norma dan aturan budaya cenderung jelas dan harus ditaati. Dalam budaya ketat, jika ada anggota komunitas yang melanggar norma dan aturan budaya dikenakan sanksi. Sebaliknya dalam komunitas budaya longgar, para anggota yang melanggarnya tidak akan dikenai sanksi sekeras pada budaya ketat (Gudykunst dan Kim, 1997:81).

2.1.5 Kebudayaan Indonesia

Beragamnya budaya nasional di Indonesia secara otomatis mempengaruhi gaya kepemimpinan lewat para pengikut. Pemimpin tidak dapat memilih gaya kepemimpinan mereka, karena dikendalikan oleh kondisi budaya yang ternyata diharapkan oleh pengikut mereka (Bowo, 2008). Untuk tipe kepemimpinan di Indonesia, budaya nasional sangat kental diterapkan dalam gaya kepemimpinan seseorang. Walaupun gaya kepemimpinan dari setiap suku atau budaya berbeda-beda, namun demikian secara umum telah ada tipologi gaya kepemimpinan nasional yang menunjukan adat ketimuran bangsa Indonesia (Bowo, 2008). Menurut Munandar (2001) di Indonesia kita kenal sebelas ciri pribadi yang diharapkan oleh seorang pemimpin, antara lain:

a. Takwa, menahan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Esa dan taat kepada segala perintah-Nya.

b. Ing Ngarsa Sung Tuladha, sebagai pemula, orang yang berada di depan, selalu memberi suri teladan kepada yang dipimpinnya.


(30)

41

c. Ing Madya Mangun Karsa, ditengah-tengah para anak buahnya ikut terjun langsung bekerja sama bahu membahu, memberi dorongan, semangat.

d. Tut Wuri Handayani, dari belakang selalu memberi dorongan dam arahan kepada apa yang diinginkan anak buahnya.

e. Waspada Purba Wisesa, selalu berhati-hati dalam segala kondisi, meneliti dan membuat perkiraan keadaan secara terus-menerus.

f. Ambeg Para Maarta, pandai menentukan mana yang menurut ruang, waktu dan keadaan patut didahulukan.

g. Prasaja, bersifat dan bersikap sederhana serta rendah hati dan correct.

h. Satya, loyalitas timbal-balik dan bersikap hemat, tidak ceroboh serta memelihara kondisi materiil dengan kecermatan.

i. Gemi nastiti, hemat dan cermat, sadar dan mampu membatasi penggunaan dan pengeluaran hanya untuk yang benar-benar diperlukan.

j. Belaka, bersifat dan bersikap terbuka, jujur dan siap menerima segala kritik yang membangun, selalu mawas diri dan selalu siap mempertanggungjawabkan perbuatannya.

k. Legawa, rela dan ikhlas untuk pada waktunya mengundurkan diri dari fungsi kepemimpinannya dan diganti dengan suatu generasi baru yang telah mewarisi kesepuluh ciri ini.

Ciri-ciri pribadi tersebut lebih berfungsi sebagai prinsip-prinsip yang harus dijalankan, sehingga mempunyai makna sebagai pedoman yang sifatnya normatif. De Bono, 1986 (dalam Munandar, 2001) berdasarkan wawancaranya dengan lima puluh pria dan wanita yang sangat berhasil dalam bidangnya masing-masing berkesimpulan bahwa ada empat macam faktor (dua ciri pribadi dan dua


(31)

42

lainnya merupakan faktor di luar dirinya) yang menentukan keberhasilan seseorang atau sekelompok orang. Kedua ciri pribadi itu adalah:

a. A little madness, orang yang tahu dengan pasti dan jelas apa yang ia inginkan dan memiliki dorongan yang sangat kuat untuk mencapai tujuannya.

b. Very talented, orang yang mempunyai bakat yang sangat menonjol di bidang tertentu.

c. Rapid growth field. Orang yang bekerja dalam bidang yang berkembang sangat cepat mempunyai peluang lebih banyak untuk berhasil, daripada orang yang bekerja di bidang yang tidak dapat berkembang dengan cepat. Bidang teknologi, khususnya komputer merupakan bidang yang cepat berkembang dengan cepat. Keadaan ini memungkinkan bakat untuk berkembang.

d. Luck. Ada orang yang kebetulan berada di tempat pada saat yang tepat untuk melakukan usahanya. Ada orang lain yang selalu kesulitan dalam memulai usahanya.

Selain itu, ciri kebudayaan pribadi bangsa Indonesia lainnya yang sangat banyak berpengaruh dalam kehidupan berorganisasi adalah bermusyawarah menuju mufakat, dan memutuskan segala sesuatu atas dasar konsensus diantara seluruh kelompok organik, sekurang-kurangnya diantara kelompok seangkatan pengalaman (peer group).

2.1.6 Kebudayaan Korea

Berdasarkan sudut pandang antropologis dan sosiologis, karakteristik-karakteristik kebudayaan tradisional Korea dengan fokus pada sistem keluarga


(32)

43

dan pengaruh yang ditimbulkan terhadap gaya manajemen korea atau budaya organisasi, adalah sebagai berikut (Cho, 1995).

1. Keselarasan dan Stabilitas

Konfusianisme mengatur norma-norma perilaku bagi orang Korea yang telah berlangsung selama 500 tahun Dinasti Chosun. Sampai saat ini pengaruh ajaran konfusianisme masih besar peranannya dalam kehidupan keluarga dan sosial. Menurut semangat dasar konfusianisme tradisional, loyalitas dan kewajiban antara raja dan rakyatnya merupakan suatu keharusan, hubungan erat antara kedua orang tua dan anakanak adalah penting dan perlu, peran-peran yang berbeda ada di antara kaum tua dan kaum muda; dan harus ada keyakinan antara teman. Artinya etika mengenai hubungan vertikal dan horisontal harus diamati agar bisa menetapkan stabilitas dalam keluarga dan masyarakat melalui keselarasan (Hahn, 1988). Dengan demikian, konfusianisme memiliki pengaruh yang besar terhadap ideologi manajemen, perilaku organisasi, sistem manajemen dan hubungan manusia. Perusahaan Korea secara khas menekankan keselarasan, kesatuan dan kerjasama, kreativitas dan pengembangan. Banyak sekali perusahaan mengaku bahwa stabilitas sebagai tujuan utama karena latar belakang kultur (budaya) manajemen, dimana keselarasan di kalangan para anggota dan pengembangan keseluruhan organisasi yang stabil lebih disukai daripada moral progresif dan pertumbuhan yang cepat. Sehubungan dengan latar belakang kebudayaan tradisional tersebut maka orang korea lebih menekankan manajemen personalia termasuk hubungan-hubungan manajemen tenaga kerja.


(33)

44 2. Suksesi yang Tidak Setara

Warisan kekayaan keluarga dalam sistem keluarga Korea berbentuk warisan yang tidak setara di mana anak laki-laki tertua diberi perlakuan istimewa. Dalam kehidupan keluarga Korea, ada sistem yang disebut keluarga utama yang akan digantikan oleh anak-laki-laki tertua. Dari anak laki-laki kedua dan seterusnya ke bawah, ada sistem yang disebut cabang dari keluarga tersebut. Pada waktu tertentu, meskipun ada kekayaan yang cukup untuk didistribusikan secara merata di kalangan anak laki, lazimnya saham terbesar diberikan kepada anak laki-laki tertua. Pembagian warisan yang tidak setara ini memiliki makna yang penting ketika diterapkan pada suksesi suatu perusahaan. Namun demikian, dalam banyak perusahaan di Korea, tidak semua otoritas pendiri dipindahkan kepada penerusnya. Meskipun si penerus tidak mewarisi posisi tersebut, kekuasaan memerintah yang mutlak dan pengaruh yang dulu dimiliki si pendiri tidak secara langsung diterima oleh para anggota organisasi dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Jika suksesi tidak setara diterapkan dalam perusahaan maka sebaiknya para penerima warisan yang akan meneruskan kepemimpinan diberikan pembelajaran terlebih dahulu. Artinya pembelajaran yang dimaksud adalah ikut dilibatkan seseorang calon pewaris (si penerus) dalam melakukan pengelolaan usaha, membuat keputusan usaha, dengan tujuan agar calon pewaris (si penerus) tidak awam sama sekali pada usaha orang tuanya dan bisa melanjutkan usahanya. 3. Eksklusivisme dan Sentralisasi Kekuasaan

Dalam kehidupan sosial tradisional Korea, pertalian darah dan status sosial mengandung latar belakang sikap orang Korea yang menimbulkan suatu cara berpikir yang eksklusif dan tertutup. Hal ini juga berlaku pada masyarakat Korea


(34)

45

secara umum di dalam kerangka kehidupan yang eksklusif dan tertutup yang dipelihara tersebut, kekuasaan yang diperlukan untuk menjaga urutan keluarga dikonsentrasikan pada kepala keluarga dan anggota keluarga yang tertua yang membentuk suatu struktur otoritas kekuasaan yang tersentralisir. Dalam melakukan ritus-ritus pengorbanan bagi pemujaan leluhur yang merupakan perluasan dari ketaatan anak laki-laki atau perempuan, keluarga langsung memiliki prioritas tersebut. Para kerabat dekat dan jauh, kaum manula dan kaum muda semua dibedakan, begitu juga yang berhubungan darah dan yang tidak. Bahkan di antara hubungan pribadi, orang-orang yang intim dan orang-orang yang tidak intim juga dibedakan sehingga merangsang timbulnya fraksionalisme (faham berdasarkan golongan). Prinsip tradisional sikap eksklusif dan sentralisasi kekuasaan juga menimbulkan dampak yang besar terhadap struktur kekuasaan dalam berbagai perusahaan bisnis Korea. Prinsip ini lebih jelas dipraktikkan oleh individu atau kelompok yang memiliki hak kepemilikan atas perusahaan, ketika mengamankan dan mempertahankan hak-hak pengelolaan.

4. Prinsip Senioritas

Prinsip ini digunakan dalam organisasi manajemen Korea sebagai standar yang digunakan untuk meningkatkan atau menaikkan gaji yang didasarkan pada prinsip personal. Prinsip personal adalah suatu prinsip yang dapat digunakan secara universal dan berlaku pada semua orang ketika mengevaluasi seseorang dalam kehidupan sosial Korea. Pertimbangan khusus diberikan pada personal yang telah berdinas lama dan mengundurkan diri untuk kesejahteraan hidup mereka. Prinsip senioritas dapat penulis katakan sebagai penghargaan yang diberikan oleh perusahaan pada karyawan senior, karena mereka sudah ikut


(35)

46

berjuang membesarkan perusahaan, dan pengorbanannya selama ini diakui oleh perusahaan dengan cara memberikan tingkat kesejahteraan lebih tinggi dibandingkan karyawan junior. Peran anggota-anggota keluarga juga ditentukan menurut derajat. Banyak kelas dan urutan derajat sangat ketat dalam keluarga dengan kepala keluarga sebagai pusat. Masing-masing individu melakukan kewajibannya sendiri menurut urutannya dalam derajat: ayah, suami, istri dan anak (Shin, 1984).

5. Otoritas Patriarkal dan Keselarasan

Dalam kehidupan keluarga tradisional Korea, ayah memiliki hak sebagai kepala keluarga dan hak sebagai ayah, sehingga ia menggunakan otoritas mutlak dan sepihak (sistem patriarkal) untuk mengatur orang-orang di bawahnya guna kesejahteraan keluarga. Namun demikian kepala keluarga tidak selalu menggunakan otoritas sepihak, ia juga menekankan keselarasan, memperlakukan keluarga dengan hangat, mengendalikan dan mendorong aktivitas anggota keluarganya (dikendalikan juga oleh orang yang lebih tua) untuk memperoleh kepatuhan mereka. Metode kontrol berdasarkan otoritas dan keselarasan dalam kehidupan keluarga tradisional ini mempengaruhi kepemimpinan manajemen dalam dua cara, yaitu: (1) para anggota perusahaan sadar bahwa otoritas tradisional para senior dalam derajat ditetapkan secara luas; (2) dalam cara yang sama, keselarasan sangat ditekankan dalam organisasi.

6. Kepatuhan dan Ketundukan

Norma-norma perilaku masyarakat Korea didasarkan pada konsep kepatuhan anak-anak pada orang tua (terlihat jelas pada hubungan ayah dengan anak laki-lakinya). Dalam kehidupan sehari-hari orang harus berbicara dengan penuh


(36)

47

hormat, bersikap beradap terhadap orang lain di luar keluarga yang lebih tua atau memiliki posisi lebih tinggi. Seseorang harus mengidentifikasi dirinya dalam kelompok sosial tersebut (sense of belonging), dan menunjukkan rasa hormat pada orang-orang di atasnya. Cara berpikir tradisional ini mempengaruhi hubungan vertikal antara para majikan dan karyawan. Anggota perusahaan Korea menganggap hubungan vertikal lebih penting daripada hubungan horisontal. Penekanan pada hubungan vertikal menimbulkan komunikasi ke bawah secara sepihak dan merupakan alasan bagi timbulnya konsentrasi pengambilan keputusan pada tingkattingkat atas organisasi tersebut.

2.2. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian perihal kepemimpinan yang sudah dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang langsung meneliti model kepemimpinan seorang pemimpin di suatu perusahaan, terutama perusahaan surat kabar, barulah sedikit. Namun, untuk menambah khazanah keilmuan serta yang menjadi inspirasi saya dalam melakukan penelitian tentang model kepemimpinan seorang pemimpin di suatu perusahaan ini, maka saya akan menyebutkan beberapa penelitian bertema kepemimpinan yang sudah pernah dilakukan, antara lain:

1. Vesa Suutari, Kusdi Raharjo, dan Timo Riikkila (2002)

Judul : The Chalenge of Cross-cultural Leadership Interaction: Finnish expatriates in Indonesia

Meneliti interaksi kepemimpinan lintas budaya para manajer ekspatriat dari Finlandia terhadap karyawan yang merupakan penduduk lokal dalam perusahaan multi nasional dari Finlandia yang ada di Indonesia.


(37)

48 2. Lieh-Ching Chang (2002)

Judul : Cross-cultural Differences in Internasional Management Using Kluckhohn-Strodtbeck Framework

Meneliti gaya kepemimpinan manajer internasional yang melakukan pekerjaan di luar negerinya dan pentingnya bagi para manajer internasional untuk mengetahui mengenai perbedaan budaya nasional di masing-masing negara.

3. Yoo Keun Shin (1999)

Judul : The Traits and Leadership Styles of CEO’s in Korean Companies Meneliti gaya kepemimpinan para CEO di beberapa perusahaan Korea dan mengidenttifikasi bagaimana pengikutnya menerima gaya kepemimpinan tersebut..

4. Rachel K (2004)

Judul : Culture, Intercultural Communication Competence, and Sales Negotiation: a Qualitative Research Approach

Meneiliti perbedaan kebudayaan dalam perusahaan, kompetensi komunikasi lintas budaya yang efektif dalam rangka meningkatkan kualitas negosiasi antar karyawan baik di dalam perusahaan maupun ke luar perusahaan untuk negosiasi penjualan.

5. Aya Fukushige dan David P. Spicer (2007)

Judul : Leadership Preference in Japan : An Exploratory Study

Meneliti mengenai preferensi kepemimpinan di Jepang dengan menggunakan dimensi penilaian budaya Bass dan Avolio serta mengidentifikasi para pengikut atau follower Jepang mengenai gaya


(38)

49

kepemimpinan kontemporer Jepang serta mengidentifikasi faktor-faktor lain di luar dimensi Bass dan Avolio.

2.3. Kerangka Pikir

Adapun skema kerangka pikir teoretis dalam pandangan peneliti adalah sebagai berikut:

Perusahaan internasional Kukdong Corporation memiliki perluasan usaha yang berada di Semarang Indonesia berupa perusahaan multi nasional PT. Semarang Garment. Perusahaan tersebut menempatkan pimpinan serta jajaran manajer ekspatriat yang berasal dari negaranya yaitu Korea Selatan. Para Sumber : Diadopsi dari Dimensi Budaya Kluckholn&Strodtbeck dan Pola-pola Parson, 2013

Home Country Korea Host Country Indonesia Budaya nasional Korea Budaya nasional Indonesia kepemimpin an followers /pengikut Proses penerimaan budaya Bentuk kepemimpin an gaya Korea di

Dimensi Kluckholn & Strodtbeck

Nature of humans Focus responsibility Relation to broad

environment Activity Time space Pola-pola Parson afektivitas-netralitas afektif  universalisme-partikularisme  ketersebaran-keterkhususan askripsi-prestasi orientasi


(39)

50

pemimpin ini membawahi sejumlah karyawan yang merupakan penduduk lokal. Dengan demikian, perbedaan budaya yang ada merupakan suatu tantangan bagi perusahaan, khususnya jajaran manajer yang sebaiknya memiliki kemampuan kepemimpinan lintas budaya secara efektif agar mampu mengembangkan perusahaan dan berinteraksi dengan baik bersama bawahannya meskipun dengan latar belakang budaya yang berbeda. Kepemimpinan gaya Korea yang diterapkan oleh manajer ekspatriat berkebudayaan Korea di perusahaan PT. Semarang Garment dan bagaimana para pengikut lokal berkebudayaan Indonesia menerima kepemimpinan tersebut merupakan fokus dari studi ini. Untuk mengidentifikasi hal tersebut, penelitian ini akan dibatasi beberapa variabel budaya dari kerangka Kluckholn& Strodtbeck serta pola-pola Parson.


(1)

45

secara umum di dalam kerangka kehidupan yang eksklusif dan tertutup yang dipelihara tersebut, kekuasaan yang diperlukan untuk menjaga urutan keluarga dikonsentrasikan pada kepala keluarga dan anggota keluarga yang tertua yang membentuk suatu struktur otoritas kekuasaan yang tersentralisir. Dalam melakukan ritus-ritus pengorbanan bagi pemujaan leluhur yang merupakan perluasan dari ketaatan anak laki-laki atau perempuan, keluarga langsung memiliki prioritas tersebut. Para kerabat dekat dan jauh, kaum manula dan kaum muda semua dibedakan, begitu juga yang berhubungan darah dan yang tidak. Bahkan di antara hubungan pribadi, orang-orang yang intim dan orang-orang yang tidak intim juga dibedakan sehingga merangsang timbulnya fraksionalisme (faham berdasarkan golongan). Prinsip tradisional sikap eksklusif dan sentralisasi kekuasaan juga menimbulkan dampak yang besar terhadap struktur kekuasaan dalam berbagai perusahaan bisnis Korea. Prinsip ini lebih jelas dipraktikkan oleh individu atau kelompok yang memiliki hak kepemilikan atas perusahaan, ketika mengamankan dan mempertahankan hak-hak pengelolaan.

4. Prinsip Senioritas

Prinsip ini digunakan dalam organisasi manajemen Korea sebagai standar yang digunakan untuk meningkatkan atau menaikkan gaji yang didasarkan pada prinsip personal. Prinsip personal adalah suatu prinsip yang dapat digunakan secara universal dan berlaku pada semua orang ketika mengevaluasi seseorang dalam kehidupan sosial Korea. Pertimbangan khusus diberikan pada personal yang telah berdinas lama dan mengundurkan diri untuk kesejahteraan hidup mereka. Prinsip senioritas dapat penulis katakan sebagai penghargaan yang diberikan oleh perusahaan pada karyawan senior, karena mereka sudah ikut


(2)

46

berjuang membesarkan perusahaan, dan pengorbanannya selama ini diakui oleh perusahaan dengan cara memberikan tingkat kesejahteraan lebih tinggi dibandingkan karyawan junior. Peran anggota-anggota keluarga juga ditentukan menurut derajat. Banyak kelas dan urutan derajat sangat ketat dalam keluarga dengan kepala keluarga sebagai pusat. Masing-masing individu melakukan kewajibannya sendiri menurut urutannya dalam derajat: ayah, suami, istri dan anak (Shin, 1984).

5. Otoritas Patriarkal dan Keselarasan

Dalam kehidupan keluarga tradisional Korea, ayah memiliki hak sebagai kepala keluarga dan hak sebagai ayah, sehingga ia menggunakan otoritas mutlak dan sepihak (sistem patriarkal) untuk mengatur orang-orang di bawahnya guna kesejahteraan keluarga. Namun demikian kepala keluarga tidak selalu menggunakan otoritas sepihak, ia juga menekankan keselarasan, memperlakukan keluarga dengan hangat, mengendalikan dan mendorong aktivitas anggota keluarganya (dikendalikan juga oleh orang yang lebih tua) untuk memperoleh kepatuhan mereka. Metode kontrol berdasarkan otoritas dan keselarasan dalam kehidupan keluarga tradisional ini mempengaruhi kepemimpinan manajemen dalam dua cara, yaitu: (1) para anggota perusahaan sadar bahwa otoritas tradisional para senior dalam derajat ditetapkan secara luas; (2) dalam cara yang sama, keselarasan sangat ditekankan dalam organisasi.

6. Kepatuhan dan Ketundukan

Norma-norma perilaku masyarakat Korea didasarkan pada konsep kepatuhan anak-anak pada orang tua (terlihat jelas pada hubungan ayah dengan anak laki-lakinya). Dalam kehidupan sehari-hari orang harus berbicara dengan penuh


(3)

47

hormat, bersikap beradap terhadap orang lain di luar keluarga yang lebih tua atau memiliki posisi lebih tinggi. Seseorang harus mengidentifikasi dirinya dalam kelompok sosial tersebut (sense of belonging), dan menunjukkan rasa hormat pada orang-orang di atasnya. Cara berpikir tradisional ini mempengaruhi hubungan vertikal antara para majikan dan karyawan. Anggota perusahaan Korea menganggap hubungan vertikal lebih penting daripada hubungan horisontal. Penekanan pada hubungan vertikal menimbulkan komunikasi ke bawah secara sepihak dan merupakan alasan bagi timbulnya konsentrasi pengambilan keputusan pada tingkattingkat atas organisasi tersebut.

2.2. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian perihal kepemimpinan yang sudah dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang langsung meneliti model kepemimpinan seorang pemimpin di suatu perusahaan, terutama perusahaan surat kabar, barulah sedikit. Namun, untuk menambah khazanah keilmuan serta yang menjadi inspirasi saya dalam melakukan penelitian tentang model kepemimpinan seorang pemimpin di suatu perusahaan ini, maka saya akan menyebutkan beberapa penelitian bertema kepemimpinan yang sudah pernah dilakukan, antara lain:

1. Vesa Suutari, Kusdi Raharjo, dan Timo Riikkila (2002)

Judul : The Chalenge of Cross-cultural Leadership Interaction: Finnish expatriates in Indonesia

Meneliti interaksi kepemimpinan lintas budaya para manajer ekspatriat dari Finlandia terhadap karyawan yang merupakan penduduk lokal dalam perusahaan multi nasional dari Finlandia yang ada di Indonesia.


(4)

48

2. Lieh-Ching Chang (2002)

Judul : Cross-cultural Differences in Internasional Management Using Kluckhohn-Strodtbeck Framework

Meneliti gaya kepemimpinan manajer internasional yang melakukan pekerjaan di luar negerinya dan pentingnya bagi para manajer internasional untuk mengetahui mengenai perbedaan budaya nasional di masing-masing negara.

3. Yoo Keun Shin (1999)

Judul : The Traits and Leadership Styles of CEO’s in Korean Companies

Meneliti gaya kepemimpinan para CEO di beberapa perusahaan Korea dan mengidenttifikasi bagaimana pengikutnya menerima gaya kepemimpinan tersebut..

4. Rachel K (2004)

Judul : Culture, Intercultural Communication Competence, and Sales Negotiation: a Qualitative Research Approach

Meneiliti perbedaan kebudayaan dalam perusahaan, kompetensi komunikasi lintas budaya yang efektif dalam rangka meningkatkan kualitas negosiasi antar karyawan baik di dalam perusahaan maupun ke luar perusahaan untuk negosiasi penjualan.

5. Aya Fukushige dan David P. Spicer (2007)

Judul : Leadership Preference in Japan : An Exploratory Study

Meneliti mengenai preferensi kepemimpinan di Jepang dengan menggunakan dimensi penilaian budaya Bass dan Avolio serta mengidentifikasi para pengikut atau follower Jepang mengenai gaya


(5)

49

kepemimpinan kontemporer Jepang serta mengidentifikasi faktor-faktor lain di luar dimensi Bass dan Avolio.

2.3. Kerangka Pikir

Adapun skema kerangka pikir teoretis dalam pandangan peneliti adalah sebagai berikut:

Perusahaan internasional Kukdong Corporation memiliki perluasan usaha yang berada di Semarang Indonesia berupa perusahaan multi nasional PT. Semarang Garment. Perusahaan tersebut menempatkan pimpinan serta jajaran manajer ekspatriat yang berasal dari negaranya yaitu Korea Selatan. Para Sumber : Diadopsi dari Dimensi Budaya Kluckholn&Strodtbeck dan Pola-pola Parson, 2013

Home Country Korea Host Country Indonesia Budaya nasional Korea Budaya nasional Indonesia kepemimpin an followers /pengikut Proses penerimaan budaya Bentuk kepemimpin an gaya Korea di

Dimensi Kluckholn & Strodtbeck

Nature of humans

Focus responsibility

Relation to broad environment Activity Time space Pola-pola Parson afektivitas-netralitas afektif  universalisme-partikularisme  ketersebaran-keterkhususan askripsi-prestasi

orientasi instrumental-ekspresif


(6)

50

pemimpin ini membawahi sejumlah karyawan yang merupakan penduduk lokal. Dengan demikian, perbedaan budaya yang ada merupakan suatu tantangan bagi perusahaan, khususnya jajaran manajer yang sebaiknya memiliki kemampuan kepemimpinan lintas budaya secara efektif agar mampu mengembangkan perusahaan dan berinteraksi dengan baik bersama bawahannya meskipun dengan latar belakang budaya yang berbeda. Kepemimpinan gaya Korea yang diterapkan oleh manajer ekspatriat berkebudayaan Korea di perusahaan PT. Semarang Garment dan bagaimana para pengikut lokal berkebudayaan Indonesia menerima kepemimpinan tersebut merupakan fokus dari studi ini. Untuk mengidentifikasi hal tersebut, penelitian ini akan dibatasi beberapa variabel budaya dari kerangka Kluckholn& Strodtbeck serta pola-pola Parson.