BAB II LANDASAN TEORI - Hubungan Adversity Quotient Terhadap Kepuasan Berwirausaha Pada Wirauasaha Wanita

BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijabarkan sejumlah teori yang menjadi kerangka

  berpikir dalam melaksanakan penelitian. Penjabaran teori terbagi dalam sejumlah bagian yaitu tinjauan teori mengenai kepuasan berwirausaha, Adversity Quotient.

  Selain itu terdapat juga aspek-aspek dan faktor-faktor dari kepuasan berwirausaha serta dimensi dari Adversity Quotient dan penjelasan wirausaha pada wanita. Pada akhir bab ini diuraikan mengenai hubungan antara variabel Adversity Quotient kepuasan berwirausaha, sehingga menghasilkan sebuah hipotesis dari penelitian ini.

A. Kepuasan Berwirausaha

a) Pengertian Kepuasan Berwirausaha

  Kepuasan didefinisikan sebagai reaksi emosional terhadap suatu produk atau pengalaman sebelumnya (Spreng, MacKenzie, & Olshavsky, 1996; Suyatini, 2004). Sedangkan Kepuasan kerja adalah Sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang mununjukan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbins, 2003). Definisi lain dikemukakan Luthans (2006) Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan atau pegawai mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting, yang meliputi 6 dimensi yang digunakan

  10 untuk mengukur kepuasan kerja, antara lain pekerjaan itu sendiri, gaji, promosi jabatan, pengawasan, kelompok kerja, dan kondisi kerja.

  Meskipun kebanyakan penelitian berkonsentrasi pada kepuasan kerja pada karyawan daripada pengusaha (Cooper & Artz 1995 ; Carree & Verheul, 2011).

  Akan tetapi studi menunjukkan bahwa seorang wirausaha lebih memperlihatkan kepuasan terhadap pekerjaan mereka daripada karyawan (Blanchflower and Oswald, 2007). Oleh karena itu kepuasan kerja pada saat ini tidak hanya berfokus pada karyawan akan tetapi juga berfokus pada wirausaha.

  Suryana dan Bayu (2010) menjelaskan bahwa wirausaha ialah orang yang mempunyai kemampuan menjalankan usaha secara mandiri dan berwirausaha berati melakukan kegiatan dengan menciptakan dan menjalankan usaha mandiri. Sedangkan kepuasan berwirausaha adalah tingkat dimana wirausaha menyukai kegiatan wirausahanya (Suyatini, 2004). Kepuasan berwirausaha adalah kepuasan yang dibagi menjadi tiga aspek kepuasan, tiga aspek kepuasan itu adalah kepuasan akan income, psychological well being dan leisure time (Carree & Verheul, 2011).

  Berdasarkan penjelasan di atas, maka kepuasan berwirausaha adalah tingkat dimana wirausaha menyukai kegiatan wirausaha yang ditinjau dari tiga aspek kepuasan, yaitu income yang diterima, psychological well being yang dirasakan ,dan leisure time yang dimiliki.

b) Aspek- aspek Kepuasan Wirausaha

  Kepuasan berwirausaha terdiri dari tiga kategori imbalan dalam berwirausaha yang nantinya akan memberikan kepuasan dalam berwirausaha (Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001). Dalam penelitiannya Carree dan Verheul

  (2011), Imbalan tersebut merupakan aspek kepuasan dalam berwirausaha. Aspek kepuasan tersebut yaitu, income, psychological well being dan leisure time.

  1. Income Income merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi aktivitas dan

  kelangsungan dari suatu usaha. Income dapat dijadikan sebagai indikator naik turunnya suatu usaha yang dijalankan. Income yang dihasilkan juga berpengaruh terhadap kepuasan dari seorang pengusaha. Income bagi pengusaha merujuk kepada imbalan berupa laba. Sehingga Kepuasan terhadap income sangat relevan bagi pengusaha yang memulai usaha untuk mendapatkan hidup atau untuk kesuksesan finansial (Andersson 2008; Feldman & Bolino, 2000; Carree & Verheul, 2011; Hasni, 2011).

  Hasil finansial dari bisnis apapun harus dapat mengganti kerugian waktu (ekuivalen dengan upah) dan dana (ekivalen dengan tingkat bunga atau deviden) sebelum laba yang sebenarnya dapat direalisasikan. Wirausaha mengharap hasil yang tidak hanya mengganti kerugian waktu dan uang yang mereka investasikan, tetapi juga memberikan imbalan yang pantas bagi resiko dan inisiatif yang mereka ambil dalam mengoperasikan bisnis mereka sendiri (Longenecker, Carlos & William, 2001).

  2. Psychologial Well Being

  memiliki peranan penting dalam kepuasan

  Psychological Well Being

  berwirausaha khususnya selama fase start-up yang bisa menimbulkan stres (Andersson, 2008 ; Feldman & Bolino, 2000; Carree & Verheul, 2011). Stress yang dialami pada pengusaha tersebut dapat menguatkan/melemahkan para pengusaha untuk mendapatkan Psychologial Well Being yang berasal dari dukungan dari dalam dan dari luar. Dukungan dari dalam dapat diperoleh dari kecerdasan emosional pada diri tiap pengusaha, dan dukungan dari luar dapat diperoleh dari dukungan sosial dari orang di sekitar pengusaha.

  Wirausaha sering kali menyatakan kepuasan yang mereka dapatkan dalam menjalankan bisnisnya sendiri. Beberapa wirausaha menyatakan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan merupakan suatu kesenangan tersendiri. Psychological Well

  Being yang mereka dapatkan mungkin berasal dari kebebasan mereka, dalam Psychologial Well Being tersebut merefleksikan pemenuhan kerja secara pribadi

  (Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001).

3. Leisure Time

  Income dan Leisure Time adalah dua sumber utama tradisional utilitas di

  bidang ekonomi (Bonke, Deding, & Lausten, 2009; Carree & Verheul, 2011). Beberapa orang memulai usaha dengan memiliki jam kerja yang lebih fleksibel untuk menggabungkan jam kerja dirumah tangga dan tanggung jawab pekerjaan. Seseorang dapat mengatur waktunya sendiri untuk memulai membuka usahanya sendiri, bahkan jika usahnya mengambil tempat di rumah, maka seseorang tidak perlu meninggalkan rumah (Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001).

  Wirausaha seperti orang bebas tanpa adanya ikatan waktu tertentu yang mempunyai tanggung jawab.Wirausaha menggunakan kebebasan untuk menyusun kehidupan dan perilaku kerja pribadinya secara flexibel (Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001).

c) Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Wirausaha

  Cooper dan Artz Carree & Verheul (2011) menyatakan bahwa faktor yang menjadi Tingkat kepuasan kewirausahaan yaitu adanya pengaruh dari karakteristik usaha, motif untuk start-up dan karakteristik pribadi.

1. Karekteristik usaha

  Pada beberapa studi Carree dan Verheul, (2011) membedakan antara tiga utama pada usaha yaitu :

a. Ukuran

  Usaha baru yang ukurannya lebih besar biasanya datang dengan tanggung jawab yang lebih tinggi dan harapan dan dapat mengakibatkan lebih banyak stres. Di sisi lain, besar start-up biasanya membutuhkan lebih persiapan dan harus berurusan dengan pengawasan luar, misalnya, oleh pemasok modal, sehingga mengurangi kemungkinan kerugian yang tak terduga. Hal yang mempengaruhi ukuran perusahaan adalah jumlah karyawan, jumlah modal awal, dan apakah bisnis beroperasi dari rumah atau tempat usaha yang terpisah. Memulai dan menjalankan bisnis di luar rumah mungkin menjadi indikator kehati-hatian dari pihak pengusaha, dan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan Leisure time.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ada beberapa kriteria yang dipergunakan untuk mendefinisikan Pengertian dan kriteria ukuran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pengertian-pengertian UMKM tersebut adalah :

  1) Usaha Mikro

  Usaha Mikro adalah Peluang Usaha Produktif milik orang perorangan atau badan Usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dengan asset Maks. 50 Juta /tahun dan omset Maks. 300 Juta. Contoh usaha mikro adalah pedagang kaki lima.

  2) Usaha kecil

  Usaha Kecil adalah Peluang Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan Usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha menengah atau Usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil. Dengan asset usaha lebih dari

  50 Juta

  • – 500 Juta/tahun dan omset lebih dari 300 Juta – 2,5 Miliar. Contoh usaha kecil adalah pedagang grosiran di pasar.

  3) Usaha menengah

  Usaha Menengah adalah Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan Usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha besar. Dengan asset usaha lebih dari 500 Juta

  • – 10 Miliar/tahun dan omset usaha lebih dari 2,5 Miliar – 50 Miliar. Contoh usaha menengah adalah industri makanan dan minuman.

  b. Kompleksitas

  Kompleksitas lingkungan yang lebih besar dapat menyebabkan ketidakpuasan pada pengusaha, dengan adanya dihadapkan beberapa sumber kemunduran tak terduga. Ukuran yang digunakan dalam kompleksitas yaitu: apakah start-up dalam high- sektor teknologi, dan apakah pengusaha percaya bahwa ia mampu bersaing dengan semua perkembangan yang relevan.

  c. Keterlibatan

  Alokasi waktu untuk tugas kewirausahaan berbagai mungkin bervariasi di setiap start-up. Pengusaha yang dihadapkan dengan tekanan waktu yang cukup besar mungkin berasal kurang kepuasan dari perusahaan mereka. Pada penelitian Haile (2009) menjelaskan bahwa jam kerja yang panjang (lebih 48 jam setiap minggunya) di temukan adanya efek positif dan berhubungan secara signifikan dengan kepuasan pencapaian akan prestasi.

2. Motif untuk start-up

  Pada motif start-up ini seseorang berniat untuk melakukan usaha mempersiapkan segala seuatu yang diperlukan,di awali dengan melihat peluang usaha baru yang mungkin,apakah membuka usaha baru atau melakukan

  franchising . Juga memilih usaha yang akan dilakukan apakah di bidang

  pertanian,industri atau manufaktur, maupun produksi atau jasa. Motif Start-up pengusaha memiliki konsekuensi penting pada tingkat kepuasan sebagai yang harapkan pengusaha untuk mengevaluasi kinerja dengan menghubungkan hasil perusahaan sebagai tujuan awal mereka dan yang diharapkan (Carree & Verheul, 2011).

3. Karakteristik pribadi

  Karakteristik merupakan ciri atau sifat yang berkemampuan untuk memperbaiki kualitas hidup, sedangkan karakteristik pribadi adalah ciri khas yang menunjukkan perbedaan seseorang tentang motivasi, inisiatif, kemampuan untuk tetap tegar menghadapi tugas sampai tuntas atau memecahkan masalah atau bagaimana menyesuaikan perubahan yang terkait erat dengan lingkungan yang mempengaruhi kinerja individu. Karakteristik pribadi dapat dipengaruhi oleh faktor sosial-demografi seperti :

a. Latar Belakang Budaya

  Manusia tidak akan lepas dari lingkungan sekitarnya, sehingga secara tidak langsung tingkah laku mereka dibatasi oleh norma atau nilai budaya setempat. Oleh karena itu kewirausahaan bearsal dari berbagai jenis kebudayaan. Perbedaan budaya menimbulkan perbedaan nilai dan kepercayaan. Ada kebudayaan yang dikenal memiliki orientasi prestasi tinggi dan dapat memunculkan wirausaha yang berhasil. Ada budaya yang menganggap kewirausahaan sebagai suatu pekerjan yang positif, namun ada kebudayaan yang menganggapnya sebagai suatu pekerjaan yang merendahkan harga diri.

  Beberapa budaya di Indonesia memang mengagungkan profesi wirausaha sehingga banyak wirausaha tangguh yang berasal dari suku tersebut. Namun secara umum budaya masyarakat Indonesia masih mengagungkan profesi yang relatif “tanpa risiko” seperti menjadi pegawai negeri, ABRI atau bekerja di perusahaan besar (Sunarso, 2010).

  b. Usia

  Kepribadian manusia bersifat dinamis, berkembang sesuai dengan bertambahnya usia. makin berumur seseorang diharapkan makin mampu bersifat toleran, mampu mengendalikan emosi dan sifat-sifat lain yang menunjukkan intelektual dan psikologis (Carree & Verheul, 2011).

  c. Pasangan hidup

  Pasangan hidup berguna untuk mengurangi stres yang didapat dari pekerjaan dengan berbagi masalah dan juga dapat membantu keuangan dari wirausaha itu sendiri. Clark, Oswald, dan Warr, (1996); Carree dan Verheul, (2011) menemukan bahwa pekerja yang menikah memiliki kepuasan kerja yang tinggi, terutama kepuasan pada pendapatan. Penelitian dari Blanchflower dan Oswald, (2007) menunjukkan bahwa adanya efek positif antara pernikahan dengan kebahagiaan pekerja, baik itu pekerja yang digaji maupun wirausaha.

  Selain itu, mereka juga mendapatkan efek negatif terdapat pada pekerja tanpa pasangan hidup seperti pada janda, orang yang bercerai, dan individu yang telah berpisah.

d. Gender

  Beberapa peneltian menemukan bahwa perempuan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi daripada yang dimiliki pria (Carree & Verheul, 2011).

  Didukung oleh penelitian dari Cooper dan Artz, (1995); Carree & Verheul (2011) yang menyatakan bahwa wirausaha wanita lebih puas dalam menjalankan bisnisnya daripada wirausaha pria.

  Seorang pria memiliki kepercayaan diri berlebih dalam menjalankan bisnisnya yang membuat dirinya memiliki ketergantungan kerja yang tinggi pada usahanya (Lundeberg, Fox & Punchocar, (1994); Carree & Verheul, 2011) dan biasanya tugas yang berat itu lebih ditujukan pada karakter maskulin yang memiliki jiwa kewirausahaan (Beyer & Bowden, 1997; Carree & Verheul, 2011). Selain itu, penelitian dari Gazioglu dan Tansel, (2006) menyatakan tentang efek partisipasi dimana wanita biasanya dianggap sebagai pendukung pencari nafkah dan mereka dapat membuat keputusan cepat untuk berhenti dari pekerjaan ketika mereka tidak puas akan pekerjaan itu.

e. Risk tolerance

  Wirausaha biasanya memiliki toleransi resiko yang tinggi daripada karyawan yang bekerja (Kihlstrom & Laffont, 1979 Carree & Verheul, 2011).

  Risk tolerance dimana ketika ada masalah wirausaha lebih suka menganggapnya sebagai sebuah hal yang positif atau sebagai tantangan bagi dirinya.

  Wirausaha harus menghadapi secara sadar segala bentuk resiko. Riyanti (2007) perilaku mengambil resiko merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha. Jika seorang wirausaha tidak berani mengambil resiko maka hal tersebut akan menjadi penyebab internal kegagalan dalam usahanya (Ryanti, 2007). Penelitian dari Carree dan Verheul, 2011 menyatakan bahwa wirausaha yang memiliki risk tolerance yang tinggi lebih mendapatkan kepuasan terhadap income yang didapatkan dan lebih sedikit mengalami stress.

  Seorang wirausaha yang berani mengambil resiko merupakan seorang wirausaha yang berani mengubah kegagalan menjadi suatu peluang (Stoltz, 2000).

  Peluang yang dimiliki seorang wirausaha diharapkan mampu menghadapi tantangan dan menyelesaikan hambatan-hambatan yang ditemui seorang wirausaha dalam mencapai kepuasan berwirausaha. Oleh karena itu, menurut Stoltz (2003) sangat diperlukan Adversity Quotient.

B. Adversity Quotient (AQ)

  Adversity Quotient (AQ) merupakan satu konsep yang dikemukakan oleh

  Paul G.Stoltz (2000) mengenai kualitas pribadi yang dimiliki oleh seseorang untuk menghadapi berbagai kesulitan dan dalam usaha mencapai kesuksesan di berbagai bidang hidupnya. Stoltz (2003) menekankan pada unsur kesulitan (adversity) sebagai faktor penentu terhadap kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, kesuksesan seseorang dalam pekerjaan dan sebagian besar kehidupan ditentukan oleh Adversity Quotient. Sebagai sebuah teori ilmiah, Adversity Quotient memiliki pengertian dan dimensi-dimensi yang menyusunnya.

1. Pengertian Adversity Quotient Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan.

  AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yang ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan (Stoltz, 2000).

  Stoltz (2000) mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan.

  Adversity quotient (AQ) juga menginformasikan pada individu mengenai kemampuannya dalam menghadapi keadaan sulit (adversity) dan kemampuan untuk mengatasinya, meramalkan individu yang mampu dan yang tidak mampu menghadapi kesulitan, meramalkan mereka yang akan melampaui dan mereka yang akan gagal melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi yang dimiliki, dan meramalkan individu yang akan menyerah dan yang akan bertahan dalam menghadapi kesulitan (Stoltz, 2003).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan dalam menghadapi rintangan (Adversity Quotient) adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola

  • –pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa –peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.

2. Dimensi- dimensi Adversity Quotient

  Adversity quotient terdiri atas empat dimensi yang tercakup dalam akronim CORE ( Control, Owenership, Reach, & Endurance). Dimensi - dimensi CORE ini akan menentukan adversity quotient individu secara menyeluruh (Stoltz, 2003). Adapun penjelasan dimensi- dimensi adversity quotient menurut Stolz, (2003) yaitu:

a. Control (C)

  Control

  yang disingkat dengan “C” berarti kendali, atau berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menghadirkan kesulitan.

  Stolz, ( 2003) menjelaskan bahwa dimensi Control terdapat dua pengertian yaitu : Sejauh mana seseorang mampu secara positf memepengaruhi situasi?

  • Sejauh mana seseorang dapat mengendalikan tanggapan diri sendiri
  • terhadap suatu situasi Kontrol atau kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan. Individu dengan skor control yang tinggi mampu mengubah situasisecara positif dan mempunyai kendali yang lebih besar atas kesulitan yang dihadapi. Dalam hal ini, keuletan dan tidak kenal menyerah muncul dari orang dengan skor control yang tinggi. Tidak hanya itu, individu dengan skor control yang tinggi mempunyai tingkat kendali yang kuat untuk bertahan terhadap peristiwa buruk dan dapat menyelesaikannya dengan pendekatan yang lebih efektif.

  Di sisi lain, individu dengan skor control yang sedang merespon peristiwa buruk sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendali dirinya, tergantung dari seberapa sulit masalah yang dihadapi. Individu mungkin tidak mudah menyerah, namun sulit mempertahankan kendali bila dihadapkan pada tantangan yang lebih berat lagi. Sedangkan individu yang memiliki tingkat control yang rendah merasakan ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa peristiwa buruk atau kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya. Dalam hal ini, hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah atau membatasi akibat dari kesulitan tersebut. Individu menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan dan akan menimbulkan pandangan hidup menyerah kepada nasib.

  Dalam hal ini Mereka yang memiliki skor rendah dalam dimensi ini cenderung berpikir: “Ini di luar jangkauan saya!”; “Tidak ada yang bisa saya lakukan sama sekali”; “Yah, tidak ada gunanya membenturkan kepala ke dinding”; “Anda tidak mungkin melawan mereka”. Sedangkan Mereka yang memiliki skor lebih tinggi, bila berada dalam situasi yang sama cendrung berpikir : “Wow, ini sulit! Tapi, saya pernah menghadapi yang lebih sulit lagi”; “Pasti ada yang bisa saya lakukan”, “Saya tidak percaya saya tidak berdaya dalam situasi seperti ini, Sela lu ada jalan”; “Siapa berani, akan menang; Saya harus mencari cara lain”. Sehingga Orang-orang yang berAQ tinggi relatif tahan terhadap ketidakberdayaan.

b. Ownership

  Ownership yaitu sejauh mana seseorang mau mengandalkan diri sendiri

  untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan penyebabnya (Stolz, 2003). Dimensi ini berkaitan erat dengan dimensi origin, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat ownership seseorang, maka semakin besar derajat pengakuannya terhadap akibat-akibat dari suatu kesulitan atau permasalahan yang dihadapinya. Sebaliknya, orang yang memiliki tingkat ownership yang rendah cenderung akan melemparkan kesalahan pada orang lain yang ada di sekitarnya, dan merasa enggan untuk bertanggung jawab mengakui akibat-akibat yang timbul dari kesulitan dan kegagalannya sendiri ( Stolz, 2000), akan tetapi dalam buku Stolz tahun 2003 menyatakan bahwa yang penting adalah bukan siapa atau apa yang harus disalahkan (origin) tapi sejauh apa orang-orang mengambil tanggung jawab terhadap situasi yang sulit (ownership) untuk mengarahkan situasi tersebut menjadi lebih baik ( Stolz, 2003).

  Individu dengan tingkat ownership yang tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Individu dengan tingkat ownership yang rendah tidak mengakui akibat - akibat dari perbuatan, apapun penyebabnya. Dalam hal ini, individu akan menolak mengakui dengan menghidar diri dari tanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut.

  Mereka yang memiliki skor rendah dalam dimensi owenership ini cenderung berpikir: “Ini semua kesalahan saya” ; “Saya memang bodoh sekali”; “Seharusnya saya lebih tahu”; “Apa yang tadi saya pikirkan, ya? “; “ Saya malah jadi tidak mengerti” ; “Saya sudah mengacaukan semuanya”; “Saya memang orang yang gagal”. Sedangkan Mereka yang skornya lebih tinggi, bila berada dalam situasi yang sama, cendrung akan berpikir: “Waktunya tidak tepat” ; “Seluruh industri sedang menderita”; “Kini, setiap orang mengalami masa-masa yang sulit”, “Ia hanya sedang tidak gembira hatinya”; “Beberapa anggota tim tidak memberikan kontribusi”; “Tak seorang pun bisa meramalkan datanya yang satu ini”; “Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, saya tahu ada cara untuk menyelesaikan pekerjaan dengan lebih baik dan saya aka menerapkannya bila lain waktu saya berada dalam situasi seperti itu lagi”.

c. Reach (R)

  Reach atau jangkauan merupakan dimensi untuk mengetahui sejauh mana

  orang membiarkan suatu kesulitan menjalar/masuk ke dalam sisi-sisi kehidupan yang lain (Stolz, 2003). Reach menetapkan seberapa luas seseorang menganggap suatu masalah. Semakin luas masalah yang muncul, Semakin rendah skor R, semakin besar kemungkinan seseorang menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas, menyerap kebahagiaan seseorang. Sementara itu, semakin tinggi skor R, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk membatasi jangauan masalah pada peristiwa yang sedang dihadapi (Stolz, 2003).

  Individu dengan reach yang rendah pada umumnya akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang memasuki wilayah lain kehidupannya dan menganggap peristiwa yang baik sebagai sesuatu yang kebetulan dan terbatas jangkauannya. Akibat yang lainnya akan merusak kebahagiaan dan ketenangan pikiran ketika berhadapan dengan peristiwa sulit. Sebaliknya semakin besar reach seseorang, semakin besar kemungkinan individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

  Individu dengan skor reach yang sedang merespon peristiwa yang mengandung kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik, namun kadang membiarkan peristiwa itu memasuki wilayah lain dalam kehidupannya. Ketika individu merasa kecewa, mungkin dia akan menganggap kesulitan sebagai bencana, dan menjadikan kesulitan itu lebih meluas dan hebat daripada semestinya. Individu dengan reach tinggi akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, dia akan merasa dapat berpikir jernih dan semakin berdaya untuk mengambil tindakan.

d. Endurance (E)

  Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan, yakni berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu dengan skor endurance yang tinggi akan merespon kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi kesulitan serta tantangan yang lebih besar. Individu dengan skor endurance yang sedang akan merespon peristiwa buruk dan penyebabnya sebagai sesuatu yang berlangsung lama. Terkadang membuat individu menunda mengambil tindakan yang konstruktif ( Stolz, 2003).

  Individu dengan skor endurance yang rendah pada umumnya menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama atau bahkan selamanya. Hal ini akan memunculkan respon perasaan tidak berdaya atau hilang harapan. Individu yang melihat kemampuan diri mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan sebagai usaha (penyebab yang sifatnya sementara) yang mereka lakukan (Stolz, 2003).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui kecerdasan dalam menghadapi rintangan tidak cukup hanya mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkannya, tetapi yang perlu diperhatikan adalah dimensi-dimensinya agar dapat memahami kecerdasan dalam menghadapi rintangan sepenuhnya.

  3. Tipe Adversity Quotient

  Individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka didorong oleh beberapa respon yang mengarahkan individu tersebut dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa respon yang mendorong individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka. Menurut Stolz (2003) ada tiga respon terhadap kesulitan yaitu dengan menganalogikan pada pendakian gunung, Stolz (2003) membagi orang-orang itu dalam pendakian itu dalam tiga golongan, yaitu: quitter, camper, dan climber.

  1. Quitters Quitters merupakan kelompok orang yang kurang memiliki kemauan

  untuk menerima tantangan dalam hidupnya. Hal ini secara tidak langsung juga menutup segala peluang dan kesempatan yang datang menghampirinya, karena peluang dan kesempatan tersebut banyak yang dibungkus dengan masalah dan tantangan. Tipe quitter cenderung untuk menolak adanya tantangan serta masalah yang membungkus peluang tersebut.

  2. Campers

  Campers merupakan kelompok orang yang sudah memiliki kemauan untuk berusaha menghadapai masalah dan tantangan yang ada, namun mereka melihat bahwa perjalanannya sudah cukup sampai disini. Berbeda dengan kelompok sebelumnya (quitter), kelompok ini sudah pernah menerima, berjuang menghadapi berbagai masalah yang ada dalam suatu bidang tertentu, namun karena adanya tantangan dan masalah yang terus menerjang, mereka memilih untuk berhenti di tengah jalan dan berkemah.

  3. Climbers Climbers merupakan kelompok orang yang memilih untuk terus bertahan

  untuk berjuang menghadapi berbagai macam hal yang akan terus menerjang, baik itu dapat berupa masalah, tantangan, hambatan, serta hal-hal lain yang terus dapat setiap harinya. Kelompok ini memilih untuk terus berjuang tanpa mempedulikan latar belakang serta kemampuan yang mereka miliki, mereka terus mendaki dan mendaki.

C. Wirausaha Pada wanita

  Wirausaha wanita adalah wanita yang memiliki bisnis, memiliki inisiatif, menerima segala resiko dan keuangan serta bertanggung jawab secara administrasi dan sosial yang secara efektif memimpin dalam manajemennya (Meng & Liang, 1996; Ryanti, 2007).

  Defenisi lain yang lebih umum dari wirausaha wanita sebagai pemilik dan manager dari bisnis. Dengan kata lain, wirausaha wanita adalah pemilik bisnis yang menjalankan bisnisnya sendiri atau bersama rekan bisnisnya, yang membayar pegawai ataupun yang tidak membayar pegawai ( Ryanti, 2007).

I. Karakteristik Wirausaha Wanita

  Dari kacamata peran gender tradisional wanita bukan sebagai pencari nafkah, melainkan peran domestik seperti mengurus suami, anak dan rumah tangga. ( Hurlock, 2004). Wanita tidak diharapkan bekerja di luar rumah kecuali kondisi ekonomi memaksa, dan apabila hal ini terjadi, wanita diharapkan bekerja dibidang pelayanan seperti perawat, guru dan sekretaris. Tapi ada sejumlah wanita yang berinvestasi dan membangun usaha sendiri. Bukan hanya itu saja, banyak wanita yang menjalankan peran ganda, mengelolah bisnis sekaligus juga mengerjakan berbagai tanggung jawab dalam rumah tangga seperti mengasuh anak ( Ryanti, 2007).

  Menurut Nasution Noer dan Suef (2001) menjelaskan bahwa karekteristik wanita memiliki feminitas antara lain: emosional, sensitif, peka, kooperatif, penuh kasih, cermat, hangat, simpati dan intuitif. Pada wanita yang makin tinggi pendiidkannya maka makin luas pula wawasan mereka dan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa wirausahanya. Dari segi usianya makin berumur maka para wirausaha wanita ini makin toleran dan semakin matang sifat-sifat wirausahanya.

  Dengan adanya kemampuan yang wanita miliki, wanita terus berjuang untuk melawan arus perbedaan gender. Wirausaha wanita ini berusaha untuk menjadi wirausaha yang baik, yang tidak kalah dengan wirausaha pria, baik dalam keputusan yang mereka buat serta dalam perilaku mengambil resiko.

D. Hubungan Adversity Quotient terhadap Kepuasan Berwirausaha

  Seorang wirausaha sering kali di hadapkan pada kondisi ekonomi yang belum bisa diprediksikan. Oleh karena itu, seorang wirausaha harus berusaha untuk membuat perhitungan yang matang, artinya bahwa dalam kondisi yang cepat berubah, mereka harus mampu mengambil tindakan secara bijaksana dan mampu mengubah hambatan menjadi suatu peluang bisnis (Sunarso, 2010). Menurut Stolz (2000) konsep mengubah tantangan dan hambatan menjadi suatu peluang adalah adversity quotient.

  Adversity quotient pada wirausaha merupakan gambaran sejauh mana

  kinerja seorang wirausaha dalam menghadapi tantangan dan menyelesaikan permasalahan dalam mengembangkan usaha. Tantangan tersebut dapat berupa finansial, emosional, fisik, pergaulan dan yang berkaitan dengan pengembangan karier dari wirausaha (Stolz, 2003). Tanpa adanya adversity quotient yang tinggi maka dikhawatirkan seseorang akan mengalami frustasi dan kegamangan dalam menjalani proses menjadi seorang wirausaha nantinya (Stoltz, 2000). Sedangkan wirausaha yang memiliki adversity quotient yang tinggi tidak akan menyerah, dan tetap bertahan dimasa sulit dan menjadikan kesulitan sebagai penguat untuk menghadapi tantangan selanjutnya (Stolz, 2003) dan dapat menjadikan sebuah hambatan menjadi peluang bisnis (Stolz, 2000).

  Seorang wirausaha yang mampu mengubah hambatan menjadi peluang bisnis tentunya akan memberikan tingkat imbalan yang potensial. Setiap imbalan inilah yang nantinya menghasilkan kepuasan bagi wirausaha tersebut. Imbalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori dasar yaitu income, leisure time dan

  psychological well being (Longenecker, Carlos, & William, 2001). Carree dan

  Verheul (2011) menyatakan bahwa tiga kategori dasar inilah yang menentukan kepuasan dalam berwirausaha.

  Wirausaha sering kali menyatakan kepuasan yang mereka dapatkan dalam menjalankan bisnisnya sendiri (Carree & Verheul, 2011). Kepuasan yang di rasakan tentu saja di dapatkan dari perjuangan dalam menghadapi tantangan selama berwirausaha seperti permasalahan bisnis, kerja keras, waktu yang panjang, dan pendapatan yang tidak pasti dan resiko yang sangat besar. Sehingga di butuhkan pengorbanan untuk dapat memperoleh imbalan tersebut (Longenecker, Carlos, & William, 2001) dan dibutuhkan adanya adversity

  

quotient untuk menghadapi tantangan tersebut (Stolz, 2003). Seorang wirausaha

  yang menyukai tantangan dan menjadikannya sebuah peluang bisnis akan menimbulkan kesenangan tersendiri bagi wirausaha tersebut, sehingga dapat meningkatkan adversity quotient (Stolz, 2000).

  Beberapa wirausaha menyatakan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan merupakan suatu kesenangan tersendiri (Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001).

  Sehingga berpengaruh kepada kepuasan yang mereka dapatkan. Kepuasan tersebut dapat merefleksikan pemenuhan kerja secara pribadi (Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001). Kepuasan ini secara tidak langsung akan memotivasi dirinya untuk lebih giat bekerja agar perkembangan usaha semakin lama semakin baik dan kuat dalam menghadapi persaingan (Suryana, 2006).

  Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan uraian teoritis, maka hipotesis dari penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara adversity quotient dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita. Semakin tinggi tingkat adversity quotient wirausaha wanita maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan dalam berwirausaha dan semakin rendah tingkat adversity quotient wirausaha wanita maka semakin rendah juga kepuasan dalam berwirausaha.

Dokumen yang terkait

BAB II TANGGUNG JAWAB PIHAK BANK TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI NASABAH JIKA TERJADI KEHILANGAN ATAU KERUSAKAN BARANG YANG DISIMPAN DALAM SAFE DEPOSIT BOX DI PT. BANK PANIN CABANG PEMBANTU TEBING TINGGI - Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di S

1 4 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di Safe Deposit Box (Studi Pada PT. Bank Panin Cabang Pembantu Tebing Tinggi

0 1 28

Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di Safe Deposit Box (Studi Pada PT. Bank Panin Cabang Pembantu Tebing Tinggi

0 1 14

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA TEORI 2.1 Konsep tradisi martahi karejo - Tradisi Martahi Karejo Masyarakat Angkola: Kajian Semiotik

0 9 27

Doctoral Program of Regional Development University of North Sumatera – Medan - Indonesia Abstract: The research goal is to determine how the intergenerational transfer in the elderly population based on residence (living alone, living with family, living

0 0 8

Analisis Pengaruh Remunerasi, Mutasi, Whistleblowing System, Motivasi Dan Kepuasan Kerja Terhadap Prestasi Kerja, Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderasi (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam)

0 0 51

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Landasan Teori 2.1.1 Remunerasi - Analisis Pengaruh Remunerasi, Mutasi, Whistleblowing System, Motivasi Dan Kepuasan Kerja Terhadap Prestasi Kerja, Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderasi (Studi Kasus Pada Kantor

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Pengaruh Remunerasi, Mutasi, Whistleblowing System, Motivasi Dan Kepuasan Kerja Terhadap Prestasi Kerja, Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderasi (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam)

0 0 8

BAB II DESKRIPSI PROYEK - Perpustakaan USU Kwala Bekala (Arsitektur Metafora)

0 1 23

BAB I PENDAHULUAN - Perpustakaan USU Kwala Bekala (Arsitektur Metafora)

0 2 7