Laporan Praktikum Kemasan Lanjut PENGU

Laporan Praktikum Kemasan Lanjut
PENGUJIAN MIGRASI BERBAGAI KEMASAN PLASTIK

Oleh:
NUR ARIFIYA
FERU
ROZANA

F152120041
F152120051
F152120061

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemasan makanan bukan sekedar bungkus tetapi juga sebagai pelindung agar
makanan aman dikonsumsi. Kemasan pada makanan juga mempunyai fungsi kesehatan,

pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi dan informasi. Namun tidak semua
kemasan makanan aman bagi makanan yang dikemasnya. Kemasan yang paling sering
kita jumpai saat ini adalah plastik dan Styrofoam.
Bahan kemasan plastik yang memiliki daya kemas bagus sehingga daya simpan
produk menjadi lebih lama sangat dibutuhkan di dunia industri makanan. Bahan kemasan
plastik dibuat melalui proses polimerisasi. Selain bahan dasar monomer, plastik juga
mengandung bahan aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat fisiko kimia plastik
tersebut, dan disebut komponen non plastik. Selain plastik, styrofoam atau yang dikenal
dengan plastik busa juga sedang marak digunakan untuk pembungkus makanan terutama
untuk makanan cepat saji. Keunggulan plastik dan styrofoam yang praktis dan tahan lama
rupanya merupakan daya tarik yang cukup kuat bagi para penjual maupun konsumen
makanan untuk menggunakannya (Mohammad Sulchan dan Endang Nur W 2007).
Beberapa aditif yang terdapat pada plastik dan styrofoam diperlukan untuk
memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia plastik itu sendiri. Bahan aditif yang sengaja
ditambahkan itu dikelompokkan sebagai komponen nonplastik, berfungsi sebagai
pewarna, antioksidan, penyerap cahaya ultraviolet, penstabil panas, penurun viskositas,
penyerap asam, pengurai peroksida, pelumas, peliat dan lain-lain (Mohammad Sulchan
dan Endang Nur W 2007).
Selain mempunyai banyak keunggulan, ternyata kemasan plastik menyimpan
kelemahan yaitu kemungkinan terjadinya migrasi atau berpindahnya zat monomer dari

bahan plastik ke dalam makanan, terutama jika makanan tersebut tak cocok dengan
kemasan atau wadah penyimpannya. Dalam terminology pengemasan pangan,
perpindahan bahan kontaminan dari bahan pengemas ke dalam produk disebut migrasi.
Ada dua macam migrasi yaitu migrasi total dan migrasi spesifik. Migrasi total adalah total
massa yang bermigrasi dari kemasan ke dalam makanan atau simulan pangan pada
kondisi tertentu. Sedangkan migrasi spesifik adalah zat teridentifikasi yang bermigrasi dari
kemasan ke dalam makanan atau simulant pangan.
Pada makanan yang dikemas dalam kemasan plastik, adanya migrasi ini tidak
mungkin dapat dicegah 100% (terutama jika plastic yang digunakan tidak cocok dengan
jenis makanannya). Migrasi monomer terjadi karena dipengaruhi oleh suhu makanan atau
penyimpanan dan proses pengolahannya. Semakin tinggi suhu tersebut, semakin banyak
monomer yang dapat bermigrasi ke dalam makanan. Semakin lama kontak antara
makanan tersebut dengan kemasan plastik, jumlah monomer yang bermigrasi dapat makin
tinggi (Mohammad Sulchan dan Endang Nur W 2007).
B. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengukur migrasi total dari berbagai bahan
kemasan plastic ke dalam simulant pangan.

1


LANDASAN TEORI
A. Kemasan Pangan
Kemasan menurut UU No. 7 Tahun 1996 Bab 1 Pasal 1 tentang Pangan, adalah
bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang
bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Saat ini banyak jenis bahan yang
digunakan untuk mengemas makanan, diantaranya adalah berbagai jenis plastik, kertas,
fiberboard, gelas, tinplate, dan alumunium.
Dalam industri pangan, kemasan mempunyai peranan yang sangat penting.
Fungsi kemasan, antara lain: (1) melindungi produk terhadap pengaruh cuaca, sinar
matahari, benturan, kotoran, dan lain-lain, (2) menarik perhatian konsumen, (3)
memudahkan distribusi, penyimpanan, dan pemajangan, (4) tempat penempelan label
yang berisi informasi tentang nama produk, komposisi bahan, isi bersih, nama dan alamat
produsen/importir, nomor pendaftaran, kode produksi, tanggal kadaluarsa, petunjuk
penggunaan, informasi nilai gizi, tanda halal, serta klaim atau pernyataan khusus (López
Cervantes et al, 2003).
Menurut Astawan (2008), kemasan harus dirancang agar memenuhi beberapa
persyaratan penting, yaitu: (1) faktor ergonomi, meliputi kemudahan untuk dibawa, dibuka,
dan dipegang, (2) faktor estetika, meliputi paduan warna, logo, ilustrasi, huruf, dan tata
letak tulisan, (3) faktor identitas agar tampil beda dengan produk lain dan mudah dikenali.
Berdasarkan urutan dan jaraknya dengan produk, kemasan dapat dibedakan

atas kemasan primer, sekunder, dan tersier. Kemasan primer adalah kemasan yang
langsung bersentuhan dengan pangan, sehingga dapat terjadi migrasi komponen bahan
kemasan ke pangan yang berpengaruh terhadap rasa, bau, dan warna. Kemasan
sekunder adalah kemasan lapis kedua setelah kemasan primer, dengan tujuan untuk lebih
memberikan perlindungan kepada produk. Kemasan tersier adalah kemasan lapis ketiga
setelah kemasan sekunder, dengan tujuan untuk memudahkan proses transportasi
sehingga lebih praktis dan efisien. Kemasan tersier dapat berupa kotak karton atau peti
kayu (Astawan, 2008).
Syarat keamanan kemasan pangan, di antaranya (Astawan, 2008):
1. Kemasan tidak bersifat toksik dan beresidu terhadap pangan.
2. Kemasan harus mampu menjaga bentuk, rasa, kehigienisan, dan gizi bahan pangan.
3. Senyawa bahan kimia berbahaya kemasan tidak boleh bermigrasi ke dalam bahan
pangan terkemas.
4. Bentuk, ukuran, dan jenis kemasan memberikan efektivitas.
5. Bahan kemasan tidak mencemari lingkungan hidup.
Menurut Peraturan Kepala Badan POM RI No 00.05.55.6497/2007 tentang
Bahan Kemasan Pangan, jenis bahan kemasan terdiri dari plastic (termasuk varnishes dan
coating), selulosa teregenerasikan (regenerated cellulose), elastomer dan karet, kertas
dan karton, keramik, kaca/gelas, logam dan paduan logam (alloy), kayu/gabus, produk
tekstil, lilin parafin, dan mikrokristal. Masing-masing jenis bahan pengemas ini memiliki

keunggulan untuk jenis pangan tertentu.

2

Di antara berbagai jenis bahan kemasan pangan yang dikenal, plastik
menempati porsi terbesar. Kemudahan dibentuk, fleksibilitas yang tinggi,dan tampilan yang
menarik dengan aneka warna cetakan merupakan sejumlah alasan plastik lebih dominan
dibandingkan bahan kemasan lain dalam beberapa dekade terakhir. Bahan kemasan
plastik berupa polietilen (PE),polipropilen (PP), poliester (PET, PEN, PC), ionomer, etilen
vinil asetat (EVA), poliamida (PA), polivinil klorida (PVC), poliviniliden klorida (PVdC),
polistiren (PS), stiren butadiena (SB), akrilonitril butadiena stirena (ABS), etilen vinil alkohol
(EVOH), polimetil pentena (TPX), polimer tinggi nitril (HNP), fluoropolimer (PCTFE/PTFE),
materi berbasis selulosa, dan polivinil asetat (PVA) (Kirwan and Strawbridge, 2003).
Dalam proses pembuatan plastik, berbagai bahan tambahan sering ditambahkan
ke dalam bahan dasar plastik untuk mempengaruhi sifat fisik, warna atau bentuk kemasan.
Bahan-bahan tambahan tersebut, antara lain: pemlastis (plasticiser), antimikroba
(antimicrobial), pengawet (preservative), pembentuk busa (blowing agent), perekat
(adhesive), pewarna (colorant), anti statik, penahan api (flame retardant), pelumas
(lubricant), pengisi (filler), penstabil (stabilizer), dan pemutih (bleaching) (Hutapea, 2008).
B. Kemasan Plastik

Dr Leo Hendrik Baekeland, seorang Belgia, menemukan reaksi antara fenol dan
formaldehida tahun 1907 yang kemudian diproduksi dengan nama dagang “bakelite” pada
tahun 1920. Mulai dari penemuan tersebut itulah dianggap sebagai awal industry plastic.
Pada waktu itu muncul pula saingan dari seluloida yang dinilai terlalu mudah terbakar,
yaitu bahan plastic lainnya selulosa asetat yang kemudian digunakan untuk film foto dan
bioskop (Syarief et al 1989).
Bahan pembuat plastic dari minyak, arang, dan gas sebagai sumber alami,
dalam perkembangannya digantikan oleh bahan sintetis sehingga dapat diperoleh sifatsifat plastic yang diinginkan dengan cara kopolimerisasi, laminasi, dan ekstrusi.
Penggunaan plastic sebagai kemasan dapat berupa kemas bentuk (fleksibel)
atau sebagai kemas kaku. Makanan padat yang umumnya memiliki umur simpan pendek
atau makanan yang tidak memiliki perlindungan yang hebat dibungkus dengan kemas
bentuk. Akan tetapi makanan cair dan patan yang memerlukan perlindungan yang kuat
perlu dikemas dengan wadah kaku dalam bentuk botol, jerigen, kotak atau bentuk lainnya.
Penggunaan plastic untuk kemasan makanan cukup menarik karena sifatsifatnya yang menguntungkan. Seperti luwees mudah dibentuk, mempunyai adaptasi yang
tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti wadah logam, serta mudah dalam
penanganannya. Di dalam perdagangan dikenal plastic untuk kemasan pangan (food
grade) dan kemasan untuk bukan pangan (non-food grade). Karena perlu hati-hati dalam
memilih jenis plastic untuk kemasan makanan agar terhindar dari kemungkinan adanya
gangguan bagi kesehatan (Syarief et al 1989).
Jenis dan sifat-sifat kemasan plastic antara lain:

1. Politen atau Polietilen (PE)
Polietilen dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang
diperoleh sebagai hasil samping industry arang dan minyak. Merupakan jenis plastic

3

yang paling banyak digunakan dalam industry kerena sifat-sifatnya yang mudah
dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih dan mudah
digunakan sebagai laminasi. Berdasarkan densitasnya PE dibagi atas:
a. Polietilen Densitas Rendah (LDPE : Low Density Poliethylene)
Dihasilkan melalui proses tekanan tinggi. Paling banyak digunakan untuk kantong,
mudah dikelim, dan sangat murah.
b. Polietilen Densitas Menengah (MDPE : Medium Density Poliethylene)
Lebih kaku daripada LDPE dan memiliki suhu leleh lebih tinggi dari LDPE.
c. Polietilen Densitas Tinggi (HDPE : High Density Poliethylene)
Dihasilkan pada proses dengan suhu rendah (50-70ºC, 10 atm). Paling kaku
diantara ketiganya, tahan terhadap suhu tinggi (120ºC) sehingga dapat digunakan
untuk produk yang harus mengalami sterilisasi.
Sifat-sifat umum polietilen antara lain:
a. Penampakannya bervariasi dari transparan, berminyak sampai keruh (translucid)

tergantung dari cara pembuatannya serta jenis resin yang digunakan.
b. Mudah dibentuk, lemas dan gampang ditarik
c. Daya rentang tinggi tanpa sobek
d. Mudah dikelim panas sehingga banyak digunakan untuk laminasi dengan bahan
lain. Meleleh pada suhu 120ºC
e. Tidak cocok untuk pengemas produk-produk yang berlemak, gemuk atau minyak
f. Tahan terhadap asam, basa, alcohol, deterjen dan bahan kimia lainnya
g. Dapat digunakan untuk penyimpanan beku sampai dengan -50ºC
h. Transmisi gas cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas makanan yang
beraroma.
i. Mudah lengket satu sama lain, sehingga menyulitkan dalam proses laminasi.
Diperlukan penambah bahan, aditif ke dalam proses pembuatannya untuk
mengurangi hambatan tersebut.
j. Dapat dicetak setelah mengoksidasikan permukaannya dengan proses elektronik.
k. Memiliki sifat kedap air dan uap air (HDPE, MDPE, LDPE)
Polietilen tergolong dalam polyolefin bersama-sama dengan polipropilen (PP),
polivinil klorida (PVC), polistiren (PS), politetrafluoroetilen (PTFE) dan viniliden klorida
(VDC). Penggunaan polietilen sebagai kemasan mulai tahun 1930 (Syarief et al 1989).
LDPE biasanya tidak digunakan untuk kemasan kaku, dalam perdagangan
dikenal dengan nama: alathon, Dylan, fortiflex. HDPE dikembangkan tahun 1950 yaitu

melalui proses pembuatan PE dengan katalis titanium tetraklorida dan trietil aluminium.
Banyak digunakan sebagai kemasan kaku, dikenal dengan nama dagang: alathon,
alkathene, blapol, carag, hi-fax, hostalen dan sebagainya.
Polietilen antara lain digunakan untuk mengemas buah-buahan dan sayursayuran segar, roti, produk pangan beku dan tekstil. Sebagai wadah kaku PE banyak
digunakan untuk tabung yang dapat dilipat, semprotan, dan lain-lain.

4

2.

Polipropilen (PP)
Polipropilen termasuk jenis plastic olefin dan merupakan polimer dari
propilen. Dikembangkan sejak 1950 dengan berbagai nama dagang seperti: bexphane,
dynafilm, luparen, escon, ole fane, pro fax. Sifat-sifat utama dari polipropilen yaitu
(Syarief et al 1989):
a. Ringan (densitas 0,9 g/cm³), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam
bentuk film.
Tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku
b. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE.
Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk murni pada suhu -30ºC mudah

pecah sehingga perlu ditambahkan PE atau bahan lain untuk memperbaiki
ketahanan terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku.
c. Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan
dan distribusi.
d. Permaebilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan
yang peka terhadap oksigen.
e. Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150ºC, sehingga dapat dipakai untuk
makanan yang harus disterilisasi.
f. Titik leburnya tinggi, sehingga sulit dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang
baik. Mengeluarkan benang-benang platik pada suhu tinggi.
g. Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak. Baik untuk kemasan sari buah dan
minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl.
h. Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzene, silken, toluene, terpentin dan
asam nitrat kuat.
3.

Polistiren (PS)
Styrofoam atau plastik busa masih tergolong keluarga plastik. Styrofoam
lazim digunakan sebagai bahan pelindung dan penahan getaran barang yang fragile
seperti elektronik. Namun, saat ini bahan tersebut menjadi salah satu pilihan bahan

pengemas makanan dan minuman. Bahan dasar styrofoam adalah polistiren (PS),
suatu jenis plastik yang sangat ringan, kaku, tembus cahaya dan murah tetapi cepat
rapuh.
Tahun 1839 bahan yang disebut sterol disintesa oleh E. Simon, akan tetapi
hingga 1925 tidak pernah diusahakan secara komersial. Pada tahun 1935 polisteran
mulai diproduksi skala industry di Jerman. Nama dagang PS yaitu: bextrene, carinex,
dylene, fostarene, kardel, vestyran, lustrex, restirolo, luran, dan lorkalene (Syarief et al
1989).
Menurut Syarief et al (1989), menyebutkan bahwa beberapa sifat umum dari
polistiren adalah:
a. Memiliki kekuatan tarik dan tidak mudah sobek,
b. Titik leburnya rendah (88ºC) lunak pada suhu 90 sampai 95ºC,
c. Tahan terhadap asam dan basa kecuali asam pengoksidasi

5

d.
e.
f.
g.

h.
i.

Terurai dengan alcohol pada konsentrasi tinggi, ester, keton, hidrokarbon aromatic
dan klorin,
Permeabilitas uap air dan gas sangat tinggi, baik untuk kemasan segar,
Mudah dicetak, permukaannya licin, jernih dan mengkilap,
Bila polistiren kontak dengan pelarut akan jadi keruh, mudah menyerap pemlastik,
jika ditempatkan bersama-sama dengan plastic lain menyebabkan penyimpangan
warna,
Mempunyai afinitas yang tinggi terhadap debu dan kotoran,
Baik untuk bahan dasar laminasi dengan logam (aluminium).

C. Migrasi
Migrasi merupakan perpindahan yang terdapat dalam kemasan ke dalam bahan
makanan. Migrasi adalah proses pemindahan dua arah yang akan terus berlangsung
hingga potensi kimia dari pangan sama dengan potensi kimia yang terdapat pada
kemasan. Migrasi merupakan salah satu mekanisme yang digunakan untuk menjelaskan
interaksi antara kemasan dengan produk terkemas. Walaupun migrasi dapat berasal pula
dari bahan pangan ke dalam kemasan, yang lebih dikhawatirkan adalah migrasi dari bahan
kemasan ke dalam pangan (Pratiwi Retno 2010).
Menurut Budiawan (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi proses migrasi,
antara lain: (1) jenis dan konsentrasi bahan kimia yang terkandung dalam kemasan, (2)
sifat alamiah pangan atau pilihan larutan simulan pangan disertai kondisi saat terjadi
kontak (suhu dan lama kontak), (3) ketebalan kemasan, dan (4) sifat intrinsik bahan
kemasan (inert atau tidak).
Potensi migrasi meningkat seiring dengan meningkatnya lama kontak, suhu
kontak, dan luas permukaan kontak, semakin tinggi konsentrasi komponen aditif dalam
bahan kemasan, dan adanya bahan pangan yang agresif. Potensi migrasi menurun bila
bahan kemasan berbobot molekul tinggi, kontak antara pangan dan kemasan tidak
langsung atau kering, daya difusi bahan kemasan rendah (inert), dan adanya lapisan
pembatas yang inert (Pratiwi Retno 2010).
D. Simulan Pangan
Menurut McCort-Tipton and Pesselman (1999), simulan pangan adalah larutan
yang dapat menyerupai aksi pelepasan komponen dari pangan yang berair, asam,
beralkohol, dan berlemak. Simulan pangan digunakan sebagai pengganti pangan pada uji
migrasi kemasan. Uji dengan pangan langsung terkadang sulit dilakukan karena produk
pangan merupakan matriks yang sangat kompleks.
Makanan terdiri dari beberapa komposisi yang sangat kompleks, sehingga sulit
untuk memperoleh jumlah migrasi kemasan ke produk tersebut (makanan). Oleh karena itu
digunakan simulan pangan yang merupakan single komponen untuk mewakilkan
komposisi pangan yang bertujuan untuk memudahkan melihat dan menghitung jumlah
migrasi dari bahan kemasan. Dalam buku Pedoman Uji migrasi yang dikeluarkan oleh
BPOM menyebutkan bahwa menurut aturan Uni Eropa (EU) batas migrasi menjadi dua

6

yaitu batas migrasi total dan batas migrasi spesifik. Batas migrasi total adalah perpindahan
seluruh zat yang berpindah dari kemasan ke dalam pangan dalam simulant tertentu sesuai
jenis atau tipe pangan dengan batas maksimal sebesar 60mg/kg pangan. Sementara
batas migrasi spesifik adalah jumlah maksimum suatu zat spesifik yang diperbolehkan
berpindah dari suatu FCS (food contact substances) dari kemasan ke dalam pangan dan
dipresentasikan sebagai perpindahan senyawa spesifik (FCS) tersebut ke dalam simulant
pangan.
Simulan pangan yang direkomendasikan Food and Drug Administration (FDA)
dan European Union (EU) diklasifikasikan berdasarkan tipe pangannya, yakni pangan
berair, asam, berlemak, dan beralkohol. Secara umum, FDA merekomendasikan simulan
etanol 10% untuk pangan berair dan asam; etanol 10% atau 50% untuk pangan
beralkohol; dan minyak makan, HB307 (campuran trigliserida sintetis), atau Miglyol 812
(minyak kelapa yang difraksinasi) untuk makanan berlemak. FDA juga mengatur tentang
beberapa simulan pengganti untuk pangan berlemak, bila penggunaan minyak makan
tidak praktis. Simulan tersebut terdiri dari etanol 95% dan 50%, tergantung polimer yang
diuji. Alternatif simulan pangan yang disarankan oleh FDA, antara lain: air destilasi dan
asam asetat 3% untuk pangan berair dan asam; dan etanol 50% atau 95% atau heptana
untuk pangan berlemak (McCort-Tipton and Pesselman, 1999).
EU membagi penggunaan simulan pangan menjadi empat bagian, yaitu air
destilasi untuk pangan berair (pH>4,5); asam asetat 3% untuk pangan asam (pH 4.5)
Air destilasi atau air lain yang serupa
Pangan asam (pH < 4.5)
Asam asetat 3% (w/v)
Pangan beralkohol
Etanol 10%, disesuaikan dengan kandungan alcohol
sebenarnya dari pangan tersebut jika melebih 10% (v/V)
Pangan berlemak
Simulant pangan berlemak
Pangan kering
Tidak ada
Simulan A, B, dan C disebut aqueous food Simulan karena berbasis air,
sedangkan Simulan D fatty food Simulan. Dalam penelitian Warsiki (2008) menyebutkan
bahwa total migrasi bahan kemasan kaleng yang digunakan untuk sop torbun yang
menggunakan Simulan A, B, dan C masih di bawah ketentuan Commission Directive
90/128/EEC (1990). Sedangkan untuk Simulan menggunakan alcohol 95%, memberikan
hasil yang cukup tinggi, tiga kali lipat dari yang diperbolehkan. Dalam pembahasannya
menyebutkan bahwa 95% alkohol dalam air mempresentasikan larutan penguji pengganti
minyak atau lemak, dimana alkohol berkonsentrasi tinggi cukup agresif dalam melarutkan
lapisan enamel kemasan kaleng. Oleh karenanya, kemasan kaleng dalam kajian ini
disarankan untuk tidak digunakan untuk mengemas produk-produk beralkohol tinggi.
Berdasarkan grafik yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan
bahwa kenaikan nilai migrasi berurutan sebagai aquades < 3% asam asetat < 15%
alkohol, < 95% alkohol. Hal ini mengindikasikan kekuatan larutan penguji dalam
mengekstrak komponen bahan kemasan kaleng seperti yang disebutkan dalam Warsiki
(2013) Simulan pangan sangat mempengaruhi keberlangsungan migrasi, yang dibagi
dalam kelas 1, 2, dan 3. Kelas 1 migrasi tidak terjadi dari bahan kemasan ke simulant
pangan. Sedangkan kelas 2 migrasi terjadi secara independen tanpa dikendalikan oleh
simulant pangan dan akan mencapai kondisi stady state dimana tercapai kesetimbangan
zat yang bermigrasi dari kemasan ke simulant pangan. Kelas 3 migrasi terjadi akibat
adanya kendali dari simulant pangan yang menyebabkan migrasi terjadi secara cepat
dalam waktu singkat.
Larutan penguji 3% asam asetat pada kemasan kaleng memberikan hasil yang
lebih besar dibandingkan dengan 15% alkohol. Hasil ini sesuai dengan laporan Galotto
dan Guarda (1999) serta O’Brien et al. (2000) yang menyatakan bahwa 3% asam asetat
menunjukkan kemampuan mengekstrak komponen bahan kemasan lebih besar
dibandingkan dengan 15% alkohol. Dilaporkan juga bahwa 95% alcohol memberikan hasil
paling tinggi dalam mengekstrak komponen bahan kemasan sekaligus mengindikasikan
kondisi terburuk untuk mensimulasi jumlah total migrasi.
-

8

Singkatan
Simulant A
Simulant B
Simulant C
Simulant D
Tidak ada

METODOLOGI
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Praktikum
Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Kemasan Teknologi Industri
Pertanian IPB pada 24 September sampai 16 Oktober 2013.
B. Bahan
Bahan yang digunakan terdiri dari poli propilen (PP), high density polyetilene
(HDPE), polistiren (styrofoam), alumunium foil, parafilm dan kawat stainlesteel dengan
diameter 1 mm. Bahan cair yang digunakan sebagai food simulant adalah 15% alkohol,
3% asam asetat, aquades, dan 95% alcohol.
C. Alat
Peralatan yang digunakan adalah oven, hotplate, neraca analitik, gunting, jangka
sorong, micrometer sekrup, mistar, lap flannel bebas debu, tang, pinset dan spidol. Selain
it diperlukan cawan dan peralatan gelas seperti gelas ukur 100 ml, Erlenmeyer 150 ml,
gelas piala 250 ml atau jar gelas 250 ml.
D. Metode
1. Pengukuran ketebalan dan volume sampai plastik
Potong masing-masing jenis kemasan dengan ukuran 10 cm x 10 cm, kemudian
ukur ketebalannya dengan micrometer sekrup dengan resolusi 0.005mm pada 5
lokasi yang berbeda. Nilai ketebalan plastic adalah rata-rata dari pengukuran
tersebut dan hitung juga volume plastic tersebut.
2. Pembuatan simulan pangan
Empat macam simulant pangan yang digunakan adalah aquades, 15% alcohol
dalam air destilata, 3% asam asetat dalam air destilata, dan 95% alcohol dalam air
destilata.
3. Pembuatan spesimen
Potongan masing-masing kemasan dipotong menjadi 8 bagian dengan ukuran 5
cm x 2.5 cm, kemudian timbang.
4. Pembuatan kawat penyangga
Kawat penyangga spesiman dibuat dari kawat baja berdiameter 1 mm dan bentuk
seperti gambar berikut :

9

E.

Uji Migrasi

Uji migrasi total dilakukan dengan metode konvensional pencelupan dua sisi
kemasan ke dalam simulant pangan dengan menggunakan kawat stainless sebagai
penyangga potongan plastic agar tidak bertindihan. Plastic kemasan diusahakan terendam
semua dengan simulant pangan, kemudian tutup dengan alumunium foil dan tutup rapat
untuk mencegah penguapan. Masing-masing plastic kemasan dan simulant pangan diberi
tanda serta blanko tanpa plastic kemasan untuk masing-masing simulant pangan.
Jar gelas yang sudah ada kemasan
dan simulant pangan

Simpan dalam oven T 40C t 10 hari
dan T 50C (95% alcohol) t 24 jam

Bilas kemasan dan kawat dengan air simulant kemudian
satukan dan timbang cawan porselin (Mc)

Simulant pangan diuapkan dengan menggunakan water
batch T 70C (alcohol) dan 80C (non alcohol)

Gambar . Tahapan Uji Migrasi
Timbang cawan porselin sebelum disimpan (Mo)
dalam oven T 105C t 2-3jam
Simpan dalam desikator t 15 menit, kemudian
timbang cawan (Mi)
F.

Perhitungan Total Migrasi

Setelah tahapan uji migrasi selesai, maka dilakukan perhitungan untuk
mengetahui migrasi total dengan menggunakan persamaan berikut :
M = 1000 (ma-mb)/S
Dimana M adalah migrasi total (mg/dm2), ma adalah massa residu (g) dari sampel setelah
penguapan, mb adalah massa residu (g) dari blanko dan S adalah luas permukaan.

10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan total migrasi dengan beberapa simulant pangan disajikan pada
tabel dibawah ini.
Tabel 2. Hasil Perhitungan Total Migrasi dengan Simulant Alkohol 15%
Berat
Berat
Berat
Total
cawan
setelah
ma
mb
S
sampel
residu
Sampel
awal
oven
(dm2)
(g)
(g)
(g)
(mg/dm2)
(g)
(g)
HDPE
0,21
61.4589
61,4985
0.0396 0.0093
1
30.3
PP
0,29
70.4218
70,4403
0.0185 0.0093
1
9.2
Styrofoam
0,92
61.4191
61,4564
0.0273 0.0093
1
18
Blanko
63.4677
63,4770
0.0093 0.0093
1
Tabel 3. Hasil Perhitungan Total Migrasi dengan
Berat
Berat
Berat
cawan
setelah
Sampel
sampel
awal
oven
(g)
(g)
(g)
HDPE
0,21
55.7925
55.83
PP
0,29
65.7152
65.754
Styrofoam
0,92
53.1333
53.179
Blanko
62.5527
62.567

Simulant Asam Asetat 3%
ma
(g)

mb
(g)

S
(dm2)

0.0375
0.0388
0.0457
0.0143

0.0143
0.0143
0.0143
0.0143

1
1
1
1

Tabel 4. Hasil Perhitungan Total Migrasi dengan Simulant Destilata
Berat
Berat
Berat
ma
mb
S
cawan
setelah
Sampel
sampel
(dm2)
(g)
(g)
awal
oven
(g)
(g)
(g)
HDPE
0,21
59.5173
59.5194 0.0021 0.0003
1
PP
0,29
59.243
59.2442 0.0012 0.0003
1
Styrofoam
0,92
67.7147
67.7196 0.0049 0.0003
1
Blanko
64.8972
64.8975 0.0003 0.0003
1

Total
residu
(mg/dm2)
23.2
23.2
31.4

Total
residu
(mg/dm2)
1.8
0.9
4.6

11

Tabel 5. Hasil Perhitungan Total Migrasi dengan
Berat
Berat
Berat
cawan
setelah
Sampel
sampel
awal
oven
(g)
(g)
(g)
HDPE
0,21
60.4459
60.4758
PP
0,29
70.483
70.5039
Styrofoam
0,92
61.3451
61.3926
Blanko
45.9657
45.9759
Tabel 6. Hasil Perhitungan Total Migrasi dengan
Total Migrasi (mg/dm2)
Asam
Sampel
Alkohol
Air
Asetat
15%
3%
HDPE
1.8
23.2
30.3
PP
0.9
23.2
9.2
Styrofoam
4.6
31.4
18

Simulant Alkohol 95%
ma
(g)

mb
(g)

S
(dm2)

0.0299
0.0209
0.0475
0.0102

0.0102
0.0102
0.0102
0.0102

1
1
1
1

Total
residu
(mg/dm2
)
19.7
10.7
37.3

Berbagai Simulan Pangan
Alkohol
95%
19.7
10.7
37.3

A. Pembahasan
1. Pengaruh Simulan Pangan
Simulant pangan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah simulant A
dengan menggunakan aquades, simulant B menggunakan 3% asam asetat, simulan
C menggunakan alcohol 15%, dan simulant D menggunakan alcohol 95%. Simulant
pangan tersebut masuk dalam kelas 1 yaitu aquades, sedangkan kelas 2 ada 3%
asam asetat dan 15% alcohol, serta kelas 3 ada 95% alcohol.
Konsep uji migrasi global diperkenalkan:
a. Sebagai kendali pada perpindahan yang tak diingini, bahan kimia non-pangan ke
dalam makanan baik yang bersifat toksin atau tidak.
b. Menghindarkan terpisahnya dan pindahnya komponen spesifik yang mungkin ada
(banyak kasus komponen yang tidak diketahui).
Pada prinsipnya penentuan migrasi total daan bahan kemas adalah
sederhana. Contoh bahan yang diuji diketahui luas permukaannya ditempatkan dalam
kontak dengan makanan pengganti (simululan) dibawah kondisi temperature dari
waktu tertentu. Akhir pengujian simulant diuapkan dan sisanya yang kering ditimbang.
Simulant yang encer sering diekstrak dengan pelarut organic immiscible seperti
kloroform dimana kembali diuapkan dari sisa yang keruh dan ditimbang. Hasilnya
dinyatakan sebagai mg residu/dm2 luas permukaan bahan kemas yang kontak
dengan simulant.
Pada prakteknya, pengujian ini tidk mudah karena beberapa sebab antar
lain:

12

a. Komponen yang terdapat dalam plastic pada saat penelitian mungkin tidak
diketahui dan mungkin sudah rusak selama proses.
b. Beberapa komponen sulit untuk ditentukan secara analitik terutama pada
makanan yang susunan atau komposisinya cukup rumit terlebih lagi bila hanya
dalam jumlah kecil yang diambil sebagai contoh untuk ekstraksi.
c. Adanya komponen lain yang dapat terekstraksi dan kemudian mempengaruhi
analisa.
d. Sebagian besar bahan makanan stabil hanya dalam jangka waktu yang pendek,
sedangkan data kemampuan untuk mengekstraksi mungkin dihasilkan dalam studi
yang memerluikan waktu yang lama.
e. Kondisi pengujian yang tepat tidak mudah ditetapkan karena besarnya keragaman
dalam kondisi kontak (sentuhan) yang mungkin ditemukan dalam prkatek.
Penggunaan makanan itu sendiri selalu diinginkan untuk pengujian
kemampuan ekstraksi, pada prakteknya hal ini hampir tidak mungkin, maka food
simulant harus digunakan sebagai pengganti.
Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa total migrasi tertinggi pada
kemasan HDPE didapat dengan simulant alcohol 15% (30.3 mg/dm 2), kemudian PP
dengan simulant asam asetat 3% (23.2 mg/dm2), dan Styrofoam dengan simulant
alcohol 95% (37.3 mg/dm2). Jika dibandingkan dengan syarat mutu pada kemasan
Styrofoam (Tabel 7), maka angka total migrasi hasil praktikum ini lebih tinggi
dibanding standar yang disyaratkan.
Tabel 7. Syarat Mutu Kemasan Styrofoam (SNI 7323:2008)

Pendekatan ini umumnya memuaskan untuk simulant A, B, dan C, selain itu
ternyata beberapa bahan uap volatile, azetropi, dan komponen organic volatile seperti
VCM akan hilang selama penguapan. Walaupun sedikit pengujian laboratorium telah
membawa jalan keluar metode ini akan reproducible antara ± 1mg/dm 2 metode ini
tidak dapat digunakan untuk fats simulant kecuali dimana cairan organic sederhana
digunakan (Syarief et al 1989).
Makanan terdiri dari campuran yang kompleks dari air, lemak, protein dan
karbohidrat juga sedikit mengandung unsur pokok seperti air, lemak, protein, dan
karbohidrat juga sedikit mengandung unsur pokok seperti vitamin-vitamin, mineral dan
13

komponen sintetiss yang ditambahkan selama proses, misalnya pewarna,
antioksidan, pengawet, stabilizer, falvor, dan lain-lain. Hal ini menjelaskan bahwa
komposisi makanan yang kompleks dalam analisa kimia akan menyulitkan dalam
memilih simulant makanan yang sederhana, yang dapat menggambarkan ketelitian
sifat ekstraksi campuran. Kesulitan lain yaitu pada makanan yang merupakan produk
alami pemanenan dan lain-lain. Selanjutnya banyak simulant makanan dapat
diberikan spesifikasi yang memadai sampai batas variasi komposisi Syarief et al
1989).
Air destilata digunakan untuk mengganti kemampuan ekstraksi dari
makanan dengan pH 5 dan diatasnya. Pada beberapa kasus ini mungkin juga
digunakan natrium bikarbonat untuk pengujian, kontak plastic dengan ikan, karena
ikan yang dikemas mengandung ammonia tinggi dan amino tersubstitusi.
Makanan pH 5 seperti vinegar, pikel atau us buah biasanya diwakili oleh
larutan asam asetat. Konsentrasi yang direkomendasikan bervariasi antara 2-5%
tetapi tidak menjadi factor kritis. Asam substrat dan asam laktat juga digunakan, tetapi
asam sitrat tidak mungkin digunakan dalam jumlah yang cukuo karena minyak
esensial yang ada dalam jus mungkin merupakan bahan utama yang penting.
Konsentrasi etanol yang digunakan untuk mencampur bervariasi 5% untuk
bird an sider, 15% untuk anggur dan 50% untuk sprits (aki u/u). simulant lain
termasuk NaCl dan sukrosa. Sebaliknya untuk memilih lemak pengganti makan
berlemak itu lebih sulit.
Kesulitan dalam menirukan migrasi bahan (zat kimia) dari plastic ke dalam
lemak makanan digambarkan pada besarnya ekstraktan yang telah
diusulkan/kemukakan missal n-hepatans, diethyl ether, ethanol atau paraffin cair,
serupa lemak-lemak seperti minyak kelapa, minyak olive (zaitun) minyak bunga
matahari, minyak babi, dan jenis trigliserida sintetis. Kelompok bahan pengganti
pertama contohnya pelarut-pelarut organic sederhana, biasanya memperlihatkan
sifat-sifat ekstraksi yang sangat menyolok dari pengamatan migrasi dan aditiv ke
dalam makanan itu sendiri. Walaupun minyak dan lemak tidak sama sekali mewakili
sifat dari makanan berlemak, tetapi dapat memberikan pendekatan terhadap banyak
kesulitan analisa seperti makanan.
Warsiki (2008) menyebutkan bahwa 95% alkohol dalam air
mempresentasikan larutan penguji pengganti minyak atau lemak, dimana alkohol
berkonsentrasi tinggi cukup agresif sesuai dalam penelitian tersebut. Galotto dan
Guarda (1999) serta O’Brien et al. (2000) menyatakan bahwa 3% asam asetat
menunjukkan kemampuan mengekstrak komponen bahan kemasan lebih besar
dibandingkan dengan 15% alkohol. Dilaporkan juga bahwa 95% alcohol memberikan
hasil paling tinggi dalam mengekstrak komponen bahan kemasan sekaligus
mengindikasikan kondisi terburuk untuk mensimulasi jumlah total migrasi. Hal ini
menunjukkan kekuatan larutan penguji (simulant pangan) dalam mengekstrak
komponen bahan kemasan plastic HDPE, PP, dan polistirein (styrofoam).

14

2. Pengaruh Jenis Kemasan
Diantara berbagai jenis bahan kemasan pangan yang dikenal, plastic
menempati porsi terbesar. Kemudahan dibentuk, flesibilitas tinggi dan tampilan yang
menarik dengan aneka warna cetakan merupakan sejumlah alas an kenapa plastic
dominan dibandingkan dengan bahan kemasan lain. Bahan kemasan plastic
umumnya berupa PE, PP, PET, PVC, PS, PC, dan melamin-formaldehid. Dalam
proses pembuatannya, berbagai bahan tambahan sering ditambahkan ke dalam
bahan dasar plastic dengan maksud untuk mempengaruhi sifat fisik, warna, dan atau
bentuk kemasan.
Kemasan polistirena foam dipilih karena mampu mempertahankan pangan
yang panas/dingin, tetap nyaman dipegang, mempertahankan kesegaran dan
keutuhan pangan yang dikemas, ringan, dan inert terhadap keasaman pangan.
Karena kelebihannya tersebut, kemasan polistirena foam digunakan untuk mengemas
pangan siap saji, segar, maupun yang memerlukan proses lebih lanjut. Banyak
restoran siap saji menyuguhkan hidangannya dengan menggunakan kemasan ini,
begitu pula dengan produk-produk pangan seperti mi instan, bubur ayam, bakso, kopi,
dan yoghurt.
Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa Styrofoam lebih agresif pada
simulant alcohol 95% (37,3 mg/dm2), PP pada simulant asam asetat 3% (23,2
mg/dm2), dan HDPE pada simulant alcohol 15% (30.3 mg/dm2). Batas migrasi residu
total monomer stirenanya adalah 5000 ppm (BPOM 2008). Maka yang akan dibahas
pada bagian ini hanya plastic Styrofoam.
Polistirena foam dihasilkan dari campuran 90-95% polistirena dan 5-10%
gas seperti n-butana atau n-pentana. Dahulu, blowing agent yang digunakan adalah
CFC (Freon), karena golongan senyawa ini dapat merusak lapisan ozon maka saat ini
tidak digunakan lagi, kini digunakan blowing agentyang lebih ramah lingkungan.
Polistirena dibuat dari monomer stirena melalui proses polimerisasi. Polistirena foam
dibuat dari monomer stirena melalui polimerisasi suspense pada tekanan dan suhu
tertentu, selanjutnya dilakukan pemanasan untuk melunakkan resin dan menguapkan
sisa blowing agent.
Polistirena bersifat kaku, transparan, rapuh, inert secara kimiawi, dan
merupakan insulator yang baik. Sedangkan polistirena foam merupakan bahan plastik
yang memiliki sifat khusus dengan struktur yang tersusun dari butiran dengan
kerapatan rendah, mempunyai bobot ringan, dan terdapat ruang antar butiran yang
berisi udara yang tidak dapat menghantar panas sehingga hal ini membuatnya
menjadi insulator panas yang sangat baik. Pada umumnya, semakin rendah
kerapatan foam, akan semakin tinggi kapasitas insulasinya. Simbol untuk kode
identifikasi resin polistirena yang dikembangkan oleh American Society of the
Plastics Industry (SPI) adalah (logo panah memutar), simbol ini menyatakan jenis
plastiknya (polistirena, PS) dan mempermudah proses daur ulang.
Polistirena foam dapat digunakan mengemas pangan pada rentang suhu
yang bervariasi, tetapi jika digunakan untuk mengemas pangan pada suhu tinggi,

15

memungkinkan monomer stirena dapat bermigrasi ke dalam pangan dan selanjutnya
masuk ke dalam tubuh. Migrasi dipengaruhi oleh suhu, lama kontak, dan tipe pangan.
Semakin tinggi suhu, lama kontak, dan kadar lemak suatu pangan, semakin besar
migrasinya. Minuman beralkohol atau bersifatasam juga dapat meningkatkan laju
migrasi. Monomer stirena ditemukan dalam minuman yoghurt yang menggunakan
kemasan polistirena dengan kadar 0,0025–0,0346 ppm, semakin lama yoghurt
disimpan dalam kemasan ini maka kadar stirena akan terus bertambah. Kadar stirena
sebesar 0,0592 ppm ditemukan dalam krim mentega setelah 24 hari disimpan dalam
kemasan polistirena, 0,0093 ppm dalam keju setelah disimpan 27 hari dan 0,0227
ppm dalam madu setelah disimpan 120 hari. Hasil survey juga menunjukkan bahwa
monomer stirena dapat bermigrasi ke dalam pangan dari kemasan polistirena foam
maupun polistirena kaku. Migrasi terbesar (0,235 ppm) ditemukan dalam sampel krim
asam yang dikemas dalam polistirena kaku (BPOM RI 2008).
Pada dasarnya polistirena adalah jenis plastik yang cukup inert, tetapi
mengingat penggunaannya yang cukup luas dan monomer penyusunnya yang
berbahaya sehingga pemakaiannya perlu diatur. Dalam Peraturan Kepala Badan
POM Nomor HK.00.05.55.6497 tanggal 20 Agustus 2007 tentang Bahan Kemasan
Pangan, kemasan polistirena yang digunakan untuk kemasan yang kontak langsung
dengan pangan berlemak seperti:
a. Tidak bersifat asam (pH < 5,0), produk-produk mengandung air, dapat
mengandung garam, gula atau keduanya
b. Bersifat asam, produk-produk mengandung air, dapat mengandung garam atau
gula atau keduanya, termasuk mengandung emulsi miyak dalam air dengan
kandungan lemak rendah atau tinggi
c. Produk susu dan turunannya : emulsi miyak dalam air, kandungan lemak rendah
atau tinggi
d. Minuman non alcohol, mengandung sampai 8% alkohol, dan lebih dari 8 % alcohol
e. Produk roti : roti lembab dengan permukaan tanpa mengandung minyak atau
lemak bebas
f. Padat kering dengan permukaan tanpa mengandung minyak atau lemak bebas
batas migrasi residu total monomer stirenanya sebesar 10.000 ppm.
Sementara itu kemasan polistirena yang digunakan untuk kemasan yang
kontak langsung dengan pangan berlemak seperti:
a. Produk mengandung air, asam atau tidak asam, mengandung minyak atau lemak
bebas atau berlebih, dapat mengandung garam termasuk mengandung emulsi air
dalam minyak dengan kandungan lemak rendah atau tinggi,
b. Produk susu dan turunannya :Emulsi air dalam minyak, kandungan lemak rendah
atau tinggi,
c. Lemak dan minyak mengandung sedikit air,
d. Produk roti : Roti lembab dengan permukaan mengandung minyak atau lemak
bebas,
e. Padat kering dengan permukaan mengandung minyak atau lemak bebas.

16

PENUTUP
Kesimpulan dari praktikum yang dilakukan adalah:
a. Pemilihan simulant makanan harus yang sederhana, yang dapat menjelaskan dan
menggambarkan ketelitian sifat ekstraksi campuran.
b. Pemakaian bahan kemasan plastic akan aman jika penggunaannya masih dalam
batas-batas aman seperti penggunaan pada jenis makanan yang tepat, perlakuan
suhu dan lama kontak yang tepat sehingga tidak merusak momomer yang
menyusun kemasan plastic.

17

DAFTAR PUSTAKA
Badan POM RI. 2007a. Peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.05.55.6497 tentang
Bahan Kemasan Pangan. BPOM, Jakarta.
Badan POM RI. 2007b. Organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan RI.
www.pom.go.id/profile/organisasi_BadanPOM.asp.
Badan POM RI. 2008. Kemasan Polistirena. InfoPOM Vol. 9, No. 5. BPOM RI. Jakarta.
Budiawan, R.N. 2004. Ekses Bahan Kemasan terhadap Kesehatan dan Lingkungan. Di
dalam: Prosiding Lokakarya Wadah Pangan. Direktorat Standardisasi Produk
Pangan BPPOM, Jakarta.
McCort-Tipton, M. and R.L. Pesselman. 1999. What Simulant is Right for My Intended End
Use?. In: Food Packaging. Testing Methods and Applications. (S. J. Risch, ed.).
American Chemical Society, Washington DC.
Pratiwi Retno. 2010. Pengembangan Metode Penentuan Kadar DEHP dan Analisis Migrasi
DEHP ke Dalam Simulan Pangan di Pusat Riset Obat dan Makanan, BADAN
POM RI. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syarief et al. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Warsiki, dkk. 2009. Pedoman Uji Migrasi Kemasan Pangan. Direktorat Pengawasan {roduk
dan Bahan Berbahaya. Jakarta
Warsiki, dkk. 2008. Karakteristik Sop Daun Torbangun (Coleus Amboinicus Lour) Dalam
Kemasan Kaleng Dan Perhitungan Total Migrasi Bahan Kemasan. Teknologi
Industri 18: 21-24
Warsiki, E. 2013. Material Kontak Pangan dan Kemasan Pangan. Teknologi Pengemasan
Lanjut Bab 3: 29-30

18