Sejarah kurikulum

(1)

 

       EDISI 2010 

 

     

 

SEJARAH

 

PUSAT

 

KURIKULUM

 

     

Oleh

 

 

Prof. Dr. H. Soedijarto 

Drs. Thamrin,MA 

Brs. Benny Karyadi,M.Sc 

Dr. Siskandar,MA 

Dr. Sumiyati, M.Pd 

 

 

PUSAT

 

KURIKULUM

 

BADAN

 

PENELITIAN

 

DAN

 

PENGEMBANGAN

 

KEMENTERIAN

 

PENDIDIKAN

 

NASIONAL

 


(2)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN LATARBELAKANG BAB I.

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM 1974-19815

A. Kurikulum 1975, Perencanaan dan Pengembangan... 5

B. Proyek Perintis Sekolah Pembangunan ... 20

C. Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Bantuan Profesional Bagi Guru guru dan Profesional ... 22

BAB II PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM 1981-1988 A. Latar belakang Kurikulum 1981 – 1984 ... 36

B. Model perencanaan dan pengembangan kurikulum 1981-1988 ... 37

C. Kegiatan perencanaan dan pengembangan kurikulum 1981 – 1988... 38

D. Kurikulum 1984, proses perencanaan dan pengembangannya ... 41

E. Pendekatan pembelajaran CBSA dan Keterampilan Proses ... 54

BAB III LATARBELAKANG DAN LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM 1994 A. Latarbelakang Kurikulum 1994 ... 63

B. Pengembangan Kurikulum 1994 ... 70

C. Struktur Kurikulum 1994 ... 74

BAB IV LATARBELAKANG DAN LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM 2004 A. Latarbelakang ... 90

B. Kerangka Dasar Kurikulum... 93

C. Struktur Kurikulum ... 107

D. Pengelolaan Kurikulum... 124

E. Evaluasi Kurikulum ... 133

BAB V PENUTUP... 138


(3)

PENDAHULUAN

LATARBELAKANG

KURIKULUM adalah program pendidikan yang meliputi berbagai mata pelajaran atau mata kuliah yang harus diperlajari peserta didik dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT) yang sudah ada sejak ada sistem persekolahan. Di Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan terutama dalam periode penjajahan sejak permulaan abad ke 20 sudah dikenal adanya penjenjangan persekolahan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Sampai tahun 1942 pada tingkat Sekolah Dasar, pendidikan sudah dibedakan mulai dari kurikulum, fasilitas belajar dan gurunya, yaitu antara sekolah untuk rakyat jelata pribuni, pribumi priayi, dan untuk anak-anak orang keturunan China dan Eropa.

Untuk SD bagi rakyat jelata pribumi dikenal Sekolah Kelas Dua dari kelas IV sampai kelas V sebagai kelanjutan Sekolah Desa (Volkschool) dengan bahasa pengantar bahasa Melayu dan tulisan Latin. Untuk sekolah bagi anak pribumi dari keluarga priayi disediakan Sekolah Dasar HIS ( Hollandsche Inlandsche School ) yang lama belajarnya tujuh tahun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sedangkan sekolah untuk kaum penjajah dan anak-anak keturunan Eropa lainnya disediakan ELS ( Europesche Lagere School ). Hanya sebagai segelintir kecil anak-anak pribumi dari kelompok keluarga priayi yang boleh masuk ELS.

Untuk pendidikan tingkat SMP dan SMA dibedakan pula berdasarkan strata sosial. Sekolah untuk anak-anak priayi pribumi disediakan MULO ( Meer

Uitgebreid Lager Onderwijs ) . Sekolah setingkat SMA disediakan AMS (Algemeine Midle School).

Sedangkan untuk sekolah menengah bagi anak-anak Belanda dan Eropa disediakan sekolah HBS ( Hogere Burger School ) sebagai kelanjutan dari ELS. Sejak zaman pendudukan Jepang diversivikasi persekolahan menurut strata sosial dihapus dan sejak proklamasi kemerdekaan, Pemerintah menetapkan satu sistem pendidikan nasional yaitu SR ( Sekolah Rakyat atau Sekolah Rendah ) SMP/SGB/ST,


(4)

SMA/SMK/Sekolah Guru. Sampai tahun 1975 kurikulum sistem persekolahan ditentukan oleh instansi yang mengelola sekolah Sejak proklamasi sampai tahun 1968 kita mengenal kurikulum sebagai berikut :

Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Kurikulum 1964, Kurikulum 1968/69. Struktur dan materi kurikulum pada periode tersebut di SD dan SMP tidak banyak mengalami perubahan kecuali pada kurikulum mata pelajaran Kewarganegaraan dan Sejarah yang diperbaharui karena perubahan politik, seperti masuknya Manipol Usdek dalam kurikulum 1964. Sebagai bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan dan diubahnya materi Pendidikan Kewarganegaraan pada era Orde Baru ( Kurikulum 1968 ) menjadi Pendidikan Moral Pancasila. Pada kurikulum 1968/1969 di tingkat SMA terjadi perubahan penjurusan dan struktur kurikulum antara tahun 1950, 1964 dan 1968/1968. Apakah latarbelakang perubahan tersebut?.

Jawabnya sukar ditemukan karena sampai dekade ke-7 abad ke-20 hampir tidak ada analisis dan studi yang menyoroti masalah perencanaan dan pengembangan kurikulum. Sampai akhir dekade ke 6 abad ke 20 walaupun kurikulum berubah tetapi mata pelajaran terutama pada tingkat SMA hampir tidak ada perubahan tentang buku pelajaran baik Botani, Aljabar dan Sejarah Dunia. Sehingga buku-buku tersebut dapat diwariskan kepada adik-adik dan generasi berikutnya. Perlu dicatat bahwa sampai dengan tahun 1960-an tujuan pendidikan nasional seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 junto Undang-Undang No. 12 Tahun 1954, dan pada era Demokrasi Terpimpin dalam penetapan Presiden. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tujuan pendidikan nasional adalah “membentuk manusia Indonesia yang susila dan cakap serta bertanggung jawab”. Adapun dalam era Demokrasi Terpimpin tekanannya pada pembentukan manusia Pancasila dan manusia sosialis Indonesia. Seberapa jauh tujuan tersebut secara terencana diupayakan tercapainya melalui kurikulum? Tidak ada studi yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri,SH adalah Menteri Pendidikan dalam sejarah pendidikan Indonesia yang banyak melakukan perubahan (inovasi) . Berbagai perubahan yang dilakukan diantaranya adalah :


(5)

1. Diubahnya ujian Negara menjadi ujian sekolah;

2. Pembaruan materi pelajaran seperti diperkenalkannya Matematika Modern dan Modern Science yang berdampak pada penulisan buku pelajaran baru; dan

3. Dilaksanakannya evaluasi nasional pendidikan secara konprehensif (

Education National Assessment ).

Mulai periode Menteri Mashuri pembaruan pendidikan ditempuh melalui pendekatan penelitian dan pengembangan. Untuk melaksanakan program tersebut di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dibentuklah Badan Pengembangan Pendidikan (BPP) yang terdiri dari :

1. Sekretariat Badan

2. Lembaga Pengembangan Kurikulum

3. Lembaga Pengembangan Guru dan tenaga Teknis 4. Lembaga Pengembangan Alat-alat Pendidikan 5. Lembaga Pengembangan Fasilitas Pendidikan 6. Lembaga Penelitian dan Evaluasi Pendidikan 7. Lembaga Pengembangan Perpustakaan Pendidikan.

( lihat Keputusan Presiden RI Nomor 84 Tahun 1969 tentang Pembentukan Badan Pengembangan Pendidikan pada Departemen Pendidikan dan Kabudayaan ).

Kemudian nama lembaga tersebut disederhanakan menjadi : 1. Sekraetariat Badan

2. Lembaga Pengembangan Media Pendidikan

3. Lembaga Pengembangan Kurikulum

4. Lembaga Inovasi dan EvaluasiPendidikan

5. Lembaga Pengembangan Informasi dan Statistik Pendidikan 6. Lembaga Penelitian Pendidikan.

Badan Pengembangan Pendidikan (BPP) dipimpin oleh Dr. Kartomo seorang ekonom (dosen Universitas Indonesia), Sedangkan Lembaga Pengembangan Kurikulum pertama kali dipimpin oleh Dr. Soepardjo Adikoesoemo (alm) seorang


(6)

geograf lulusan universitas di Jerman. Tugas utama sebagai fokus yang dilakukan oleh BPP dibawah pimpinan Dr. Kartomo adalah melakukan asesmen pendidikan

( education assessment ). Diantara berbagai tim yang dibentuk untuk

melaksanakan asesmen pendidikan adalah Tim Sistem Analisis.

Tim analisis ini terdiri dari tiga Cluster diantaranya adalah Cluster II yang dipimpin oleh Drs.Soedijarto,M.A. (lulusan University of California) yang tugasnya adalah melakukan identifikasi tujuan-tujuan pendidikan. Sejak Orde Baru walaupun Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 tidak pernah dicabut berlakunya, tetapi tujuan pendidikan nasional rumusannya sampai tahun 1989, tidak tercantum dalam Undang-Undang, melainkan dalam Ketetapan MPR RI. Pada saat Cluster II melakukan identifikasi tujuan-tujuan pendidikan nasional, TAP MPR yang menggariskan tujuan pendidikan nasional adalah TAP MPRS No. XXVII/66 yang tertulis sebagai berikut :

“ Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan isi Undang-Undang Dasar 1945 (TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966 “

Cluster II Sistem Analisis keanggotaannnya meliputi unsur-unsur yang mewakili Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah ( Soetjipto), Pendidikan Kejuruan (Suradjiman), Pendidikan Dasar ( Anwar Jasin ), Sekretariat Jenderal ( Wardojo ), BPKB Jayagiri ( Maman Suherman), Badan Pengembangan Pendidikan (Thamrin Gunardi), Angkatan Udara ( Mayor I.B. Arnawa ), Angkatan Laut ( Mayor Tonny Hartono ), Kepolisian ( Mayor Sukarno Shinduputro). Sebagai Ketua Tim adalah Soedijarto (BPP).

Dalam melaksanakan fungsinya Cluster II Sistem Analisis didukung oleh para ahli dari Amerika Serikat antara lain :

1. Dr. Vincent Campbell ( Stanford University ) 2. Dr. Frank Womer ( University of Michigan )


(7)

3. Dr. Daryl D. Nichols ( American Institute for Research ) 4. Dr. Ralph Tyler ( University of Chicago ).

Berangkat dari latarbelakang ini selanjutnya secara berturut-turut akan diuraikan dan diulas kegiatan yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Kurikulum dari periode :


(8)

BAB I

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM 1974-1981

Pada bulan Maret 1973, dalam Kabinet Pembangunan II Menteri Mashuri, yang merintis berbagai pembaharuan seperti ditiadakannya ujian sekolah, diperkenalkannya Matematika Modern, diperkenankannya ide Sekolah Pembangunan “Comprehensive High School”, dan ditetapkannya pendekatan penelitian dan pengembangan dalam pembaharuan pendidikan nasional, diganti oleh Prof. DR. IR. Soemantri Brodjonegoro.

Menteri Prof. DR. IR. Soemantri Brodjonegoro yang wafat bulan Desember 1973, dalam waktu yang singkat menegaskan pentingnya pendekatan penelitian dan pengembangan yang maknanya adalah inovasi baru dalam pendidikan, seperti ide sekolah pembangunan, sebelum diterapkan secara nasional perlu dilakukan uji coba melalui pilot projek yang secara cermat harus dinilai terus menerus. Karena itu ide Sekolah Pembangunan tidak jadi diterapkan secara nasional melainkan perlu diuji cobakan terlebih dahulu. Pada bulan januari 1974 dengan wafatnya Prof. DR. IR. Soemantri Brodjonegoro, Presiden Soeharto mengangkat Letjen TNI DR. T. Syarif Thayeb menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Bersamaan dengan itu BPP dirubah namanya menjadi Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (BP3K) dan Lembaga-Lembaga yang ada didalamnya dirubah namanya menjadi Pusat. Lembaga Pengembangan Kurikulum berubah menjadi Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan (Pusbangkuradik). Apa yang dilakukan Pusbangkuradik dari 1974-1981, bagian-bagian berikut akan menguraikannya.

A. KURIKULUM 1975, PERENCANAAN DAN PENGEMBANGANNYA

Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 079/10/1975 didirikan Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan yang bertugas :


(9)

1. Merumuskan prinsip penyempurnaan dan pengembangan kurikulum, prasarana dan sarana pendidikan dan kebudayaan pada semua jenis dan jenjang pendidikan.

2. Menetapkan program dan kegiatan pengembangan kurikulum, prasarana dan sarana serta menetapkan persyaratan yang diperlukan dalam menyelenggarakan kegiatan pengembangan kurikulum, prasarana dan sarana pendidikan dan kebudayaan;

3. Mengikuti dan mengamankan penyelenggaraan dan pengembangan semua 4. kegiatan serta unit-unit perencanaan dan penyusunan Kurikulum dan

sarana

5. pendidikan dan kebudayaan dalam lingkungan Departemen;

6. Menilai semua kegiatan perencanaan, penyusunan dan pengembangan kurikulum dan sarana pendidikan dan kebudayaan baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan oleh unit-unit lainnya dalam lingkungan Departemen.

Unit kerja di dalam lingkungan Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan dan Kebudayaan terdiri dari :

1. Bidang Tata Usaha;

2. Bidang Pengembangan Kurikulum dan Sarana Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Luar Biasa ;

3. Bidang Pengembangan Kurikulum Sarana Sekolah Lanjutan ;

4. Bidang Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Guru dan Perguruan Tinggi.

Kegiatan perencanaan dan pengembangan kurikulum yang dilakukan Pusat Pengembangan Kurikulum sejak berdirinya pada tahun 1974, hakekatnya merupakan kelanjutan dari kegiatan yang dilakukan oleh Cluster II yang dimulai tahun 1971, yang diteruskan oleh satuan Tugas Pengembangan Pendidikan. Ketua Cluster II, Sekretaris Satgas (Ketua Satgas adalah Yusuf Hadi Miarso, M.Si, Sekarang Prof.DR.) selanjutnya diangkat menjadi Kepala Pusbangkuradik


(10)

(selanjutnya dalam tulisan ini disingkat Puskur). Dalam perencanaan dan pengembangan kurkulum Puskur, menggunakan pendekatan rasional atau selanjutnya di kenal Pendekatan Berorientasi Kepada Tujuan. Berangkat dari Tujuan-tujuan pendidikan yang diidentifikasikan oleh Cluster II Puskur selanjutnya merencanakan Kurikulum 1975 untuk TK, SD, SMP dan SMA, yang meliputi Struktur Program dan Garis-garis Besar Program Pembelajaran.

Dalam merencanakan struktur program kurikulum yang meliputi pengelompokan program kurikulum, perbandingan bobot antara bidang studi (nama pengganti mata pelajaran) untuk setiap jenjang, dan penataurutan penyajian program studi dari tahun pertama sampai tahun terakhir (untuk SD kelas I sampai Kelas VI, untuk SLTP dari kelas I sampai kelas III, dan untuk Sekolah Menengah dari Kelas I sampai kelas III), Puskur berangkat dari Prinsip-prinsip berikut:

1. Prinsip Fleksibilitas Program

Penyelenggaraan Pendidikan Keterampilan, misalnya harus mengingat faktor-faktor ekosistem dan kemampuan untuk menyediakan fasilitas bagi berlangsungnya program tersebut.

2. Prinsip Efesiensi dan Efektifitas

Waktu sekolah adalah sebagian kecil dari waktu kehidupan murid yang berlangsung selama 24 jam. Dari duapuluh empat jam tersebut hanya sekitar enam jam mereka ada di sekolah. Karena itu kalau waktu yang terbatas ini tidak kita manfaatkan bagi kegiatan-kegiatan yang seterusnya dilakukan para murid di luar lingkungan hubungan murid guru dan fasilitas pendidikan, berarti akan terjadi pemborosan yang merupakan gejala inefisiensi. Sering kita melihat bahwa waktu dua jam pelajaran digunakan mencatat pelajaran yang mungkin dapat dilakukan oleh murid di luar jam sekolahmemperbanyak bahan tersebut, kalau di toko buku bahan yang tidak ada.

Cara memanfaatkan waktu seperti kami kemukakan di atas adalah bentukinefisiensi penggunaan waktu; Efesiensi tidak hanya menyangkut penggunaan waktu secara tepat, melainkan juga menyangkut masalah pendayagunaan tenaga secara optimal.


(11)

Kami beranggapan, bahwa tenaga manusia tidak dimanfaatkan secara optimal kalau dia harus belajar dan bekerja tanpa minat dan perhatian yang penuh. Murid-murid adalah manusia-manusia yang mengenal kelelahan dan batas perhatian. Kalau kita memaksakan murid untuk belajar di luar perhatian dan kemampuan tenaganya, akan berakibat penghamburan tenga dan waktu. Karena itu di dalam menetapkan jumlah jam dan lamanya setiap pelajaran yang diberikan, harus diukur dari sudut tingkat kemampuan, tenaga, luas dan lama perhatian yang diharapkan dari seorang murid. Melupakan kedua prinsip efisiensi tersebut akan mengakibatkan hasil belajar anak kurang memuaskan. Dengan kata lain proses belajar yang dilakukan murid tidak berjalan secara efisien dan efektif.

Atas dasar prinsip efisiensi dan efektivitas inilah kurikulum 1975 memilih jumlah jam pelajaran selama seminggu 36 jam dan 42 jam, karena pertimbangan bahwa para murid dapat dituntut untuk bekerja lebih keras pada setiap jam yang tersedia, dengan tetap memberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih santai pada saat-saat tertentu. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan belajar yang sifatnya wajib dan akademis ditekankan pada hari Senin sampai dengan Jumat sedangkan kegiatan-kegiatan pada hari Sabtu sifatnya pilihan wajib, ekspresif dan rekreatif.

Atas dasar prinsip ini juga disarankan agar setiap pelajaran hendaknya tidak diberikan dalam 1 jam pelajaran saja untuk satu minggu, melainkan antara 2 jam dan sebanyak-banyaknya 3 jam pada setiap pertemuan. Sistem catur wulan masih tetap digunakan tetapi dengan suatu pengertian yang akan menuntut guru secara sistematis dan berencana mengatur kegiatan-kegiatan mengajar dalam satuan-satuan catur wulan secara bulat. Bentuk usaha yang dilaksanakan adalah agar waktu yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal oleh murid dan guru bagi kegiatan belajar mengajar yang efisien dan efektif. Prinsip ini juga akan mempengaruhi penyusunan jadwal pelajaran setiap minggunya.


(12)

3. Prinsip Berorientasi dan Tujuan

Seperti telah kami singgung diatas waktu para murid berada dalam lingkungan sekolah hanyalah sekitar seperempat dari waktu yang dimiliki anak selama 24 jam. Ini berarti bahwa proses perkembangan murid ke arah kedewasaannya tidak dapat sepenuhnya digantungkan kepada sekolah semata-mata. Namun demikian kami menyadari bahwa sekolah adalah tempat yang paling strategis untuk pembinaan nilai dan sikap, keterampilan dan kecerdasan yang berguna bagi masyarakat, negara dan bangsa.

Atas dasar pertimbangan di atas waktu yang terbatas tersebut harus benar-benar dimanfaatkan bagi pembinaan murid untuk hal-hal tersebut di atas, terutama untuk kegiatan-kegiatan belajar mengajar yang tidak mungkin dilakukan dan diperoleh di luar sekolah. Dalam konteks yang demikian kami melihat kenyataan bahwa bahan-bahan pelajaran tiap tahun makin bertambah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan masyarakat. Karena itu memilih kegiatan-kegiatan dan pengalaman-pengalaman belajar yang fungsionil dan efektif akan memerlukan kriteria yang jelas. Untuk itulah kami menggunakan suatu prinsip kerja atau pendekatan dengan berorientasi pada tujuan. Ini berarti bahwa sebelum menentukan jam dan bahan pelajaran terlebih dahulu akan ditetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh para murid dengan jalan mempelajari sesuatu bidang pelajaran (studi). Proses identifikasi dan perumusan tujuan ini berlangsung dari tingkatan yang paling umum, seperti tertulis dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam bentuk tujuan-tujuan institusionil, sampai kepada tujuan-tujuan instruksionil khusus yang akan memberi arah kepada pemilihan bahan dan kegiatan belajar untuk setiap satuan pelajaran yang terkecil. Dengan prinsip ini dimaksudkan agar setiap jam dan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh murid dan guru benar-benar terarah kepada tercapainya tujuan-tujuan pendidikan.


(13)

4. Prinsip Kontinuitas

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah (Pertama dan Atas) adalah sekolah-sekolah umum, yang masing-masing fungsinya dinyatakan dalam tujuan-tujuan institusionil. Namun satu dengan yang lain berhubungan secara hirarkis. Karena itu dalam menyusun kurikulum, ketiga sekolah tersebut selalu diingatkan hubungan hirarkis yang fungsionil Pendidikan Dasar disusun agar lulusannya, disamping siap untuk berkembang menjadi anggota masyarakat, juga siap untuk mengikuti Pendidikan Menengah Tingkat Pertama, demikian juga dengan Sekolah Menengah Tingkat Pertama di samping memiliki bekal keterampilan untuk memasuki masyarakat kerja, juga harus siap memasuki pendidikan yang lebih tinggi. Hubungan fungsionil hirarkis ini, harus diingat dalam menyusun program-program pengajaran dari ketiga sekolah tersebut. Kalau tidak, dapat terjadi pengulangan yang membosankan atau pemberian pelajaran yang sukar ditangkap dan dikunyah oleh para murid karena mereka tidak memiliki dasar yang kokoh.

Bagi suatu bidang pelajaran yang menganut pendekatan spiral, seperti pelajaran sejarah atau kewargaan negara, perluasan dan pendalaman sesuatu pokok bahasan dari tingkat pendidikan satu ke tingkat berikutnya harus disusun secara berencana dan sistematis. Garis-garis besar program pengajaran yang disusun untuk setiap bidang studi dikerjakan secara integral dengan maksud agar jelas perbedaan antara pokok bahasan, yang kelihatannya sama, yang diberikan di SD dengan di SMP. Para pelaksana (terutama guru) diharapkan untuk memahami hubungan yang fungsionil hirarkis antara pelajaran yang diberikan di SD dengan SMP, antara caturwulan dengan caturwulan berikutnya, dan bahkan antara satuan pelajaran untuk satu bulan dengan bulan berikutnya. Pelaksanaan prinsip ini mengharuskan kita untuk memahami hubungan secara hirarkis antara satuan-satuan pelajaran.


(14)

4. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menganut pendidikan prinsip pendidikan seumur hidup. Ini berarti bahwa setiap manusia Indonesia diharapkan untuk selalu berkembang sepanjang hidupnya dan di lain pihak masyarakat dan pemerintah diharapkan untuk dapat menciptakan situasi yang menantang untuk belajar. Prinsip ini mengandung makna, bahwa masa sekolah bukan satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, melainkan hanya sebagian dari waktu belajar yang akan berlangsung sepanjang hidup. Namun demikian kita menyadari bahwa sekolah adalah tempat dan saat yang sangat strategis, bagi pemerintah dan masyarakat untuk membina generasi muda dalam menghadapi masa depannya.

Adapun tujuan-tujuan Institusional yang akan dicapai adalah : 1. Tujuan –Tujuan SMP

a. Umum

Setelah menyelesaikan di SMP Sisea diharapkan:

ƒ Menjadi warga Negara yang baik sebagai manusia yang utuh, sehat kuat lahir dan batin.

ƒ menguasai hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari Pendidikan

ƒ di Sekolah dasar.

ƒ memiliki bekal untuk melanjutkan studinya ke Sekolah Lanjutan Atas dan untuk terjun ke masyarakat dengan menempuh:

ƒ program umum yang bagi semua siswa.

ƒ program-program akademis yang sama bagi semua siswa.

ƒ program-program keterampilan pra-vokasionil yang wajib di pilih oleh siswa sesuai dengan minat dan bakatnya serta kebutuhan masyarakat.

b. Khusus

Setelah menempuh pendidikan di SMP, para siswa diharapkan : Di Bidang Pengetahuan :


(15)

ƒ Memiliki pengetahuan tentang agama dan atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

ƒ Memiliki pengetahuan yang fungsionil tentang fakta-fakta dan kejadian-kejadian penting yang aktuil terutama yang bersifat lokal, regional, dan nasional.

ƒ Memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar kenegaraan dan pemerintah sesuai dengan UUD 1945.

ƒ Menguasai pengetahuan dasar di bidang Metematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.

ƒ Memiliki pengetahuan berbagai bidang pekerjaan tingkat menengah yang ada di masyarakat.

ƒ Memiliki pengetahuan elementer tentang berbagai unsur kebudayaan dan tradisi nasional.

ƒ Memiliki pengetahuan dasar tentang kependudukan, kesejahteraan keluarga, dan kesehatan.

Di Bidang Keterampilan :

ƒ Menguasai cara-cara belajar dengan baik.

ƒ Memiliki keterampilan memecahkan masalah sederhana dengan sistimatis.

ƒ Memiliki keterampilan membaca/memahami isi bacaan sederhana yang berguna baginya dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

ƒ Memiliki keterampilan mengadakan komunikasi sosial secara lisan dan tulisan.

ƒ Memiliki keterampilan dan kebiasaan berolahraga.

ƒ Memiliki keterampilan dalam sekurang-kurangnya satu cabang kesenian.

ƒ Memiliki keterampilan dalam segi kesejahteraan keluarga dan usaha kesehatan.

ƒ Memiliki keterampilan sederhana dalam bidang kepemimpinan.Memiliki kemampuan sekurang-kurangnya satu jenis


(16)

keterampilan pra-vokasionil sesuai dengan minat dan bakatnya serta kebutuhan lingkungannya.

Bidang nilai dan Sikap:

ƒ Menerima dan melaksanakan ajaran-ajaran agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dianutnya, serta menghormati ajaran-ajaran agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dianut orang lain.

ƒ Memiliki rasa tanggng jawab dalam pekerjaan dan masyarakat.

ƒ Percaya pada diri sendiri dan bersikap makarya.

ƒ Mencintai sesama manusia, bangsa dan lingkungan sekitarnya.

ƒ Memiliki minat dan sikap positip terhadap ilmu pengetahuan

ƒ Memiliki sikap demokratis dan tenggang rasa.

ƒ Berdisiplin dan patuh pada peraturan yang berlaku secara

ƒ Memiliki inisiatif, daya kreatip, sikap kritis, rasionil dan obyektip dalam memecahkan persoalan.

ƒ Memiliki sikap hemat tetapi produktip.

ƒ Memiliki minat dan sikap yang positip dan konstruktip terhadap olah raga dan hidup sehat.

ƒ Dapat mengapresiasi kebudayaan dan tradisi nasional.

ƒ Menghargai setiap jenis pekerjaan dan prestasi kerja masyarakat tanpa memandang tinggi dan rendahnya nilai sosial/ekonomis masing-masing jenis pekerjaan.

2. Adapun Tujuan-Tujuan Pendidikan SMA adalah: Tujuan Umum Pendidikan SMA adalah agar lulusan :

ƒ Menjadi warga negara yang baik sebagai manusia yang utuh, sehat, kuat lahir dan batin.

ƒ Menguasai hasil-hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari pendidikandi Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama;

ƒ Memiliki bekal untuk melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi dengan menempuh:


(17)

ƒ Program umum yang sama bagi semua siswa program pilihan bagi mereka yang mempersiapkan dirinya untuk studi di lembaga pendidikan yang lebih tinggi.

ƒ Memiliki bekal untuk terjun ke masyarakat dengan mengambil keterampilan untuk bekerja yang dapat dipilih oleh siswa sesuai dengan minatnya dan kebutuhan masyarakat.

Tujuan Khusus Pendidikan SMA adalah agar lulusan :

ƒ Di Bidang pengetahuan :

ƒ Memiliki pengetahuan tentang agama dan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

ƒ Memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar kenegaraan dan pemerintahan sesuai dengan undang –undang Dasar 1945.

ƒ Memiliki pengetahuan yang fungsionil tentang fakta dan kejadian penting aktuil, baik lokal, regional, nasional maupun internsional.

ƒ Menguasai pengetahuan dasar dalam bidang matematika, Ilmu pengetahuan Alam, Ilmu pengetahuan sosial, dan Bahasa (Khusus Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) serta menguasai pengetahuan yang cukup lanjut dalam satu atau beberapa dari bidang pengetahuan tersebut diatas.

ƒ Memiliki pengetahuan tentang berbagai jenis dan jenjang pekerjaan

ƒ Memiliki pengetahuan tentang berbagai unsure kebudayaan dan tradisi nasional.

ƒ Memiliki pengetahuan dasar tentang kependudukan, kesejahteraan keluarga dan kesehatan.

Di Bidang Keterampilan :

ƒ Menguasai cara belajar yang baik.

ƒ Memiliki keterampilan memecahkan masalah dengan sistematis.

ƒ Mampu membaca/memahami isi bacaan yang agak lanjut dalam bahasa

ƒ Indonesia dan bacaan sederhana dalam bahasa Inggris yang berguna baginya.


(18)

ƒ Memiliki keterampilan mengadakan komunikasi sosial dengan orang lain lisan maupun tulisan dam keterampilan mengekpresi diri sendiri.

ƒ Memiliki keterampilan olah raga dan kebiasaan olah raga.

ƒ Memiliki keterampilan sekurang-kurangnya dalam satu cabang kesenian.

ƒ Memiliki keterampilan dalam segi kesejahteraan keluarga dan segi

ƒ Memiliki keterampilan dalam bidang administrasi dan kepemimpinan. Menguasai sekurang-kurangnya satu jenis keterampilan untuk bekerja

sesuai dengan minat dan kebutuhan lingkungan. Di Bidang Nilai dan Sikap:

ƒ Menerima dan melaksanakan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

ƒ Menerima dan melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dianutnya, serta menghormati ajaran agama dan kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dianut orang lain.

ƒ Mencintai sesame manusia, bangsa dan lingkungan sekitarnya.

ƒ Memiliki sikap demokratis dan tenggang rasa.

ƒ Memiliki rasa tanggung jawab dalam pekerjaan dan masyarakat.

ƒ Dapat mengapresiasikan kebudayan dan tradisi nasional.

ƒ Percaya pada diri sendiri dan bersikap makarya.

ƒ Memiliki minat dan sikap positif terhadap ilmu pengetahuan.

ƒ Memiliki kesadaran akan disiplin dan patuh pada peraturan yang berlaku, Bebas dan juuur.

ƒ Memiliki inisiatip, daya kreatip, sikap kritis, rasionil dan obyektip dalam memecahkan persoalan.

ƒ Memiliki sikap hemat dan produktip.

ƒ Memiliki minat dan sikap yang positip dan konstruktip terhadap olahragadan hidup sehat

ƒ Menghargai setiap jenis pekerjaan dan prestasi kerja di masyarakat tanpa memandang tinggi rendahnya nilai sosial-ekonomi


(19)

masing-masing jenis pekerjaan tersebut dan berjiwa pengabdian kepada masyarakat

ƒ Memiliki kesadaran menghargai waktu.

Dalam merencanakan Struktur Program Kurikulum, khususnya menentukan perbandingan bobot antar Bidang Studi, Puskur menggunakan model “ Value Contribution Technique” yaitu memperbandingkan fungsi dan perbandingan sumbangan yang diberikan oleh mempelajari suatu bidang studi dalam mencapai tujuan pendidikan yang harus dicapai. Dalam pada itu bidang studi dikelompokkan sesuai dengan fungsinya yaitu Pendidikan Umum, Akademik, dan Keterampilan. Selanjutnya rentang penyajiannya diterapkan dari tahun pertama sampai tahun akhir suatu jenjang.

Hasilnya adalah Struktur program kurikulum SD, SMP, dan SMA 1975 seperti tertera berikut :

Struktur Program Kurikulum SMP.

Kelas

I II III Program

Pendidikan

No. Bidang Studi

1 2 3 4 5 6 Pendidikan Umum 1. 2. 3. Pendidikan Agama Olah Raga Kesehatan Pendidikan Kesenian 2 3 2 2 3 2 2 3 2 2 3 2 2 3 2 2 3 2 Pendidikan Akademis 4. 5. 6. 7. 8. 9. Bahasa Indonesia Bahasa Daerah Bahasa Inggris Ilmu Penget. Sosial Matematika Ilmu Penget. Alam

5 (2) 4 6 5 4 5 (2) 4 6 5 4 5 (2) 4 6 5 4 5 (2) 4 6 5 4 5 - 4 6 5 4 5 - 4 6 5 4 Pendidikan Keterampilan 10. 11. Pilihan terikat Pilihan bebas 6 - - 6 6 - - 6 6 - - 6

Jumlah jam pelajaran per-minggu 37

(39) 37 (39) 37 (39) 37 (39) 37 (39) 37 (39)


(20)

Struktur Program Kurikulum SMA.

JURUSAN IPA IPS BAHASA

KELAS I II III I II III I II III Program Bidang Studi Masa Orie

ntasi

SEMESTER 2 3 4 5 6 2 3 4 5 6 2 3 4 5 6 Pendidikan Umum Pend. Agama Pend. Moral Pancasila Olahraga/ Kesehatan Pend. Kesenian 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 - 2 - 2 - 2 - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 - 2 - 2 - 2 - 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 - 2 - 2 - 2 - Wajib Metematika

Bah. Indonesia Bah. Inggris

IPA IPS BHS Mayor Fisika Kimia Biologi TB/HD Ekonomi/ Kop Sejarah. Geografi Bah. Asing Sejarah Geografi/ Antr Bah. Daerah 6 4 4 2 2 2 - 6 3 3 3 3 2 - 53 3 3 3 3 - 53 3 4 4 4 - 53 3 4 4 4 - 33 4 4 2 4 - 333 4 4 3 - 33 3 4 4 3 - 34 3 6 4 - 3 24 3 6 4 - 3 26 5 2 - 3 2 26 6 2 - 2 2 26 6 2 - 2 2 -77 4 5 - - -7 7 4 5 - - Pendidikan Akademis Matematika Bah. Indonesia Bah. Inggris Ilmu Penget. Alam Ilmu Penget. Sosial 6 5 4 7 7


(21)

(Pilih-an) ambar Bumi antarik sa Bhs. Asing IPA Bhs. Asing bar IPS Ekon/ Kop

2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

Pendidikan Keterampilan

- -

Pilihan pra vokasionil Pilihan Penunjang

4 3

43 43 7 7 43 43 43 7 7 43 43 43 7 -7

37

9

Jam/ Minggu

Jumlah Mata Pelajaran

37 36 13 10 37 13 37 13 36 10 36 10 37 13 37 13 37 13 36 10 36 10 37 13 37 13 37 13 36 10


(22)

Kegiatan Perencanaan Struktur Kurikulum ini ditempuh melalui tiga tahap; (1) Tahap perancangan oleh suatu Tim yang terdiri dari Ahli Pendidikan suatu jenjang penddikan, Ahli Ilmu Pengetahuan sumber bahan ajar suatu bidang studi, Ahli pendidikan suatu bidang studi, dan Ahli perencanaan kurikulum dan teori belajar, termasuk psikologi pendidikan; (2) Tahap “sanctioning” suatu tahap untuk mereview hasil kegiatan tahap pertama oleh para guru, dan pengelola sekolah setiap jenjang dan para ahli; (3) Tahap finalisasi yaitu mengolah masukan dari tahap “sanctioning” untuk menyepurnakan rancangan tahap I; (4) mengajukan hasil perencanaan untuk disahkan oleh pengambil keputusan; dan (5) Pengesahan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan ditetapkannya Strukrtur Program Kurikulum untuk setiap jenjang pendidikan diketahuilah bobot (jumlah jam pelajaran) setiap bidang studi. Berangkat dari ketetapan tentang bobot setiap bidang studi kegiatan selanjutnya adalah penyusunan garis – garis program pembelajaran per bidang studi (GBPP) untuk setiap jenjang pendidikan.

Untuk merencanakan GBPP, Pusat Kurikulum membentuk Tim Pengembang Kurikulum Bidang Studi, setiap Tim untuk setiap bidang terdiri dari Ahli Ilmu Pengetahuan sumber bahan ajar, Ahli Pendidikan suatu bidang studi, dan Ahli pendidikan khususnya ahli pengembangan kurikulum dan psikologi pendidikan / teori belajar. Karena itu ada tim : (1) Pendidikan Agama; (2) Pendidikan Kewarganegaraan (semula Studi Sosial) kemudian menjadi Pendidikan Moral Pancasila; (3) Tim bidang studi Bahasa INDONESIA ; (4) Tim bidang studi Bahasa Inggris; (5) Tim bidang studi Matematika; (6) Tim bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial; (7) Tim bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam; (8) Tim bidang studi Kesenian (Musik, Tari, Senirupa); (9) Tim bidang studi Olahraga dan Kesehatan.

Masing – masing Tim tersebut merencanakan Garis Besar Program Pembelajaran untuk setiap bidag studi yang meliputi; (1) Identifikasi dan penetapan tujuan – tujuan pendidikan setiap bidang sudi; (2) Memilih pokok – pokok bahan ajar dari disiplin ilmu terkait; (3) Menetapkan urutan penyajian


(23)

pokok bahasan dipandang dari “Logical squence” dan “Psycological squence” tingkat kesukaran dilihat dari kemampuan dasar kongitif peserta didik.

Hasil kerja dari delapan tim ini adalah GBPP bidang studi untuk ketiga jenjang sekolah (SD, SMP, SMA). Draf ini selanjutnya diajukan dalam Lokakarya “sanctioning” yang diikuti para ahli baik Ahli disiplin ilmu maupun Ahli pendidikan bidang studi dan para guru berpengalaman. Hasil dari kegiatan “Sanctioning” ini selanjutnya diusulkan kepada pimpinan Departemen untuk diberlakukan sebagai Kurikulum 1975 untuk SD, SMP, SMA, dan juga dengan mekanisme yang sama disusun kurikulum SMK (sekolah menengah kejuruan) 1976, dan kurikulum Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Gambaran proses perencanaan dan pengembangan kurikulum yang dituliskan di atas menunjukkan bahwa Puskur dalam melaksanakan tugasnya didukung para ahli dari berbagai perguruan tinggi, yaitu ITB (untuk Matematika dan IPA), dengan tokohnya seperti Prof. Dr. Mudomo, Prof. Dr. B. Soeprapto, Prof. Dr. Haryadi Supangkat, Universitas Indonesia (untuk Ilmu Pengetahuan Sosial dengan tokoh utamanya Prof. DR. H. W. Bachtiar) untuk psikologi pendidikan dan teori belajar DR. Saparina Sadli, DR. Utami Aris Munandar, DR. Yaumil Akhir, dan DR. Lola Aswin, IPB dengan tokoh utamanya Prof. DR. Andi hakim Nasution, Universitas Gajah Mada dengan tokohnya seperti Prof. Gembong dan Prof. Suhakso, IKIP Jakarta dengan tokohnya DR. Conny R. Semiawan, Prof. DR. Nababan dan Prof. Soedjiran, IKIP Bandung dengan tokohnya Prof. Nu’man Sumantri, DR. Achmad Hinduan, DR. Ratna Wilis, IKIP Malang dengan tokohnya DR. Zaini Mahmud, IKIP Surabaya dengan tokohnya Drs. Data Wardana, IKIP Semarang dengan tokohnya DR. Retmono, IKIP Yogyakarta dengan tokohnya Drs. Vembriarto, Prof. Imam Bernadib dan Prof. DR. Sukardjo, IKIP Ujung Pandang dengan tokohnya DR. Soli Abimanyu. Pada periode (1974 – 1981) Tim dari Puskur antara lain adalah; R. Ibrahim (Prof. DR.), Rochman Natawijaya (Prof. DR), Lexy C. Moleong (Prof. DR), A.F. Tangyong, Pangeman, Z. Kawareh, Waini Rasidin (Prof.


(24)

DR.), Benny Karyadi, Darlis Machmud, Sudjadi, Sigit Harjito dan Wahyudi dengan dibantu konsultan asing seperti Cecil Creelin (Inggris), Beverly

Young dari Brithis Council, Prof. Dr. R. Murray Thomas dari Universitas California Prof. Dr. H. Postelthwhite dari Universitas Hamburg, Dr. Wyn Harlen dan HughHawes, Roy Gardner, dan Sheldon Sheafer dari The Ford Foundation. Untuk menjamin agar kurikulum 1975 dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan serangkaian pedoman penerapan kurikulum dikembangkan. Salah satu yang dilakukan adalah dengan memasyarakatkan Program Pengembang Sistem Instruksional (PPSI), suatu model pengembangan kurikulum yang harus dilakukan guru dalam menterjemahkan kurikulum menjadi program belajar mengajar untuk diikuti peserta didik. Dengan menerapkan PPSI, guru sebelum memilih proses pembelajaran suatu pokok bahasan harus merencanakan program pembelajaran dalam bentuk satuan pelajaran yang langkahnya meliputi :

(1) Merumuskan tujuan instruksional yang harus dicapai. (2) Menguraikan materi pembelajaran yang harus dipelajari. (3) Memilih dan menetapkan sumber – sumber belajar. (4) Merancang media belajar yang harus disiapkan.

(5) Menetapkan proses pembelajaran yang harus diikuti peserta didik.

(6) Menyusun alat evaluasi untuk mengukur ketercapaian tujuan instruksional yang telah ditetapkan.

Agar model ini dapat dilaksanakan, dengan dukungan Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Pendidikan Menengah, serangkaian penataran guru dilaksanakan.

Demikianlah sekilas gambaran kegiatan Puskur dalam merancang dan melaksanakan kurikulum 1975. Berangkat dari pendekatan penelitian dan pengembangan Kurikulum 1975 yang tanpa uji coba langsung diterapkan, dipandang sebagai kurikulum transisional.Untuk menghasilkan kurikulum yang mantap yang telah diuji cobakan, Puskur mendapat tugas untuk menyelenggarakan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), bagaimana PPSP dirancang dan dilaksanakan? Bagian berikut akan membahasnya.


(25)

B. PROYEK PERINTIS SEKOLAH PEMBANGUNAN, PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 111/10/1974 tentang Landasan, Tujuan, Strategi Proses dan Pembaharuan Pendidikan, Puskur merencanakan dan mengelola PPSP.

Untuk melaksanakan program pengembangan sistem Sekolah Pembangunan, Puskur bekerjasama dengan delapan IKIP di Indonesia, yaitu IKIP Padang, yang terdiri dari Dr. Sutan Zanti Arbi, M.A (alm Prof), Drs. Prayitno (Dr. Prof), Dra. Fatimah Enar; IKIP Jakarta terdiri dari Drs. Bistok Siahaan (alm Dr. Prof), Drs. Santosa Murwani (Dr. Prof), Drs. Muchsin Lubis,M.Sc, Drs. Sulchan Hasyim; IKIP Bandung terdiri dari Dra. Ratna Wilis Dahar (alm Dr. Prof), M.Sc, Drs. Nu’man Sumantri M.Sc (prof), Drs. Abdul Khodir, M, Sc (alm Prof), Drs. Soendjojo, Drs. Ahmad Hinduan, M.Sc (Dr. Prof), Drs. Wahyudin (Dr. Prof); IKIP Semarang yang terdiri dari Drs. Retmono, M.A (Dr. Prof), Drs. Sarjono, Suyono, B.A., Drs. Suhartono (alm); IKIP Yogyakarta terdiri dari Drs. ST. Vembriarto (alm Dr. Prof), Drs. Hirdjan, Dra. Suharsimi Arikunto (Dr. Prof), Drs. Sukardjo (Dr. Prof); IKIP Surabaya terdiri dari Drs. Slamet Dayono, Drs. Datta Wardhana, Drs. Iskandar (Dr. Prof), Drs. Slamet; IKIP Malang terdiri dari Dr. Zaini Machmud (Prof), Drs. M. Ikhsan; dan IKIP Ujung Pandang terdiri dari Drs. Soli Abimanyu, Drs. Syamsu Mappa. Masing – masing IKIP mengelola perintisan Sekolah Pembangunan yang meliputi SD, SMP, dan SMA. Kegiatan yang dikordinasikan oleh Pusat Pengembangan Kurikulum bekerjasama dengan delapan IKIP ini disebut Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP).

Tujuan pendidikan nasional dan tujuan institusional dan kurikulum yang dibebankan pencapaiannya oleh kurikulum sekolah dalam PPSP sama dengan yang dibebankan kepada kurikulum 1975. Demikian pula dengan pendekatannya tetapi berbeda dengan kurikulum 1975 pada PPSP juga dicobakan konsep

“Master Learning” dan “Continuous Progres” yang dikenal dengan “Maju


(26)

Berbeda dengan penerapan kurikulum 1975, PPSI yang diterapkan kelangsungannya sepenuhnya dibebankan kepada guru, dalam sistem PPSP, dengan tekanan pada belajar sendiri dan “Maju berkelanjutan”, bahan untuk memungkinkan peserta didik dapat belajar sendiri disiapkan dalam bentuk “Modul” yaitu bahan belajar yang disiapkan secara lengkap persatuan pelajaran. Untuk keperluan ini Puskur menugaskan Tim Bidang Studi untuk merancang dan menulis modul. Dengan bantuan UNESCO dan USAID Puskur mengirim para anggota Tim Bidang Studi untuk belajar menulis modul di University of California (UC), Santa Barbara, USA. Di UC, Santa Barbara dengan di pimpin Prof. DR. R. Murray Thomas dari Graduate School of Education. Tim penulis modul belajar selama satu “quarter”

Adapun model-model pengelolaan dalam penyelenggaraan PPSP sesuai dengan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Puskur sebagai Unit Pelaksana BP3K bertugas:

1. Melakukan koordinasi dalam menyusun rencana dan program pembaharuan pendidikan.

2. Melakukan koordinasi penyusunan program evaluasi dari pada percobaan – percobaan yang dilakukan oleh Proyek-proyek Perintis Sekolah Pembangunan.

3. Melakukan supervisi dan monitoring terhadap percobaan- percobaan penelitian serta penilaian yang dilakukan oleh Proyek-proyek Perintis Sekolah Pembangunan.

4. Memproses dan menganalisa hasil-hasil percobaan yang telah dinilai kemantapannya serta meneruskannya menjadi usul kebijaksanaan.

5. Bersama-sama dengan kesatuan pelaksanaan menyusun dan mempersiapkan penyebaran hasil-hasil percobaan kedalam sistim pendidikan.


(27)

Sedangkan peranan PPSP yang secara ex-officio dipimpin oleh rektor IKIP bertugas:

1. 1. Bersama-sama/di bawah koordinasi Badan Pengembangan Pendidikan menyusun rencana dan program percobaan-percobaan.

2. Melaksanakan percobaan-percobaan dan penelitian terhadap pola atau metode yang

3. Telah ditetapkan dalam master disain.

4. Melakukan penilaian terhadap proses dan hasil percobaan yang dilaksanakannya.

5. Menjadi tempat untuk melatih para guru dan tenaga pendidikan lainnya dalam rangka

6. persiapan penyebaran hasil-hasil percobaan yang telah dinilai matap.

7. 4. Bersama-sama dibawah koordinasi Badan Pengembangan Pendidikan melakukan monitoring terhadap proses difusi dari pada hasil-hasil percobaannya ke dalam sistim

8. Pendidikan.

Dalam pelaksanaannya Puskur BP3K secara periodik, setiap tahun menyelenggarakan Rapat Koordinasi untuk menilai kemajuan dan mengidentifikasi masalah

Setelah berjalan empat tahun, pada tahun 1978 setelah para siswa SD, SMP, dan SMA dirancang Evaluasi secara komprehensif yang dilakukan oleh Tim Nasional dengan dukungan para ahli dari University of Chicago Dr. Don Holzinger dan dari Harvard University, dengan Drs. Nuhi Nasution, M.A sebagai koordinator.

Pada tahun 1981 hasil Evaluasi diolah dan dilaporkan Puskur, Sistem PPSP lebih efisien dan effektif dalam mencapai tujuan pendidikan. Tetapi pada era Menteri Prof. DR. Nugroho Notosusanto dengan pertimbangan mahalnya biaya yang diperlukan untuk mendukung penyelenggaraan Sistem itu, Sistem PPSP dengan prinsip maju berkelanjutan belajar tuntas dengan menggunakan modul: tidak dilanjutkan dan tidak diterapkan secara nasional


(28)

C. PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI BANTUAN PROFESIONAL BAGI GURU-GURU SEKOLAH DASAR

Di samping merancang dan mengusulkan penetapan Kurikulum 1975 sebagai kurikulum transasional dan melaksanakan PPSP, Pusat Pengembangan Kurikulum melaksanakan proyek percontohan Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui

Bantuan Profesional bagi Guru Guru Sekolah Dasar yang dikenal sebagai PROYEK CIANJUR (1980 -1986)

Latar Belakang

Kemajuan pengembangan pendidikan di Indonesia selama PELITA I sangat mengesankan terutama dalam pemerataan pendidikan. Sejalan dengan peningkatan kuantitatif, peningkatan secara kualitatif dilakukan dengan Pengembangan Kurikulum 1975, pengembangan buku pelajaran, penyediaan alat pengajaran dan penataran ribuan guru sekolah dasar. Walaupun demikian pengalaman dan penelitian di lapangan ( “indepth study”) Aria Jalil dan

Christin Mangindaan, 1979 menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan

dalam proses belajar mengajar di kelas. Pada umumnya situasi belajar mengajar di kelas tetap sama seperti dulu dan para guru nampaknya tidak berusaha mengubah perannya seperti tuntutan kurikulum meskipun telah mengikuti berbagai penataran.

Sebagai tindak lanjut hasil penelitian tsb pada tanggal 3 - 4 April 1979 BP3K menyelenggarakan Seminar mengenai Supervisi dan Mutu Pendidikan Dasar

di Hotel USSU, Cisarua Bogor. Seminar dipimpin oleh Kepala Pusat

Kurikulum, Drs Soedijarto MA, dengan konsultan British Concil H.W.R Hawes, Education Officer British Council B.L. Young. Peserta seminar antara lain wakil wakil dari Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Pendidikan Menengah, Direktorat Pendidikan Guru, Proyek P 3 D, beberapa wakil IKIP, dan BP3K

Hasil analisis para pakar pendidikan dalam seminar tsb adalah: Dua diantara factor- faktor yang menyebabkan tidak terjadinya perubahan yang nyata pada kegiatan belajar mengajar di kelas kemungkinan adalah: 1) Penataran yang di


(29)

maksudkan untuk menyiapkan para guru untuk melaksanakan kurikulum kurang efektif. 2) Sistem supervisi yang berlaku kurang mendukung usaha pembaharuan dan peningkatan mutu pendidikan

Seminar membuat rekomendasi agar dikembangan suatu model sistem pembinaan profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemampuan guru dan pembina di lapangan.

PENGEMBANGAN SISTEM PEMBINAAN PROFESIONAL CIANJUR

Sesuai dengan rekomendasi seminar, Pusat Pembangan Kurikulum, BP3K dengan bantuan konsultan dari British Council menyelenggarakan kegiatan penelitian tindakan (“Action Project”) Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar melalui Bantuan Profesional kepada Guru di Kabupaten Cianjur Jawa

Barat. Uji coba tsb dilandasi oleh Keputusan Bersama Kepala BP3K dan Dirjen

Pendidikan Dasar dan Menengah No 1897/G3/I/80 dan No 087/C Kep/80 tanggal 31 Mei tahun 1980.

Tujuan Umum

Pengembangan Proyek Cianjur secara umum bertujuan untuk menemutunjukkan berbagai cara untuk meningkatkan mutu pengajaran melalui peningkatan mutu pembinaan professional bagi guru serta pelaksana lainnya di lapangan

Pelaksanaan Kegiatan Cianjur

Pengembangan model/percontohan dilaksanakan di Kota Cianjur (daerah perkotaan)

Kecamatan Cugenang (daerah pedesaan) dan Kecamatan Pagelaran (daerah terpencil), dengan kegiatan awal mencakup 75 SD.

Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan mencakup pengembangan: model penataran, model


(30)

Siswa Aktif” ( CBSA) . Istilah CBSA pertama kali diperkenalkan sebagai

wacana oleh proyek P3G (1979)

Model penataran

Untuk mengatasi kelangkaan “ekspertis” metodologi pendidikan dasar, Pusat Pengembangan Kurikulum dengan bantuan konsultan British Council dari London University, Institute of Education (ULIE) melaksanakan serangkaian penataran untuk para guru SD, Kepala Sekolah dan Penilik Sekolah.

Agar tidak mengulangi kelemahan hasil penataran ribuan guru seperti di masa lalu, penataran di Cianjur dilaksanakan dengan pendekatan dan cara yang berbeda sbb:

Penataran dilakukan berdasarkan kebutuhan setempat, tidak dirancang secara nasional dan sama untuk semua daerah. Menerapkan participatory secara optimal, dengan melibatkan wakil peserta sejak tahap perencanaan, pelaksanaan kegiatan penataran sampai evaluasi hasil penataran.

Sesuai dengan hasil berbagai penelitian mengenai daya retensi (Experince Cone, Sheal, Peter R, 1989) penataran menekankan pada pengalaman praktis (90%) dengan sedikit teori sebagai pengantar (10%) Ratio antara penatar dan peserta dalam penataran- penataran sebelumnya 1 : 100-120 dengan akibat kegiatan peserta lebih banyak mendengarkan ceramah, diubah menjadi 1 : 20-30 dan peserta bisa lebih banyak melakukan diskusi untuk membahas isu isu penting serta melaksanakan kegiatan yang lebih produktif.

Peserta penataran (.guru, Kepala Sekolah, Penilik Sekolah dan staf Dikdas Kecamatan)

mendapatkan materi pelatihan yang sama terutama mengenai CBSA. Setiap peserta memilih salah satu mata pelajaran untuk diikuti dari awal sampai akhir. Semua peserta penataran harus terlibat secara aktif dalam semua kegiatan, termasuk simulasi dan praktik mengajar. Peserta yang sama akan mendapat penataran yang lebih mendalam pada tahun-tahun berikutnya (3 tahun)

Salah satu ciri khas penataran Cianjur adalah menggunakan sistem “bedol desa” bukan azas pemerataan seperti banyak pelatihan sebelumnya. Dalam bedol desa


(31)

atau bedol sekolah, semua guru dari sekolah yang terpilih mengikuti penataran bersama Kepala Sekolah dan Penilik Sekolah wilayah tsb. Dengan bedol desa,“critical mass” yang diperlukan untuk melaksanakan pembaharuan mudah dilakukan. Ciri khas yang lain adalah pemilihan tutor dan kehadiran tutor. Para calon tutor yang terseleksi sudah mendapat bekal pelatihan di tingkat nasional atau bahkan mengikuti short course di Inggris. Dalam penataran semua tutor harus hadir mulai tahap perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi hasil penataran.

Model Pembinaan Profesional

Bantuan professional kepada guru untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak bisa dilakukan dalam keadaan “vacuum” tanpa isi. Oleh karena itu bantuan professional sangat terkait dengan “better practice” pembelajaran seperti dua sisi dari satu koin

Salah satu isu utama dalam pengembangan sistem bantuan profesional adalah perubahan sikap dan perilaku baik bagi pembina maupun guru dalam hubungan kerja professional. Hubungan antara Penilik ---Kepala Sekolah---guru tidak lagi seperti hubungan antara atasan dan bawahan, melainkan menjadi hubungan kolegial. Perubahan perilaku antara lain merupakan dampak dari sistem penataran “bedol desa”

Dalam pengembangan model bantuan professional guru tidak hanya menjadi objek dalam supervisi. Guru bisa berperan aktif dalam memberikan bantuan profesioanl kepada guru lain. Guru yang sudah mendapat penataran dapat menjadi nara sumber untuk guru guru dari sekolah lain. Guru senior dapat memberikan bimbingan kepada guru baru. Guru yang mempunyai keahlian dalam matematik dapat memberikan bantuan kepada guru yang memerlukan bantuan. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Motto “Silih Asih, Silih Asah dan Silih Asuh” benar benar dilaksanakan secara efektif di lingkungan sekolah mau pun antar sekolah (Gugus)


(32)

Pembinaan professional dalam lingkungan sekolah dilakukan melalui berbagai cara:

Observasi kelas. Kepala Sekolah/Penilik Sekolah/guru senior mengobservasi

kegiatan belajar mengajar di kelas dan kemudian melakukan diskusi dengan guru mengenai kelebihan dan kekurangan kegiatan belajar mengajar tsb

Rapat Guru. Di masa lalu, rapat guru biasanya hanya membahas masalah

administratif kelas/sekolah diubah menjadi rapat profesional unuk membahas permasalahan teknis belajar-mengajar. Rapat guru yang biasanya selalu dipimpin oleh Kepala Sekolah dapat dipimpin oleh salah seorang guru

Pembinaan professional antar sekolah dilakukan dengan melalui berbagai wadah kelompok kerja sbb: KKG, KKS, KKPS. dan Pusat Kegiatan Guru (Teacher Centre)

Kelompok Kerja Guru (KKG)

Kelompok Kerja Guru dikembangkan segera setelah penataran berakhir. Beberapa sekolah yang berdekatan membentuk Gugus Sekolah (terdiri dari 3 – 8 sekolah) Jumlah sekolah dalam gugus ditentukan sendiri oleh para guru berdasarkan letak geografis dan kemudahan transportasi. Di dalam gugus sekolah ada 1 SD Inti (semua guru dan kepala sekolahnya sudah mengikuti penataaran) dan beberapa

SD Imbas. Guru yang sudah terlatih dalam salah satu mata pelajaran (BI, IPA,

IPS, Matematik dan guru kelas awal, menjadi Pemandu Mata Pelajaran dalam gugus sekolah. Ketua KKG (guru atau KS) dipilih oleh para anggota KKG. Program kerja dan jadwal pertemuan KKG ditentukan oleh para guru dan kepala sekolah.. Fungsi KKG antara lain adalah: tempat penularan hasil penataran, menemukan dan memecahkan masalah kegiatan belajar mengajar, menghasilkan produk tertentu (Rencana jangka menengah dan jangka panjang, Satpel, lembar kerja, alat peraga, penilaian dsb)

Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS)

Kelompok Kerja Kepala Sekolah biasanya sangat terkait dengan KKG. Pertemuan pertemuan KKG sering dihadiri oleh para kepala sekolah. Setelah itu


(33)

mereka mengadakan pertemuan sendiri untuk mendiskusikan bagaimana cara memberikan bantuan profesional pada waktu guru memerlukannya. Para kepala sekolah membantu menemukan dan menghubungi nara sumber (Kepala Desa, KUD, Dinas Pertanian dsb) bagi gugus sekolah, Program KKKS bervariasi dari satu gugus ke gugus lain.

Kelompok Kerja Penilik Sekolah (KKPS)

Kelompok Kerja Penilik Sekolah diadakan di tingkat kecamatan atau kabupaten. Program kerja KKPS menyangkut masalah administrative/Dinas maupun professional. Dalam pertemuan KKPS mereka antara lain saling bertukar informasi mengenai kegiatan KKG dalam wilayah binaan mereka. Para penilik terlibat aktif mengatur kunjungan ke sekolah, identifikasi guru yang baik, pertukaran pemandu /nara sumber, program magang Kadang kadang para Penilik juga melakukan pembinaan silang (antar wilayah binaan), 2 atau lebih Penilik bertukar wilayah binaan selama beberapa hari.Tujuan pembinaan silang adalah pemerataan mutu karena setiap penilik memiliki kelebihan dan kekurangan.

Pusat Kegiatan Guru (PKG)

Pusat Kegiatan Guru diadakan di tingkat kabupaten, lokasinya biasanya di dekat SD terbaik/ Kantor Dinas Pendidikan. PKG antara lain berfungsi: meningkatkan kemampuan professional guru melalui penataran lokal, memecahkan masalah yang tidak dapat dipecahkan di KKG, menyebarkan gagasan baru, sebagai pusat sumber belajar dan bengkel kerja.

Dampak positif Kelompok Kerja:

Pertemuan pertemuan Kelompok Kerja menimbulkan semangat kebersamaan , rasa ikut memiliki dan rasa aman. Guru merasa bangga, dipercaya unuk berperan dan memberikan kontribusi dalam proses perubahan/peningkatan mutu. Para guru menjadi lebih terbuka terhadap pembaharuan dan menerima saran/kritik dari guru lain atau pembina setempat


(34)

Beberapa Kelemahan Kelompok Kerja

Pertemuan-pertemuan antar sesama guru dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kejenuhan (“in breeding”) karena gagasan baru dan permasalahan sudah “tergali habis”.

Untuk mengatasi kejenuhan tsb diperlukan “injeksi” dari luar. Permasalahanna adalah dari mana dan siapa yang bisa memberikan amunisi baru. Barangkali IKIP/Perguruan tinggi terdekat (yang mempunyai keahlian dalam metodologi pendidikan dasar) bisa mengembangkan program khusus dan berperan dalam memberikan bantuan yang diperlukan.

MODEL PEMBELAJARAN SISWA AKTIF Mengapa Siswa Aktif?

Perkembangan IPTEK di dunia modern semakin lama semakin cepat. Dulu diperlukan beberapa abad sebelum ilmu pengetahuan berkembang menjadi 2 x lipat.Sekarang ini beberapa cabang ilmu seperti computer dan nano teknologi berkembang 2 x lipat dalam waktu kurang dari 5 tahun. Tentu saja guru tidak bisa lagi menjadi satu satunya sumber belajar bagi siswa. Kata Mendikbud siswa perlu diberi bekal kail, bukan ikan.

Pendekatan Belajar aktif bukan sesuatu yang baru. Dasar pikiran yang dianut adalah bahwa belajar akan bermanfaat bila diperoleh melalui pengalaman langsung oleh anak sendiri atau kegiatan belajar mengajar yang menuntut siswa harus aktif dalam proses pendidikan. Pandangan ini dianut oleh para ahli ilsafat, ahli pendidikan, serta psikologi perkembangan antara lain Whiehead, 1932, Dewey, 1938, Piaget, 1968, Brunner 1968,

Pepatah Cina 2 ribu tahun y.l. juga mengatakan “Saya dengar …saya lupa dst” Peranan belajar mengajar bergeser dari “teacher centered” ke “student centered” (Brandest, Ginnis,1988). Pendekatan Sistem Pembinaan Profesional-CBSA (SPP-CBSA) sangat relevan dengan pendekatan”systemic” (Romizwski,1984) yang selama ini telah dianut dalam perkembangan kurikulum di Indonesia.


(35)

Prinsip Belajar aktif

Belajar aktif bukan semata mata aktif secara fisik, tetapi lebih menekankan kepada mental yang aktif, berpikir aktif, berfikir kritis dan mampu memecahkan masalah.

Prinsip dasar yang dianut dalam pendekatan belajar aktif:

1. Mengerti tujuan dan fungsi belajar. Para guru memahami konsep dasar belajar: Buku pelajaran baru merupakan salah satu sumber belajar.

Pengalaman siswa, lingkungan merupakan bahan kajian dan sumber belajar yang berharga.

2 Melayani perbedaan individual, minat dan kemampuan khusus siswa seta membantu kesulitan dalam belajar

3 Memanfaatkan berbagai organisasi kelas sesuai dengan kegiatan belajar mengajar yang diinginkan (belajar mandiri/perorangan, berpasangan, kelompok kecildan kelompok besar/klasikal)

4 Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis dan memecahkan masalah secara mandiri atau kelompok

5 Ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang baik (pajangan hasil karya anak, peta,diagram, model, perpustakaan kelas)

6 Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar (alam, sosial, budaya) 7 Umpan balik untuk meningkatkan kegiatan belajar

Hasil Belajar Siswa Aktif

Hasil belajar siswa aktif tidak dapat segera terlihat misalnya dengan meningkatnya nilai (NEM) hasil ujian pada akhir tahun. Menurut hasil “longitudinal study” di Inggeris, dampak siswa akif mulai terlihat 15 -20 tahun kemudian. Salah seorang konsultan Pusat Pengujian, pakar evaluasi dari Cambridge University mengatakan “Orang orang kadang terlalu terobsesi dengan skor hasil tes. Kalau Anda yakin bahwa proses pembelajarannya lebih baik, kalian harus percaya bahwa hasilnya juga akan lebih baik.”

Secara umum menurut pengamatan para guru, hasil belajar aktif terlihat dalam perubahan perilaku siswa antara lain : anak lebih berani dan terampil bertanya, lebih mandiri dalam belajar, bisa bekerja sama , mampu mencari dan


(36)

menggunakan informasi, menemukan dan memecahkan masalah, lebih produktif, kreatif dan mampu berpikir kritis, serta lebih siap menghadapi perubahan.

Evaluasi;

Pada tahun1984 diadakan evaluasi eksternal dengan Kabuaten Purwakarta sebagai pembanding.Tim Evaluasi terdiri dari unsur-unsur: Kandep Dikbud Kabupaten Cianjur, Dikdasmen, IKIP, (Bandung, Yogya, Malang, Surabaya), Perguruan Tinggi (FISIP UI, Universitas Terbuka), PPSP, PUSLIT, PUSISJIAN, dan PUSBUK.

Kesimpulan Ealuasi:

1) Pelayanan professional yang telah diujicobakan di Cianjur dapat dikatakan berhasil. Hal ini terlihat dari meningkatnya mekanisme supervisi yang terjadi, yakni penitiberatan aspek educatif dengan keseringan yang cukup tinggi 2) Sebagai akibat dari meningkatnya sistem pembinaan dalam aspek edukatif,

meningkat pulalah kemampuan guru dalam mencipakan kegiatan belajar mengajar.Dengan adanya PKG, KKG, KKKS, KKPS maka jalinan antar sekolah nampak kompak dan erat.Keseragaman umum yang sangat positif terlihat jelas dalam hal kesadaran untuk mencapai tujuan pelajaran, merumuskan tujuan, memilih bahan pelajaran dari hasil pemanfaatan lingkungan, mengelola kelas dalam kegiatan kelompok, serta menggunakan metode mengajar yang merangsang keaktifan siswa

3) Sikap para pelaksana di Cianjur dapat dikatakan cukup berubah. Sikap guru yang biasanya “takut” kepada Penilik dan Kepala Sekolah berubah seperti dalam lingkungan kekerabatan

Berlandaskan teuan dan kesimpulan Tim Evaluasi, Direktur Pendidikan Dasar pada tahun 1984 memutuskan Proyek Cianjur untuk disebarluaskan secara nasional, dimulai dengan melaksanakan penyebaran terbatas

Diseminasi/Replikasi:

o Kabupaten Sidoardjo (JATIM) o NTB (Atas permintaaan Gubernur)


(37)

o Kabupaten Maros, (SULSEL) o Kabupaten Binjai (SUMUT) o Lampung

o Tanah Laut (KALSEL)

o Banyak daerah lain/sekolah mengajukan permintaan tetapi belum bisa dipenuhi karena sangat terbatasnya anggaran & tenaga

o Banyak pula daerah/sekolah yang melaksanakan CBSA atas inisiatf sendiri setelah melakukan kunjungan singkat ke Cianjur atau daerah replikasi lain (Dampak negatif: terjadi “bush fire’ dan “salah kaprah” seperti kurang memahami bermacam cara pengelolaan kelas dan perbedaan antara kerja kelompok dengan duduk berkelompok.)

Diseminasi yang lebih luas dilakukan melalui penyusunan proposal “Blue Book” ke Negara Negara donor. Proposal tsb di “approved “oleh Bank Dunia, menjadi

Proyek PEQIP , dan dikelola oleh Direktorat Pendidikan Dasar

Penyebaran ke Negara lain:

Proyek Cianjur beberapa kali dilaporkan sebagai “Country Report” Indonesia dalam pertemuan Regional Unesco di Bangkok, Manila, Seoul , dan Penang Malaysia. Akibatnya banyak negara yang tertarik dan melakukan study visit ke Cianjur, antara lain

Tim dari Malaysia (Pejabat Senior ), Nepal ( 9 orang Staff Ahli Kementerian Pendidikan)

dan Kongo (Menteri Pendidikan)

Adopsi oleh Negara lain:

Active Learning diadopsi oleh Negara Bagian Andrapradesh, India dengan menggunakan para konsultan British Council (sejak 1985) dengan melibatkan 60.000 orang guru.


(38)

SEMINAR INTERNASIONAL IMTECH, BALI 1986 ƒ Dihadiri 80 orang pakar pendidikan dari 20 negara.

ƒ Studi kasus: Proyek PKG dan CBSA

ƒ Menurut Fulan Report, inovasi pendidikan di berbagai negara sebagian besar gagal.

ƒ Sebagian kecil berhasil pada tahap perintisan,

ƒ Yang berhasil pada tahap perintisan dan diseminasi sangat langka, antara lain Proyek CBSA Cianjur

ƒ Menurut Per Dalin dan analisa para pakar dalam seminar: Proyek Cianjur berhasil karena memenuhi persyaratan “segi tiga pengaman”sbb:

Real Needs:

ƒ Tidak mudah untuk mengetahui kebutuhan sesungguhnya para guru

ƒ Kalau kita tanyakan kepada ybs pun sering tidak tahu (Perlu alat, beaya dst)

ƒ Sering pendapat mengenai kebutuhan guru dari para administrator/pengambil keputusan (tingkat nasional, propinsi, kabupaten, kecamatan), pembina lapangan( PS, KS), dan guru sangat berbeda beda satu dengan yang lain

R E A L N E E D S LEADERSHIP At all levels


(39)

ƒ Demikian pula persepsi tentang “mutu”, “PBM yang baik” “Guru yang Baik” “Pembina yang baik”dst

ƒ Dalam suatu pelatihan sekelompok guru diminta mendiskusikan kriteria guru yang baik. Hasilnya (7 item). Pertanyaan yang sama diajukan kepada anak Kelas 2 SD (23 item), dan anak Kelas 5 (17 item)

Sense of Belonging

ƒ Sebagian besar proyek inovasi gagal karena tidak berhasil membangkitkan sense of belonging.

ƒ Sense of belonging di Cianjur muncul antara lain karena participatory dilaksanakan sejak awal (perencanaan) sampai akhir

ƒ Para guru merasa bukan sekedar obyek pelaku. Mereka merasa diberi peran aktif,

ƒ diberi kepercayaan, dan ikut bertanggung jawab.

ƒ Motto “Silih asih, silih asah dan silih asuh”, “ Tidak ada rasa sakit hati” “Menemukan masalah dan mencari alternative solusi” benar benar dihayati dan dilaksanakan oleh ratusan guru dan pembina

Sense of Security

ƒ Rasa aman timbul antara lain karena “bedo desa / sekolah”

ƒ Semua guru, kepala sekolah, pengawas, pembina mendapat pelatihan yang sama.

ƒ Guru berani menerapkan gagasan baru, karena direstui atasan langsung, dan mendapat bantuan pada waktu menemui kesulitan.

ƒ Peningkatan mutu dilakukan sedikit demi sedikit agar tidak menakutkan guru.

ƒ Mereka merasa masih mampu menerapkan gagasan baru

ƒ Ibarat menyeberang jalan, kalau sendirian orang daerah takut, berdua lebih berani, kalau rame rame hilang rasa takut.

Leadership


(40)

ƒ (tingkat sekolah, gugus, kecamatan, kabupaten, propinsi dan pusat)

ƒ Masa kritis terjadi pada waktu ada pergantian pimpinan karena belum tentu alih tongkat berjalan lancar.

ƒ Sekolah yang semula menerapkan active learning dengan baik akan menemui kesulitan kalau KS yang baru tidak mendukung (karena tidak tahu, tidak acuh, berbeda pendapat, memarahi guru yang melaksanakan inovasi dsb)

ƒ Demikian pula kalau pengawas baru tidak mendukung, atau bahkan melarang

ƒ Krisis yang terberat terjadi di Cianjur dan daerah replikasi lain pada waktu Direktur Dikdas yang baru mencoba membabat habis active learning dengan menyebutnya sebagai “ajaran sesat “ dan menegur para pelaksana CBSA di depan publik. Ironisnya Direktur Dikdas yang digantikannya sangat mendukung active learning dan memutuskan perlunya penyebaran secara nasional.

ƒ Dampak hujatan di lapangan bermacam macam, guru yang yakin nilai positif siswa aktif tidak terpengaruh sama sekali dan tetap melaksanakannya; guru yang belum begitu yakin mempunyai alasan untuk kembali ke cara lama.


(41)

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM 1981 – 1988

A.Latar belakang Kurikulum 1981 - 1984

Kurikulum 1984 dikembangkan sebagai penyempurnaan kurikulum 1975 berdasarkan tiga pertimbangan. Pertama adalah adanya perubahan dalam kebijakan politik dengan ditetapkan TAP MPR nomor II/MPR/1983 dimana dinyatakan perlunya adanya Pendidikan Sejaah Perjuangan Bangsa sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan. Secara operasional TAP MPR tersebut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983. Yang menyatakan perlunya perbaikan kurikulum. Kedua adalah hasil penilaian kurikulum 1975 antara tahun 1979 sd 1981 yang juga mencakup perkembangan kehidupan masyarakat. Perkembangan yang cepat dalam kehidupan masyarakat terutama dalam bidang ilmu dan teknologi menghendaki adanya penyempurnaan kurikulum. Ketiga adalah hasil-hasil yang dicapai oleh Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (1973 – 1984), hasil studi kognitif, keberhasilan perintisan Bantuan Profesional Kepada Guru yang menekankan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (1978 – 1990) dan hasil penelitian (1979 – 1986) dan pengembangan Ketrampilan Proses (1980 – 1984). Pengembangan kurikulum 1984 juga didasarkan pada tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 dan dan nomor II/MPR/1983 yaitu “Pendidikan Nasional berdasarkan azas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Untuk mengetahui bagaimana pengembangan kurikulum 1984 dilaksanakan, maka berikut ini akan dijelaskan tentang model perencanaan dan pengembangan


(42)

kurikulum 1981 - 1988, kegiatan perencanaan dan pengembangan kurikulum 1981 – 1988, dan proses perencanaan dan pengembangan kurikulum 1984.

B.Model perencanaan dan pengembangan kurikulum 1981 -1988

Sejak tahun 1980 masyarakat dan dunia pendidikan Indonesia telah menyadari perlunya ada perubahan-perubahan dalam kurikulum yang sedang berjalan.

Karena itu, Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan (Pusbangkurrandik), Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melakukan beberapa inovasi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang mengarah pada pendekatan, metode dan strategi belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

a. Model pengembangan kesinambungan (Continueus Development Model)

Model perencanaan kurikulum yang dianut oleh kurikulum 1975 yaitu melalui (1) pemetaan atau pengkajian tujuan kurikuler dan tujuan instruksional umum serta lingkup materi kurikulum 1975/1976/1977 PAUD, SD/SLB, SMP/SMPLB, SMA/SMALB DAN SMK. (2) pengembangan kurikulum dengan pendekatan Program Pengembangan Sistem Instrruksional.

Dengan model ini, Pusbangkurrandik berupaya untuk melakukan penjembatanan apa yang ada pada masa lampau, apa yang ada pada masa kini dan apa yang seharusnya ada pada masa yang akan datang. Pemikiran ini sangat penting dalam menerapkan konsep continuous quality

improvement yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan masyarakat serta seni budaya.

b. Model kemasyarakatan (Societal Model)

Model perencanaan dan pengembangan kurikulum 1984 ini menganut faham kurikulum dinamis, artinya selalu dapat mengalami perubahan yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat di lingkungan tempat sekolah itu berada. Perencanaan kurkulum selalu harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan bangsa Indonesia, karena sekolah adalah bagian dari


(43)

masyarakat. Misalnya tuntutan perlunya penyesuaian dengan atau pemasokan budaya daerah dan pembangunan daerah serta perlunya meningkatkan semangat kebangsaan.

Mengingat bahwa masyarakat Indonesia juga merupakan bagian dari masyarakat duna maka dalam merencanakan kurikulum kita selalu harus mengikuti kecenderungan pendidikan di dunia.

c. Model Kemitraan (Partnership Model)

Selain kedua model yang dipaparkan di atas, setiap perencanaan dan pengembangan kurikulum 1984 harus tetap didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang berlaku. Khususnya kurikulum 1984 perencanaan dan pengembangannya harus disesuaikan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 461/U/1983 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara 1983. Mengingat jenis dan jenjang pendidikan dan perlunya pengembang mata pelajaran yang sesuai dengan latar belakang pendidikan bidang studinya maka Pusbangkurrandik . Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyadari perlunya kerjasama yang saling menguntungkan (kemitraan) dengan instansi-instansi pendidikan dan instansi-instansi yang berkepentingan yang memiliki keahlian dan kepakaran dalam bidang tertentu. Selain itu dalam pengembangan kurikulum perlu dimintakan partisipasi dari para stake holders. Untuk maksud tersebut sebelum melangkah ke pelaksanaan pengembangan Kurikulum 1984, Pusbangkurrandik melaksanakan berbagai pertemuan dan seminar dengan instansi-instansi terkait untuk men-satu bahasakan model dan cara pengembangan kurikulum 1984 yang akan ditempuh.

C. Kegiatan perencanaan dan pengembangan kurikulum 1981 - 1988

Kegiatan perencanaan dilakukan dengan mempelajari secara cermat Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN yang menyatakan bahwa sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan di segala bidang.


(44)

Salah satu unsur GBHN 1983 yang belum tercantum dalam kurikulum 1975/1976/1977, adalah Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dalam rangka Pendidikan Pancasila yang terutama dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran nasional sebagai satu bangsa, menanamkan rasa cinta tanah air, dan merangsang kemampuan kreatif dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan serta membina kepribadian bangsa melalui proses integrasi dan internalisasi jiwa, semangat, dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 461/U/1983 tentang perbaikan kurikulum pendidikan dasar dan menengah dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan merupakan jawaban terhadap ketetapan MPR no. II/MPR/1983.

a. Paradigma Pengembangan Kurikulum

Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada waktu itu sudah dirasakan berlangsung sangat cepat akibatnya masyarakat juga telah berubah dibandingkan dengan keadaan masyarakat pada tahun 1975 dimana kurikulum pendidikan dasar dan menengah dengan pendekatan prosedur pengembangan sistem instruksional dikembangkan dan diberlakukan. Karena itu paradigma baru dalam pengembangan kurikulum perlu diciptakan.

(1) Pendidikan nilai dengan perilaku yang sesuai perlu diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran.

(2) Kurikulum perlu disesuaikan dengan kebutuhan individu dan masyarakat.

(3) Tekanan pendidikan perlu diberikan kepada pengembangan kepribadian individu yang mampu berpikir dan beraktivitas secara independen dan juga yang dapat melayani masyarakat sebagai tujuan utama dari pengembangan dirinya.

(4) Apa yang diperoleh di sekolah perlu dapat diaplikasikan bagi kepentingan dirinya, lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, tidak hanya untuk jangka waktu pendek tetapi juga untuk jangka waktu yang


(45)

panjang. Karena itu, perlu diseleksi tujuan yang ingin dicapai, materi yang relevan dengan kebutuhan dan masalah individu secara khusus dan lingkungan serta masyarakat secara umum, pendekatan serta metoda pembelajaran.

b. Penelaahan Hasil Penelitian

Atas dasar pemikiran tersebut maka dalam perencanaan pengembangan kurikulum pendidikan dasar dan menengah dilakukan penelaahan terhadap, proses dan hasil perintisan yang dilakukan telah dilakukan antara lain pengembangan Sekolah Pembangunan , Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) yang dilakukan di 8 IKIP Negeri, peningkatan mutu pendidikan sekolah dasar melalui proyek supervisi pendidikan (supervion support) yang lebih terkenal dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif, Perintisan Pendekatan Keterampilan Poses, dan Belajar Tuntas (Mastery

Learning).

Pada waktu itu juga Pusbangkurrandik telah menyadari bahwa sebagaimana baiknya suatu kurikulum, bila pelaksanaan pembelajaran masih berpusat pada guru dan peserta didik diperlukan sebagai objek atau pandangan bahwa tugas guru adalah mentransfer pengetahuan kepada peserta didiknya dan mengadakan evaluasi sesuai dengan apa yang telah diajarkan, maka peningkatan mutu pendidikan tidak akan terjadi. Pembinaan guru oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah perlu dilakukan sejalan dengan gagasan kurikulum 1984. Ini harus disadari oleh semua pembina pendidikan dan sumber daya manusia di sekolah. Maksud utama disusunnya suatu kurikulum pendidikan dasar dan menengah adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Suatu hasil pendidikan dapat dianggap tinggi mutunya apabila kemampuan, pengetahuan dan, sikap yang dimiliki para lulusan berguna bagi perkembangan diri selanjutnyabagi lulusan yang melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi, dan bagi lulusan yang terjun ke dunia masyarakai kerja sedangkan mutu itu sendiri"baru mungkin


(46)

kita capai apabila proses belajar yang kita selenggarakan di kelas benar-benar efektif dan fungsionil bagi pencapaian kemampuan, pengetahuan, dan sikap yang dimaksud.

Di dalam kurikulum kemampuan (kecerdasan dan ketrampilan), pengetahuan, dan sikap serta keterampilan dan psikomotor dirumuskan dalam bentuk tujuan-tujuan pendidikan. Kurikulum ini mengenal berbagai tingkatan tujuan pendidikan: tujuan institusionil (tujuan yang secara umum harus dicapai oleh keseluruhan program sekolah tersebut), tujuan kurikuler (lujuan yang pencapaiannya dibebankan kepada program sesuatu bidang pelajaran), dan tujuan instruksional (tujuan yang pencapaiannya dibebankan kepada suatu program pengajaran sesuatu mata pelajaran).

D. Kurikulum 1984, proses perencanaan dan pengembangannya

a. Proses Perencanaan 1) Evaluasi Kurikulum.

Kurikulum merupakan salah satu wahana utama untuk digunakan sebagai pedoman bagi pelaksana pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sejalan dengan arah kebijakan dalam pendidikan yang tercantum dalam GBHN 1983 maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan evaluasi terhadap kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berlaku, yaitu kurikulum 1975/1976/1977.

Pada tahun 1981 Pusbangkurrandik mengadakan kegiatan evaluasi dilakukan untuk mendeteksi kelebihan dan kekurangan serta permasalahan sebenarnya di sekolah. Dari hasil deteksi tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum dari semua jenis dan jenjang pendidikan yang telah berjalan 9 tahun perlu mengalami penyesuaian dan penyempurnaan. Selain Ketetapan MPR no. II/MPR/1983 tetang Garis-Garis Besar Haluan Negara, hasil-hasil perintisan yang disebutkan dalam bagian 2 perlu dijadikan dasar pengembangan


(47)

kurikulum 1984. Atas dasar itu dikembangkan struktur program kurikulum 1984.

2) Evaluasi Hasil Penelitian

Evaluasi hasil perintisan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) menunjukkan bahwa hasil belajar siswa baik dipandang dari sudut perkembangan kognitif, afektif dan psikomotor ternyata baik. Demikian pula pada penerapan sistem maju berkelanjutan dengan dasar perbedaan kemampuan peserta didik (individual differencies), waktu belajar di Sekolah Dasar ternyata dapat dipersingkat dari 6 tahun menjadi 5 tahun, dan bagi peserta didik yang cerdas tingkat SMP dan SMA secara total dapat diselesaikan dalam 5 tahun. Dipandang dari kemampuan guru penggunaan modul (self contained module) dapat meniadakan atau banyak mengurangi kesalahan konsep dan memudahkan guru dalam melayani perbedaan individu belajar. Tetapi dipandang dari sudut administrasi pendidikan ternyata sulit dilakukan bila didesiminasikan ke sekolah-sekolah lain. Demikian pula dengan bahan pembelajaran menggunakan modul berdampak pada biaya pendidikan yang cukup mahal.

Evaluasi hasil perintisan CBSA di Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sidoardjo (Jatim), Kabupaten Maros (Sulsel), Kabupaten Binjai (Sumut), Mataram (NTB) dan Keterampilan Proses IPA Sekolah Dasar di Kabupaten Cianjur dan Kota Madya Bandung menunjukkan perlunya materi kurikulum untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan diseleksi sehingga diperoleh konsep-konsep yang esensial guna mewujudkan kegiatan belajar-mengajar yang berpusat pada peserta didik..

b. Kurikulum 1984

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0461/U/1983 tentang perbaikan kurikulum Pendidikan Dasar dan


(48)

Menengah dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Kurikulum dibawah pimpinan Prof. DR. Conny Semiawan sesuai dengan tugasnya mengadakan perbaikan kurikulum yang hasilnya disebut dengan Kurikulum 1984 TK, SD/SDLB, SMP/SMPLB, SMA/SMALB, SPG/LB dan SMK baik yang setingkat dengan tingkat SMP maupun yang setingkat dengan tingkat SMA. Perbaikan terhadap kurikulum mencakup:

1) Peninjauan kembali secara menyeluruh kurikulum yang berlaku melalui pendekatan pengembangan dengan bertitik tolak pada:

a)Pilihan kemampuan dasar, baik pengetahuan maupun keterampilan yang perlu dikuasai dalam pembentukan kemampuan dan watak peserta didik.

b)Keterpaduan dan keserasian antara matra kognitif, afektif dan psikomotorik.

c)Penyesuaian tujuan dan struktur kurikulum dengan perkembangan masyarakat, pembangunan, ilmu pegetahuan dan teknologi.

2) Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai bidang/program yang berdiri sendiri, dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah Tingkat Atas, termasuk Pendidikan Luar Sekolah.

3) Pengadaan program studi baru yang merupakan usaha memenuhi kebutuhan perkembangan di lapangan kerja.

Salah satu prinsip pengembangan kurikulum 1984 adalah prinsip dekonsentrasi yang mempunyai arti adanya pembagian kewenangan dalam pengembangan kurikulum antara Pusat dan Daerah. Kewenangan daerah dalam hal ini terutama terletak pada pengembangan keterampilan yang sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat dan lapangan kerja di daerah. Untuk maksud ini maka Staf Bidang Dikdas dan Dikmenum, Kanwil Depdikbud memerlukan koordinasi/kerjasama dengan Kantor Depdikbud tingkat Kabupatan dan atau Tingkat Kecamatan, Instansi lain yang terkait, misalnya Kanwil Depnaker, KADIN, dan Perusahaan,


(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pengembangan Pendidikan, Departemen Pendidikan dan Keudayaan,

1971. Cluster II, Identifikasi Tujuan-Tujuan Pendidikan, Bagian I: Proses dan Hasil Identifikasi Tujuan-tujuan Kurikululer.

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981. Sistem dan Pengelolaan PPSP Dalam Rangka Pembaharuan Pendidikan Nasional.

3. Department of Educatioan And Culture Republic of Indonesia, 1984. A Brief

Report of The In-Service Training of the B Program of The 1984 Senior High School Curriculum (SMA).

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995. Rangkuman Meta Analisis Hasil Evaluasi dan Penelitian SPP-CBSA.

5. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975. Kurikulum Sekolah

Menengah Atas (SMA) 1975, Buku: I 1; Bidang Studi: Ketentuan-Ketentuan Pokok, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

6. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975. Kurikulum Sekolah

Menengah Pertama (SMP) 1975, Buku: I 1; Bidang Studi: Ketentuan-Ketentuan Pokok, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

7. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976. Buku I, Ketentuan-ketentuan

Pokok, Kurikulum Sekolah dasar 1975, Jakarta: PN. Balai Pustaka.

8. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987. Petunjuk Peneapan Muatan

Lokal Kurikulum Sekolah Dasar.

9. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997. Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor: 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

10.---, 1997. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 27 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Pendidikan Prasekolah.


(2)

11.---, 1997. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 28 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Dasar.

12.---, 1997Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 29 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Menengah.

13.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998. Pokok-Pokok Pengarahan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pada Acara Peresmian Penyempurnaan Kurikulum 1994.

14.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993. Kurikulum Pendidikan Dasar,

Landasan Program dan Pengembangan.

15.---. 1993. Kurikulum Sekolah Menengah Umum, Landasan, Program dan Pengembangan.

16._______________________________________________, 1993. Penjelasan

Tentang Kurikulum Baru.

17.Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Undang-Undang Nomor: 20 Tahun

2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

18. ________________________________, 2005. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor: 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

19. Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999, beserta Pidato Presiden Republik

Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid, Pidato Wakil Presiden Republik Indonesia, Megawati soekarnoputri, Jakarta: PT. Pabelan Jayakarta.

20. Indah Surabaya, 1988. GBHN Garis-Garis Besar Haluan Negara 1988 – 1993

Dan Susunan Kabinet Pembangunan V Beserta Foto.

21.Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 079/O/1975, tanggal


(3)

dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

22.__________________________________________ Nomor: 008b/U/1975,

tanggal 17 Januari 1975, tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Proyek-Proyek Perintis Sekolah Pembangunan.

23.__________________________________________ Nomor: 008c/U/1975,

tanggal 17 Januari 1975, tentang Pembakuan Kurikulum Sekolah Dasar.

24.__________________________________________ Nomor: 008d/U/1975,

tanggal 17 Januari 1975, tentang Pembakuan Kurikulum Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama.

25.__________________________________________ Nomor: 008e/U/1975,

tanggal 17 Januari 1975, tentang Pembakuan Kurikulum Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas.

26.Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 0461/U/1983,

Tanggal 22 Oktober 1983, tentang Perbaikan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

27.__________________________________________ Nomor: 0462/U/1983,

tanggal 22 Oktober 1983 tentang Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan bangsa sebagai Bidang/Program Pendidikan yang berdiri sendiri.

28.__________________________________________ Nomor: 0222f/O/1980,

tanggal 11 September 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

29. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 060/U/1993 tanggal

25 Februari 1993, Buku Lampiran II, Tentang Kurikulum Pendidikan Dasar, Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

30.Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan dan Direktur Jenderal Kelembagaan Islam Departemen Agama Islam Departemen Agama Nomor: 415/C/Kep/Kp/1998,


(4)

Nomor : 147/G/Kep/P/1998, dan Nomor: E/322A/1998 tentang Pembentukan Tim Penyempurna Kurikulum 1994 Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan dan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.

31. Peraturan Menetri Pendidikan Nasional Nomor: 24 Tahun 2005 Tentang

Organisasi dan Tata Kerja Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.

32.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 20 Tahun

2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan.

33.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 41 Tahun

2007 Tentang Standar Proses.

34. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 23 Tahun 2006 Tentang

Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

35. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 24 Tahun 2006 Tentang

Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 22 Tahun 2006 dan Nomor: 23 Tahun 2006.

36. Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Balitbang Dikbud,

1996. Perbedaan Kurikulum 1984 dan Kurikulum 1994, Untuk Mata Pelajaran: Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Ekonomi dan Akuntasi, Sosiologi dan Antropologi, Geografi, dan Bahasa Inggris.

37. ____________________________________, 1993. Garis-Garis Besar

Program Pengajaran Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar (SD).

38._____________________________________,1993. Garis-Garis Besar

Program Pengajaran Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Sekolah Dasar (SD).

39._____________________________________, 1993. Garis-Garis Besar

a. Program Pengajaran Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

Sekolah Dasar (SD).

40.Soedijarto, 1977. A Guide to The Implementation of The Modular


(5)

Educational and Cultural Research and Development (BP3K), Ministry of Education and Culture, The Republic of Indonesia.

41.---, 1973. Identifikasi Tujuan-Tujuan Pendididkan, Badan

Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

42. Tangyong Agus F. et.al. 1989. Quality Through Support For Teachers, A

Case Study From Indonesia, Jakarta: The Office of Educational and Cultural Research and Development, Ministry of Education and Culture Republic of Indonesia and The Department of International and Comparative Education, Institute of Education, University of London.

43.TAP MPR No. II/MPR/1083 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dan

Sususnan Kabinet Pembangunan IV, CV. Aneka, Semarang

44.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989), Hasil Rapat Kerja Nasional

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1989,

45.Office of Educational and Cultural Reasearch and Development (1985), Main Report Sector Review Sepetember 1 – October 28, 1985, Jakarta

46.Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Studi

Perkembangan Kognitif Anak Sekolah Dasar di Indonesia, Buku I Laporan Umum, Jakarta, Desember 1984.

47.Pusat Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbangdikbud (1987),

Laporan Penelitian Kemampuan Guru tentang IPA dan Sarana Pelajaran IPA di Sekolah Dasar tahun 1985/1986 (p22 – 37)

48.S. Nasution, Prof. Dr., MA (1986), Asas-Asas Kurikulum, Penerbit Jemmars, Bandung (p110 – 115, p135 – 143)

49.Squires, D.A, Huitt, W.G., Segars, J.K. (1984), Effective Schools and

Classrooms: A Research Based Perpective, Association for Supervision and Curriculum Development, Alexandria, Virginia 22314 (p.11 – 15)

50.Bloom, B.S. et al. (1972), Taxonomy of Educational Objective The

Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive Domain, David McKay Company, Inc., New York (p.22 – 43)

51.Wiles,J., Bondi J., (1989), Curriculum Development, A Guide to Practice,

Third Edition, Merrill Publishing Company, A Belt & Howell Information Company, Columbus, Toronto, London, Melbourne (p.88 – 122)


(6)

52.Alberts B.. et al (1996), National Science Education Standards, Change Learn, National Academic Press, Washington, DC.(p11 – 21)

53.Block J.H., (1971), Mastery Learning, Theory and Practice, Theory and

Practice, Holt, Reinhart and Winston, Inc. New York, Chicago, San Francisco, Atlanta, Dallas, Montreal, Toronto, London, Sydney (p13-23)

54.Tanner D, Tanner L.N. (1980), Curriculum Development, Theory and

Practice, second edition, Macmillan Publishing Co., Inc. New York, Collier Macmillen Publishers, London (p275 – 279)

55.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984), Landasan, Program dan

Pengembangan, Kutikulum 1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA), Jakarta.

56.Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Balitbangdikbud

(1987), Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Program Pengajaran Muatan Lokal untuk Guru Sekolah Dasar, Jakarta

57.Pusat Kurikulum Balitbang Depdikbud (1985). Kurikulum 1984: Pedoman