BAB II LANDASAN TEORI - Perbedaan Adversity Quotient Pada Wirausahawan Batak Toba Dan Jawa

BAB II LANDASAN TEORI A. ADVERSITY QUOTIENT (AQ) 1. Pengertian Adversity Quotient Menurut Stoltz (2000) Adversity Quotient (AQ) adalah sikap mental yang

  berupa kemampuan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya sehingga dapat terus bertahan untuk mencapai kesuksesan pada pekerjaan dan hidup. AQ mempunyai tiga bentuk definisi (Stoltz, 2000). Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon individu terhadap kesulitan. Ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan.

  Menurut Stoltz (2000) dengan AQ kita dapat melihat beberapa hal, yaitu:

  a. Seberapa jauh seseorang dapat bertahan dalam menghadapi kesulitan dan kemampuan seseorang untuk mengatasinya b. Meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur c. Meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal d. Meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.

2. Dimensi Adversity Quotient

  Adversity Quotient secara umum dapat diungkap melalui empat dimensi

  yang oleh Stoltz (2000) dikenal dengan CO

  2 RE, meliputi:

  a. Control Dimensi ini mempertanyakan tentang seberapa besar kendali yang individu rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Individu yang memiliki skor control yang tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang skor control-nya lebih rendah.

  Mereka yang memiliki AQ yang lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara orang-orang yang AQ nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada dimensi control merasa bahwa peristiwa-peristiwa buruk berada di luar kendali dan hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk mencegahnya atau membatasi kerugiannya. Individu yang rendah kemampuan pengendaliannya sering menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan.

  b. Origin dan Ownership Dimensi ini mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan itu. Dimensi origin berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang skor

  • nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya

  origin

  atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut. Sedangkan individu yang skor origin-nya tinggi cenderung menganggap sumber kesulitan berasal dari orang lain atau dari luar.

  Individu yang skor ownership-nya tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, bertanggungjawab terhadap kesulitan dan mampu belajar dari kesalahan. Sedangkan individu yang skor ownership-nya rendah cenderung tidak mengakui masalah dan menuding orang lain.

  c. Reach Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Individu yang skor reach-nya rendah cenderung membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan. Sedangkan individu yang skor reach-nya tinggi cenderung membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

  d. Endurance Dimensi ini mempertanyakan berapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Individu yang skor

  endurance -nya rendah menganggap kesulitan dan/atau penyebab-penyebabnya

  akan berlangsung lama dan menganggap peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Sedangkan Individu yang skor endurance-nya tinggi menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinan terjadi lagi.

3. Tipe Adversity Quotient

  Dengan menganalogikan pada pendakian gunung, Stoltz (2000) membagi orang-orang dalam pendakian itu dalam tiga golongan, yaitu quitter, camper dan

  climber.

  a. Quitter Quitter adalah orang yang berhenti dan tidak mencoba untuk mendaki.

  Mereka adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti. Mereka menolak kesempatan untuk mendaki. Mereka mengabaikan, menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

  b.

   Camper Camper adalah orang-orang yang pergi untuk mendaki tetapi tidak

  seberapa jauh mereka berhenti dan memilih untuk menetap di situ dan tidak meneruskan pendakiannya karena telah merasa nyaman, aman dan mungkin takut akan hal yang terjadi jika mereka terus mendaki.

  c. Climber

  Climber merupakan orang-orang yang seumur hidup digunakan untuk

  mendaki. Mereka selalu terus menerus maju dengan memikirkan kemungkinan- kemungkinan serta tidak membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental dan hambatan lainnya menghalangi pendakiannya.

4. Faktor-Faktor Pendukung Kesuksesan

  Dalam menggambarkan faktor-faktor yang mendukung kesuksesan seseorang, Stoltz (2000) mengibaratkannya dengan sebuah pohon.

  a. Daun: Kinerja Daun diibaratkan dengan kinerja karena merujuk pada bagian yang paling mudah terlihat oleh orang lain. Daun adalah bagian yang terlihat dari pohon. Pada kesuksesan seseorang, bagian yang dapat dilihat adalah kinerjanya. Kinerja adalah bagian yang paling sering dievaluasi atau dinilai, baik itu yang berhubungan dengan pendidikan, pekerjaan, hubungan interpersonal ataupun hubungan dengan lingkungan. Namun, kinerja seseorang tidak muncul begitu saja, daun harus tumbuh di cabang pohon.

  b. Cabang: Bakat dan Kemauan Cabang pertama merujuk pada apa yang disebut faktor simpulan (resume

  factor ). Simpulan menggambarkan keterampilan, kompetensi, pengalaman dan pengetahuan yakni apa yang diketahui dan mampu dikerjakan oleh seseorang.

  Gabungan pengetahuan dan kemampuan ini disebut bakat. Cabang yang kedua adalah kemauan, menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi dan semangat. Seseorang yang memiliki bakat tetapi tidak memiliki kemauan tidak mungkin menjadi sukses. Seseorang membutuhkan bakat dan kemauan untuk mencapai kesuksesan. Namun, seperti cabang pohon, bakat dan hasrat tidak muncul begitu saja. Oleh karena itu, seseorang juga harus memperhatikan pada batang pohonnya. c. Batang: Kecerdasan, Kesehatan dan Karakter Pada awalnya banyak orang mengartikan kecerdasan sebagai hasil pengukuran suatu tes semacam IQ, GPA atau SAT. Howard Gardner, seorang profesor psikologi di Harvard University adalah satu di antara banyak peneliti yang memperluas pengertian kecerdasan dengan menunjukan bahwa kecerdasan mempunyai tujuh bentuk yaitu linguistik, kinestetik, spasial, logika matematis, musik, interpersonal dan intrapersonal.

  Kesehatan emosi dan fisik juga dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menggapai kesuksesan. Jika seseorang sakit, penyakit akan mengalihkan perhatiannya dari gunung yang sedang didakinya. Pendakian itu menjadi sekadar perjuangan hari demi hari untuk bertahan hidup. Sebaliknya emosi dan fisik yang sehat dapat sangat membantu pendakian seseorang. Karakter seperti kejujuran, keadilan, kelurusan hati, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian dan kedermawanan, semuanya penting bagi seseorang untuk meraih kesuksesan.

  d. Akar: Genetika, Pendidikan dan Keyakinan Semua faktor yang ada seperti kinerja, bakat, kemauan, kecerdasan, kesehatan dan karakter penting bagi kesuksesan, tapi tak satupun dari faktor tersebut bisa tumbuh tanpa faktor akar, yaitu genetika, pendidikan dan keyakinan. Meskipun warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang, namun berdasarkan penelitian yang telah ada ternyata menunjukkan genetika berpengaruh terhadap perilaku seseorang.

  Faktor akar yang kedua adalah pendidikan. Pendidikan seseorang bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat dan kinerja yang dihasilkan. Faktor akar yang ketiga adalah keyakinan, seseorang yang sukses mutlak harus memiliki keyakinan diri.

B. KEBUDAYAAN

  Menurut Koentjaraningrat (dalam Simanjuntak, 2009) banyak definisi tentang kebudayaan yang telah diajukan oleh para ahli antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan kesusasteraan. Bahkan ada sekitar 160 rumusan definisi kebudayaan menurut hasil studi Kluckhohn dan Kroeber (dalam Simanjuntak, 2009). Definisi kebudayaan menurut Kluchohn adalah (1) keseluruhaan cara hidup manusia; (2) warisan sosial yang diperoleh setiap orang dari kelompoknya; (3) cara berpikir, merasakan dan kepercayaan; (4) suatu abstraksi tingkah laku; (5) suatu teori di bidang antropologi tentang cara satu kelompok bertingkah laku secara nyata; (6) gudang terhadap pelajaran yang dikumpulkan; (7) suatu orientasi yang baku terhadap masalah yang sering terjadi; (8) tingkah laku yang dipelajari; (9) suatu mekanisme peraturan tingkah laku; (10) suatu teknik penyesuaian baik terhadap lingkungan eksternal maupun kepada orang lain; (11) suatu endapan sejarah.

  Rumusan definisi tersebut bila dikaji secara mendalam sebenarnya menampilkan nilai-nilai dan sistem-sistem. Nilai dan sistem yang terdapat dalam keseluruhan cara hidup setiap bangsa atau suku diwarisi orang dan kelompoknya, terdapat pula dalam cara berpikir, berperasaan dan berkepercayaan. Definisi terakhir (nomor 11) dari Kluchohn (dalam Simanjuntak, 2009) termasuk endapan sejarah yang dimaksudkan adalah endapan nilai-nilai dan sistem-sistem serta hasil dari keduanya yang merangkai sejarah suatu bangsa atau suku bangsa. Oleh karena itu, kedudukan peranan nilai dan sistem budaya menjadi hal yang penting.

  Menurut Koentjaraningrat (dalam Simanjuntak, 2009) konsep nilai budaya ialah konsep yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat yang dipandang bernilai, berharga dan penting sehingga mampu berfungsi sebagai pedoman arah dan orientasi bagi kehidupan warga masyarakat. Ogburn dan Nimkoff (dalam Simanjuntak, 2009) mengemukkan bahwa di dalam masyarakat terdapat sejumlah nilai yang berkaitan satu sama lain sehingga membentuk suatu sistem. Sistem tersebut seperti dikatakan Koentjaranigrat menjadi pedoman dan pendorong dalam menata kehidupan warga masyarakat.

  Menurut Koentjaraningrat (dalam Simanjuntak, 2009) nilai budaya ialah nilai yang dikandung oleh suatu kebudayaan dan unsur-unsurnya yang membedakannya dari kebudayaan lain. Nilai budaya merupakan tingkat tertinggi dan abstrak dari adat-istiadat serta memberikan ciri dan karakter bangsa, suku bangsa bahkan kelompok-kelompok masyarakat. Dengan demikian ada perbedaan nilai dan sistem budaya dalam setiap kebudayaan. Nilai budaya tersebut meresapi hidup anggota masyarakat sejak dini sehingga mengakar di dalam jiwa. Nilai budaya yang terdapat dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti begitu saja dalam waktu singkat dengan nilai budaya lain.

  Adapun dua budaya yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu budaya Batak khususnya Batak Toba dan Jawa.

1. Budaya Batak Toba

  Suku bangsa Batak terdiri atas enam sub bagian, yaitu Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola dan Mandailing. Di antara ke enam sub suku tersebut terdapat persamaan bahasa dan budaya. Walaupun demikian terdapat pula perbedaannya, misalnya dalam hal dialek, tulisan, istilah-istilah dan beberapa adat kebiasaan. Struktur sosial ke enam sub suku tersebut pada dasarnya sama, yakni terdiri dari tiga unsur utama. Pada sub suku Batak Toba dinamakan dalihan na

  tolu yang terdiri dari hulahula (sumber istri), dongan tubu (saudara semarga) dan boru (penerima istri). Ketiga unsur sosial itu terdapat pada semua sub suku

  dengan istilah yang sedikit berbeda, namun fungsi ketiganya sama (Simanjuntak, 2009).

  Suku bangsa Batak menjalani hidup sehari-hari berdasarkan prinsip- prinsip falsafah batak. Falsafah Batak adalah suatu kebenaran hakiki yang menggambarkan tentang ciri-ciri khas Batak, yang mengatur perilaku hubungan kekerabatan dan interaksi antara yang satu dengan yang lainnya, yang saling mempengaruhi, saling menentukan, saling berhubungan dan saling membutuhkan yang diikat dengan sistem Dalihan Natolu. Prinsip-prinsip yang mendasar tersebut masih aktual dan sangat sering dilakonkan oleh sebagian besar orang Batak untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan, kekerabatan dan adat istiadat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun tujuh falsafah hidup yang menjadi pegangan hidup dalam acara-acara adat, keagamaan, pesta, acara kekeluargaan dan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh komunitas Batak yaitu (Tinambunan, 2010): a. Mardebata = Punya Tuhan Orang Batak sangat taat dan takwa kepada Debata Mulajadi Nabolon

  (Tuhan). Orang Batak selalu memperlihatkan hubungan yang dalam kepada Maha Pencipta. Sejak zaman dahulu kala, nenek moyang orang Batak mempunyai tradisi martonggo (berdoa) dalam setiap memulai dan mengakhiri suatu acara adat dan acara-acara lainnya yang dapat memberikan kenyamanan dan kebaikan bagi orang Batak dalam suatu acara atau pesta yang akan dilaksanakan.

  b. Marpinompar = Punya Keturunan Orang Batak sangat peduli pada keturunan, terutama anak laki-laki, agar silsilah atau torombo tidak terputus dan tetap berkesinambungan. Oleh sebab itu, orang Batak yang belum punya anak laki-laki masih belum dianggap memiliki

  

hagabeon (lengkap punya anak laki-laki dan perempuan), walaupun sudah

  memiliki hasangapon (terpandang) di masyarakat dan memiliki hamoraon (punya harta).

  c. Martutur = Punya Kekerabatan Bagi masyarakat keturunan Batak, kekerabatan berdasarkan Dalihan

  Natolu merupakan suatu keharusan dan dilaksanakan dengan komitmen. Bila ada

  orang yang tidak paham lagi posisinya pada generasi ke berapa dalam silsilah marga, maka dia dianggap tidak paham partuturan (kekerabatan). Martutur (saling memberitahukan marga dan urutan generasi ke berapa dalam susunan kekerabatan marga) sejak anak-anak telah diajarkan oleh orangtua. Oleh karena itu, kekerabatan mayarakat Batak dalam setiap pertemuan baik dalam suka dan duka merupakan konsepsi sistem dalam keluarga menjalankan/melakonkan Dalihan Natolu.

  Setiap pertemuan, orang Batak selalu tampak dan mudah akrab berdasarkan partuturan (kekerabatan). Contohnya keturunan Parna, yakni kelompok Nai Ambaton yang baru saling kenal tampak seperti kakak/adik kandung. Kelompok ini masih teguh dalam pelaksanaan padan (perjanjian) untuk tidak saling beristrikan atau bersuamikan dalam satu marga Parna. Jika ada yang melanggar, maka pasangan yang menikah itu akan dikucilkan. Konon, orang yang semarga membentuk rumah tangga akan mati ditombak/dirajam pada zaman dahulu. Bagi masyarakat Batak (dulu), pernikahan pasangan yang semarga dianggap melanggar adat dan harus dikutuk atau dibinasakan. Bahkan ada yang tidak semarga tidak dapat membentuk keluarga (perkawinan).

  d. Maradat = Punya Adat Istiadat Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh modernisasi hubungan antarmanusia, tanah Batak tidak terisolasi lagi, kian terbuka terhadap nilai-nilai baru yang dibawa oleh kaum kolonialisme Belanda. Orang Batak melaksanakan pernikahan silang dengan suku-suku lainnya di Indonesia. Akan tetapi, keterbukaan tidaklah mengubah total kebiasaan masyarakat Batak. Suatu hal prinsipil yang dipegang oleh orang Batak adalah filosofi Dalihan Natolu.

  Adat adalah sebagai habitat (sistem) dalam suatu kekerabatan, yang mengatur dengan kokoh segenap rangkuman ke segala segi. Dalam hubungan dan kehidupan secara serentak menjadi rangkuman segala hukum, bentuk pergaulan/hubungan sosial budaya, pembangunan rumah, penggarapan lading, tata cara penguburan orang yang meninggal, mengurus perkawinan, mengatur

  gondang (pesta), yang dipelihara dan dihormati sampai sekarang. Dengan filosofi Dalihan Natolu, masyarakat Batak adalah pelaksana demokrasi sejati, yang tidak

  memandang suku, agama, ras, marga, jabatan, pangkat dan harta/status sosial. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama dalam lingkup Dalihan Natolu.

  e. Marpangkirimon = Punya Pengharapan Tiga pengharapan atau cita-cita hidup orang Batak, yakni Hagabeon, Hasangapon, dan Hamoraon yang diusahakan diwujudkan selama hidup.

  1) Hagabeon Orang Batak sangat mendambakan punya keturunan laki-laki dan perempuan agar orang tersebut dapat menyandang gabe. Jika pasangan suami-istri hanya mempunyai anak perempuan, maka keluarga tersebut belum layak disebut gabe, karena tidak punya anak laki-laki.

  2) Hasangapon Cita-cita kedua adalah Hasangapon, artinya berusaha menjadi orang terpandang dan dihormati dalam masyarakat. Dalam hal ini, orang Batak sangat peduli dengan pendidikan anaknya. Walaupun harta tidak punya, asal anaknya bisa sekolah, inilah yang menjadi prinsip bagi orang Batak.

  3) Hamoraon Setiap orang Batak bercita-cita ingin memiliki harta dan kekayaan. Oleh karena itu, orang Batak begitu gigih mencari uang. Laki-laki ataupun perempuan sama saja, tidak dibeda-bedakan. Identik hamoraon (kekayaan) dipakai untuk mencari hasangapon (terpandang) dengan menyekolahkan anak setinggi-tingginya.

  f. Marpatik = Punya Aturan dan Undang-Undang Patik adalah suatu aturan dan undang-undang dalam masyarakat Batak yang selalu dibarengi dengan nasihat ataupun petuah-petuah, yang dapat membuat orang Batak terikat dan patuh dengan aturan tersebut.

  g. Maruhum = Punya Hukum Hukum dalam adat Batak cenderung untuk meneliti sumber kebenaran dan keadilan serta melihat kesalahan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hati nurani dan imajinasi.

2. Budaya Jawa

  Salah satu budaya tradisional di Indonesia yang sudah cukup tua adalah budaya Jawa yang dianut secara turun-temurun oleh penduduk di sepanjang wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun banyak orang Jawa yang menganggap bahwa budaya Jawa itu hanya satu dan tidak terbagi-bagi, akan tetapi dalam kenyataannya terdapat berbagai perbedaan sikap dan perilaku masyarakatnya di dalam memahami budaya Jawa itu sendiri. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi geografis yang menjadikan budaya Jawa terbagi ke dalam beberapa wilayah kebudayaan. Setiap wilayah kebudayaan mempunyai karakteristik khas tersendiri dalam mengimplementasikan falsafah budaya Jawa ke dalam kehidupan keseharian. Di samping kondisi geografis, beragamnya karakteristik keseharian di dalam implementasi budaya Jawa juga disebabkan oleh masuknya pengaruh nilai-nilai agama maupun budaya lain (Hadi, 2003).

  Dalam masyarakat Jawa, salah satu unsur sistem budaya yang tetap dipertahankan dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah falsafah hidup. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan dan sikap batin yang paling umum yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat. Biasanya falsafah hidup tercermin dalam berbagai ungkapan yang dikenal dalam masyarakat. Secara pasti dapat dikatakan bahwa jarang sekali ditemukan orang Jawa yang tidak mengenal beberapa atau sebagian dari falsafah hidup mereka. Hanya saja, pengalaman hidup yang berbeda dan perubahan tahapan kehidupan telah mengakibatkan berbedanya pemahaman akan falsafah hidup tersebut (Hadi, 2003).

  Adapun falsafah hidup masyarakat Jawa terdiri dari lima hakekat pokok yaitu hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat waktu, hakekat hubungan manusia dengan sesamanya dan hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gauthama di lima daerah yaitu kota Yogyakarta, Kediri, Banyumas, Pekalongan dan Pasuruan diperoleh hasil bahwa sebagian besar masyarakat, baik masyarakat kelas bawah, menengah maupun atas masih memahami dan menganut falsafah ini dan hanya sebagian kecil yang tidak memahaminya (Hadi, 2003). a. Hakekat Hidup Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu dan konsep-konsep religius yang bernuansa mistis.

  Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai falsafah hidup yang menunjukkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Falsafah hidup masyarakat Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya, agama (Hindu dan Islam) dan batas-batas tertentu dipengaruhi pula oleh kondisi geografis wilayahnya.

  Banyak falsafah Jawa yang berisi hakekat hidup dan hampir semua orang Jawa mengenal falsafah nrima ing pandum, yang artinya menerima apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan falsafah seperti ini, orang Jawa menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka harus menerima dengan ikhlas apa-apa yang telah diperolehnya, sebab segala sesuatu sudah diatur oleh Tuhan. Mereka percaya bahwa hidup manusia di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa, sehingga tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu.

  Nrima Ing Pandum selanjutnya diikuti oleh falsafah mawas diri. Artinya,

  orang Jawa harus senantiasa melakukan introspeksi terhadap diri sendiri sebagai pedoman dalam cara bertindak. Dengan mawas diri, seseorang akan berusaha agar tindakannya secara moral dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabkan. Falsafah ini sering pula digunakan dalam hakekat hubungan manusia dengan sesamanya.

  b. Hakekat Kerja Masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus terus berikhtiar dan bekerja. Bagi mereka, bekerja itu memang sudah merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Oleh sebab itu, di kalangan masyarakat kelas bawah dikenal falsafah ngupaya upa, yang artinya bekerja hanya untuk mendapatkan makanan. Sebaliknya masyarakat kelas menengah dan atas telah memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga segala usaha yang dijalankannya selalu dihubungkan dengan hasil yang diharapkan.

  Falsafah yang banyak dipahami oleh mereka adalah jer basuki mawa beya, yang artinya bekerja merupakan segala sesuatu yang dicita-citakan dan harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dengan falsafah ini masyarakat Jawa kelas menengah dan atas sudah memahami bahwa untuk mewujudkan cita-cita diperlukan biaya (termasuk pengorbanan dalam bentuk uang). Falsafah lain yang sering dihubungkan dengan hakekat kerja adalah sepi ing pamrih rame ing gawe.

  Falsafah ini mengandung arti bahwa setiap orang mau menolong orang lain tanpa mengharap pujian dan imbalan materil.

  c. Hakekat Waktu Banyak orang berpendapat bahwa budaya Jawa kurang menghargai hakekat waktu. Pendapat ini muncul akibat pemahaman yang salah terhadap falsafah alon-alon waton kelakon. Dalam masyarakat Jawa tradisional yang tergolong ke dalam kelas masyarakat bawah, falsafah tersebut sering diartikan bahwa bekerja tidak usah terburu-buru, yang penting selesai. Melakukan sesuatu pekerjaan dengan perlahan-lahan tampaknya memang sudah merupakan sifat orang Jawa. Selain itu, seringkali mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi memang sudah ada waton-nya, yakni ketentuan yang memang telah digariskan.

  Pada masyarakat Jawa kelas menengah dan kelas atas, falsafah alon-alon

  waton kelakon diartikan secara positif yaitu jika mengerjakan sesuatu, seseorang

  harus berhati-hati agar hasilnya baik. Dengan demikian, dari falsafah ini muncul pemahaman bahwa harus ada unsur ketelitian, kecermatan dan tahapan rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai hasil yang diinginkan.

  Hakekat waktu pada masyarakat Jawa tradisional tercermin dalam kemampuan mereka menghitung waktu yang cocok untuk melaksanakan berbagai kegiatan, atau lebih dikenal dengan sebutan petungan. Di samping itu, hakekat waktu juga berhubungan dengan kemampuan meramalkan berbagai hal yang berkaitan dengan siklus kehidupan maupun watak seseorang, yang oleh masyarakat Jawa disebut pasaran. Penggunaan petungan dan pasaran bertalian dengan kepercayaan bahwa peristiwa masa lalu akan menentukan keberhasilan kegiatan masa mendatang. Dalam masyarakat Jawa yang sudah merasa menjadi masyarakat modern, penggunaan petungan dan pasaran diorientasikan untuk merencanakan atau meramalkan kebutuhan yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lampau.

  d. Hakekat Hubungan Manusia dengan Sesamanya Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar rumah tangga (masyarakat). Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola pergaulan masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh prinsip rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konflik.

  Sedangkan prinsip hormat membuat seseorang akan berbicara dan membawa dirinya sesuai dengan derajat dan kedudukannya.

  Falsafah budaya Jawa yang menyinggung hakekat hubungan manusia dengan sesamanya antara lain adalah aja dumeh (jangan sok) dan tepa salira (tenggang rasa). Meskipun tampak sederhana, aja dumeh mengandung makna yang mendalam. Falsafah ini digunakan untuk memperingatkan seseorang agar jangan berperilaku aji mumpung, jangan berbuat sewenang-wenang sekehendak hati sehingga lupa diri dan jangan mamandang rendah orang lain agar hubungan baik dengan sesamanya tetap terjaga. Sedangkan tepa salira secara sederhana diartikan sebagai perilaku seseorang yang mampu memahami perasaan orang lain.

  Dengan demikian, seseorang tidak akan bertindak sewenang-wenang jika ia menjadi pemimpin.

  e. Hakekat Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidak terlepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa yang mengharuskan manusia mengusahakan keselamatan dunia beserta segala isinya agar tetap terpelihara dan harmonis. Hakekat ini diimplementasikan antara lain melalui falsafah memayu hayuning

  Pada masyarakat Jawa tradisional (umumnya kelas bawah), falsafah ini bawana. memberikan kewajiban pada manusia untuk memelihara dan melestarikan alam, karena alam telah memberikan kehidupan bagi manusia. Pada masyarakat modern (umumnya kelas menengah dan atas), falsafat tersebut dikembangkan dengan pemahaman bahwa manusia harus dapat memelihara perdamaian dunia agar bebas dari rasa ketakutan, kemiskinan, kelaparan, kekurangan dan peperangan. Falsafah tersebut juga mengajarkan manusia agar memiliki budi pekerti yang luhur, sehingga dunia menjadi aman dan tenteram.

  Falsafah Jawa lainnya yang berkaitan dengan hakekat hubungan manusia dengan alamnya adalah gugontuhon. Falsafah ini mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu tujuan, kita harus berhati-hati dan selalu memohon kepada Tuhan agar segala selalu yang dilakukan dapat tercapai tanpa aral melintang.

  Namun demikian, dalam praktiknya gugontuhon lebih banyak menggambarkan kepercayaan orang Jawa pada takhayul dan magis yang seringkali ditandai dengan pemikiran-pemikiran tidak logis.

C. KEWIRAUSAHAAN 1. Pengertian Kewirausahaan

  Kewirausahaan berasal dari kata dasar wirausaha dan wirausaha terdiri dari dua kata yaitu, wira yang berarti ksatria, pahlawan, pejuang, unggul, gagah berani, sedangkan satu lagi adalah kata usaha yang berarti bekerja, melakukan sesuatu. Wirausaha adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya- sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan dalam meraih sukses. Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Sedangkan yang dimaksud dengan seorang wirausahawan adalah orang-orang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya - sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan serta memiliki sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif dalam rangka meraih sukses/meningkatkan pendapatan. Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mendefinisikan wirausahawan sebagai “orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menyusun cara baru dalam berproduksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, mengatur permodalan operasinya, serta memasarkannya (Soetadi, 2010).

  Sebenarnya definisi wirausahawan bervariasi. Ada beberapa tokoh wirausaha yang mendefinisikan wirausahawan sebagai berikut: a. Dan Steinhoff dan John F. Burgess mengatakan bahwa wirausahawan adalah orang yang mengorganisir, mengelola dan berani menanggung resiko untuk menciptakan usaha baru dan peluang berusaha b. Rambat Lupiyoadi dan Jero Wacik mendefinisikan bahwa wirausahawan adalah orang yang melaksanakan proses penciptaan kekayaan dan nilai tambah melalui peneloran dan penetasan gagasan, memadukan sumber daya dan merealisasikan gagasan tersebut menjadi kenyataan

  Terlepas dari definisi yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa secara esensi pengertian entrepreneurship adalah suatu sikap mental, pandangan, wawasan serta pola pikir dan pola tindak seseorang terhadap tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya dan selalu berorientasi kepada pelanggan. Seorang wirausahawan juga adalah seseorang yang menciptakan usaha baru dan siap dengan resiko dan ketidakpastian di dalam tujuannya meraih keuntungan dan perkembangan dengan memidentifikasi kesempatan-kesempatan dan menjadikan sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk dijadikan modal di dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada. Sedangkan wirausaha juga adalah mereka yang mendirikan, mengelola, mengembangkan, dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri dan bisa menciptakan kerja bagi orang lain dengan berswadaya (Soetadi, 2010).

2. Sifat-Sifat Wirausaha

  Dari berbagai penelitian yang ada ditemukan sembilan belas sifat penting wirausaha yang diperoleh dari tujuh penelitian yang pernah dilakukan. Menurut Hutagalung dan Situmorang (2008) kesembilan belas sifat itu dikelompokkan menjadi enam sifat unggul , sebagai berikut: a. Percaya diri, seorang wirausaha haruslah memiliki sifat percaya diri yang tercermin dari:

  1) Yakin dan Optimisme: ia harus yakin dan optimis bahwa usahanya akan maju dan berkembang untuk itu seorang wirausaha harus mampu menyusun rencana keberhasilan perusahaannya.

  2) Mandiri: tidak mengandalkan dan bergantung pada orang lain atau keluarga.

  3) Kepemimpinan dan dinamis: seorang wirausaha harus mampu bertanggung jawab terhadap segala aktivitas yang dijalankannya, baik sekarang maupun yang akan datang. Tanggung jawab seorang pengusaha tidak hanya pada material, tetapi juga moral kepada berbagai pihak.

  b. Originalitas, seorang wirausaha haruslah memiliki sifat originalitas yang tercermin dari: 1) Kreatif: mampu mengembangkan ide-ide baru dan menemukan cara-cara baru dalam memecahkan persoalan 2) Inovatif: mampu melakukan sesuatu yang baru yang belum dilakukan banyak orang sebagai nilai tambah keunggulan bersaing

  3) Inisiatif/proaktif: mampu mengerjakan banyak hal dengan baik dan memiliki pengetahuan. Inisiatif dan selalu proaktif. Ini merupakan ciri mendasar dimana pengusaha tidak hanya menunggu sesuatu terjadi, tetap terlebih dahulu memulai dan mencari peluang sebagai pelopor dalam berbagai kegiatan

  c. Berorientasi manusia, terdiri dari: 1) Sifat suka bergaul dengan orang lain berarti wirausaha harus mampu mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak, baik yang berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankan atau tidak. Hubungan baik yang perlu dijalankan antara lain kepada para pelanggan, pemerintah, pemasok serta masyarakat luas. 2) Komitmen: komitmen pada berbagai pihak merupakan ciri yang harus dipegang teguh dan harus ditepati. Komitmen untuk melakukan sesuatu memang merupakan kewajiban untuk segera ditepati dan direalisasikan

  3) Responsif terhadap saran/kritik: menganggap saran dan kritik adalah dasar untuk mencapai kemajuan. Saran dan kritik yang masuk di respon dengan baik untuk memperbaiki pelayanan kepada pelanggan, proses bisnis dan efisiensi perusahaan d. Berorientasi hasil kerja, terdiri dari sifat:

  1) Ingin berprestasi, kemauan untuk terus maju dan mengembangkan usaha. IQ dan EQ tidak cukup untuk memprediksi keberhasilan. Dibutuhkan AQ (Adversity

  Quotient ) yaitu tingkat ketahanan terhadap hambatan-hambatan yang ditemuinya dalam mencapai keberhasilan.

  2) Berorientasi keuntungan, semua cara dan usaha yang dilakukan harus mendatangkan profit, karena bisnis tidak akan bisa bertahan dan berkembang jika tidak ada profit

  3) Teguh, tekun dan kerja keras. Jam kerja pengusaha tidak terbatas pada waktu, di mana ada peluang di situ ia datang.

  Kadang-kadang pengusaha sulit untuk mengatur waktu kerjanya. Benaknya selalu memikirkan kemajuan usahanya. Ide-ide baru selalu mendorongnya untuk bekerja keras merealisasikannya. Tidak ada kata sulit dan tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan

  4) Penuh semangat dan energi. Melakukan semua aktivitas dengan semangat untuk keberhasilan e. Berorientasi masa depan, terdiri dari sifat:

  1) Pandangan ke depan, ketajaman persepsi. Untuk itu wirausaha harus memiliki visi dan tujuan yang jelas. Hal ini berfungsi untuk menebak ke mana langkah dan arah yang dituju sehingga dapat diketahui apa yang akan dilakukan oleh pengusaha tersebut

  2) Berorientasi pada prestasi. Pengusaha yang sukses selalu mengejar prestasi yang lebih baik daripada prestasi sebelumnya. Mutu produk, pelayanan yang diberikan serta kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama. Setiap waktu segala aktivitas usaha yang dijalankan selalu dievaluasi dan harus lebih baik dibanding sebelumnya f. Berani mengambil resiko, terdiri dari sifat mampu mengambil resiko dan suka tantangan. Hal ini merupakan sifat yang harus dimiliki seorang pengusaha kapan pun dan di mana pun, baik dalam bentuk uang maupun waktu

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha

  Menurut Hutagalung dan Situmorang (2008) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha yaitu motivasi, usia, pengalaman dan pendidikan.

  a. Motivasi Hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for Entrepreneurial Research menemukan 69% siswa menengah atas ingin mulai menjalankan usaha mereka sendiri. Motivasi utamanya adalah be their own boses.

  b. Usia Ronstandt menyatakan bahwa kebanyakan wirausaha memulai usahanya antara usia 25-30 tahun. Sementara Staw mengungkapkan bahwa umumnya pria memulai usaha sendiri ketika berumur 30 tahun dan wanita pada usia 35 tahun. Hurlock berpendapat bahwa perkembangan karir berjalan seiring dengan perkembangan manusia. Setiap kelompok manusia memiliki ciri-ciri khas bila dikaitkan dengan perkembangan karir.

  Pendapat Hurlock sama dengan pendapat Staw bahwa usia bisa terkait dengan keberhasilan. Bedanya, Hurlock menekankan pada kemantapan karir, sedangkan Staw menekankan bertambahnya pengalaman. Menurut Staw usia bisa terkait dengan keberhasilan bila dihubungkan dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha. Dengan bertambahnya pengalaman ketika usia seseorang bertambah maka usia memang terkait dengan keberhasilan. c. Pengalaman Staw berpendapat bahwa pengalaman dalam menjalankan usaha merupakan prediktor terbaik bagi keberhasilan, terutama bila bisnis baru itu berkaitan dengan pengalaman bisnis sebelumnya. Menurut Hisrich & Brush wirausaha yang memiliki usaha maju saat ini bukanlah usaha pertama kali yang dimiliki. Pengalaman mengelola usaha bisa diperoleh sejak kecil karena pengasuhan yang diberikan oleh orang tua yang berprofesi sebagai wirausaha.

  d. Pendidikan Pendidikan merupakan syarat keberhasilan bagi seorang wirausaha.

  Tingkat pendidikan rata-rata wirausaha adalah pendidikan menengah atas. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan usaha skala kecil, dengan asumsi bahwa pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha.

D. PERBEDAAN ADVERSITY QUOTIENT PADA WIRAUSAHA ETNIS BATAK TOBA DAN JAWA

  Kewirausahaan pada dasarnya untuk semua orang karena hal itu dapat dipelajari. Peter F. Drucker (dalam Purnomo, 2011) misalnya, pernah menulis dalam Innovation and Entrepremeurship bahwa,

  “Setiap orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha dan berperilaku seperti wirausaha”. Sebab kewirausahaan lebih merupakan perilaku daripada gejala kepribadian, yang dasarnya terletak pada konsep dan teori, bukan pada intuisi”. Perilaku, konsep dan teori merupakan hal-hal yang dapat dipelajari oleh siapapun juga. Sepanjang kita bersedia membuka hati dan pikiran untuk belajar, maka kesempatan untuk menjadi wirausaha tetap terbuka. Sepanjang kita sadar bahwa belajar pada hakekatnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan, yang tidak perlu berarti dimulai dan berakhir di sekolah atau universitas tertentu, tetapi dapat dilakukan seumur hidup, dimana saja dan kapan saja, maka belajar berwirausaha dapat dilakukan oleh siapa saja. Kewirausahaan adalah untuk semua orang. Pandangan yang diyakini sebagian orang Indonesia bahwa hanya orang yang berdarah Tionghoa saja yang dapat berwirausaha tidaklah benar. Sebab dengan demikian bagaimana menjelaskan keberhasilan orang Aceh, Batak, Minangkabau dan pribumi lainnya yang juga sukses berwirausaha.

  Jika kita kaitkan dengan budaya tertentu, misalnya orang Batak Toba dan Jawa sangat cocok untuk bekerja di dunia kewirausahaan karena kedua etnis tersebut memiliki salah satu sifat-sifat wirausaha, yaitu sifat suka bergaul dengan orang lain. Dimana kedua etnis tersebut memiliki falsafah hidup yang menekankan pada pemeliharaan hubungan yang baik dengan sesama manusia.

  Pada orang Jawa sifat tersebut terdapat dalam falsafah tentang hakekat hubungan manusia dengan sesamanya. Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar rumah tangga/masyarakat (Hadi, 2003). Sedangkan pada orang Batak sifat tersebut terdapat dalam falsafah martutur (punya kekerabatan).

  Masyarakat Batak memelihara hubungan yang baik dengan memegang teguh kekerabatan yang ada. Sehingga setiap pertemuan, orang Batak selalu tampak dan mudah akrab berdasarkan pertuturannya (Tinambunan, 2010). Sifat suka bergaul dengan orang lain sangat dibutuhkan untuk menjadi wirausahawan karena mereka dituntut untuk mampu mengembangkan dan memelihara hubungan yang baik dengan berbagai pihak, baik yang berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankan maupun yang tidak. Hubungan yang baik perlu dijalankan antara lain kepada para pelanggan, pemerintah, pemasok serta masyarakat luas (Hutagalung dan Situmorang, 2008).

  Dunia kewirausahaan memiliki banyak tantangan dan hambatan yang akan dihadapi. Kemungkinan gagal dalam berwirausaha adalah ancaman yang selalu ada bagi wirausaha dan tidak ada jaminan kesuksesan. Sehingga seorang wirausahawan membutuhkan adversity quotient untuk mencapai keberhasilannya.

  Menurut Stoltz (2000) adversity quotient (AQ) merupakan sikap mental yang berupa kemampuan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya sehingga dapat terus bertahan untuk mencapai kesuksesan pada pekerjaan dan hidup. AQ memiliki empat dimensi yaitu control, origin &

  ownership, reach dan endurance.

  Penelitian ini hendak melihat perbedaan adversity quotient pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa. Menurut Stoltz (2000) ada sembilan faktor pendukung kesuksesan seseorang yaitu kinerja, bakat, kemauan, kecerdasan, kesehatan, karakter, genetika, pendidikan dan keyakinan. Faktor tersebut dapat mempengaruhi AQ yang dimiliki oleh seseorang. Salah satu faktor yang mempengaruhi AQ yang dapat membedakan AQ yang dimiliki oleh wirausahawan Batak Toba dan Jawa adalah karakter. Hal ini dapat dilihat dari karakter masing-masing budaya pada dimensi-dimensi yang membentuk AQ yaitu

  control, origin & ownership, reach dan endurance. Karakter yang dimiliki oleh

  masing-masing budaya adalah berbeda. Pewarisan kultur genetis suatu bangsa dapat menjadi alasan mengapa suku atau bangsa tertentu memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan ini bukan semata-mata terjadi karena perbedaan iklim dan geografis tempat pribadi hidup, melainkan pola perilaku, sifat, temperamen, perangai bisa memiliki kesamaan yang membedakannya dengan suku atau bangsa lain (Koesoema, 2007).

  Perbedaan AQ pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa dapat dilihat juga dari karakter tiap budaya pada masing-masing dimensi AQ. Dimensi pertama AQ adalah control. Dimensi ini mempertanyakan seberapa besar kendali yang dirasakan oleh seseorang terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan.

  Orang yang memiliki AQ yang lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada orang yang AQ nya lebih rendah.

  Sehingga mereka akan mengambil tindakan yang akan menghasilkan lebih banyak kendali lagi. Mereka yang AQ nya lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara orang-orang yang AQ nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti (Stoltz, 2000). Jika dikaitkan dengan budaya Batak Toba dan Jawa, orang Batak Toba cenderung memiliki control yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan orang Batak Toba yang hanya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dengan kehidupan yang sederhana, namun orang tua menunjukkan aspirasi yang tinggi terhadap pendidikan anak. Orang tua dapat membuat anak-anaknya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat tinggi dan berhasil meraih “gelar sarjana”. Sehingga banyak orang Batak Toba yang berhasil menyekolahkan anaknya walaupun kehidupan mereka cukup sederhana. Misalnya saja, seorang Ibu Batak Toba berperan sangat dominan dan bersedia untuk memberikan segalanya (berkorban) untuk keberhasilan anak- anaknya. Ia tidak memperdulikan penampilan, sambil mengasuh anak mencangkul sawah, mengerjakan rumah tangga sehari-hari dan rela hanya makan ikan asin sementara anaknya makan ikan basah. Bila suami sudah meninggal pada umumnya mereka tidak menikah lagi. Hal ini menggambarkan bahwa orang Batak Toba gigih dan berusaha keras untuk menjalankan kehidupan ini (Irmawati, 2007).

  Sedangkan orang Jawa dalam menjalankan hidup menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka harus menerima dengan ikhlas apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Mereka juga percaya bahwa hidup manusia di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa, sehingga tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Misalnya pada masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan menganggap bekerja hanya untuk mendapatkan makanan. Bekerja memang sudah merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Mereka tidak memikirkan hal lain seperti pendidikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang Batak Toba memiliki kendali untuk menghadapi kesulitan dibandingkan orang Jawa (Hadi, 2003).