Sastra Dan Budaya populer dalam

Mencerna Sastra Dan Budaya
(Muthola’ah Makna Sastra dan Budaya Dalam Kehidupan)
Oleh: Irpan Ilmi (Al Abu Ilmi)
Kata sastra berasal dari bahasa sansekerta ‘sas’ dan ‘tra. ‘Sas’ berarti
mengajar, mengarahkan, dan memberi petunjuk. Adapun ‘tra’ berarti sarana atau
alat. Jika kita tarik kesimpulan, maka sastra berarti alat untuk memberikan
petunjuk, mengajar, dan mengarahkan pada hal-hal yang baik.
Mengolah kata dan tulisan merupakan objek dalam sastra. Didukung oleh
kreativitas dan imajinasi, manusia akan mampu menghasilkan sebuah karya sastra.
Bahkan dengan daya kreativitas dan imajinasinya yang luar biasa tersebut,
manusia mampu mengolah sebatang pohon menjadi ribuan bahkan milyaran
kertas, pensil, bahan bangunan, dan lain sebagainya.
Sastra yang berfungsi sebagai sarana untuk menunjukkan ide dan pemikiran,
mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Kenapa? Karena hampir
seluruh aktivitas manusia tidak lepas dari penggunaan bahasa, baik bahasa tulisan
maupun bahasa lisan. Interaksi antar individu dengan individu yang lain pun
menggunakan bahasa, khususnya bahasa lisan. Bahasa lisan adalah tahap awal
dalam pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan, seperti dongeng dan
nasihat-nasihat yang terkumpul dalam cerita-cerita rakyat. Kemudian dongeng dan
nasihat itu diwariskan secara turun temurun dari mulut ke mulut sang kakek
hingga kelak suatu hari cerita itu akan hilang menjadi sejarah yang tak terbukukan.

Oleh karena itu, lahirlah sastra tulis sebagai saksi sejarah bahwa peradaban kala itu
pernah ada, dan estapeta sejarah dari suatu kejadian akan terus menjadi cerita
yang manis pada kurun berikutnya tanpa kehilangan subtansi yang pernah ada.
Apa yang terjadi dalam sebuah tulisan adalah manifestasi sepenuhnya dari
sesuatu yang berada dalam keadaan virtual, sesuatu yang baru muncul dan
bermula dalam pembicaraan yang hidup, yakni pemilihan makna dan peristiwa
(Ricoeur, terj, Masnur Hery, 2012: 62). Tetapi pemilihan ini tidaklah kemudian
menghilangkan struktur fundamental. Otonomi semantik teks yang muncul masih

tetap di bawah aturan dialektika peristiwa dan makna. Lebih dari itu, dialektika
dibuat semakin jelas dalam tulisan.
Ir. Soekarno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang
mengetahui sejarah bangsanya.” Maksudnya, estapeta sejarah takkan sampai pada
generasi selanjutnya tanpa sebuah perantara. Disinilah peran sebuah tulisan dalam
menyampaikan sejarah jika diukur dari kapasitas otak manusia untuk mengingat
suatu kejadian. Meskipun disadari, satu kejadian itu akan terhapus ketika ada
kejadian lain menurut persepsi yang berbeda. Semakin tua manusia, semakin
lemah daya ingatnya untuk mengingat suatu kejadian, dan pada akhirnya sejarah
itu hilang bersama hilangnya sejarawan yang terlibat dalam kejadian tersebut.
Al-Quran telah menuliskan sejarah peradaban manusia semenjak manusia

pertama kali menginjakan kakinya di bumi ini. Hal ini merupakan bukti nyata kalau
sastra tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, untuk menghidupkan
manusia itu sendiri dengan cara menceritakannya lewat tutur kata sebuah tulisan.
Sastra berfungsi untuk melegitimasi berbagai aspek kultural yang
dihasilkan melalui interaksi sesama manusia, manusia dengan Tuhan, hingga
manusia dengan alam. Tanpa bahasa kehidupan ini tidak ada. Sehingga pada
akhirnya kita mengenal bahasa yang berbeda karena kultur yang berbeda, atau
kultur yang berbeda karena bahasa yang berbeda. Bahasa manusia pada Tuhannya
dikenal dengan istilah doa, manusia denga manusia dikenal dengan bahasa ajakan,
manusia dengan alam dikenal dengan bahasa renungan. Suatu daerah yang
kulturnya petani, bahasanya akan berbeda dengan bahasa yang kulturnya
pengusaha, begitupun orang yang terlibat dalam post tradisional dengan orang
yang asumsinya lebih pada post modern, tentunya obejktifitas dari penggunanaan
bahasa dan sastranya jelas berbeda.
Culture atau kebudayaan (Koentjaraningrat (1974: 80 ) berasal dari kata
bhudayah (sansekerta) yang berarti budi atau akal. Sedangkan dalam bahasa
inggris, culture diturunkan dari akar kata colere yang berarti mengolah atau
mengerjakan. Culture juga bisa ditelusuri dari akar kata yang lain, yaitu cult berarti
memuja. Istilah lain yang sangat dekat adalah peradaban atau adab (arab) yang
artinya sopan santun atau halus. Prof. Dr. Kutha Ratna, S. U berpendapat, Secara

umum peradaban adalah puncak-puncak kebudayaan, seperti karya seni dan ilmu

pengetahuan yang keseluruhan digunakan untuk tujuan-tujuan positif. Disini kita
akan menemukan titik temu dari kebudayaan dan sastra, yaitu bentuk pararel
dalam menciptakan serta mengarahkan suatu peradaban pada tingkat yang lebih
baik dengan akal dan budi pekerti yang luhur. Berdasarkan penjelasan di atas
kebudayaan dan sastra berkaitan melalui beberapa ciri:
1. Karya sastra adalah puncak-puncak kebudayaan manusia, sebagai
peradaban.
2. Sebagai karya seni, baik lisan maupun tulisan, karya sastra adalah hasil
kreativitas kebudayaan dengan kualitas imajinatif.
3. Dikaitkan dengan aspek jasmaniah dan rohaniah, karya sastra berfungsi
untuk memberikan kepuasan terhadap aspek-aspek rohaniah.
4. Cara-cara yang dilakukan oleh karya sastra secara keseluruhan bersifat tak
langsung.
5. Tujuan karya sastra dan karya seni pada umumnya bersifat positif.
Dari Sabang sampai Merauke, bangsa Indonesia membentangkan berjuta
budaya dan bahasa. Ini bukan lagi hitungan jari yang kadang tersengkal karena
keterbatasannya, atau sebatas kabar burung yang kadang kabur terbawa angin.
Melainkan bukti sebuah ungkapan yang bersumber dari bahasa yang tak kenal

batasan tempat, ruang, dan waktu. Adakalanya untuk memahami kebudayaan
suatu masyarakat perlu memahami karya sastranya. Intinya karya sastra adalah
cerminan masyarakat tertentu. Jika kita ingin memahami kebudayaannya kita perlu
memahami sastranya, atau sebaliknya jika kita ingin memahami sastranya kita
perlu memahami kebudayannya. Dibawah ini kita akan menganalisis sastra dan
kebudayaan di pulau Jawa bersama-sama.
“Cing cangkeling, manuk cingkleung cinetren, blos ka kolong bapak satar
buleundeng.”
Syair bahasa sunda ini, menggambarkan kehidupan manusia yang tak kekal di
dunia ini. Ia akan berpulang ke alam kubur tanpa membawa apa-apa kecuali
sehelai kain kafan dan raga tanpa nyawa, dan hanya amal perbuatan baik yang
menyelamatkannya.

“lir-ilir, lir ilir// tandure wis sumilir// tak ijo royo-royo tak sungguh
temanten anyar// cah angon-cah angon penakno blimbing kuwi// lunyulunyu penakno kanggo mbasuh dodotiro// dodotiro-dodotiro kumitir bedhah
ing pinggir// dondomono jlumotono kanggo sebo mengko sore// mumpung
padhang rembulane mumpung kembar kalangane// yo surako… surak hiyo.”
Lagu Sunan Kalijaga ini berisi nasihat. Makna ‘hijau’ adalah Islam. Pembawanya,
bukan jendral atau panglima, melainkan “cah angon’ alias anak gembala, seseorang
yang memperhatikan gembalanya dengan seksama. Cah angon itu harus naik ke

atas pohon belimbing--buah berbentuk seperti bintang—yang melambangkan
Rukun Islam yang harus dilakukan meski licin dan banyak rintangan. Seperti
apapun cobaan yang dilewati tatkala hidup ini, haruslah tetap berpegang teguh
pada agama islam, sebagai pedoman diri sendiri, dan sebagai petunjuk untuk
diajarkan, dan mengarahkan bagi umat manusia yang lainnya. (Sudarsono, 2010:
xi-xii).
Jika kita analisis syair-syair diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
kebudayaan Islam di pulau Jawa sangatlah kental. Ditandai dengan banyaknya
artifact, socifact dan menifact seperti pendidikan pesantren yang mengajarkan ilmu
keislaman, masjid tempat peribadatan, dan wali songo di pulau Jawa yang
melahirkan adat ketimuran yaitu rempuh timpuh (ramah tamah) pada sesama,
hirup sa uyunan sa ayunan (hidup bersamaan saling bersanding), dan lain
sebagainya. Simpulnya dominasi sastra telah ada mulai jaman dahulu sampai
sekarang.
__________________________________________________________________________________________

*Tulisan ini telah di terbitkan di Buletin SastraNuun Komunitas Nuun Sastra IAIN
Sunan Ampel Surabaya.