LAPORAN PERJALANAN DINAS docx 1
PENDAHULUAN
1. A.
Latar Belakang Masalah
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya. Proses belajar mengajar merupakan ranngkaian kegiatan komunikasi
antara manusia yakni orang yang belajar (siswa) dan orang yang mengajar (guru). Dalam belajar
ada komponen-komponen itu antara lain: tujuan belajar, materi pelajaran, metode mengajar,
sumber belajar, media untuk belajar, manajemen interaksi belajar mengajar, evaluasi belajar,
anak yang belajar, guru yang mengajar dan pengembangan dalam proses belajar.
Kegiatan pembelajaran dikelas adalah inti penyelenggaraan pendidikan yang ditandai oleh
adanya kegiatan pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber belajar, serta penggunaan
metode dan strategi pembelajaran. Namun kesemunya itu juga akan terwujud apabila partisipasi
dari berbagai aspek juga didukung, terutama tingkat keragaman peserta didik yang dapat dibilang
cukup heterogen. Implementasi sifat heterogen tersebut juga dipengaruhi oleh kemampuan daya
serap informasi yang diterima oleh peserta didik. Satu hal yang menarik tingkat keragaman dan
cara menerima informasi, mesti menjadi tolak ukur dalam mentrasfer pengetahuan.
Sejalan dengan tingkat keragaman dalam belajar, mendorong banyak kalangan untuk
mempelajari berbagai bentuk kemampuan manusia untuk menyerap suatu informasi. Hal ini yang
kemudian menyebabkan bermunculan berbagai teori belajar berdasarkan kondisi yang dipahami
oleh sipemikir tersebut. Dalam upaya menghindari kesalahan penafsiran dan mencari khasana
informasi dan pengetahuan tentang teori belajar guna menyiapkan tenaga pendidik yang lebih
profesional.
B.
Teori-Teori Belajar Aliran Fungsionalistik
Fungsionalisme memandang bahwa pikiran, proses mental, persepsi indrawi, dan emosi adalah
adaptasi organisme biologis. Fungsionalisme lebih menekankan pada fungsi-fungsi dan bukan
hanya fakta-fakta dari fenomena mental, atau berusaha menafsirkan fenomena mental dalam
kaitan dengan peranan yang dimainkannya dalam kehidupan. Fungsionalisme juga memandang
bahwa psikologi tak cukup hanya mempersoalkan apa dan mengapa terjadi sesuatu
(strukturalisme) tetapi juga mengapa dan untuk apa (fungsi) suatu tingkah laku tersebut terjadi.
Fungsionalisme lebih menekankan pada aksi dari gejala psikis dan jiwa seseorang yang
diperlukan untuk melangsungkan kehidupan dan berfungsi
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan yang berupa stimulus dan keluaran yang
berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa. Sedangkan respons
adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.[1] Ada beberapa
tokoh dalam aliran teori belajar fungsionalistik,antara lain:
a. Teori Belajar Menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Edwar Lee Thorndike lahir di Williamsburg pada tahun 1874. Thorndike mengatakan
belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons, dimana perubahan tingkah laku boleh
berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang non konkret (tidak bias diamati).[2]
Berdasarkan eksperimen yang dilakukannya ia memperoleh tiga buah hukum dalam belajar, yaitu
law of effect, law of exercise, dan law of readiness. Law of effect adalah tercapainya keadaan
yang memuaskan akan memperkuat hubungan antara stimulus dan respon. Maksudnya, bila
respons terhadap stimulus menimbulkan sesuatu yang memuaskan. Bila hubungan S-R tidak
diikat oleh sesuatu yang memuaskan maka respons itu akan melemah atau bahkan tidak akan ada
respons sama sekali. Secara umum law of effect yaitu sesuatu yang menimbulkan efek yang
mengenakkan akan cenderung diulangi atau sebaliknya.
Law of exercise yaitu respons terhadap stimulus dapat diperkuat seringnya respons digunakan.
Hal ini menghasilkan implikasi bahwa praktik, khususnya pengulangan dalam pengajaran adalah
penting dilakukan. Sedangkan law of readiness yaitu dalam memberikan respon subjek harus
siap dan disiapkan. Hukum ini menyangkut kematangan dalam pengajaran, baik kematangan
fisik maupun mental dan intelek. Stimulus tidak akan direspons, atau responsnya akan lemah,
bila pelajar kurang atau belum siap[3].
Menurut Edwar Lee Thorndike sebelum guru masuk dalam kelas mulai mengajar, maka anakanak disiapkan mentalnya terlebih dahulu. Misalnya anak disuruh duduk yang rapi, tenang dan
sebagainya. Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat atau.
Guru memberikan bimbingan, pemberian hadiah, pujian, bahkan bila perlu hukuman sehingga
memberikan motivasi proses belajar mengajar.
Ada kelemahan dalam teori belajar menurut Thorndike yaitu, pertama, memandang belajar
hanya merupakan asosiasi stimulus dan respons. Dengan demikian yang dipentingkan dalam
belajar adalah memperkuat asosiasi dengan latihan-latihan atau ulangan yang terus-menerus.
Kedua, proses belajar yang dipandang mekanistik antara stimulus dan respons.
b. Teori Belajar Menurut Burrhus Frederic Skinner
Burrhus Frederic Skinner (1904-1990) lahir di Susquehanna, Pennsylvania. Dia meraih gelar
master pada 1930 dan Ph.D pada 1931 dari Harvard University. Gelar B.A. diperoleh dari
Hamilton College, New York, dimana dia mengambil jurusan Sastra Inggris. Tahun 1936 dan
1945, Skinner mengajar Psikologi di University of Minnesota dan menghasilkan salah satu
bukunya yang berjudul, The Behavior of Organisme.
Skinner menganggap reinforcement merupakan factor penting dalam belajar. Peneguhan
diartikan sebagai suatu konsekuensi perilaku yang meperkuat perilaku tertentu.ada dua macam
peneguhan yaitu positif dan negative. Penguhan positif adalah rangsangan yang semakin
memperkuat atau mendorong suatu tindak balas[4]. Sedangkan peneguhan negative adalah
peneguhan yang mendorong individu untuk menghindari suatu tindak balas tertentu yang tidak
memuaskan.[5]
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah)
dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang
disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
Skinner juga berpendapat tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan respons. Skinner
membuat perincian dengan membedakan respons menjadi dua bagian:
1. Respondent Response
Respons ini ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu, misalnya keluar air liur setelah
melihat makanan tertentu. Pada umumnya perangsang-perangsang yang demikian ini mendahului
respon yang ditimbulkannya. Jenis respons ini sangat terbatas pada manusia saja.
2. Operante Response
Respons ini adalah respon yang timbul dan berkembang yang dikuti oleh perangsang-perangsang
tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing stimulus karena perangsang itu
memperkuat respons yang telah dilakukan oleh oraganisme.[6]
Skinner melakukan eksperimen melalui tikus dalam sangkar, teori ini terkenal dengan Skinner
Box. Dimana tikus dalam kondisi lapar di dalam sangkar mencium benda-benda yang ada
disekitarnya, maka tikus berlari ke sana kemari, aksi ini disebut “emitted behavior”(tingkah laku
yang terpancar). Kemudian pada gilirannya, secara kebetulan salah satu emitted behavior dapat
menekan pengungkit sehingga tekanan pengungkit mengakibatkan munculnya butir-butir
makanan ke dalam wadahnya. Butir-butir makanan yang muncul merupakan reinforcement bagi
penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant.[7]
c. Teori Belajar Menurut Clark Leonard Hull
Clark Leonard Hull mengikuti jejak Thorndike dalam uasahanya mengembangkan teori belajar.
Prinsip-prinsip yang digunakannyamirip apa yang dikemukakan oleh para behavioris, yaitu
dasar stimulu, respons dan adanya penguatan (reinforcement). Clark Hull mengemukakan
teorinya, yaitu bahwa suatu kebutuhan atau keadaan terdorong oleh motif, tujuan, maksud,
aspirasi harus ada di dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respons dapat diperkuat
atas dasar pengurangan kebutuhan. Dalam hal ini, efisiensi belajar pada besarnya tingkat
pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar oleh responsrespons yang dibuat oleh individu tersebut.[8]
Menurut Hull dalam proses belajar ada dua teori yaitu adanya incentive motivation (motivasi
incentiv) dan drive stimulus reduction (pengurangan stimulus pendorong). Penggunaan praktis
teori belajar Hull untuk kegiatan di dalam kelas adalah: pertama, ruang kelas harus diatur
sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar. Kedua, pelajaran harus dimulai
dari yang sederhana atau mudah menuju yang lebih kompleks. Ketiga, kecemasan harus
ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar. Latihan didistribusikan dengan hati-hati supaya
tidak terjadi inhibisi[9].
C.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Fungsionalistik
1. Kelebihan teori Fungsionalistik
1. Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi
belajar.
2. Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan
belajar mandiri. Jika menemukan kesulitan, baru ditanyakan kepada guru
yang bersangkutan.
3. Mampu membentuk suatu perilaku yang dinginkan mendapatkan
penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan
negative.
4. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan yang lainnya dan seterusnya
sampai respons yang dinginkan muncul.
5. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membentuk praktik
dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas dan
daya tahan.
6. Teori fungsionalistik juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang
masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, dengan berbagai
rangsangan berupa penghargaan-penghargaan.[10]
2. Kekurangan Teori Fungsionalistik
1. Sebuah konsekuensi bagi guru untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk
yang sudah siap.
2. Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini.
3. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru.
4. Cendrung untuk mengarahkan siswa untuk berfikir linier, tidak kreatif, tidak
produktif, dan mendudukan siswa sebagai individu yang pasif.[11]
5. Pembelaaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mikanistik dan hanya
berorientasi pada hasil yang didapat dan diukur.
6. Penerapan metode yang salah akan mengakibatkan terjadinya proses
pembelajaran yang tidak menyenangkan[12].
Pandangan teori ini juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan fungsionalistik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.[13]
D. Aplikasi Teori Fungsionalistik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran fungsinonalistik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori fungsionalistik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori fungsionalistik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori fungsionalistik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Tujuan pembelajaran menurut teori fungsionalistik ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara
ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks atau buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.[14]
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang
sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pelajar secara
individual.[15]
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan teori belajar ini adalah ciri-ciri kuat yang
mendasarinya sebagai berikut:[16]
1. Mementingkan pengaruh lingkungan
2. Mementingkan peranan reaksi
3. Mengutakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus dan
respons.
4. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.
5. Mementingkan pembiaasaan melalui latihan dan pengulangan.
6. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang dinginkan.
E.
Kesimpulan
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan yang berupa stimulus dan keluaran yang
berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa. Sedangkan respons
adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Menurut Edwar Lee Thorndike Berdasarkan eksperimen yang dilakukannya ia memperoleh tiga
buah hukum dalam belajar, yaitu law of effect, law of exercise, dan law of readiness.
Sedangkan menurut Skinner dalam pembelajaran ada teori Respondent Response dan Operante
Response serta adanya peneguhan positif dan peneguhan negatifdalam proses belajar mengajar.
Menurut Hull dalam proses belajar ada dua teori yaitu adanya incentive motivation (motivasi
incentiv) dan drive stimulus reduction (pengurangan stimulus pendorong). Penggunaan praktis
teori belajar Hull untuk kegiatan di dalam kelas adalah: pertama, ruang kelas harus diatur
sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar. Kedua, pelajaran harus dimulai
dari yang sederhana atau mudah menuju yang lebih kompleks. Ketiga, kecemasan harus
ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar. Latihan didistribusikan dengan hati-hati supaya
tidak terjadi inhibisi.
Aplikatif dari teori ini dalam pembelajaran ada kelemahan dan kelibihan teori ini dalam proses
pembelajaran pada saat ini masih banyak menggunakan teori belajar fungsionalistik walaupun
seiring berkembangnya tehnologi dan ilmu pengetahuan, sehinggu dibutuhkan kepekaan guru
untuk dapat melihat kondisi dan situasi belajar dikelas dalam menggunakan teori yang tepat.
Daftar Pustaka
Budiningsih, Asri. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Renika Cipta. 2005.
Muhammad Thobroni & Arif Mustofa. Belajar dan Pembelajara Pengembangan Wacana dan
Praktik Pembelajara dalam Pembangunan Nasional, Jogjakarta: AR-Ruzz Media. 2011.
Suprijono, Agus. Coopertatatif Learning: Teori dan Aplikasi PIKEM, Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.2009.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT Remaja Rosda
Karya. 2005.
Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 1995.
Uno, Hamzah. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara. 2006.
TEORI PEMBELAJARAN
FUNGSIONALISTIK DOMINAN MENURUT
EDWARD LEE THORNDIKE
DI SUSUN OLEH KELOMPOK 4
MULYADI
NURAINI
MUZDALIFAH
RATIH WULANDARI
EVI ANDAYANI
KELAS VIIC/EKSEKUTIF
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUMATERA
STAIS SUMATERA
1. A.
Latar Belakang Masalah
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya. Proses belajar mengajar merupakan ranngkaian kegiatan komunikasi
antara manusia yakni orang yang belajar (siswa) dan orang yang mengajar (guru). Dalam belajar
ada komponen-komponen itu antara lain: tujuan belajar, materi pelajaran, metode mengajar,
sumber belajar, media untuk belajar, manajemen interaksi belajar mengajar, evaluasi belajar,
anak yang belajar, guru yang mengajar dan pengembangan dalam proses belajar.
Kegiatan pembelajaran dikelas adalah inti penyelenggaraan pendidikan yang ditandai oleh
adanya kegiatan pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber belajar, serta penggunaan
metode dan strategi pembelajaran. Namun kesemunya itu juga akan terwujud apabila partisipasi
dari berbagai aspek juga didukung, terutama tingkat keragaman peserta didik yang dapat dibilang
cukup heterogen. Implementasi sifat heterogen tersebut juga dipengaruhi oleh kemampuan daya
serap informasi yang diterima oleh peserta didik. Satu hal yang menarik tingkat keragaman dan
cara menerima informasi, mesti menjadi tolak ukur dalam mentrasfer pengetahuan.
Sejalan dengan tingkat keragaman dalam belajar, mendorong banyak kalangan untuk
mempelajari berbagai bentuk kemampuan manusia untuk menyerap suatu informasi. Hal ini yang
kemudian menyebabkan bermunculan berbagai teori belajar berdasarkan kondisi yang dipahami
oleh sipemikir tersebut. Dalam upaya menghindari kesalahan penafsiran dan mencari khasana
informasi dan pengetahuan tentang teori belajar guna menyiapkan tenaga pendidik yang lebih
profesional.
B.
Teori-Teori Belajar Aliran Fungsionalistik
Fungsionalisme memandang bahwa pikiran, proses mental, persepsi indrawi, dan emosi adalah
adaptasi organisme biologis. Fungsionalisme lebih menekankan pada fungsi-fungsi dan bukan
hanya fakta-fakta dari fenomena mental, atau berusaha menafsirkan fenomena mental dalam
kaitan dengan peranan yang dimainkannya dalam kehidupan. Fungsionalisme juga memandang
bahwa psikologi tak cukup hanya mempersoalkan apa dan mengapa terjadi sesuatu
(strukturalisme) tetapi juga mengapa dan untuk apa (fungsi) suatu tingkah laku tersebut terjadi.
Fungsionalisme lebih menekankan pada aksi dari gejala psikis dan jiwa seseorang yang
diperlukan untuk melangsungkan kehidupan dan berfungsi
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan yang berupa stimulus dan keluaran yang
berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa. Sedangkan respons
adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.[1] Ada beberapa
tokoh dalam aliran teori belajar fungsionalistik,antara lain:
a. Teori Belajar Menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Edwar Lee Thorndike lahir di Williamsburg pada tahun 1874. Thorndike mengatakan
belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons, dimana perubahan tingkah laku boleh
berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang non konkret (tidak bias diamati).[2]
Berdasarkan eksperimen yang dilakukannya ia memperoleh tiga buah hukum dalam belajar, yaitu
law of effect, law of exercise, dan law of readiness. Law of effect adalah tercapainya keadaan
yang memuaskan akan memperkuat hubungan antara stimulus dan respon. Maksudnya, bila
respons terhadap stimulus menimbulkan sesuatu yang memuaskan. Bila hubungan S-R tidak
diikat oleh sesuatu yang memuaskan maka respons itu akan melemah atau bahkan tidak akan ada
respons sama sekali. Secara umum law of effect yaitu sesuatu yang menimbulkan efek yang
mengenakkan akan cenderung diulangi atau sebaliknya.
Law of exercise yaitu respons terhadap stimulus dapat diperkuat seringnya respons digunakan.
Hal ini menghasilkan implikasi bahwa praktik, khususnya pengulangan dalam pengajaran adalah
penting dilakukan. Sedangkan law of readiness yaitu dalam memberikan respon subjek harus
siap dan disiapkan. Hukum ini menyangkut kematangan dalam pengajaran, baik kematangan
fisik maupun mental dan intelek. Stimulus tidak akan direspons, atau responsnya akan lemah,
bila pelajar kurang atau belum siap[3].
Menurut Edwar Lee Thorndike sebelum guru masuk dalam kelas mulai mengajar, maka anakanak disiapkan mentalnya terlebih dahulu. Misalnya anak disuruh duduk yang rapi, tenang dan
sebagainya. Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat atau.
Guru memberikan bimbingan, pemberian hadiah, pujian, bahkan bila perlu hukuman sehingga
memberikan motivasi proses belajar mengajar.
Ada kelemahan dalam teori belajar menurut Thorndike yaitu, pertama, memandang belajar
hanya merupakan asosiasi stimulus dan respons. Dengan demikian yang dipentingkan dalam
belajar adalah memperkuat asosiasi dengan latihan-latihan atau ulangan yang terus-menerus.
Kedua, proses belajar yang dipandang mekanistik antara stimulus dan respons.
b. Teori Belajar Menurut Burrhus Frederic Skinner
Burrhus Frederic Skinner (1904-1990) lahir di Susquehanna, Pennsylvania. Dia meraih gelar
master pada 1930 dan Ph.D pada 1931 dari Harvard University. Gelar B.A. diperoleh dari
Hamilton College, New York, dimana dia mengambil jurusan Sastra Inggris. Tahun 1936 dan
1945, Skinner mengajar Psikologi di University of Minnesota dan menghasilkan salah satu
bukunya yang berjudul, The Behavior of Organisme.
Skinner menganggap reinforcement merupakan factor penting dalam belajar. Peneguhan
diartikan sebagai suatu konsekuensi perilaku yang meperkuat perilaku tertentu.ada dua macam
peneguhan yaitu positif dan negative. Penguhan positif adalah rangsangan yang semakin
memperkuat atau mendorong suatu tindak balas[4]. Sedangkan peneguhan negative adalah
peneguhan yang mendorong individu untuk menghindari suatu tindak balas tertentu yang tidak
memuaskan.[5]
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah)
dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang
disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
Skinner juga berpendapat tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan respons. Skinner
membuat perincian dengan membedakan respons menjadi dua bagian:
1. Respondent Response
Respons ini ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu, misalnya keluar air liur setelah
melihat makanan tertentu. Pada umumnya perangsang-perangsang yang demikian ini mendahului
respon yang ditimbulkannya. Jenis respons ini sangat terbatas pada manusia saja.
2. Operante Response
Respons ini adalah respon yang timbul dan berkembang yang dikuti oleh perangsang-perangsang
tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing stimulus karena perangsang itu
memperkuat respons yang telah dilakukan oleh oraganisme.[6]
Skinner melakukan eksperimen melalui tikus dalam sangkar, teori ini terkenal dengan Skinner
Box. Dimana tikus dalam kondisi lapar di dalam sangkar mencium benda-benda yang ada
disekitarnya, maka tikus berlari ke sana kemari, aksi ini disebut “emitted behavior”(tingkah laku
yang terpancar). Kemudian pada gilirannya, secara kebetulan salah satu emitted behavior dapat
menekan pengungkit sehingga tekanan pengungkit mengakibatkan munculnya butir-butir
makanan ke dalam wadahnya. Butir-butir makanan yang muncul merupakan reinforcement bagi
penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant.[7]
c. Teori Belajar Menurut Clark Leonard Hull
Clark Leonard Hull mengikuti jejak Thorndike dalam uasahanya mengembangkan teori belajar.
Prinsip-prinsip yang digunakannyamirip apa yang dikemukakan oleh para behavioris, yaitu
dasar stimulu, respons dan adanya penguatan (reinforcement). Clark Hull mengemukakan
teorinya, yaitu bahwa suatu kebutuhan atau keadaan terdorong oleh motif, tujuan, maksud,
aspirasi harus ada di dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respons dapat diperkuat
atas dasar pengurangan kebutuhan. Dalam hal ini, efisiensi belajar pada besarnya tingkat
pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar oleh responsrespons yang dibuat oleh individu tersebut.[8]
Menurut Hull dalam proses belajar ada dua teori yaitu adanya incentive motivation (motivasi
incentiv) dan drive stimulus reduction (pengurangan stimulus pendorong). Penggunaan praktis
teori belajar Hull untuk kegiatan di dalam kelas adalah: pertama, ruang kelas harus diatur
sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar. Kedua, pelajaran harus dimulai
dari yang sederhana atau mudah menuju yang lebih kompleks. Ketiga, kecemasan harus
ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar. Latihan didistribusikan dengan hati-hati supaya
tidak terjadi inhibisi[9].
C.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Fungsionalistik
1. Kelebihan teori Fungsionalistik
1. Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi
belajar.
2. Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan
belajar mandiri. Jika menemukan kesulitan, baru ditanyakan kepada guru
yang bersangkutan.
3. Mampu membentuk suatu perilaku yang dinginkan mendapatkan
penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan
negative.
4. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan yang lainnya dan seterusnya
sampai respons yang dinginkan muncul.
5. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membentuk praktik
dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas dan
daya tahan.
6. Teori fungsionalistik juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang
masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, dengan berbagai
rangsangan berupa penghargaan-penghargaan.[10]
2. Kekurangan Teori Fungsionalistik
1. Sebuah konsekuensi bagi guru untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk
yang sudah siap.
2. Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini.
3. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru.
4. Cendrung untuk mengarahkan siswa untuk berfikir linier, tidak kreatif, tidak
produktif, dan mendudukan siswa sebagai individu yang pasif.[11]
5. Pembelaaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mikanistik dan hanya
berorientasi pada hasil yang didapat dan diukur.
6. Penerapan metode yang salah akan mengakibatkan terjadinya proses
pembelajaran yang tidak menyenangkan[12].
Pandangan teori ini juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan fungsionalistik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.[13]
D. Aplikasi Teori Fungsionalistik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran fungsinonalistik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori fungsionalistik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori fungsionalistik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori fungsionalistik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Tujuan pembelajaran menurut teori fungsionalistik ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara
ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks atau buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.[14]
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang
sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pelajar secara
individual.[15]
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan teori belajar ini adalah ciri-ciri kuat yang
mendasarinya sebagai berikut:[16]
1. Mementingkan pengaruh lingkungan
2. Mementingkan peranan reaksi
3. Mengutakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus dan
respons.
4. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.
5. Mementingkan pembiaasaan melalui latihan dan pengulangan.
6. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang dinginkan.
E.
Kesimpulan
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan yang berupa stimulus dan keluaran yang
berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa. Sedangkan respons
adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Menurut Edwar Lee Thorndike Berdasarkan eksperimen yang dilakukannya ia memperoleh tiga
buah hukum dalam belajar, yaitu law of effect, law of exercise, dan law of readiness.
Sedangkan menurut Skinner dalam pembelajaran ada teori Respondent Response dan Operante
Response serta adanya peneguhan positif dan peneguhan negatifdalam proses belajar mengajar.
Menurut Hull dalam proses belajar ada dua teori yaitu adanya incentive motivation (motivasi
incentiv) dan drive stimulus reduction (pengurangan stimulus pendorong). Penggunaan praktis
teori belajar Hull untuk kegiatan di dalam kelas adalah: pertama, ruang kelas harus diatur
sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar. Kedua, pelajaran harus dimulai
dari yang sederhana atau mudah menuju yang lebih kompleks. Ketiga, kecemasan harus
ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar. Latihan didistribusikan dengan hati-hati supaya
tidak terjadi inhibisi.
Aplikatif dari teori ini dalam pembelajaran ada kelemahan dan kelibihan teori ini dalam proses
pembelajaran pada saat ini masih banyak menggunakan teori belajar fungsionalistik walaupun
seiring berkembangnya tehnologi dan ilmu pengetahuan, sehinggu dibutuhkan kepekaan guru
untuk dapat melihat kondisi dan situasi belajar dikelas dalam menggunakan teori yang tepat.
Daftar Pustaka
Budiningsih, Asri. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Renika Cipta. 2005.
Muhammad Thobroni & Arif Mustofa. Belajar dan Pembelajara Pengembangan Wacana dan
Praktik Pembelajara dalam Pembangunan Nasional, Jogjakarta: AR-Ruzz Media. 2011.
Suprijono, Agus. Coopertatatif Learning: Teori dan Aplikasi PIKEM, Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.2009.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT Remaja Rosda
Karya. 2005.
Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 1995.
Uno, Hamzah. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara. 2006.
TEORI PEMBELAJARAN
FUNGSIONALISTIK DOMINAN MENURUT
EDWARD LEE THORNDIKE
DI SUSUN OLEH KELOMPOK 4
MULYADI
NURAINI
MUZDALIFAH
RATIH WULANDARI
EVI ANDAYANI
KELAS VIIC/EKSEKUTIF
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUMATERA
STAIS SUMATERA