Aspek ekonomi sma kelas aspek

Aspek ekonomi

ndustri rokok maupun prilaku merokok di masyarakat dalam aspek sosial ekonomi tidak bisa
dilepas dari perspektif kemiskinan.
Pada aspek produksi, banyak faktor atau elemen yang terlibat pada aspek tersebut di antaranya
adalah pemilik pabrik (pemodal), karyawan/buruh, petani tembakau sampai pada penjual rokok
di pinggiran jalan.
Ini bisa dicermati pada tahun 2008 produksi dan peredaran rokok di Indonesia sebanyak 250
miliar batang rokok (sumber: Global Tobacco Control Report, 2008).
Berdasar fakta dan data tersebut apabila di kalkulasikan secara awam, dari 250 miliar batang
rokok di Indonesia potensi beredarnya uang hanya untuk konsumsi rokok sebesar Rp 125 triliun
(asumsi 1 (satu) batang rokok seharga 500 rupiah).
Bandingkan dengan proyeksi rencana Anggaran Belanja Negara Tahun 2013 bidang kesehatan
yang ‘hanya’ Rp 30,9 triliun, juga bidang bantuan sosial yang ‘hanya’ Rp 59 triliun, yang
didalamnya termasuk bidang perlindungan sosial.
Ini berarti potensi pemiskinan rakyat Indonesia terbuka lebar, bagaimana tidak!!! Anggaran
negara untuk peningkatan kualitas masyarakat baik secara sosial, ekonomi maupun kesehatan
dikalahkan dengan peredaran rokok yang diperjualbelikan di Indonesia tanpa ada perlindungan
regulasi bagi warganya.
Di sisi lain berdasar hasil tongkrongan penulis pada komunitas pemulung di pinggiran Jakarta,
10 (sepuluh) orang 4 di antaranya anak berusia sekitar 15 tahunan yang diajak ngobrol di warung

kopi adalah perokok dan mereka rata-rata menghabiskan 6–12 batang rokok/hari, kalau
dirupiahkan dalam sehari mereka menghabiskan uang 6 ribu–9 ribu rupiah/hari, sedangkan
pendapatan mereka sehari antara 15 ribu–20 ribu rupiah/hari. Ini berarti dari total pendapatan
mereka 40–45% dipergunakan untuk menkonsumsi rokok.
Hal ini menyebabkan kebutuhan pokok keluarga sering terabaikan, kita bayangkan uang 6 ribu–9
ribu rupiah sebenarnya sangat berarti bagi mereka untuk kelangsungan hidup sehari-hari.
Disebabkan mereka sudah teradiktif dan kecanduan rokok serta mereka sangat sulit untuk
berhenti dari kebiasaan merokok dan tertipu dengan sugesti iklan rokok yang menyebar tanpa
batas, pada akhirnya mereka mengorbankan kualitas hidup diri dan keluarganya.
Seringkali mereka terjebak antara konsumsi rokok dengan kebutuhan dasarnya ketika
berhadapan dengan jumlah pendapatannya. Begitu juga saat penulis mengajak ngobrol beberapa
buruh industri rokok besar di daerah Jawa Timur pada pertengahan tahun 2009 lalu, mendapati

fakta bahwa 40–50% pendapatan mereka dihabiskan untuk mengkonsumsi rokok, yang notabene
mereka setiap hari bergelut dengan aroma tembakau dan rokok.
Lebih mengejutkan adalah saat saya libur Lebaran tahun 2009, mendapati para buruh/petani
tembakau yang mengeluhkan harga tembakau seringkali dipermainkan oleh pihak tengkulak dan
industri rokok, sehingga tembakau yang menurut mereka menjadi produk unggulan dan harapan
mereka untuk mensejahterakan keluarganya tidak terwujud dikarenakan penentuan harga
tembakau adalah pihak industri rokok dan belum adanya regulasi harga dari pemerintah yang

jelas dan tegas.
Ini diperparah dengan fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang masih
mengimpor tembakau, pada tahun 2006 Indonesia mengimpor tembakau dengan nilai 47,2 juta
USD ini berarti lebih tinggi dari nilai ekspor Indonesia di sektor tembakau (Sumber: Departemen
Pertanian RI).
Kembali pada relevansi rokok dan kemiskinan, berdasar deskripsi dan argumentasi yang sudah
dijelaskan sebelumnya serta berdasar fakta yang ada adalah para pecandu rokok sebagian besar
merupakan masyarakat miskin yang karena terhimpit ekonomi, mereka berusaha untuk
menghilangkan tekanan maupun depresi atas keterhimpitan ekonominya serta dampak sugesti
dari zat adiktif dari produk legal yang dinamakan rokok tersebut.
Sehingga perilaku merokok menjadi bagian kebutuhan yang dipaksakan dan mengalahkan
kebutuhan hidup dasar manusia yakni sandang, pangan dan papan.
Pemanfaatan potensi masyarakat miskin pun secara tidak langsung dieksploitasi oleh industri
rokok dengan pemanfaatan promosi dan iklan yang luar biasa tanpa batas dalam membangun
image kebanggaan, rileksasi, kemampuan dalam mencapai harapan dan impian seseorang seperti
enjoy aja, gak ada loe gak rame, pria sejati, kreatif, ketangguhan, dan lain sebagainya.
Ini menyebabkan masyarakat miskin terutama anak-anak dari keluarga miskin berimajinasi dan
mencoba apa yang mereka lihat, mereka dengar, serta menurut mereka merokok adalah salah
satu bagian gaya hidup anak kota dan bagian dari penunjukan identitas diri tanpa berpikir
kemampuan diri dan sosialnya.

Dan pada akhirnya keterpaksaan keluarga miskin dalam memangkas pendapatan untuk konsumsi
rokok yang dalam sehari bisa menghabiskan 6–12 batang/hari ini dapat teratasi karena produk
tembakau dapat dibeli secara batangan sehingga akses untuk menjadi korban ketergantungan
produk rokok bagi masyarakat sangat besar terlebih pada masyarakat miskin.

Aspek kesehatan

Merokok sudah merupakan hal yang biasa kita jumpai dimanpun kita berada.
Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang sudah begitu luas dilakukan baik
dalam lingkungan berpendidikan maupun tidak. Merokok sudah menjadi masalah
yang kompleks yang menyangkut aspek psikologis dan gejala social. Sekarang ini
banyak anak dibawah umur yang sudah merokok. Mereka merokok ketika pulang
sekolah dan ketika mereka berkumpul dengan lingkungan rumahnya tanpa
sepengetahuan orangtuanya. Banyak pertanyaan yang sudah saya tanyakan pada
mereka “kenapa kalian merokok?” sebagian besaa anak – anak itu tidak bisa
menjawab.
Banyak sudah himbauan tentang bahayanya merokok namun banyak yang tidak
mempedulikannya. Merokok dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit
kardiovaskuler dan kanker, baik kanker paru-paru, oesophagus, laryng, dan rongga
mulut. Walaupun memiliki banyak penyakit merokok merupakan kebiasaan buruk

yang susah dihilangkan.

Saya mengutip sebagian info dari http://id.shvoong.com yaitu: “Konsumsi rokok
Indonesia setiap tahun mencapai 199 miliar batang rokok atau urutan kelima
setelah RRC (1.679 miliar batang), AS (480 miliar), Jepang (230 miliar), dan Rusia
(230 miliar). Sementara itu, menurut analisis Soewarta Kosen (ahli ekonomi
kesehatan Litbang Departemen kesehatan), total tahun produktif yang hilang
karena penyakit yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada 2005 adalah
5.411.904 disability adjusted life year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per
kapita per tahun pada 2005 sebesar US$ 900, total biaya yang hilang US$
4.870.713.600. Dari segi ekonomi, rokok memang memberikan kontribusi yang
signifikan bagi pemasukan negara. Tiap tahunnya, pemerintah mendapat masukan
dari pos penerimaan cukai rokok dan minuman keras tak kurang dari sebesar Rp 27
triliun. Angka ini menyumbang 98% penerimaan cukai negara sehingga urusan
kesehatan serta menyelamatkan anak negeri sering tergilas oleh setoran puluhan
triliun rupiah tersebut”.
Semuanya itu merupakan potret bagaimana bahanya merokok dan juga bagaimana
pentingnya rokok dalam perekonomian Negara. Banyak sekali terjadi perdebatan

mengenai rokok. Saya mengutip dari Republika.co.id Yaitu “Majelis Tarjih dan

Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram merokok, di Jakarta,
Selasa (9/3), karena Muhammadiyah merasakan berbagai dampak negatif rokok
dalam bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi”. Setelah itu banyak petani tembakau
yang protes terhadap fatwa tersebut, itu disebabkan ketakutan para petani
tembakau jika fatwa haram rokok disahkan maka mata pencaharian mereka akan
hilang. Oleh sebab itu masalah merokok harus dipikirkan secara baik – baik, sebab
tidak sedikit juga keuntungan yang diperoleh banyak orang.