Gerakan Sosial Lokal Perempuan docx

RINGKASAN DISERTASI
GERAKAN SOSIAL LOKAL PEREMPUAN

Anis Farida

PROGRAM DOKTOR ILMU SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2012

1

RINGKASAN DISERTASI
GERAKAN SOSIAL LOKAL PEREMPUAN

DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor
Dalam Program Studi Ilmu Sosial
Pada Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga dan dipertahankan di hadapan Panitia
Ujian Doktor Tahap Terbuka

Anis Farida

PROGRAM DOKTOR ILMU SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2012
2

Promotor dan Ko Promotor

Promotor

: Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, Drs

Ko Promotor


: Prof. Dr. Susetiawan, SU

3

Telah diuji pada Ujian Tahap I (Tertutup)
Hari/Tanggal

: 2 Juni 2012
PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua

: Prof. Dr. L. Dyson, Drs., M.A.

Anggota

: Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, Drs.
Prof. Dr. Susetiawan, SU
Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA
Prof. Dr. Irwan Abdullah

Prof. Dr. Warsono, M.S.
Prof. Kacung Marijan,Drs., M.A.,Ph.D.
Prof. Dr. Mustain, Drs., M.Si
Dr. Dwi Windyastuti Budi H,Dra., M.A.

Ditetapkan dengan Surat Keputusan Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga Surabaya
Nomor : 1292/H3.1.7/PPd/2012
Tanggal 14 Mei 2012

4

UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadlirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan disertasi dengan judul
Gerakan Sosial Lokal Perempuan. Dengan segala keterbatasan penguasaan dan
pemahaman saya dalam bidang teoritik maupun lapangan akhirnya disertasi ini
dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini lebih tepat disebut
sebagai karya yang dilahirkan dengan dukungan banyak pihak. Sehingga pada

kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga
kepada berbagai pihak tersebut, yaitu :
Kepada Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, selaku Promotor dan dosen yang
telah banyak memberikan bimbingan dan kontribusi keilmuan berupa arahan, dan
kritik sejak proses perkuliahan sampai dengan tiap tahap penulisan disertasi ini.
Konsistensi dan kedisiplinan beliau, yang selalu tepat waktu dengan janjinya,
memberikan pelajaran tersendiri bagi saya. Dengan setulusnya saya menghaturkan
terima kasih yang setinggi-tingginya kepada beliau.
Kepada Prof. Dr. Susetiawan, SU, selaku Ko-Promotor dan dosen MKPD
untuk Teori Gerakan Sosial, yang telah banyak membuka cakrawala berpikir sejak
menjadi mahasiswa di bangku S2 Sosiologi UGM, dan sebagai team work dalam
proyek Konsultan Evaluasi Nasional P2KP. Sikap egaliter beliau memungkinkan saya
untuk mendiskusikan berbagai hal dengan tanpa beban. Lebih dari itu beliau
memberikan kebebasan kepada saya untuk menghubungi beliau di mana saja dan
kapan saja, baik langsung maupun dengan bantuan teknologi. Kondisi tersebut
membentuk proses pendewasaan keilmuan saya dapat berkembang dengan bebas,
namun tetap dalam koridor nilai-nilai yang saya yakini. Untuk segala kebaikan
beliau tidak cukup kata-kata untuk menghaturkan rasa terima kasih saya, semoga
Allah SWT yang membalasnya.
Kepada Prof. Dr. Fasichul Lisan Apt, selaku Rektor Universitas Airlangga,

Drs. Basis Susilo, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga, dan Prof. Dr.Hj. Sri Hajati, SH,M.H.,
selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, yang telah memberikan kesempatan dan
kebijakannya kepada saya untuk melanjutkan studi S3 di Program Studi Ilmu Sosial.
Kepada Prof.Dr.L. Dyson, MA, selaku Ketua Program Doktor Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, yang selalu memberikan dorongan dan perhatian kepada

5

saya dan juga para mahasiswa lainnya agar segera menyelesaikan studi. Beliau
senantiasa memberikan kemudahan dan memfasilitasi agar kami dapat
menyelesaikan studi tepat waktu.
Kepada seluruh pengajar di Program Doktor Ilmu Sosial juga saya haturkan
terima kasih, yaitu kepada Prof. Hotman M Siahaan, Prof. Soetandyo
Wignjosoebroto, MPA, Prof. Ramlan Surbakti, Drs, MA, PhD, Dr. Daniel Sparingga,
Prof. Dr. Wirawan, SU. Secara khusus, saya sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr.
FX. Eko Armada Riyanto (Romo Armada) yang telah membimbing dan memberikan
tambahan pengetahuan yang bermanfaat, serta menunjukkan Dasun, yang
akhirnya menjadi lokasi penelitian disertasi ini. Semoga Romo selalu mendapatkan

limpahan berkat dariNya.
Terima kasih pula, saya sampaikan kepada para pengasuh Mata Kuliah
Penunjang Disertasi (MKPD) yaitu Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA dari Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan pemahaman lebih luas tentang
Perempuan dan Politik, serta terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Anna
Marie Wattie, MA dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah banyak
memperkenalkan saya dengan metodologi feminisme.
Selain itu terima kasih juga kepada para penguji yang telah turut menguji
saya pada tahap pra kualifikasi sampai dengan ujian Tahap II, yaitu Prof. Soetandyo
Wignjosoebroto, MPA, Prof. Dr. Ramlan Surbakti, MA, Dr. Dhaniel T. Sparingga, MA,
Prof. Kacung Marijan, Drs, M.A.,Ph.D, Dr. Dwi Windyastuti Budi H, MA, Prof. Dr.
Mustain, Drs, MSi, Dr. Rachma Ida, M.Com, Prof. Dr. Soenyono, M.Si, dan
Prof.Dr.Warsono, M.Si terima kasih atas segala kritik dan saran demi perbaikan
disertasi ini.
Secara khusus saya mengucapkan terima kasih yang amat sangat kepada
Prof. Dr. Irwan Abdullah, yang merelakan waktunya untuk turut menguji disertasi
saya di tahap ujian tertutup dan terbuka. Sejarah panjang pertemuan saya dengan
beliau sejak tahun 1995 (saat terpilihnya tim saya sebagai peneliti yang mendapat
dana penelitian dari Ford Foundation bekerjasama dengan Pusat Kependudukan
UGM), telah menuntun saya untuk mencintai dunia akademik. Tanpa campur

tangan beliau, sulit rasanya membayangkan, bahwa saat ini saya telah
menyelesaikan studi ilmu sosial sampai tingkat setinggi ini. Beliau dengan sabar
dan telaten selalu membantu kesulitan-kesulitan saya di bidang akademik,
meskipun saya telah teramat sering mengecewakannya. Kebaikannya yang amat

6

sangat, seringkali justru membuat saya merasa bersalah, karena sejauh ini saya
masih belum bisa mengamalkan prinsip-prinsip keilmuan yang telah diberikan
kepada saya. Dalam kesempatan ini saya mohon maaf atas segala kekurangan dan
kekhilafan saya dalam berpikir dan bersikap, dan saya masih akan terus
mengharapkan bimbingan Mas Irwan. Semoga Allah SWT selalu memberikan yang
terbaik untuk Mas Irwan bersama keluarga.
Terima kasih kepada Rektor Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menempuh studi di jenjang S3.
Khususnya kepada Bapak Dr. Moch. Fauzi Said selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik yang telah memberikan fasilitas dan kelonggaran kepada saya
untuk meninggalkan kegiatan mengajar, agar saya bisa fokus menyelesaikan studi di
saat-saat yang kritis. Demikian pula saya haturkan terima kasih kepada Bapak dan
Ibu Dekan terdahulu beserta para Wakil Dekan yang mendukung penyelesaian studi

saya. Tidak terlupakan juga untuk menghaturkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Mbak Iche (Dra. Azizah Alie, M.Si), Mbak Ratih (Dr. Ratih
Retnowati Mardi, M.Si), Mbak Astrid, Pak Bambang, Pak Suwartono yang selalu
memperjuangkan kepentingan-kepentingan saya, sehingga memudahkan saya
untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini. Terima kasih juga untuk seluruah
keluarga besar FISIP UWKS dan juga sahabat-sahabat lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada sahabat-sahabat seangkatan tahun
2006 yang hanya beranggotakan lima orang, yaitu Dr. Ali Maksum, M.Ag, M.Si, Dr.
Suka Arjawa, dan Dr. Sugeng Pujileksono, serta Suyoto Drs,M.Si. Kekompakan dan
kerjasama dalam berbagi bahan kuliah dan buku-buku, tidak akan terlupakan dan
selalu menjadi sejarah indah dalam perjuangan meraih gelar akademik. Juga
kepada Suster Anna S dari Putri Kasih yang telah banyak membantu dalam
memfasilitasi perkenalan dan pertemuan saya dengan Bu Sulastri Lurah Dasun
beserta para aktivis yang lain. Terima kasih yang tak terhingga bagi kesediaan Bu
Sulastri, Mbak Nur, almarhumah Bu Ngadinem, Pak Mulyono, Mas Zaini dan temanteman di Dasun yang telah memperlakukan saya sebagai keluarga sendiri, selama
saya berada di Dasun.
Terima kasih juga buat sahabatku tercinta Nining, Bernada Rurit dan R.
Heru H di Yogyakarta, Dr. Erna Ermawati Chotim (Bogor), Arief Budi Utomo
(Sydney), Dr.Sukidin (Jember), Dr. Moch. Burhan (Malang), yang silih berganti hadir
dengan caranya masing-masing, dalam situasi-situasi sulit yang harus saya hadapi,


7

terima kasih buat kesabaran, dukungan dan semangat dari kalian semuanya, hingga
bisa terselesaikannya studi ini. Terima kasih pula teman-teman lain yang tidak bisa
disebut satu persatu. Untuk mas Tino, staf akademik di FISIP Unair, terima kasih
yang tulus saya ucapkan, karena berkat bantuannya, semua proses tahapan ujian
disertasi saya berjalan dengan lancar.
Kepada kedua orang tua saya, yaitu Ayahanda H. Mochammad Ngasiki, BA
dan Ibunda Hj. Sutami, yang senantiasa memanjatkan doa tulus demi kesuksesan
dan kelancaran saya dalam menyelesaikan studi. Tidak lupa mertua saya (alm)
Ayahanda BRM.Priyo Santi Setyo Basuki dan Ibunda Hj.Suparmi Saminah, serta
Ibunda Bulik Hj. Katemi terima kasih atas doa tulus dan dorongannya. Serta kepada
adik-adikku tersayang, Dik Laily Fiana, SE (Banda Aceh) dengan Dik Wahyudi
Burhan, MPA bersama keluarga, Dik M.Nanang Fauzi, ST (Bandung) dengann Dik
Elis, Dik M.Erfin Fatoni, SE (Blitar) dengan Dik Fia, Zaky dan Dila, terima kasih atas
dukungan dan perhatiannya selama ini.
Kepada suami saya Dr. H. Priyo Handoko SS, SH, M.Hum yang sangat risau
dengan penyelesaian studi saya “yang berkepanjangan”, meskipun dia juga
“berinvestasi” dalam hal tersebut. Alhamdulillah, dengan kekuatanNya, semua

dapat dilalui dan selalu berakhir dengan indah serta penuh suka cita. Dukungan
luar biasa di saat akhir penyelesaian studi, terutama kerelaannya mengasuh anakanak kami tercinta, di saat saya harus lembur ataupun wira wiri ke Yogyakarta,
maka tak terlukiskan rasa terima kasih saya kepada Abi tercinta. Untuk segala
kebaikan Abi hanya doa tulus yang dapat saya panjatkan.
Kepada anak pertamaku Elang tersayang, yang telah kehilangan waktuwaktu bermain dan belajar bersama. Permintaannya sederhana, “Mama cepat
lulus ya…biar tiap hari bisa belajar bersama dan bisa antar jemput Elang ke
sekolah”. Demikian pula untuk bidadari tercantikku Cleopatra yang “diproduksi” di
tengah-tengah studi S3, dia sudah merasakan begadang mengerjakan tugas kuliah
sejak dalam kandungan. Cle seringkali harus kehilangan kasih sayang Mamanya,
ketika ditinggal berhari-hari untuk mengumpulkan data lapangan sejak berusia 5
bulan. Kehilangan dua calon buah hati selama menyelesaikan studi S3, menyisakan
sesal dan duka, yang harus diterima dengan ikhlas. Terima kasih juga buat Mbak
Khusna, yang telah bekerja dengan baik, menjaga dan mengasuh Elang dan Cle,
ketika saya harus seringkali pergi meninggalkan rumah. Untuk semua pengorbanan
orang-orang terkasihku, terima kasih dan perasaan sayang yang setulusnya kepada
kalian semua.

8

Akhir kata semoga segala bentuk dukungan dan bantuan dari berbagai

pihak tersebut mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Sebagai sebuah
karya manusia, tentunya disertasi ini penuh dengan kekurangan dan
ketidaksempurnaan, untuk itu kritik dan saran demi perbaikan disertasi ini, selalu
diterima dengan lapang dada. Harapan saya semoga disertasi ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu sosial.

Surabaya,

Juni 2012

Penulis,

Anis Farida

ABSTRACT
9

Women’s Local Social Movements
Anis Farida
This study aims to understand whether the phenomenon of rural women's
collective action in Dasun, Kediri can be interpreted as a social movements, and
related to the issues, actors and the setting, how’s that social movements can be
categorized. Based on this, this study aims (1) to explore and interpret the
phenomenon of collective action undertaken by women in Dasun, if indeed a social
movement and (2) the implications of the achievement of social movements in
society and family life.
This study is a qualitative research with an ethnographic approach, which
a plural method include observation, participation, analysis of records, and
interviews. The subjects of this study included some Dasun’s women activist and
outsiders who were involved in the growth of the local social movements.
Based on the results of field research and theoretical analysis led to some
the conclusion, an important finding of this study, show that a leader is the product
of the movements. The ability to produce a leaders, as far as the author know, is
the specific notion that can not be found on collective action in other places. Social
movements in Dasun can not be fully called as new social movements, because the
actor is not from a middle class, they were a poor women with a limited or low
educational background, and the setting of social movements is a rural agricultural
communities. Collective action in Dasun can be interpreted as a social movements,
with the fulfillment of the element of collectivity, shared goals, a loose
organization, leadership, spontaneity, and moving beyond the village’s authority.
The implications of the achievement of social movements in family life is shown by
the involvement of women in decision-making and financial control lies in the
female. In areas of society, women have begun to participate in the socio-cultural,
political,
economic
and
environmental
fields.
Keywords: social movements, collective action, women, leadership, social justice,
humanity, inequality

PENDAHULUAN

10

Negara Indonesia sejak masa Orde Baru telah menjadikan
paradigma pembangunan sebagai landasan nilai yang menjadi acuan dari
seluruh kebijakan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan di masa itu
diatur dalam GBHN dan Repelita sebagai instrumen utama yang sarat
dengan rencana dan konsep pembangunan. 1 Namun setelah pembangunan
dijalankan dalam jangka waktu yang cukup lama, terbukti bahwa
pembangunan sebagai peran pokok pemerintah telah membawa dampak
negatif dalam pembangunan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme

semakin

merajalela dan membentuk sebuah kebobrokan sistem dalam pelaksanaan
pembangunan di masa Orde Baru hingga saat ini.2
Pembangunan

yang

semula

dimaksudkan

untuk

mengejar

ketertinggalan dari masyarakat maju, justru hal ini memproduksi persoalan
sosial ekonomi. Berbagai bentuk ketimpangan yang ada telah melahirkan
ketegangan yang tersembunyi ataupun konflik yang bersifat terbuka dalam
masyarakat. Konflik antar pribadi, antar kelompok, ataupun masyarakat
berhadapan dengan negara acapkali melahirkan berbagai bentuk penindasan,
eksploitasi dan tirani institusi. Praktek tuan tanah dan eksploitasi petani,
diskriminasi sosial, kokohnya sistem patriarki dan penindasan terhadap
perempuan, dan berbagai institusi lain yang sarat dengan dominasi dan
ketidakadilan seringkali melatar belakangi munculnya suatu aksi kolektif 3.
1 Ryaas Rasyid. 2005. “ Otonomi Daerah : Latar Belakang dan Masa
Depannya” dalam Syamsudin Haris (editor). Desentralisasi dan Otonomi Daerah :
Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta :
LIPI Press, h : 6.
2 Susetiawan. 2003. “Pengantar : Pemberdayaan Masyarakat : Antara Ide
dan Komoditi Baru Untuk Perubahan Sosial” dalam Suparjan dan Hempri Suyatno.
Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan sampai Pemberdayaan.
Yogyakarta : Aditya Media, xviii.
3 Rajendra Singh. 2001. Social Movements, Old and New : A Post
Modernist Critique. New Delhi, Thousand Oaks, London : Sage Publications, h :
301

11

Aksi-aksi kolektif

yang berkembang

dalam suatu masyarakat

dalam hal ini merupakan bentuk respon atas ketidakmerataan pelaksanaan
pembangunan

dalam

berbagai

aspek

kehidupan.

Dampak

negatif

ketidakmerataan pembangunan di Indonesia telah memproduksi berbagai
masalah sosial seperti, disintegrasi bangsa, kemiskinan, buta huruf dan
rendahnya tingkat pendidikan, kekurangan pangan dan air bersih, gizi buruk,
fasilitas medis yang hanya terpusat di perkotaan, buruknya infrastruktur di
pedesaan, kerusakan lingkungan dan lainnya. Kondisi demikian mendorong
lahirnya aksi dari berbagai komponen masyarakat sipil untuk mendobrak
dan meruntuhkan tatanan struktur ketidakadilan. Aksi kolektif dalam hal
demikian menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap kemapanan yang
tidak bisa memberikan ruang untuk perbaikan kualitas kehidupan di
masyarakat.
Dalam upaya memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat, isu-isu
yang diperjuangkan oleh komponen masyarakat sipil
mengklaim aksi kolektif sebagai gerakan sosial,

yang sering

tidak lagi sebatas

mengamankan tanah dari klaim kepemilikan oleh pihak lain (isu
materialistik), tapi telah bergerak jauh ke depan, dengan mempertanyakan
hak-hak konstitusional, kebutuhan untuk melakukan redefinisi dan
transformasi nilai-nilai sosial dan norma-norma, artikulasi terhadap
permasalahan yang terkait dengan warisan budaya, simbol dan sejarah. 4
Adanya pergeseran isu tersebut tidak terelakkan lagi, jika semula isu
materialistik mendominasi roh gerakan sosial, pada perkembangannya telah
bergeser dengan mengusung isu-isu non materialistik seperti

gender,

ekologi, Hak Asasi Manusia, kebebasan individu, hak otonomi, serta

4 Rajendra Singh. Ibid. h : 302.

12

keadilan sosial dan kesetaraan.5 Aksi-aksi kolektif yang dijalankan oleh
berbagai komponen masyarakat sipil tersebut seringkali mengalami up and
down. Artinya, ketika aksi kolektif yang didorong oleh faktor eksternal
ditinggalkan oleh aktornya, maka aksi kolektif yang dilakukan oleh
masyarakat dampingan tidak berlanjut. Jika hal demikian ini sering terjadi,
masihkah hal seperti ini dapat diklaim sebagai sebuah Gerakan Sosial?
Pergeseran tidak hanya terkait dengan isu yang diperjuangkan,
namun

juga

terkait

dengan

latar

belakang

aktor,

jika

semula

memperjuangkan isu materialistik yang berbasis pada kelas, maka pada
perkembangannya telas meluas dan menerjang lintas batas. Para aktor
ataupun partisipan tidak lagi didukung oleh batas-batas kelas, namun dapat
berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan, etnis, jenis kelamin,
organisasi, akademisi, dan kaum yang relatif terdidik lainnya. Pluralitas isu
maupun heterogenitas basis partisipan pengusungnya telah memberikan
ruang gerak bagi kaum perempuan untuk turut memperjuangkan perbaikan
kualitas kehidupan melalui aksi kolektif.
Aksi-aksi kolektif

berkembang menyentuh kaum perempuan,

meskipun masih membutuhkan perjuangan panjang, baik yang dilakukan
oleh sekelompok kecil individu maupun melalui organisasi. Para perempuan
dengan latar belakang pendidikan tinggi sudah mulai mewarnai panggung
politik di tingkat daerah maupun nasional. Sementara itu pada tataran lokal,
masuknya perempuan ke ruang publik ditandai dengan semakin banyaknya
perempuan yang bertarung di arena Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Dalam hal ini tidak sedikit jumlah perempuan yang berhasil memenangkan

5 Rajendra Singh.Ibid. h : 302.

13

kursi kepala desa. 6 Di luar jalur kekuasaan formal tersebut, di tingkat akar
rumput pedesaan mulai

bermunculan perempuan yang menjadi aktor

ataupun partisipan bagi peningkatan kualitas kehidupan perempuan melalui
aksi

kolektif

yang dirintis dan dikembangkan untuk mengatasi

permasalahan yang dihadapi oleh komunitasnya.
Dalam upaya memperbaiki kualitas kehidupan kaum perempuan, isu
yang diangkat juga beragam sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh
komunitas setempat, mulai masalah penyelamatan lingkungan, peningkatan
layanan kesehatan, perbaikan tingkat pendidikan, penguatan kapasitas
ekonomi, melestarikan budaya warisan leluhur dan juga meninjau ulang
posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Penguatan kapasitas
ekonomi perempuan, merupakan salah satu masalah yang seringkali
diangkat oleh organisasi sosial maupun pemerintah.

Solusi peningkatan

kapasitas ekonomi, salah satunya dilaksanakan oleh PNPM (Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Pedesaan yang cikal bakalnya dulu
berasal dari P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan).
Gagasan PNPM membentuk kelompok-kelompok swadaya masyarakat
(KSM) ekonomi di pedesaan , selama ini terbukti gagal dalam menjaga
keberlanjutan aksi kolektif yang ada.

Pembentukan KSM di berbagai

wilayah pedesaan semata-mata dimaksudkan untuk menampung dana yang
digelontorkan. Setelah dana turun, maka kelompok yang ada pun menjadi
6 “Pilkades Brabowan dan Gaplokan dimenangi Perempuan” dalam
Cepuraya.com http://cepuraya.com/pilkades-brabowan-gaplokan-blora-dimenangiperempuan.html/ diakses 12-11-11; Lihat “ Tiga Calon Kades Bersaing di Pilkades
Karanganyar”
dalam
http://malang-post.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=31802%3Atiga-calon-kades-bersaing-dipilkades-karanganyar&Itemid=102/ diakses 12-11-11; Lihat pula “ Suku Tengger
Miliki
Kades
Wanita
Pertama”
dalam
http://www.antaranews.com/berita/216320/suku-tengger-miliki-kades-wanitapertama/ diakses pada tanggal 12-11-11.

14

bubar. Hal ini merupakan bentuk kegagalan dari sebuah kegiatan
peningkatan kapasitas ekonomi yang tidak dibarengi dengan adanya
kebutuhan dan kesadaran kolektif dari masyarakat dampingan. 7
Kondisi tersebut berbeda dengan tumbuh kembangnya aksi kolektif
untuk memperbaiki kualitas kehidupan yang ditemukan di Dasun, sebuah
dusun yang terletak di kawasan pegunungan Wilis, Kediri, Jawa Timur.
Aksi kolektif kaum perempuan di Dasun telah berkembang pesat sejak
tahun 2003. Berbagai permasalahan

berbasis komunitas yang dihadapi

kaum perempuan telah diatasi. Bahkan aksi-aksi kolektif yang ada di Dasun
dapat menginspirasi dusun lain untuk melakukan hal yang sama. Replikasi
kegiatan kolektif maupun hasilnya saat ini telah berkembang tidak saja di
wilayah desa Joho, tapi juga merambah ke wilayah di sekitarnya.
Kemunculan aksi kolektif di Dasun, yang letak geografisnya di
wilayah dusun terluar yang berbatasan langsung dengan kawasan Perhutani,
tidak terlepas dari kondisi kehidupan masyarakatnya. Beberapa hal
mendasar yang dapat dikemukakan di antaranya adalah, pertama, ditinjau
dari kondisi perekonomiannya, mata pencaharian masyarakat Dasun
bergantung pada sektor pertanian yang masih dikelola secara sederhana dan
bersifat subsisten, sehingga pendapatannya pun rendah. Keterbatasan
pendapatan dan infrastruktur inilah yang menumbuhkan ketergantungan
masyarakat pada bank plethet (rentenir) dan pengijon8

atau tengkulak.

7 Berbagai hasil penelitian yang mengevaluasi kegagalan PNPM Mandiri
ataupun P2KP telah banyak dilaksanakan, di antaranya dalam
repository.ipb.ac.id/bitstream/pemberdayaan perempuan melalui PNPM-P2KP
(kasus KSM Srogol)/diakses 15 Juni 2012; Anis Farida (ed). 2007. Laporan
Internal Konsolidasi Studi Kualitatif Evaluasi P2KP di Wilayah Sulawesi,
Kalimantan, dan Jawa. Malang : LSPK-Kementerian PU-Bank Dunia.
8 Pengijon, adalah pedagang yang membeli hasil pertanian sebelum masa
panen tiba

15

Kedua, ditinjau dari situasi dan kondisi politik Dasun yang bernaung di
bawah desa Joho yang membawahi sembilan dusun9. Letaknya yang
terpencil membuat Dasun sebagai kawasan yang kurang tersentuh oleh
program pembangunan desa, yang cenderung bergerak di pusat kekuasaan.
Bahkan sejak berdirinya desa Joho, jabatan kepala desa, maupun perangkat
desa lainnya belum pernah sekalipun dipegang warga yang berasal dari
Dasun. Ketiga, kondisi sosial budaya, kehidupan warga dilandasi dengan
modal sosial yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari

masih banyaknya

kebiasaan gotong royong mulai mendirikan rumah, penyelenggaraan
hajatan, peristiwa kematian, serta mengelola hasil panen nutu/menumbuk
padi pada sebuah lesung.10
Tumpang tindihnya beban kehidupan kaum perempuan Dasun telah
membelenggu dan menutup harapan tentang adanya sebuah perbaikan
kualitas kehidupan. Di tengah
perempuan

seringkali

kondisi kehidupan yang demikian berat,

berhadapan

dengan

struktur

sosial

yang

menempatkannya pada posisi yang timpang, baik dalam relasi dalam rumah
tangga maupun di ruang publik. Kaum perempuan Dasun sebenarnya sudah
lama berkiprah dalam ruang publik melalui berbagai aksi kolektif yang
telah ada. Namun aksi kolektif

seperti arisan, pengajian, rewang saat

hajatan maupun lainnya belum dilandasi dengan kesadaran kolektif untuk
menciptakan adanya perbaikan kualitas kehidupan perempuan.
9 Desa Joho terdiri dari Sembilan dusun, yaitu Dusun Igir-Igir, Dusun
Dasar, Dusun Genengan, Dusun Joho, Dusun Dasun, Dusun Glemboh, Dusun
Nongkopait, Dusun Karangnongko dan Dusun Gowok Menco.
10 Lesung adalah suatu wadah berbahan dasar dari kayu, berbentuk persegi
panjang, yang berlobang di bagian atas, berukuran panjang sekitar dua meter,
dengan diameter lobang kurang lebih limapuluh sentimeter. Alat ini biasa digunakan
untuk menampung padi yang akan dibersihkan (dijadikan beras) dengan cara
ditumbuk dengan alu.

16

Terlepas dari belum adanya kesadaran yang melandasi, aksi kolektif
seperti ini menjadi modal dasar bagi kaum perempuan, tidak hanya di dusun
Dasun, melainkan juga pada desa/dusun secara umum yang terdapat di
pedesaan maupun perkotaan di Jawa. Aksi kolektif ini telah menjadi cikal
bakal lahirnya kesadaran mereka untuk merespon persoalan sosial yang
berlangsung di dusunnya. Aksi kolektif yang mempunyai tujuan tertentu
ini baru berkembang setelah ada interaksi dari luar, yakni seiring dengan
kehadiran mahasiswa KKN STAIN di lingkungan Dasun pada tahun 2003.
Interaksi mahasiswa dengan kaum perempuan

dalam berbagai kegiatan

yang ada, telah memberikan inspirasi kepada kaum perempuan Dasun untuk
melakukan hal yang sama, yaitu menyelesaikan masalah yang ada secara
bersama-sama melalui suatu aksi kolektif.
Setelah kepulangan mahasiswa, kegiatan pendidikan non formal
untuk anak-anak tetap dilanjutkan. Adanya bantuan berupa pelatihan guru
dan sepasang kambing bantuan dari STAIN disikapi dengan pengelolaan
secara mandiri di tangan kaum perempuan. Permasalahan ketiadaan dana
untuk membantu para perempuan yang tiba-tiba sakit, mendapatkan masalah
dalam kehamilan ataupun melahirkan, terpecahkan dengan adanya kegiatan
arisan beras yang mampu menyisihkan sebagaian hasil bethokan untuk
dana caangan sosial dan kas kegiatan.
Berbagai keberhasilan menyelesaikan persoalan kehidupan seharihari

itulah yang memantapkan kesadaran aktivitas kolektif secara

berkesinambungan.

Aksi

kolektif

lainnya

terus

bermunculan

dan

berkembang seiring dengan permasalahan yang dihadapi kaum perempuan
Dasun. Kaum perempuan secara bersama-sama memetakan masalah yang
ada di lingkungannya dan kemudian menyelesaikannya secara bersama17

sama sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Tumbuh kembangnya
aksi kolektif

yang

ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan

perempuan di Dasun tersebut telah memberikan harapan tentang adanya
sebuah perubahan. Harapan ini menumbuhkan semangat untuk berkumpul
dan berorganisasi yang kemudian diintegrasikan dalam satu payung yaitu
Paguyuban Perempuan Sido Rukun.
Aksi kolektif yang dilakukan oleh perempuan Dasun dalam
menggalang kebersamaan untuk melakukan perubahan menarik untuk
dicermati. Mengingat dewasa ini banyak sekali aksi-aksi kolektif

yang

dibentuk sebagai bagian dari proyek pemberdayaan baik yang dilakukan
oleh pemerintah maupun LSM. Di tengah ketatnya persaingan LSM dalam
memberdayakan masyarakat, fenomena penguatan kapasitas perempuan
melalui aksi kolektif sebagaimana yang terjadi di Dasun menjadi sesuatu
yang menarik untuk diteliti.
Kajian ini menjadi penting dilakukan karena beberapa alasan.
Pertama, sampai saat ini, sejauh pengetahuan penulis masih sedikit studi
yang menjelaskan tentang bagaimana sebuah aksi kolektif berkembang dan
dapat dimaknai sebagai sebuah gerakan sosial. Karena

sebagaimana

diketahui, tidak semua bentuk aksi kolektif dapat berkembang menjadi
sebuah gerakan sosial. Terkait dengan hal ini perlu dikaji lebih mendalam
unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi, dan bagaimana sebuah gerakan
dapat berkelanjutan (sustain). Kedua, sepengetahuan penulis belum banyak
penelitian kualitatif mengenai perempuan sebagai aktor dalam aksi kolektif
yang dilakukan dengan pendekatan etnografi. Ketiga, masih langkanya
kajian aksi kolektif di tingkat lokal perempuan, karena selama ini kajian
yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri lebih banyak menyoroti
18

aksi kolektif perempuan di tingkat nasional dan global yang dilakukan oleh
mereka yang berasal dari kalangan menengah.
Berpijak pada uraian latar belakang masalah yang dikemukakan,
diperlukan kecermatan untuk memaknai ragam aksi kolektif yang dilakukan
oleh kaum perempuan pedesaan di Dasun. Terutama terkait dengan hal
spesifik apa yang membedakan aksi kolektif di Dasun dengan aksi kolektif
di tempat lainnya. Apabila ragam aksi kolektif

di Dasun

dapat

dikategorikan sebagai sebuah gerakan sosial, maka terkait dengan isu yang
diusungnya, aksi kolektif di Dasun ini terkategori bentuk gerakan sosial
seperti apa? Apakah bentuk gerakan sosial lama, baru atau hal yang berbeda
dari keduanya ? Kemudian bagaimana hal tersebut dapat dijelaskan jika
ditinjau dari sisi pelaku dan setting peristiwanya.
Oleh karena itu, studi ini selanjutnya mencoba

menjawab

pertanyaan penelitian yang diperinci sebagai berikut : pertama, bagaimana
aksi kolektif terbentuk dan berkembang? Aksi kolektif seperti apa yang
dapat dimaknai sebagai gerakan sosial,

dalam mengatasi permasalahan

yang dihadapi oleh kaum perempuan?; Kedua, sejauhmana pencapaian aksi
kolektif yang dilakukan oleh kaum perempuan Dasun berimplikasi pada
kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat?
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai, secara umum untuk
mengetahui dan memaknai ragam aksi kolektif macam apa yang dapat
berkembang sebagai suatu gerakan sosial. Selanjutnya gerakan sosial yang
ada masuk dalam kategori yang mana. Secara khusus tujuan penelitian
disertasi ini dapat dikemukakan sebagai
mengeksplorasi

dan

mendeskripsikan

berikut : pertama, untuk
proses

pembentukan

dan

perkembangan aksi kolektif perempuan pedesaan di Dasun serta
19

mengidentifikasi berbagai bentuk aksi kolektif yang dapat dimaknai sebagai
gerakan sosial, khususnya dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi
oleh kaum perempuan; kedua, untuk memperoleh pengetahuan dan
pemahaman yang sistematis dan mendalam, dalam memaknai implikasi
pencapaian aksi kolektif perempuan Dasun dalam kehidupan berumah
tangga dan bermasyarakat;
KERANGKA TEORI
Konflik di masyarakat tidak selalu berkembang pada aksi kolektif,
dengan pengandaian yang sama, maka tidak semua aksi kolektif
membutuhkan adanya konflik terlebih dahulu.11 Tema kontemporer aksi
kolektif (collective action) telah menjadi inti dari tradisi studi tentang
"perilaku kolektif” (collective behavior) dalam ilmu sosial.12 Aksi kolektif
dimaknai sebagai kapasitas masyarakat manusia untuk mengembangkan
orientasi yang sesuai dengan norma dan nilai yang mereka miliki 13. Berbeda
dengan gerakan

sosial eksistensinya seringkali dikaitkan dengan aksi

organisasi atau kelompok civil society dalam mendukung atau menentang
perubahan sosial14. Namun hal yang

perlu dicari penjelasannya adalah

kapan dan bagaimana suatu aksi kolektif dapat dikategorikan sebagai
gerakan sosial atau bukan. Untuk dapat mengidentifikasi aksi kolektif yang
terdapat dalam suatu masyarakat sebagai gerakan sosial atau bukan, terlebih
dahulu diperlukan alat bantu yaitu pemetaan teori gerakan sosial beserta
indikatornya. Sesuai dengan tema yang diangkat dalam disertasi ini, maka
teori gerakan sosial menjadi alat utama analisis.
11 Rajendra Singh. Op.Cit. h : 30.
12 Rajendra Singh. Ibid. h : 31; Blumer, 1957; Turner dan Killian, 1957;
Smelser, 1962.
13 Rajendra Singh.Ibid. h : 31.
14 Iwan Gardono Sujatmiko.Op.Cit. h : xvi

20

Karena kekhususan dari fenomena aksi kolektif yang diangkat,
maka diperlukan kecermatan dalam memilih teori gerakan sosial yang dapat
dipakai sebagai kerangka yang mampu menjadi bingkai atas permasalahan
yang hendak dijawab. Kekhususan tersebut di antaranya bahwa gerakan
sosial ini dilakukan oleh para perempuan pedesaan, miskin, tidak
berpendidikan tinggi, hidup di lereng pegunungan yang terpencil, di mana
akses informasi maupun transportasinya terbatas, namun aksi kolektif yang
mereka lakukan mampu meretas sebuah jalan demi terwujudnya perubahan
sosial.
Pemetaan Teori Gerakan Sosial
Pada bagian ini akan dikemukakan teorisasi gerakan sosial yang
dirangkum oleh Singh di satu sisi dan di sisi lain oleh della Porta dan
Diani. Berdasarkan pendapat kedua kubu ini dapat dilihat peta gerakan
sosial

yang

pernah berkembang dari masa

ke masa serta isu yang

diperjuangkan oleh masing-masing gerakan. Kemudian kerangka teoritis ini
akan diarahkan secara spesifik terkait dengan adanya perubahan nilai-nilai
yang merupakan karakteristik

gerakan sosial baru (kultural) dalam

mendorong terjadinya perubahan sosial. Pemetaan teorisasi gerakan sosial
diperlukan mengingat begitu banyaknya ahli dari berbagai aliran dan dalam
rentang waktu yang berbeda.
Rajendra Singh
Ragam pendapat yang dilahirkan oleh para ahli tentang gerakan
sosial pada dasarnya dapat dipilah dalam klasifikasi tradisi teoritik dari studi
tentang gerakan sosial, yang meliputi15:
15 Rajendra Singh. Op.Cit. h : 89-97.

21

a) Klasik, meliputi studi perilaku kolektif dari kerumunan (crowd),
kerusuhan (riot), dan pemberontakan (rebel) yang banyak dilakukan
oleh teoritisi barat yang berorientasi pada ajaran psikologi sosial
klasik dan sejarawan sebelum era tahun 1950-an. Beberapa contoh
karya aliran ini di antaranya G. Tarde’s Laws of Imitation (1903),
Gustave Le Bon’s The Crowd (1909), William McDougall’s The
Group Mind (1920) dan E.D. Martin’s The Behaviour of Crowd
(1929) yang didasarkan pada studi tentang perilaku kolektif.
b) Neo Klasik, aliran ini dihubungkan dengan tradisi utama dalam studi
gerakan sosial lama, yangn biasa dipublikasikan setelah tahun 1950an. Tradisi ini dibagi dalam dua model studi gerakan sosial lama
yang berbeda, yaitu fungsionalis dan model dialektika Marxis.
c) Kontemporer atau gerakan sosial baru (GSB) , tidak sebagaimana
gerakan sosial lama (klasik dan neo klasik). Orientasi GSB tidak
meliputi diskursus ideologi yang mempertanyakan antikapitalisme,
revolusi kelas, dan perjuangan kelas. Pada dasarnya GSB tidak
tertarik untuk mempertanyakan ide revolusi. Paradigma ideologi
dan orientasi GSB adalah sesuatu yang baru. GSB lebih
menonjolkan pluralitas, yang ditunjukkan secara beragam melalui
isu anti rasis, anti nuklir, pelucutan senjata, feminism, lingkungan,
regionalisme dan etnisitas, kemerdekaan sipil, kebebasan individu
dan perdamaian.16
Perubahan dari masyarakat modern menuju masyarakat post modern
juga merefleksikan perubahan yang senada pada adanya perubahan bentuk
gerakan sosial, yaitu dari gerakan klasik dan neo klasik yang biasa disebut
gerakan sosial lama, menuju kepada gerakan sosial baru. 17 Gerakan sosial
lama selama ini berhubungan dengan “representasi” dari kapitalisme dan
indutrialisme, yang merupakan ekspansi dan dominasi dari peradaban barat
terhadap peradaban non barat.

Di lain pihak GSB mengekspresikan

kejenuhan terhadap representasi modernis, dengan cara menolak ide-ide
materialistik dan lebih mengutamakan perbaikan kualitas kehidupan
manusia seutuhnya18. Berdasarkan pada kasus aksi kolektif yang ada di
16 Rajendra Singh. Ibid. h : 89
17 Rajendra Singh. Ibid. h : 97.
18Rajendra Singh. Ibid. h : 97.

22

Dasun,

studi disertasi ini lebih memfokuskan pada penjelasan teoritik

yang dikemukakan oleh gerakan sosial baru (GSB).
Adapun beberapa karakteristik GSB, sebagaimana dikemukakan
oleh Singh, pada dasarnya meliputi empat karaketeristik. 19 Pertama terkait
dengan asumsi bahwa ruang sosial civil society semakin berkurang
(keberdayaannya) karena kuatnya kontrol Negara dan ekspansi pasar, yang
berakibat pada berkembangnya isu self defence dalam komunitas untuk
menentang hal tersebut.

20

Kedua, mengubah paradigma Marxis tentang

konflik kelas dan kelas. Selama ini Marxisme melihat semua bentuk
perjuangan adalah perjuangan kelas dan semua bentuk pengelompokan
manusia juga disebut sebagai pengelompokan kelas. Padahal saat ini banyak
perjuangan kontemporer yang tidak berbasis pada kelas dan menekankan
pada isu non materialistik, yang melampaui Marxist dalam hal penjelasan
istilah kelas dan pembentukan kelas.

21

Ketiga, GSB umumnya

mengembangkan politik akar rumput, aksi-aksi dari akar rumput, gerakan
mikro dari kelompok-kelompok kecil, membidik isu-isu lokal dengan dasar
kelembagaan yang terbatas. Menurut Cohen, GSB pada umumnya
menanggapi masalah yang berakar dari civil society, yang bertujuan menata
kembali hubungan antara negara, masyarakat dan ekonomi, serta
menciptakan ruang publik untuk mengembangkan wacana demokratis
tentang otonomi dan kebebasan individu dan kolektif. 22 Keempat, struktur
GSB ditentukan oleh pluralitas pencarian tujuan, sasaran dan orientasi yang
berbasis pada heterogenitas sosial. Pada masa kini, transformasi diri dan
konstruksi diri berkembang secara tak terbatas. Konsekuensinya, bentuk19 Rajendra Singh. Ibid. h : 98-105.
20 Rajendra Singh.Ibid. h : 99-100
21 Rajendra Singh. Ibid.h : 100-101
22 Rajendra Singh. Ibid. h : 101-102

23

bentuk aksi sosial dan gerakan adalah plural, mengikuti berbagai jejak,
mengejar tujuan yang berbeda dan menyuarakan kepentingan yang
beragam.23
Singh

selanjutnya berpendapat bahwa perspektif

GSB

pada

dasarnya meliputi teori mobilisasi sumber daya dan teori yang berorientasi
identitas.24 Teori mobilisasi sumber daya merujuk pada pendapat Cohen,
dimulai dengan tesis yang menolak penekanan peranan perasaan dan
keluhan, serta menolak karakteristik gerakan yang diturunkan dari
pendekatan perilaku kolektif. Teoritisi penganut aliran ini mempertanyakan
asumsi konvensional yang menyatakan bahwa secara umum aktor dari
mobilisasi aksi kolektif adalah orang-orang yang mengalami keterasingan
dan ketegangan sosial. Asumsi dasar dari teori mobilisasi sumber daya
menyatakan bahwa gerakan kontemporer membutuhkan bentuk komunikasi
dan organisasi yang canggih, daripada sekedar terompet dan drum
sebagaimana yang biasa dilakukan oleh gerakan sosial lama. Gerakan sosial
baru merupakan sistem mobilisasi yang terorganisir secara rasional. 25
Adapun teori berorientasi identitas, yang lebih banyak berkembang
di Eropa,

berkebalikan dari teori mobilisasi sumber daya (yang lebih

banyak berkembang di Amerika), di mana ia secara umum bersifat non
materialistik. Teori berorientasi identitas mengajukan pertanyaan tentang
integrasi dan solidaritas dari kelompok-kelompok yang terlibat dalam aksi
kolektif.

Teori ini menolak upaya teori mobilisasi sumber daya yang

memaksakan model rasional voluntaristik dan neo utilitarian untuk
menjelaskan gerakan sosial dan aksi kolektif. Sebuah gerakan tidak selalu
23Rajendra Singh . Ibid. h : 102-103
24 Rajendra Singh. Ibid. h : 106.
25 Rajendra Singh. Op.Cit. h : 106.

24

mengekspresikan strategi kalkulasi untung atau rugi. Meskipun teori
berorientasi identitas ini mempertanyakan tentang solidaritas dan integrasi,
namun tidak mengadopsi pendapat Durkheimian tentang anomi dan
turunannya

sebagaimana

disebutkan

oleh

Smelser

seperti

konsep

ketegangan, keyakinan umum, dan sebagainya, yang biasanya relevan untuk
menjelaskan perilaku kolektif.26
Pada akhirnya ditegaskan, bahwa meskipun komponen penyokong
teori ini menerima beberapa elemen teoritik Marxist seperti perjuangan,
mobilisasi, kesadaran dan solidaritas, namun menolak tesis reduksionisme
dan determinisme materialistik sebagai basis pembentukan masyarakat. Para
partisipan dalam aksi kolektif menurut perspektif ini menegaskan bahwa
aksi

yang

mereka

lakukan

memperjuangkan labour values,

bukanlah

dalam

konteks

sekedar

namun memperjuangkan keberadaan

mereka sebagai manusia seutuhnya. Dengan demikian muncul kesepakatan
umum bahwa gerakan yang berorientasi identitas menegaskan bahwa aksi
kolektif merupakan ekspresi dari manusia untuk mencari identitas, otonomi
dan pengakuan.27
Menilik kedua perspektif teoritik yang dikutip Singh dari Cohen dan
Pizzorno tersebut terdapat persamaan bahwa keduanya menyatakan bahwa
aktor yang berpartisipasi dalam mobilisasi kolektif adalah dilandasi
kesadaran, rasional, berintegrasi dalam derajat tertentu, dan merupakan
anggota masyarakat yang terorganisir. Namun di antara persamaan tersebut
juga terdapat perbedaan yaitu, teori mobilisasi sumber daya lebih
menekankan tesis tentang peran reason (kemampuan berpikir) dalam aksi
kolektif; sementara teori yang berorientasi identitas menekankan peran
26 Rajendra Singh. Ibid. h : 113-114.
27 Rajendra Singh. Ibid. h : 114.

25

reflexion (gagasan) daripada reason dalam sebuah aksi kolektif dan gerakan
sosial.
Donatella della Porta dan Mario Diani
Sementara itu

della Porta dan Diani di sisi lain menyatakan

bahwa teori gerakan sosial yang muncul sejak tahun 1930-an sampai 1970an berhadapan dengan dua prinsip model teoritik yaitu model Marxist dan
model struktural fungsional (Smelser). 28 Di Amerika, kritik terhadap
struktural fungsional muncul dalam tiga perspektif utama, yaitu collective
behaviour, resource mobilization, dan political process29. Berpijak dari sudut
pandang yang berbeda, masing-masing model pendekatan tersebut berusaha
mengeksplorasi mekanisme yang menerjemahkan berbagai tipe ketegangan
struktural ke dalam aksi kolektif (the ‘how’ of collective action)30. Sementara
di Eropa, ketidakpuasan para intelektual terhadap Marxism melahirkan
pengembangan perspektif ‘new social movements’ (gerakan sosial baru),
yang fokus dengan transformasi struktur dasar konflik (the “why’ of
action)31. Hal inilah yang membentuk adanya dua pendekatan dalam studi
gerakan sosial, yang lazimnya disebut sebagai pendekatan Amerika dan
pendekatan Eropa.32
Awal mula berkembangnya pendekatan ini tidak hanya didasarkan
pada perbedaan antara tradisi intelektual Amerika dengan Eropa. Faktor
28Porta & Diani. Op.Cit. h : 2.
29 Porta & Diani. Ibid. h : 2
30 Porta & Diani. Ibid. h : 2; Alberto Melucci . 1982. L’Invenzione de
Presente, Movimenti, Identita, Bisogni Individuali. Bologna : il Mulino.
31 Porta & Diani . Ibid . h : 2
32 Porta & Diani . Ibid. h : 2; Bert Klandermans.1988: “The Formation
and Mobilization of Consensus” dalam B. Klandermans, H.Kriesi dan Sidney
Tarrow (eds). From Structure to Action, Greenwich, CT:JAI Press, 173-96.

26

lainnya adalah keragaman obyek studi 33. Meskipun pendekatan tersebut lahir
dalam latar sejarah yang sama pada akhir tahun 1960-an, namun terdapat
perbedaan. Di Amerika Serikat, organisasi gerakan sosial lahir selama
gelombang protes yang secara cepat menjadi pragmatis dan terstruktur, di
mana

sebagian

besar

menjelma

sebagai

kelompok

kepentingan 34.

Sebaliknya, gerakan yang antagonistik terhadap sistem mempunyai karakter
countercultural yang kuat dan dalam banyak kasus tampak jelas bersifat
religius35.

Di Eropa,

kemunculan gerakan sosial banyak meminjam

karakteristik dari gerakan buruh, termasuk penekanannya pada ideologi 36.
Berikut ini dipaparkan empat perspektif dominan menurut della
Porta dan Diani dalam gerakan sosial yang dikemukakan oleh beberapa
teoritisi gerakan sosial.
Tabel 1 Perspektif Gerakan Sosial

33 Porta & Diani . Ibid. h : 2
34 Porta & Diani . Ibid. h : 2; John D. McCarty & Mayer N Zald. 1987.
“The Trend of Social Movements in America: Professionalization and Resource
Mobilization, dalam M.N. Zald & D. Mc Carthy, Social Movements in
Organizational Society, New Brunswick : Transaction, 1987 : 337-91 (originally
published as The Trend of Social Movements In America. Morristown : General
Learning Press, 1973; Joyce Gelb. 1989. Feminishm and Politics. A Comparative
Perspective. Berkeley : University of California Press.
35 Porta & Diani . Ibid. h : 3; Luther Gerlach & Virginia Hine. 1970.
People Power and Change. Indianapolis : The Bobbs-Merrill Company; Theodor
Roszak. 1976.La Nascita di una Contracultura,Milan : Feltrinelli; E Burke
Rochford. 1985. Hare Krishna in America. New Brunswick, NJ : Rutgers
University Press; J. Milton Yinger. 1982. Contercultures. New York : Free Press.
36 Porta & Diani . Ibid. h : 3; Sidney Tarrow.1989. Democracy and
Disorder. Protest and Politics in Italy, 1965-1975. Oxford/New York : Oxford
University Press; Donatella Della Porta & Dieter Rucht.1995. “Left Libertarian
Movements in Context : Comparing Italy and West Germany, 1965-1990, dalam
J.C. Jenkins & Klandermans (eds), The Politics of Social Protest. Comparative
Perspectives on State and Social Movements , Minneapolis : University of
Minnesota Press, h 229-72.

27

Perspekti
f
Gerakan
Sosial
Perilaku
Kolektif

Mobilisas
i Sumber
Daya

Proses
Politik

Para
Ahli
Pendukung

Tesis Utama

Le Bon (1960),
Hoffer
(1951),
Blummer (1969),
Kornhauser
(1959), Smelser
(1971),
Toch
(1966),
Gurr
(1970) dll.

Gerakan
sosial
muncul
sebagai
respon
spontan
ketidakpuasan
terhadap situasi baru
yang
diciptakan
modernisasi
dan
berlangsung cepat
(rapid
modernization)

Kritik

Cenderung
memandang
gerakan
sosial
sebagai
respons
emosional
dan
irasional an sich.
Kurang
memperhitungkan
basis
atau
organisasi gerakan
dan keterkaitannya
satu sama lain
dalam membangun
gerakan –gerakan
yang lebih besar.
Mancur
Olson Ketidakpuasan tidak Terlalu
(1965), Zald dan selalu melahirkan menekankan aspek
Ash
(1966), protes
karena rasional. Kurang
McCarthy
dan individu merupakan memperhitungkan
Zald
(1977), aktor
rasional aspek kesadaran,
Anthony
(mempertimbangka cita-cita,
kultur,
Oberschall (1973, n cost and benefits). dan
ideology.
1978),
Charles Gerakan sosial akan Organisasi gerakan
Tilly (1978), dll.
terjadi dan mampu menimbulkan
bertahan
dengan gejala
mobilisasi sumber birokratisasi,
daya (material dan oligarkisasi, dan
non material) yang institusionalisasi.
ada
dalam Gerakan
sosial
organisasi.
diposisikan secara
Organisasi gerakan pasif,
sebagai
menjadi perhatian.
variable dependen.
Michael Lipsky Perhatian sistematis Konsep
(1970),
Peter pada
struktur eksplanatorisnya
Eisinger (1973), peluang politik yang kuat, namun lemah
Jenkins
dan mempengaruhi
jika dipergunakan
28

Perrow
(1977),
McAdam (1982,
1989,
1998),
Kitschelt (1986),
Brockett (1991),
Kriesi,
et
al
(1992), dll.

Gerakan
Sosial
Baru

Alain
Touraine
(1977-1981),
Claus
Offe
(1985),
Laclau
dan
Mouffe
(1985), Alberto
Melucci
(1982,1989,1996)
, Inglehart (1990),
Rajendra Singh
(2001)

kelangsungan
gerakan
sosial.
Struktur
peluang
politik
mencakup
antara lain tingkat
keterbukaan, tingkat
stabilitas
susunan
elit yang berkuasa,
adanya
pengelompokan dan
perpecahan
elite,
dan kapasita Negara
serta
kecenderungannya
untuk menindas.
Perspektif
ini
melihat
gerakangerakan
kontemporer
sebagai
respons
terhadap
ketidakcakapan
struktur politik dan
ekonomi
masyarakat
pascaindustrial. Ia
berbeda
dengan
gerakan-gerakan
lain karena struktur
organisasinya yang
terdesentralisasi,
menggunakan taktik
inkonvensional, dan
fokusnya pada isuisu budaya dan
identitas.

29

pada kasus yang
spesifik.
Terbukanya
peluang
tidak
senantiasa
menguntungkan
bagi
gerakan
sosial, tetapi juga
menjadi
kesempatan bagi
lawan-lawannya
untuk melemahkan
gerakan.
Kurang
mampu
melihat keterkaitan
gerakan-gerakan
sosial
yang
berlangsung
sepanjang masa.
Menafikkan
gerakan-gerakan
kontemporer
di
Negara-negara
nonpascaindustrial
.
Menafikkan
peran organisasiorganisasi gerakan
dan
bagaimana
organisasi tersebut
memelihara
dinamika gerakan
secara
berkelanjutan.
Perspektif ini juga
membesarbesarkan seolah-

olah
perubahan
kultural
bisa
dipisahkan
dari
isu-isu
politik
konvensional,
seperti hukum dan
keadilan distributif
Sumber : Eyerman & Jamison (1991), Jenkish dan Klandermans (1995);
Klandermans (1997); Canel (1997: Tarrow (1998); della Porta dan Diani
(1999); Singh (2001) via Manalu (2009).
Keempat perspektif utama yang terdapat dalam kajian gerakan
sosial tersebut, dinilai masih kurang dapat secara tepat untuk menjadi alat
analisis terhadap fenomena yang diteliti dalam disertasi ini.

Apabila

dicermati maka terdapat beberapa kelemahan atau kekurangan sekaligus
kelebihan

dari

masing-masing

perspektif

dominan

tersebut

dalam

menganalisis fenomena aksi kolektif perempuan pedesaan di Dasun.
Secara teoritik fenomena aksi kolektif di Dasun tidak dapat
dianalisis dengan teori-teori yang dikategorikan sebagai gerakan sosial lama.
Karena isu yang diperjuangkan tidak lagi berbasis pada aspek materialistik,
dan pelakunya pun tidak didasarkan pada kelas. Aksi kolektif di Dasun
sebagai sebuah aksi di tingkat akar rumput, berbasis pada penyelesaian
masalah yang ada dalam komunitasnya. Mulai masalah keamanan pangan,
peningkatan

kualitas

layanan

kesehatan,

penyelamatan

lingkungan,

peningkatan pendapatan, serta adanya upaya melakukan redefinisi dan
rekonstruksi nilai-nilai yang ada dalam relasi keluarga dan masyarakat, yang
intinya semua itu ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan
perempuan. Berdasarkan aspek pluralitas isu yang diperjuangkan oleh aksi
kolektif yang ada di Dasun, dapat diketahui bahwa apa yang sedang terjadi
di Dasun bisa jadi merupakan sebuah gerakan sosial baru (gerakan kultural).
30

Namun apabila kita cermati pendapat teoritisi GSB, pelaku GSB ini
biasanya berasal dari kelas menengah atau profesional yang berpendidikan
tinggi dan hidup dalam setting masyarakat post industri. Jika merujuk pada
pendapat teoritisi GSB tersebut (terkait dengan pelaku dan setting) maka
tentunya akan terdapat ketidaksesuaian yang mendasar dengan apa yang
terjadi di Dasun. Pelaku GSB di Dasun adalah para perempuan pedesaan
agraris, miskin, tinggal di lereng gunung yang terpencil, dengan sarana
infrastruktur terbatas dan tidak mengenyam pendidikan tinggi. Oleh karena
itu teori GSB maupun teori GSL yang ada dalam hal ini hanyalah acuan
untuk memulai analisis terhadap fenomena aksi kolektif di Dasun. Besar
kemungkinan teori-teori gerakan sosial yang telah ada selama ini tidak
mampu menjadi dasar untuk menjelaskan fenomena di Dasun. Hal tersebut
akan berimplikasi pada lahirnya sebuah teori gerakan sosial yang khas, yang