fenomena artis terjun di dunia politik
SELEBRITIS POLITIK : FENOMENA ARTIS DIKANCAH
POLITIK INDONESIA
Pengantar
Tulisan ini akan membahas tentang fenomena artis yang terjun ke dalam dunia
perpolitikan Indonesia dengan ditinjau dari sudut pandang sosiologi kebudayaan. Belakangan
ini dunia perpolitikan di Indonesia di warnai oleh munculnya politisi-politisi muda dari dunia
keartisan. Entah tujuan para artis untuk terjun di dunia politik dengan di tunjang kapasitas
atau mengandalkan popularitas semata. Panggung perpolitikan di dominasi oleh para
selebritis khususnya bangku legislatif. Akan tetapi tidak hanya disitu saja, selebritis politik
pun menjajal untuk menjadi kepala daerah tertentu.
Masalah utama dalam pembahasan ini adalah fenomena artis yang terjun kedalam
ranah perpolitikan. Tentu saja hal ini menarik untuk dibahas karena menimbulkan pro dan
kontra dikalangan masyarakat. Dunia keartisan dan dunia politik memang jauh berbeda.
Maka, masyarakat khawatir jika para artis menjadi politisi akan berdampak pada skala
nasional pemerintahan. Dengan latar belakang keartisan tanpa ada latar belakang
perpolitikan, hal ini menjadi penilaian tersendiri bagi masyarakat tentang pantas atau
tidaknya seseorang memimpin. Selain ada yang bertentangan adapula yang setuju-setuju saja.
Menurut pihak yang pro dengan hadirnya politisi dari kalangan artis bahwa setiap warga
negara mempunyai kemerdekaan dalam berserikat dan berkumpul. Hal tersebut menjadi
bagian dari hak asasi bagi setiap individu. Jadi sah-sah saja bagi siapa saja yang terjun
langsung dalam ranah perpolitikan Indonesia.
Kemerdekaan hak perorangan dalam mencalonkan diri untuk pembangunan
masyarakat telah tercantum dalam UUD'45 Pasal 28 yang menyebutkan "Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang", kemudian pada Pasal 28C disebutkan pula (1) Setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2)
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.Hal ini menunjukkan bahwa
hukum di Indonesia menjunjung tinggi hak warga negaranya dalam berpolitik.
Sistematika penulisan yang akan disampaikan dalam pembahasan ini, penulis
membagi menjadi tiga kerangka bagian. Yang pertama membahas tentang fenomena
selebritis politik. Yang kedua tentang bagaimana sistem budaya politik di Indonesia.
Yangketiga tentang selebritis politik sebagai refleksi sistem budaya politik di Indonesia. Yang
terakhir bagiankeempat penutup keseluruhan ringkasan pembahasan dijelaskan dalam bagian
ini. Untuk memperkuat dan memperjelas tulisan, penulis memberikan penguatan dalam
bentuk kajian pustaka.
Selebritis Politik dan Dunia Sosialnya
Fenomena selebritis politik sebenarnya telah terjadi di setiap negara. Peran pekerja
seni memberikan warna yang lain dalam perpolitikan. Panggung perpolitikan semakin ramai
dan seolah-olah tak terbendung lagi. Misalnya, pada tahun pemilihan umum 2009 dari Partai
Amanat Nasional merupakan partai terbanyak yang menjadi incaran para selebritis untuk
membuka jalannya untuk berkecimpung di dunia politik. Contohnya, Eko Patrio dari
dapil Jawa Timur,Derry Drajat dapil Jawa Barat, Ikang Fauzi dapil Banten serta banyak lain
artis yang mencalonkan diri di daerah pemilihan lainnya. Maka, ada selentingan jika
singkatan dari PAN merupakan Partai Artis Nasional. Seolah-olah tidak mau kalah Partai
Bintang Reformasi (PBR) meminta Dewi Yull sebagai caleg. Dari Partai Damai Sejahtera
(PDS) tersebut nama Maya Rumantir,Bella Saphira, dan Tessa Kaunang sebagai caleg. Barubaru ini publik dikagetkan dengan pencalonan artis Julia Perez dan Ayu Azhari dalam bursa
calon kepala daerah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa keikutsertaan selebritis dalam perpolitikan
merupakan bentuk partisipasi politik dalam bentuk aktif karena para selebritis tersebut
menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam organisasi politik. Dari segi dukungan, selebritis
mengeruk sukungan terbanyak karena popularitas yang mereka miliki serta untuk eksistensi
partai politik yang menanungi mereka. Seperti yang telah diketahui bersama dalam
sosioalisasi politik terdapat faktor eksistensi politik salah satunya popularitas tokoh partai.
Hal inilah yang teraplikasi dalam wajah perpolitikan di Indonesia.
Keterpilihan dan keterbanyakan suara para selebritis dalam panggung perpolitikan
memang tidak bisa dielakkan. Kebanyakan dari pemilihan umum yang telah diselenggarakan
suara kaum penghijrah (selebritis politik ) ini mendapatkan suara tertinggi dibandingkan
tokoh-tokoh politik lain yang cenderung sudah lama dalam halpanggung perpolitikan. Politik
praktis ini tentu saja menghasilkan interpretasi tertentu bahwa menggunakan artis sebagai
calon legislatif atau calon kepala daerah lebih efektif. Hal tersebut menguntungkan kedua
belah pihak antara partai politik dan para selebritis. Keuntungan yang didapatkan partai
politik maka eksistensinya dibidang politik makin terlihat. Keuntungan bagi selebritis politik
maka ia akan mendapatkan jabatan sebagai pemimpin.
Frank Lindenfeld menemukan bahwa faktor utama yang mendorong orang untuk
berpartisipasi dalam kehidupan politik adalah kepuasan finansial. Maka, dalam kehidupan
berpolitik kemapanan ekonomi sangat perlu karena dengan adanya kemapanan ekonomi, jika
tidak orang tersebut akan merasa apatis.[1] Pada umumnya orang-orang yang berada di
gedung parlemen termasuk para selebritis berasal dari kalangan atas ang mampu membiayai
segala keperluan dalam perpolitikannya, meliputi dana kampanye.
Pandangan masyarakat mengenai kehidupan dan hibar-bingar dunia para artis
sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap mereka. Persepsi ini yang membuat
masyarakat merasa kontra ketika ada selebritis yang mencalonkan diri sebagai pemimpin
daerah atau sebagai calon legislatif. Latar belakang dunia keartisan memang jauh dari dunia
perpolitikan. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat karena jika
selebritis tersebut terpilih memimpin daerah maka kinerjanya tidak sesuai dengan orang yang
mempunyai latar belakang ilmu kenegaraan. Bahkan disisi lain ada politisi dari kalangan
selebritis yang berhasil sebagai pemimpin daerah dan kinerjanya sebagai anggota legislatif.
Kejujuran, kekritisan, rasa bertanggung jawab dan mementingkan tujuan bersama atas nama
rakyat, sadar akan amanat dari rakyat yang memilihnya menjadi salah satu kunci
kesuksesannya.
Dalam hal ini, keterlibatan selebritis dalam kancah perpolitikan tentu saja tidak
menyalahi aturan karena hak asasi manusia telah tercantum dalam Undang-Undang dasar
1945 dan tersebar dalam beberapa pasal terutama pasal 27-31. Maka hak asasi manusia
meliputi hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, hak atas kebebasan berkumpul,
hak atas kebebasab beragagama, hak atas penghidupan yang layak, hak atas kebebasan
berserikat, hak atas pengajaran.
Selebritis Politik dalam Realitas Sistem Budaya Politik Indonesia
Realitas budaya politik di Indonesia ini tentang fenomena selebritis politik dan
politisasi selebritis belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Banyaknya para selebritis
ikut andil dalam bursa pencalonan diri sebagai kepala daerah dan calon legislatif. Latar
belakang profesi para artis yang menjabat sebagai kepala daerah atau anggota DPR
bermacam-macam, mulai dari ragam profesi sebagai artis sinetron, bintang iklan dan
pelawak. Hal ini menjadi fenomena karena kesuksesan menjadi anggota DPR atau kepala
daerah tertentu sangat menggiurkan. Keternaran dan kewibawaan sebagai pemimpin
mempunyai nilai tersendiri dikalangan artis. Hal ini menjadi perhatian banyak orang, padahal
di negara luar hal ini menjadi lumrah seorang artis mencalonkan dirinya sebagai politisi.
Fenomena ini terjadi karena di Indonesia telah merasuk budaya pop (pop culture) dan politik
praktis.
Keterlibatan para selebritis berkecimpung di dunia politik tentu saja menimbulkan pro
dan kontra. Fenomena ini menjadi perdebatan dari dahulu hingga sekarang. Bagi masyarakat
yang pro atau membela tentu saja memandang hal ini sebagai hak asasi manusia dan sifatnya
sah-sah saja para artis untuk mencalonkan dirinya keranah perpolitikan dan mencalonkan diri
sebagai kepala daerah dan duduk dalam parlementer. Berbeda halnya bagi kalangan yang
kontra atau kelompok yang menentang tentu saja menolak karena menganggap bahwa para
selebritis cenderung mengandalkan penampilan fisik dibandingkan wawasan dan keahlian
dalam kemampuan berpolitik.
Pandangan tentang keterlibatan selebritis dalam kancah perpolitikan merupakan suatu
kebebasan yang menjadi bagian haknya sebagai warga negara. John Stuart Mill,
mengemukakan
bahwa suatu konsepsi
kebebasan
menyertakan
gagasan-gagasan
pengembangan diri dan peningkatan kemampuan diri.[2] Maka keterlibatan seorang selebritis
dalam bursa pencalonan menjadi pemimpin daerah merupakan suatu peningkatan eksistensi
diri dan proses pengembangan diri dalam peningkatan kualitas hidupnya. Pandangan miring
yang hinggap di atas nama pencalonan seorang selebritis merupakan suatu bumbu politik.
Istilah Celebrity politic atau yang lebih kita kenal sebagai selebritis politik
telah menjadi bagian dalam dunia perpolitikan di dunia khususnya di Indonesia. Dari tahun
ketahun dunia pemilihan umum diramaikan oleh wajah-wajah populer artis. Bagi kalangan
para artis sosialisasi menjadi hal yang tidak terlalu berat. Dengan modal popularitas yang
mereka miliki sosialisasi dalam era pemilihan ketua daerah atau pemilihan untuk wakil
legislatif. Cara kampanye yang digunakan para politisi di Indonesia adalah dengan berbasis
media, baik media televisi, internet dan spanduk. Hal ini sudah mempengaruhi budaya
kampanye di Indonesia. Kampanye dengan melalui media internet dilakukan dengan bantuan
jejaring sosial seperti friendster, facebook, dan bloger dinilai lebih efektif bagi pemilih muda.
Sistem pemilihan langsung menuntut para calon pemimpin ini ekstra kerja keras
dalam mensosialisasikan dan mempromisikan dirinya dengan tujuan agar terpilih nantinya.
Para politisi berlomba-lomba membuat iklan untuk ditayangkan di televisi dengan
menggambarkan diri mereka sebagai orang yang peduli akan sesamanya. Misalnya
politisi Rizal Malarangeng yang berusaha mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang peduli
dengan kaum-kaum yang termarjinalkan. Petani, nelayan dan penduduk papua dalam iklan
tersebut
digambarkan
dengan
akrabnya,
bergaul
dan
berbaur
dengan
Rizal
Malarangeng.Seluruh para elit politik pada saat musim kampanye banyak yang mendekatkan
diri dengan rakyat, berusaha merasakan kehidupan masyarakat kecil, mencoba menarik
simpati para masyarakat kecil.
Ketenaran dan polpularitas sangat mempengaruhi besar kecilnya suara yang akan
diperoleh. Hal ini disebabkan oleh sistem pemilihan umum yang berlangsung di Indonesia
yang lebih mementingkan popularitas dibandingkan visi dan misi dari seorang calon
kandidat. Diperparah lagi dengan minimnya peran serta masyarakat dan kurang pahamnya
mereka tentang calon kandidat, kemampuan dan pengalaman dibidang pembangunan
masyarakat menjadi hal yang tidak penting bagi masyarakat umum. Kecenderungan para
selebritis terjun dalam panggung perpolitikan menimbulkan selentingan bahwa para selebritis
hanya ikut-ikutan karena melihat teman sejawatnya yang terjundalam panggung politik
sukses dan menduduki jabatan terpenting.
Melibatkan artis sinetron atau public figuredalam mensosialisasi partai politik tertentu
dinilai sangat efektif. Hal ini merupakan strategi partai politik untuk mengeksistensikan
partai. Dalam sosialisasi politik terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi partai,
yaitu : kapital, popularitas tokoh, mesin partai politik dan marketing politik. Ada yang
berpendapat bahwa perekrutan atris sebagai kader sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh partai
politik. Tetapi pendapat lain bahwa artislah yang memanfaatkan partai politik untuk
menjadikan sumber pendapatan baru bagi para selebritis.
Ada sebuah artikel yang berjudul "Celebrity Politicians: Popular Culture and Political
Representation" yang ditulis oleh John Street. Pada dasarnya menjadi hak selebritis untuk
mengandalkan penampilan fisik dan kepopulerannya untuk masuk ke dunia politik. Namun
menurut street, selebritis yang memasuki dunia politik belum tentu layak dalam profesi
barunya
sebagai
politisi.
Menurut
street
istilah
“selebritis
politik”
tidak
dapat
digeneralisasikan karena terdapat dua pemahaman tentang hal tersebut. Pemahaman yang
pertama bahwa “selebritis politik” yang sepenuhnya menggunakan sisi keartisannya, dan
pemahaman yang kedua bahwa “selebritis politik” yang sepenuhnya meninggalkan sisi
keartisannya dalam arti ia sepenuhnya menekuni aktivitas sebagai aktivis politik yang
menyuarakan perdamaian dan kritis dalam menilai kebijakan.
Partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana pengrekrutan politik. Dalam
fenomena ini partai politik memanfaatkan fungsinya sebagai tempat pengrekrutan para
selebritis yang ingin menggunakan haknya untuk ikut serta dalam dunia perpolitikan.
Mekanisme yang terjadi dalam hal ini adalah partai politik mencari dan mengajak orang yang
dinilai berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Maka akan
memperluas partisipasi politik. Partai politik menarik dari golongan selebritis dan golongan
muda untuk dididik menjadi kader untuk masa yang akan datang serta menjaga eksistensi
partai politik tertentu.
Pro dan kontra dalam keterlibatan selebritis dalam panggung perpolitikan di dalam
masyatakat akan terus berlangsung jika budaya popular yang kita anut telah terlepas dari diri
kita. Bahwa pada dasarnyamereka bisa memperoleh pengaruh karena kekayaan, popularitas,
daya tarik, pengetahuan, keyakinan atau karena kualitas tertentu yang dikagumi oleh orangorang lain[3]. Jadi kekuasaan seseorang dalam hal ini selebritis lebih berpeluang dalam
memperoleh tahta kekuasaan yang lebih besar karena mereka memiliki popularitas serta
didukung oelh budaya masyarakat kita yang menganut budaya pop.
Ketenaran seorang selebritis memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan
karier dalam dunia perpolitikan khususnya di Indonesia. Bagaimana interaksinya dengan para
awak media infotaiment memberikan kontribusi pandanganbagi masyrakat tentang
kepribadian seleberitis yang bersangkutan.Menurut pandangan Denzin, kultur dalam makna
dan bentuk interaksionalnya, menjadi ajang perjuangan politik.[4] Pencitraan yang dilakukan
oleh selebritis dalam membangun citra yang baik merupakan bagian dari bentuk politiknya
yang tidak selalu berbentuk utuh politik parlementer.
Budaya perpolitikan di Indonesia mempunyai ciri perpolitikan yang sama dengan
negara berkembang lainnya. Dimana menilai seseorang tentang bagaimana dapat memiliki
kekuasaaan didasarkan pada faktor-faktor berikut: kekayaan, memiliki kapasitas intelektual,
integritas moral, kharisma, keterunan dan proses politik & sosial. Pada dasarnya seseorang
berpolitik untuk mengatur dengan mengkolektifkan kepentingan bersama agar mencapai
kehidupan yang lebih baik. Perpolitikan disuatu negara menyangkut pada kekuasaan.
Kekuasaan menurut Weber merupakan kemungkinan seseorang untuk memaksakan orang
lain untuk berperilaku sesuai kehendaknya.[5]Kemungkinan orang memiliki kekuasaan di
Indonesia lebih banyak berdasarkan faktor kekayaan. Maka ada istilah “siapa yang kuat
dialah yang dapat”. Realitas perpolitikan di Indonesia mempunyai banyak kepentingan dan
terkesan berebut tahta kekuasaaan.
Sistem budaya perpolitikan di Indonesia menganut sistem multipartai. Hal ini
disebabkan oleh keanekaragaman masyarakat di Indonesia mulai dari ras, agama, suku
bangsa. Dalam politik multi-partai golongan-golongan masyarakat cenderung menyalurkan
ikatan-ikatan terbatas dalam satu wadah. Maka tidak heran dalam sistem politik multi-partai
sering kali partai yang tidak cukup kuat bertemu untuk membentuk koalisi dengan partaipartai lain.
Partai politik merupakan bagian dari perilaku kolektif yang bersama-sama yang
mempunya tujuan yang sama. Menurut James S. Calomen, baik aktor kolektif maupun aktor
individual mempunyai tujuan.[6]Komitmen dalam partai politik bahwa mementingkan
kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Sebuah pandangan hidup yang dinantinantikan oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Pada saat musim kampanye berlangsung
para calon pemimpin dari masing-masing politik menggambar-gemborkan jargon “kami akan
mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi kami”. Kalimat yang
menggelitik bagi masyarakat yang mendengarnya. Bagi calon pemimpin dari partai tersebut
hal ini merupakan usaha untuk meyakinkan rakyat akan keseriusannya dalam merubah
tatanan yang sudah ada.
Penutup
Peran selebritis dalam jagad perpolitikan di dunia sebenarnya sudah ada sejak dahulu
tetapi budaya selebritis Indonesia masuk ranah perpolitikan terhitung baru. Seletah beberapa
selebritis yang menggunakan hak warga negaranya terjun dalam politik dan berhasil
menduduki kursi sebagai kepala daerah dan anggota legislatif memberikan daya tarik
tersendiri bagi kalangan selebritis lain. maka ada selentingan bahwa para selebritis hanya
ikut-ikutan saja dan hanya mencoba peruntungan di dunia politik. Budaya pop yang susah
menjelma dalam diri masyarakat Indonesia telah memberikan pengaruh yang luar biasa
dalam perkembangan politik di Indonesia sendiri. Popularitas seorang artis mengalahkan
segala kharisma tokoh lain yang pada dasarnya telah lama berkecimpung di dunia politik.
Pro dan kontra terus bergulir tentang keterlibatan selebritis dalam ranah perpolitikan.
Para politisi..., bukan salah satu figur yang menentukan dalam pembentukan berbagai arus
dalam perjuangan politik mencapai kekuasaan. Jenis alat bantu yang mereka punyai juga
sangat menentukan.[7]Keeksistensian dalam ranah perpolitikan selebritis merupakan modal
awal bagi dirinya mengembangkan keterampilannya dibidang politik.
Kemunculan selebritis politik merupakan perwujudan nyata dari rasa ketidakpuasan
masyarakat terhadap kinerja pemimpin. Hal ini dimanfaatkan oleh partai politik untuk
mempersunting selebritis sebagai calon legislatif atau calon kepala daerah tertentu. Tentu saja
hal ini menguntungkan baik keuntungan kekuasaan maupun finansial.
DAFTAR PUSTAKA
Rafel Raga Maran. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. 2007.
Joseph Losco & Leonard Williams, terj. Haris Munandar.Politikal Theory Kajian
Klasik
dan
Kontemporer
Machiavelli-Rawls. volume:
II. Jakarta:
PT
RAJAGRAFINDO PERSADA. 2005. Hlm. 709
George Ritzer-Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Edisi Ke-6. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2008.
Prof.
Aleksius
Jemadu,
Ph.D. Perpolitikan
Global
dalam
Teori
dan
Praktik. Jogyakarta. 2008
Max Weber, terj. Noorkholish dkk. Max Weber Sosiologi.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2009.
POLITIK INDONESIA
Pengantar
Tulisan ini akan membahas tentang fenomena artis yang terjun ke dalam dunia
perpolitikan Indonesia dengan ditinjau dari sudut pandang sosiologi kebudayaan. Belakangan
ini dunia perpolitikan di Indonesia di warnai oleh munculnya politisi-politisi muda dari dunia
keartisan. Entah tujuan para artis untuk terjun di dunia politik dengan di tunjang kapasitas
atau mengandalkan popularitas semata. Panggung perpolitikan di dominasi oleh para
selebritis khususnya bangku legislatif. Akan tetapi tidak hanya disitu saja, selebritis politik
pun menjajal untuk menjadi kepala daerah tertentu.
Masalah utama dalam pembahasan ini adalah fenomena artis yang terjun kedalam
ranah perpolitikan. Tentu saja hal ini menarik untuk dibahas karena menimbulkan pro dan
kontra dikalangan masyarakat. Dunia keartisan dan dunia politik memang jauh berbeda.
Maka, masyarakat khawatir jika para artis menjadi politisi akan berdampak pada skala
nasional pemerintahan. Dengan latar belakang keartisan tanpa ada latar belakang
perpolitikan, hal ini menjadi penilaian tersendiri bagi masyarakat tentang pantas atau
tidaknya seseorang memimpin. Selain ada yang bertentangan adapula yang setuju-setuju saja.
Menurut pihak yang pro dengan hadirnya politisi dari kalangan artis bahwa setiap warga
negara mempunyai kemerdekaan dalam berserikat dan berkumpul. Hal tersebut menjadi
bagian dari hak asasi bagi setiap individu. Jadi sah-sah saja bagi siapa saja yang terjun
langsung dalam ranah perpolitikan Indonesia.
Kemerdekaan hak perorangan dalam mencalonkan diri untuk pembangunan
masyarakat telah tercantum dalam UUD'45 Pasal 28 yang menyebutkan "Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang", kemudian pada Pasal 28C disebutkan pula (1) Setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2)
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.Hal ini menunjukkan bahwa
hukum di Indonesia menjunjung tinggi hak warga negaranya dalam berpolitik.
Sistematika penulisan yang akan disampaikan dalam pembahasan ini, penulis
membagi menjadi tiga kerangka bagian. Yang pertama membahas tentang fenomena
selebritis politik. Yang kedua tentang bagaimana sistem budaya politik di Indonesia.
Yangketiga tentang selebritis politik sebagai refleksi sistem budaya politik di Indonesia. Yang
terakhir bagiankeempat penutup keseluruhan ringkasan pembahasan dijelaskan dalam bagian
ini. Untuk memperkuat dan memperjelas tulisan, penulis memberikan penguatan dalam
bentuk kajian pustaka.
Selebritis Politik dan Dunia Sosialnya
Fenomena selebritis politik sebenarnya telah terjadi di setiap negara. Peran pekerja
seni memberikan warna yang lain dalam perpolitikan. Panggung perpolitikan semakin ramai
dan seolah-olah tak terbendung lagi. Misalnya, pada tahun pemilihan umum 2009 dari Partai
Amanat Nasional merupakan partai terbanyak yang menjadi incaran para selebritis untuk
membuka jalannya untuk berkecimpung di dunia politik. Contohnya, Eko Patrio dari
dapil Jawa Timur,Derry Drajat dapil Jawa Barat, Ikang Fauzi dapil Banten serta banyak lain
artis yang mencalonkan diri di daerah pemilihan lainnya. Maka, ada selentingan jika
singkatan dari PAN merupakan Partai Artis Nasional. Seolah-olah tidak mau kalah Partai
Bintang Reformasi (PBR) meminta Dewi Yull sebagai caleg. Dari Partai Damai Sejahtera
(PDS) tersebut nama Maya Rumantir,Bella Saphira, dan Tessa Kaunang sebagai caleg. Barubaru ini publik dikagetkan dengan pencalonan artis Julia Perez dan Ayu Azhari dalam bursa
calon kepala daerah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa keikutsertaan selebritis dalam perpolitikan
merupakan bentuk partisipasi politik dalam bentuk aktif karena para selebritis tersebut
menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam organisasi politik. Dari segi dukungan, selebritis
mengeruk sukungan terbanyak karena popularitas yang mereka miliki serta untuk eksistensi
partai politik yang menanungi mereka. Seperti yang telah diketahui bersama dalam
sosioalisasi politik terdapat faktor eksistensi politik salah satunya popularitas tokoh partai.
Hal inilah yang teraplikasi dalam wajah perpolitikan di Indonesia.
Keterpilihan dan keterbanyakan suara para selebritis dalam panggung perpolitikan
memang tidak bisa dielakkan. Kebanyakan dari pemilihan umum yang telah diselenggarakan
suara kaum penghijrah (selebritis politik ) ini mendapatkan suara tertinggi dibandingkan
tokoh-tokoh politik lain yang cenderung sudah lama dalam halpanggung perpolitikan. Politik
praktis ini tentu saja menghasilkan interpretasi tertentu bahwa menggunakan artis sebagai
calon legislatif atau calon kepala daerah lebih efektif. Hal tersebut menguntungkan kedua
belah pihak antara partai politik dan para selebritis. Keuntungan yang didapatkan partai
politik maka eksistensinya dibidang politik makin terlihat. Keuntungan bagi selebritis politik
maka ia akan mendapatkan jabatan sebagai pemimpin.
Frank Lindenfeld menemukan bahwa faktor utama yang mendorong orang untuk
berpartisipasi dalam kehidupan politik adalah kepuasan finansial. Maka, dalam kehidupan
berpolitik kemapanan ekonomi sangat perlu karena dengan adanya kemapanan ekonomi, jika
tidak orang tersebut akan merasa apatis.[1] Pada umumnya orang-orang yang berada di
gedung parlemen termasuk para selebritis berasal dari kalangan atas ang mampu membiayai
segala keperluan dalam perpolitikannya, meliputi dana kampanye.
Pandangan masyarakat mengenai kehidupan dan hibar-bingar dunia para artis
sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap mereka. Persepsi ini yang membuat
masyarakat merasa kontra ketika ada selebritis yang mencalonkan diri sebagai pemimpin
daerah atau sebagai calon legislatif. Latar belakang dunia keartisan memang jauh dari dunia
perpolitikan. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat karena jika
selebritis tersebut terpilih memimpin daerah maka kinerjanya tidak sesuai dengan orang yang
mempunyai latar belakang ilmu kenegaraan. Bahkan disisi lain ada politisi dari kalangan
selebritis yang berhasil sebagai pemimpin daerah dan kinerjanya sebagai anggota legislatif.
Kejujuran, kekritisan, rasa bertanggung jawab dan mementingkan tujuan bersama atas nama
rakyat, sadar akan amanat dari rakyat yang memilihnya menjadi salah satu kunci
kesuksesannya.
Dalam hal ini, keterlibatan selebritis dalam kancah perpolitikan tentu saja tidak
menyalahi aturan karena hak asasi manusia telah tercantum dalam Undang-Undang dasar
1945 dan tersebar dalam beberapa pasal terutama pasal 27-31. Maka hak asasi manusia
meliputi hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, hak atas kebebasan berkumpul,
hak atas kebebasab beragagama, hak atas penghidupan yang layak, hak atas kebebasan
berserikat, hak atas pengajaran.
Selebritis Politik dalam Realitas Sistem Budaya Politik Indonesia
Realitas budaya politik di Indonesia ini tentang fenomena selebritis politik dan
politisasi selebritis belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Banyaknya para selebritis
ikut andil dalam bursa pencalonan diri sebagai kepala daerah dan calon legislatif. Latar
belakang profesi para artis yang menjabat sebagai kepala daerah atau anggota DPR
bermacam-macam, mulai dari ragam profesi sebagai artis sinetron, bintang iklan dan
pelawak. Hal ini menjadi fenomena karena kesuksesan menjadi anggota DPR atau kepala
daerah tertentu sangat menggiurkan. Keternaran dan kewibawaan sebagai pemimpin
mempunyai nilai tersendiri dikalangan artis. Hal ini menjadi perhatian banyak orang, padahal
di negara luar hal ini menjadi lumrah seorang artis mencalonkan dirinya sebagai politisi.
Fenomena ini terjadi karena di Indonesia telah merasuk budaya pop (pop culture) dan politik
praktis.
Keterlibatan para selebritis berkecimpung di dunia politik tentu saja menimbulkan pro
dan kontra. Fenomena ini menjadi perdebatan dari dahulu hingga sekarang. Bagi masyarakat
yang pro atau membela tentu saja memandang hal ini sebagai hak asasi manusia dan sifatnya
sah-sah saja para artis untuk mencalonkan dirinya keranah perpolitikan dan mencalonkan diri
sebagai kepala daerah dan duduk dalam parlementer. Berbeda halnya bagi kalangan yang
kontra atau kelompok yang menentang tentu saja menolak karena menganggap bahwa para
selebritis cenderung mengandalkan penampilan fisik dibandingkan wawasan dan keahlian
dalam kemampuan berpolitik.
Pandangan tentang keterlibatan selebritis dalam kancah perpolitikan merupakan suatu
kebebasan yang menjadi bagian haknya sebagai warga negara. John Stuart Mill,
mengemukakan
bahwa suatu konsepsi
kebebasan
menyertakan
gagasan-gagasan
pengembangan diri dan peningkatan kemampuan diri.[2] Maka keterlibatan seorang selebritis
dalam bursa pencalonan menjadi pemimpin daerah merupakan suatu peningkatan eksistensi
diri dan proses pengembangan diri dalam peningkatan kualitas hidupnya. Pandangan miring
yang hinggap di atas nama pencalonan seorang selebritis merupakan suatu bumbu politik.
Istilah Celebrity politic atau yang lebih kita kenal sebagai selebritis politik
telah menjadi bagian dalam dunia perpolitikan di dunia khususnya di Indonesia. Dari tahun
ketahun dunia pemilihan umum diramaikan oleh wajah-wajah populer artis. Bagi kalangan
para artis sosialisasi menjadi hal yang tidak terlalu berat. Dengan modal popularitas yang
mereka miliki sosialisasi dalam era pemilihan ketua daerah atau pemilihan untuk wakil
legislatif. Cara kampanye yang digunakan para politisi di Indonesia adalah dengan berbasis
media, baik media televisi, internet dan spanduk. Hal ini sudah mempengaruhi budaya
kampanye di Indonesia. Kampanye dengan melalui media internet dilakukan dengan bantuan
jejaring sosial seperti friendster, facebook, dan bloger dinilai lebih efektif bagi pemilih muda.
Sistem pemilihan langsung menuntut para calon pemimpin ini ekstra kerja keras
dalam mensosialisasikan dan mempromisikan dirinya dengan tujuan agar terpilih nantinya.
Para politisi berlomba-lomba membuat iklan untuk ditayangkan di televisi dengan
menggambarkan diri mereka sebagai orang yang peduli akan sesamanya. Misalnya
politisi Rizal Malarangeng yang berusaha mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang peduli
dengan kaum-kaum yang termarjinalkan. Petani, nelayan dan penduduk papua dalam iklan
tersebut
digambarkan
dengan
akrabnya,
bergaul
dan
berbaur
dengan
Rizal
Malarangeng.Seluruh para elit politik pada saat musim kampanye banyak yang mendekatkan
diri dengan rakyat, berusaha merasakan kehidupan masyarakat kecil, mencoba menarik
simpati para masyarakat kecil.
Ketenaran dan polpularitas sangat mempengaruhi besar kecilnya suara yang akan
diperoleh. Hal ini disebabkan oleh sistem pemilihan umum yang berlangsung di Indonesia
yang lebih mementingkan popularitas dibandingkan visi dan misi dari seorang calon
kandidat. Diperparah lagi dengan minimnya peran serta masyarakat dan kurang pahamnya
mereka tentang calon kandidat, kemampuan dan pengalaman dibidang pembangunan
masyarakat menjadi hal yang tidak penting bagi masyarakat umum. Kecenderungan para
selebritis terjun dalam panggung perpolitikan menimbulkan selentingan bahwa para selebritis
hanya ikut-ikutan karena melihat teman sejawatnya yang terjundalam panggung politik
sukses dan menduduki jabatan terpenting.
Melibatkan artis sinetron atau public figuredalam mensosialisasi partai politik tertentu
dinilai sangat efektif. Hal ini merupakan strategi partai politik untuk mengeksistensikan
partai. Dalam sosialisasi politik terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi partai,
yaitu : kapital, popularitas tokoh, mesin partai politik dan marketing politik. Ada yang
berpendapat bahwa perekrutan atris sebagai kader sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh partai
politik. Tetapi pendapat lain bahwa artislah yang memanfaatkan partai politik untuk
menjadikan sumber pendapatan baru bagi para selebritis.
Ada sebuah artikel yang berjudul "Celebrity Politicians: Popular Culture and Political
Representation" yang ditulis oleh John Street. Pada dasarnya menjadi hak selebritis untuk
mengandalkan penampilan fisik dan kepopulerannya untuk masuk ke dunia politik. Namun
menurut street, selebritis yang memasuki dunia politik belum tentu layak dalam profesi
barunya
sebagai
politisi.
Menurut
street
istilah
“selebritis
politik”
tidak
dapat
digeneralisasikan karena terdapat dua pemahaman tentang hal tersebut. Pemahaman yang
pertama bahwa “selebritis politik” yang sepenuhnya menggunakan sisi keartisannya, dan
pemahaman yang kedua bahwa “selebritis politik” yang sepenuhnya meninggalkan sisi
keartisannya dalam arti ia sepenuhnya menekuni aktivitas sebagai aktivis politik yang
menyuarakan perdamaian dan kritis dalam menilai kebijakan.
Partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana pengrekrutan politik. Dalam
fenomena ini partai politik memanfaatkan fungsinya sebagai tempat pengrekrutan para
selebritis yang ingin menggunakan haknya untuk ikut serta dalam dunia perpolitikan.
Mekanisme yang terjadi dalam hal ini adalah partai politik mencari dan mengajak orang yang
dinilai berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Maka akan
memperluas partisipasi politik. Partai politik menarik dari golongan selebritis dan golongan
muda untuk dididik menjadi kader untuk masa yang akan datang serta menjaga eksistensi
partai politik tertentu.
Pro dan kontra dalam keterlibatan selebritis dalam panggung perpolitikan di dalam
masyatakat akan terus berlangsung jika budaya popular yang kita anut telah terlepas dari diri
kita. Bahwa pada dasarnyamereka bisa memperoleh pengaruh karena kekayaan, popularitas,
daya tarik, pengetahuan, keyakinan atau karena kualitas tertentu yang dikagumi oleh orangorang lain[3]. Jadi kekuasaan seseorang dalam hal ini selebritis lebih berpeluang dalam
memperoleh tahta kekuasaan yang lebih besar karena mereka memiliki popularitas serta
didukung oelh budaya masyarakat kita yang menganut budaya pop.
Ketenaran seorang selebritis memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan
karier dalam dunia perpolitikan khususnya di Indonesia. Bagaimana interaksinya dengan para
awak media infotaiment memberikan kontribusi pandanganbagi masyrakat tentang
kepribadian seleberitis yang bersangkutan.Menurut pandangan Denzin, kultur dalam makna
dan bentuk interaksionalnya, menjadi ajang perjuangan politik.[4] Pencitraan yang dilakukan
oleh selebritis dalam membangun citra yang baik merupakan bagian dari bentuk politiknya
yang tidak selalu berbentuk utuh politik parlementer.
Budaya perpolitikan di Indonesia mempunyai ciri perpolitikan yang sama dengan
negara berkembang lainnya. Dimana menilai seseorang tentang bagaimana dapat memiliki
kekuasaaan didasarkan pada faktor-faktor berikut: kekayaan, memiliki kapasitas intelektual,
integritas moral, kharisma, keterunan dan proses politik & sosial. Pada dasarnya seseorang
berpolitik untuk mengatur dengan mengkolektifkan kepentingan bersama agar mencapai
kehidupan yang lebih baik. Perpolitikan disuatu negara menyangkut pada kekuasaan.
Kekuasaan menurut Weber merupakan kemungkinan seseorang untuk memaksakan orang
lain untuk berperilaku sesuai kehendaknya.[5]Kemungkinan orang memiliki kekuasaan di
Indonesia lebih banyak berdasarkan faktor kekayaan. Maka ada istilah “siapa yang kuat
dialah yang dapat”. Realitas perpolitikan di Indonesia mempunyai banyak kepentingan dan
terkesan berebut tahta kekuasaaan.
Sistem budaya perpolitikan di Indonesia menganut sistem multipartai. Hal ini
disebabkan oleh keanekaragaman masyarakat di Indonesia mulai dari ras, agama, suku
bangsa. Dalam politik multi-partai golongan-golongan masyarakat cenderung menyalurkan
ikatan-ikatan terbatas dalam satu wadah. Maka tidak heran dalam sistem politik multi-partai
sering kali partai yang tidak cukup kuat bertemu untuk membentuk koalisi dengan partaipartai lain.
Partai politik merupakan bagian dari perilaku kolektif yang bersama-sama yang
mempunya tujuan yang sama. Menurut James S. Calomen, baik aktor kolektif maupun aktor
individual mempunyai tujuan.[6]Komitmen dalam partai politik bahwa mementingkan
kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Sebuah pandangan hidup yang dinantinantikan oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Pada saat musim kampanye berlangsung
para calon pemimpin dari masing-masing politik menggambar-gemborkan jargon “kami akan
mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi kami”. Kalimat yang
menggelitik bagi masyarakat yang mendengarnya. Bagi calon pemimpin dari partai tersebut
hal ini merupakan usaha untuk meyakinkan rakyat akan keseriusannya dalam merubah
tatanan yang sudah ada.
Penutup
Peran selebritis dalam jagad perpolitikan di dunia sebenarnya sudah ada sejak dahulu
tetapi budaya selebritis Indonesia masuk ranah perpolitikan terhitung baru. Seletah beberapa
selebritis yang menggunakan hak warga negaranya terjun dalam politik dan berhasil
menduduki kursi sebagai kepala daerah dan anggota legislatif memberikan daya tarik
tersendiri bagi kalangan selebritis lain. maka ada selentingan bahwa para selebritis hanya
ikut-ikutan saja dan hanya mencoba peruntungan di dunia politik. Budaya pop yang susah
menjelma dalam diri masyarakat Indonesia telah memberikan pengaruh yang luar biasa
dalam perkembangan politik di Indonesia sendiri. Popularitas seorang artis mengalahkan
segala kharisma tokoh lain yang pada dasarnya telah lama berkecimpung di dunia politik.
Pro dan kontra terus bergulir tentang keterlibatan selebritis dalam ranah perpolitikan.
Para politisi..., bukan salah satu figur yang menentukan dalam pembentukan berbagai arus
dalam perjuangan politik mencapai kekuasaan. Jenis alat bantu yang mereka punyai juga
sangat menentukan.[7]Keeksistensian dalam ranah perpolitikan selebritis merupakan modal
awal bagi dirinya mengembangkan keterampilannya dibidang politik.
Kemunculan selebritis politik merupakan perwujudan nyata dari rasa ketidakpuasan
masyarakat terhadap kinerja pemimpin. Hal ini dimanfaatkan oleh partai politik untuk
mempersunting selebritis sebagai calon legislatif atau calon kepala daerah tertentu. Tentu saja
hal ini menguntungkan baik keuntungan kekuasaan maupun finansial.
DAFTAR PUSTAKA
Rafel Raga Maran. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. 2007.
Joseph Losco & Leonard Williams, terj. Haris Munandar.Politikal Theory Kajian
Klasik
dan
Kontemporer
Machiavelli-Rawls. volume:
II. Jakarta:
PT
RAJAGRAFINDO PERSADA. 2005. Hlm. 709
George Ritzer-Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Edisi Ke-6. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2008.
Prof.
Aleksius
Jemadu,
Ph.D. Perpolitikan
Global
dalam
Teori
dan
Praktik. Jogyakarta. 2008
Max Weber, terj. Noorkholish dkk. Max Weber Sosiologi.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2009.