LANGKAH PERTAMA MENGEVALUASI KEBUTUHAN K

LANGKAH PERTAMA
MENGEVALUASI KEBUTUHAN-KEBUTUHAN
UNTUK MENGIDENTIFIKASI TUJUAN PEMBELAJARAN
https://bahrurrosyididuraisy.wordpress.com/
Latar Belakang
Mungkin hal yang paling penting dalam proses desain pembelajaran adalah mengidentifikasi
tujuan pembelajaran. Jika dilakukan dengan tidak tepat, bahkan suatu model pengajaran yang
bagus sekali pun tidak dapat memenuhi tujuan si perancang. Dua metode dasar digunakan
untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan pengejaran: pendekatan ahli terhadap subyek masalah
dan pendekatan teknologi kinerja.
Setiap pembaca buku ini diasumsikan sebagai pakar subyek-masalah (SME, dibaca SM-E atau SMEE) di beberapa bidang. Anda telah atau akan mengajar seorang mahasiswa
tingkat akhir di bidang tertentu. Pengetahuan Anda terhadap bidang tersebut telah melebihi
pengetahuan publik umumnya, sehingga Anda termasuk seorang SME.
Ketika seorang SME diminta mengembangkan pembelajaran di bidang yang mereka
kuasai, mereka akan cenderung mempertimbangkan ilmu yang diajarkan kepada mereka di
masa lalu. Berdasarkan evaluasi pengalaman belajar mereka, SME akan mencoba untuk
menerapkan pembelajaran persis dengan apa yang mereka peroleh atau mencoba
mengembangkannya. Tujuan-tujuan pembelajaran yang disusun oleh para SME selalu
berisikan kata-kata seperti tahu dan memahami dengan acuan pada informasi daftar isi.
Pendekatan terhadap proses belajar-mengajar memperluas komunikasi informasi antara
pengajar dan mahasiswa dalam proses pembelajaran.

Penyusun pembelajaran lebih menyukai pendekatan denga teknologi kinerja, di mana
tujuan-tujuan pembelajaran dibuat berdasarkan tanggapan atas permasalahan-permasalahan
atau kesempatan-kesempatan. Perlu dicatat bahwa tidak ada yang tertinggal mengenai hal
apa yang akan dimasukkan ke dalam sebuah paket pembelajaran, karena, pada
kenyataannya semua orang memang membutuhkan pendidikan. Tim penyusun berusaha
bekerja dengan orang-orang yang bertanggungjawab dalam memastikan bahwa perusahaan
tersebut akan mencapai kualitas dan produktivitas tujuan-tujuannya. Hal ini berlaku di semua
badan, publik atau swasta. Perusahaan-perusahaan secara konstan bergantung pada
keahlian mereka untuk memenuhi kebutuhan klien dan pelanggan mereka. Jika mereka tidak
mampu memenuhinya, perubahan harus dilakukan.
Namun perubahan apa? Tim penyusun bergabung karena adanya kebutuhan akan
proses penilaian dan analisis untuk secara khusus mengidentifikasi masalahnya, di mana
bukan selalu perkara mudah. Karena permasalahan yang sebenarnya tidak melulu berupa hal
yang tampaknya jelas kelihatan. Setelah masalah-masalah teridentifikasi, tim penyusun
mecoba untuk mengidentifikasi penyebab masalah, kemudian megidentifikasi rangkaian solusi
yang kiranya dapat diimplemntasikan untuk menyelesaikan masalah. Jarang sekali satu model
pembelajaran mampu menjadi solusi terhadap sebuah masalah. Biasanya, sebuah kombinasi
perubahan diperlukan untuk menyelesaikan masalah secara efektif.
Tim pendesain memperoleh tujuan-tujuan pembelajaran dengan menggunakan
beberapa tipe proses penilaian kebutuhan. Tujuan biasanya ditetapkan sebagai keterampilan,

pengetahuan, dan perilaku yang harus dikuasai kelompok pelajar untuk memenuhi kebutuhan
yang telah teridentifikasi. Tipe penetapan tujuan ini biasanya memasukkan kata kerja seperti
memecahkan, menerapkan, dan mengolah. Tipe ini fokus pada hal apa yang akan pelajar
mampu lakukan setelah mereka selesai belajar, dan konteks di dunia nyata ketika mereka
BAHRUR ROSYIDI | IDENTIFYING INSTRUCTIONAL GOAL

1

dituntut untuk mengaplikasikan keterampilan baru miliknya. Perhatikan dua contoh tersebut
dalam mengidentifikasi tujuan pembelajaran.
Sebuah perusahaan memiliki banyak sekali perangkat komputer dalam 2 tahun
terakhir, mengindikasikan bahwa keputusan manajemen dibuat untuk mengakhiri penggunaan
layanan jasa dari pihak luar, dan sebagai gantinya menyediakan 25 posisi internal sebagai
teknisi komputer. Dilihat dari sudut pandang teknologi kinerja dapat disimpulkan dari kejadian
tersebut bahwa perlengkapan perusahaan mengalami malfungsi luar biasa, sehingga
“kebutuhan” akan tenaga teknisi kelihatannya amat mendesak. (Sementara solusi lain
mungkin dengan membeli perangkat komputer yang lebih berkualitas dari pabrikan lainnya,
meleasing perlengkapan yang dimiliki, atau memasukkan kerjasama kontrak jangka panjang
sebagai bagian dari pembelian). Keputusan mengenai 25 orang teknisi hanyalah bagian awal
dari berjalannya proses solusi. Bila keputusannya adalah menyewa teknisi yang sudah ahli

“dari luar”, departemen pelatihan SDM jadi kehilangan peranannya dalam menyelesaikan
masalah. Bila, sebaliknya, keputusan yang diambil adalah mengisi ke 25 posisi tadi dengan
karyawan dalam sendiri, maka sepertinya semcam pelatihan akan diperlukan. Jika mereka
sebelumnya telah terbiasa sebagai teknisi perlengkapan perusahaan yang lain, maka mungkin
hanya sedikit pelatihan tambahan diperlukan. Jika mereka sama sekali tidak memiliki
pengalaman di bidang tersebut, maka sebaiknya seluruh kurikulum materi diajarkan oleh
lembaga pendidikan, atau bisa juga karyawan dikirim ke lembaga-lembaga pendidikan terkait.
Tujuan dari penjelasan di atas adalah untuk menunjukkan bahwa semua orang
berhasil ketika pendidikan dan pelatihan menyediakan materi ketrampilan bagi pelajar sesuai
yang diperlukan untuk kebutuhan menyelesaikan masalah perusahaan atau sekadar
menambah ilmu pada kesempatan yang ditawarkan. Menjabarkan permasalahan atau
kesempatan secara tepat dan menentukan bagaimana kedua hal tersebut diselesaikan secara
efektif dan efisien adalah hal yang penting. Sebuah pendidikan dan pelatihan merupakan
solusi yang memakan biaya, dipilih hanya ketika alternatif solusi lain tidak memuaskan.
Berpikir bahwa pendidikan sebagai solusi yang mahal mungkin tidak masuk akal, namun bagi
perusahaan-perusahaan besar, pendidikan dan pelatihan menjadi teramat mahal
dibandingkan solusi yang lain.
Contoh lain, jajaran direksi sebuah sekolah menginginkan 95 persen mahasiswa lulus
ujian fungsional pelajaran sastra; namun, catatan menunjukkan bahwa sebelumnya hanya 81
persen mahasiswa yang lulus pada ujian serupa. Terdapat selisih 14 persen antara fakta

dengan targetan. Sehingga, dengan demikian, penyesuaian target sebaiknya dilakukan dalam
situasi ini, yakni, agar persentase mahasiswa yang lulus bertambah sebesar 14 persen, paling
tidak 95 persen peserta ujian mampu mendekati batas aman kelulusan.
Perlu dicatat bahwa sebuah tujuan fokus pada apa yang pelajar mampu lakukan.
Walaupun belum jelas sepenuhnya keterampilan apa yang membuat seseorang “berguna”,
paling tidak kita memiliki beberapa gagasan mengenai bagaimana kita akan memproses
pendidikan keterampilan spesifik yang akan, bersama-sama, mencerminkan tujuan
pembelajaran ini. Ingat juga bahwa tujuan mendeskripsikan hasil pendidikan dan bukan
prosesnya. Pernyataan mengenai kebutuhan bukan seperti “kita butuh perangkat komputer
baru dalam pengajaran kita”, atau, “kita perlu dosen lulusan S3” Pernyataan-pernyataan
tersebut adalah bagian dalam proses mencapai tujuan, namun sama sekali tidak
mencerminkan apa yang kita perlukan, yakni, penetapan tujuan desain pembelajaran.
Penggunaan komputer dan lebih banyak pengajar di sebuah sekolah adalah langkah terakhir
dan bukan satu-satunya pilihan terakhir bagi kita.
Secara khusus, tujuan-tujuan yang digunakan seorang penyusun materi pendidikan,
berangkat dari beberapa tipe penilaian kebutuhan, baik formal maupun informal, dan telah
lebih jauh dikembangkan oleh analis bidang atau kurikulum lain. Jika saat ini kita
mempertimbangkan tujuan menumbuhkan skor fungsional literatur, satu set informasi yang
harus diperoleh adalah penjabaran keterampilan yang terlah diuji. Dengan daftar ini, menjadi
mungkin bagi kita untuk menentukan keterampilan mana yang diajarkan sekarang dalam

BAHRUR ROSYIDI | IDENTIFYING INSTRUCTIONAL GOAL

2

kurikulum, karena tidak semua keterampilan diajarkan. Sementara keterampilan yang lain
sifatnya sangat dasar sekali, atau bahkan terlupakan. Dalam contoh ujian mahasiswa tadi,
bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan 14 persen kelulusan peserta ujian, bentuk
pengajaran baru perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mengembangkan potensi para
mahasiswa yang masih rendah nilainya.
Tujuan daripada model baru pendidikan akan mungkin diperlukan di bidang
matematika dan bahasa. Hal ini secara lebih jauh akan menurun ke pokok bahasan, unit-unit
pembelajaran, dan akhirnya menuju ke bab-bab. Proses mengidentifikasi topik bahasan yang
disertakan, selalu dipandang untuk memastikan bahwa sebanyak mungkin daftar isi dapat
terpenuhi, lebih baik daripada menentukan hal apa yang perlu diketahui oleh para pelajar.
Data terkait performa siswa di setiap keterampilan dalam ujian dapat berguna untuk
mengidentifikasi ketrampilan mana yang memerlukan perhatian khusus dalam pengajaran.
Kesimpulannya, tujuan pembelajaran idealnya berangkat dari proses penilaian
kebutuhan yang menampilkan daftar indikasi terkait permasalahan-permasalahan yang dapat
diselesaikan lewat penyediaan pengajaran yang tepat. Kemudian analisis tujuan tersebut
dilakukan, baik dalam konteks bidang pelajaran maupun kurikulumnya. Hasilnya, lebih banyak

kesimpulan spesifik muncul yang fokus pada apa yang pelajar mampu lakukan dalam konteks
di bidang apa mereka mampu lakukan itu.
Konsep
Lembaga, baik publik maupun swasta, menghadapi permasalahan-permasalahan terus
menerus yang harus diidentifikasi dan diselesaikan oleh para karyawan senior dan manajer.
Permasalahan adalah cerminan kegagalan pencapaian tujuan tertentu sebuah lembaga atau
kegagalan pemanfaaatan peluang dan kesempatan. Seringkali kegagalan-kegagalan tersebut
dipandang disebabkan oleh penggunaan keterampilan yang tidak tepat atau kurangnya skill.
Namun, hal yang tidak biasa bagi seorang karyawan untuk mengidentifikasi sebuah masalah
dan mengasumsikan pelatihan adalah solusinya. Beberapa masalah sering dibahas di
departemen pelatihan dengan harapan bahwa mereka akan mengembangkan beberapa diklat
untuk menyelesaikan masalahnya. Dalam situasi ini, departemen pelatihan harus melakukan
analisis kinerja.
Analisis kinerja adalah studi menentukan penyebab sesungguhnya sebuah masalah
kinerja perusahaan dan bagaimana masalah tersebut ditemukan solusinya. Seringkali
masalah sesungguhnya hanyalah gejala daripada permasalahan yang lebih besar atau
bahkan sama sekali bukan masalah. Robinson dan Robinson (1995) telah mengembangkan
model umum analisis kinerja yang saat ini digunakan secara luas. Model tersebut akan
dijelaskan secara lebih mendetail di paragraf berikutnya.
Model Robinson memiliki beberapa komponen utama, dan komponen tersebut adalah

tanggung jawab analis kinerja atau tim analis untuk mengumpulkan informasi setiap
komponen. Model ini mengindikasikan permasalahan penting kinerja paling baik
diidentifikasikan ke bentuk perbedaan antara tujuan yang diharapkan dan misi perusahaan
dan kondisi terkini mereka. Di sisi lain, jika ada perbedaan signifikan antara status yang harus
pada tujuan dan status saat ini, maka analisis mendalam harus dilakukan.
Untuk setiap tujuan dalam perusahaan, harus terdapat deskripsi terkait perilaku yang
diperlukan para karyawan untuk memenuhi target mereka. Contoh, untuk mencapai target
tertentu penjualan, perilaku-perilaku bersyarat mungkin termasuk seperti membuat paling tidak
50 panggilan telepon kepada para pelanggan setiap bulan. Panggilan-panggilan ini akan
mencerminkan tingkat yang harus pada kinerja dalam model Robinson. Sebuah studi kinerja
aktual terhadap para salesman berdasarkan tanggapan telepon para pelanggan akan
mewakili status saat ini terkait kinerja mereka.
Kemudian analis akan membandingkan perbedaan antara kinerja yang harus dan saat
ini, dan berusaha untuk menentukan penyebab-penyebabnya. Mungkin akan ditemukan
BAHRUR ROSYIDI | IDENTIFYING INSTRUCTIONAL GOAL

3

penyebab eksternal perusahaan, seperti misalnya perubahan dalam ekonomi atau
kemunculan produk baru dari para kompetitor, dan mungkin juga penyebab internal seperti

misalnya kesalahan teknis dalam sistem telepon atau kegagalan memperkerjakan salesman
yang tepat. Atau, mungkin penyebab dari gap tersbut adalah karyawan tidak tahu bagaimana
berkerja sesuai perilaku yang diinginkan manajemen. Ketika hal yang terakhir ini terjadi, diklat
bisa menjadi solusi permasalahan.
Tujuan studi analisis kinerja adalah untuk memperoleh informasi dari setiap komponen
dalam model untuk memverivikasi permasalahan dan mengidentifikasi solusi yang mungkin.
Jika bagian dari solusi adalah pelatihan keterampilan baru atau memberikan nilai tambah bagi
skill yang lama, maka rencana mengenai proyek desain pembelajaran disusun. Pengalaman
telah menunjukkan bahwa di bawah analisis yang hati-hati, banyak permasalahan perusahaan
yang sebelumnya diatasi dengan diklat, saat ini diselesaikan lewat solusi multikomponen yang
mungkin atau tidak menyertakan diklat.
Telah menjadi catatan tersendiri bagi para manajer atau eksekutif untuk terbiasa selalu
mendeskripsikan permasalahan berdasarkan situasi sekarang, atau saat ini. Contoh
ungkapannya seperti, “Pengiriman kita terlambat hari ini,” “Tidak ada siswa kita yang
mendapat ujian pengejaan bahasa nasional,” “ Penjualan kita menurun,” dan “Terlalu banyak
siswa kita yang gagal dalam ujian keterampilan dasar.” Dalam mempelajari hasil-hasil terkini
dan kinerja, tim penyusun akan mengidentifikasi dengan tepat bagaimana pengiriman
berlangsung dan berapa persentase siswa yang gagal dalam ujian keterampilan dasar.
Yang harus, berlawanan dengan yang saat ini, adalah kumpulan deskripsi bagaimana
situasi idealnya akan terjadi. Kata yang harus tidak digunakan untuk pengungkapan optimistik

“yang terbaik bagi seluruh dunia,” namun lebih mengacu pada pengungkapan yang diwajibkan
atau yang diamanahkan pada tingkatan kinerja, atau tingkatan serupa yang menjadi targetan
suatu perusahaan.
Gap didefinisikan sebagai selisih antara status yang harus terhadap status yang saat
ini. Gap yang menuntut konsekuensi yang lebih besar ada dalam hasil yang dicapai
perusahaan. Gap ini lalu dibandingkan dengan gap pada kinerja perusahaan (misalnya,
perilaku orang-orang yang berhubungan dengan perusahaan). Jika gap ini tidak ada, maka
tidak ada perubahan yang diperlukan, dan dengan jelas tidak ada keharusan akan diklat baru.
Ini adalah situasi di manapun anggota sebuah lembaga (termasuk jajaran direksi ataupun
anggota) menelaah situasi dan menemukan bahwa kondisi baik-baik saja – yang harus dan
yang saat ini sama, maka perubahan tidak perlu dilakukan.
Ketika yang harus dan yang saat ini berbeda, seperti biasanya kondisi ini terjadi, gap
yang terjadi di antara kedua hal tersebut sering disebut sebagai yang dibutuhkan/kebutuhan.
Dalam rangka pemahaman kebutuhan ini, sangat berguna untuk menentukan bagaimana
masyarakat merasakan gap itu dan bagaimana pengaruh gap terhadap mereka. Tambahan
lagi, pandangan mereka terhadap penyebab yang mungkin dan solusi kebutuhan dapat
menjadi jelas. Pembaca yang familiar dengan topic manajemen total kualitas (TQM) akan
mengenali kemiripan di antara proses analisis kinerja dan teknik yang sering digunakan oleh
kelompok karyawan yang mengidentifikasi permasalahan dan kerja dalam sebuah tim untuk
mengidentifikasi dan mengimplementasikan solusi.

Hasil dari studi analisis kinerja adalah sebuah deskripsi jelas dari sebuah masalah
dalam konteks kegagalan mencapai hasil organisasi yang diharapkan dan hal-hal lain terkait
serta perilaku kinerja karyawan aktual, bukti penyebab permasalahan, dan saran solusi yang
hemat biaya. Perlu dicatat bahwa sementara penyusun pembelajaran mungkin turut serta
dalam studi analisis kinerja, tidak terdapat asumsi bahwa pembelajaran akan menjadi
komponen solusi. Studi-studi ini sering sebagai usaha tim, dan hasilnya merefleksikan hal apa
yang mungkin di dalam organisasi. Pertimbangan yang penting dalam memilih solusi adalah
biaya, dan pembelajaran sering menjadi satu alternatif yang lebih mahal.
Ketika tim penyusun menggunakan model Robinson dan Robinson dalam menjalankan
analisis kinerja, mereka mengkaji ulang data dan dokumentasi yang telah ada terkait
BAHRUR ROSYIDI | IDENTIFYING INSTRUCTIONAL GOAL

4

permasalahan dan bagaimana “itu akan terjadi.” Mereka mengumpulkan data tambahan lewat
wawancara, survey, penelitian, dan diskusi kelompok kecil. Proses empiris ini mengakar pada
realita organisasi dalam menjalankan studi. Pembelajaran apapun yang dihasilkan dari studi
tersebut harus ditargetkan sebagai kebutuhan teridentifikasi dan harus berkontribusi terhadap
pemenuhan kebutuhan.
Kaufman (1988, 1992, 1998) telah menyediakan banyak pemahaman ke dalam proses

penilaian kebutuhan, termasuk (1) perbedaan di antara makna dan akhir dalam konteks apa
yang dilakukan sebuah organisasi, dan (2) wilayah di mana organisasi menemui masalah.
Perhatikan contoh sebuah sekolah umum di paragraf berikut ini.
Hal yang tidak biasa mendengar kepala sekolah menyatakan bahwa tenaga
pengajarnya “butuh” pengetahuan lebih mengenai komputer. Ujung-ujungnya, workshop
diselenggarakan sehingga pengajar semuanya dapat menjadi lebih kompeten. Dalam situasi
ini, skill pengajar perlu dipandang sebagai sebuah makna daripada akhir, yakni, untuk
menghasilkan pelajar yang lebih kompeten. Kebutuhan sebenarnya akan penilaian hal-hal
terkait adalah skill komputer apa yang optimal dan aktual yang dimiliki pelajar, dan, jika
ditemui kebutuhan, apa saja ragam solusi yang diperlukan untuk mengembangkan skill-skill
pelajar tersebut? Penyelenggaran workshop untuk semua pengajar mungkin menjadi solusi
terbaik atau bahkan sebaliknya. Kaufman mendesak kita untuk terlebih dulu menguji gap
dalam hasil akhir organisasi daripada proses internal ketika kita akan memulai identifikasi
kebutuhan dan menyusun rencana dalam menggunakan sumber daya organisasi yang ada
untuk pemenuhan kebutuhan.
Penilaian kebutuhan adalah komponen penting dari total proses perancangan. Trainer
dan pendidik harus menyadari bahwa biaya yang dibutuhkan akan sangat besar dalam
mengadakan pendidikan ketika sebenarnya tidak dibutuhkan; oleh karena itu, perluasan
analisis “awal-akhir” dilakukan, analisis kinerja dilakukan, dan pendekatan lain untuk
mengidentifikasi kebutuhan secara lebih akurat. Di masa lalu, mensurvei instrument-instrumen
adalah langkah yang umum dan utama dilakukan dalam mengidentifikasi dan
mendokumentasikan kebutuhan pelatihan. Saat ini, langkah survey lebih sebagai langkah
pendukung atau dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi langsung terhadap
para subyek. “Subyek” bisa seorang audiens dengan permasalahan potensial atau seorang
ahli dalam mendemonstrasikan bagaimana pekerjaan tertentu diselesaikan dengan
menggunakan alat bantu yang baru.
Buku ini tidak akan menjelaskan atau mendemonstrasikan bagaimana membuat
penilaian kebutuhan secara lengkap, karena buku karangan Rosset (1987) dan Kaufman
(1988) telah menyediakan latar belakang konseptual dan detail prosedur cara melakukannya.
Oleh karena itu di buku ini kita akan memulai proses desain pembelajaran pada poin
identifikasi tujuan. Kita tidak mungkin mengesampingkan pentingnya proses dalam
mengidentifikasi tujuan yang tepat. Tidak peduli prosedur apa yang digunakan untuk
menghasilkan tujuan, hampir kebanyakan tim penyusun memperjelas dan terkadang
mengembangkan tujuan supaya tujuan tersebut sesuai dengan titik awal proses penyusunan
desain pembelajaran. Banyak tujuan yang terdistorsi, dan tim penyusun harus mempelajari
bagaimana mengatasinya.
Memperjelas Tujuan Pembelajaran
Mager (1972) telah menjelaskan prosedur yang dapat digunakan tim penyusun ketika
menemukan distorsi tujuan atau tujuan yang kurang spesifik. Pengaburan tujuan umumnya
merupakan beberapa pernyataan abstrak tentang kondisi internal pelajar, seperti misalnya
“menghargai,” “telah menyadari akan,” “merasakan,” dan seterusnya. Istilah-istilah jenis ini
sering terlihat dalam pernyataan tujuan, namun tim penyusun tidak mengerti maksudnya apa
karena kurang jelas apa yang akan dilakukan pelajar untuk memenuhinya. Tim penyusun
berasumsi bahwa pada penyerapan pendidikan yang mereka berikan, pelajar seharusnya
BAHRUR ROSYIDI | IDENTIFYING INSTRUCTIONAL GOAL

5

mampu mendemonstrasikan tujuan yang telah mereka capai. Namun, jika tujuannya sangat
tidak jelas mengenai proses pendidikan seperti apa yang harus dilakukan, maka analisis lebih
mendalam harus dilakukan.
Untuk menganalisis tujuan yang masih kabur, pertama-tama tulis dahulu berurutan.
Lalu pilihlah hal-hal yang seseorang mungkin tunjukkan bahwa ia telah mencapai tujuannya
atau hal apa yang akan mereka lakukan setelah mereka mencapai tujuannya. Jangan terlalu
terburu-buru; tulis saja semua hal yang terjadi pada Anda. Kemudian, seleksilah pernyataanpernyataan yang paling mewakili makna dari daftar tujuan Anda yang belum spesifik tadi.
Sekarang, kombinasikan tiap indikator (mungkin hanya satu atau beberapa kombinasi) dan
konversikan menjadi pernyataan yang menginformasikan hal apa yang akan dilakukan oleh
pelajar. Langkah terkahir, ujilah pernyataan tuujuan dan tanyakan kepada diri Anda hal ini:
Jika pelajar berhasil mencapai atau mendemonstrasikan tiap pendidikan yang mereka terima,
apakah Anda setuju bahwa tujuan pribadi Anda terpenuhi? Jika jawabannya adalah ya, maka
Anda telah memperjelas tujuannya; Anda telah mengembangkan satu atau lebih pernyataan
tujuan yang secara kolektif mewakili pemenuhan suatu tujuan penting. Di bagian Contoh
dalam bab ini, kita akan menunjukkan bagaimana proses ini dapat diterapkan untuk
memperjelas tujuan yang terdistorsi.
Tim penyusun harus menyadari prosedur analisis tujuan jenis ini karena tidak banyak
tujuan penting pendidikan dan pelatihan dinyatakan dengan jelas sesuai deskripsi lngkah apa
yang harus dilakukan oleh pelajar. Tujuan-tujuan tersebut sering dinyatakan dalam istilah yang
dapat dimengerti (secara umum) hanya oleh si pembuatnya, namun tidak memiliki arti spesifik
bagi tim penyusun untuk tujuan pengembangan pendidikan lebih lanjut. Beberapa tujuan tidak
bias begitu saja dieliminasi dan dianggap tidak berguna. Seorang analis harus menguasai
materi untuk mengidentifikasi hasil pembelajaran spesifik yang diimpilkasikan oleh tujuan.
Seringnya meminta bantuan orang-orang yang memahami proses analisa akan membantu
Anda, sehingga Anda akan dapat melihat batasan jarak gagasan yang muncul dari tujuan dan
kebutuhan konsensus akan tindakan spesifik jika pendidikan yang benar-benar berhasil akan
dikembangkan.

Pelajar, Konteks, dan Alat Bantu
Di mana pun proses pendidikan berlangsung, aspek paling penting daripada tujuan
pembelajaran adalah penjabaran mengenai apa yang dapat dilakukan oleh pelajar, bahwa
penjabaran tersebut tidak lengkap tanpa indikasi mengenai (1) jati diri pelajar, (2) konteks di
bidang apa mereka akan menerapkan skill mereka, dan (3) alat bantu yang tersedia. Pra
penjabaran terhadap aspek-aspek ini penting karena dua alasan. Pertama, deskripsi tujuan
mewajibkan tim penyusun paham mengenai menjadi siapa nanti pelajarnya, daripada
membuat pernyataan-pernyataan tidak jelas atau pengaburan kelompok pelajar. Proyek
penyusunan pembelajaran akan mandeg ketika di tengah proses ditemukan bahwa tidak ada
pelajar yang mampu menyerap materi pendidikan. Dengan kata lain, materi pendidikan
tersebut tidak ada peminatnya.
Oleh karena itu, dari awal proses seorang penyusun materi harus paham mengenai
konteks skill apa yang akan digunakan dan apakah terdapat alat bantu terkait. Selanjutnya kita
akan membahas dalam konteks kinerja pendidikan. Sebagai contoh, jika pelajar akan belajar
skill menghitung, apakah mereka akan memiliki akses ke alat bantu kalkulator atau komputer?
Dalam konteks kinerja, apakah mereka akan bekerja di bangku atau berdiri? Haruskah
informasi terekam dalam memori ingatan saja, atau sistem informasi berbasis komputer yang
digunakan? Informasi mengenai konteks kinerja dan karakteristik orang-orang yang akan
menerima pendidikan sangat penting sekali karena tim penyusun menbutuhkannya untuk
memulai analisa dengan tepat skill-skill apa yang akan dimasukkan ke dalam pembelajaran.
Kesimpulannya, informasi digunakan untuk menyeleksi strategi pembelajaran untuk memilih
BAHRUR ROSYIDI | IDENTIFYING INSTRUCTIONAL GOAL

6

suatu kegunaan skill-skill, tidak hanya dalam konteks bahasan pendidikan, tetapi juga dalam
konteks bahasan di saat ilmu pendidikan tersebut pada akhirnya diterapkan.
Sebuah kalimat pernyataan tujuan pembelajaran paling tidak menjelaskan hal-hal
sebagai berikut:
 Para pelajar
 Hal apa yang mampu pelajar lakukan dalam konteks praktek
 Konteks bahasan praktek di mana keterampilan akan diaplikasikan
 Alat bantu yang akan disediakan untuk para pelajar dalam konteks praktek
Sebuah contoh kalimat pernyataan tujuan pembelajaran, misalnya, seperti berikut ini:
“Operator pusat layanan Acme akan mampu menggunakan alat bantu Client Helper dalam
menyediakan informasi kepada para pelanggan yang menghubungi pusat layanan.” Keempat
komponen kalimat tujuan pembelajaran kesemuanya tercakup dalam pernyataan di atas.
Kriteria Dalam Menyusun Tujuan Pembelajaran
Terkadang proses mengatur tujuan tidak seluruhnya rasional; oleh karena itu, langkahlangkahnya tidak selalu mengikuti sistematika proses penilaian kebutuhan. Tm penyusun
pembelajaran harus menyadari bahwa desain pembelajaran memiliki arti di konteks spesifik
yang mencakup sejumlah pertimbangan politik dan ekonomi, dan juga pertimbangan teknikal
dan akademis. Dengan kata lain, orang-orang yang memiliki kuasa selalu menentukan
prioritas, dan bagian keuangan selalu menentukan batasan-batasan mengenai hal apa yang
dapat dilakukan dalam proyek penyusunan pembelajaran. Setiap pilihan tujuan pembelajaran
harus dilakukan paling tidak memenuhi pertimbangan sebagai berikut:
1. Akankah perkembangan pada pembelajaran ini akan menyelesaikan masalah yang
mengarah pada kebutuhan akan perkembangan tersebut?
2. Apakah tujuan-tujuan ini dapat diterima oleh mereka yang akan menyetujui usaha
pengembangan pendidikan ini?
3. Adakah orang-orang yang kompeten dan cukupkah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pengembangan pendidikan untuk tujuan ini?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat penting bagi institusi atau organisasi yang akan
mengambil langkah pengembangan.
Kita tidak bisa secara berlebihan mampu memperluas kepentingan antara hubungan
secara logis dan secara persuasif terhadap tujuan pendidikan dan pendokumentasian gap
dalam praktek di dalam suatu organisasi. Ketika pembelajaran dikembangkan untuk seorang
klien, klien tersebut harus yakin bahwa jika para pelajar menerima tujuan pembelajaran, maka
permasalahan penting dalam organisasi akan terselesaikan atau peluang dapat direalisasikan
dengan menggunakan skill-skill baru. Tipe rasionalisasi ini umum diaplikasikan pada
pengembangan pendidikan di sekolah umum dan juga lembaga bisnis, militer dan agensi
publik.
Rasionalisasi sebuah tujuan pendidikan memang dapat membantu pengumpulan
dukungan bagi penentu keputusan, namun pendesain (dan manajer) harus yakin bahwa
terdapat waktu yang cukup dan sumber daya memadai bagi baik pengembangan pendidikan
dan pendistribusiannya. Kebanyakan penyusun akan setuju bahwa kekurangan waktu sering
terjadi. Alasannya, karena memprediksi waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu
proyek itu sukar. Alasan lain, bahwa organisasi/lembaga sering menginginkan hal-hal yang
terjadi “di masa lalu”!
Tidak hanya sulit untuk memprediksi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
pengembangan pendidikan, tetapi juga sulit untuk memprediksi berapa lama waktu yang
dibutuhkan pelajar untuk menguasai tujuan pembelajaran (dengan kata lain, berapa lama
masa pendidikannya?). Belum ada peraturan baku yang berhubungan dengan lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk menguasai pendidikan (atau pembelajaran). Banyak sekali faktor yang
terlibat sehingga membuat estimasi waktu menjadi hal yang sukar.
BAHRUR ROSYIDI | IDENTIFYING INSTRUCTIONAL GOAL

7

Skenario yang umum terjadi adalah bahwa tim penyusun diamanahkan, “Anda memiliki
waktu tiga minggu untuk mengembangkan workshop 4 jam kami.” Jika perusahaan telah
sampai memutuskan hal ini, keputusan mereka dibuat berdasarkan kondisi umum pengaturan
kerja. Pastinya seorang penyusun mampu memperpendek atau memperpanjang lama waktu
pendidikan hingga sesuai dengan waktu yang tersedia, tetapi pertimbangan utama pendidikan
adalah untuk memilih kemungkinan strategi pembelajaran terbaik untuk mengajar skill yang
harus dikuasai, kemudian menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Dengan jelas,
kita dapat menentukan estimasi lama waktu pendidikan lebih akurat setelah menjalani
beberapa uji coba model pendidikan (try out) tersebut.
Penyusun harus menguji pertanyaan-pertanyaan tambahan saat mengkontemplasi
sebuah proyek individu. Dengan asumsi bahwa kebutuhan telah diperoleh dan waktu serta
sumber daya tersedia, lalu penyusun harus menentukan apakah isi telah cukup stabil
menjamin biaya yang harus dikeluarkan selama pengembangannya. Jika pada akhirnya,
misalnya, setelah 6 bulan, pendidikan berjalan tidak semestinya, maka pengembangan lebih
lanjut tidak disarankan.
Pembahasan lebih lanjut, proses penyusunan pembelajaran sangat bergantung pada
kemampuan pelajar untuk menyerap pengajaran yang diberikan. Jika penyusun tidak memiliki
akses ke pelajar yang tepat, menjadi mustahil untuk mengimplementasikan keseluruhan
proses pendesainan. Sekelompok kecil pelajar harus hadir untuk menerima uji coba
pendidikan. Jika tidak, maka tim penyusun dapat mempertimbangkan keberadaan validitas
kebutuhan.
Hal penting lain yang harus dipertimbangkan adalah pengalaman pribadi penyusun
dalam bidang apa pendidikan akan dikembangkan. Penyusun profesional berpengalaman
sering bekerja dalam tim di mana, paling tidak, bidang yang mereka kerjakan benar-benar
berbeda bagi mereka. Kemampuan dan keinginan untuk bekerja dalam tim adalah salah satu
karakteristik seorang perancang yang sukses.
Mempelajari isi pokok bahasan suatu bidang pendidikan yang akan dikembangkan
harus dilakukan supaya penyusun mampu bekerja secara efektif. Bagi penyusun yang hanya
mempelajari proses penyusunan, lebih baik penyusun memulainya dengan materi bahasan
bidang di mana mereka telah berpengalaman dalam subyek tersebut. Menjadi lebih mudah
ketika mempelajari satu rangkaian materi keterampilan baru, disebut, keterampilan menyusun
pembelajaran, daripada mempelajari dua rangkaian materi – yakni, baik isi maupun prosesnya
– dalam waktu yang bersamaan.
Jika Anda ditunjuk (atau ditugaskan) untuk menyusun sebuah paket materi pendidikan,
seperti halnya Anda mempelajari satu demi satu bab dalam buku ini, proses tersebut akan
memakan berjam-jam dari waktu Anda. Sebelum Anda memilih atau mengidentifikasi sebuah
tujuan pembelajaran, kaji ulang criteria yang terdaftar dalam bab ini. Kaji ulang merupakan hal
yang penting, karena (1) Anda harus menguasai subyek materi, (2) bahwa pelajar ada untuk
membantu Anda mengevaluasi dan merevisi material pengajaran, dan (3) bahwa Anda telah
memilih tujuan yang dapat diajrkan dalam waktu yang cukup masuk akal.

BAHRUR ROSYIDI | IDENTIFYING INSTRUCTIONAL GOAL

8

Contoh kasus
Dua contoh prosedur uang digunakan untuk mengembangkan tujuan pembelajaran mungkin
dapat membantu Anda menformulasikan atau mengevaluasi tujuan Anda sendiri. Kedua
contoh berdasarkan problem teridentifikasi, kegiatan penilaian kebutuhan, dan formulasi solusi
terhadap masalah. Setiap contoh memiliki skenarionya sendiri-sendiri untuk membantu
memperjelas konteks permasalahan dan proses yang digunakan untuk mengidentifikasi
tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Dick Walter, Carey Lou dan Carey James. 2001. The Systematic Design Of Instruction.
Addison-Wesley Educational Publishers. New York.

BAHRUR ROSYIDI | IDENTIFYING INSTRUCTIONAL GOAL

9