Pengaruh Bahasa Asing Dalam Perkembangan
Pengaruh Bahasa Asing Dalam Perkembangan Bahasa Indonesia
Latar Belakang
Setiap negara mempunyai media komunikasi untuk memperlancar suatu hubungan antar
individu. Alat komunikasi ini kita biasa disebut dengan bahasa.
Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia
dan dipakai oleh masyarakat untuk berkomunikasi, bekerja sama dan identifikasi diri. Bahasa
lisan merupakan bahasa primer,sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu
tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Sebagian besar bahasa yang ada di dunia pasti di pengaruhi oleh bahasa lainnya, tidak terkecuali
bahasa Indonesia . Pengaruh tersebut biasa datang dari bangsa berbahasa lain yang pernah
mengunjungi daerah tersebut. Dalam konteks bahasa Indonesia, pengaruh tersebut terutama
datang dari bangsa yang pernah menjajah negeri ini, seperti Belanda, Inggris, Portugis
danJepang. Selain dari bangsa penjajah, pengaruh juga datang dari bangsa yang pernah
berdagang dengan penduduk negeri ini, seperti Arab, Cina, Persia, dan India. Bahasa Sansekerta
juga memberikan pengaruh karena bahasa ini dijadikan sebagai bahasa sastra dan perantara
dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha. Seluruh pengaruh tadi membentuk kata-kata
serapan dalam bahasa Indonesia yang dipakai hingga saat ini.
Telah berabad-abad lamanya nenek moyang penutur bahasa Indonesia berhubungan dengan
berbagai bangsa di dunia. Bahasa Sanskerta tercatat terawal dibawa masuk ke Indonesia yakni
sejak mula tarikh Masehi. Bahasa ini dijadikan sebagai bahasa sastra dan perantara dalam
penyebaran agama Hindu dan Buddha. Agama Hindu tersebar luas di pulau Jawa pada abad ke-7
dan ke-8, lalu agama Buddha mengalami keadaan yang sama pada abad ke-8 dan ke-9.
Penggunaan bahasa asing dan kosa kata yang berasal dari bahasa asing, khususnya bahasa
Inggris sering digunakan di dalam penulisan berita surat kabar. Selain itu juga sering digunakan
dalam siaran televisi, baik yang berupa berita maupun yang berbentuk perbincangan. Yang
terpenting adalah kosa kata yang sering digunakan pada surat kabar, majalah, televisi,
radio,ceramah, perbincangan bahkan percakapan sehari-hari itu dicari padanan dan artinya agar
mudahdi mengerti dan dipahami oleh pemakai bahasa.
Berdasarkan taraf integrasinya, kata serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi 2
golongan besar. Pertama, kata serapan yang belum sepenuhnya terserap ke dalam
bahasaIndonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, long march, dan lain-lain. Kata-kata ini dipakai
dalamkonteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua,
kataserapan yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.
Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya
masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Bahasa yang paling banyak diserap kata-katanya dalam bahasa Indonesia adalah bahasa Belanda
yang mencapai 3.280 kata. Hal ini antara lain disebabkan oleh lamanya masa penjajahan bangsa
Belanda yang mencapai 3,5 abad. Bahasa Belanda dipakai hingga masa pergerakan kemerdekaan
dalam komunikasi gagasan kenegaraan dan tentunya juga dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh kata-kata yang diserap dari bahasa Belanda adalah advokat (advocaat), brankas
(brandkast), demokrasi (demokratie), eksemplar (exemplaar), dan lain-lain.
Selain kata-kata serapan, ada sejumlah kata tidak mengalami penyerapan, tetapi masih
dipakaidalam bentuk percakapan lisan tidak dalam bentuk tulisan. Contoh dari kata-kata tersebut
adalah aanval (serangan jantung), brandweer (pemadam kebakaran), verboden (dilarang), dan
lain-lain.
Sesudah Indonesia merdeka, pengaruh bahasa Belanda mula surut sehingga kata-kata serapan
yang sebetulnya berasal dari bahasa Belanda sumbernya tidak disadari betul. Bahkan sampai
dengan sekarang yang lebih dikenal adalah bahasa Inggris.
Bahasa selanjutnya yang menempati peringkat kedua dalam penyerapan kata-katanya adalah
bahasa Inggris. Jumlah kata yang diserap dari bahasa ini adalah sebanyak 1.610 kata. Contoh
kata-kata yang diserap dari bahasa Inggris adalah aktor (actor), aktris (actress), bisnis (business),
departemen (department), dan lain-lain. Seperti telah disebutkan sebelumnya, banyak
katatermasuk dari bahasa Inggris yang belum sepenuhnya diserap sehingga pemakaiannya masih
dalam bentuk aslinya. Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional dan dipakai secara luas
dinegeri ini hingga masa yang akan datang. Hal tersebut memungkinkan penyerapan kata
yanglebih banyak lagi dari saat ini
Sebab-Sebab Terjadinya Variasi Penggunaanbahasa Asing Di Indonesia
a) Interferensi
Heterogenitas Indonesia dan disepakatinya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional
berimplikasi bahwa kewibawaan akan berkembang dalam masyarakat. Perkembanngan ini tentu
menjadi masalah tersendiri yang perlu mendapat perhatian, kedwibahasaan, bahkan kemulti
bahasaan adalah suatu kecenderungan yang akan terus berkembang sebagai akibat globalisasi. Di
samping segi positifnya, situasi kebahasaan seperti itu berdampak negatif terhadap penguasaan
Bahasa Indonesia.
Bahasa daerah masih menjadi proporsi utama dalam komunikasi resmi
sehingga rasa cinta terhadap bahasa Indonesia harus terkalahkan oleh bahasa daerah.
Alwi, dkk.(eds.) (2003: 9), menyatakan bahwa banyaknya unsur pungutan dari bahasa Jawa,
misalnya dianggap pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahasa
Inggris oleh sebagian orang dianggap pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Hal
tersebut yang menjadi sebab adanya interferensi.
Chaer (1994: 66) memberikan batasan
interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan
sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu.
Selain bahasa daerah,
bahasa
asing (baca Inggris) bagi sebagian kecil orang Indonesia
ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan timbulnya sikap tersebut adalah
pandangan sosial ekonomi dan bisnis. Penguasaan bahasa Inggris yang baik menjanjikan
kedudukan dan taraf sosial ekonomi yang jauh lebih baik dari pada hanya menguasai bahasa
Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris di ruang umum telah menjadi kebiasaan yang sudah tidak
terelakkan lagi. Hal tersebut mengkibatkan lunturnya bahasa dan budaya Indonesia yang secara
perlahan tetapi pasti telah menjadi bahasa primadona. Misalnya, masyarakat lebih cenderung
memilih
“pull” untuk “dorong” dan “push” untuk “tarik”, serta “welcome” untuk “selamat datang”.
Sikap terhadap bahasa Indonesia yang kurang baik terhadap kemampuan berbahasa Indonesia
diberbagai kalangan, baik lapisan bawah, menengah, dan atas; bahkan kalangan intelektual. Akan
tetapi, kurangnya kemampuan berbahasa Indonesia pada golongan atas dan kelompok intelektua
lterletak pada sikap meremehkan dan kurang menghargai serta tidak mempunyai rasa bangga
terhadap bahasa Indonesia.
b) Integrasi
Selain interferensi, integrasi juga dianggap sebagai pencemar terhadap bahasa Indonesia.
Chaer(1994:67), menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa
masuk sudah dianggap, diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian dan bahasa yang menerima
atau yangmemasukinya. Proses integrasi ini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama,
sebab unsur yang berintegrasi itu telah disesuaikan,
baik lafalnya, ejaannya, maupun tata
bentuknya. Contoh kata yang berintegrasi antara lain montir, riset, sopir, dongkrak.
Kedudukan Bahasa Nasional dan BahasaAsing
Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia yang merupakan bahasa asing pertama. Kedudukan
tersebut berbeda dengan bahasa kedua. Mustafa dalam hal ini menyatakan bahwa bahasa kedua
adalah bahasa yang dipelajari anak setelah bahasa ibunya dengan ciri bahasa tersebut digunakan
dalam lingkungan masyarakat sekitar. Sedangkan bahasa asing adalah bahasa negara lain yang
tidak digunakan secara umum dalam interaksi sosial.
Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia tersebut mengakibatkan jarang di gunakannya Bahasa
Inggris dalam interaksi sosial di lingkungan anak. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi
lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa
Inggris karena pemerolehan bahasa asing bagi anak berbanding lurus dengan volume, frekuensi
dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pelaksanaan program pembelajaran dengan pengantar Bahasa Inggris tersebut mendapat
berbagai kendala mengingat kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia sebagai first foreign
languange (bahasa asing pertama). Artinya, Bahasa Inggris hanya menjadi bahasa pada kalangan
tertentu, tidak digunakan oleh masyarakat umum seperti jika kedudukannya sebagai bahasa
kedua. Hal ini menyebabkan kurangnnya interaksi anak terhadap Bahasa Inggris. Selain
ituterdapat juga berbagai pendapat mengenai pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing
yangbisa mempengaruhi perkembangan bahasa ibu.
Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa secara umum terjadi masalah jika anak dikenalkan
pada dua bahasa secara bersamaan pada usia dini. Terutama ketika dikenalkan pada usia
prasekolah setelah bahasa ibu sudah sering digunakan. Pendapat lainnya menjelaskan bahwa
jika bahasa kedua dikenalkan sebelum bahasa pertama benar-benar terkuasai, maka bahasa
pertama perkembangannya akan lambat dan bahkan mengalami regresi. Selain itu, ada juga yang
berpendapat bahwa bahasa kedua akan terperoleh ketika bahasa pertama sudah dikuasai.
Berbagai pendapat tersebut menjadi permasalahan tersendiri mengenai pembelajaran anak usia
dini yang menggunakan Bahasa Inggris dalam konteks Bahasa Inggris sebagai bahasa asing di
Indonesia. Perlu pengembangan program yang mapan dan berkesinambungan untuk menciptakan
suatau program yang memang efektif untuk diterapkan di lembaga Pendidikan Anak Usia
Dini(PAUD) di Indonesia, mengingat kedudukan Bahasa Inggris itu sendiri sebagai first foreign
language.
http://www.scribd.com
Kebutuhan masyarakat dunia akan penguasaan bahasa Inggris semakin pesat. Bahkan di
beberapa negara, bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa kedua setelah bahasa nasional. Di
negara lain, bahasa ini digunakan sebagai bahasa nasional mengingat heterogenitas suku dan
bangsa penduduknya dan bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya alat pemersatu bangsa.
Kachru dan Nelson (2011) membagi negara pengguna bahasa Inggris ke dalam tiga kategori.
Pertama, negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu seperti Inggris, Canada,
Australia, New Zealand, dan Amerika Serikat (Inner Circle Countries). Kedua, adalah negara
yang memiliki sejarah institusional Inggris sehingga bahasa ini memegang peranan penting
terutama dalam bidang pendidikan, pemerintahan, kesusastraan, dan kebudayaan popular. Negara
ini termasuk Nigeria, Singapura, dan India (Outer Circle Countries). Ketiga adalah negara yang
menggunakan bahasa Inggris untuk berbagai kepentingan namun tidak menjadikannya sebagai
bahasa dominan dalam komunikasi sehari-hari (Expanding Circle Countries). Indonesia, Rusia,
dan China adalah negara yang termasuk dalam kategori ini.
Dalam tulisannya, McKay (2003) menyatakan bahwa popularitas bahasa Inggris sesungguhnya
bukan semata-mata usaha negara kategori pertama (inner circle countries) untuk menyebarkan
bahasa mereka namun lebih kepada kesadaran masayarakat dunia akan pentingnya penguasaan
bahasa Inggris. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara global, berbagai informasi dunia tertuang
dalam bahasa Inggris sehingga untuk mengaksesnya, masyarakat harus memiliki penguasaan
tersendiri akan bahasa tersebut.
Penyebaran bahasa Inggris juga turut dipengaruhi perpindahan penduduk dari kategori outer
circle countries dan expanding circle countries ke inner circle countries. Perpindahan ini
sebagian besar disebabkan oleh kepentingan pekerjaan, pendidikan maupun pencarian suaka
politik. Penduduk baru tersebut kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk mampu
berkomunikasi dalam bahasa setempat sehingga mereka dapat bertahan hidup di tempat mereka
yang baru. Bahasa tersebut dapat dikuasai dengan bebagai cara antara lain melalui kursus dan
interaksi intensif dengan penduduk setempat sehingga penguasaannya berangsur-angsur
meningkat.
Idealnya perkembangan suatu bahasa diikuti oleh peningkatan jumlah penutur aslinya. Namun
tidak demikian dengan bahasa Inggris. Seiring perkembangannya, bahasa ini telah digunakan
secara global dan sebagian besar penuturnya berasal dari kategori outer dan expanding circle
countries. Bahkan, Graddol (2011) memprediksikan bahwa 50 tahun ke depan, akan ada sekitar
462 juta orang yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua yang berarti bahwa
jumlah penutur asli akan telampaui oleh jumlah penutur bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
atau bahasa asing.
Mengapa Memilih Bahasa Inggris?
Sejumlah pertanyaan pun kemudian muncul seiring meningkatnya kebutuhan akan penguasaan
bahasa Inggris. Mengapa Bahasa Inggris dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di
hampir setiap jenjang pendiddikan di Indonesia? Mengapa pemerintah memilih bahasa ini?
Mengapa bukan bahasa Belanda tidak sepopuler bahasa Inggris, padahal bangsa Indonesia
pernah menjadi bagian dari daerah jajahan Belanda?
Dardjowidjojo (2000) menjelaskan bahwa bahasa Belanda tidak dicantumkan dalam kurikulum
mengingat sejarah kelam yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia. Bahasa ini juga tidak
memiliki status yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai bahasa internasional. Dilihat dari aspek
komunikasi internasional pun, bahasa Belanda belum cukup kuat menancapkan pengaruhnya
sehingga semua kalangan merasa membutuhkannya dalam berinteraksi.
Keputusan pemerintah menetapkan bahasa Inggris sebagai salah satu mata pelajaran di berbagai
jenjang pendidikan sangat beralasan demi mempersiapkan generasi Indonesia untuk bersaing
secara global. Alwasilah (2001) menyatakan bahwa bahasa Inggris seharusnya menjadi bagian
dari kurikulum karena bahasa ini merupakan penunjang perkembangan generasi Indonesia.
Bagaimana mereka mampu berinteraksi secara luas jika tidak ditunjang dengan kemampuan
berbahasa internasional yang baik? Tsui dan Tollefson (2007) menambahkan bahwa jika ingin
mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi, maka mau tidak mau seseorang harus memiliki
pemahaman tentang penggunaan bahasa Inggris.
Begitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris sehingga seorang pakar bahasa bernama Phillipson
(1997) menyebutnya dengan linguistic imperialism atau imperialism linguistik. Phillipson
menggambarkan bahwa dimasa setelah pendudukannya di berbagai negara, Inggris masih tetap
giat menancapkan pengaruhnya dari aspek kebahasaan.
Bahkan bahasa ini menjadi semacam industri yang membuat masyarakat luas merasa
membutuhkannya. Sumber-sumber informasi dalam berbagai media tertuang dalam bahasa
Inggris, demikian juga hubungan internasional yang dihantarkan dalam bahasa ini. Kachru
(1986) mengibaratkannya sebagai lampu Aladdin yang berarti ketika seseorang telah
menguasainya maka saat itu pula dia dapat memasuki gerbang bisnis, teknologi, dan
pengetahuan.
Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia mempelajari bahasa Inggris karena bahasa ini
merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi pelajar sehingga mau tidak mau mereka harus
mengikuti pembelajaran tersebut. Seiring pergeseran waktu dan kebutuhan akan informasi, baik
pelajar maupun masyarakat luas menjadikan bahasa Inggris sebagai suatu kebutuhan yang tidak
dapat diabaikan. Misalnya, sebahagian instansi pemerintah/perusahaan swasta menjadikan
penguasaan bahasa Inggris sebagai salah satu prasyarat dalam perekrutan karyawan/karyawati.
Untuk memenuhi persyaratan tersebut, calon karyawan/karyawati mau tidak mau harus
mempersiapkan diri sedini mungkin sehingga dapat menduduki posisi yang dipersyaratkan.
Contoh lain adalah penerimaan mahasiswa/mahasiswa pada perguruan tinggi di luar negeri yang
tidak memberikan ruang sama sekali kepada calon yang tidak memiliki penguasaan bahasa
Inggris yang memadai. Hal ini ditandai dengan prasyarat hasil tes tertentu (TOEFL, IELTS, dan
lain-lain) sebagai dasar pertimbangan bagi universitas untuk menerima calon. Selanjutnya
disusul dengan persyaratan lain yang tidak terlepas dari penguasaan bahasa Inggris disamping
kompetensi lainnya.
Tren ini semakin dipersubur dengan menjamurnya lembaga kursus bahasa asing yang kini telah
menjangkau daerah pelosok di Indonesia. Keberadaan lembaga ini sangat membantu masyarakat
yang ingin memperkuat penguasaan bahasa asing mereka. Sekolah bukan lagi satu-satunya
wadah bagi pelajar untuk mengakses bahasa Inggris. Sekolah dianggap belum maksimal dalam
mengaktifkan kemampuan berbahasa asing pelajar sehingga untuk mensupport mereka
diperlukan wadah lain di luar sekolah yakni lembaga kursus dan sejenisnya.
Dengan memperkenalkan bahasa Inggris sedini mungkin, diharapkan generasi masa datang dapat
turut memiliki andil dalam persaingan global. Hasil penelitian Dardjowidjojo (2000)
menunjukkan bahwa bahasa Inggris dipelajari oleh lebih dari 13 juta pelajar di Indonesia. Jumlah
ini akan terus meningkat seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat akan bahasa ini, bahkan
hasil penelitian Crystal (1997) menunjukkan lebih dari 100 negara yang menggunakan bahasa
Inggris dalam kurikulum pembelajarannya.
Kurikulum Bahasa Inggris di Indonesia
Pada tahun 1967, Bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa asing yang diajarkan pada tingkat
sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas dengan tujuan memberikan peluang
kepada peserta didik untuk mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperkuat
hubungan internasional bangsa. Namun dalam implementasinya, pembelajaran lebih
dititikberatkan pada kemampuan membaca dibanding kemampuan lainnya yakni menyimak,
berbicara, dan menulis. (Nur, dalam Kam dan Wong, 2004).
Selanjutnya pada tahun 1984, pendekatan komunikatif (communicative approach) diperkenalkan
dengan mengadopsi pendekatan pada Communicative Language Teaching (CLT). Materi
membaca masih tetap menjadi fokus pembelajaran ditunjang dengan kemampuan tata bahasa
Inggris. Beberapa pakar memandangnya kurang efektif karena kedua unsur tersebut tidak cukup
kuat dalam memaksimalkan kemampuan komunikasi verbal peserta didik.
Masalah lain muncul karena masih ada di antara guru-guru yang tidak memiliki pengetahuan
memadai tentang CLT sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menerapkannya. Kurikulum
ini kemudian diperbaharui dengan mengenalkan kurikulum berbasis makna (meaning-based
curriculum) pada tahun 1994. Jazadi (1994) mempermasalahkan ketidaksesuaian antara materi
pembelajaran, harapan peserta didik, dan pemahaman guru akan kurikulum yang diterapkan. Hal
lain yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya materi terkait pengalaman dan pengetahuan
awal peserta didik sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengekspresikan ide-ide
mereka. Pemerintah kemudian memutuskan untuk kembali merevisi kurikulum ini sebagaimana
kurikulum sebelumnya.
Sebagai bagian dari proses pembaharuan pendidikan, pemerintah mengenalkan kurikulum
berbasis kompetensi (Competence-Based Curriculum) atau biasa disebut kurikulum 2004.
Kurikulum ini memuat berbagai materi pembelajaran autentik yang diadopsi dari kebudayaan
bahasa target (bahasa Inggris) dengan tujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan yang
cukup tentang negara dan kebudayaan penutur bahasa Inggris asli. Hal ini cukup menyulitkan
guru dan peserta didik dalam memahami materi karena kurangnya pemahaman akan negara
target dan kebudayaannya.
Dalam rangka memperbaharui kurikulum 2004, kurikulum berbasis sekolah (school-based
curriculum) selanjutnya diperkenalkan pada tahun 2006 dengan kebijakan bahwa masing-masing
satuan pendidikan untuk mendesain materi pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi nyata
satuan pendidikan. Namun tidak semua satuan pendidikan memiliki kesiapan yang sama
sehingga kurikulum ini tidak terlaksana secara serentak. Kurikulum tersebut menganut
pembelajaran berbasis kontekstual (Contextual Teaching-Learning) yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk membangun pengetahuan sendiri sesuai dengan apa yang
mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menyempurnakan kurikulum tersebut di atas, pemerintah kembali melakukan perubahan
dengan mengimplementasikan Kurikulum 2013. Kurikulum ini lebih menekankan pada
pendekatan ilmiah (Scientific Learning) dengan model pembelajaran berbasis masalah (problembased learning), pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning), dan pembelajaran
berbasis proyek (project-based learning). Secara garis besar, materi pembelajaran bahasa Inggris
ditekankan pada kompetensi berbahasa sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan
dan pengetahuan.
Siswa dibiasakan membaca dan memahami makna teks serta meringkas dan menyajikan ulang
dengan bahasa sendiri. Siswa dibiasakan menyusun teks yang sistematis, logis, dan efektif
melalui latihan-latihan penyusunan teks, siswa dikenalkan dengan aturan-aturan teks yang sesuai
sehingga tidak rancu dalam proses penyusunan teks (sesuai dengan situasi dan kondisi: siapa,
apa, dimana), dan siswa dibiasakan untuk dapat mengekspresikan dirinya dan pengetahuannya
dengan bahasa yang meyakinkan secara spontan. (Pedoman Diklat Kurikulum 2013, 2013).
Implikasi Bahasa Internasional Terhadap Kurikulum
Sebagai bahasa internasional, bahasa Inggris tidak lagi dimiliki sepenuhnya oleh penutur asli
(inner circle countries), tapi telah dimiliki oleh komunitas yang lebih luar mencakup penutur
bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau sebagai bahasa asing. Smith (dalam McKay,2003)
memaparkan tiga konsep mendasar bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dalam
pembelajaran, yakni pebelajar tidak berkewajiban untuk mengadopsi kebudayaan penutur asli
bahasa Inggris, bahasa Inggris telah dimiliki oleh semua kalangan dan tidak terbatas pada
penutur asli bahasa Inggris, dan tujuan pembelajaran bahasa Inggris adalah memampukan
pebelajar mengomunikasikan ide-ide dan kebudayaan mereka kepada orang lain.
Konsep tersebut diatas kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan
dalam memformulasikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan pebelajar termasuk di
Indonesia. Jazadi (2000). Kurikulum 2006 merupakan langkah awal dalam
mengimplementasikan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Hal ini dapat dilihat pada
penyajian materi pembelajaran kontekstual sesuai dengan pengalaman nyata peserta didik dan
tidak lagi sepenuhnya mengadopsi materi dan budaya dari negara bahasa target. Kirkpatrick
(2002) menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak membutuhkan kurikulum yang menuntut
mereka memahami kebudayaan penutur asli tapi lebih kepada pemahaman akan kebudayaan
mereka sendiri sehingga nantinya mereka dapat mempromosikan budayanya secara global.
Melihat materi pembelajaran bahasa Inggris pada kurikulum 2013, bahasa Inggris sebagai bahasa
internasional sudah tercantum didalamnya dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik
mengekspresikan gagasan mereka secara spontan sesuai dengan pengalaman nyata mereka
sehari-hari, tingkat kesulitan materi sudah disesuaikan dengan perkembangan peserta didik,
pembelajaran berpusat pada peserta didik dan guru bertindak sebagai fasilitator, serta materi
pembelajaran memuat budaya lokal Indonesia yang beraneka ragam.
Perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah berkontribusi dalam
pengembangan kurikulum pembelajaran bahasa Inggris dengan tidak mengorientasikan
pembelajaran pada budaya bahasa target semata akan tetapi turut memberikan keleluasaan bagi
pebelajar untuk memahami budayanya sendiri serta menggunakan bahasa Inggris tidak hanya
untuk berinteraksi dengan penutur asli bahasa Inggris (inner circle coutries) akan tetapi dapat
pula berinteraksi dengan nonpenutur bahasa Inggris asli (outer circle countries dan expanding
circle countries). (*)
Latar Belakang
Setiap negara mempunyai media komunikasi untuk memperlancar suatu hubungan antar
individu. Alat komunikasi ini kita biasa disebut dengan bahasa.
Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia
dan dipakai oleh masyarakat untuk berkomunikasi, bekerja sama dan identifikasi diri. Bahasa
lisan merupakan bahasa primer,sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu
tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Sebagian besar bahasa yang ada di dunia pasti di pengaruhi oleh bahasa lainnya, tidak terkecuali
bahasa Indonesia . Pengaruh tersebut biasa datang dari bangsa berbahasa lain yang pernah
mengunjungi daerah tersebut. Dalam konteks bahasa Indonesia, pengaruh tersebut terutama
datang dari bangsa yang pernah menjajah negeri ini, seperti Belanda, Inggris, Portugis
danJepang. Selain dari bangsa penjajah, pengaruh juga datang dari bangsa yang pernah
berdagang dengan penduduk negeri ini, seperti Arab, Cina, Persia, dan India. Bahasa Sansekerta
juga memberikan pengaruh karena bahasa ini dijadikan sebagai bahasa sastra dan perantara
dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha. Seluruh pengaruh tadi membentuk kata-kata
serapan dalam bahasa Indonesia yang dipakai hingga saat ini.
Telah berabad-abad lamanya nenek moyang penutur bahasa Indonesia berhubungan dengan
berbagai bangsa di dunia. Bahasa Sanskerta tercatat terawal dibawa masuk ke Indonesia yakni
sejak mula tarikh Masehi. Bahasa ini dijadikan sebagai bahasa sastra dan perantara dalam
penyebaran agama Hindu dan Buddha. Agama Hindu tersebar luas di pulau Jawa pada abad ke-7
dan ke-8, lalu agama Buddha mengalami keadaan yang sama pada abad ke-8 dan ke-9.
Penggunaan bahasa asing dan kosa kata yang berasal dari bahasa asing, khususnya bahasa
Inggris sering digunakan di dalam penulisan berita surat kabar. Selain itu juga sering digunakan
dalam siaran televisi, baik yang berupa berita maupun yang berbentuk perbincangan. Yang
terpenting adalah kosa kata yang sering digunakan pada surat kabar, majalah, televisi,
radio,ceramah, perbincangan bahkan percakapan sehari-hari itu dicari padanan dan artinya agar
mudahdi mengerti dan dipahami oleh pemakai bahasa.
Berdasarkan taraf integrasinya, kata serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi 2
golongan besar. Pertama, kata serapan yang belum sepenuhnya terserap ke dalam
bahasaIndonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, long march, dan lain-lain. Kata-kata ini dipakai
dalamkonteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua,
kataserapan yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.
Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya
masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Bahasa yang paling banyak diserap kata-katanya dalam bahasa Indonesia adalah bahasa Belanda
yang mencapai 3.280 kata. Hal ini antara lain disebabkan oleh lamanya masa penjajahan bangsa
Belanda yang mencapai 3,5 abad. Bahasa Belanda dipakai hingga masa pergerakan kemerdekaan
dalam komunikasi gagasan kenegaraan dan tentunya juga dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh kata-kata yang diserap dari bahasa Belanda adalah advokat (advocaat), brankas
(brandkast), demokrasi (demokratie), eksemplar (exemplaar), dan lain-lain.
Selain kata-kata serapan, ada sejumlah kata tidak mengalami penyerapan, tetapi masih
dipakaidalam bentuk percakapan lisan tidak dalam bentuk tulisan. Contoh dari kata-kata tersebut
adalah aanval (serangan jantung), brandweer (pemadam kebakaran), verboden (dilarang), dan
lain-lain.
Sesudah Indonesia merdeka, pengaruh bahasa Belanda mula surut sehingga kata-kata serapan
yang sebetulnya berasal dari bahasa Belanda sumbernya tidak disadari betul. Bahkan sampai
dengan sekarang yang lebih dikenal adalah bahasa Inggris.
Bahasa selanjutnya yang menempati peringkat kedua dalam penyerapan kata-katanya adalah
bahasa Inggris. Jumlah kata yang diserap dari bahasa ini adalah sebanyak 1.610 kata. Contoh
kata-kata yang diserap dari bahasa Inggris adalah aktor (actor), aktris (actress), bisnis (business),
departemen (department), dan lain-lain. Seperti telah disebutkan sebelumnya, banyak
katatermasuk dari bahasa Inggris yang belum sepenuhnya diserap sehingga pemakaiannya masih
dalam bentuk aslinya. Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional dan dipakai secara luas
dinegeri ini hingga masa yang akan datang. Hal tersebut memungkinkan penyerapan kata
yanglebih banyak lagi dari saat ini
Sebab-Sebab Terjadinya Variasi Penggunaanbahasa Asing Di Indonesia
a) Interferensi
Heterogenitas Indonesia dan disepakatinya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional
berimplikasi bahwa kewibawaan akan berkembang dalam masyarakat. Perkembanngan ini tentu
menjadi masalah tersendiri yang perlu mendapat perhatian, kedwibahasaan, bahkan kemulti
bahasaan adalah suatu kecenderungan yang akan terus berkembang sebagai akibat globalisasi. Di
samping segi positifnya, situasi kebahasaan seperti itu berdampak negatif terhadap penguasaan
Bahasa Indonesia.
Bahasa daerah masih menjadi proporsi utama dalam komunikasi resmi
sehingga rasa cinta terhadap bahasa Indonesia harus terkalahkan oleh bahasa daerah.
Alwi, dkk.(eds.) (2003: 9), menyatakan bahwa banyaknya unsur pungutan dari bahasa Jawa,
misalnya dianggap pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahasa
Inggris oleh sebagian orang dianggap pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Hal
tersebut yang menjadi sebab adanya interferensi.
Chaer (1994: 66) memberikan batasan
interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan
sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu.
Selain bahasa daerah,
bahasa
asing (baca Inggris) bagi sebagian kecil orang Indonesia
ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan timbulnya sikap tersebut adalah
pandangan sosial ekonomi dan bisnis. Penguasaan bahasa Inggris yang baik menjanjikan
kedudukan dan taraf sosial ekonomi yang jauh lebih baik dari pada hanya menguasai bahasa
Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris di ruang umum telah menjadi kebiasaan yang sudah tidak
terelakkan lagi. Hal tersebut mengkibatkan lunturnya bahasa dan budaya Indonesia yang secara
perlahan tetapi pasti telah menjadi bahasa primadona. Misalnya, masyarakat lebih cenderung
memilih
“pull” untuk “dorong” dan “push” untuk “tarik”, serta “welcome” untuk “selamat datang”.
Sikap terhadap bahasa Indonesia yang kurang baik terhadap kemampuan berbahasa Indonesia
diberbagai kalangan, baik lapisan bawah, menengah, dan atas; bahkan kalangan intelektual. Akan
tetapi, kurangnya kemampuan berbahasa Indonesia pada golongan atas dan kelompok intelektua
lterletak pada sikap meremehkan dan kurang menghargai serta tidak mempunyai rasa bangga
terhadap bahasa Indonesia.
b) Integrasi
Selain interferensi, integrasi juga dianggap sebagai pencemar terhadap bahasa Indonesia.
Chaer(1994:67), menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa
masuk sudah dianggap, diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian dan bahasa yang menerima
atau yangmemasukinya. Proses integrasi ini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama,
sebab unsur yang berintegrasi itu telah disesuaikan,
baik lafalnya, ejaannya, maupun tata
bentuknya. Contoh kata yang berintegrasi antara lain montir, riset, sopir, dongkrak.
Kedudukan Bahasa Nasional dan BahasaAsing
Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia yang merupakan bahasa asing pertama. Kedudukan
tersebut berbeda dengan bahasa kedua. Mustafa dalam hal ini menyatakan bahwa bahasa kedua
adalah bahasa yang dipelajari anak setelah bahasa ibunya dengan ciri bahasa tersebut digunakan
dalam lingkungan masyarakat sekitar. Sedangkan bahasa asing adalah bahasa negara lain yang
tidak digunakan secara umum dalam interaksi sosial.
Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia tersebut mengakibatkan jarang di gunakannya Bahasa
Inggris dalam interaksi sosial di lingkungan anak. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi
lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa
Inggris karena pemerolehan bahasa asing bagi anak berbanding lurus dengan volume, frekuensi
dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pelaksanaan program pembelajaran dengan pengantar Bahasa Inggris tersebut mendapat
berbagai kendala mengingat kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia sebagai first foreign
languange (bahasa asing pertama). Artinya, Bahasa Inggris hanya menjadi bahasa pada kalangan
tertentu, tidak digunakan oleh masyarakat umum seperti jika kedudukannya sebagai bahasa
kedua. Hal ini menyebabkan kurangnnya interaksi anak terhadap Bahasa Inggris. Selain
ituterdapat juga berbagai pendapat mengenai pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing
yangbisa mempengaruhi perkembangan bahasa ibu.
Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa secara umum terjadi masalah jika anak dikenalkan
pada dua bahasa secara bersamaan pada usia dini. Terutama ketika dikenalkan pada usia
prasekolah setelah bahasa ibu sudah sering digunakan. Pendapat lainnya menjelaskan bahwa
jika bahasa kedua dikenalkan sebelum bahasa pertama benar-benar terkuasai, maka bahasa
pertama perkembangannya akan lambat dan bahkan mengalami regresi. Selain itu, ada juga yang
berpendapat bahwa bahasa kedua akan terperoleh ketika bahasa pertama sudah dikuasai.
Berbagai pendapat tersebut menjadi permasalahan tersendiri mengenai pembelajaran anak usia
dini yang menggunakan Bahasa Inggris dalam konteks Bahasa Inggris sebagai bahasa asing di
Indonesia. Perlu pengembangan program yang mapan dan berkesinambungan untuk menciptakan
suatau program yang memang efektif untuk diterapkan di lembaga Pendidikan Anak Usia
Dini(PAUD) di Indonesia, mengingat kedudukan Bahasa Inggris itu sendiri sebagai first foreign
language.
http://www.scribd.com
Kebutuhan masyarakat dunia akan penguasaan bahasa Inggris semakin pesat. Bahkan di
beberapa negara, bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa kedua setelah bahasa nasional. Di
negara lain, bahasa ini digunakan sebagai bahasa nasional mengingat heterogenitas suku dan
bangsa penduduknya dan bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya alat pemersatu bangsa.
Kachru dan Nelson (2011) membagi negara pengguna bahasa Inggris ke dalam tiga kategori.
Pertama, negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu seperti Inggris, Canada,
Australia, New Zealand, dan Amerika Serikat (Inner Circle Countries). Kedua, adalah negara
yang memiliki sejarah institusional Inggris sehingga bahasa ini memegang peranan penting
terutama dalam bidang pendidikan, pemerintahan, kesusastraan, dan kebudayaan popular. Negara
ini termasuk Nigeria, Singapura, dan India (Outer Circle Countries). Ketiga adalah negara yang
menggunakan bahasa Inggris untuk berbagai kepentingan namun tidak menjadikannya sebagai
bahasa dominan dalam komunikasi sehari-hari (Expanding Circle Countries). Indonesia, Rusia,
dan China adalah negara yang termasuk dalam kategori ini.
Dalam tulisannya, McKay (2003) menyatakan bahwa popularitas bahasa Inggris sesungguhnya
bukan semata-mata usaha negara kategori pertama (inner circle countries) untuk menyebarkan
bahasa mereka namun lebih kepada kesadaran masayarakat dunia akan pentingnya penguasaan
bahasa Inggris. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara global, berbagai informasi dunia tertuang
dalam bahasa Inggris sehingga untuk mengaksesnya, masyarakat harus memiliki penguasaan
tersendiri akan bahasa tersebut.
Penyebaran bahasa Inggris juga turut dipengaruhi perpindahan penduduk dari kategori outer
circle countries dan expanding circle countries ke inner circle countries. Perpindahan ini
sebagian besar disebabkan oleh kepentingan pekerjaan, pendidikan maupun pencarian suaka
politik. Penduduk baru tersebut kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk mampu
berkomunikasi dalam bahasa setempat sehingga mereka dapat bertahan hidup di tempat mereka
yang baru. Bahasa tersebut dapat dikuasai dengan bebagai cara antara lain melalui kursus dan
interaksi intensif dengan penduduk setempat sehingga penguasaannya berangsur-angsur
meningkat.
Idealnya perkembangan suatu bahasa diikuti oleh peningkatan jumlah penutur aslinya. Namun
tidak demikian dengan bahasa Inggris. Seiring perkembangannya, bahasa ini telah digunakan
secara global dan sebagian besar penuturnya berasal dari kategori outer dan expanding circle
countries. Bahkan, Graddol (2011) memprediksikan bahwa 50 tahun ke depan, akan ada sekitar
462 juta orang yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua yang berarti bahwa
jumlah penutur asli akan telampaui oleh jumlah penutur bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
atau bahasa asing.
Mengapa Memilih Bahasa Inggris?
Sejumlah pertanyaan pun kemudian muncul seiring meningkatnya kebutuhan akan penguasaan
bahasa Inggris. Mengapa Bahasa Inggris dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di
hampir setiap jenjang pendiddikan di Indonesia? Mengapa pemerintah memilih bahasa ini?
Mengapa bukan bahasa Belanda tidak sepopuler bahasa Inggris, padahal bangsa Indonesia
pernah menjadi bagian dari daerah jajahan Belanda?
Dardjowidjojo (2000) menjelaskan bahwa bahasa Belanda tidak dicantumkan dalam kurikulum
mengingat sejarah kelam yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia. Bahasa ini juga tidak
memiliki status yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai bahasa internasional. Dilihat dari aspek
komunikasi internasional pun, bahasa Belanda belum cukup kuat menancapkan pengaruhnya
sehingga semua kalangan merasa membutuhkannya dalam berinteraksi.
Keputusan pemerintah menetapkan bahasa Inggris sebagai salah satu mata pelajaran di berbagai
jenjang pendidikan sangat beralasan demi mempersiapkan generasi Indonesia untuk bersaing
secara global. Alwasilah (2001) menyatakan bahwa bahasa Inggris seharusnya menjadi bagian
dari kurikulum karena bahasa ini merupakan penunjang perkembangan generasi Indonesia.
Bagaimana mereka mampu berinteraksi secara luas jika tidak ditunjang dengan kemampuan
berbahasa internasional yang baik? Tsui dan Tollefson (2007) menambahkan bahwa jika ingin
mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi, maka mau tidak mau seseorang harus memiliki
pemahaman tentang penggunaan bahasa Inggris.
Begitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris sehingga seorang pakar bahasa bernama Phillipson
(1997) menyebutnya dengan linguistic imperialism atau imperialism linguistik. Phillipson
menggambarkan bahwa dimasa setelah pendudukannya di berbagai negara, Inggris masih tetap
giat menancapkan pengaruhnya dari aspek kebahasaan.
Bahkan bahasa ini menjadi semacam industri yang membuat masyarakat luas merasa
membutuhkannya. Sumber-sumber informasi dalam berbagai media tertuang dalam bahasa
Inggris, demikian juga hubungan internasional yang dihantarkan dalam bahasa ini. Kachru
(1986) mengibaratkannya sebagai lampu Aladdin yang berarti ketika seseorang telah
menguasainya maka saat itu pula dia dapat memasuki gerbang bisnis, teknologi, dan
pengetahuan.
Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia mempelajari bahasa Inggris karena bahasa ini
merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi pelajar sehingga mau tidak mau mereka harus
mengikuti pembelajaran tersebut. Seiring pergeseran waktu dan kebutuhan akan informasi, baik
pelajar maupun masyarakat luas menjadikan bahasa Inggris sebagai suatu kebutuhan yang tidak
dapat diabaikan. Misalnya, sebahagian instansi pemerintah/perusahaan swasta menjadikan
penguasaan bahasa Inggris sebagai salah satu prasyarat dalam perekrutan karyawan/karyawati.
Untuk memenuhi persyaratan tersebut, calon karyawan/karyawati mau tidak mau harus
mempersiapkan diri sedini mungkin sehingga dapat menduduki posisi yang dipersyaratkan.
Contoh lain adalah penerimaan mahasiswa/mahasiswa pada perguruan tinggi di luar negeri yang
tidak memberikan ruang sama sekali kepada calon yang tidak memiliki penguasaan bahasa
Inggris yang memadai. Hal ini ditandai dengan prasyarat hasil tes tertentu (TOEFL, IELTS, dan
lain-lain) sebagai dasar pertimbangan bagi universitas untuk menerima calon. Selanjutnya
disusul dengan persyaratan lain yang tidak terlepas dari penguasaan bahasa Inggris disamping
kompetensi lainnya.
Tren ini semakin dipersubur dengan menjamurnya lembaga kursus bahasa asing yang kini telah
menjangkau daerah pelosok di Indonesia. Keberadaan lembaga ini sangat membantu masyarakat
yang ingin memperkuat penguasaan bahasa asing mereka. Sekolah bukan lagi satu-satunya
wadah bagi pelajar untuk mengakses bahasa Inggris. Sekolah dianggap belum maksimal dalam
mengaktifkan kemampuan berbahasa asing pelajar sehingga untuk mensupport mereka
diperlukan wadah lain di luar sekolah yakni lembaga kursus dan sejenisnya.
Dengan memperkenalkan bahasa Inggris sedini mungkin, diharapkan generasi masa datang dapat
turut memiliki andil dalam persaingan global. Hasil penelitian Dardjowidjojo (2000)
menunjukkan bahwa bahasa Inggris dipelajari oleh lebih dari 13 juta pelajar di Indonesia. Jumlah
ini akan terus meningkat seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat akan bahasa ini, bahkan
hasil penelitian Crystal (1997) menunjukkan lebih dari 100 negara yang menggunakan bahasa
Inggris dalam kurikulum pembelajarannya.
Kurikulum Bahasa Inggris di Indonesia
Pada tahun 1967, Bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa asing yang diajarkan pada tingkat
sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas dengan tujuan memberikan peluang
kepada peserta didik untuk mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperkuat
hubungan internasional bangsa. Namun dalam implementasinya, pembelajaran lebih
dititikberatkan pada kemampuan membaca dibanding kemampuan lainnya yakni menyimak,
berbicara, dan menulis. (Nur, dalam Kam dan Wong, 2004).
Selanjutnya pada tahun 1984, pendekatan komunikatif (communicative approach) diperkenalkan
dengan mengadopsi pendekatan pada Communicative Language Teaching (CLT). Materi
membaca masih tetap menjadi fokus pembelajaran ditunjang dengan kemampuan tata bahasa
Inggris. Beberapa pakar memandangnya kurang efektif karena kedua unsur tersebut tidak cukup
kuat dalam memaksimalkan kemampuan komunikasi verbal peserta didik.
Masalah lain muncul karena masih ada di antara guru-guru yang tidak memiliki pengetahuan
memadai tentang CLT sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menerapkannya. Kurikulum
ini kemudian diperbaharui dengan mengenalkan kurikulum berbasis makna (meaning-based
curriculum) pada tahun 1994. Jazadi (1994) mempermasalahkan ketidaksesuaian antara materi
pembelajaran, harapan peserta didik, dan pemahaman guru akan kurikulum yang diterapkan. Hal
lain yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya materi terkait pengalaman dan pengetahuan
awal peserta didik sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengekspresikan ide-ide
mereka. Pemerintah kemudian memutuskan untuk kembali merevisi kurikulum ini sebagaimana
kurikulum sebelumnya.
Sebagai bagian dari proses pembaharuan pendidikan, pemerintah mengenalkan kurikulum
berbasis kompetensi (Competence-Based Curriculum) atau biasa disebut kurikulum 2004.
Kurikulum ini memuat berbagai materi pembelajaran autentik yang diadopsi dari kebudayaan
bahasa target (bahasa Inggris) dengan tujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan yang
cukup tentang negara dan kebudayaan penutur bahasa Inggris asli. Hal ini cukup menyulitkan
guru dan peserta didik dalam memahami materi karena kurangnya pemahaman akan negara
target dan kebudayaannya.
Dalam rangka memperbaharui kurikulum 2004, kurikulum berbasis sekolah (school-based
curriculum) selanjutnya diperkenalkan pada tahun 2006 dengan kebijakan bahwa masing-masing
satuan pendidikan untuk mendesain materi pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi nyata
satuan pendidikan. Namun tidak semua satuan pendidikan memiliki kesiapan yang sama
sehingga kurikulum ini tidak terlaksana secara serentak. Kurikulum tersebut menganut
pembelajaran berbasis kontekstual (Contextual Teaching-Learning) yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk membangun pengetahuan sendiri sesuai dengan apa yang
mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menyempurnakan kurikulum tersebut di atas, pemerintah kembali melakukan perubahan
dengan mengimplementasikan Kurikulum 2013. Kurikulum ini lebih menekankan pada
pendekatan ilmiah (Scientific Learning) dengan model pembelajaran berbasis masalah (problembased learning), pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning), dan pembelajaran
berbasis proyek (project-based learning). Secara garis besar, materi pembelajaran bahasa Inggris
ditekankan pada kompetensi berbahasa sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan
dan pengetahuan.
Siswa dibiasakan membaca dan memahami makna teks serta meringkas dan menyajikan ulang
dengan bahasa sendiri. Siswa dibiasakan menyusun teks yang sistematis, logis, dan efektif
melalui latihan-latihan penyusunan teks, siswa dikenalkan dengan aturan-aturan teks yang sesuai
sehingga tidak rancu dalam proses penyusunan teks (sesuai dengan situasi dan kondisi: siapa,
apa, dimana), dan siswa dibiasakan untuk dapat mengekspresikan dirinya dan pengetahuannya
dengan bahasa yang meyakinkan secara spontan. (Pedoman Diklat Kurikulum 2013, 2013).
Implikasi Bahasa Internasional Terhadap Kurikulum
Sebagai bahasa internasional, bahasa Inggris tidak lagi dimiliki sepenuhnya oleh penutur asli
(inner circle countries), tapi telah dimiliki oleh komunitas yang lebih luar mencakup penutur
bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau sebagai bahasa asing. Smith (dalam McKay,2003)
memaparkan tiga konsep mendasar bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dalam
pembelajaran, yakni pebelajar tidak berkewajiban untuk mengadopsi kebudayaan penutur asli
bahasa Inggris, bahasa Inggris telah dimiliki oleh semua kalangan dan tidak terbatas pada
penutur asli bahasa Inggris, dan tujuan pembelajaran bahasa Inggris adalah memampukan
pebelajar mengomunikasikan ide-ide dan kebudayaan mereka kepada orang lain.
Konsep tersebut diatas kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan
dalam memformulasikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan pebelajar termasuk di
Indonesia. Jazadi (2000). Kurikulum 2006 merupakan langkah awal dalam
mengimplementasikan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Hal ini dapat dilihat pada
penyajian materi pembelajaran kontekstual sesuai dengan pengalaman nyata peserta didik dan
tidak lagi sepenuhnya mengadopsi materi dan budaya dari negara bahasa target. Kirkpatrick
(2002) menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak membutuhkan kurikulum yang menuntut
mereka memahami kebudayaan penutur asli tapi lebih kepada pemahaman akan kebudayaan
mereka sendiri sehingga nantinya mereka dapat mempromosikan budayanya secara global.
Melihat materi pembelajaran bahasa Inggris pada kurikulum 2013, bahasa Inggris sebagai bahasa
internasional sudah tercantum didalamnya dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik
mengekspresikan gagasan mereka secara spontan sesuai dengan pengalaman nyata mereka
sehari-hari, tingkat kesulitan materi sudah disesuaikan dengan perkembangan peserta didik,
pembelajaran berpusat pada peserta didik dan guru bertindak sebagai fasilitator, serta materi
pembelajaran memuat budaya lokal Indonesia yang beraneka ragam.
Perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah berkontribusi dalam
pengembangan kurikulum pembelajaran bahasa Inggris dengan tidak mengorientasikan
pembelajaran pada budaya bahasa target semata akan tetapi turut memberikan keleluasaan bagi
pebelajar untuk memahami budayanya sendiri serta menggunakan bahasa Inggris tidak hanya
untuk berinteraksi dengan penutur asli bahasa Inggris (inner circle coutries) akan tetapi dapat
pula berinteraksi dengan nonpenutur bahasa Inggris asli (outer circle countries dan expanding
circle countries). (*)