Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia (Studi Kasus Ma No.01 K/Pdt.Sus/2010) T1 312009061 BAB IV
BAB IV
PENUTUP
Setelah melakukan penelitian dan analisis mengenai bagaimanakah
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di indonesia, maka dalam bab
IV yang merupakan bab penutup ini, Penulis akan memberikan kesimpulan dan
saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah disebutkan Penulis serta permasalahan
yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai
berikut :
1. Adanya ketidak konsistenan pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase
asing di Indonesia. Karena kurang komprehensifnya Indonesia terhadap
pelaksanaan arbitrase asing itu sendiri, sehingga Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sebagai pihak yang mempunyai wewenang dalam pemberian
Penetapan exequatur tidak melaksanakan isi atau substansif dari UU
No.30 Tahun 1999 dan peraturan perundang-undangan lainya. Terlebih
Pengadilan Negeri merupakan pihak yang tidak mempunyai kewenangan
dalam mengintervensi isi dari putusan arbitrase yang telah bersifat final
dan binding. Hal tersebut dapat diketahui bahwa Pengadilan Negeri
mempertimbangkan dalil-dalil yang diajukan pihak lain kepadanya,
padahal putusan yang di pertimbangkan tersebut telah bersifat final dan
binding, dan juga telah disetujui para pihak dalam perjanjian, hal tersebut
dapat dilihat bentuk intervensi dari sebuah putusan final and binding
101
SIAC. Tindakan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melanggar asas due process of law (proses yang wajar), karena pengadilan
Jakarta Pusat mempertimbangkan permohonan exequatur sebagai suatu
perkara, dan hal itu merupakan kekeliruan dan seharusnya tidak dilakukan
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
telah
melampui
kewenangannya
dengan
melakukan
penetapan
pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, dan
Pengadilan Negeri melihat bahwa permohonan exequatur arbitrase asing
sebagai suatu perkara yang harus dipertimbangkan pelaksanaannya,
padahal jelas dikatakan dalam Pasal 62 Ayat (4) UU No.30 Tahun 1999
menyatakan Ketua Pengadilan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan
dari putusan arbitrase. Ketidak tegasan UU No.30 Tahun 1999 tersebut
merupakan hal yang yang dapat merugikan salah satu para pihak yang
terikat perjanjian.
2. Ketidak konsistenannya hakim terhadap UU No.30 Tahun 1999 serta
Konvensi-konvensi yang telah diratifikasi sehingga mengakibatkan terjadi
salah penerapan terhadap pelaksanaan putusan abitrase asing yang
dilakukan oleh para Hakim. Hal tersebut dapat dilihat dari Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan yang juga mengadili kasus yang sama, sehingga hal
tersebut merupakan pelanggaran terhadap UU No.30 Tahun 1999, dan
melanggar akan kewenangan dari lembaga arbitrase yang telah disepakati
para pihak. Tidak hanya itu saja Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melakukan pembatalan terhadap putusan arbitrae asing yang akan
102
dilaksanakannya di Indonesia, hal tersebut beralaskan ketertiban umum
(public policy). Sedangkan pengaturan dan
policy) itu tidak diatur
ketertiban umum (public
secara jelas pengaturan dan definisinya di
Indonesia. Definisi ketertiban umum tidak disebutkan secara tegas,
sehingga seperti yang dikatakan Sudargo Gaotama bahwa ketertiban
umum atau open bare orde seharusnya tidak dapat diinterpretasikan secara
luas, sehingga sesuatu yang berlainan saja dengan apa yang dianggap
melanggar konsep hukum di Indonesia dianggap melanggar ketertiban
umum (pubic Policy). Definisi dan pengaturan terhadap pelanggaran
ketertiban umum belum diatur secara jelas dan dibatasi akan
pemaknaannya di Indonesia. Dengan demikian luasnya pengertian
ketertiban umum mengakibatkan tidak adanya
kepastian hukum
khususnya bagi para pelaku usaha, maka akan tidak akan menimbulkan
kemanfaatan hukum dari arbitrase tersebut sehingga para investor-investor
asing merasa ragu untuk menanamkan modal sehingga berdampak negatif
pada perkembagan perkembangan perekonomian di Indonesia
3. Adanya UU No.30 Tahun 1999 tentang arbitrase serta Perma No.1 Tahun
1990 sebagai peraturan pelaksana, dan adanya peratifikasian konvensi
New York 1958 dengan UU No.34 Tahun 1981, serta diratifikasinya
konvensi wangshington (wangshington convention) dengan UU No.5
Tahun 1968 tidak tidak menjamin akan kepastian Pengakuan, pelaksanaan
dan perlindungan hukum dalam hukum penyelesaian sengketa, hal-hal
yang telah disebutkan kurang memberikan kepastian tentang pelaksanaan
103
dan pengakuan terhadap arbitrase asing di Indonesia. Hal itu dikarenakan
adanya factor-faktor penghambat yang dimana aparat hukum kurang
mendukung akan pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia. Hakim kurang
mengerti akan akan pemaknaan dari pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing yang bersifat final dan binding. Hakim dalam hal
pelaksanaan
arbitrase
tersebut
seolah-olah
tidak
melihat
secara
keseluruhan dalam penerapan akan pengaturan tentang pelaksanaan dan
pengakuan akan arbitrase asing.
4. Untuk hal pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing di Indonesia
harus berdasarkan dengan Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990 yang dimana
pasal tersebut sejalan dengan Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999 Tentang
arbitrase. Dalam Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990 tersebut terdapat unsurunsur untuk diakuinya dan dilaksanakannya putusan arbitrase asing, yang
dimana antara lain adalah terikatnya perjanjian (konvensi) Indonesia
dengan Negara lain baik secara bilateral dan multilateral atau yang lazim
disebut sebagai asas resiprositas, putusan arbitrase tersebut harus dalam
bentuk sengketa dagang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum
(public policy), dan mendapat perolehan exequatur dalam dari Mahkamah
Agung di Indonesia. Sehingga salah satu saja tidak terpenuhinya unsur
tersebut maka pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing tidak
dapat dilaksanakan di Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini adanya
konvensi belum tentu sebagai jaminan terlaksananya putusan arbitrase
asing di indonesia, bahkan diketahui bersama batasan public policy itu
104
sendiri tidak diberikan batasan di Indonesia sehingga bersifat unlimited.
Hal tersebut dapat berdampak buruk yang dimana tidak memberikan
kepastian hukum dari arbitrase tersebut, karena bisa saja setiap putusan
asing di Indonesia dikatakan melanggar ketertiban umum (public policy)
dalam alasan yang kurang jelas, karena penafsiran public policy selalu
berdasarkan pendapat Hakim. Di dalam Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990
Ayat (2) mengatakan bahwa putusan arbitrase harus dalam lingkup
perdagangan, di dalam putusan arbitrase SIAC dalam kasus ini tentu
termasuk dalam lingkup sengketa dagang karena memang permasalahan
tersebut terjadi karena gagalnya kerjasama usaha patungan (joint venture).
Dan dalam pelaksanaan exeuatur juga baru dapat dilaksanakan setelah
memperoleh exequatur dari mahkamah Agung yang dimana hal tersebut
seusai dengan Pasal 3 Ayat (4) Perma No.1 Tahun 1990.
5. Ada pun Indonesia membatasi pelaksanaan dan pengakuan arbitrase asing
di Indonesia hal tersebut bertujuan untuk membatasi pengaruh dominasi
pihak asing di Indonesia, dan memang suatu negara berhak membatasi
akan pihak asing, akan tetapi akan lebih baik pembatasan tersebut
diberikan
atau
diakomodir
kepastian
hukum
khususnya
tentang
pelaksanaan dan pengakuan abitrase asing, yang bertujuan untuk lebih
memberikan
jaminan
dan
perlindungan
menyelesaiakan melalui jalur arbitrase.
105
kepada
pihak
yang
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan Penulis, Penulis memberikan
saran sebagai berikut :
1. Hendakanya dalam Undang-Undang Arbitrase perlu dicantumkannya
pengertian dan batasan (public policy) dan kepentingan nasional (national
interest), untuk kemudian secara jelas dijabarkan dalam perjanjian. Negara
Indonesia seharusnya memberikan pembatasan dan pengaturan
akan
ketertiban umum tersebut, dan sejalan dengan pendapat sudargo gaotama,
Penulis menyarankan agar penggunaan ketertiban umum (public policy)
digunakan seefesien atau seirit mungkin dan negara tidak perlu manfsirkan
pengertian dari ketertiban umum (public policy ) terlalu luas, hingga hal
yang demikian menurut penulis menghambat pelaksanaan dan pengakuan
arbitrase asing di Indonesia, hingga menimbulkan dampak negatif ke
negara yang menolak pelaksanaan arbitrase asing tersebut.
2. Hakim sebagai pelaksana UU arbitrase perlu mengikuti perkembanganperkembangan arbitrase international, agar bertujuan untuk aparat hukum
atau para hakim lebih berkompeten untuk memutus suatu arbitrase terlebih
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.
3.
Di dalam UU No.30 Tahun 1999 diperlukan adanya penegakan dan
pengaturan yang lebih jelas, dan perlu adanya sinkronisasi antara UU
No.30 Tahun 1999 dengan praktek pelaksanaanya, agar setiap hakim
dapat melaksanakan dan menegakkan sebagaimana semestinya yang telah
ditetapkan dan diatur dalam Undang-undang Arbitrase.
106
4. Keunikan dalam hukum acara diminta untuk ditulis oleh Penulis lain.
Sebagaimana Penetapan exequatur oleh Mahkamah Agung tapi penetapan
tersebut menjadi pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk
menerima atau dilaksanakannya eksekusi.
107
PENUTUP
Setelah melakukan penelitian dan analisis mengenai bagaimanakah
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di indonesia, maka dalam bab
IV yang merupakan bab penutup ini, Penulis akan memberikan kesimpulan dan
saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah disebutkan Penulis serta permasalahan
yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai
berikut :
1. Adanya ketidak konsistenan pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase
asing di Indonesia. Karena kurang komprehensifnya Indonesia terhadap
pelaksanaan arbitrase asing itu sendiri, sehingga Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sebagai pihak yang mempunyai wewenang dalam pemberian
Penetapan exequatur tidak melaksanakan isi atau substansif dari UU
No.30 Tahun 1999 dan peraturan perundang-undangan lainya. Terlebih
Pengadilan Negeri merupakan pihak yang tidak mempunyai kewenangan
dalam mengintervensi isi dari putusan arbitrase yang telah bersifat final
dan binding. Hal tersebut dapat diketahui bahwa Pengadilan Negeri
mempertimbangkan dalil-dalil yang diajukan pihak lain kepadanya,
padahal putusan yang di pertimbangkan tersebut telah bersifat final dan
binding, dan juga telah disetujui para pihak dalam perjanjian, hal tersebut
dapat dilihat bentuk intervensi dari sebuah putusan final and binding
101
SIAC. Tindakan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melanggar asas due process of law (proses yang wajar), karena pengadilan
Jakarta Pusat mempertimbangkan permohonan exequatur sebagai suatu
perkara, dan hal itu merupakan kekeliruan dan seharusnya tidak dilakukan
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
telah
melampui
kewenangannya
dengan
melakukan
penetapan
pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, dan
Pengadilan Negeri melihat bahwa permohonan exequatur arbitrase asing
sebagai suatu perkara yang harus dipertimbangkan pelaksanaannya,
padahal jelas dikatakan dalam Pasal 62 Ayat (4) UU No.30 Tahun 1999
menyatakan Ketua Pengadilan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan
dari putusan arbitrase. Ketidak tegasan UU No.30 Tahun 1999 tersebut
merupakan hal yang yang dapat merugikan salah satu para pihak yang
terikat perjanjian.
2. Ketidak konsistenannya hakim terhadap UU No.30 Tahun 1999 serta
Konvensi-konvensi yang telah diratifikasi sehingga mengakibatkan terjadi
salah penerapan terhadap pelaksanaan putusan abitrase asing yang
dilakukan oleh para Hakim. Hal tersebut dapat dilihat dari Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan yang juga mengadili kasus yang sama, sehingga hal
tersebut merupakan pelanggaran terhadap UU No.30 Tahun 1999, dan
melanggar akan kewenangan dari lembaga arbitrase yang telah disepakati
para pihak. Tidak hanya itu saja Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melakukan pembatalan terhadap putusan arbitrae asing yang akan
102
dilaksanakannya di Indonesia, hal tersebut beralaskan ketertiban umum
(public policy). Sedangkan pengaturan dan
policy) itu tidak diatur
ketertiban umum (public
secara jelas pengaturan dan definisinya di
Indonesia. Definisi ketertiban umum tidak disebutkan secara tegas,
sehingga seperti yang dikatakan Sudargo Gaotama bahwa ketertiban
umum atau open bare orde seharusnya tidak dapat diinterpretasikan secara
luas, sehingga sesuatu yang berlainan saja dengan apa yang dianggap
melanggar konsep hukum di Indonesia dianggap melanggar ketertiban
umum (pubic Policy). Definisi dan pengaturan terhadap pelanggaran
ketertiban umum belum diatur secara jelas dan dibatasi akan
pemaknaannya di Indonesia. Dengan demikian luasnya pengertian
ketertiban umum mengakibatkan tidak adanya
kepastian hukum
khususnya bagi para pelaku usaha, maka akan tidak akan menimbulkan
kemanfaatan hukum dari arbitrase tersebut sehingga para investor-investor
asing merasa ragu untuk menanamkan modal sehingga berdampak negatif
pada perkembagan perkembangan perekonomian di Indonesia
3. Adanya UU No.30 Tahun 1999 tentang arbitrase serta Perma No.1 Tahun
1990 sebagai peraturan pelaksana, dan adanya peratifikasian konvensi
New York 1958 dengan UU No.34 Tahun 1981, serta diratifikasinya
konvensi wangshington (wangshington convention) dengan UU No.5
Tahun 1968 tidak tidak menjamin akan kepastian Pengakuan, pelaksanaan
dan perlindungan hukum dalam hukum penyelesaian sengketa, hal-hal
yang telah disebutkan kurang memberikan kepastian tentang pelaksanaan
103
dan pengakuan terhadap arbitrase asing di Indonesia. Hal itu dikarenakan
adanya factor-faktor penghambat yang dimana aparat hukum kurang
mendukung akan pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia. Hakim kurang
mengerti akan akan pemaknaan dari pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing yang bersifat final dan binding. Hakim dalam hal
pelaksanaan
arbitrase
tersebut
seolah-olah
tidak
melihat
secara
keseluruhan dalam penerapan akan pengaturan tentang pelaksanaan dan
pengakuan akan arbitrase asing.
4. Untuk hal pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing di Indonesia
harus berdasarkan dengan Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990 yang dimana
pasal tersebut sejalan dengan Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999 Tentang
arbitrase. Dalam Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990 tersebut terdapat unsurunsur untuk diakuinya dan dilaksanakannya putusan arbitrase asing, yang
dimana antara lain adalah terikatnya perjanjian (konvensi) Indonesia
dengan Negara lain baik secara bilateral dan multilateral atau yang lazim
disebut sebagai asas resiprositas, putusan arbitrase tersebut harus dalam
bentuk sengketa dagang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum
(public policy), dan mendapat perolehan exequatur dalam dari Mahkamah
Agung di Indonesia. Sehingga salah satu saja tidak terpenuhinya unsur
tersebut maka pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing tidak
dapat dilaksanakan di Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini adanya
konvensi belum tentu sebagai jaminan terlaksananya putusan arbitrase
asing di indonesia, bahkan diketahui bersama batasan public policy itu
104
sendiri tidak diberikan batasan di Indonesia sehingga bersifat unlimited.
Hal tersebut dapat berdampak buruk yang dimana tidak memberikan
kepastian hukum dari arbitrase tersebut, karena bisa saja setiap putusan
asing di Indonesia dikatakan melanggar ketertiban umum (public policy)
dalam alasan yang kurang jelas, karena penafsiran public policy selalu
berdasarkan pendapat Hakim. Di dalam Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990
Ayat (2) mengatakan bahwa putusan arbitrase harus dalam lingkup
perdagangan, di dalam putusan arbitrase SIAC dalam kasus ini tentu
termasuk dalam lingkup sengketa dagang karena memang permasalahan
tersebut terjadi karena gagalnya kerjasama usaha patungan (joint venture).
Dan dalam pelaksanaan exeuatur juga baru dapat dilaksanakan setelah
memperoleh exequatur dari mahkamah Agung yang dimana hal tersebut
seusai dengan Pasal 3 Ayat (4) Perma No.1 Tahun 1990.
5. Ada pun Indonesia membatasi pelaksanaan dan pengakuan arbitrase asing
di Indonesia hal tersebut bertujuan untuk membatasi pengaruh dominasi
pihak asing di Indonesia, dan memang suatu negara berhak membatasi
akan pihak asing, akan tetapi akan lebih baik pembatasan tersebut
diberikan
atau
diakomodir
kepastian
hukum
khususnya
tentang
pelaksanaan dan pengakuan abitrase asing, yang bertujuan untuk lebih
memberikan
jaminan
dan
perlindungan
menyelesaiakan melalui jalur arbitrase.
105
kepada
pihak
yang
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan Penulis, Penulis memberikan
saran sebagai berikut :
1. Hendakanya dalam Undang-Undang Arbitrase perlu dicantumkannya
pengertian dan batasan (public policy) dan kepentingan nasional (national
interest), untuk kemudian secara jelas dijabarkan dalam perjanjian. Negara
Indonesia seharusnya memberikan pembatasan dan pengaturan
akan
ketertiban umum tersebut, dan sejalan dengan pendapat sudargo gaotama,
Penulis menyarankan agar penggunaan ketertiban umum (public policy)
digunakan seefesien atau seirit mungkin dan negara tidak perlu manfsirkan
pengertian dari ketertiban umum (public policy ) terlalu luas, hingga hal
yang demikian menurut penulis menghambat pelaksanaan dan pengakuan
arbitrase asing di Indonesia, hingga menimbulkan dampak negatif ke
negara yang menolak pelaksanaan arbitrase asing tersebut.
2. Hakim sebagai pelaksana UU arbitrase perlu mengikuti perkembanganperkembangan arbitrase international, agar bertujuan untuk aparat hukum
atau para hakim lebih berkompeten untuk memutus suatu arbitrase terlebih
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.
3.
Di dalam UU No.30 Tahun 1999 diperlukan adanya penegakan dan
pengaturan yang lebih jelas, dan perlu adanya sinkronisasi antara UU
No.30 Tahun 1999 dengan praktek pelaksanaanya, agar setiap hakim
dapat melaksanakan dan menegakkan sebagaimana semestinya yang telah
ditetapkan dan diatur dalam Undang-undang Arbitrase.
106
4. Keunikan dalam hukum acara diminta untuk ditulis oleh Penulis lain.
Sebagaimana Penetapan exequatur oleh Mahkamah Agung tapi penetapan
tersebut menjadi pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk
menerima atau dilaksanakannya eksekusi.
107